• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI KECAMATAN WANASALAM KABUPATEN LEBAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI KECAMATAN WANASALAM KABUPATEN LEBAK"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

Muhamad Rafiudin 6661091508

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

Skripsi ini kupersembahkan

untuk kedua orang tua,

(6)

v

ABSTRAK

Muhamad Rafiudin. NIM. 6661091508. 2016. Implementasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I, Leo Agustino, Ph.D; Dosen Pembimbing II, Deden M. Haris, M.Si.

Penanggulangan kemiskinan merupakan masalah yang harus segera diatasi oleh pemerintah untuk segera dituntaskan dan diputus rantai penyebabnya. Penanggulangan kemiskinan saat ini masih berorientasi material sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskannya salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari PKH, yaitu meningkatkan kualitas hidup Keluarga Sangat Miskin (KSM) dengan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Dengan dilaksanakannya PKH diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, serta kesehatan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan implementasi PKH, menemukan faktor pendukung dan penghambat dan upaya mengatasinya di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak. Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekaan implementasi kebijakan Daniel Mazmanin dan Paul Sabtier. Teori tersebut melihat variabel mudah tidaknya masalah dikendalikan, variabel kemampuan kebijakan dalam menstruktur proses implementasi secara tepat dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil penelitiannya menunjukan implementasi PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak banyak mengalami kendala dan belum diimplementasikan dengan baik. Sosialisasinya belum menyeluruh, sehingga kurang mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait. Pendataan peserta penerima PKH belum menyeluruh, masih banyak yang belum mendapatkan PKH. Pendampingan belum dilakukan dengan baik dan penggunaan dana PKH oleh RTSM kerap digunakan diluar ketentuan. Untuk jangka panjang belum bisa merubah pola pikir dan perilaku RTSM secara siginifikan.

(7)

vi

ABSTRACT

Muhamad Rafiudin. NIM 6661091508. 2016. Implementation of the Family

Hope Program In District Wanasalam Lebak. Major of Public Administration Science. The Faculty of Social Science and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. 1st Advisor, Leo Agustino, Ph.D; 2nd Advisor, Deden M. Haris, M.Si.

Taking poverty out is a problem that should be overcome and cut the chain of its cause by the government as soon as possible. Nowadays, taking poverty out is still only be orientated on the financial so the continuity depends on the available of financial and commitment of the government. Family of expectancy program is one of the policies that have been done by the government to overcome the poverty. Prosperity is the final goal of the family of expectancy program; it is to improve quality of living of very poor families by accessing health and education service. By doing family of expectancy program, it is expected to improve standard of living in social economic, education, and health of society especially poor society. The goal of this research is to describe the implementation of family of expectancy program, to discover supporting and obstruction factors and the solution in Wanasalam District Lebak Regency. This research used theory of implementation approach of policy of Daniel Mazmanin and Paul Sabtier. This theory sees the variable in controlling the problem. Variable of ability of policy in structuring the implementation process accurately and variable from outside of policy that influence the implementation process. This research used descriptive methodology with qualitative approach. The data collecting was done by monitoring and interview thoroughly. The result of this research showed that the implementation of family of expectancy program in Wanasalam District Lebak Regency had many obstructions and had not been done well yet. The socialization had not thoroughly, so that it could not get supports from the stakeholder. There were still many poor families had not got the assistance of this program. The guidance had not done well yet. The use of financial support of this program was out of its function. For long-range, it could not change mindset and attitude of poor family significantly.

(8)

vii Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan jalan bagi peneliti untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk melaksanakan penelitian pada konsentrasi Kebijakan Publik pada program Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Implementasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak”.

Peneliti menyadari bahwa sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, karena hal ini tidak lepas dari keterbatasan, kemampuan dan ilmu pengetahuan yang peneliti miliki. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun peneliti harapkan dengan senang hati, sehingga dapat bermanfaat dan berguna untuk perbaikan dan penyempurnaan tugas ini di masa yang akan datang. Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, pengarahan, serta kerendahan hati. Untuk ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini terutama kepada:

(9)

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Bapak Kandung Sapto Nugroho S.Sos., M.Si, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Ibu Listyaningsih, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Adminitrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Bapak Riswanda, Ph.D., sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara serta sebagi Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

8. Bapak Leo Agustino, Ph.D, Sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan serta petunjuk sehingga tersusunnya Skripsi ini. 9. Bapak Deden M Haris, M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan serta petunjuk sampai tersusunnya Skripsi ini. 10. Seleuruh Dosen pada Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu

(10)

banyak memberikan pengetahuan kepada peneliti selama masa perkuliahan.

11. Untuk Ibu dan Bapak tercinta yang selalu berada disamping peneliti dan selalu memberikan dukungannya dan selalu mendo’akan peneliti setiap saat.

12. Untuk teman IMC (Ikatan Mahasiswa Cilangkahan) dan teman-teman KUMABI (Keluarga Mahasiswa Binuangeun) yang telah memberikanku semangat, memotivasi dan mengisi hari-hariku dengan penuh canda tawa dan selalu membutaku rindu saat masa perkuliah. 13. Serta semua pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

Peneliti ucapakan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Semoga amal baik yang telah diberikan kepada peneliti mendapat limpahan yang setimpal dari Allah SWT dan senantiasa skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi semua pihak.

Akhirnya kata peneliti berharap agar skripsi ini dapat membawa kemaslahatan bagi semua umat. Amin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Serang, 31 Agustus 2016 Peneliti

(11)

x HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN ORISINALITAS ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 16

1.3 Batasan Masalah ... 16

1.4 Rumusan Masalah ... 17

1.5 Tujuan Penelitian ... 17

1.6 Manfaat Penelitian ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR ... 15

2.1 Landasan Teori ... 19

(12)

2.1.2 Implementasi Kebijakan ... 21

2.1.3 Konsep Program Keluarga Harapan ... 33

2.2 Penelitian Terdahulu ... 46

2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 50

2.4 Asumsi Dasar ... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 50

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 50

3.2 Fokus Penelitian ... 51

3.3 Lokasi Penelitian ... 51

3.4 Instrumen Penelitian ... 58

3.5 Informan Penelitian ... 63

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 64

3.7 Jadual Penelitian ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1 Deskripsi Gambaran Umum Kecamatan Wanasalam ... 70

4.2 Deskripsi Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kecamatan Wanasalam ... 77

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

4.3.1 Sosialisasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Wanasalam ... 81

4.3.2 Proses Pendataan Penerima PKH di Kecamatan Wanasalam ... 85

(13)

4.3.4 Proses Distribusi Dana PKH Kepada RTSM di Kecamatan

Wanasalam ... 94

4.3.5 Implementasi Bentuk Program PKH di Kecamatan Wanasalam ... 99

4.3.6 Kondisi Rumah Tangga Sangat Miskin di Kecamatan Wanasalam Sejak Diimplementasikan PKH ... 110

4.3.7 Faktor Penghambat Implementasi PKH di Kecamatan Wanasalam ... 114

4.3.8 Faktor Pendukung Implementasi PKH di Kecamatan Wanasalam ... 118

4.4 Deskripsi Analisis Implementasi Program PKH di Kecamatan Wanasalam ... 121

4.4.1 Variabel Mudah Tidaknya Masalah Yang Dikendalikan 123 4.4.2 Variabel Kemampuan Kebijakan Dalam Menstruktur Proses Implemtasi Secara Tepat ... 132

4.4.3 Variabel di Luar Kebijakan Yang Mempengaruhi Proses Implementasi ... 141

BAB V PENUTUP ... 145

5.1 Kesimpulan ... 145

5.2 Saran ... 148

(14)

LAMPIRAN ... 154

Lampiran 1 : Panduan Wawancara ... 154

Lampiran 2 : Surat-Surat Izin Penelitian ... 155

Lampiran 3 : Identitas Informan ... 157

Lampiran 4 : Dokumentasi Foto-foto Penelitian ... 159

(15)

xiv

Tabel 2.1 Indeks dan Komponen Bantuan Tahun 2015 ... 41 Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 69

Tabel 4.1 Jumlah Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2014 ... 74

Tabel 4.2 Jumlah Penerima Bantuan PKH per-Desa di Kecamatan Wanasalam Tahun 2015 ... 79

(16)

xv

Gambar 1.1 Tingkat Kemiskinan per-Provinsi di Indonesia, September 2015 10 Gambar 1.2 Persentase Penduduk Miskin Banten Menurut Kabupaten/Kota

September 2013 ... 11

Gambar 1.3 Perkembangan IPM Lebak ... 12

Gambar 1.4 Statistik Kemiskinan Lebak ... 12

Gambar 2.1 Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier ... 30

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ... 52

Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaksi ... 65

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Wanasalam ... 70

(17)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan fenomena yang dialami hampir oleh setiap Bangsa dan Negara di dunia. Fenomena tersebut sering dirasakan oleh negara terbelakang dan negara berkembang, termasuk di dalamnya Negara Indonesia yang konon masih dalam kategori berkembang. Dalam konteks, siapa yang bertanggung jawab terhadap fenomena kemiskinan di atas? Apakah Negara dalam hal ini pemerintah, atau manusia secara individu yang bertanggungjawab atas kemiskinan tersebut? Pertanyaan tersebut mungkin telah banyak menjadi perdebatan siapa saja, tidak hanya di kalangan akademisi. Namun peneliti tidak akan membahas jauh dari pertanyaan di atas, yang pasti peneliti akan mendasarkan pada konstitusi Bangsa dan Negara Indonesia yang sudah sejak lama disepakati. Artinya poin pertama yang diambil oleh peneliti, atas jawaban pertanyaan di atas, adalah Negara bertanggung jawab atas fenomena kemiskinan yang terjadi.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, bahwa dibentuknya Negara Indonesia dan dibentuknya pemerintah negara Indonesia salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdasakan kehidupan bangsa. Artinya dalam pemahaman tersebut, fenomena kemiskinan adalah tanggungjawab dari Negara yang dalam hal ini adalah pemerintah, adapun kutipan preambul UUD 1945 tersebut sebagai berikut di bawah ini:

(18)

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…..”

Bicara kesejahteraan biasanya tidak akan lepas dari fenomena kemiskinan, bahwa Bangsa Indonesia dalam konstitusi di atas sudah sejak lama ingin lepas dari cengkraman kemiskinan. Fenomena kemiskinan pada bangsa Indonesia di alami sudah jauh sebelum kemerdekaan baik terjadi pada saat zaman kerajaan maupun zaman kolonial, dan hingga saat ini bangsa ini belum lepas dari cengkrman kemiskinan. Telah banyak upaya untuk mengatasi lilitan kemiskian yang dilakukan oleh pemerintah dari rezim ke rezim. Fenomena tersebut seperti sebuah penyakit yang sudah akut, namun masih sedang dalam perawatan serta masih di dilakukan eksperimen penyembuhannya. Bahkan, upaya pemerintah dalam mengatasi kemskinan sudah banyak di dukung dengan aturan, misalnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Kesejahteraan Sosial, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, serta aturan lainnya dalam mendukungya. Namun, dalam implementasinya perlu pengujian dan evaluasi yang holistik, karena realitasnya fenomena kemiskinan masih nampak dijumpai di depan mata.

(19)

penanggulangan sosial. Program ini memberikan bantuan dana kepada RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin). Sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, sejak tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah mengklaim melaksanakan Program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) yang dikenal dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH) tersebut.

Bantuan dana PKH yang diberikan berorientasi kepada kemapanan untuk memenuhi kewajibannya dibidang pendidikan dan kesehatan. Tidak semua RTSM bisa menjadi peserta PKH, hanya keluarga yang mempunyai ibu hamil dan/atau terdapat anak yang berusia 0-15 tahun yang dapat mengaksesnya (pkh.kemsos.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=117&Itemi d=468, diakses 13 November 2015). Program perlindungan sosial ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup Keluarga Sangat Miskin (KSM) dengan syarat mengakses layanan kesehatan dan pendidikan tertentu yang telah ditetapkan bagi Keluarga Sangat Miskin (KSM). Dengan pemberian akses ini, diharapkan terjadi perubahan perilaku yang mendukung tercapainya kesejahteraan sosial.

(20)

dan anak prasekolah anggota Keluarga Sangat Miskin (KSM); (4) meningkatkan kondisi sosial ekonomi para peserta PKH (pkh.kemsos.go.id/index. php?option=com_content&view=article&id=117&Itemid=468, diakses 13

November 2015).

Setelah di atas diuraikan secara singkat dasar dan tujuan digulirkannya PKH, program tersebut selintas sangatlah ideal menjadi salah satu jalan solusi mengatasi rantai kemiskinan yang sudah akut pada Bangsa Indonesia. Seperti telah dipaparkan beberapa paket kebijakan yang dibuat dalam Undang-undang dalam mendukung peningkatan kesejateraan masyarakat dan PKH adalah salah satu turunan dalam bentuk relaisasi program paket kebijakan tersebut. Maka patut dikaji dan diteliti kebijakan tersebut agar terlihat dan terbukti bahwa kebijakan tersebut apakah ampuh dalam mengatasi kemisikinan yang di klaim pemerintah sudah berhasil? Klaim keberhasilan tersebut, seperti dikutip Kompas.com

(http://regional.kompas.com/read/2015/12/26/19142891/Dipuji.Bank.Dunia.Keme

nsos.Naikkan.Jumlah.Penerima.PKH. diakses 26 Desember 2016), bahwa PKH dianggap sukses menekan angka kemiskinan dan bahkan Kementerian Sosial akan memperluas cakupan penerima PKH, seperti dikatakan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Kenaikan pada jumlah penerima itu tidak lain didukung atas pujian dari Bank Dunia dan Kemensos berencana menaikkan penerima PKH hingga 6 juta orang pada tahun 2016 ini. Sementara, alokasi anggaran PKH dari APBN pada tahun 2016 yang digulirkan untuk PKH adalah sebesar Rp 12 triliun dari Rp 15,3 triliun total anggaran Kementrian Sosial (Kemensos RI),

(21)

rogram.Penanggulangan.Kemiskinan.Dinilai.Belum.Berhasil, diakses 12 Januari

2016).

Berbagai klaim keberhasilan program kebijakan PKH baik dari pemerintah sendiri maupun dari pihak lain, telah banyak diapresiasi berbagai kalangan, bahkan dari lembaga dunia seperti Bank Dunia. Peneliti mencoba menelusuri implementasi program tersebut dengan melakukan pengumpulan data literatur tertulis baik dari buku-buku, informasi media dan observasi lapangan.

Peneliti menemukan permasalahan implementasi PKH, ketika PKH diluncurkan pada tahun 2007, penerima manfaat program yang dipilih merupakan rumah tangga yang sangat miskin, yaitu mereka yang berada di bawah 80 persen garis kemiskinan resmi saat itu. Hingga tahun 2012, program ini hanya menjangkau 1,5 juta keluarga, dibanding total 60 juta keluarga miskin di Indonesia serta sekitar 6,5 juta keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Seharusnya PKH mampu menjangkau sesuai jumlah kelaurga miskin yang berkembang. Pada tahun 2012 PKH akhirnya beroperasi di seluruh provinsi di Indonesia, meskipun masih belum menjangkau seluruh kabupaten di tiap provinsi. Perluasan cakupan PKH merupakan tantangan program jika ingin memberikan dampak besar bagi penduduk miskin Indonesia, (Suahasil Nazara dan Sri Kusumastuti Rahayu, 2013:1).

(22)

dari total jumlah penduduk, (http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/ view/id/1119, diakses 03 Januari 2016). Program PKH mengindikasikan dua hal. Pertama, bantuan PKH dianggap tak berhasil menaikan kualitas hidup penerimanya. Kedua, program tersebut tidak dilandaskan atas keadilan sosial. Karena hingga 2015 penerima PKH masih berjumlah 3,5 juta penerima. Sementara masih ada puluhan juta yang belum tersentuh PKH dan belum ada indikator yang pas dalam mengukur keberhasilan PKH

(http://nasional.kompas.com/read/2016/01/11/11340821/Habiskan.Dana.Besar.P

rogram.Penanggulangan.Kemiskinan.Dinilai.Belum.Berhasil, diakses 12 Januari

2016).

(23)

(http://bantenraya.com/utama/184-banten-raih-penghargaan-pkh-award, diakses 02 Januari 2016).

Klaim keberhasilan Pemerintah Provinsi Banten terhadap keberhasilan PKH, perlu diuji dengan indikator yang jelas, karena jumlah kemiskinan di Banten hingga saat ini masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015:1) jumlah kemiskinan di Provinsi Banten, hampir tidak berubah bahkan cenderung meningkat. Jumlah kemisikinan di Banten pada September 2014 berjumlah 649.19 ribu orang dan pada September 2015 berjumlah sebesar 690.67 ribu orang. Artinya dari perbandingan tersebut terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 41.48 ribu selama satu tahun. Hal ini berbalik dengan klaim keberhasilan program PKH di Provinsi Banten yang mampuh menekan angka kemiskinan.

Berangkat dari permasalahan kebijakan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti bagaimana implementasinya di masyarakat. Tidak hanya itu, berangkat dari beberapa fenomena permasalahan dari realisasi PKH tersebut di beberapa daerah termasuk di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Berbicara implementasi kebijakan, menurut Van Meter dan Van Horn dalam Leo Agustino (2014:138) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”. Leo Agustiono menyimpulkan bahwa implementasi

(24)

hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri (Leo Agustiono, 2014:138).

Berangkat dari konsep implementasi kebijakan di atas, PKH sejauh ini pelaksanaan kegiatannya sudah berlangsung 7 tahun di Indonesia dan di Wilayah Banten sendiri sudah berjalan 6 tahun. Sementara bicara hasil dari implementasi PKH ini masih belum memuaskan. Maka untuk melihat permasalahan tersebut lebih dalam, perlu mengkaji apa hambatan dan permasalahan dalam realisasi kebijakan PKH tersebut. Misalnya dari observasi awal dan wawancara dengan beberapa penerima PKH dan Pendamping pelaksana PKH, bahwa beberapa wilayah di Kecamatan Wasalam Kabupaten Lebak desanya terletak jauh dari akses pendidikan dan kesehatan. Kemudian, meskipun akses tersebut sudah dijamin bebas biaya, RTSM menjadi kesulitan dalam memperoleh akses tersebut.

Pendamping PKH juga belum melaksanakan beberapa fungsi dari tujuan PKH itu sendiri, yaitu meyadarkan RTSM akan pentingnya pendidikan dan kesehatan. Sehingga program PKH tersebut berjalan berkesinambungan. Ditemukan masalah lain yaitu masih rendahnya pemahaman peserta terhadap maksud dan tujuan PKH, peserta menerima bantuan tunai tidak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dalam Pedoman Umum PKH, masih adanya kasus anak putus sekolah atau tidak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta pelayanan kesehatan bagi RTSM yang menggunakan kartu PKH masih mengalami kendala.

(25)

cukup untuk biaya sekolah anak, adanya kesalahan memfungsikan dana PKH yang diberikan kepada RTSM untuk hal-hal tidak dianjurkan dalam program PKH. Selain itu permasalahan lain adalah kurang tepat sasaran dalam melakukan pendataan RTSM sebagai penerima manfaat PKH, akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan bagi peserta PKH belum dipandang meningkat status kesehatan dan gizinya terhadap ibu hami, ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan Anak Pra Sekolah Anggota RTSM.

(26)

Gambar 1.1

Tingkat Kemiskinan per Provinsi di Indonesia, September 2015

Sumber: BPS (Laporan Eksekutif Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Banten September 2015)

(27)

5,71 persen pada September 2012 menjadi 5,74 persen pada Maret 2013. Sementara itu jumlah penduduk miskin meningkat dari 642,88 ribu jiwa menjadi 652,36 ribu jiwa pada periode yang sama.

Gambar 1.2

Persentase Penduduk Miskin Banten Menurut Kabupaten/Kota September 2013

Sumber: Statistik Daerah Provinsi Banten 2015

(28)

Pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin Banten kembali meningkat mencapai 702,40 ribu orang (5,90 persen), atau bertambah 53,21 ribu orang (8,20 persen).

Gambar 1.3

Perkembangan IPM Lebak

Gambar 1.4

Statistik Kemiskinan Lebak

Sumber: Statistik Daerah Lebak 2015 Sumber: Statistik Daerah Lebak 2015

IPM merupakan indeks komposit nilai rata-rata dari gabungan tiga komponen penilai kualitas sumber daya manusia, digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah. Masing-masing indeks dari komponen IPM memperlihatkan seberapa besar tingkat pencapaian yang telah dilakukan selama ini dibidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

(29)

manusia Kabupaten dan Kota lainnya di Banten. Naiknya persentase penduduk miskin pada tahun 2014 terjadi di semua Kabupaten / Kota di Propinsi Banten. Kenaikan harga BBM pada tahun 2014 mungkin menjadi salah satu pemicunya.

Ketertarikan peneliti menentukan wilayah peneltitian dengan lokusnya di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak, karena Kabupaten Lebak merupakan salah satu Kabupaten tertinggal di Provinsi Banten. Selain itu, Kabupaten Lebak merupakan daerah otonom terluas di Provinsi Banten dengan luas wilayah 330.507,18 Km² atau 330.507,18 Ha yang secara administratif membawahi 28 Kecamatan, 340 Desa serta 5 Kelurahan. Menurut Pemerintah Provinsi Banten, dari 161 kecamatan di Provinsi Banten seluruhnya terdapat warga miskin, namun wilayah terparah atau menjadi kantong-kantong kemiskinan ada di 15 kecamatan, di seluruh Provinsi Banten. Adapun di Kabupaten Lebak kantong-kantong kemiskinan dari 28 kecamatan, penduduk miskin terbanyak berada di empat kecamatan yaitu: Kecamatan Cimarga, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Wanasalam dan Kecamatan Malingping (http://wongbanten.com/ inilah-kecamatan-kantong-kemiskinan-di-provinsi-banten/, diakses 02-02-2016).

Berdasarkan permasalahn kemiskinan di atas, Wanasalam merupakan salah satu kecamatan yang menjadi kantong kemiskinan di Kabupaten Lebak. Kecamatan Wanasalam juga tingkat pendidikan dan kesehatannya masih rendah. Kualitas pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan. Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu, keluarga dan masyarakat luas. Negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi warga negaranya untuk semua lapisan, (dalam “ketetapan

(30)

Kondisi kualitas kesehatan di Kecamatan Wanasalam terbilang masih rendah jika mengacu pada data-data statisitik berikut ini, dimana sarana dan fasilitas kesehatan di Wanasalam pada tahun 2014 tercatat 2 unit Puskesmas, 3 unit Pustu, 1 unit Poskesdes, dan 65 unit Posyandu. Tenaga medis yang ada di Kecamatan Wanasalam pada tahun 2014 ada peningkatan, meskipun rasionya masih rendah, tetapi hanya ada 1 orang dokter umum yang bertugas di dua puskesmas, sementara dokter yang domisili tidak ada, Bidan sebanyak 26 orang (27 persen), Paramedis lain/Perawat sebanyak 19 orang (20 persen) dan dukun (paraji) terlatih dan tidak terlatih masing-masing sebanyak 49 orang dan 3 orang atau sekitar (53 persen) dari total paraji yang ada. Sementara jumlah penduduk yang harus dilayani untuk mendapatkan akses kesehatan adalah sebanyak 53.606 orang (BPS Kabupaten Lebak 2015: 60-61).

Indikator derajat kesehatan masyarakat, antara lain adalah angka kematian bayi, bayi lahir mati, status gizi, angka kematian bulin. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan keluarga, pola hidup sehat, kebersihan lingkungan serta sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Data BPS (2015), tercatat pada tahun 2014 angka penderita Gizi buruk di Kecamatan Wanasalam sebanyak 11 orang (0,26 persen), gizi kurang 207 orang (4,95 persen), gizi baik sebanyak 3.798 orang (94,79 persen) dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 13 orang. Adapun angka lahir mati sebanyak 27 kasus, naik sekitar 77,77 persen dibanding tahun 2013 lalu, yang hanya terjadi 11 kasus (BPS Kabupaten Lebak, 2015: 61-62).

(31)

sumber daya manusia yang siap dan menunjang dalam upaya pembangunan di segala sektor, sebagai upaya mengentaskan angka kemiskinan.

Ketersedian instansi pendidikan di Kecamatan Wansalam dari 13 desa secara keseluruhan, pada tahun 2014-2015 dari TK sampai SMA mencapai 73 sekolah, terdiri dari TK/RA 10 buah, SD 25 buah, MI 17 buah, SMP 5 Buah, SMA 2 buah, MA 2, dan SMK 3 buah. Kualitas pendidikan berkaitan erat dengan ketersediaan fasilitasnya, salah satu indikatornya adalah rasio murid-guru, rasio murid-guru untuk tingkat SD 23 sisiwa dibimbing oleh 1 guru, untuk rasio tingkat SMP 12 sisiwa dibimbing oleh 1 guru, untu rasio tingkat SMA 8 orang siswa dibimbing 1 guru. Artinya rasio di atas masih normal menurut perhitungan Suryadarama yang dirujuk oleh perhitungan BPS (2015:5), karena rasio yang ideal adalah kurang dari 25 orang siswa.

Mengacu pada permasalahan pendidikan di atas belum semua indikator tersajikan dari kualitas pendidikan yang terjadi di wanasalam dan hal itu menggambarkan kemajuan kesejahteraan masyarakat Kecamatan Wanasalam. Namun, dari gambaran tersebut peneliti menganggap sudah cukup alasan untuk melakukan penelitian terhadap fenomena implementasi kebijakan Program PKH khusunya di Kecamatan Wansalam. Mengacu pada indikasi permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam dengan judul penelitiannya adalah: “Implementasi Program Keluarga Harapan

(32)

1.2 Identifikasi Masalah

1. Kemiskinan di Provinsi Banten yang masih sangat komplek

2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih kurang terampil menyebabkan kemiskinan semakin komplek

3. Rendahnya Keberhasilan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan

4. Keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan dengan indikator yang jelas sehingga kemiskinan tidak bersifat temporer tetapi permanen

5. Penanggulangan kemiskinan saat ini masih berorientasi material sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah

6. Angka partisipasi sekolah kuhususnya bagi anak-anak RTSM masih belum optimal. PKH bertujuan agar anak RTSM dapat mengakses pendidikan lebih baik.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, dan agar cakupan penelitian ini tidak terlalu luas dan tidak banyak menimbulkan penafsiran, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Implementasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak.

(33)

3. Faktor-faktor penghambat yang memengaruhi implementasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak.

4. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dari Program Keluarga Harapan

1.4 Rumusan Masalah

1. Bagaimana implementasi PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak?

2. Bagaimana bentuk program PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak?

3. Bagiamana kondisi RTSM di Kecamatan Wanasalam sejak diimplementasikannya PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak?

1.5 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak.

2. Untuk mengetahui bentuk program PKH di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak.

(34)

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan atau manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah

wawasan, pengetahuan, dan memberikan kegunaan untuk pengembengan Ilmu Administrasi Negara dan kebijakan publik. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penelitian berikutnya yang sejenis.

(35)

19

DAN ASUMSI DASAR

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kebijakan Publik

Menurut Budi Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia” , “kebijakan

ekonomi Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang

lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Budi Winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan

grand design.

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.

(36)

Eulau dan (dalam Agustino, 2006:6) Kenneth Prewitt mendefinisikan kebijakan publik sebagai “keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan

pengulangan (repetisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut”.

Tokoh lain yang mendefinisikan kebijakan publik adalah Carl Friedrich

(dalam Agustino, 2006:7) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai :

“Serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.

James Anderson dalam bukunya Public Policy Making yang dikutif (dalam Agustino, 2006:7), mendefinisikan kebijakan publik sebagai:

“Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan”.

David Easton (dalam Agustino, 2006:8), mendefinisikan kebijakan publik sebagai otoritas dalam sistem politik, yaitu: “para senior, kepala tertinggi,

eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja dan sebagainya”.

(37)

Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

2.1.2 Implementasi Kebijakan

Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:87) berarti pelaksaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kamus Webster, merumuskan bahwa to implement

(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryingout

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practicia effect to

(menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus disertakan sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu itu.

(38)

diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai didalam konsep, muncul dilapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi.

Di bawah ini akan diuraikan beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian implementasi kebijakan publik, seperti yang dikutif Leo Agustino (2006:153-154) dalam bukunya ”Politik dan Kebijakan Publik”, diantaranya

adalah Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino, 2006:153), mendefiniskan implementasi kebijakan yaitu:

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.

Definsi implemnetasi berikutnya diungkapkan Daniel Mazmanian dan

Paul Sabatier (dalam Agustino, 2006:153), yang mendefinisikan Implementasi kebijakan adalah:

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang -undang, namun dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.

(39)

“Tahap implementasi melibatkan serangkaian kegiatan yang meliputi pemberitahuan kepada publik mengenai pilihan kebijakan yang diambil, instrumen kebijakan yang digunakan, staf yang akan melaksanakan program, pelayanan-pelayanan yang akan diberikan, anggaran yang telah disiapkan dan laporan-laporan yang akan dievaluasi”.

Selain itu, Menurut Howlett dan Ramesh (Suharto, 2007:36) mengatakan bahwa,, “Implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh hakekat dan perumusan

masalah kebijakan itu, keragaman masalah yang ditangani oleh pemerintah, ukuran kelompok-kelompok sasaran, dan tingkat perubahan perilaku yang diharapkan”.

Dari definisi implementasi yang dicetuskan oleh tokoh di atas, maka implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai pelaksanaan dari proses perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya dan tetap berpegangan terhadap tujuan yang ingin dicapai.

Studi implementasi kebijakan mempunyai dua pendekatan dalam memehaminya. Pendekatan implementasi (Agustino, 2006:155) tersebut sebagai berikut :

1. Pendekatan top-down

Implementasi dalam pendekatan top-down, dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun diambil pada tingkat pusat. Pendekatan top-down bertolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Maka inti pendekatan top-down

(40)

pelaksana (administratur atau birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

2. Pendekatan bottom-up

Pendekatan bottom-up dalam implementasi kebijakan, diasumsikan bahwa masalah dan persoalaan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat

Dalam pendekatan implementasi kebijakan menurut Merilee S. Grindle (dalam Agustino, 2006:155), keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy, yaitu sebagai berikut:

1. Content of Policy menurut Merilee S. Grindle adalah a. Interest Affected (kepentingan yang mempengaruhinya)

Interest Affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan.

b. Type of Benefits (tipe manfaat)

Type of benefits berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)

(41)

Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

Site of decision making, pada bagian ini menjelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

d. Program Implementer (pelaksana program)

Program implementer, dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan.

e. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)

Resources Committed, pelaksanaan suatu kebijakan harus didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

2. Context of Policy menurut Merilee S. Grindle adalah

a. Power; Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat)

Kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan.

b. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)

Lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan berpengaruh terhadap keberhasilannya

(42)

Dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan, hal lain yang dirasa penting adalah kepatuhan dan respon dari pelaksana.

Dalam perkembangannya Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (dalam Agustino, 2006:144), yang memperkenalkan model implementasi kebijakan publik. Model yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel. Dimana variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang digarap a. Kesukaran teknis

Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya adalah kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah.

b. Keberagaman perilaku yang diatur

Semakin beragamnya perilaku yang diatur, maka asumsinya semakin beragam pelayanan yang diberikan, sehingga semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas.

(43)

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implemtasi secara tepat a. Kejelasan dan konsistensi tujuan

Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang cermat dan disusun secara jelas skala prioritas kepentingan para pejabat pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula bahwa

output kebijakan dari badan-badan pelaksana akan sejalan dengan petunjuk tersebut.

b. Dipergunakannya teori kausal

Memuat teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi kebijakan c. Ketepatan alokasi sumberdana.

Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan formal.

d. Keterpaduan hierarki antara lembaga pelaksana

Ketika kemampuan untuk menyatu padukan dinas, badan, dan lembaga alpa dilaksanakan, maka koordinasi antar instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

e. Aturan pelaksana dari lembaga pembuat pelaksana

(44)

menggariskan secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.

f. Perekrutan pejabat pelaksana

Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang disyaratkan demi tercapainya tujuan.

g. Keterbukaan terhadap pihak luar

Faktor lain yang juga mempengaruhi implementasi kebijakan adalah sejauh mana peluang-peluang terbuka bagi partisipasi para aktor diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi.

3. Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi

Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah-wilayah hukum pemerintah dalam kondisi sosial, ekonomi dan teknologi sangat signifikan berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu eksternal faktor juga menjadi hal penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya mengejawantahkan kebijakan publik

b. Dukungan publik

Hakikat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhan dukungan dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam proses pelaksanaan kebijakan publik

(45)

Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik akan sangat berhasil apabila ditingkat masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan pada mereka. Ada semacan kearifan lokal yang dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan implementasi kebijakan publik. Dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber daya yang dimiliki oleh warga masyarakat.

d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan pelaksana melalui penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antar lembaga untuk menyukseskan implementasi kebijakan menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.

(46)

Gambar 2.1

Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier

Peneliti dalam menganalisa implementasi kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk Rumah Tangga Sangat Miskin di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak mengacu pada model implementasi kebijakan yang dikemukakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (dalam Agustino, 2006:144). Peneliti menganggap teori dari kedua tokoh tersebut cocok untuk menilai dan menganalisa implementasi program PKH yang diimplementasikan di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak.

Mudah Tidaknya Masalah Dikendalikan

1. Dukungan teori dan teknologi

2. Keragaman perilaku kelompok sasaran

3. Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki

Kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi

1. Kejelasan dan konsistensi tujuan

2. Dipergunakannya teori kausal

3. Ketepatan dan alokasi sumberdana

4. Keterpaduan hierarki diantara lembaga pelaksana

5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana

6. Perekrutan pejabat pelaksana

7. Keterbukaan terhadap pihak luar

Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi

1. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi

2. Dukungan public

3. Sikap dan risorsis dan konstituen

4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi

5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari

(47)

Kedua tokoh di atas mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel: Pertama, variabel mudah atau tidaknya masalah yang digarap dari program PKH, artinya peneliti menganalisa program PKH dari tingkat kemudahan dan kesulitannya dalam implementasi kebijakannya, yang mencakup; (a) kesukaran teknis atau mudahnya persyaratan teknis, yang di dalamnya termasuk kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja dalam mencapai tujuan PKH; (b) keberagaman perilaku yang diatur dalam program PKH, baik prilaku penerima PKH maupun pejabat pelaksana PKH; (c) tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki, yaitu merubah pola hidup peserta program PKH atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) untuk menjadi lebih baik tingkat kesejahteraanya.

(48)

analisa yang dilihat mengenai kejelasan dan konsistensi tujuan dan kepatuhan kelompok sasaran pada aturan yang telah ditetapkan dari lembaga-lembaga pelaksana dalam implementasi program PKH. (f) Perekrutan pejabat pelaksana, artinya analisanya melihat fenomena para pejabat pelaksana PKH menjalankan kesepakatan atau kepatuhan pada komitmen yang telah disyaratkan demi tercapainya tujuan PKH. (g) Keterbukaan terhadap pihak luar, artinya menganalisa keterlibatan pihak luar dari lembaga di luar pelaksana program PKH ikut terlibat dalam mendukung tujuan program PKH.

(49)

indikasi penting keberhasilan kinerja implemntasi program PKH di Kecamatan Wansalam kabupaten Lebak.

2.1.3 Konsep Program Keluarga Harapan

Konsep kesejahteraan sosial merupakan tujuan akhir dari ketercapaiannya Program Keluarga Harapan. Dengan dilaksanakannya Program Keluarga Harapan ini diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, serta kesehatan masyarakat khususnya di Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak, karena Kabupaten Lebak adalah salah satu Kabupaten tertinggal di Provinsi Banten.

a. Definisi Kesejahteraan Sosial

Segel dan Bruzy (Astriana Widyastuti, 2009:2-3) menyatakan, bahwa kesejahteraan merupakan titik ukur bagi suatu masyarakat bahwa telah berada pada kondisi sejahtera. Kesejahteraan tersebut dapat diukur dari kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. Kesejahteraan ini diwujudkan agar warga negara tersebut dapat hidup layak dan mampu men-gembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik, jika masyarakat sejahtera berarti masyarakat tersebut mengalami kemakmuran.

(50)

Mengukur tingkat kesejahteraan suatu bangsa dapat dilihat dari Index Pembangunan Sumber Daya Manusia (HDI = Human Development Index). HDI merupakan suatu indikator komposit yang terdiri dari derajat kesehatan, tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi keluarga. Indikator yang dipakai di bidang kesehatan adalah angka harapan hidup sedangkan untuk pendidikan adalah angka membaca pada orang dewasa yang dikombinasikan dengan angka masuk SD, SMP dan SMA, serta untuk kemampuan ekonomi dipakai Produk Domestik Bruto (PDB), (Dwi dalam Astriana Widyastuti, 2009:2-3).

Memahami konsep kesejahteraan tidak hanya dilihat dari sisi absolut (kesejahteraan ekonomi) semata. Bervariasinya konsep kesejahteraan dimasyarakat dapat berarti bahwa kesejahteraan memiliki pemahaman yang bersifat relatif. Konsep kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari kualitas hidup masyarakat, dimana kualitas hidup masyarakat dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik maupun ekonomi masyarakat tersebut. Disimpulkan bahwa pengertian ukuran kesejahteraan awalnya hanya diukur melalui aspek fisik dan

income saja, namun berkembangnya zaman saat ini kesejahteraan diukur melalui beberapa indikator-indikator seperti kesehatan, pendidikan dan sosial ekonominya. Indikator kesejahteraan dalam masyarakat itu sendiri menurut publikasi BPS, menyarankan tujuh komponen untuk mengukur tingat kesejah-teraan yaitu kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial budaya.

(51)

hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

b. Definisi Program Keluarga Harapan (PKH)

Salah satu kebijakan sosial yang dikembangkan oleh pemerintah adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Sebagai imbalannya RTSM diwajibkan memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan.

PKH tidak sama dan bukan merupakan lanjutan program Subsidi/Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sudah berlangsung selama ini dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya beli pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan sebagai upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk miskin sekaligus sebagai upaya memotong rantai kemiskinan yang terjadi selama ini. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, program serupa sangat bermanfaat bagi keluarga miskin, terutama keluarga dengan kemiskinan kronis.

Tujuan utama dari PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkankualitas sumber daya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin.

(52)

MDGs). Setidaknya ada beberapa komponen tujuan MDGs yang didukung melalui PKH, Tujuan tersebut sebagai upaya mempercepat pencapain target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas:

1) Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM; 2) Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM;

3) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM;

4) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi RTSM.

RTSM yang menjadi sasaran PKH adalah sekelompok orang yang tinggal satu atap, baik yang terikat oleh pertalian darah (keluarga batih) maupun tidak (keluarga luas) yang memiliki pendapatan per kapita per bulan di bawah garis fakir miskin Rp. 92.192. Kriteria Peserta PKH adalah RTSM/KSM yang memenuhi satu atau beberapa kriteria yaitu memiliki: a) Ibu hamil/ibu nifas/anak balita, b) Anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan dasar (anak pra sekolah), c) Anak SD/MI (usia 7-12 tahun), d) Anak SLTP/ MTs (usia 12-15 tahun), e) Anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. (Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementrian Sosial RI, 2013).

d. Tujuan Program Keluarga Harapan (PKH)

(53)

Dengan pemberian akses ini, diharapkan terjadi perubahan perilaku yang mendukung tercapainya kesejahteraan sosial.

Dalam jangka pendek dana bantuan ini diharapkan mampu mengurangi beban pengeluaran rumah tangga (dampak konsumsi langsung), dan dalam jangka panjang merupakan investasi generasi masa depan yang lebih baik melalui peningkatan kesehatan dan pendidikan (dampak pengembangan modal manusia). Artinya, PKH diharapkan sebagai program yang mampu memutus rantai kemiskinan antar generasi. Secara khusus, tujuan PKH adalah: 1) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi Peserta PKH. 2) Meningkatkan taraf pendidikan Peserta. 3) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Keluarga Sangat Miskin (KSM). 4) Meningkatkan kondisi sosial ekonomi para peserta PKH.

e. Ketentuan-ketentuan Progran Keluarga Harapan (PKH)

Peserta PKH adalah RTSM/KSM yang sesuai dengan kriteria BPS dan memenuhi satu atau beberapa kriteria program, yaitu: (1) Ibu hamil/ibu nifas/anak balita, (2) Anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan dasar (anak pra sekolah), (3) Anak SD/MI (usia 7-12 tahun), (4) Anak SLTP/ MTs (usia 12-15 tahun), dan (5) Anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar.

(54)

Sedangkan nama yang tercantum dalam kartu peserta PKH KSM adalah perempuan dewasa (ibu dan anak perempuan dewasa). Dalam hal kondisi tertentu dapat digantikan oleh kepala keluarga. Kartu tersebut digunakan untuk menerima bantuan PKH dan bantuan sosial lainnya. Peserta PKH diikutsertakan pada program bantuan sosial lainnya, antara lain program Jamkesmas, BSM, Raskin, KUBE, BLSM, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (ASKESKIN), Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN), dan sebagainya.

Ada beberapa kewajiban Peserta PKH yang harus dipenuhi yaitu: a) Kewajiban Bidang Kesehatan.

Peserta PKH yang telah memiliki kartu PKH,wajib memenuhi persyaratan kesehatan yang sudah ditetapkan dalam protokol pelayanan kesehatan bagi peserta PKH. Peserta PKH yang dikenakan persyaratan kesehatan adalah peserta yang memiliki ibu hamil/nifas, anak balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan SD. Adapun Protokol Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PKH adalah:

(55)

empat kali setahun, dan mendapatkan Vitamin A satu kali (khusus untuk anak usia 6-11 bulan). Anak usia 12-59 bulan harus mendapatkan Vitamin A, dua kali setahun pada bulan Februari dan Agustus, ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan dan dideteksi perkembangan dua kali setahun setiap enam bulan. Anak usia 5-6 tahun ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan dan dideteksi perkembangan dua kali setahun setiap enam bulan. Ikutkan anak pada kelompok pendidikan Anak Usia Dini (PAUD/Early Childhood Education) apabila di lokasi/ posyandu terdekat terdapat fasilitas PAUD.

Kedua, ibu hamil dan ibu nifas: selama kehamilan, ibu hamil harus melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan sebanyak empat kali yaitu satu kali pada usia kehamilan 3 bulan I, 1 kali pada usia kehamilan 3 bulan II, 2 kali pada 3 bulan terakhir, dan mendapatkan suplemen tablet Fe. Ibu melahirkan harus ditolong oleh tenaga kesehatan/medis. Ibu nifas harus melakukan pemeriksaan/diperiksa kesehatannya setidaknya tiga kali pada minggu I, IV dan VI setelah melahirkan.

b) Kewajiban bidang Pendidikan

(56)

sekolah dasar dan sejenisnya, maka yang bersangkutan dikenakan verifikasi bidang pendidikan. Peserta PKH yang memiliki anak usia 15-18 tahun dan belum menyelesaikan pendidikan dasar, maka diwajibkan anak tersebut didaftarkan/terdaftar ke satuan pendidikan reguler atau non-reguler (SD/MI, atau SMP/MTs, atau Paket A, atau Paket B).

Anak peserta PKH yang bekerja atau menjadi pekerja anak atau telah meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama, maka anak tersebut

harus mengikuti program remedial yakni mempersiapkannya kembali ke satuan pendidikan. Program remedial ini adalah layanan rumah singgah

atau shelter yang dilaksanakan Kementerian Sosial untuk anak jalanan dan Kemenakertrans untuk pekerja anak, (Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementrian Sosial RI, 2013).

f. Sasaran Penerima Bantuan PKH

(57)

Penggunaan bantuan PKH ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, karenanya bantuan akan lebih efektif dan terarah, jika penerima bantuannya adalah ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan). Dalam kartu peserta PKH yang tercantum adalah nama ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Hal ini dikarenakan apabila dana bantuan program PKH ini diterima oleh kepala keluarga, maka bantuan tersebut dikhawatirkan tidak akan digunakan untuk kebutuhan anak akan tetapi bantuan tersebut dapat disalah gunakan untuk kererluan yang lain seperti contoh dibelikan rokok atau pun hal lainnya.

Pengecualian dari ketentuan di atas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh kepala keluarga. Kepesertaan PKH tidak menutup keikutsertaan-nyan RTSM pada program-program pemerintah lainnya pada klaster I , seperti: Jamkesmas, BOS, Raskin dan BLT (Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementrian Sosial RI, 2013).

f. Besaran Bantuan

Besaran bantuan untuk setiap RTSM peserta PKH tidak disamaratakan, tidak seperti BLT. Akan tepai mengikuti skenario bantuan yang disajikan pada tabel berikut.

(58)

Dengan adanya perbedaan komposisi anggota keluarga RTSM, maka besar bantuan yang diterima setiap RTSM akan bervariasi. Contoh variasi besar bantuan, baik per tahun maupun per triwulan, berdasarkan komposisi anggota keluarga. Apabila besar bantuan yang diterima RTSM melebihi batas maksimum yang ditetapkan sebagaimana digambarkan pada contoh 7 tabel 5, maka untuk dapat menjadi peserta PKH seluruh anggota RTSM yang memenuhi persyaratan harus mengikuti ketentuan PKH.

Peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen kesehatan dan pendidikan, akan dikenai sanksi berupa pengurangan bantuan sebesar 10% dari bantuan yang diterima setiap tahapan dengan ketentuan sebagai berikut: a) Seluruh anggota keluarga Peserta PKH selama tiga bulan berturut-turut tidak memenuhi komitmen maka peserta PKH tidak dapat menerima bantuan pada tahapan bantuan tersebut. b) Salahsatu dari anggota rumah tangga/keluarga tidak memenuhi kewajiban di bidang kesehatan atau bidang pendidikan, maka akan dikurangi sebesar 10% pada tahapan bantuan (Pedoman Umum PKH, 2013).

g. Aturan Kebijakan dan Dasar Hukum Penyelenggaraan PKH

(59)

Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, BPS, TNP2K, dan Pemerintah Daerah. Sumber dana PKH berasal dari APBN. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya PKH dijalankan berdasarkan peraturan di bawah ini:

1) Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010, tentang Kesejahteraan Sosial. 3) Undang-Undang nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan Fakir Miskin. 4) Peraturan Presiden nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan.

5) Inpres nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan poin lampiran ke 1 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Program Keluarga Harapan.

6) Inpres nomor 1 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi poin lampiran ke 46 tentang Pelaksanaan Transparansi Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Bersyarat Bagi Keluarga Sangat Miskin (KSM) Sebagai Peserta Program Keluarga Harapan (PKH).

Adapun Dasar Pelaksanaan PKH:

(60)

2) Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 02A/HUK/2008 tentang "Tim Pelaksana Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2008" tanggal 08 Januari 2008.

3) Keputusan Gubernur tentang "Tim Koordinasi Teknis Program Keluarga Harapan (PKH) Provinsi/TKPKD".

4) Keputusan Bupati/Walikota tentang "Tim Koordinasi Teknis Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten/Kota/TKPKD".

5) Surat Kesepakatan Bupati untuk Berpartisipasi dalam Program Keluarga Harapan

Sesuai dengan Peraturan Presiden RI No. 15 tahun 2010 tentang percepatan penaggulangan kemiskinan dan dengan Instruksi Presiden No. 3 tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan maka ditetapkan:

a. Strategi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskian adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah pendududk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. Strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya: 1) mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, 2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin, 3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro dan Kecil, 4) mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

(61)
(62)

Tujuan Pembanggunan Milenium.

c. Tim Koordinasi Penanggulanagan Kemiskinan Provinsi dan Kabupatran/Kota

Percepatan penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dengan menyusun kebijakan dan program yang bertujuan mensinergikan kegiatan penanggulangan kemiskinan di berbagai kementrian/lembaga, serta melakukan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaannya. Untuk melaksanakan percepatan penaggulangan kemiskinan dibentuk Tim Koordinasi penanggulangan kemiskinan Provinsi, dan Koordinasi penaggulangan kemiskian Kabupaten/Kota yang disebut TKPK Provinsi yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur, dan TKPK Kabupaten/Kota yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Tata kerja dan penyelarasan kerja, serta pembinaan kelembagaan dan sumberdaya manusia TKPK Provinsi dan TKPK Kabupaten/Kota dilaksanakan dan diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri.

2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran literasi yang di temukan peneliti, mengenai upaya penelitian tentang Program Keluarga Harapan (PKH) dalam hal ini berkaitan kebijakan maupupun implementasinya, diantarnaya adalah penelitian Skripsi

Ajeng Kusuma Dewanti (2012:1) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tentang “Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan di Kecamatan Gedangsari

Kebupaten Genungkidul”. Hasil penelitiannya menunjukan kegiatan yang

(63)

adalah (1) pendataan peserta atau targeting, (2) sosialisasi, (3) pertemuan kelompok dan pemutakhiran data, (4) kegiatan posyandu, (5) pencairan dana bantuan. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi berjalannya program PKH di Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul diantaranya: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Kendala-kendala yang dihadapi: (1) masih banyak peserta PKH yang belum atau tidak memiliki kartu Jamkesmas. (2) masih banyak service provider yang mengalami kesulitan dalam memferivikasi kesehatan dan pendidikan peserta, (3) masih belum memiliki kantor pos sebagai tempat pencairan dana, (4) masih ada peserta yang belum melaksanakan kewajibannya, (5) kendala sosio-kultural, (6) kendala geografis, (7) kendala teknis dalam pencairan dana bantuan.

Kesamaannya dengan yang dikaji peneliti saat ini adalah sama-sama mengkaji tentang implementasi kebijakan PKH, namun perbedaannya hanya lokous atau tempat penelitiannya berbeda. Kelebihannya penelitian tersebut mampuh melihat fenomena dari implementasi program PKH tersebut. Namun belum menggambarkan implikassi program PKH pada sasaran program PKH tersebut.

Berikutnya adalah penelitian Skripsi, Lusan Solekhati (2014:1), FISIP Universitas Gandjah Mada (UGM), tentang “Evaluasi Implementasi Kebijakan PKH (Program Keluarga Harapan) Studi Kasus Kebijakan PKH di Desa Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta”. Penelitian tersebut mengevaluasi sejauh

(64)

(empat) faktor atau instrumen yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan pemerintah dapat diimplementasikan dengan baik, yakni; nodality, authority,

treasure, dan organization. Faktor nodality mencakup isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan respon dari sasaran kebijakan. Faktor authority mencakup kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana kebijakan. Faktor treasure mencakup pemanfaatan jasa pendamping dalam mendampingi keluarga sangat miskin. Dan faktor organization mencakup karakteristik dari lembaga pelaksana PKH.

Hasil penelitinnya bahwa implementasi PKH sudah terbukti berhasil untuk melindungi keluarga miskin, namun terdapat beberapa kendala ketika program tersebut diterapkan di desa Tepus. Misalnya beberapa wilayah desa Tepus yang terletak jauh dari akses pendidikan dan kesehatan. Sehingga meskipun akses tersebut sudah dijamin bebas biaya, RTSM menjadi kesulitan dalam memperoleh akses tersebut. Pendamping juga belum melaksanakan beberapa fungsi vitalnya yaitu meyadarkan RTSM akan pentingnya pendidikan dan kesehatan. Yang mana ini menjadi faktor kunci agar tujuan PKH berkesinambungan.

Gambar

Gambar 1.1 Tingkat Kemiskinan per Provinsi di Indonesia, September 2015
Gambar 1.2 Persentase Penduduk Miskin Banten
Gambar 1.3 Gambar 1.4
Gambar 2.1 Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari bantuan PKH ini dipergunakan oleh peserta PKH untuk kesehatan ibu hamil, balita dan pendidikan dasar, hal tersebut didukung oleh jawaban responden dan para informan, dapat

Dampak dari adanya bantuan dari pemerintah yaitu PKH (Program Keluarga Harapan) yang dirasakan masyarakat kurang mampu dan memenuhi persyaratan sebagai penerima bantuan

Belum efektifnya Program ini di karenakan masih kurang tepat sasaran dalam penentuan peserta PKH selain itu kurang efektifnya pengalokasian dana PKH oleh peserta PKH

Respon Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) Terhadap Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) Di Desa Landuh.. Kecamatan Rantau Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Respon Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) Terhadap Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Landuh Kecamatan Rantau

Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut dapat dikatakan bahwa Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan bantuan tunai bersyarat yang diberikan tidak secara cuma-cuma, namun

PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga RTS diwajibkan melaksanakan

Dari sisi masyarakat penerima PKH, kualitas SDM juga menjadi perhatian,serta diperlukan pemahaman tentang pemanfaatan dana bantuan PKH perlu dimaksimalkan serta adanya pengawasan antar