• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM

PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM

RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

NIK MIRAH MAHARDANI

NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

\ ii

SKRIPSI

DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM

PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM

RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

NIK MIRAH MAHARDANI

NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM

PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM

RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NIK MIRAH MAHARDANI

NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang

Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul Depenalisasi Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Pidana dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H, Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH, MH Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. Gede Yusa, SH, MH Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Kepada Dekanat Fakultas Hukum Universitas Udayana periode sebelumnya.

(8)

\ viii

7. Bapak Dr, I Gede Artha, SH.,MH sebagai Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

8. Bapak I Made Tjatra Yasa , SH., MH, Dosen Pembimbing I atas waktu,

bimbingan, masukan serta motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.

9. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti SH., MH, Dosen Pembimbing II

atas waktu, bimbingan, dan masukan yang telah diberikan selama

penyelesaian skripsi.

10.Untuk orang tua penulis, I Gede Putu Winartha dan Ni Wayan Etnawati atas

dukungan semangat, materi dan doa selama penulis menempuh studi di

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11.Untuk orang terkasih Muhammad Zainal Abidin, S.H yang telah memberikan

semangat serta motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

12.Untuk sahabat “kapak tujeng”, Ni Made Asri Mas Lestari, Gede Angga

Prawirayuda, Made Mas Maha Wihardana, I Gst Ngr Satria Wibawa, dan

Zhafran Raihan Zaky.

13.Untuk sahabat “SMA”, Ni Made Dwidayanti Martini, Kadek Yuliantari, Anak

Agung Gede Ariska Amd.com, Ni Putu Diah Purnama Dewi Amd. Rad dan

teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

dukungan dan motivasi.

(9)

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan

hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap bertanggung jawab terhadap isi

skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Denpasar, 10 Mei 2016

(10)

\ x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN . ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

(11)

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA 2.1 Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi ... 23

2.1.1 Pengertian Penalisasi ... 23

2.3.1 Pengertian Penyalahguna Narkotika ... 32

2.3.2 Pecandu Narkotika ... 33

BAB III PENGATURAN

DEPENALISAI BAGI

PECANDU NARKOTIKA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF SAAT INI 3.1 Pengaturan Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika di Indonesia dalam KUHP ... 37

3.2 Pengaturan Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika di Indonesia dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 37

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG DEPENALISASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DI MASA YANG AKAN DATANG 4.1 Perkembangan pemikiran tentang depenalisai dalam hukum Pidana ……….. 48

(12)

\ xii

4.3 Kebijakan hukum pidana tentang depenalisasi bagi pecandu

narkotika di masa yang akan datang ……….. 55

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

(13)

ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Depenalisasi Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana. Latar belakang diangkatnya judul ini karena angka pecandu narkotika sudah semakin tinggi dan perlu adanya suatu suatu solusi baru untuk menanggulangi tingginya angka pecandu narkotika di Indonesia. Adapun masalah yang diangkat adalah Pengaturan depenalisasi pada KUHP dan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan pengaturan depenalisasi di masa yang akan datang. Metode yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif yaitu norma kabur. Hasil dari analisa dari penelitian ini adalah, pada KUHP belum mengakomodir depenalisasi sedangkan padaUU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terdapat ketidakjelasan norma untuk pecandu narkotika dalam hal penjatuhan pidana atau diwajibkan untuk rehabilitasi, dan depenalisasi dimasa yang akan datang dapat disiasati dengan diakomodir pada RKUHP karena kesinkronan tujuan dari RKUHP dengan konsep depenalisasi itu sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

KUHP dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai hukum positif di Indonesia terdapat norma kabur tentang pengaturan depenalisasi terhadap pecandu narkotika. Depenalisasi dapat disiasati dengan menambahkan kebijakan hukum pidana tentang depenalisasi untuk pecandu narkotika pada RKUHP di masa yang akan datang atau memperjelas pengaturan yang telah berlaku..

(14)

\ xiv

Abstract

The title of this research is Depenalisation As the Criminal Law Policy For Narcotic Addicts in the Framework of Criminal Law Reform. The background this title is the number of drug addicts has been increasing and we need for a new solution to solve a high number of drug addicts in Indonesia. As for the problem is depenalisation at Criminal Code and statute No. 35 Year 2009 on Narcotics and depenalisation in the future. The method used is a normative legal research methods are the blurr norm . The results of the analysis of this research is, on the Criminal Code depenalisation is not accommodated while statute UU No. 35 Year 2009 on Narcotics there are ambiguities norm for drug addicts in terms of sentences or required for rehabilitation, and depenalisation future can be cleard by accommodated on RKUHP because the purpose of RKUHP with depenalisation

concept itself. The conclusion of this research is the Criminal Code and Statute No.

35 Year 2009 on Narcotics as positive law in Indonesia are multiple interpretation norms depenalistioni for drug addicts. Depenalisation can be added at criminal law policy on depenalisation for drug addicts in RKUHP in the future or clarify in the positive law.

(15)
(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia memiliki beragam suku dan budaya, begitu juga pengaturan hukumnya,

terdapat hukum yang mengatur untuk kepentingan publik dan kepentingan privasi atau individu.

Hukum yang mengatur tentang kepentingan publik di Indonesia salah satunya adalah Hukum

Pidana. Hukum Pidana merupakan sekumpulan aturan-aturan yang mengatur tentang kejahatan

maupun pelanggaran. Berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan tersebut harus

dibuat menjadi lebih baik lagi agar selalu dapat menaggulangi kejahatan maupun pelanggaran

pidana yang dewasa ini terus berkembang.

Seperti halnya kejahatan narkotika yang terus berkembang hingga mencapai tahap yang

mengkhawatirkan. Pengguna narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk tujuan

pengobatan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.1 Hal ini ditunjukan dengan

berdasarkan laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba tahun

anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1

juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok

usia 10-59. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan

BNN (Badan Narkotika Nasional) dengan Puslitkes UI (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas

Indonesia ) dan diperkirakan jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015.

2

1

Koesno, Adi, 2014, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Malang, Setara Press, h. 4

(17)

Akibat maraknya perdagangan ilegal narkoba, para penyalahguna narkoba baik pecandu

maupun kurir mendapat narkoba dari perdagangan ilegal dan terjadi peningkatan dampak

negatif pada sisi sosial, kesehatan dan ekonomi. Penyalahgunaan narkoba berdampak pada

sosial sangatlah besar, yaitu mendorong tindak kejahatan dan meningkatkan kerawanan sosial

yang berkitan dengan kebutuhan ekonomi untuk membiayai pemakaian narkoba yang berharga

mahal hingga mendorong mereka (pecandu) melakukan tindakan kejahatan seperti pencurian

dan perampokan.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat

penegak hukum dan telah banyak putusan hakim terhadap kasus narkotika, semakin intensifnya

upaya yang dilakukan penegak hukum terhadap kejahatan narkotika semakin meningkat pula

peredaran dan penyalahgunaan narkotika tersebut.3 Pendekatan dengan cara menghukum dapat

membuat orang-orang yang membutuhkan perawatan menyembunyikan diri, karena para

pecandu khawatir jika muncul justru akan ditangkap dan si sisi lain memenjarakan pecandu

narkotika dapat menghambat proses perawatan dan pengobatan karena sebagian besar narapidana

dan tahanan merupakan katagori pemakai yang jika dilihat dri aspek kesehatan mereka

sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan sebuah langkah

yang kurang tepat karena telah megabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan, dan hal ini

juga didukung dengan kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak mendukung karena, dampak

negatif dari prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan

kesehatan pecandu narkotika.

Faktanya yang diperangi adalah para korban tersebut, yang harusnya mendapat

(18)

menumbangkan musuh yang sebenarnya (produsen dan pengedar gelap napza), malah

menimbulkan banyak sekali korban di pihak kita sendiri (warga masyarakat).4 Berkaitan dengan

masalah pecandu dan penyalahguna narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum

pidana yang memposisikan pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika sebagai korban,

bukan pelaku kejahatan. Mengingat pecandu narkotika merupakan Self-victimizing victims,

yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku sekaligus yang menjadi korban.5 Pecandu

narkotika menderita ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya

sendiri.

Ketakutan pecandu untuk tidak melapor juga didukung dengan stigmatisasi dari

masyarakat yang menganggap pecandu narkotika merupakan pelaku kejahatan dan hal ini justru

menjadi upaya memusuhi anggota masyarakat yang terlanjur menggunakan narkotika.

Masyarakat tidak menyukai pemalas dan anak urakan, walaupun dia bukan pengguna napza,

apalagi pendosa dan pelaku kejahatan. Dalam merespon aturan hukum, secara alamiah orang

yang melakukan tindakan yang dinilai salah atau jahat akan bersembunyi dari masyarakat saat

melakukan kegiatan tersebut. Namun dalam merespons stigma, bersembunyi tidak mengubah

banyak hal, karena dia akan merasa sebagai pelaku kriminal dan pendosa sepanjang waktu,

bahkan saat tidak melakukan kegiatan itu stigma memiliki dampak yang panjang dan merusak.6

4Patri Handoyo, 2014, War On Drugs Refleksi Tranformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan

Narkoba di Indonesia,Bandung, Swatantra Penerbit buku & Rumah Cemara Bangdung.h. 85

5

Maya Indah S, 2014, Pelindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Edisi

Kedua,Prenadamedia Group, Jakarta, h. 35

(19)

Sehingga dirasa perlu adanya suatu terobosan barua atau solusi baru untuk menanggulangi

tingginya angka pemakai narkotika di Indonesia.

Dewasa ini telah berkembang konsep dekriminalisasi dan depenalisasi. Dekriminalisasi

artinya suatu perbuatan yang semula termasuk tindak pidana tetapi kemudian dipandang

sebagai sesuatu prilaku biasa. Sedangkan depenalisasi berarti suatu perbuatan yang semula

termasuk perbuatan yang harus di pidana, ancaman pidana ini dihilangkan tetapi masih

dimungkinkan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum

administrasi. Depenalisasi ini dapat menjadi suatu cara atau bentuk solusi untuk menanggulangi

kejahatan narkotika khususnya pecandu narkotika.

Terlepas dari depenalisasi , sebenarnya produk hukum untuk pengguna apza di Indonesia

sudah diterbitkan sejak 1971, berupa Intruksi Presiden yang masih menggabungkan

penanggulangan bahaya narkotika dengan hal-hal lain yang dianggap mengancam keamanan

Negara. Hingga dari beberapa kali dikeluarkannya produk hukum, pada akhirnya lahirlah

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika). UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan penambahan

kekerasan dari dua UU Narkotika sebelumnya.

Selain penambahan berat ancaman hukuman pidana penjara dan denda hingga miliaran

rupiah terhadap pecandu narkotika pada Pasal 117 dan 127 ayat (1), terdapat juga pada Pasal 54,

55 dan Pasal 103 dalam UU No, 35 Tahun 2009 ini yang menjamin pecandu narkotika untuk

diwajibkannya rehabilitasi medis maupun sosial dalam Pasal 54 dan 55 sedangkan Pasal 103

berisi tentang ketika hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk

(20)

dan hal ini tidak sinkron dengan Pasal 54 itu sendiri yaitu mewajibkan peacandu narkotika untuk

di rehabilitasi medis maupun sosial. Berdasarkan hal tersebut bahwa dalam UU No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika terdapat kekaburan norma, karena terdapat beberapa pasal yang saling

tidak sinkron dan menimbulkan intepretasi yang lebih yang tentunya kekaburan norma ini dapat

menghambat proses penanggulangan kejahatan narkotika itu sendiri khususnya pecandu

narkotika.

Berdasarkan uraian pemikiran-pemikiran pada latar belakang yang telah dikemukakan di

atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Depenalisasi

Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Pidana”.

1.2Rumusan Masalah

Dari Uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang

dianalisa yaitu sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah pengaturan depenalisasi terhadap pecandu narkotika dalam hukum

pidana positif saat ini?

1.2.2 Bagaimana pengaturan depenalisasi di masa yang akan datang bagi pecandu

narkotika?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang meyimpang dan diluar dari permasalahan yang di

bahas maka perlu terdapat pembatasan ruang lingkup dalam pembahannya adalah sebagai

(21)

1.3.1 Yang pertama akan membahas mengenai pengaturan tentang depenalisasi pada

pecandu narkotika di Indonesia yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dan UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

1.3.2 Yang kedua akan membahas mengenai kebijakan hukum pidana tentang

depenalisai pada pecandu narkotika di masa yang akan datang.

1.4Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis menampilkan satu skripsi

yang penilitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis. Dalam rangka menumbuhkan

semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa di wajibkan

untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan

menampilkan beberapa judul penelitian skripsi yang terdahuli sebagai pembanding.

(22)

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis

terjamin orisinalitasnya, dikarenakan aspek penelitian penulis bertitik pada kefokusan Konsep

dipenalisasi sebagai kebijakan terhadap penyalahguna narkotika terkhususnya pecandu narkotika

yang ditinjau dari KUHP dan UU. No.35 Tahun 2009.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian adalah sebagai berikut :

Untuk menganalisis Pengaturan hukum pidana terkait Depenalisasi terhadap

pecandu narkotika dari perspektif KUHP dan UU. No 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengnalisis tentang pengaturan mengenai depenalisasi pada pecandu

narkotika khususnya pada KUHP dan UU No.35 Tahun 2009 tentang

narkotika.

2. Untuk menganalisis perkembangan depenalisasi khususnya terhadap pecandu

narkotika pada peraturan perundangan dan aturan diluar itu, dan perbandingan

depenalisasi di beberapa Negara.

1.6 Manfaat penelitian

(23)

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis

mengenai perkembangan tujuan pemidanaan pada pengguna narkotika.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan

sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi lembaga legislatif dan

eksekutif dalam hal menetapkan aturan yang sesuai dengan perkembangan kejahatan

nantinya.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Pemidanaan Relatif

Menurut teori dari Von Liszt, hukum gunanya untuk melindungi kepentingan

hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan hukum dan

mempunyai tugas untuk untuk menentukan dan menetapkan batas–batas dari kepentingan

hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain.7 Untuk dapat

melaksanakan fungsinya seperti itu, hukum telah menetapkan norma–norma yang haru

ditegakan oleh Negara. Negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah

melanggar norma–norma tersebut. 8

Menurut Von Liszt, ancaman pidana sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan, sedang penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat. MenurutVan Hamel, suatu pidana dapat dibenarkan yatu apabila pidana tersebut :

1. Tujuannya adalah untuk menegakan tertib hukum; 2. Diputuskan dalam batas – batas kebutuhan;

(24)

4. Dijatuhkannya berdasarkan suatu peneltian yang tuntas menurut, criminele

aetiologie dan dengan menghormati kepentingan yang sifatnya hakiki dari

terpidana.9

Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu

pidana, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan

manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja

dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.10

1.7.2 Teori kebijakan kriminal (criminal policy)

Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu

kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan

bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya

merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau

negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.11

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan

termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak

terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari

kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan

kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).12

Marc Ancel merumuskan criminal policysebagai “rational organization of the control of

crime by society”.13Sementara itu, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy

9Ibid

10 Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Rafika Aditama, h. 25

11 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal .1

12 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep

(25)

is the rational organization of the social reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang

dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;

d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.14

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu sebagai berikut:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi

terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di

dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui

perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan

norma-norma sentral dari masyarakat.15

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam

arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal”

dan “non penal”.16

Dengan demikian, dalam melaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan

kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan

(26)

pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan

menanggulangi kejahatan.

1.7.3 Teori kebijakan hukum pidana (penal policy)

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy).

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak

dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan

hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement

policy).17

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan

atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya

guna.18 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal

policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.19

17Barda Nawawi Arief II Op.cit, hal. 24.

18 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.153.

(27)

Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis

kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus

dilaksanakan.20

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy

atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui

beberapa tahap:

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

1.7.4 Teori pembaruan hukum pidana (penalreform)

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan

hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan

suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan

nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi

kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.21 Makna dan

hakikat pembaruan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

(28)

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya

merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk

masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional

(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya

upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal

substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekata nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan

kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan

sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif

hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,

apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)

sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP

Lama atau WvS).22

1.7.5 Teori Perlindungan Hukum

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum

memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan

dilindungi.23 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari

22Barda Nawawi Arief II Op.cit., hal.26.

(29)

suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada

dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara

angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingan masyarakat. Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu

diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.24

Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan

pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif.25 Perlindungan Hukum yang preventif

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap

hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan perlindungan yang resprensif

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga

peradilan.26 Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk

mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga

predektif dan antipatif.27 Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi

hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum.

Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas, dalam

hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan

“perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak

24Ibid, h. 54.

25Laksamana Dian Ariawan , 2015, Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Terhadap Hak Pengguna Provider

(30)

http://digilib.uin-pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan

in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.28 Perlindungan

secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan

perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang

berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan

permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan

teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang undangan yang

berlaku dalam praktek hukum.29

Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari adanya

persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur, kekaburan norma dalam

formulasi dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Skripsi ini ingin melihat relevansi dari suatu aturan dalam kebijakan hukum pidana

di Indonesia terhadap pelaku penyalahguna narkotika tersebut pada UU No. 35 tahun

2009 tentang Narkotika. Sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam

28Ibid, h. 18

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2000, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT Grafindo

(31)

penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang undangan, pendekatan kasus, dan

pendekatan perbandingan.

1. Pendekatan Perundang-undangan

Dalam metode pendekatan perundang–undangan peneliti perlu memahami

hierarki, dan asas–asas dalam peraturan perundang– undangan. Menurut Pasal 1

angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang–undangan

adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk atau ditetapka oleh lembaga Negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang–

undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang

dimaksud sebagai statue berupa legislasi dan regulasi.30 Jadi demikian

pendekaan perundang–undangan adalah pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu

keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan

khusus, misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan

keputusan suatu badan tertentu., tidak dapat digunakan dalam pendekatan

perundang–undangan.31 Pendekatan ini digunakan in case terhadap

(32)

2. Pendekatan Kasus

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh

peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan–alasan hukum yang digunakan oleh

hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi

dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta-fakta materiel.32 Fakta fakta

tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan

tidak tebrukti sebaliknya.33

3. Pendekatan Perbandingan

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi

perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum merupakan

suatu metode studi untuk perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang

tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan

hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan untuk

menciptakan keseragaman hukum dagang. Menurut Holand ruang lingkup

ruang lingkup perbandingan hukum terbatas pada penyelidikan secara

deskriptif. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk

membandingkan hukum suatu negara dengan hukum dengan hukum Negara

lain atau hukum dari sewaktu waktu dengan hukum dari waktu yang lain.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer

32Ibid h. 158

(33)

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

(autoratif). Bahan hukum tersebut terdiri atas (a). peraturan perundang–undangan, (b)

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturang perundang-

undangan, (c) Putusan Hakim.34. Sumber bahan hukum primer yang digunakan pada

Usulan Penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

2. Sumber bahan hukum sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas (a) buku–buku

teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, termasuk

skripsi, tesis, dan disertasi hukum (b) kamus–kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum,

dan (d) komentar komentar atas putusan hakim.35

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah teknik telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian

dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam

penelitian skripsi ini.

(34)

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan

berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik

sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.

Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum

seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran

historis, dan lain sebagainya.

Teknik Kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan

(35)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI DEPENALISASI TERHADAP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA

2.1 Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi

2.1.1 Pengertian Penalisasi

Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang, dengan

sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika

kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikatagorikan sebagai perbuatan

terlarang atau tindak pidana. Langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman sanksi pidana

bagi perbuatan tersebut. Norma pelanggaran tersebut dengan kebijakan kriminalisasi yang

kemudian diikuti dengan penalisasi dan ancaman pidana yang teringan sampai dengan yang

terberat atau pidana.1

Kebijakan penalisasi terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap

perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat dalam

cabang ilmu lain, secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi meniscayakan

pembahasan mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak pidana dan sanksi

pidana merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana.2

Dalam kajian mengenai kriminalisasi terdapat beberapa asas yang digunakan, dimana

asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan

dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisai, asas diartikan

(36)

sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun

pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana.3 Ada

tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan

suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya yakni:

a) Asas legalitas

b) Asas subsidiaritas

c) Asas persamaan/kesamaan

Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang

lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, persoalan kriminalisasi

timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul

pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah

terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan

tersebut, dan dari kriminalisasi tersebutlah muncul penalisasi yang menentukan sanksi apa yang

sesuai terhadap perbuatan pidana tersebut.4

2.1.2 Pengertian dan Tujuan Depenalisai

Pengertian depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam dengan

pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan

dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Di dalam

proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti

sosial itu kepada reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang

3 Ibid

(37)

termasuk kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan. Demikian pula perbuatan zina

dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi diluar proses peradilan.5

Pengertian depenalisai dalam masalah narkotika dibutuhkan pemahaman khusus, salah

satu pengertian yang dilakukan oleh Badan Pemerintah Pusat Uni Eropa yang mengkordinasi

data kebijakan obat atau European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction

(EMCDDA), mendefinisikan depenalisasi sebagai berikut.6

Depenalisation means the use of drugs remains a criminal offense, but a prison sentence

will not be imposed on the ownership or use even when other criminal sanctions (example,

mulct, police records, probation) is possible.

Artinya, depenalisasi berarti penggunaan obat tetap menjadi pelanggaran pidana, tetapi

hukuman penjara tidak lagi dikenakan atas kepemilikan atau penggunaan bahkan ketika sanksi

pidana lain (misalnya, denda, catatan polisi, masa percobaan) tetap dimungkinkan.

Kebijakan depenalisasi ini digunakan untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan

yang pada awal mula sanksinya adalah sanksi pidana penjara kemudian dirubah menjadi sanksi

lain yang berupa tindakan atau treatment demi tercapainya tujuan yang lebih baik lagi. Kebijakan

depenalisasi ini tepat digunakan pada tindak pidana narkotika yaitu masalah pecandu dan

penyalahgunaan narkotika yang pada awalnya sanksi pidana dijatuhkan kepada pecandu dan

penyalahguna kemudian diganti menjadi sanksi lain yang berupa tindakan yaitu rehabilitasi.

Kebijakan depenalisai pada pecandu dan korban penyalahguna narkotika sangat penting untuk

5Supardi. Pro dan Kontra Pidana Mati terhadap Tindak Pidana Narkoba. http/www.bnn.go.id/konten. diakses

(38)

diberlakukan karena di Indonesia sendiri jumlah pecandu dan penyalahguna narkotika semakin

bertambah dari tahun ke tahun.7

2.2. Tinjauan Umum Tentang Narkotika

2.2.1 Pengertian Narkotika

Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau

narcosis, yang berarti menidurkandan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu

narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa–apa. Narkotika berasal dari

perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.8

Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah

obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulakan rasa mengantuk

atau merangsang.9 Sarjono, dalam patologi sosial, merumuskan definisi narkotika sebagai berikut

:narkotika adalah bahan–bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat

menurunkan kesadaran.10 Smith Kline dan French Clinical memberikan definisi narkotika

sebagai berikut :

Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect

on the central system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine,

codien, heroin) and synthetic opiates (meperidin, methadone).

7 Amanda Jesicha Nadia Putri, 2015, Kebijakan Depenalisasi tentang Penanganan Pecandu dan Korban

Penyalhgunaan Narkotika Oleh Hakim Melalui Lembaga Rehabilitasi, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/, diakses pada 2 November 2015.

8 Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 78

(39)

Narkotika adalah zat–zat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan

dikarenakan zat-zat tersebut bekerja memengaruhi sususan pusat saraf. Dalam definisi

narkotika ini sudah termasuk jenis candu, seperti morpin, cocain dan heroin atau zat-zat

yang dibuat dari candu, seperti (merpidin dan methadone).11

Narkotika dalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang

sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penutunan atau penambahan

kesadaran, hilannya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Pada pemberitaan di media massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang

menggunakan narkotika ditemukan sudah meregang nyawa dalam penggunaan dosisnya yang

berlebihan/over dosis. Terdengar pula baimana seorang anak tega menghabisi nya orang tuanya

hanya karena tidak diberi uang padahal sang orangtua mungkin tidak menyadari kalau si anak

adalah pecandu narkotika. Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya penggunaan

narkotika yang perlu ditanggulangi lebih komprehensif. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa

ternyata narkotika sudah dikenal manusia sejak abad prasejarah.kata narkotika pada dasarnya

berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Kurang

lebih tahun 2000 SM di Samarinda ditemukan sari bunga Opion atau kemudian lebih dikenal

dengan sebutan opium (candu = papavor somniferitum). Bnga ini tumbuh subur di daerah tinggi

(40)

diatas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah kedaerah

India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. 12

Sampai saat sekarang ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang

mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia

dapat dengan mudah mendapat narkotika dan obat-obat terlarang, misalnya dari Bandar/pengedar

terhitung banyaknya upaya pemberantasan narkoba yang sudah dilakukan oleh pemerintah,

namun masih susah untuk menghindarkan narkotika dan obat–obat terlarang dari kalangan

remaja maupun dewasa.13 Menjadi bayangan yang telah terewajantahkan dalam bentuk yang

mengerikan dimana anak-anak pada usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah

banyak yang menggunakan bahkan membantu mengedarkan atau memang mengedarkan/menjual

narkotika dan obat –obat terlarang.14

2.2.2 Jenis–Jenis Narkotika

Zat/obat yang dikatagorikan sebagai narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai sebagai berikut.15

a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai

potensi sangat tinggi mengakibatkat ketergantungan), yang menurut lampiran UU. No 35

(41)

2. Opium mentah, yaitu getah yag membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman

Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk

pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya;

3. Opium masak terdiri dari :

I. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu

rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan

peragian dengan atau tanpa penambahan bahan–bahan lain,

dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok

untuk pemadatan;

II. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan

apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;

III. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman yang dari semua genus Erythroxylon dari keluarga

Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk

dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang

menhasilkan kokain secara langsung atau melalui oerubahan kimia;

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat

diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina;

7. Kokaina, metal ester-1-bensoil ekgoniba; dan lainnya.16

b. Narkotika golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan

(42)

pengetahuan serta mempunyai poyensi tinggi mengakibatkan ketergantungan), yang

menurut lampiran UU No.35 Tahun 2009 terdiri dari17: alfasetilmetadol, alfameprodina,

alfaprodina, alfentanil, allilprodina, anileridina, asetilmetadol, benzetidin,

benzilmorfina, betameprodina, betaprodina, betasetilmetadol, bezitramida,

dekstromoramida, diampromida, dietilitiambutena, difenoksilat, difeknoksin,

dihidromorfina, dimefheptanol, dimenoksadol, dimetiltiambutena, dioksafetil butirat,

dipipanona, dan lainnya.18

c. Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU No. 35

Tahun 2009 terdiri dari19: asetilidihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokedeina,

etilmorfina, codeína, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari

narkotika dalam golongan terssebut diatas, campuran atau cedían difeknosin dengan

bahan lain bukan narkotika, campuran atau cedían difeknoksilat dengan bahan lain

bukan narkotika.20

2.3 Pengertian Penyalahguna Narkotika

2.3.1 Pengertian Penyalahguna Narkotika

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 memberi penjelasan

mengenai penyalahguna guna. “Penyalah guna yang dimaksud ádalah orang yang

menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.” Jika diintepretasikan maka

(43)

golongan I, II atau III adalah Penyalah Guna Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa pasal di bagian ketentuan pidana pada UU No. 35 Tahun 2009 yang

menyatakan klausul “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum” baik dari

menggunakan, menyediakan, meyimpan dan lain sebagainya adalah merupakan Penyalah

Guna Narkotika.

Pada Pasal 7 Undng-Undang Noi. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Narkotika

hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi.”selanjutnya di dalam Pasal 8 Undang-Undang tersebut

lebih membatasi penggunaan Narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan untuk reagensia diagnostik,

serta reagensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan

Narkotika melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal

8 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai

hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum sesuai dengan Pasal 1 angka 15 UU No.

35 Tahun 2009 tersebut.

2.3.2 Pecandu narkotika

Pasal 1 angka 13 menyatkan “Pecandu Narkotika adalah orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan

pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, definisi ketergantungan adalah: perihal

(44)

“ketergantungan narkotika” maka dapat diartikan individu bersangkutan tergantung

kepada narkotika baik secara fisik maupun psikisdimana individu bersangkutan belum

dapat memikul tanggungjawab sendiri dikarenakan kondisinya yang masih dalam

ketergantungan. Secara umum pemakaian napza di masyarakat ditentukan oleh tiga

factor, yaitu :

a. Khasiat : Zat tersebut harus memiliki khasiat terhadap penggunanya. Misal,

parasetamol yang memiliki khasiat mengurangi nyeri akan dikonsumsi

seseorang yang sedang sakit kepala.21

b. Individu : Sebelum mengonsumsi suatu zat, seorang individu umumnya

mengalami kondisi atau sedang berada dalam kondisi tertentu, baik biologis

maupun psikologis. Kondisi-kondisi yang mungkin bisa diatasi dengan

mengonsumsi suau zat, misalnya mengantuk, sakit kepala, bengkak (biologis),

rasa penasaran, tertantang, kecemasan (psikologis).22

c. Sosial : Lingkungan social juga turut menentukan zat yang dikonsumsi

seorang individu. Sebagai contoh, seseorang yang tinggal di daerah yang

masyarakatnya lebih akrab dengan pengguna daun jambu daripada norit

sebagai obat sakit perut akan mengkonsumsi daun jambu untuk mengatasi

sakit tersebut. Pengaruh lingkungan social ini tidak hanya berupa kebiasaan

masyarakat, namun bisa saja berbentuk rekomendasi tabib, pengiklakanan,

ritual, dan lain–lain.23

21 Patri Handoyo, Op.cit., h. 42 22 Patri Handoyo, Op.cit., h. 42

(45)

Ketiga faktor itu saling terkait, dengan kata lain satu faktor tidak dapat berdiri sendiri ketika

suatu zat sudah di identifikasi khasiatnya oleh suatu masyarakat.24 Berikut sejumlah latar

penggna napza, kerap pula ditasbihkan sebagai Continuum of Drug Use dimulai dari tidak pakai

sama sekali (absistensi) hingga ketergantungan.

a. Tidak Pakai (absistensi)

b. Eksperimental (coba-coba). Pengguna ini menggambarkan penggunaan untuk pertama kalinya ataupun kalau berulang, jangka pendek. Kebanyakan napza yang digunakan anak-anak remaja masuk ke katagori ini. Anak muda sering mencoba suatu zat karena penasaran atau untuk mengetahui sesuatu yang baru dan berbeda.

c. Rekreasioonal/Sosial: Para penggunanya memilih zat-zat yang sesuai dengan tujuan untuk bersenang-senang dan menggunakannya bersama teman atau berlatar social. Obat-obatan pesta seperti ekstasi dan ganja biasanya digunakan untuk tujuan ini. Beberapa orang yang dikarena sudah bekerja dari senin hingga jumat, di khir pecan dating ke bar atau diskotek untuk mengkonsumsi alcohol atau ekstasi bersama teman-temannya. Senin paginya kembali bekerja hingga jumat.

d. Kebiasaan : konsumsi zat-zat legal seperti rokok, alcohol, tapi sering menjadi kebiasaan seseorang. Kategori penggunaan ini khususnya ketika penggunanya mengonsumsi dosis yang terukur selama satu hari, missal : sebungkus rokok atau dua cangkir kopi sehari.25

e. Keadaaan/Situasional : kategori pengguna ini ditentkan keadaan seseorang , missal : sakit perut, ingin terjaga karena sedang ronda (siskamling), ingin memuaskan pasangan seks, sakit kulit, dan lain-lain.

f. Ketergantungan : seseorang yang ketergantungan tidak dapat berhenti menggunakan suatu zat tanpa mengalami bentuk penderitaan mental atau fisik. Ini kategori penggunaan yang paling sering dipublikasikan. Hal ini terjadi pada peminum kopi, perokok, alkoholik, dan pecandu.26

(46)

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan hukum pidana dalam RKUHP mengenai penghinaan agama perlu dikaji kembali terutama mengenai kategori perbuatan yang dapat dipidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga proses penulisan skripsi yang berjudul “ Rehabilitasi Terhadap

Secara hukum telah ditegaskan didalam undang-undang tentang narkotika bahwa seorang pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika wajib mendapat rehabilitasi

Akan tetapi kebijakan sanksi pidana dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat kualifikasi penyalahguna, pecandu, korban penyalahgunaan dan

Maka berhubungan dengan masalah ini pecandu dan penyalahgunaan narkotika, sehingga diperlukan suatu kebijakan dalam hukum pidana yang mengatur dan menempatkan

Tinjauan Hukum Pidana terhadap Sanksi bagi orang tua atau wali dari pecandu Narkotika di bawah umur yang secara sengaja tidak melaporkan dalam pasal 128 ayat (1)

Akan tetapi kebijakan sanksi pidana dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat kualifikasi penyalahguna, pecandu, korban penyalahgunaan dan

iv Nim : 30302000151 Prodi : S-1 Ilmu Hukum Fakultas : Hukum Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang diajukan dengan judul “EFEKTIVITAS REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA