• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KOTA SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BEBERAPA FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KOTA SURABAYA."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

ADAM SEBASTIAN 0511010056/FE/IE

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

KEMISKINAN DI KOTA SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Diajukan Oleh :

ADAM SEBASTIAN 0511010056/FE/IE

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(3)

Dengan memanjatkan syukur alhamdulilah atas kehadirat ALLAH SWT dengan rahmat dan karunianya yang telah dilimpahkan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul :

“BEBERAPA FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KOTA SURABAYA”

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur”.

Penulisan skripsi tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur. 3. Bapak Drs. Ec. Marseto D.S, Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi

Studi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur dan Dosen Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan mendampingi penulis selama menempuh pendidikan dibangku kuliah.

(4)

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan-masukan yang berarti bagi penulis.

5. Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Yang telah dengan iklas memberikan ilmu dan pelayanan akademik bagi penulis dan semua mahasiswa UPN.

6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah sabar mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang baik moral, material, maupun spiritual, dan semua keluarga besar, Terima kasih banyak atas dukungan dan bantuannya.

Akhir kata yang dapat terucapkan semoga penyusunan skripsi ini dapat berguna bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang membutuhkan, dan tidak lupa saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Surabaya...

Penulis

(5)

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 16

1.3. Tujuan Penelitian... 16

1.4. Manfaat Penelitian... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ... 18

2.2. Permasalahan ... 21

2.2.1. Kagagalan pemenuhan Hak Dasar ... 21

2.2.2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu Layanan kesehatan ... 21

2.2.3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ... 22

2.2.4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha ... 25

(6)

2.3.1. Pembangunan Ekonomi dan Kemiskinan ... 26

2.3.1.1. Ukuran Kemiskinan ... 28

2.3.2. Pengertian Kemiskinan ... 28

2.3.2.1. Ciri-ciri Kemiskinan ... 29

2.3.2.2. Macam Kemiskinan ... 30

2.3.2.3. Upaya Penanggulangan Kemiskinan ... 32

2.3.3. Pengertian Pendapatan ... 33

2.3.3.1. Pendapatan ... 33

2.3.3.2. Pendapatan Perkapita ... 34

2.3.3.3. Pengaruh Pendapatan Perkapita Terhadap Kemiskinan ... 34

2.3.4. Pengertian Tabungan ... 35

2.3.4.1. Tabungan ... 35

2.3.4.2. Rasio Tabungan Perkapita ... 35

2.3.4.3. Hubungan Rasio Tabungan Perkapita dengan Kemiskinan ... 36

2.3.4.4. Pengaruh Rasio Tabungan Perkapita terhadap Kemiskinan ... 37

2.3.5. Pengertian Kesempatan Kerja ... 37

2.3.5.1. Pemerataan Pembangunan dan Kesempatan Kerja ... 38

(7)

2.3.6.1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap

Kemiskinan ... 41

2.3.6.2. Hubungan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Kemiskinan ... 42

2.4. Program-program Pembangunan ... 42

2.5. Kerangka Pikir ... 45

2.6. Hipotesis ... 46

BAB III METODODOLOGI PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 47

3.1.1. Teknik Penentuan Sampel ... 49

3.1.2. Teknik Pengummmpppulan Data ... 49

3.2. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis ... 50

3.2.1. Teknik Analisis ... 50

3.2.2. Uji Hipotesis ... 52

3.3. Evaluasi Ekonometrik ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ... 59

4.1.1. Kondisi Geografis ... 59

4.1.2. Kependudukan ... 60

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 61

(8)

4.2.2. Perkembangan Pendapatan Perkapita ... 63

4.2.3. Perkembangan Tabungan Perkapita ... 64

4.2.4. Perkembangan Kesempatan Kerja ... 65

4.2.5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 66

4.3. Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 67

4.3.1. Uji Hipotesis secara Simultan ... 69

4.3.2. Uji Hipotesis secara Parsial ... 70

4.3.3. Hasil Asumsi Regresi Klasik (BLUE / Best Linear Unbiasset Estimator) ... 76

4.3.4. Pembahasan ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 96

5.2. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

1993-2007 ... 62

Tabel 2 : Perkembangan Pendapatan Perkapita di Surabaya periode tahun 1993-2007 ... 63

Tabel 3 : Perkembangan Tabungan Perkapita di Surabaya periode tahun 1993-2007 ... 64

Tabel 4 : Perkembangan Kesempatan Kerja di Surabaya periode tahun 1993 2007 ... 65

Tabel 5 : Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Surabaya periode tahun 1993-2007 ... 66

Tabel 6 : Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ... 67

Tabel 7 : Analisis Varian (ANOVA) ... 68

Tabel 8 : Test Heterokedatisitas dengan Korelasi Rank Spearman ... 80

Tabel 9 : Gini Rasio di Indonesia Menurut Daerah Tahun 1996-2008 . ... 86

Tabel 10 : Distribusi Pengeluaran Penduduk Menurut Daerah dan Kriteria Bank Dunia Tahun 1996-2008 ... 91

(10)

Gambar 1 : Paradigma ... 46

Gambar 2 : Kurva Distrbusi F ... 53

Gambar 3 : Kurva Distrbusi t ... 54

Gambar 4 : Distribusi Kriteria Penerimaan / Penolakan Hipotesis secara Simultan ... 70

Gambar 5 : Distribusi Hasil Analisis secara Parsial X1 ... 71

Gambar 6 : Distribusi Hasil Analisis secara Parsial X2... 72

Gambar 7 : Distribusi Hasil Analisis secara Parsial X3... 74

Gambar 8 : Distribusi Hasil Analisis secara Parsial X4... 75

Gambar 9 : Kurva Statistik Durbin-Watson ... 78

(11)

Lampiran 2 : Analisis Regresi Linier Berganda model summary dan anova Lampiran 3 : Analisis Regresi Berganda Coefficient dan Collinearity Diagnostics

Lampiran 4 : Analisis Regresi Berganda Residuals Statistics dan Nonparametric correlations

Lampiran 5 : Tabel Uji F Lampiran 6 : Tabel Uji t

Lampiran 7 : Tabel Durbin-Watson

(12)

x

KEMISKINAN DI KOTA SURABAYA

Abstraksi

Oleh : Adam Sebastian

Tujuan yang hendak dicapai oleh penelitian ini adalah : untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan kerja, pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan di kota Surabaya.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda dengan menggunakan alat bantu komputer program Statistic Program For Social science (SPSS) versi 13.0 yang menunjukkan pengaruh secara signifikan antara variabel bebas dan variabel terikat.

Melalui sistem regresi linier berganda dapat diperoleh persamaan regresi dengan menggunakan uji F regresi secara simultan variabel bebas berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan F hitung = 18,700 > F tabel = 3,48 dengan menggunakan level of significant (α) = 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan α/2 = 0,025, dapat diketahui bahwa variabel bebas pendapatan perkapita berpengaruh (X1) berpengaruh secara nyata terhadap tingkat kemiskinan di Surabaya (Y) dengan t hitung = 3,505 > t tabel = 2,228. Untuk variabel bebas tabungan perkapita (X2) diperoleh t hitung = 0,424 < t tabel = 2,228, secara parsial tabungan perkapita tidak berpengaruh secara nyata terhadap kemiskinan di Surabaya. Untuk variabel kesempatan kerja (X3) diperoleh t hitung = -0,250 < t tabel = -2,228, secara parsial kesempatan kerja tidak berpengaruh secara nyata terhadap kekemiskinan di Surabaya. Untuk variabel pengeluaran pemerintah (X4) diperoleh t hitung = -1,025 < t tabel = -2,228, secara parsial pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kekemiskinan di Surabaya.

(13)

1.1. Latar Belakang

Masalah-masalah perekonomian yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang termasuk Negara Indonesia yaitu berkaitan dengan masalah kemiskinan, penganguran, dan inflasi. Hal tersebut merupakan dilema bagi Negara-negara Berkembang. Dapat dilihat bahwa pada hakikatnya di negara berkembang terdapat kemiskinan yang sangat serius dan masalah ini menjadi sangat serius lagi karena akibat ketidakpastian perekonomian. Dapat disimpulkan dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dalam suatu negara akan menimbulkan kesejahteraan bagi penduduknya dan stabilitas negara yang sehat, khususnya dalam perekonomian.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Walaupun sudah beberapa tahun pertumbuhan ekonomi nasional meningkat antara 5-6 %, angka kemiskinan masih belum turun, dan penciptaan lapangan kerja oleh sektor swasta masihkurang tercapai.

Krisis yang melanda Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Padahal kondisi sebelum terjadinya krisis, pemerintah telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta pada tahun 1998 (BPS 1998). Keberhasilan ini juga diikuti oleh meningkatnya pendapatan

(14)

masyarakat termasuk masyarakat pedesaan. Tetapi dengan adanya krisis ini jumlah penduduk miskin meningkat dengan cepat. Hal ini dapat dilihat dari hasil Lokakarya Metodologi Perhitungan Angka Kemiskinan di Indonesia yang dilaksanakan tanggal 25 Juni 1999 oleh para peneliti dari SIAGA (Sustainable Indonesian growth Alliance), Bappenas, UNSFIR-UNDP dan FEUI, yang melahirkan suatu konsensus bahwa telah terjadi peningkatan penduduk miskin di Indonesia menjadi 23,8% pada akhir tahun 1998. Data ini juga di dukung oleh BPS yang menginformasikan bahwa penduduk miskin di Indonesia pada akhir tahun 1998 telah mencapai 49,5 juta jiwa dimana 31,9 juta berada di pedesaan dan 17,6 juta jiwa berada di Perkotaan. (BPS Jawa Timur, diolah).

(15)

membagi PDB Indonesia pada suatu periode dengan jumlah penduduk Indonesia, Berkaitan dengan kenaikan output per kapita, yaitu sisi output total (GDP) dan sisi jumlah penduduk. Jadi GDP yang tinggi akan meningkatkan angka pendapatan perkapita kita dalam negeri, akan tetapi yang terjadi di Indonesia ini GDP kita rendah karena tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk jumlah produksi yang kita lakukan serta keterbatasan kemampuan sumber daya manusia yang ada dalam negeri, dan ini menjadi salah satu faktor terjadinya kemiskinan penduduk di dalam negeri dalam perekonomian global.

Kemiskinan merupakan salah satu dari beberapa ciri yang tampak jelas terlihat di daerah perkotaan ataupun pedesaan, hal ini dapat diketahui dari tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang pada umumnya sangat rendah dengan cara hidup mereka yang sangat sederhana serta sarana dan prasarana maupun fasilitas kurang memadai dan lebih diperparah lagi dengan menurunnya tingkat pendapatan perkapita suatu masyarakat dan peningkatan jumlah penduduk serta kurangnya jumlah lapangan kerja baru sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat. Maka timbullah keperluan yang mendesak untuk mempercepat pembangunan.

(16)

Pembangunan yang dilakukan selama ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik yang terjadi di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Pembangunan di satu sisi selain meningkatkan kesejahteraan, namun di sisi lain ketidakmerataannya dapat menyebabkan lahirnya keterbelakangan dan kemiskinan secara struktural di masyarakat.

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi ini dapat dilihat tiga sifat penting pembangunan ekonomi yaitu merupakan, pertama: suatu proses berarti suatu perubahan yang terjadi terus-menerus. Kedua: usaha meningkatkan pendapatan perkapita. Ketiga: Pendapatan perkaita harus berlangsung dalam jangka panjang.

(17)

perpaduan yang lebih sempurna antara pembangunan di perkotaan dan pedesaan, dalam pemberantasan kemiskinan hendaknya juga dilihat dari dana yang disalurkan pemerintah dan dinas-dinas lain seperti pendidikan, kesehatan, dan dinas sosial.

Dalam upaya memerangi kemiskinan apabila kita menganggap akar kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural barang tertentu sudah perlu disusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya memiliki pola pikir yang mampu melihat perspektif masa depan dan menata kembali lembaga-lembaga ekonomi konfensional yang tidak lagi sesuai supaya dapat mewadahi kebutuhan dan aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita beranggapan bahwa kemiskinan berakar pada masalah struktural maka strategi pembangunan kita harus ditata kembali.

(18)

Definisi dan pengertian kemiskinan yang lebih lengkap dalam arti sesuai dengan kenyataan dan secara konseptual jelas dikemukakan oleh Robert Chambers (1987). Menurut Chambers, inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dari kelima dimensi di atas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan, menurut Chambers, dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau "roda penggerak kemiskinan" yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset produksinya sehingga mereka menjadi makin rentan dan tidak berdaya..

(19)

setara 2.100 kalori energi perkapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok.

Kekeliruan di masa lalu yang acapkali terjadi adalah kemiskinan didefinisikan semata hanya sebagai fenomena ekonomi dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencarian yang cukup mapan untuk tempat bergantung hidup. Definisi seperti ini untuk sebagian mungkin benar, tetapi diakui atau tidak, kurang mencerminkan kondisi riil yang sebenarnya dihadapi keluarga miskin.

Kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup layak, namun lebih dari itu esensi kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya.

Starategi yang kita perlukan adalah strategi yang tidak sekedar mementingkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengandung aspek pemerataan. Setiap upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan akan tetap gagal selama masalah perekonomian dan ketidak adilan sosial berjalan dengan lamban dan statis, sebagai substansi atau sebagai faktor yang berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.

(20)

pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan prasarana, dan pendampingan.

Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta pada tahun 1996. Krisis ekonomi yang terjadi sejak Juli 1997 membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa pada 1998, jumlah penganggur terbuka meningkat dari 4,2 juta (4,69%) pada Agustus 1997 menjadi 6,03 juta (6,36%) pada Agustus 1999, melemahnya kegiatan ekonomi, memburuknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, memburuknya kondisi prasarana dan sarana umum, menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(21)

Bila kita lihat tingkat kemiskinan di Surabaya sebelumnya selama tahun 1989-2003 cenderung mengalami kenaikan, hanya pada tahun 1986-2001 tingkat kemiskinan mengalami kenaikan dari sebesar 77.258 jiwa menjadi sebesar 296.498 jiwa. Dan pada tahun 2002 tingkat kemiskinan mengalami penurunan sebesar 293.016 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui tingkat kemiskinan di Surabaya terjadi pada tahun 2003 sebesar 362.308 jiwa, dan tingkat kemiskinan terendah terjadi pada tahun 1989 sebesar 77.258 jiwa. Sedangkan perkembangan tertinggi tingkat kemiskinan di Surabaya terjadi pada tahun 2001 sebesar 53,39 % dan perkembangan terendah tingkat kemiskinan terjadi pada tahun 1996 sebesar 3,55 %. Dan apabila nilai tingkat kemiskinan masih tidak dapat stabil dan masih mengalami naik turun maka kemiskinan merajalela di suatu negara belum dapat teratasi dengan baik. (Anonim 1991 – 2005).

(22)

optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan, tetapi juga tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin.

Kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin, dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka. Oleh sebab itu, pemecahan masalah kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui berbagai kebijakan sektoral yang terpusat, seragam dan berjangka pendek.

(23)

Pendekatan hak-hak dasar relevan dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Proses demokratisasi yang berlangsung selama ini telah membawa perubahan di berbagai bidang. Perubahan itu diharapkan mendorong terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat sehingga pendekatan hak dasar akan sangat penting sebagai indikator dalam mengukur proses dan kinerja politik yang sedang berlangsung. Selain itu, dampak krisis ekonomi dan beban pembayaran utang telah mengurangi kemampuan anggaran negara untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat. Pengakuan terhadap hak-hak dasar memberikan penegasan pentingnya investasi yang mendukung pemenuhan hak-hak dasar, dan mempertajam prioritas alokasi anggaran bagi pembangunan manusia.

Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan dan sumberdaya yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk memberikan layanan publik kepada pemerintah daerah secara lebih efisien dan lebih tepat sasaran. Pelaksanaan otonomi daerah juga memberikan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pendekatan hak dasar menegaskan kewajiban pemerintah kabupaten dan kota untuk memberikan layanan dasar yang mudah, murah dan bermutu bagi masyarakat.

(24)

keberhasilan bagi masyarakat miskin untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Dokumen ini menegaskan bahwa perbaikan tata pemerintahan dan perluasan partisipasi harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat miskin dan meningkatkan taraf dan mutu hidup masyarakat miskin.

Globalisasi yang ditandai oleh penerapan pasar bebas, privatisasi, deregulasi dan penghapusan subsidi cenderung mengurangi peranan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik. Oleh sebab itu, pendekatan hak dasar mengatur peran minimum yang harus menjadi kewajiban negara dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Selain itu, upaya penanggulangan kemiskinan perlu memperhatikan adanya momentum kemitraan global dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium.

Dengan demikian, strategi penanggulangan kemiskinan memerlukan pendekatan yang terpadu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, terencana, dan berkesinambungan, serta menuntut keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun masyarakat miskin sendiri agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.

(25)

bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota perlu menyusun strategi, kebijakan, dan program penanggulangan kemiskinan daerah sesuai dengan karakteristik dan sumber daya masing-masing.

Penyusunan strategi, kebijakan, dan program penanggulangan kemiskinan ini yang terpenting harus benar-benar didasarkan pada pendataan kemiskinan secara langsung kepada masyarakat miskin. Apakah Pemerintah Provinsi Jatim telah melakukan hal ini?

Kita semua mengetahui, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan diskresi (keleluasaan) kepada pemerintah daerah dalam mengelola dan mendayagunakan sumber keuangan daerah. Namun demikian, perlu disadari bahwa tugas dan peran pemerintahan sebenarnya bukan hanya bagaimana menarik investor dan berusaha mendongkrak pemasukan pemerintah atau pendapatan asli daerah (PAD) lewat PAD program-program pertumbuhan ekonomi semata.

(26)

Untuk menangani persoalan kemiskinan hingga ke akar masalah, yang dibutuhkan selain keterbukaan dan kepekaan pemerintah, yang terpenting adalah fokus dan ketepatan program penanggulangan kemiskinan yang dirancang serta dilaksanakan di lapangan. Mungkin benar bahwa kegagalan berbagai program pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini sebagian disebabkan karena moral hazard, bad governance atau karena kinerja birokrasi yang kurang maksimal.

Akan tetapi, sekadar memperbaiki kualitas transparansi atau kontrol atas pelaksanaan kebijakan pembangunan sesungguhnya bukan jaminan bahwa otomatis kemudian akan terjadi perbaikan dan pengembangan sistem ekonomi tangguh yang berkemanusiaan.

Upaya untuk memberdayakan kegiatan produktif masyarakat miskin dan meningkatkan posisi bargaining mereka terhadap semua bentuk eksploitasi dan superordinasi, tak pelak prasyarat yang dibutuhkan adalah kemudahan ekonomi (economic facilities) yang benar-benar nyata dan peluang-peluang sosial (social opportunities) yang memihak kepada masyarakat miskin.

(27)

membangun investasi sosial lewat program-program pemberdayaan sosial dan kemudahan berusaha serta meningkatkan kesempatan masyarakat miskin untuk melakukan mobilitas sosial-ekonomi secara vertikal melalui pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan bahkan kebutuhan untuk melakukan partisipasi politik secara aktif.

Upaya untuk memberdayakan masyarakat miskin dan membangun sistem ekonomi tangguh yang berkemanusiaan niscaya tidak akan pernah bisa berhasil jika terlalu kental ditunggangi oleh kepentingan politis atau kepentingan pribadi pihak-pihak tertentu yang berkecimpung dalam dunia politik.

Di sisi lain, seyogianya juga disadari bahwa upaya memberantas kemiskinan tidaklah mungkin dapat berhasil jika dilakukan secara sepotong-sepotong, temporer, tidak kontekstual, dan apalagi jika semuanya dilakukan dengan tidak konsisten.

(28)

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan kerja, dan pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di kota Surabaya.

b. Dari variabel bebas tersebut faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi kemiskinan di kota Surabaya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan kerja, dan pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan di kota Surabaya.

(29)

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan pertimbangan dalam memecahkan masalah penanggulangan kemiskinan.

b. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk penelitian-penelitian serupa di daerah lain, serta bermanfaat bagi fakultas ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur guna melengkapi perbendaharaan perpustakaan.

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan hasil penelitian tersebut adalah :

1. Permatasari (2000 : 9) “Pengaruh Program Tankesra atau Kukesra Terhadap Penanggulangan Kemiskinan di Kota Madya Surabaya” (studi kasus di wilayah kecamatan Wonokromo dan Kecamatan Rungkut). Variabel terikat (Y) : adalah tingkat kemiskinan berdasarkan tingkat kesejahteraan, sedangkan variabel bebas meliputi dana yang diperoleh (X1), jumlah kelompok miskin (X2), pendapatan perumah tangga (X3), dari hasil analisis secara simultan yang dilakukan dengan uji F dengan F hitung 12,032 lebih besar dari F tabel 3,05 sedangkan t hitung 3,384 lebih besar dari t tabel 2,074 yang berarti variabel bebas berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat jumlah penduduk pra sejahtera satu.

2. Abdullah Zikri (1999 : 53) “Dampak Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan melalui Program IDT” dari hasil pengujian secara simultan bahwa pendapatan per rumah tangga penduduk penerima dana IDT, Penyerapan dana IDT, jumlah penduduk penerima dana IDT, berpengaruh secara nyata terhadap tingkat kemiskinan secara parsial,

(31)

3. Widiatmoko (1998 : 10) “Upaya Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan melalui Program Inpres Desa Teringgal di Kecamatan Paciran, Kec Sakaran, Kec Ngimbang Daerah Tingkat II Kab Lamongan” dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, dari penelitian ini diketahui bahwa secara simultan variabel bebas signifikan, dengan F hitung sebesar 589,124 lebih besar dari F tabel 216. Keadaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel bebas dan veriabel terikat berdasarkan tingkat kesejahteraan, sedangkan pengaruh secara parsial menunjukkan bahwa t hitung 14,327 lebih besar dari t tabel 12,706 yang berarti bahwa pendapatan perumah tangga penerima dana program Impres Desa Tertinggal dan jumlah penduduk miskin penerima dana Impres Desa Tertinggal berpengaruh secara nyata terhadap kemiskinan. 4. Wahyuningsih (1999 : 7) “Dampak Program Impres Desa

(32)

dari t tabel 2,000 artinya modal yang diberikan pemerintah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan sebelum adanya Program Impres Desa Tertinggal dengan pendapatan sesudah adanya Program Impres Desa Tertinggal.

5. Fahlevi (2000 : 9) “Manfaat Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Simomulyo, Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya” penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari instansi yang menggunakan teknik analisis uji dua rata-rata yang disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara pendapatan bersih sebelum dan sesudah menerima bantuan dana dengan melihat t hitung 7,715 lebih besar dari t tabel 1,660.

(33)

2.2. Permasalahan

Permasalahan kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan hak-hak dasar, kependudukan, ketidak adilan dan kesetaraan gender. Kita butuh program yang mengarah ke permasalah struktural, berbagai macam program yang mendorong ke akses ke kredit dan sebagainya. Ada juga program yang lebih ke memutuskan jeratan kemiskinan antar generasi. 2.2.1. Kagagalan Pemenuhan Hak Dasar.

Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi yang masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan persoalan masyarakat miskin.

(34)

2.2.3. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan. Upaya penanggulangan kemiskinan itu juga dikaitkan dengan upaya dalam bidang pendidikan, utamanya untuk merangsang agar semua anak usia sekolah bisa bersekolah setinggi-tingginya. Bahkan dianjurkan agar disamping mengikuti pendidikan reguler di sekolah masing-masing, setiap anak dianjurkan untuk memahami masalah yang ada di sekitarnya. Mereka dianjurkan agar bisa menyiapkan diri dengan ketrampilan yang bisa dimanfaatkan untuk hidup mandiri dengan pekerjaan yang bermanfaat di daerahnya.

Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia, dan pemenuhan atas hak ini menjadi kewajiban Negara. Tidak terpenuhinya hak dasar ini menurut konsep SNPK (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan) disebut kemiskinan. Hasil penelitian tentang layanan dasar pendidikan bagi warga miskin di Kota Metro menunjukkan bahwa masih ada kelemahan dalam hal ketersediaan layanan pendidikan bagi warga miskin, layanan diskriminatif, dan aksesibilitas warga miskin terhadap layanan pendidikan juga rendah. Penyebabnya, rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan warga miskin yang berwujud pada kecilnya anggaran untuk pemenuhan hak dasar pendidikan bagi warga miskin.

(35)

Pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat sampai saat ini masih terdapat Kesenjangan antar kelompok masyarakat terutama antara kaya dan miskin, antara perkotaan dan pedesaan. Sebagai gambaran, rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang bersekolah – untuk usia 13-15 tahun pada tahun 2003 mencapai 75,54 %.

Rendahnya pendidikan warga miskin juga disebabkan tidak tersedianya layanan pendidikan gratis selain hanya gratis dalam uang SPP sementara untuk layanan lainnya tersedia sangat terbatas.Buku-buku pelajaran, seragam sekolah, trasportasi khusus anak sekolah tanpa dpungut biaya diharapkan dapat tersedia sehingga tidak memberatkan warga miskin dalam menempuh pendidikan.

(36)

Selain itu, faktor yang menyebabkan rendahnya pendidikan warga miskin adalah ketersediaan layanan pendidikan yang bermutu yang dapat dilihat dari materi yang diajarkan. Bagi warga miskin, materi-materi yang diajarkan di sekolah-sekolah kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hampir semua sekolah SMP dan SLTA memberkan pelajaran umum yang teoritis untuk mengasah kognisi dan bukan untuk ketrampilan sehingga tidak menghasilkan output yang siap pakai bagi warga miskin untuk memasuki pasar kerja. Kondisi ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa banyak yang sudah berpendidikan SLTA tetapi menganggur menjadikan warga miskin tidak tertarik melanjutkan sekolah. Pendidikan dianggap tidak berkorelasi terhadap mobilitas ekonomi. Pendidikan dianggap hanya menghasilkan orang-orang yang terdidik, bukan orang-orang-orang-orang yang siap pakai/berdaya guna. Oleh karenanya pendidikan menjadi tidak menarik bagi warga miskin.

(37)

menjadikan kebutuhan pendidikan anak-anak keluarga miskin tidak terpenuhi. Komersialisasi pendidikan juga terlihat pada pengadaan seragam sekolah, yang dalam satu minggu berganti 3 macam seragam (pramuka, OSIS dan seragam khusus sekolah), yang pengadaannya dilakukan pihak sekolahan. Artinya, kekebasan bagi siswa untuk memilih jenis bahan pakaian seragam, harga/ongkos jahitan sesuai dengan kemampuannya menjadi terbatas.

Pemerintah telah menyediakan bantuan sekolah untuk anak keluarga miskin, tetapi sering tidak tepat sasaran karena banyak yang memenuhi kriteria mampu juga menerima. Bantuan atau beasiswa AUSKM (Anggaran Untuk Siswa Kurang Mampu) dalam bentuk bantuan tas sekolah, seragam, sepatu, dan lain-lain, sebetulnya sangat membantu keluarga miskin dalam mengatasi biaya sekolah. Tidak tepatnya sasaran penerima beasiswa AUSKM disebabkan ketidak jelasan data keluarga miskin. Terdapat perbedaan kriteria kemiskinan sehingga selalu timbul kesulitan.

2.2.4. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha.

(38)

2003 menunjukkan belum adanya perbaikan. Bahkan, berdasarkan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlahnya terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah sekitar 1.756.639 orang atau 17,2% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 meningkat menjadi sekitar 1.802.553 orang atau 18,3% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2001. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 56,02%. Partisipasi angkatan kerja yang paling menonjol di daerah pedesaan (58,03%) dan sangat tinggi untuk laki-laki (80,64%). Kondisi ini mengindikasikan bahwa pemecahan persoalan tenaga kerja harus mengacu pada penyediaan lapangan kerja untuk penduduk pedesaan dan laki-laki.

2.3. Landasan Teori

2.3.1. Pembangunan Ekonomi dan Kemiskinan

(39)

a. Usaha, diartikan bahwa pembangunan ekonomi bukanlah hasil suatu proses, melainkan sesuatu yang dengan sengaja dikerjakan.

b. Meningkatkan pendapatan perkapita yang tinggi, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan penduduk, dimana pada umumnya negara berkembang berpenduduk besar sehingga usaha pembangunan ditujukan pada pencapaian pertumbuhan yang setinggi-tingginya, dimana dengan pembangunan pendapatan penduduk dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun.

c. Jangka waktu yang sesingkat-singkatnya, mengandung arti bahwa usaha pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dicapai secepat mungkin sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju yang akhirnya mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju. Selain itu kesenjangan dalam negeri perlu secepatnya dihilangkan atau dikurangi dengan memperluas dengan usaha-usaha pemerataan.

(40)

2.3.1.1. Ukuran Kemiskinan

Bila memakai ukuran kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik di Surabaya antara lain :

a. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin sebesar 7,2 juta jiwa per tahun.

b. Lalu jumlah penduduk miskin sekali pada tahun 1996 sebesar 15,3 juta jiwa per tahun.

c. Sedangkan jumlah penduduk paling miskin pada tahun 1996 sebesar 22,5 juta jiwa pertahun. (Sumber : BPS).

2.3.2. Pengertian Kemiskinan

Penulis mengungkapkan beberapa pengertian tentang kemiskinan dari beberapa para ahli antara lain :

a. Menurut Abdul Kadir Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh simiskin melainkan karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan padanya. Hal ini disebabkan karena terbatasnya modal yang mereka miliki dan rendahnya pendapatan mereka. Sehingga akan mengakibatkan terbatasnya kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

(41)

menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.

c. Sedangkan menurut Mubyarto, golongan miskin adalah golongan yang rawan pangan yang berpengaruh negative terhadap produktifitas kerja dan angka kematian balita.

2.3.2.1. Ciri-ciri Kemiskinan

Kemiskinan pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain :

a. Pertama, Mereka yang tidak mempunyai faktor produksi sendiri (tanah, modal, dan keterampilan), kedua, tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki asset produksi dengan kekuatan sendiri, ketiga rata-rata pendidikan mereka pada umumnya rendah, keempat, kebanyakan mereka tinggal di pedesaan sebagai buruh tani atau pekerja kasar dan tidak memiliki tanah, dan kelima, banyak diantara mereka yang tinggal dikota dalam usia muda serta tidak mempunyai keterampilan dan pendidikan. (Salim, 1984 : 42-43)

(42)

2.3.2.2. Macam Kemiskinan

Pada umumnya terdapat dua macam kemiskinan yang digunakan yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif.

a. Kemiskinan absolute

Pada dasarnya konsep kemiskinan yang dikaitkan oleh perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara layak. Bila pendapatan tidak mencapai kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan demikian, kemiskinan di ukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh dengan kebutuhan dasar. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut dengan garis batas kemiskinan. Konsep ini dimaksud guna menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup. (Hendra, 1986 : 287).

(43)

ketenangan hidup, ketiga, kelebihan pendapatan untuk mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi. Kebutuhan dasar tidak hanya meliputi kebutuhan orang dan keluarga, tetapi juga meliputi kebutuhan kebutuhan fasilitas lingkungan kehidupan manusia. Konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum ini merupakan konsep yang mudah dimengerti, tetapi penemuan garis kemiskinan secara obyektif sulit dilaksanakan karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhinya, garis kemiskinan ini akan berbeda antara satu tempat dangan tempat lainnya, sehingga tidak ada suatu garis kemiskinan yang berlaku secara umum.

b. Kemiskinan Relatif

Yaitu orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti “tidak miskin”. Menurut Hendra walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih dalam keadaan miskin, ini terjadi karena kemiskinan banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya daripada lingkungan orang yang bersangkutan. (Esmara, 1986 : 287).

(44)

konsep diatas ada beberapa macam kemiskinan yang disebabkan oleh, yang pertama, daerah dari masyarakat itu sendiri, lalu yang kedua, miskin karena suatu prilaku manusia yang malas sehingga memungkinkan masyarakat tersebut serba kekurangan, sedangkan yang ketiga, miskin karena kurangnya pendidikan yang diterapkan dalam masyarakat.

2.3.2.3. Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Ginanjar dengan memperhatikan tantangan, modal, dan potensi yang ada, kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan terung dalam tiga arah kebijaksanaan, yaitu :

a. Kebijaksanaan tidak langsung di arahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan.

b. Kebijaksanaan langsung yang di tujukan pada masyarakat yang berpenghasilan rendah.

(45)

Program ini hanya akan dapat berjalan baik dan efektif apabila suasana tentram dan stabil telah tercipta. Demikian halnya dengan kestabilan ekonomi, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali merupakan situasi yang berlawanan bagi program penanggulangan kemiskinan. (Kartasasmita 1996 : 242).

2.3.3. Pengertian Pendapatan 2.3.3.1. Pendapatan

Faktor utama bagi setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya adalah pendapatan. Dengan demikian seseorang di tuntut untuk lebih meningkatkan pendapatan yang diperoleh agar kebutuhan dapat terpenuhi. Adapun pengertian pendapatan itu sendiri itu adalah penghasilan seseorang yang didapat dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Rosyidi (1996 : 96), pendapatan adalah upah, gaji, bunga, sewa, dan laba yang diterima oleh anggota masyarakat sebagai balas jasa dari faktor-faktor produksi.

Sedangkan definisi pendapatan menurut Boediono (1982 : 150), bahwa pendapatan atau income dari warga masyarakat adalah hasil penjualan faktor-faktor produksi untuk digunakan sebagai input proses produksi dengan harga yang berlaku di pasar produksi.

(46)

banyak pula kebutuhan sehari-hari yang dapat terpenuhi. Oleh karena itu setiap masyarakat akan berusaha untuk meningkatkan pendapatannya. 2.3.3.2. Pendapatan Perkapita

Dengan adanya pendapatan perkapita sering suatu negara mengharap pembangunan ekonomi yang terus berkembang dari tahun ke tahun, sebab dengan pendapatan perkapita suatu negara dapat membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta dapat membandingkan laju perkembangan ekonomi yang telah dicapai negara dari masa ke masa.

2.3.3.3. Pengaruh Pendapatan Perkapita Terhadap Kemiskinan

(47)

2.3.4. Pengertian Tabungan 2.3.4.1. Tabungan

Tabungan adalah konsumsi lancar yang terdahulu yang membolehkan produksi dengan arti produksi untuk kenaikan keseluruhan hasil produksi yang akan datang.

2.3.4.2. Rasio Tabungan Perkapita

Total nilai tabungan di suatu daerah dalam periode tertentu, umumnya satu tahun, dimaksudkan Rasio Tabungan Perkapita merupakan perbandingan persentase tabungan pertahunnya atau setiap tahunnya, yang dimaksudkan dengan perbandingan jumlah tabungan dari tahun sekian ke tahun berikutnya agar dapat diketahui keberadaannya meningkat atau menurun dalam jumlah persentase pertahunnya. Pertumbuhan ekonomi dan formasi modal adalah hal penunjang yang harus dilakukan agar terlepas dari belenggu kemiskinan yang dalam pelaksanaannya memerlukan suatu nilai tabungan yang tingi, yang artinya tabungan itu sendiri adalah konsumsi lancar yang terdahulu yang membolehkan produksi dengan arti produksi untuk kenaikan keseluruhan hasil produksi di periode yang akan datang.

(48)

1. Tabungan Dalam Negeri Sumber :

a) Tabungan perusahaan :

Merupakan kelebihan pendapatan (laba) yang tidak dibagikan kepada pemegang saham yang besarnya dapat diketahui dari neraca perusahaan.

b) Tabungan rumah tangga :

Merupakan bagian dari pendapatan yang diterima rumah tangga yang tidak dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. 2. Tabungan Luar Negeri

Sumber :

a) Tabungan pemerintah asing (LN) :

Merupakan selisih antara realisasi penerimaan dengan

pengeluaran pemerintah dari luar negeri atau pemerintah asing. b) Tabungan swasta asing :

Merupakan selisih antara realisasi penerimaan dengan pengeluaran diluar anggaran negara dari luar negeri atau negara asing yang bersifat swasta.

2.3.4.3. Hubungan Rasio Tabungan Perkapita dengan Kemiskinan

(49)

yang tinggi setiap tahunnya, dan meningkat atau bertambah jumlahnya setiap periode waktu, dengan catatan didukung dengan peranan pemerintah yang baik dan layak dalam penggunaannya serta penyalurannya sehingga dapat membantu dalam membiayai program-program dalam berupaya mensejahterakan penduduk, khususnya penduduk yang masih di bawah garis kemiskinan

2.3.4.4. Pengaruh Rasio Tabungan Perkapita terhadap Kemiskinan

Diharapkan dapat berguna dan membantu pemerintah sebagai bantuan dalam bentuk dana, sembako, pangan, ataupun modal usaha kepada penduduk miskin. Tabungan itu sendiri dianggap sebagai alat penunjang yang digunakan agar penduduk terlepas dari belenggu kemiskinan yang dalam pelaksanaannya memerlukan suatu nilai tabungan yang tinggi jumlahnya yang diharapkan meningkat jumlahnya setiap tahunnya.

2.3.5. Pengertian Kesempatan Kerja

(50)

Penggunaan istilah “employment” sehari-hari biasa dinyatakan dengan jumlah orang yang ada dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian istilah ini mempunyai dua unsur, yaitu lapangan kerja atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Lihat bagaimana laporan angkatan kerja. Namun kenyataannya bahwa dalam kesempatan kerja lebih banyak orang yang belum mendapat kesempatan kerja dibandingkan orang yang mendapat kerja, oleh karena itu ternyata masih banyak para penganggur yang belum mendapat pekerjaan.

2.3.5.1. Pemerataan Pembangunan dan Kesempatan Kerja

Perluasan kesempatan kerja di Indonesia mulai memperoleh perhatian sejak pembangunan lima tahun (PELITA) II yang berlaku di 1 april 1974 sampai dengan 31 maret 1979 disebutkan bahwa tujuan pembangunan adalah :

a. Pertumbuhan pendapatan yang setinggi-tingginya. b. Perluasan kesempatan kerja.

c. Pembangunan pendapatan yang adil dan merata.

(51)

didorong. Untuk itu semua maka motif pemerataan dan keadilan sosial memperoleh perhatian yng lebih besar dan nyata.

2.3.5.2. Hubungan Kesempatan Kerja dan Kemiskinan

Bahwasannya dalam dasawarsa pembangunan kurun waktu tujuh puluhan dapat kita lihat ternyata tidak ada atau belum ada korelasi positif antara keberhasilan pembangunan yang dinilai dari kecepatan laju pertumbuhan ekonomi dengan kesempatan penurunan tingkat kemiskinan, padahal kita tahu antara kesempatan kerja dengan kemiskinan memiliki hubungan yang saling berhubungan positif karena apabila kesempatan kerja tidak terwujud maka semakin banyak pengangguran-pengangguran baru dimasyarakat sehingga membuat kemiskinan di suatu negara akan semakin meningkat.

Namun kalau kita lihat bahwa negara kita bahwasannya dapat dinilai telah sukses dilihat dari segi laju pertumbuhan ekonomi, tetapi tetap dinilai miskin dan terbelakang terutama dilihat dari sudut cepatnya dan besarnya perluasan angkatan kerja yang memasuki pasaran kerja yang belum atau tidak memperoleh kesempatan kerja, mereka belum dimanfaatkan secara produktif.

(52)

tidak saja tidak turut berpartisipasi memikul beban pembangunan, tetapi juga ikut menikmati hasil pembangunan. (Sagir 1981 : 215).

Karena dengan perluasan kesempatan kerja maka tingkat kemiskinan di negara Indonesia dapat segera teratasi dan pembangunan ekonomi yang lebih baik dapat segera terwujud.

2.3.6. Pengeluaran Pemerintah

Pajak yang diterima pemerintah akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah. Sebagian dari pengeluaran pemerintah adalah untuk membiayai administrasi pemerintahan dan sebagian lainnya adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan. Membayar gaji-gaji pegawai-pegawai pemerintah, membiayai sistem pendidikan dan kesehatan rakyat, membiayai perbelanjaan untuk angkatan bersenjata, dan membiayai berbagai jenis infrastruktur yang penting, artinya dalam pembangunan adalah beberapa bidang penting yang akan dibiayai pemerintah. Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan menigkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi Negara.

(53)

kebijaksanaan tersebut, khususnya masyarakat miskin, untuk membantu kesejahteraannya, kesehatan, dan pendidikan masyarakat yang kurang mampu.

2.3.6.1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Kemiskinan

Kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikkan atau menurunkan pendapatan nasional. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya, tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang akan menikmati atau terkena kebijaksanaan tersebut. Pemerintah pun perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan kegiatan pihak swasta (Dumairy, 1996: 161-164).

(54)

2.3.6.2. Hubungan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kemiskinan

Dengan melihat dan berpatokan pada pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, kita dapat mengetahui berapa banyak dana dan apa saja yang menjadi anggaran dalam pengeluaran pemerintah, serta berapa dana yang dibutuhkan dan yang dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya dalam kebijakannya yang dalam berupaya untuk mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat yang selalu menjadi beban hidup masyarakat selama ini, khususnya masyarakat miskin, sehingga dapat pula menjadi bukti agar tidak terjadi penyelewengan dana anggaran dalam pemerintah dalam penyalurannya terhadap sektor masyarakat miskin atau sektor-sektor lainnya. Sehingga dapat menjadi pegangan dan pertimbangan bagi pemerintah dan kita semua apakah dana tersebut dapat atau mampu mengubah keadaan dalam negeri, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Salah satu upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah tercermin dalam APBN, merupakan pengelolaan terhadap pengeluaran negara dan penerimaan negara guna mencapai pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, stabilitas harga, dan stabilitas posisi eksternal.

2.4. Program-program Pembangunan

(55)

miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar. Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan tidak dapat ditangani sendiri oleh satu sektor tertentu, tetapi harus multi sektor dan lintas sektor dengan melibatkan stakeholder terkait untuk meningkatkan efektivitas pencapaian program yang dijalankan. Oleh sebab itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam penanggulangan kemiskinan dijabarkan kedalam program sebagai berikut :

1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan :

a. Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan dan kapasitas kelembagaan dan peningkatan infrastruktur pedesaan yang mendukung sistem distribusi untuk menjamin terjangkau pangan. b. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan melalui bantuan

pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan.

c. Revitalisasi sistem lembaga ketahanan pangan masyarakat.

d. Pemberian subsidi dan kemudahan kepada petani dalam memperoleh sarana produksi, bibit, pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama.

e. Penelitian untuk meningkatkan varietas tanaman pangan unggul. f. Pelatihan penerapan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan

produktivitas dan produksi pertanian. g. Pengembangan industri pengolahan pangan

(56)

2. Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat :

a. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya.

b. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya.

c. Pengadaan peralatan dan perbekalan termasuk obat generik.

d. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan gizi.

e. Pengadaan dan Peningkatan SDM tenaga kesehatan.

3. Program Pelayanan Pendidikan : a. Peningkatan Pendidikan Dasar

b. Peningkatan Pendidikan Menengah dan Tinggi c. Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah

d. Pengembangan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan IPTEK e. Peningkatan Apresiasi seni.

4. Program Peningkatan Kesempatan Kerja dan Berusaha :

a. Peningkatan kemampuan calon tenaga kerja berkemampuan memasuki lapangan kerja di dalam negeri dan luar negeri.

(57)

2.5. Kerangka Pikir

Bila pendapatan perkapita naik atau turun maka hal ini dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dan tingkat kesejahteraan masyarakat dikota Surabaya karena pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata penduduk yang diharapkan meningkat setiap tahunnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Karena pendapatan perkapita adalah variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kemiskinan. (Lincolin, 1992 : 24).

Nilai tabungan yang tingi merupakan hal penunjang yang harus dilakukan agar terlepas dari belenggu kemiskinan serta terciptanya Pertumbuhan ekonomi dan formasi modal yang baik. (Winardi. 1983 : 70).

Naiknya kesempatan kerja dalam masyarakat sangat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerja maka pengangguran dapat berkurang dan tingkat kemiskinan dapat segera teratasi dan pemerataan pembangunan yang diharapkan dapat segera tercapai. (Sagir, 1981 : 215).

(58)

kesejahteraannya, kesehatan, dan pendidikan masyarakat yang kurang mampu (Dumairy, 1996:161-164).

Gambar 1 : Paradigma pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan kerja, dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat kemiskinan.

Pendapatan

2.6. Hipotesis

Berdasarkan pada perumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang disampaikan, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

a. Diduga, pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan kerja, dan pengeluaran pemerintah, berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di kota Surabaya.

b. Diduga, pendapatan perkapita merupakan variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan Surabaya. Perkapita

(X1)

Tabungan Perkapita (X2)

Kesempatan Kerja (X3)

Kesejahteraan

Produksi

Tingkat Kemiskinan (Y)

Pengangguran

Pengeluaran Lapangan

Pemerintah Kerja

(59)

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional dalam suatu penelitian adalah untuk menunjukkan konsep yang digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini menganalisa beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di kota Surabaya. Variabel yang digunakan dan definisi operasionalnya sebagai berikut :

1. Variabel Terikat (Y).

Tingkat kemiskinan (Y) ini didasarkan atas pengelompokan oleh BPS ( Badan Pusat Statistik ) yaitu besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum pangan dan nonpangan, dinyatakan dalam bentuk persen (%). 2. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas (Independent veriabel) adalah variabel yang dapat berdiri sendiri dan nilainya tidak tergantung pada hasil pengamatan. Variabel bebas (X) yang digunakan dalam penelitian ini ada lima yaitu : a. Pendapatan Perkapita (X1)

Pendapatan perkapita adalah faktor penting yang menentukan tingkat kesejahteraan dan tingkat

(60)

pembangunan ekonomi yang lebih baik, karena dengan tingkat kesejahteraan dan pembangunan lebih baik maka dapat mengatasi kemiskinan. Dinyatakan dalam Rupiah (Rp).

b. Tabungan Perkapita (X2)

Konsumsi lancar yang terdahulu yang membolehkan produksi dengan arti produksi untuk kenaikan keseluruhan hasil produksi yang akan datang. Dinyatakan dalam Rupiah (Rp).

c. Kesempatan Kerja (X4)

Adalah keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan atau keadaan penggunaan tenaga kerja orang, dinyatakan dalam satuan jiwa.

d. Pengeluaran Pemerintah (X5)

(61)

3.1.1. Teknik Penentuan Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang terdiri dari Pendapatan Perkapita, Tabungan Perkapita, Kesempatan Kerja, dan Pengeluaran Pemerintah. Dari kelima sampel tersebut akan diketahui tingkat perkembangan, sehingga tingkat kemiskinan dapat diketahui. Pada penelitian ini data yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah Pendapatan Perkapita, Tabungan Perkapita, Kesempatan Kerja, Pengeluaran Pemerintah selama 15 tahun mulai tahun 1993 sampai dengan 2007. Data tersebut merupakan data berkala (time series).

3.1.2. Teknik Pengumpulan Data a. Jenis Data

(62)

b. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi yang terkait, diantaranya adalah :

a. Kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur b. Kantor Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur.

Adapun teknik yang dilakukan dilapangan dalam rangka memperoleh data adalah :

 Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara pengamatan

secara langsung terhadap hal-hal yang dianggap perlu dan ada hubungannya langsung dengan peneliti.

 Dokumentasi, yaitu pengumpulan data skunder dengan cara

mencatat langsung data instansi-instansi yang berhubungan dengan penelitian.

3.2. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis 3.2.1. Teknik Analisis

(63)

Metode regresi linier berganda menggunakan rumus dibawah ini :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + U (Sudrajat, 1988 : 79).

Dimana :

Y = Tingkat Kemiskinan X1 = Pendapatan Perkapita

X2 = Tabungan Perkapita

X3 = Kesempatan Kerja

X4 = Pengeluaran Pemerintah

β0 = Konstanta

β1, β2,β3,β4,β5 = Koefisiensi Regresi X1, X2, X3, X4, X5

U = Variabel pengganggu yang tidak dimasukkan dalam perhitungan.

Selanjutnya apakah model analisis tersebut diatas layak dipergunakan dalam pembuktian serta untuk mengetahui variabel bebas mampu menjelaskan vriabel terikat maka perlu mengetahui nilai R² (Koefisien Determinasi) dengan menggunakan rumus :

Jumlah kuadrat regresi

= –––––––––––––––––––– ………...……….(Sudrajat, 1998).

(64)

3.2.2. Uji Hipotesis a. Uji F

Selanjutnya untuk menguji pengaruh secara simultan variabel independen terhadap variabel dependen, maka digunakan uji F dengan kriteria :

H0 :β1 = β2 = X3 = X4 = 0 (variabel independen secara keseluruhan

tidak ada pengaruh dengan variabel dependen).

Hi : β1 ≠β2≠β3 ≠ X4 ≠ 0 (variabel independen secara keseluruhan

ada pengaruh dengan variabel dependen).

R² /k

F – hitung = –––––––––––––––––– ..……….(Sudrajat, 1988 : 124). (1 - R² ) / (n - k -1)

Dengan sederajat kebebasan (k, n - k - 1) Dimana :

k = jumlah parameter regresi n = jumlah sampel

Kaidah pengujian :

a. Apabilla Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima,

(65)

b. Apabilla Fhitung < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak,

yang artinya secara simultan variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

Gambar 2 : Distribusi Daerah, Penerimaan/Penolakan Hipotesis secara Simultan

Daerah penerimaan H0

Daerah penolakan H0

Sumber : Sudrajat, MSW, 1988, Mengenal Ekonometrika Pemula, cetakan kedua, CV Armiko bandung, hal 94.

F tabel

b. Uji t

Dan apabila telah diuji secara simultan, maka akan diuji pengaruhnya secara parsial/individu melalui uji-t dengan kriteria : H0 : β1 ≠ 0 (variable independent tidak ada pengaruh terhadap

variabel dependen)

Hi : βi ≠0 (variable independent ada pengaruh terhadap

variabel dependen)

β

i

t

hit

= ––––––

..………...(Sudrajat, 1998 : 95).

(66)

Dengan derajat kebebasan sebesar n-k Dimana :

β = Koefisien regresi

i = Variabel bebas ke I Se = Simpanan baku n = Jumlah sample

k = Banyaknya variable independen Kaidah Pengujian :

a. Apabila thitung > ttabel atau–thitung < ttabel, makaH0 ditolak dan Hi

diterima, yang berarti ada pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.

b. Apabila –ttabel ≤ thitung ≥ ttabel, makaH0 diterima dan Hi ditolak,

yang berarti tidak ada pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.

Gambar 3 : Distribusi Daerah, Penerimaan/Penolakan Hipotesis secara Parsial

Daerah Penolakan Ho Daerah Penolakan Ho

Daerah Penerimaan Ho

- t tabel t tabel

(67)

3.5 Evaluasi Ekonomerik

Regresi linier berganda dengan persamaan :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + U

Persamaan regresi diatas harus bersifat BLUE (best linier unbiased estimator), artinya pengambilan kputusan melalui uji f dan uji t tidak boleh bias. Untuk menghasilkan keputusan yang BLUE maka harus dipenuhi diantaranya tiga asumsi dasar. Tiga asumsi dasar yang tidak boleh dilanggar oleh regresi linier berganda yaitu :

a. Tidak boleh ada Auto korelasi b. Tidak boleh ada Multikolinieritas c. Tidak boleh ada Heteroskedastisitas

Apabila salah satu dari asumsi dasar itu dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak tidak lagi bersifat BLUE (best linier unbiased estimator), sehingga pengambilan keputusan melalui uji f dan uji t menjadi bias.

1. Multikolinier

Persamaan regresi linier berganda diatas diasumsikan tidak terjadi pengaruh antar variabel bebas. Apabila ternyata ada pengaruh linier antar variable bebas, maka asumsi itu tidak berlaku lagi (terjadi bias).

(68)

a. Koefisien determinasi berganda (R square) tinggi. b. Koefisien korelasi sederhananya tinggi.

c. Nilai F hitung tinggi (signifikan).

d. Tapi tidak ada satupun (atau sedikit sekali) diantara variabel bebas yang signifikan.

Akibat adanya multikorenier adalah :

a. Nilai standart error (galat baku) tinggi sehingga taraf kepercayaan (confidence intervalnya) akan semakin melebar. Dengan demikian, pengujian terhadap koefisien regresi secara individu menjadi tidak signifikan.

b. Probabilitas untuk menerima hipotesis H0 diterima (tidak ada

pengaruh terhadap variabel bebas terhadap variabel terikat) akan semakin besar.

Identifikasi secara statistik ada atau tidaknya gejala multikolenier dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi product moment.

2. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara dua observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu (data times series)

(69)

- Y prediksi) pada waktu ke-t (

e

1) tidak boleh ada hubungan dengan

nilai residual periode sebelumnya (

e

t-1). Identifikasi ada atau

tidaknya gejala autokorelasi dapat dilihat dengan menghitung nilai Durbin Watson (d test) dengan persamaan :

N

Σ

(

e

t

e

t -1

t = 2

d

= –––––––––––––––––– ………(Sudrajat, 1988 : 196).

N

Σ

e

t

²

t = 1

Keterangan :

d = nilai Durbin Watson

e

1 = residual pada waktu ke-t

e

t-1 = residual pada waktu ke-t-1 (satu periode sebelumnya)

N = banyaknya data

Banyaknya data times series minimal yang dapat dihitung dengan Durbin Watson adalah enam buah data dalan satu variabel. Tabel Durbin Watson yang lebih lengkap dapat diperoleh di buku

(70)

3. Heteroskedastisitas

Pada regresi linier residual tidak boleh ada hubungan dengan variabel X. Hal ini bisa diidentifikasikan dengan cara menghitung korelasi rank spearman antara residual dengan seluruh variabel bebas. Rumus rank spearman adalah :

Σ

di²

r

s =

1- 6

–––––––––––––

………...(Sudrajat, 1988 : 196).

N

(

- 1)

Keterangan :

d

i = Perbedaan dalam rank antara residual dengan variabel

(71)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis

Secara geografis Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya terletak antara 7° 21’ Lintang selatan dan 112° 36’ Lintang Selatan sampai dengan 112° 54’ Bujur Timur. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter diatas permukaan laut, kecuali di sebelah selatan yang mencapai daerah Lidah Wetan dan Gayungan.

Adapun batas-batas wilayah kota Surabaya antara lain adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Selat Madura. b. Sebelah Timur : Selat Madura. c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo. d. Sebelah Barat : Kabupaten Gresik.

Luas wilayah seluruhnya kurang lebih 326,36 KM² yang terbagi dalam 5 wilayah pembantu Walikotamadya, 28 wilayah kecamatan dan 163 Desa/Kelurahan, secara administrative 5 wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya yaitu :

a. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya pusat meliputi kecamatan Tegalsari, kecamatan Bubutan, kecamatan Genteng, kecamatan Siwalankerto.

(72)

b. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya utara meliputi kecamatan Semampir, kecamatan Krembangan, kecamatan Kenjeran, kecamatan Pabean Cantikan.

c. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya timur meliputi kecamatan Rungkut, kecamatan Tambak Sari, kecamatan Mulyorejo, kecamatan Gunung Anyar, kecamatan Tenggilis Mejoyo.

d. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya selatan meliputi kecamatan Gayungan, kecamatan Jambangan, kecamatan Wonocolo, kecamatan Wonokromo, kecamatan Sawahan, kecamatan Dukuh Pakis, kecamatan Wiyung, dan kecamatan Karang Pilang.

e. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya Barat meliputi kecamatan Tandes, kecamatan Suko Manunggal, kecamatan Asem Rowo, kecamatan Benowo, kecamatan Lakarsantri.

4.1.2. Kependudukan

Kota Surabaya merupakan kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi setelah DKI Jakarta yang merupakan ibukota Negara Indonesia dimana jumlah penduduk kota Surabaya pada tahun 1998 mencapai 2.373.282 jiwa, yang terdiri dari 1.184.834 laki-laki dan 1.188.448 perempuan.

(73)

a. Faktor Geografis dan letak stategis

Surabaya merupakan gerbang utama bagi kawasan Indonesia bagian Timur, memiliki posisi penting dan fasilitas yng menunjang bagi kegiatan perekonomian seperti perdagangan industri, perhubungan, dan perbankan.

b. Faktor Industri

Pertumbuhan dan perkembangan baik industri besar, sedang, kecil, maupun industri kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi arus penyebaran urbanisasi. Hal ini dapat diketahui bahwa wilayah kecamatan yang banyak memiliki industri, tingkat kepadatan penduduk lebih besar di bandingkan dengan wilayah yang jarang industrinya. Dengan besarnya jumlah penduduk akan mempengaruhi terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia di masyarakat, yang perlu di tampung pada berbagai sektor ekonomi.

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

(74)

4.2.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa perkembangan Tingkat Kemiskinan selama 15 tahun (1993-2007) cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi Tingkat Kemiskinan adalah pada tahun 2001 sebesar 3,99 % dan perkembangan terendah adalah pada tahun 2004 sebesar -1,48 %. Tingkat Kemiskinan tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 13,48 % dan Tingkat Kemiskinan terendah pada tahun 2001 sebesar 3,08 %.

Perkembangan Tingkat Kemiskinan dapat disajikan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1 : Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Surabaya periode Tahun 1993-2007

Tahun Tingkat Kemiskinan

( persen )

Perkembangan ( % )

1993 3,08 -

1994 3,52 0,44

1995 3,75 0,23

1996 3,80 0,05

1997 4,16 0,36

1998 4,91 0,75

1999 7,43 2,52

2000 7,31 - 0,12

2001 11,30 3,99

2002 11,11 - 0,19

2003 13,48 2,37

2004 12,00 - 1,48

2005 11,70 - 0,30

2006 10,38 - 1,32

2007 9,07 - 1,31

(75)

4.2.2. Perkembangan Pendapatan Perkapita

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Pendapatan Perkapita selama 15 tahun (1993-2007) cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi Pendapatan Perkapita adalah pada tahun 1998 sebesar 46,11 % dan perkembangan terendah adalah pada tahun 2005 sebesar 0,10 %. Pendapatan Perkapita tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar Rp.19567,64 Ribuan dan Pendapatan Perkapita terendah pada tahun 1996 sebesar Rp. 3206,31 ribuan.

Tabel 2 : Perkembangan Pendapatan Perkapita di Surabaya periode Tahun 1993-2007

Tahun Pendapatan Perkapita ( Ribuan Rupiah )

Perkembangan ( % )

1993 3206,31 -

1994 3755,21 17,11

1995 5081,93 35,33

1996 6009,52 18,25

1997 6790,20 12,99

1998 9921,56 46,11

1999 10806,39 8,91

2000 12110,20 12,06

2001 16162,90 33,46

2002 16688,55 3,25

2003 17285,27 3,57

2004 18136,41 4,92

2005 18155,64 0,10

2006 19155,19 5,50

2007 19567,64 2,15

(76)

4.2.3 Perkembangan Tabungan Perkapita

Perkembangan Tabungan Perkapita dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 yang menjelaskan bahwa pada tahun 1993 sampai 2007, Perkembangan terbesar Tabungan Perkapita pada tahun 2000 sebesar 146,16 % dan terendah sebesar -22,07 % terjadi pada tahun 2004, Tabungan Perkapita terbesar pada tahun 2000 sebesar Rp.7.357.358 dan Tabungan Perkapita yang terendah yaitu pada tahun 1993 sebesar Rp.803.456.

Tabel 3 : Perkembangan Tabungan Perkapita di Surabaya periode Tahun 1993-2007

Tahun Tabungan Perkapita ( Rupiah )

Perkembangan ( % )

1993 803.456 -

1994 849.172 5,68

1995 896.824 5,61

1996 1.133.062 26,34

1997 1.343.668 18,58

1998 1.307.552 - 2,68

1999 2.384.591 82,37

2000 5.869.966 146,16

2001 2.606.966 - 55,58

2002 5.967.685 128,91

2003 7.729.868 29,52

2004 6.023.749 - 22,07

2005 5.648.832 - 6,22

2006 7.034.153 24,52

2007 7.357.358 4,59

Gambar

Gambar 1 :  Paradigma pendapatan perkapita, tabungan perkapita, kesempatan
Gambar 2 : Distribusi Daerah, Penerimaan/Penolakan Hipotesis secara Simultan
Gambar 3 :  Distribusi Daerah, Penerimaan/Penolakan Hipotesis secara  Parsial
Tabel 1 : Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Surabaya periode Tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

Tuhan Yang Maha Esa, untuk setiap bimbingan, penyertaan, hikmat dan kekuatan dalam proses menyelesaikan skripsi ini.. Almarhum papa dan mama, untuk setiap kasih sayang, dukungan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan

Agar dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta disertai bukti ilmiah mengenai bagaimana pengaruh label halal tanggal dan kedaluwarsa terhadap keputusan

Ditemukan masalah lain yaitu masih rendahnya pemahaman peserta terhadap maksud dan tujuan PKH, peserta menerima bantuan tunai tidak sesuai jadwal yang telah

Sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan Seleksi Mahasiswa Berprestasi (MAPRES) tingkat universitas, dengan hormat kami mohon saudara untuk menjadi Juri Presentasi pada:.

Penelitian yang dilakukan oleh Primanada (2010), meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam membeli rumah di perumahan bukit semarang baru

Proses soda adalah sistem pemasakan alkali yang menggunakan tekanan tinggi dan menambahkan NaOH yang berfungsi sebagai larutan pemasak dengan perbandingan 4:1 terhadap