• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK PENGEMBANGAN KENDALI DIRI PESERTA DIDIK: Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/ 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK PENGEMBANGAN KENDALI DIRI PESERTA DIDIK: Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/ 2014."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sri Rahayu (2014). Efektivitas Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik. (Studi Kuasi Eksperimen pada Peserta Didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya fenomena yang menunjukkan berbagai gejala perilaku yang mengindikasikan rendahnya pengendalian diri peserta didik. Tujuan penelitian adalah memperoleh konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas yang efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, metode kuasi eksperimen dan desain equivalent pretest-posttest control group. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner berbentuk skala likert yang diadaptasi dari Self-Control Scale (SCS) dari Tangney, Baumeister & Boone (2004). Partisipan dalam penelitian adalah 30 siswa kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung dengan kendali diri kategori rendah yang dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (8 L : 7 P) dan kelompok eksperimen (8 L:7 P). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan Uji Wilcoxon Rank Sum (Man Whitney) Test. Hasil analisis data menunjukkan peningkatan skor kendali diri peserta didik setelah diberikan perlakuan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas signifikan, karena P value 0,000 <0.05 (α), maka disimpulkan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik.

(2)

ABSTRACT

Sri Rahayu (2014). Effectivity of Group Counseling with Reality Approach Model to Develop Student’s Self-Control. (Quasi–Experimental Study on High School Students XIth Class Plus Mutahhari Bandung School Academic

2013/2014).

This research is based on phenomenon that shows a variety of behavioral symptoms that indicate low self-control amongst eleventh grade students of High School Plus Muthahhari Bandung. The purpose of the study was to obtain the effectiveness of group counseling with reality approach WDEP model in developing of student’s Self-control. This study used a quantitative approach and quasi-experimental method with equivalent pretest-posttest control group design. During the Likert Scale Questionnaire form adapted from Self-Control Scale (SCS) by Tangney, Baumeister & Boone (2004) was used the technique to collect data questionnaires. The participants of the study were 30 students of class XIth High School Class Plus Muthahhari Bandung who had lower Self-control categories, and divided into control group (8 M : 7 F), and experimental group (8 M : 7 F). The taken sample was done using purposive sampling, and the Technique analysis used Wilcoxon Rank Sum (Man Whitney) test. The result show that group counseling with reality model can increase student’s Self-control, because P value 0,000 < 0,05 (α), that it can be concluded that group counseling with reality model effective to develop students Self-Control.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACK iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GRAFIK xii

DAFTAR GAMBAR xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitian 12

E. Manfaat Penelitian 13

F. Struktur Organisasi Penelitian 13

BAB II KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN REALITAS UNTUK PENGEMBANGAN KENDALI DIRI

A. Konsep Dasar Kendali Diri 14

1. Pengertian Kendali Diri 15

2. Aspek-Aspek Kendali Diri 19

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kendali Diri 22

4. Tingkatan Kendali Diri 23

5. Perkembangan Kendali Diri 25

6. Pengembangan Kendali Diri melalui Konseling Kelompok dengan

Pendekatan Konseling Realitas

27

(4)

C. Asumsi Penelitian dan Hipotesis Penelitian 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Desain Penelitian 48

B. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian 49

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 50

1. Variabel Penelitian 50

2. Definisi Operasional Variabel 50

D. Instrumen Penelitian 54

1. Instrumen Kendali Diri 54

2. Validasi Instrumen 56

E. Rancangan Intervensi Konseling Kelompok dengan Menggunakan

Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta

Didik

59

F. Teknik Pengumpulan Data 89

G. Teknik Analisis Data 89

H. Prosedur Penelitian 93

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 95

B. Refleksi Pelaksanaan Kegiatan Konseling Kelompok Realitas untuk

Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik

128

C. Keterbatasan Penelitian 134

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 136

B. Rekomendasi 136

(5)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. SK Pengangkatan Pembimbing dan Surat Izin Penelitian

2. Panduan Pelaksanaan Program Konseling Kelompok dengan

Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri

Peserta Didik

3. Satuan Kegiatan Layanan Konseling Kelompok

4. Instrumen Penelitian

5. Hasil Pengolahan Data Penelitian

6. Dokumentasi Penelitian

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel hal

3.1 Kisi-Kisi Instrumen Kendali Diri 55

3.2 Pedoman Skoring Kuesioner Kendali Diri 55

3.3 Matriks Pelaksanaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan

Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri

67

3.4 Kriteria Profil Variabel Kendali Diri 90

3.5 Kategori Skor Kendali Diri Peserta Didik 91

3.6 Interpretasi Skor Kategori Kendali Diri 91

4.1 Uji Wilcoxon Rank Sum (Mann Whitney) Test Data Kendali Diri 96

4.2 Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Kendali Diri Kelompok

Eksperimen

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar hal

2.1 Bagan Kerangka Pemikiran 45

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa

dewasa. Dalam masa peralihan tersebut, banyak perubahan yang harus dihadapi

oleh para remaja. Menurut Santrock (2003), remaja akan mengalami banyak

perubahan, baik biologis, kognitif, sosial, dan emosional. Berbagai perubahan

yang terjadi akan berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku remaja. Perubahan

minat sosial telah mempengaruhi perilaku sosial remaja, menurut Erikson krisis

identitas yang terjadi pada remaja, menyebabkan mereka akan terus mencari jati

dirinya. Dalam proses pencarian identitas tersebut akhirnya mempengaruhi

perilaku remaja yang tercermin melalui pemberian simbol diri, munculnya figur

atau idola, serta bergabungnya remaja dalam kelompok-kelompok tertentu

(Saripah, 2012:33). Kelompok remaja menjadi simbol identitas remaja. Mereka

menjadi patuh terhadap standar kelompoknya dan ingin mendapatkan pengakuan

dari kelompok sebayanya. Menurut Gunarsa (2006), kelompok remaja bersifat

positif dalam hal memberikan kesempatan luas bagi remaja untuk melatih cara

mereka bersikap, bertingkahlaku, dan berhubungan sosial, namun juga dapat

bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat, sehingga mereka

menjadi “overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat

merusak.

Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual dapat mempengaruhi

perkembangan emosi yang akhirnya mempengaruhi perilaku remaja. Pada usia

remaja, perkembangan emosi menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang

sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial (Yusuf, 2011), sehingga

masa ini disebut sebagai masa bergejolak (Storm and Stress Period) dibandingkan

dengan periode sebelumnya (Hurlock, 1998). Kebutuhan dari dalam diri turut

mempengaruhi perilaku remaja. Glasser (Komalasari dkk., 2011) menyatakan

bahwa dalam diri manusia memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya universal.

(9)

2

Kebutuhan akan kekuasaan dan prestasi; (3) Kebutuhan akan kekuasaan, seperti

berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan; (4) Kebutuhan akan

kesenangan; (5) Kebutuhan akan kebebasan; (6) Kebutuhan untuk hidup.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) bagi

seorang remaja untuk melakukan suatu tindakan.

Tidak hanya perubahan dan kebutuhan secara internal saja yang

mempengaruhi perilaku remaja, mereka juga harus menghadapi berbagai

perubahan dari lingkungannya. Perubahan lingkungan sosial besar pengaruhnya

bagi perkembangan kehidupan sosial dan emosional remaja (Berliner & Calfee,

1996, dalam Kusumandari, 2008). Kemajuan teknologi informasi pada era

globalisasi meliputi hampir seluruh bidang pada akhirnya akan menimbulkan

perubahan perilaku, gaya hidup, dan nilai-nilai hidup remaja. Perubahan pola

hidup masyarakat bertransformasi menjadi global society yang ditandai oleh

perkembangan informasi yang semakin canggih menjadi tantangan tersendiri bagi

remaja masa kini, dimana mereka harus menghadapi lingkungan yang segala

sesuatu dapat berubah dengan sangat cepat dan tingkat persaingan hidup yang

semakin kompetitif. (Retnowati, 2011).

Dalam menghadapi berbagai perubahan, kebutuhan, keinginan, tantangan

atau hambatan, baik berasal dari dalam diri maupun lingkungan, seorang remaja

dituntut untuk dapat menghadapinya dengan baik. Sebagai makhluk sosial, remaja

tidak mungkin menghindar dari pengaruh lingkungan dalam proses interaksi

dengan lingkungannya, namun disisi lain juga remaja dituntut untuk dapat

menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku dalam

masyarakat. Pada kenyataannya, tidak semua remaja mampu menghadapi

berbagai stimulus, godaan, tantangan dengan mulus atau linier sesuai dengan

potensi yang dimiliki dan nilai-nilai yang berlaku, sehingga muncul berbagai

perilaku menyimpang atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja.

Saat ini masyarakat seringkali disajikan berbagai pemberitaan mengenai

kasus pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh remaja. Seperti kasus

perkelahian yang terjadi di kalangan remaja. Berdasarkan pemberitaan dari

(10)

3

mencatat kasus tawuran yang dilakukan kalangan pelajar di wilayah Jabodetabek

mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2012 sebanyak 102

kasus yang menyebabkan 17 pelajar meninggal dunia. Pada tahun 2013 jumlah

kasus meningkat menjadi 103 kasus dengan korban meninggal sebanyak 17 orang.

Gambaran ini menjadi sangat mengkhawatirkan karena kasus tawuran telah

menyebabkan jumlah kematian yang terus meningkat setiap tahunnya.

Kasus merokok di kalangan remaja mengalami peningkatan cukup

signifikan setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

pada tahun 1995 jumlah perokok anak dan remaja berusia 10-14 tahun di

Indonesia mencapai 71.216 orang dan pada tahun 2007, angka tersebut menjadi

meningkat 6 kali lipat menjadi 426.214 orang. Sejumlah 77% remaja berpendapat

bahwa yang mempengaruhi mereka untuk mencoba rokok adalah iklan rokok

yang ditampilkan di berbagai media massa (Kinanti, 2013 dalam Ariningsun &

Pratiwi, 2014). Masalah kenakalan remaja juga mengalami peningkatan yang

sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Kasubseksi bimbingan kerja anak

badan pemasyarakatan kelas I, pengadilan Negeri Bandung rata-rata tiap bulan

menghadapi 30 kasus kriminal yang dilakukan anak usia 14-18 tahun. Kasus ini

mencakup pencurian, pemerasan, dan narkotika (Rahmadani, 2013).

Berbagai kasus yang terjadi pada remaja menjadi problematika tersendiri

yang membutuhkan penanganan segera. Kondisi ini tentunya selain merugikan

remaja, juga memberikan dampak negatif bagi generasi yang akan datang. Seperti

yang dikutip pada Harian Pikiran Rakyat Minggu 21 september 2014 dalam topik

Building Golden Generation pada symposium dies natalis 57 Fakultas kedokteran

UNPAD, WHO (World Health Organization) memperkirakan 70 % kematian dini

pada usia dewasa sangat dipengaruhi oleh perilaku saat masa remaja. Banyaknya

stressor yang dihadapi remaja menimbulkan permasalahan kompleks yang

akhirnya menimbulkan gangguan fisik yang tidak jelas penyebabnya, termasuk

juga permasalahan sosial seperti malas sekolah, membolos, tawuran, dan

menyalahgunakan zat terlarang.

Baumeister, Heatherton, & Tice (1994: 3) dalam buku yang berjudul

(11)

4

kesimpulan utama berdasarkan hasil penelitian dan observasi yang telah dilakukan

tentang fenomena permasalahan sosial pada masyarakat Amerika yang terjadi

pada akhir abad 21 ini, yaitu kegagalan seseorang dalam mengendalikan atau

meregulasi diri merupakan faktor utama penyebab munculnya perilaku yang

bersifat patologi sosial. Permasalahan sosial yang terjadi pada kalangan remaja

pada dasarnya merefleksikan tentang kesulitan individu dalam mengatur atau

mengendalikan kehidupannya, sehingga muncul berbagai gejala perilaku negatif

yang ditampilkan remaja, seperti bertindak secara impulsif, cenderung reaktif,

memiliki masalah emosi berlebihan, terlibat perkelahian dengan temannya,

mengalami masalah kecanduan, merokok, masalah sekolah seperti kurangnya

ketekunan dalam mengerjakan tugas. Perilaku-perilaku tersebut mengindikasikan

rendahnya kendali diri ( Low Self-control) (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007).

Kendali diri berperan penting bagi kehidupan remaja. Kay (Yusuf, 2001:72)

menyatakan bahwa seorang remaja harus dapat memperkuat self-control atas

dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. Kendali diri itu sendiri

diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengubah respon dengan mengatur

alur pikir, emosi, impuls, mengendalikan performa dan mampu menampilkan

secara optimal, serta mampu mengendalikan kebiasaan-kebiasaan (Tangney,

Baumeister, & Boone, 2004). Kemampuan mengubah respon tersebut bertujuan

untuk membawa mereka ke dalam perilaku yang sesuai dengan standar seperti

cita-cita, aturan dan nilai masyarakat, moral, harapan sosial, dan mendukung

dalam mengejar tujuan jangka panjang (Baumeister, Heatherton, & Tice, 1994).

Pada dasarnya kemampuan mengontrol tingkah laku menurut Glasser

(1989,dalam Komalasari dkk., 2011, h. 237-238) telah dimiliki oleh setiap

individu sebagai potensi dasar. Glasser memandang optimis bahwa setiap individu

dapat menampilkan tingkah laku yang bertanggung jawab, yaitu mengontrol diri

dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan, akan tetapi dalam perkembangannya

potensi ini akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Hurlock terdapat dua

faktor yang mempengaruhi kendali diri, yaitu internal dan eksternal. Faktor

internal meliputi usia dan kematangan. Sedangkan faktor eksternal meliputi

(12)

5

satu dengan yang lainnya akan berbeda tergantung pada faktor yang

mempengaruhinya. Remaja dengan kendali diri tinggi mampu mengubah respon

ke arah yang lebih positif, sehingga ia dapat menampilkan perilaku yang

bertanggung jawab sesuai dengan nilai atau aturan yang berlaku. Sedangkan

individu dengan kendali diri rendah menurut Woolfolk (2011, dalam Ariningsun

& Pratiwi, 2014) tidak mampu memandu, mengarahkan, dan mengatur

perilakunya dalam menghadapi berbagai dorongan, rangsangan, tantangan, baik

yang berasal dari dalam diri maupun lingkungannya, sehingga muncul berbagai

permasalahan perilaku yang dilakukan oleh remaja.

Permasalahan rendahnya kendali diri pada remaja, tidak hanya sekedar

meningkatkan pemahaman, akan tetapi juga harus disertai penanganan secara

konstruktif oleh berbagai pihak. Apabila tidak maka akan berdampak pada

kehidupan mereka selanjutnya yaitu masa dewasa. Penelitian longitudinal yang

dilakukan oleh Brooks (1981, dalam Kusumandari, 2008) terhadap responden usia

remaja awal sampai usia 30-40 an menemukan bahwa kontrol diri pada usia

remaja awal dapat memprediksikan tingkat kontrol diri pada usia dewasa. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin baik kualitas kontrol diri pada masa remaja, maka ia

akan memiliki kualitas kontrol diri yang baik pada usia dewasa.

Upaya pengembangan kemampuan pengendalian diri (Self-Control) dapat

menjadi salah satu bentuk langkah penanganan yang dilakukan, khususnya oleh

pendidik dalam memberikan pendidikan keterampilan hidup dengan tujuan untuk

mengatasi persoalan rendahnya pengendalian diri yang terjadi pada para remaja.

Sekolah merupakan institusi pendidikan yang memiliki tujuan salah satunya

meningkatkan potensi peserta didik. Keselarasan tujuan pendidikan dengan

pelaksanaan pendidikan secara real dapat diukur salah satunya melalui

penyelenggaran bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan dan Konseling

memiliki peranan penting untuk memfasilitasi siswa agar mencapai

perkembangan yang optimal dan mengembangkan potensi yang dimiliki, salah

satunya kemampuan pengendalian diri (Self-Control).

SMA Plus Muthahhari Bandung merupakan salah satu sekolah yang sangat

(13)

6

Sekolah yang memiliki simbol sebagai Sekolah Para Juara dan Misi untuk

mengembangkan Inteligensi, Kreativitas, dan Akhlak ini pada tahun 1998 telah

ditunjuk sebagai sekolah model oleh World Bank, Depdiknas dan Depag. Pada

tahun 2002 telah ditunjuk sebagai satu satunya sekolah uji coba pelaksanaan

Pendidikan Berwawasan Khusus, Kepribadian, dan Budi Pekerti (PBK) dan tahun

2010 juga ditunjuk oleh Direktorat PSMAK sebagai sekolah pelaksanaan

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Selarasnya komitmen sekolah untuk

mengembangkan akhlak dan kepribadian peserta didik terbukti dalam bentuk

program unggulan yang dimiliki dan dijadikan sebagai “kekhasan” sekolah ini,

yaitu program Spirit Camp dan Spirit Work Camp (SWC) yang diadakan setiap

tahun. Program ini sebagai realisasi komitmen sekolah untuk meningkatkan

kualitas karakter, akhlak, dan kepribadian peserta didik, namun pada

kenyataannya sekolah masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah

yang dihadapi justru menunjukkan kualitas kepribadian peserta didik yang masih

kurang baik, yaitu rendahnya kemampuan pengendalian diri.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui hasil observasi

selama melakukan Program Pengalaman Lapangan banyak ditemui pelanggaran

yang dilakukan oleh beberapa peserta didik seperti tidak mengerjakan tugas yang

diperintahkan oleh guru, malas, bolos sekolah untuk menghindari tugas, berani

melawan atau mengabaikan perintah dari guru, merokok. Hasil wawancara

terhadap guru BK, kasus pelanggaran yang terjadi paling banyak dilakukan oleh

kelas XI, seperti merokok, bolos sekolah, tidak memperhatikan guru saat

pelajaran, terlibat perkelahian dengan temannya, menghabiskan banyak waktu

bermain games di warnet. Sedangkan berdasarkan wawancara terhadap beberapa

peserta didik kelas XI, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan tersebut

lebih banyak terpengaruh oleh ajakan teman, banyaknya tugas dan kegiatan yang

diadakan oleh pihak sekolah pun dirasakan sebagai beban dan akhirnya timbul

keinginan untuk melanggar perintah dari guru, khususnya dalam penyelesaian

tugas.

Fenomena tersebut diperkuat melalui hasil studi pendahuluan melalui

(14)

7

peserta didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/2014

dan diperoleh hasil yaitu dari 56 orang peserta didik Kelas XI terdapat 35 orang

memiliki kemampuan pengendalian diri pada kategori tinggi dengan persentase

sebesar 62,50 % dan 21 orang memiliki kemampuan pengendalian diri pada

kategori rendah dengan persentase sebesar 37,50%. Peserta didik yang

teridentifikasi memiliki tingkat kendali diri kategori tinggi apabila ditelaah lebih

mendalam terdapat beberapa peserta didik yang mendekati skor kategori rendah.

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sebagian peserta didik kelas XI pada

umumnya dapat mengendalikan diri, namun belum optimal.

Secara lebih spesifik, kendali diri secara umum akan tercermin dalam lima

aspek kemampuan (Tangney et. al. 2004). Hasil studi pendahuluan terhadap

aspek-aspek kendali diri menunjukkan yaitu pada aspek Kedisiplinan Diri

(Self-Discipline) memiliki persentase sebesar 30,36% berada pada kategori tinggi dan

64% berada pada kategori rendah. Aspek Pengendalian Tindakan Impulsif (Non

Impulsive action) 64,29% berada pada kategori tinggi dan 35,71% berada pada

kategori rendah. Aspek Kebiasaan hidup sehat (Healthy Habits) 51,79% berada

pada kategori tinggi 48,21% berada pada kategori rendah. Aspek etos kerja (Work

Ethic) 50% berada pada kategori tinggi dan 50% berada pada kategori rendah.

Aspek Keandalan Diri (Reliability)) 76,79% berada pada kategori tinggi dan

23,21% berada pada kategori rendah.

Fakta empirik diatas menunjukkan bahwa kendali diri sangat penting untuk

dikembangkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal melalui layanan

bimbingan dan konseling selayaknya memfasilitasi berbagai pengalaman belajar

yang dapat mengoptimalkan kendali diri peserta didik, akan tetapi yang terjadi di

SMA Plus Muthahhari Bandung, penanganan yang dilakukan oleh guru BK

selama ini menjadi perhatian, karena layanan yang diberikan selama ini masih

sebatas memberikan bimbingan kelompok secara klasikal dengan tema yang

dibahas hanya memberikan pengarahan mengenai pengelolaan emosi saja.

Layanan tersebut juga hanya diberikan 3 kali dalam satu tahun ajaran. Penanganan

(15)

8

yang terfokus dan terstruktur secara sistematis untuk mengatasi masalah

pengendalian diri.

Intervensi secara khusus untuk mengatasi persoalan rendahnya kendali diri

peserta didik pada kelas XI salah satunya dengan memberikan layanan konseling

kelompok. Hal ini berdasarkan keterangan bahwa masalah yang terjadi tidak

hanya pada satu atau dua individu saja, sehingga memungkinkan untuk dilakukan

layanan konseling secara kelompok. Menurut Nurihsan (2006:24) konseling

kelompok merupakan bantuan kepada individu dalam situasi kelompok yang

bersifat pencegahan dan penyembuhan serta diarahkan pada pemberian

kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Konseling kelompok

bersifat memberi kemudahan bagi pertumbuhan dan perkembangan individu,

dalam arti memberikan kesempatan, dorongan, juga pengarahan kepada

individu-individu yang bersangkutan untuk mengubah sikap dan perilakunya selaras

dengan lingkungannya.

Pendekatan konseling kelompok untuk pengembangan kendali diri harus

menekankan pada pembenahan berfikir dan perilaku (Yusuf, LN & Nurihsan,

A.J., 2007:137). Salah satu pendekatan dalam konseling kelompok yang

berorientasi pada pengubahan cara berfikir dan perilaku ialah konseling realitas.

Konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas terbukti berkontribusi

positif terhadap pengendalian diri siswa telah diperkuat melalui hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Bernardus Widodo (2010) tentang Keefektifan

Konseling Kelompok Realitas untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin Siswa di

SMK PGRI Wonosari Caruban Madiun dengan sampel penelitian 8 orang siswa

kelas 1 yang memiliki perilaku tidak disiplin. Rancangan penelitian tipe pra

eksperimen dan desain penelitian ialah One group pretest posttest design. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan pada aspek

pengendalian diri dan penurunan jumlah atau pengurangan durasi pada perilaku

indisipliner siswa. Pada pengukuran statistik kedua dari ke-3 aspek pengendalian

diri diperoleh signifikan pada taraf 0,011. Hasil olah data tersebut menunjukkan

bahwa perlakuan konseling kelompok realitas efektif untuk meningkatkan

(16)

9

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kendali diri dapat dikembangkan

melalui konseling kelompok dengan pendekatan realitas. Konseling realitas yang

dikembangkan oleh Glasser (Gladding, 2012) merupakan model konseling yang

berorientasi pada tindakan. Glasser (1998) memandang optimis bahwa manusia

memiliki potensi dan dorongan untuk belajar dan tumbuh (growth force). manusia

dipandang mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri yang biasa disebut

Self-determining. Oleh karena itu pada konseling realitas ini, peserta didik

diarahkan untuk dapat memilih dan menentukan tindakan yang bertanggung

jawab bagi dirinya dan orang yang bertanggung jawab ialah seseorang yang dapat

memenuhi kebutuhannya tidak terlepas dari prinsip 3R, yaitu Responsibility,

Right, & Reality.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas diperoleh kejelasan masalah

dan menemukan pentingnya pengembangan kendali diri sebagai potensi yang

berperan penting dalam perkembangan peserta didik yang tengah berada pada

masa remaja. Daya kontrol diri memiliki kapasitas besar dalam memberikan

perubahan positif pada kehidupan seseorang. Cavanagh (2002) menyatakan

bahwa pengendalian diri sebagai bagian penting dalam diri, karena dengan adanya

kendali diri, seseorang dapat menggunakan energi dengan tepat, sehingga

memungkinkan seseorang tersebut membimbing kehidupan ke arah yang lebih

baik.

Seseorang dengan kendali diri tinggi dihubungkan dengan hampir semua

perilaku yang mendukung sebuah kehidupan yang sukses dan sehat (Tangney,

Baumeister, & Boone, 2004). Sedangkan kendali diri rendah akan berkembang

menjadi berbagai masalah. menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004),

Kendali diri rendah merupakan faktor signifikan yang menyebabkan individu

mengalami berbagai masalah pribadi dan masalah interpersonal. Erikson

(Santrock, 2003:523) menyatakan penyebab tergelincirnya remaja dalam perilaku

kenakalan atau perilaku negatif yang tidak sesuai dengan aturan, nilai atau norma

(17)

10

diri yang cukup pada tingkah laku mereka. Mereka gagal membedakan perilaku

yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mereka sebenarnya sudah

mengetahui perbedaan antara keduanya, namun gagal mengembangkan kontrol

yang memadai dalam mengggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah

laku mereka.

Pada dasarnya k endali diri individu ditentukan oleh besarnya upaya

individu tersebut untuk mempertinggi kontrol dirinya pada saat menghadapi

berbagai stimulus baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan yang

memberikan dampak negatif bagi dirinya. Baumeister et. al. (1994)

mengemukakan bahwa terdapat empat domain utama yang membentuk kendali

diri melalui pengaturan pikiran, emosi, impuls/ dorongan, dan performa. Semakin

mampu seseorang untuk mengatur pikiran, emosi, impuls/dorongan, dan

performa, maka akan semakin mampu mengendalikan dirinya. Kemampuan

seseorang dalam mengendalikan dirinya secara umum akan tercermin atau akan

ditunjukkan melalui lima kemampuan, yaitu kedisiplinan diri (Self-discipline),

pengendalian tindakan impulsif (Non impulsive action), kebiasaan hidup sehat

(Healthy Habits), etos kerja (Self-Regulation in service at Work Ethic),dan

keandalan diri (Reliability) (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).

Uraian di atas dapat menjadi gambaran jelas mengenai permasalahan yang

mendasar yang terjadi pada peserta didik kelas XI ialah bukan banyaknya masalah,

hambatan atau tantangan yang dihadapi, akan tetapi disebabkan oleh lemahnya

kendali diri peserta didik, sehingga mereka kurang mampu membimbing tingkah

laku mereka sendiri ke arah yang positif, kurang mampu mengatur pemikiran,

emosi, impuls/dorongan, performa dan mengarahkannya ke arah yang positif,

akhirnya saat menghadapi berbagai stimulus dalam lingkungannya seringkali

mengambil cara negatif bahkan destruktif, sehingga timbulah berbagai perilaku

negatif, seperti perilaku indisipliner, membolos, malas, penentangan terhadap

aturan, mengabaikan perintah atau tidak memperhatikan tugas yang diberikan

guru, sampai pada tindakan perkelahian. Perilaku ini juga dapat disebabkan oleh

kurang terpenuhinya berbagai kebutuhan yang ingin dicapainya. Keterhambatan

(18)

11

realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak

menyenangkan bagi dirinya (Thompson, et.al.,2004, dalam Komalasari h. 236).

Dalam kaitan layanan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawab

guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kendali diri sebagai salah satu

potensi penting yang harus dimiliki remaja masih terlihat kurang optimal yang

dapat dilihat dari penanganan kasus yang bersifat incidental saja, belum ada upaya

secara khusus dan sistematis untuk mengatasi masalah rendahnya kendali diri.

Dengan demikian untuk mengatasi agar mereka memiliki kendali diri yang

baik ialah mengembangkan kendali diri secara internal, sehingga mereka akan

selalu mengendalikan dan mengarahkan dirinya ke arah yang lebih positif tanpa

harus diawasi, dipantau, atau ditekan oleh orang lain, karena perilaku kepatuhan

sesuai standar nilai atau aturan tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan

didasarkan pada keinginannya sendiri untuk menciptakan keteraturan dan

ketertiban di dalam kehidupan (Edwards, 1993, Durkheim 1990, dalam Widodo,

2010).

Pengembangan kendali diri dapat dilakukan melalui layanan yang dapat

membangun kesadaran yang pada akhirnya akan mampu mengubah perilakunya

menjadi lebih positif. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ron Wilson &

Rhena Branch (2001:11, dalam Tajiri, 2012) bahwa salah satu model konseling

yang dipandang efektif untuk mengembangkan kontrol diri ialah konseling

dengan pendekatan kognitif-perilaku. Salah satu teknik konseling yang

menggunakan pendekatan kognitif-perilaku ialah konseling realitas yang konsep

dasarnya ialah kunci untuk mengubah total behavior (perilaku total), yakni doing

(tindakan), thinking (pikiran), perasaan (feeling), dan fisik atau respon-respon

fisiologis (physiology) terletak pada pemilihan untuk mengubah yang dipikirkan

dan dilakukan. Sementara itu reaksi emosi dan respon fisiologis termasuk dalam

proses tersebut. (Corey 1991: 524, dalam Komalasari dkk.,2011 h.240).

Keandalan konseling ini ialah dapat meningkatkan tanggung jawab atas tindakan

yang dipilih oleh konseli dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan dan

sumber daya untuk mengontrol kehidupannya saat ini. Keuntungan lain yang

(19)

12

intervensi singkat dalam setting sekolah untuk penanganan masalah remaja

(Corey, 2005: 281)

Intervensi konseling kelompok melalui pendekatan konseling realitas yang

diberikan tidak hanya memberikan upaya penyadaran melalui penilaian secara

realistis terhadap perilakunya. Intervensi ini juga mengarahkan individu secara

bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan sendiri perencanaan

perubahan perilaku untuk memperbaiki kondisi yang dihadapinya. Hal ini sangat

penting untuk dilakukan. Sesuai yang dikemukakan oleh Baumeister, et.al. (1994)

seseorang yang kehilangan kontrol diri ialah orang yang tidak bisa menentukan

tujuan atau sebenarnya dapat menentukan tujuan, tetapi tidak mungkin dicapai,

sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kendali dengan tidak

memperhatikan perilakunya, maka dari itu seseorang perlu melihat tujuan jangka

panjang agar tidak kehilangan kontrol diri. Selain itu juga kegagalan kontrol diri

diakibatkan oleh gagalnya seseorang dalam memonitor perilakunya. Konseling

kelompok realitas ini mengakomodasi peserta didik untuk dapat mengevaluasi,

menetapkan tujuan, dan memonitor perilaku. Konsekuensi yang didapat

merupakan hasil dari bagaimana mereka mengevaluasi dan memilih tindakannya.

Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, maka batasan dalam penelitian

ini difokuskan pada pengembangan Self-control rendah pada peserta didik kelas

XI melalui konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas, Secara

lebih spesifik lagi batas penelitian ini ialah untuk melihat keefektifan konseling

realitas dalam pengembangan kendali diri peserta didik yang masih belum teruji

dan harus dibuktikan dalam penelitian.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh konseling kelompok dengan

pendekatan konseling realitas yang efektif untuk mengembangkan kendali diri

(20)

13

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi guru bimbingan

konseling dan peneliti selanjutnya

1. Sebagai rujukan bagi guru Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan

layanan konseling, terutama dalam konseling sosial-pribadi dalam setting

kelompok di sekolah dan secara khusus dapat memanfaatkan hasil penelitian

ini sebagai referensi model layanan konseling kelompok dalam menangani

kasus rendahnya pengendalian diri peserta didik.

2. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, yaitu hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi sumber informasi dan rujukan serta kajian bagi pengembangan

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kendali diri dan konseling

kelompok realitas.

E. Struktur Organisasi Penelitian

Penelitian dituliskan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

1. Bab I pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi

penelitian.

2. Bab II berisi konsep teoretik yang berisi mengenai konsep tentang kendali diri,

pengembangan kendali diri melalui konseling kelompok dengan pendekatan

konseling realitas, kerangka pemikiran, asumsi penelitian, dan hipotesis

penelitian.

3. Bab III, berisi tentang metodologi penelitian, meliputi pendekatan dan metode

penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrumen

penelitian, prosedur dan teknik pengolahan data.

4. Bab IV, dikemukakan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yang meliputi

hasil penelitian dan pembahasan penelitian.

(21)

136

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk

pengembangan kendali diri peserta didik secara keseluruhan yang meliputi aspek

kedisiplinan diri, aspek pengendalian tindakan impulsif, aspek kebiasaan hidup

sehat, aspek etos kerja, dan aspek keandalan diri.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian tentang konseling kelompok dengan

pendekatan konseling realitas untuk pengembangan kendali diri peserta didik

kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung dihasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling/ Konselor

a. Hasil penelitian menunjukkan konseling kelompok dengan pendekatan

konseling realitas efektif untuk pengembangan kendali diri peserta didik.

Dengan demikian guru bimbingan dan konseling dapat menerapkan upaya

preventif yaitu mengagendakan program bimbingan untuk meningkatkan

pengendalian diri. Langkah yang dapat dilakukan yaitu menganalisis

berbagai kebutuhan (need asessment) permasalahan dan hambatan yang

dialami peserta didik untuk mendukung upaya pengembangan kendali diri,

melakukan asessment menggunakan kuesioner kendali diri dan

memberikan pemahaman akan pentingnya kendali diri. Guru bimbingan

dan konseling juga seyogyanya memanfaatkan hasil penelitian dan

mengimplementasikan konseling kelompok dengan pendekatan konseling

realitas sebagai alternatif layanan untuk mengatasi permasalahan

rendahnya kendali diri peserta didik.

b. Dalam penerapan konseling kelompok realitas membutuhkan pemahaman

teori dan keterampilan. Untuk itu direkomendasikan kepada guru

bimbingan dan konseling untuk mengikuti pelatihan pada lembaga terkait

(22)

137

2. Bagi peneliti selanjutnya

Berangkat dari keterbatasan-keterbatasan penelitian yang telah dikemukakan

maka disarankan hal-hal berikut untuk peneliti selanjutnya:

a. Observasi pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan realitas

tidak hanya pada dokumentasi pelaksanaannya saja, tetapi juga disarankan

untuk dilengkapi dengan format observasi khusus seperti format observasi

check list untuk mendokumentasikan perubahan perilaku dari sebelum

kegiatan dan sesudah kegiatan agar lebih akurat.

b. Tahapan dalam konseling kelompok realitas disarankan tidak hanya sampai

pada tahap komitmen, akan tetapi juga dapat sampai pada tahap tindak

lanjut (follow up). Tahap tindak lanjut ini merupakan tahap dimana konselor

memonitor dan mengevaluasi perubahan perilaku secara real di luar sesi

konseling. Perubahan perilaku yang paling penting ialah terlihat dari luar

sesi konseling

c. Menggunakan setting penelitian yang lebih sempit, seperti desain Single

Subject dengan jumlah sampel yang relatif terbatas untuk menambah

kedalaman data mengenai keefektifan program layanan konseling kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pembuatan Tugas Akhir Perencanaan Pengamanan Pantai Dari Bahaya Abrasi Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak adalah untuk memberikan perlindungan pada Pantai Sayung

The objectives of this study was to answer two research problems: (1) the correlation between students competence in writing narrative texts in Bahasa Indonesia and their

Balobat adalah alat musik Karo yang dapat dimainkan secara solo maupun ensambel. Secara solo balboat biasanya dimainkan oleh masyrakat Karo untuk mngibur

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai

Topik penelitian yang sudah dikerjakan antara lain: Ungkapan Geng di Kota Madya Surakarta Ditinjau dari Sosio- linguistik (Ketua) (1997), Penelitian tentang Bentuk dan Makna

Perusahaan khususnya pihak manajemen selalu dihadapkan pada perencanaan pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai macam alternative yang harus dipilih .Dalam penggambilan

Dalam melakukan analisis terhadap laporan keuangan ini, penulis menggunakan analisis rasio keuangan yang terdiri dari rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, dan

(Penelitian Tindakan Kelas Pada Kelompok B di Paud Al Fathi Kecamatan Pekenjeng Kabupaten Garut Taun Ajaran 2013 - 2014). DISETUJUI DAN