xi
DAFTAR ISI
Hal
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Kerangka Pikir ... 17
F. Definisi Istilah ... 21
BAB II KAJIAN TEORI ... 27
A. Pengembangan Pembelajaran Keaksaraan Fungsional ... 27
B. Konsep Pembelajaran Keaksaraan Fungsional ... 77
C. Hakekat pendidikan Keaksaraan Fungsional……… 86
D. Keterampilan Hidup dalam Pendidikan Keaksaraan ... 91
E. Hubungan Pendidikan Keaksaraan Fungsional Terintegrasi Keterampilan Hidup ... 95
xii
BAB III METODE PENELITIAN ... 141
A. Pendekatan Penelitian ... 141
B. Prosedur Penelitian ... 143
C. Indikator Pengembangan Pembelajaran ... 148
D. Subjek dan Objek Penelitian ... 149
E. Desain Penelitian ... 151
F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 153
G. Uji Validitas dan Keabsahan Data ... 159
H. Teknik Analisis Data ... 163
BAB IV HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN ... 167
A. Studi Awal Tentang Kondisi Aktual Sosial Ekonomi dan Pengembangan Pendidikan Keaksaraan Fungsional ... 167
B. Pengembangan Model Konseptual Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Bagi Pemberdayakan Komunitas Adat Terpencil ... 200
C. Proses Implementasi Pengembangan Model Belajar Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi Lokal Pertanian ... 259
D. Pengujian Efektivitas Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi Lokal Pertanian Bagi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil ... 292
E. Pembahasan Hasil-Hasil Penelitian ... 305
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 341
A. Kesimpulan ... 341
B. Implikasi ... 346
C. Rekomendasi ... 349
DAFTAR PUSTAKA ... 354
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 362
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Pemberdayaan Terhadap Kelompok Kurang Beruntung ... 115
3.1. Langkah-langkah Studi Pendahuluan ... 144
3.2. Penyebaran Subjek Penelitian ... 150
3.3. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi ... 163
3.4. Kriteria Gambaran Umum Variabel ... 164
4.1 Keadaan PKBM se-Kabupaten Buru ... 172
4.2. Lembaga Organisasi Pelayanan Buta Aksara ... 175
4.3. Sasaran Pendidikan Keaksaraan Fungsional Kabupaten Buru ... 177
4.4. Jumlah Penduduk Buta Aksara se-Kabupaten Buru ... 179
4.5. Unsur-Unsur Proses Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Potensi Lokal ... 257
4.6. Pokok-Pokok Hasil Ujicoba Terbatas ... 260
4.7. Jadwal Pelatihan Tenaga Tutor Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi Lokal Pertanian ... 271
4.8. Hasil Ujicoba Skala Luas ... 276
4.9. Hasil Implementasi Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi Lokal ... 288
4.10. Hasil Uji Normalitas Data Posttest Kelompok Eksperimen Dan Kontrol ... 293
4.11. Hasil Uji Homogenitas Varian Data Posttest Kelompok Eksperimen Dan Kelompok Kontrol ... 294
4.12. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 295
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Kerangka Pikir ... 20
2.1. Proses Pemilihan Keterampilan Kecakapan Hidup ... 98
2.2. Hubungan Fungsional Komponen Program Pendidikan Keaksaraan ... 136
3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan ... 143
3.2. Desain Penelitian Kuasi Ekperimen ... 152
3.3. Model Interaktif Analisis Data Kualitatif ... 158
4.1. Peta Kabupaten Buru ... 169
4.2. Peta Kecamatan Waiapo ... 180
4.3. Kesediaan Tutor Mengimplementasikan Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Potensi Lokal ... 236
4.4. Model Pembelajaran Keaksaraan Umum ... 241
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dilaksanakan untuk menyiapkan sumberdaya manusia sebagai
aktor dalam pembangunan, untuk menjalankan fungsi diberbagai bidang
kehidupan. Pendidikan disadari atau tidak merupakan aspek yang sangat penting
bagi kemajuan suatu bangsa, semakin berkualitas pendidikan di suatu negara
maka akan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas pula. Paradigma
pendidikan juga sangat menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan
tersebut, oleh karena itu kebijakan mengenai pendidikan yang dilakukan oleh
suatu negara harus memiliki paradigma sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
keadaan zaman agar mampu menghasilkan sumber daya manusia berkualitas.
Dewasa ini pendidikan menjadi pusat perhatian dari seluruh lapisan
masyarakat, mulai dari lapisan populis (the man in the street) sampai pada
masyarakat yang memiliki kewenangan di bidang pendidikan (Ace S. dan Dasim
B: 2009). Pendidikan memiliki fungsi hakiki dalam menyiapkan sumberdaya
manusia untuk kelak dapat menjalankan kehidupannya. Penyelenggaraan
pendididikan adalah dalam rangka memberantas manusia dari berbagai persoalan
hidup dan kehidupan yang melingkupinya. Dengan demikian, pembangunan
sistem pendidikan harus mampu memberikan arti fungsional bagi pembangunan
nasional dalam bidang kehidupan masyarakat, fungsionalnya dapat menjawab
Tuntutan paling mendesak dalam mengembangkan pendidikan saat ini
adalah pendidikan bermutu dan relevan dengan kebutuhan hidup masyarakat.
Dalam konteks pendidikan keaksaraan fungsional berarti bagaimana
memberaksarakan penduduk dari buta aksara agar dapat membaca dunia dan
kehidupan. Di Indonesia terdapat sekitar 11 juta orang atau sekitar 6,90% dari
semua jumlah penduduk (BPS, 2008) penduduk tidak bisa baca tulis (buta aksara)
yang terdiri dari 2,80 juta usia 15-44 tahun dan 2,59 juta usia 44 tahun keatas.
Data tahun 2009 presentase dari penduduk buta aksara sekitar 5% (usia 15-44
tahun), sementara target pemerintah pada tahun 2010 jumlah tersebut akan ditekan
menjadi 1,3%.
Pemerintah telah mencanangkan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan
Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Penuntasan Buta Aksara melalui Instruksi
Presiden Nomor: 5 Tahun 2006. Telah banyak model penyelenggaraan dan
layanan pendidikan keaksaraan diujicobakan, kemudian diharapkan program
keaksaraan harus dirancang dan dibuat berdasarkan model-model keaksaraan
sebagai respon atau kebutuhan, minat, kenyataan, dan sumber setempat. Namun
tingkat keaksaraan secara umum masih juga rendah. Menyadari adanya hal
tersebut dipandang perlu adanya sistem pengembangan bahan belajar dan
pembelajaran keaksaraan kungsional berbasis potensi lokal, karena terdapat
kebutuhan dan peluang bagi penyelenggara program, serta kebutuhan masyarakat
perlu lebih dikaji kembali. Masyarakat penyandang buta aksara memiliki
kecenderungan mengikuti program keaksaraan, namun beberapa faktor penyebab
rendahnya minat dan motivasi, model pembelajaran tidak variatif, serta sistem
pembelajaran yang membosankan.
Pemerintah sedang memfokuskan penyelenggaraan pendidikan dasar dan
penuntasan buta aksara karena kedua komponen ini merupakan salah satu faktor
keberhasilan peningkatan indek pembangunan manusia. Dengan kata lain
masyarakat buta aksara merupakan salah satu komponen yang menentukan tinggi
rendahnya IPM suatu bangsa. Disisi lain pencapaian program pemberantasan buta
aksara pada tahap pemelekan aksara dasar cenderung masih bersifat baca, tulis,
hitung semata, sehingga hasilnyapun cenderung berorientasi pada pencapaian
penurunan angka buta aksara. Hasil belajar keaksaraan fungsional tersebut harus
diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan pemilikan keterampilan tertentu
disamping tetap mempertahankan perubahan sikap atas pencapaian melek aksara
dan penerapan pada kehidupan sehari-hari yang berimplikasi pada peningkatan
kualitas hidup. Hal ini disebabkan karena proses dan hasil belajar keaksaraan
berkualitas merupakan penguatan untuk mengembangkan hidup.
Dalam kondisi hidup Indonesia akhir-akhir ini, yang sarat dengan politik,
ekonomi, agama kepercayaan, sosial, dan budaya tidak mungkin menerapkan satu
atau dua filosofi keaksaraan. Kusnadi et.al. (2005) menyarankan Indonesia harus
menerapkan, kombinasi sublimasi, dan integrasi dari filosofi-filosofi keaksaraan
secara kritis, keaksaraan politis, keaksaraan spiritual, keaksaraan ekonomi, sosial,
budaya, keaksaraan perempuan, keaksaraan keluarga, dan keaksaraan kontekstual.
Tegasnya penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan di Indonesia
kedalam materi pembelajaran pendidikan keaksaraan yang mencerminkan
keadaan geografis, kebudayaan, kondisi sosial masyarakat, agama, dan bahasa
setempat, termasuk masalah kesehatan, pertanian, kesempatan kerja dan lainnya.
Karena yang ada selama ini pengelolaan masih bersifat homogen secara nasional.
Implikasi homogenitasnya terhadap pengelolaan tercermin dalam bahan ajar,
strategi pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi proses, hasil belajar dan
latihan, serta berbagai pelatihan tutor sangat terbatas.
Program pendidikan keaksaraan saat ini masih memunculkan persoalan
yang perlu penelaahan mendalam. Berdasarkan hasil telaahan terhadap semua
penelitian masalah yang sering muncul dalam penyelenggaraan program
pendidikan keaksaraan adalah kurang profesionalitas pengelolaan, dan rendahnya
mutu pelayanan yang datang dari pengelola, fasilitator, dan tutor. Hasil penelitian
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, dan Pemuda bekerja sama dengan
BPS tahun 2004 pada sejumlah kabupaten di Indonesia dengan prevalensi
kemiskinan dan buta aksara yang tinggi, mencatat adanya kelemahan dalam
pengelolaan program keaksaraan, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan,
koordinasi, maupun monitoring. Masalah lainnya adalah putus sekolah (drop out)
peserta belajar masih tinggi, kekurangan sarana prasarana, model program
pembelajaran tidak jelas, buku-buku paket kurang, keterbatasan tenaga tutor, dan
tutor tidak terlatih, serta sarana-prasarana (Direktorat Jenderal PLSP dan Biro
Pusat Statistik: 2004).
Hasil identifikasi diperoleh terdapat peserta belajar masih mengikuti
belajar keaksaraan, terlihat peserta senang, bersemangat, dan serius mengikuti
proses belajar, bersedia diajari. Kegiatan belajar berjalan baik, pembelajaran
dilaksanakan tiga tahap, yakni tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap mahir. Data
hasil pembelajaran keaksaraan diperoleh sejak tahun 2005 sampai tahun 2008
terdapat empat angkatan telah menyelesaikan pembelajarannya. Peserta belajar
mengikuti pembelajaran keaksaraan dinyatakan selesai belajar keaksaraan tingkat
dasar telah memperoleh Sukma 1, tingkat lanjutan Sukma 2, tingkat mandiri
Sukma 3, namun permasalahannya adalah hasil pembelajaran tidak segera dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kendala-kendala tersebut secara aktual dapat diidentifikasi dari berbagai
indikasi: (1) keterbatasan penyelenggara dalam pelaksanaan program, terbatas
sarana/prasaran pendidikan; (2) pengetahuan dan keterampilan tutor terbatas
sehingga peserta merasa sulit mengikuti kegiatan belajar; (3) bahan materi belajar
tidak tersedia, mengakibatkan baik tutor melakukan kegiatan belajar seadanya
pada peserta belajar; (4) peserta belajar kurang memahami dengan jelas tujuan
belajar, serta kecenderungan pemanfaatan hasil belajar pada kehidupan dimasa
akan datang; (5) usia penduduk Komunitas Adat rata-rata diatas 15 tahun
sehingga sulit untuk dibelajarkan. Kondisi tersebut di atas banyak diakibatkan
oleh ketidak sesuaian antara materi bahan belajar pada paket belajar dengan
kebutuhan belajar yang realistik, sehingga kurang menumbuhkan motivasi dan
gairah belajar pada peserta belajar.
Sejalan dengan kondisi di atas, masalah yang perlu diperhatikan dalam
inovatif dalam pengelolaan program pendidikan keaksaraan bisa mengangkat
pembelajaran berbasis potensi lokal bagi Komunitas Adat Terpencil.
Pengembangan pembelajaran keaksaraan didasarkan pada kebutuhan belajar
berbasis potensi lokal alam pertanian sesuai kehidupan Komunitas Adat di daerah
pegunungan. Penetapan pengembangan pembelajaran didasarkan pada analisis
potensi lokal yang terdapat di daerah setempat, dimana akan diselenggarakannya
program pengembangan model belajar keaksaraan fungsional. Potensi pertanian
tersebut terdiri dari berbagai jenis pertanian dan perkebunan serta
pengembangannya yang dapat diungkapkan yaitu: (1) pertanian tanaman cokelat
(cacao); (2) perkebunan kacang tanah (peanuts).
Kedua jenis tanaman tersebut akan dikembangkan kedalam materi belajar
keaksaraan fungsional disesuaikan dengan kebutuhan belajar peserta. Dalam
pengembangan pembelajaran tidak semua unsur pertanian dan perkebunan pada
kedua jenis tenaman tersebut secara detail dikembangkan dalam materi belajar
serta dalam pembelajaran, mengingat terdapat beberapa keterbatasan dalam hal
waktu, fasilitas, kesiapan nara sumber/pelatih, fasilitator, pengelola pelatihan,
tutor serta peneliti sendiri. Pengembangan pembelajaran keaksaraan fungsional
menyangkut dengan pembelajaran berbasis potensi lokal pertanian diduga dapat
berpengaruh terhadap penguasaan kompetensi keaksaraan di tingkat mandiri bagi
Komunitas Adat/peserta belajar. Materi belajar terkait dengan potensi lokal
pertanian dilatih dan diajari dalam kegiatan pembelajaran keaksaraan diduga akan
dengan mudah dicerna, serta dipahami oleh peserta belajar karena pertanian dan
Merujuk pada uraian penjelasan di atas penelitian ini merancang
pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi lokal
pertanian untuk memberdayakan Komunitas Adat Terpencil, implementasi, serta
efektivitas pengembangan pembelajaran dalam memberikan layanan pembelajaran
yang memuaskan bagi kebutuhan Komunitas Adat. Secara lebih spesifik,
pengembangan model yang dirancang, dikhususkan bagi pembelajaran keaksaraan
tingkat mandiri diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
Pembelajaran keaksaraan fungsional hanya dapat didefinisikan secara
utuh, jika mengacuh pada konteks lokal dan kebutuhan khusus peserta belajar.
Namun kenyataan selama ini pembelajaran yang dilaksanakan terhadap peserta
belajar keaksaraan fungsional tetap menggunakan bahan belajar rujukan dari pusat
dan atau provinsi. Daerah kabupaten/kota belum dapat membuat materi belajar
potensi daerah sesuai kebutuhan daerah setempat. Jadi penggunaan materi belajar
masih tetap terpusat. Sedikit sekali bahkan belum ada perangkat daerah yang
bersedia mengembangkan program pembelajaran keaksaraan di provinsi atau
kabupaten/kota dengan materi belajar berbasis potensi-potensi lokal kehidupan
peserta belajar. Pengembangan model pembelajaran ini tidak akan membawa
perubahan berarti pada pencapain penguasaan peserta belajar pada pembelajaran
keaksaraan ditingkat mandiri, terutama terkaidengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengembangan pembelajaran seperti ini hanya menghasilkan belajar pada tataran
kerangka berpikir yang ada dan sebatas menambah keterampilan yang belum tentu
Dari beberapa permasalahan diidentifikasi seperti belum tertanganinya
penyandang buta aksara yang benar dan sungguh-sungguh, belum terlaksananya
kegiatan pembelajaran keaksaraan secara fungsional, belum optimalnya
peningkatan layanan belajar untuk pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, dan
potensi lokal masyarakat (pertanian) belum dioptimalkan, serta tantangan target
pemerintah tahun 2012 nanti, yakni jumlah buta aksara akan ditekan menjadi satu
persen maka fokus penelitian ini adalah “Pengembangan pembelajaran keaksaraan
fungsional melalui penguatan potensi lokal pertanian bagi pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil.”
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Pemberantasan buta aksara merupakan salah satu program pendidikan
jalur pendidikan nonformal, sampai sekarang sedang dilaksanakan dan menjadi
bagian integral dari upaya pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari
kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan serta ketidakberdayaan. Melalui
program ini penyandang buta aksara akan memperoleh keterampilan lanjutan
membaca, menulis, mampu berbahasa Indonesia, memperoleh keterampilan
fungsional, yang bermakna dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Namun kenyataan banyak peserta belajar setelah mengikuti kegiatan pembelajaran
keaksaraan mereka berhenti belajar karena belajar tidak menarik, sangat
membosankan, buang waktu, tenaga, serta tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Yang menjadi permasalahan adalah rendahnya pengembangan model
belajar pada masyarakat/Komunitas Adat diakibatkan oleh rencana penyelenggara
pengetahuan dan keterampilan tutor serta kegiatan belajar. Masalah-masalah
tersebut jelas terlihat setelah program belajar keaksaraan selesai dilaksanakan
peserta memperoleh Surat Tanda Selesai Belajar (STLB), namun peserta merasa
tidak tuntas belajar karena belum memiliki keterampilan fungsional yang berarti
bagi kehidupannya. Masalah-masalah tersebut terlihat dari ketidak berhasilan
penyelenggaraan program belajar pada peserta belajar, pengetahuan, keterampilan
tutor terbatas, pelayanan terhadap kelompok belajar rendah dan penyelenggara
program tidak memiliki kemampuan dalam mengembangkan model belajar sesuai
potensi lokal masyarakat, dimana kelompok belajar dibentuk.
Memperhatikan kondisi tersebut di atas maka diperlukan sebuah model
pembelajaran untuk pengembangan yang disesuaikan dengan kemampuan dan
daya dukung nara sumber, penyelenggara, pelatihan tutor, motivasi tutor serta
peserta belajar. Oleh karena itu pengembangan model pembelajaran keaksaraan
fungsional berbasis potensi lokal pertanian diharapkan mampu menjawab
permasalahan. Mencoba mengembangkan materi pembelajaran serta evaluasi hasil
belajar potensi pertanian sesuai kebutuhan hidupnya Komunitas Adat Terpencil.
Konsep pengembangan dalam penelitian disini diarahkan sebagai
peningkatan belajar. Dengan demikian, maka model pengembangan pembelajaran
keaksaraan fungsional yang dikembangkan didalamnya mencakup, perencanaan
program, pelatihan tutor, pelaksanaan kegiatan belajar, penyiapan materi belajar,
proses belajar dan latihan, evaluasi hasil belajar, dan penyadaran. Pengembangan
pembelajaran keaksaraan fungsional didefinisikan sebagai proses pemberdayaan
belajar merasa memiliki agar dapat bertahan (survive) dalam mempertahankan
serta mengembangkan hidupnya.
Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Marrifield dalam Wahyudin (2008)
bahwa “the social impacts of literacy appear to be the guiding purfose for public
investment in literacy educatioan”. Dampak sosial dari keaksaraan seandainya
menjadi tujuan untuk membantu investasi publik penyelenggaraan pendidikan
keaksaraan. Makna sosialnya bisa bervariasi antara bangsa satu dengan bangsa
lain, namun makna esensinya tetap saja sama, yakni bagi mereka yang
memperoleh pengetahuan dan keterampilan menjadi bisa memanfaatkan serta
mengaplikasikan secara fungsional dalam kebutuhan hidup sehari-hari.
Pembelajaran berbasis potensi lokal dijadikan landasan pengembangan
model belajar, yakni materi ajar, kegiatan belajar, kegiatan latihan, media belajar,
evaluasi hasil belajar. Pendapat para ahli pendidikan nonformal dimana isu kajian
dan penelitian pengembangan belajar, khususnya mengenai pembelajaran berbasis
potensi lokal dapat ditelusuri yaitu, merujuk kepada hasil-hasil kajian pustaka
yang berkaitan dengan konteks sosial potensi lokal dan kebutuhan khusus
Komunitas Adat. Kajian lapangan (field work) para peneliti beserta referensi
tentang belajar berbasis potensi lokal yaitu bagaimana memanfaatkan kemampuan
membaca dan menulis berkelanjutan tiap individu guna memecahkan masalah,
melaksanakan tugas-tugas serta kewajibannya dalam kehidupan. Untuk mengkaji
pembelajaran peserta belajar dalam penelitian ini, kedua cara tersebut diterapkan
Potensi lokal merupakan sumber daya terdapat dalam suatu wilayah
tertentu merupakan sumberdaya yang dikembangkan dari tradisi kearipan yang
dimiliki dalam suatu masyarakat bersahaja sebagai bagian dari kebudayaannya.
Pendapat Tutik et.al, (2008) mengemukakan ciri-ciri umum potensi lokal adalah:
(1) ada pada lingkungan suatu masyarakat; (2) masyarakat merasa memiliki; (3)
bersatu dengan alam; (4) memiliki sifat universal; (5) bersifat praktis; (6) mudah
digunakan dengan menggunakan common sense; (7) merupakan warisan
turun-temurun. Dengan penggunaan potensi sumber daya daerah pengembangan belajar
pada kelompok belajar, maka hasil belajar akan segerah dirasakan dan bermakna
dalam kehidupannya. Pendapat Kindervatter (1979), mengatakan bahwa pada
prinsipnya masyarakat itu memiliki potensi atau kekuatan yang dapat
dikembangkan dalam kehidupannya melalui partisipasi, kolaborasi, demokrasi,
kesederajatan, pembebasan dan peningkatan.
Unsur-unsur potensi lokal terdapat di setiap daerah dan melekat dalam
memenuhi kehidupan masyarakat sehari-hari dikemas dalam buku modul belajar
keaksaraan dan dikembangkan tutor dalam kegiatan belajar, kegiatan latihan,
evaluasi hasil belajar dan latihan diduga akan berpengaruh secara signifikan
terhadap pemberdayaan Komunitas Adat. Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil dalam penelitian ini mengacu pada tiga hal yaitu: (1) tingkat
pemahaman materi-materi belajar berbasis potensi lokal; (2) pengembangan
model belajar tergambar dalam modul belajar potensi pertanian; (3)
pemberdayaan pada Komunitas Adat Terpencil mengacu pada keputusan Presiden
Terpencil. Sedangkan pengembangan model pembelajaran keaksaraan (materi
belajar, kegiatan belajar, latihan, evaluasi belajar latihan) menjawab kebutuhan
peserta belajar mengacu pada standar pelayanan jasa yang berkualitas, yaitu
tangible, emphaty, responsiveness, reliability, assurance, selanjutnya diadaptasi
dan diberlakukan dalam pelayanan publik oleh Pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Menpan Nomor: 81/1995.
Selama ini pembelajaran yang digunakan dalam program pendidikan
keaksaraan lebih menekankan pada materi belajar telah disediakan penyelenggara
program, belum menyesuaikan dengan karakteristik potensi daerah dimasyarakat.
Materi belajar yang digunakan oleh tutor homogen untuk semua daerah. Sedikit
sekali perangkat pembelajaran keaksaraan fungsional yang mengembangkan dari
karakteristik potensi lokal peserta belajar. Pembelajaran ini tidak akan membawa
perubahan berarti pada pencapaian penguasaan kompotensi dasar peserta belajar,
terutama untuk memberdayakan dan memenuhi kebutuhan hidup. Pengembangan
pembelajaran seperti ini hanya menghasilkan belajar pada tataran kerangka
berpikir yang ada, dan sebatas menambah keterampilan yang belum tentu
diaplikasikan. Tanpa mengecilkan manfaatnya pengetahuan yang diperolehnya
belum mampu sebagai daya ungkit untuk memenuhi, meningkatkan dan
mengembangkan, serta mampu memberi kontribusi pada upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat bukan dari segi kemampuan baca-tulis, namun
hendaknya program pendidikan keaksaraan itu betul-betul berperan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan melalui pembelajaran berorientasi untuk perbaikan
serta peningkatan pendapatan mereka.
Penelitian ini selanjutnya memfokuskan kajian pada pengembangan model
pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi lokal pertanian bagi
pemberdayaan Kominitas Adat Terpencil di Kecamatan Waiapo, Kabupaten Buru.
Kecamatan Waiapo dipilih sebagai lokasi penelitian karena penyandang buta
aksara rmasuk dalam kategori tinggi saat penelitian dilakukan, walaupun Provinsi
Maluku tidak termasuk dalam 12 Provinsi penyandang buta aksara tertinggi di
Indonesia, namun dari sebelas kabupaten/kota, lima Kabupaten penduduknya
masih menyandang buta aksara dan cukup tinggi terdapat di Kabupaten Buru.
Permasalahan model pembelajaran keaksaraan fungsional terkait dengan
pengembangan kemampuan penyelenggara, tutor, hasil belajar saat ini belum
menjawab kebutuhan peserta belajar/Komunitas Adat Terpencil. Untuk itu maka
pemecahannya diperlukan pengembangan pembelajaran keaksaraan yang mampu
mengangkat potensi daerah Komunitas Adat Terpencil. Sehubungan dengan itu
maka masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana Pandangan Komunitas Adat
Terpencil terhadap pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta
penyelenggaraan program keaksaraan fungsional untuk memberdayakan
kehidupannya”?. Pendekatan pada konsep permasalahan penelitian tersebut di atas
mengarahkan pada fokus penelitian, yaitu: “Pengembangan Model Pembelajaran
Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi Lokal Pertanian bagi Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil” maka penelitian berfokus kearah ini. Secara
1. Bagaimana kondisi aktual sosial ekonomi, dan pengembangan program
pendidikan keaksaraan fungsional ?
2. Bagaimana model konseptual pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis
potensi lokal pertanian dapat memberdayakan Komunitas Adat Terpencil ?
3. Bagaimana implementasi model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis
potensi lokal pertanian dapat memberdayakan Komunitas Adat Terpencil ?
4. Bagaimana efektivitas model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis
potensi lokal pertanian dapat memberdayakan Komunitas Adat Terpencil ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengembangan model
pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi lokal pertanian bagi
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Secara rinci tujuan utama lokal
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi tentang kondisi aktual sosial ekonomi dan
pengembangan pendidikan keaksaraan di lapangan.
2. Memperoleh informasi tentang model konseptual pembelajaran keaksaraan
fungsional berbasis potensi lokal pertanian dapat memberdayakan Komunitas
Adat Terpencil.
3. Memperoleh informasi tentang implementasi model pembelajaran keaksaraan
fungsional berbasis potensi lokal pertanian dapat memberdayakan KAT.
4. Memperoleh informasi tentang efektivitas model pembelajaran keaksaraan
D.Manfaat Penelitian
Studi ini akan memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan dan
kajian pendidikan nonformal, khususnya berkaitan dengan pengembangan model
pembelajaran keaksaraan fungsional dapat memberdayaan Komunitas Adat.
Temuan penelitian dapat memperkaya penguatan terhadap tutor keaksaraan yang
mengakomodasi potensi lokal pertanian berimplikasi terhadap materi belajar,
kegiatan belajar latihan dan evaluasi hasil belajar latihan. Dalam penyelenggaraan
pembelajaran keaksaraan, tutor, materi belajar potensi lokal sebagai instrument
input berdampak terhadap keberhasilan pendidikan luar sekolah dalam
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, serta perubahan sikap peserta belajar/
Komunitas Adat. Disisi lain temuan penelitian ini memberikan perluasan dalam
kemasan materi belajar, strategi pengembangan belajar, latihan serta evaluasi
belajar, mengangkat potensi lokal pertanian yang terdapat di daerah, sehingga
hasil temuan ini akan memperluas strategi penyelenggaraan program pendidikan
luar sekolah.
Sesuai proses pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional
berbasis potensi lokal pertanian bagi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang dihasilkan, didasarkan pada kajian teoritis dan data-data empirik merupakan
hasil yang nantinya kelak dapat dipercaya, dipertanggung jawabkan, efektif, dan
efisien. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi pemantapan teori-teori yang
telah berkembang, layak digunakan sebagai bahan kajian ilmiah, memberikan
pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi pertanian, kebutuhan peserta
belajar di jalur pendidikan luar sekolah guna mengembangkan masyarakat.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih pada perencana
pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini
Nonformal dan Informal (PAUDNI), Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal
dan Informal (BP2NFI), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) dan bagi
nara sumber, tutor, fasilitator, serta pengambil kebijakan tentang bagaimana
model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi pertanian lebih
memperhatikan kebutuhan hidup, kemampuan, potensi peserta belajar/KAT.
Hasil penilitian ini dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan
model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis potensi lokal pada
satuan-satuan pendidikan luar sekolah (nonformal), terutama dalam rangka
memberdayakan KAT, khususnya pada pengembangan belajar keaksaraan. Secara
praktis penelitian ini dapat memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan
pembelajaran dengan materi-materi belajar berbasis potensi lokal dalam
pemberdayaan KAT, sehingga hasil pengembangan belajar dapat direflikasikan
serta pengembangannya secara lebih luas kepada masyarakat sasaran program
keaksaraan fungsional. Manfaat yang didapat dari penelitian pengembangan
model belajar keaksaraan berbasis potensi lokal, diharapkan: (1) pemanfaatkan
potensi lokal daerah KAT; (2) Komunitas Adat memiliki keterampilan dan
pengetahuan; (3) hasil belajar latihan dapat daplikasikan dalam peningkatan
hidup; (4) keterampilan yang dimiliki Komunitas Adat Terpencil dapat ditularkan
E.Kerangka Pikir
Fokus penelitian yang akan dikemukakan dalam penelitian ini yakni:
“Bagaimana Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Berbasis Potensi Lokal Pertanian untuk pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil,
maka kerangka berpikir yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah,
“Proses Pengembangan Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Berbasis
Potensi Lokal Pertanian sebagai sebuah sistem”: Pembelajaran orang dewasa,
konsep operasional dan Pemberdayaa KAT.
Definisi konteks lokal adalah adanya kebutuhan dan peluang bagi
pelaksanaan program pendidikan keaksaraan fungsional sehingga terlibat dalam
pelaksanaan program keaksaraan hendaknya mampu mendesain potensi lokal
keaksaraan, bahwa program ini dibuat dan dirancang berdasarkan model-model
keaksaraan sebagai respon atas kebutuhan, minat, kenyataan, dan sumber-sumber
daerah setempat. Kusnadi, et al. (2006). Pengembangan keaksaraan fungsional
potensi lokal dalam pembelajaran harus mencerminkan keadaan geografis,
kebudayaan, kondisi sosial masyarakat, agama, dan bahasa setempat termasuk
masalah kesehatan, pertanian, kesempatan kerja, serta kendala lainnya.
Keaksaraan fungsional potensi lokal adalah keaksaraan yang mengacu
pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus setiap peserta belajar. Potensi
lokal merupakan proses pengembangan model belajar pendidikan keaksaraan
fungsional (development-literacy). Berbasis potensi daerah setempat merupakan
suatu sistem dipengaruhi oleh berbagai komponen-komponen berpengaruh
keterampilan pertanian. Pemberdayaan kebutuhan peningkatan akses KAT
terhadap pertanian dapat berkembang, serta berdampak terhadap kehidupan KAT.
Materi belajar berbasis potensi lokal disediakan penyelenggara program
pendidikan keaksaraan adalah bukan materi belajar telah disediakan dan atas
petunjuk arahan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan
Informal, tetapi pemakaian materi belajar disusun berdasarkan hasil kajian, dan
analisis potensi daerah setempat yang akan diadakan dalam kegiatan pembelajaran
keaksaraan, kemudian disusun oleh para penulis sesuai metode pembelajaran
keaksaraan potensi daerah, serta kebutuhan belajar peserta/KAT. Pengadaan
materi belajar disediakan penyelenggara program pendidikan keaksaraan untuk
dipergunakan tutor dan peserta belajar adalah benar-benar sesuai kebutuhannya.
Kegiatan pengembangan model belajar keaksaraan dikaji dengan konsep
andragogi mencakup konsep diri, pengalaman belajar, kemauan belajar,
pengalaman bekerja, orientasi belajar, minat serta motivasi. Dari sisi
pengembangan pembelajaran program keaksaraan berbasis potensi lokal kerangka
yang dikaji, dikembangkan meliputi: (1) rancangan pengelolaan pengembangan
belajar; (2) pengembangan materi, media belajar potensi lokal; (3) pelatihan tutor
dan strategi kegiatan belajar; (4) evaluasi/penilaian dalam proses dan hasil belajar;
(5) memiliki keterampilan pengetahuan pemenuhan kebutuhan program berlanjut.
Pengembangan model program pembelajaran keaksaraan fungsional untuk
mengembangkan layanan belajar bagi masyarakat miskin (providing acces to the
poor). Pembelajaran dilakukan dengan baik agar menarik perhatian masyarakat
kebutuhan masyarakat, maka program keaksaraan fungsional harus menyentuh
kegiatan ekonomi langsung dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Penyelenggaan pembelajaran keaksaraan merupakan upaya memberantas ketuna
aksaraan, dan memberikan pendidikan berkelanjutan bagi aksarawan baru yang
diselenggarakan melalui program keaksaraan khusus bagi masyarakat/orang
dewasa berdasarkan minat dan kebutuhan (Appeal: 1994). Pengembangan model
pembelajaran program keaksaraan fungsional melaksanakan kegiatan dengan
proses partisipatif sesuai dengan kebutuhan lokal pelaksanaan pembelajaran harus
mengacu pada masing-masing lokasi/wilayah, serta menciptakan situasi belajar
yang kondusif antara lain dengan: (1) menggunakan pendekatan berorien-tasi
tujuan belajar; (2) menggali minat dan kebutuhan belajar peserta; (3) belajar dari
pengalaman sendiri; (4) berpusat pada masalah yang dihadapi peserta belajar.
Dengan demikian pengembangan model pembelajaran program keaksaraan
fungsional secara operasional didefinisikan sebagai upaya menciptakan abstraksi
sebuah proses belajar KAT yang belum memiliki pengetahuan, keterampilan
potensi lokal sesuai yang ada di daerahnya. Kemudian dari hasil belajarnya dapat
segera diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Proses Pemberdayaan atau konsep empowering process merupakan konsep
another development, merupakan model pembangunan dengan menggunakan
pendekatan humanis (Kindervatter:1979), bahwa cara paling tepat untuk
membangun masyarakat adalah dengan pemberdayaan. Terdapat lima model
strategi untuk menciptakan pemberdayaan masyarakat yaitu: (1) pendekatan yang
yang terjadi di masyarakat tersebut; (3) pendekatan mengutamakan terciptanya
rasa percaya diri dan memiliki sikap mental (endegenous self relient); (4)
pendekatan dilaksanakan dengan tidak melupakan aspek lingkungan (ecologically
sound; (5) pendekatan berorientasi pada perubahan struktur atau sistem yang ada
(based on structural transformation system).
Berdasarkan produk kerangka berpikir terkait dalam komponen penelitian
ini, secara skematik divisualisasikan pada gambar berikut di bawah ini:
F.Definisi Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam menafsirkan
permasalahan penelitian ini, berikut akan dikemukakan definisi pada beberapa
istilah berkaitan dengan komponen penelitian ini.
1. Pengembangan pembelajaran keaksaraan fungsional (funtional literacy)
berbasis potensi lokal dalam penelitian ini makna model menuju pada
abstraksi suatu entitas. Ismadi dalam Wahyudin, (2008) yang dimaknai
sebagai upaya penyederhanaan suatu fenomena alamiah sehingga mudah
dipahami dan dapat dianalisis. Sedangkan makna keaksaraan fungsional dalam
penelitian ini adalah dalam arti sempit, yakni merupakan salah satu kegiatan
dalam upaya meningkatkan pembelajarkan masyarakat buta aksara sehingga
mereka mamiliki peningkatkan kemampuan baca-tulis-hitung (calistung),
bahasa Indonesia serta pengetahuan dasar agar terwujud masyarakat gemar
belajar. Istilah fungsional dalam penelitian ini, adalah pembelajaran yang
hasilnya disesuaikan dengan kondisi alam/daerah sertempat untuk dapat
dimanfaatkan bagi kehidupan. Artinya, mereka tidak hanya memiliki
kemampuan membaca, menulis, berhitung, serta keterampilan bekerja
berusaha/bermatapencaharian saja, akan tetapi juga dapat survive dalam dunia
kehidupannya (Sudjana:2004).
Substansi model pendidikan keaksaraan fungsional yang dikembangkan
adalah berbasis potensi pertanian Arief dalam Kusnadi, et al. (2005)
mengungkapkan bahwa pengembangan model pendidikan keaksaraan
merespon terhadap inovasi baru dalam bidang pertanian. Berdasarkan studi
tersebut pemberantasan buta aksara dapat dijadikan instrument penting untuk
memecahkan masalah-masalah lainnya di bidang sosial ekonomi. Sistem
pembelajaran kepada warga masyarakat yang tergolong tiga buta secara
fungsional dapat diterapkan dalam kehidupan warga belajar.
Menurut Arief, (1995) “Kekasaraan didefinisikan secara luas yaitu sebagai
pengetahuan dasar dan keterampilan, diperlukan oleh semua di dalam dunia
yang berubah cepat adalah merupakan hak asasi manusia”. Pembelajaran
dilaksanakan tutor/fasilitator pada kelompok-kelompok belajar fungsional
kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan membaca, menulis, dan berhitung
serta berkomunikasi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta
cara-cara disesuaikan dengan kebutuhan hidup warga masyarakat setempat..
Pembelajaran orang dewasa akan berhasil jika dalam pelaksanaannya
melibatkan fisik maupun mental emosional peserta belajar. Pada prinsipnya
pembelajaran bagi orang dewasa harus bersifat andragogy dengan selalu
mempertimbangkan berbagai asumsi dan kebutuhan tentang orang dewasa,
namun pelaksanaan pembelajaran keaksaraan fungsional di beberapa daerah
sampai saat ini belum optimal serta belum sesuai dan menjawab pemenuhan
kebutuhan hidup warga masyarakat miskin.
Program pendidikan keaksaraan fungsional dalam pengembangan kegiatan
pembelajaran terdapat tiga tingkatan/tahapan belajar yang dilaksanakan pada
peserta belajar/Komunitas Adat Terpencil, yaitu: (1) keaksaraan tingkat dasar,
belum dapat membaca, menulis (buta aksara) dengan kegiatan belajar berkisar
pad abaca-tulis-hitung fungsional. Materi belajar yang diajrkan adalah
kehidupan sehar-hari, waktu belajar enam bulan.
Keaksaraan fungsional tingkat lanjutan adalah kegiatan belajar keaksraan
bagi peserta belajar yang dinyatakan telah selesai belajar keaksaraan tingkat
dasar dibuktikan dengan Surat Tanda Selesai Belajar STSB tingkat dasar.
Peserta belajar tingkat dasar mengikuti belajar keaksaraan lanjutan. Materi
belajarnya kehidupan sehari-hari, kegiatan belajar penguatan kelancaran
membaca, menulis dan ditambah dengan belajar keterampilan hidup/berusaha.
Waktu belajar keaksaraan tingkat lanjutan tiga sampai empat bulan.
Keaksaraan fungsional tingkat mandiri, adalah kegiatan belajar keaksaraan
bagi peserta belajar telah selesai belajar ditingkat dasar, lanjutan, dibuktikan
dengan STSB dasar dan lanjutan. Peserta belajar yang mengikuti belajar
aksara pada tingkat mandiri dinyatakan telah terampil, membaca menulis
berbagai keterampilan. Kegiatan belajar dilaksanakan adalah keterampilan
hidup yang diinginkan oleh peserta belajar sendiri, waktu belajar yaitu tiga
sampai empat bulan.
2. Potensi lokal di sini dapat diartikan segala potensi dan karya yang terdapat di
suatu daerah menjadi karakteristik daerah tersebut. Keunggulan lokal juga
berarti sumberdaya (resources) alam dan manusia yang terdapat di daerah dan
tidak terdapat di daerah lain. Potensi lokal adalah segala sesuatu yang
merupakan ciri khas kedaerahan, mencakup aspek sosial ekonomi, budaya,
mengatakan bahwa potensi lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi,
budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya
yang menjadi potensi keunggulan suatu daerah.
Potensi Lokal adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari
suatu potensi daerah sehingga menjadi produk/jasa, karya lain yang bernilai
tinggi bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan lokal
dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi sumber daya
spesifik yang dimiliki suatu daerah. Keunggulan potensi lokal ini merupakan
paduan dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pendidikan keaksaraan dengan kondisi aktual di daerahnya.
Pembelajaran keaksaraan potensi lokal menjadi aktual dan mengarah pada
pemecahan masalah yang dihadapi Komunitas Adat Terpencil. Dengan
demikian pendidikan keaksaraan berbasis potensi lokal, adalah pendidikan
yang membelajarkan keunggulan-keunggulan daerah merupakan potensi dan
ciri khas Komunitas Adat yang dihasilkan dari potensi alam dan manusia di
daerahnya. Keunggulan lokal menjadi bahan untuk terus dikembangkan
sehingga menjadi kumpulan potensi yang telah dikembangkan dan menjadi
barometer pengembangan Komunitas Adat Terpencil. Potensi lokal pada
pembelajaran keaksaraan fungsional adalah mengacu pada konteks sosial lokal
dan kebutuhan khusus dari peserta belajar/ kelompok belajar/Komunitas Adat
Terpencil.
Peserta belajar/Komunitas Adat hidup di daerah pedesaan, terpencil, atau
belajar tentang pertanian, perkebunan dengan baik dan benar. Komunitas Adat
yang kebutuhan kehidupannya dalam bidang pertanian masih terikat
adat-istiadat dan budaya, kadang-kadang kurang kondusif bagi berlangsungnya
pendidikan. Potensi lokal daerah harus memiliki lembaga-lembaga pendidikan
dijadikan pilot project untuk mengembangkan pendidikan keaksaraan berbasis
potensi lokal daerah, agar potensi sumber daya lokal yang telah dimiliki dapat
digunakan untuk kebutuhan Komunitas Adat dan terhadap daerahnya.
Langkahnya harus ditanggapi pemerintah terkait sebagai usaha kongkrit dalam
pembangunan dan pengembangan potensi daerahnya. Komunitas Adat
Terpencil dilibatkan untuk berperan aktif bersama-sama mewujudkan
pendidikan keaksaraan berbasis potensi lokal agar bermanfaat bagi
kesejahteraan daerah (pemerintah) dan Komunitas Adat. Adalah merupakan
panggilan untuk meningkatan kapasitas Komunitas Adat yang berdaya melalui
pendidikan keaksaraan fungsional berbasis potensi lokal.
3. Pemberdayaan “empowerment” secara harfiah bisa diartikan sebagai
“pemberkuasaan” yakni pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada
masyarakat lemah atau tidak beruntung, selanjutnya pemberdayaan dapat
dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan kepada masyarakat agar
individu menjadi lebih berdaya. Kedua menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong, memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
“People gaining an understanding of and control over social, economic,
and/or political forces in order to imprave their standing in society” (orang
meraih pemahaman dan kontrol atas daya-daya sosial ekonomi dan/atau
politik guna memperbaiki kedudukannya ditengah masyarakat).
Pemberdayaan merupakan suatu proses menyangkut hubungan-hubungan
kekuatan/kekuasaan yang berubah antara individu, kelompok dan
lembaga-lembaga sosial. Pemberdayaan masyarakat menurut Pranaka dalam Roesmidi
dan Risyanti, (2008) mengemukakan “pemberdayaan masyarakat sebagai
konsep dalam pembangunan memiliki perspektif yang luas. Pemberdayaan
berarti pembangunan kekuasaan yang adil (equitable sharing of power)
sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok lemah,
serta memperbesar pengaruh mereka terhadap sumber daya dan
pengelolaannya secara berkelanjutan.
Jika dikaitkan dengan keaksaraan fungsional (fungtional literacy) dapat
diinterpretasikan sebagai sumber pemberdayaan masyarakat. Program
keaksaraan fungsional memberikan akses terhadap pengetahuan tertulis yang
dapat dianggap sebagai suatu kekuatan. Proses pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil menuju kearah fungsionalisasi hasil dan dampak pembelajaran
bagi kehidupan Komunitas Adat menuju kearah fungsionalisasi hasil dan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif
dengan rancangan penelitian dan pengembangan pendidikan (education research
and development) yang ditulis oleh Borg dan Gall (1983). Research and
Development (R&D) adalah proses penelitian bertujuan untuk mengembangkan
dan memvalidasi produk pendidikan berupa tujuan belajar, metode, cara,
prosedur, kurikulum, evaluasi, baik perangkat keras maupun lunak. Tujuan akhir
dari R&D pendidikan adalah produk baru untuk meningkatkan performansi kerja
pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran menjadi
lebih efektif dan efisien, serta sesuai tuntutan kebaruan.
Dalam penelitian ini, produk pendidikan yang divalidasi adalah
pengembangan model pembelajaran didalamnya berkenan dengan pengembangan
belajar aksara meliputi penyusunan pengembangan model konseptual, sampai
pengembangan model tentatif berdasarkan pada uji coba model. Pengembangan
model ini meliputi program belajar, pengelolaan belajar, praktek, dan evaluasi
pembelajaran keaksaraan fungsional ditingkat mandiri. Pengembangan belajar
keaksaraan berbasis potensi lokal difokuskan pada penyusunan materi belajar
substansinya diangkat dari kebutuhan peserta belajar/KAT atas unsur-unsur
potensi lokal pertanian, pengelolaan belajar difokuskan pada pengembangan
pada upaya adaptasi tes keaksaraan fungsional tingkat mandiri dan pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil.
Berdasarkan guide-line Borg dan Gall tersebut ada sepuluh tahapan yang
ditempuh dalam Educational Research and Developmen), yaitu: (1) Research and
information collecting, melakukan penelitian dan pengumpulan informasi,
termasuk membaca literatur, mengobservasi kegiatan belajar keaksaraan
fungsional, dan menyiapkan laporan tentang berbagai kebutuhan pengembangan
model pembelajaran keaksaraan potensi lokal; (2) Planning, merencanakan
prototipe komponen yang akan dikembangkan dalam pengembangan model
pembelajaran keaksaraan berbasis potensi lokal, terdiri atas pengadaan tutor
terlatih sekaligus sebagai fasilitator/nara sumber, penyusunan modul materi
belajar potensi lokal, peran aktif peserta belajar sebagai masyarakat pembelajar,
langkah-langkah pembelajaran, kerjasama dalam pembelajaran dan latihan antara
peserta dan tutor serta suasana dalam fasilitasi pembelajaran; (3) Development
preliminary from of product, mengembangkan prototife awal pengembangan
model pembelajaran keaksaraan, berupa model konseptual telah dirumuskan dari
hasil kajian dan obsevasi awal; (4) Preliminary field testing, melakukan validasi
eksternal dan ujicoba terbatas terhadap pengembangan model awal yang
dirumuskan dalam bentuk konseptual. Ujucoba dilakukan terhadap kelompok
belajar pembelajaran keaksaraan fungsional tingkat mandiri diluar kelompok
eksperimen yang memiliki kemiripan karakteristik dengan kelompok eksperimen
penelitian ini; (5) Main product revision, merevisi model awal hasil ujicoba
model; (6) Main field testing, melakukan ujicoba lapangan terhadap sasaran lebih
luas terhadap model awal yang telah direvisi. Sasaran ujicoba ini merupakan
perluasan dari ujicoba awal dengan jumlah dan kelompok sasaran lebih banyak;
(7) Operational product revision, melakukan revisi hasil ujicoba lapangan untuk
menemukan keseluruhan dan akurasi model. Revisi dilakukan terhadap berbagai
persoalan yang muncul yaitu aspek kebahasaan, penjelasan operasional penegasan
peran penyelenggara, peran tutor sebagai fasilitator/narasumber, peran peserta
belajar/KAT sebagai subjek belajar, pendampingan belajar dan latihan agar arah
pengembangan model pembelajaran sesuai tujuan keaksaraan fungsional, dan
penjelasan tentang ukuran keberhasilan model pengembangan; (8) Operational
field testing, melakukan ujicoba eksperimen lapangan secara operasional dan
terinci tentang pengembangan model pembelajaran dalam kelompok belajar
program pendidikan keaksraan fungsional tingkat mandiri; (9) Final product
revision, melakukan revisi atau penghalusan model yang telah dikembangkan
melalui beberapa tahap ujicoba, baik berkenaan aspek teknis implementatif
substantif model; (10) Dissemination and implementation, melakukan diseminasi
atau penyebaran kepada berbagai pihak agar pengembangan model yang telah
dikembangkan ini diketahui, dipahami, dan selanjutnya diimplementasikan dalam
pembelajaran keaksaraan fungsional tingkat mandiri atau kegiatan pembelajaran
kesetaraan lain yang memiliki kemiripan karakteristik dengan program pendidikan
keaksaraan. Diseminasi dilakukan dengan cara seminar pembelajaran, dialog
sejawat, aktivitas dengan penyelenggara program, aktivitas pembelajaran dengan
Secara skematis, pola pikir teoritik penelitian ini dapat digambarkan
1. Studi Eksplorasi Terhadap Kondisi Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Fungsional
Studi pendahuluan dan eksplorasi pengembangan model pembelajaran ini
dilakukan untuk mengetahui dan mendalami model-model pembelajaran program
pendidikan keaksaraan fungsional yang akan dikenai pengembangan belajar yang
(3) aspirasi atau keinginan peserta belajar terhadap materi pembelajaran yang
dikehendaki; (4) pelaksanaan kegiatan belajar dan latihan; (5) peranan tutor dalam
mengelola pembelajaran; (6) evaluasi terhadap peserta belajar dan program
pendidikan keaksaraan selama pembelajaran; (7) saling belajar antara sesama
peserta belajar selama belajar dan berlatih; (8) penguasaan materi belajar dan
latihan; (9) praktek belajar/latihan keterampilan potensi lokal; (10) penyimpulan
dan evaluasi keseluhuran program pembelajaran keaksaraan.
Untuk memperoleh data tersebut digunakan metode angket, wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi. Secara sistematis langkah-langkah studi
pendahuluan dan eksplorasi lapangan dapat dijelaskan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Langkah-Langkah Studi Pendahuluan
No Langkah-langkah kegiatan Interaksi Edukatif Alat yang digunakan
ngan pembelajaran
2. Rencana Pengembangan Model Belajar dan Ujicoba Pengembangan Perencanaan pengembangan model pembelajaran teoretik dilakukan
dengan prosedur: (1) penentuan komponen pengembangan model berdasarkan
informasi teoretik pembelajaran keaksaraan fungsional pada tingkat mandiri; (2)
melakukan validasi ahli dan praktisi tentang pengembangan model teoritik yang
diujicobakan. Penentuan komponen pengembangan model belajar dilakukan
dengan cara mengkaji secara kritis hasil-hasil studi pendahuluan dan eksplorasi
lapangan, kemudian menarik preskripsi dari kajian literatur tentang
pengembangan model pembelajaran, khsusunya teori dan praktek pembelajaran
pada program pendidikan keaksaraan fungsional. Hasil temuan pengembangan
model tersebut selanjutnya dilakukan uji validasi, implementasi pengembangan
model melibatkan ahli dibidang pembelajaran dan pendidikan guna memantapkan
Komponen pengembangan model pembelajaran keaksaraan fungsional
yang dikembangkan terdiri dari: (1) peranan penyelenggara program sebagai
pelaksana kegiatan pembelajaran keaksaraan; (2) peranan tutor sebagai fasilitator
belajar latihan (langkah dan performansi tutor dalam kegiatan belajar); (3)
peranan peserta belajar sebagai subjek belajar; (3) model setting belajar yang
mendukung pembelajaran berbasis potensi lokal pertanian; (4) pola interaksi
edukatif dan kerjasama antara tutor dengan peserta belajar; (5) perangkat
pembelajaran diperlukan untuk implementasi pengembangan model; (6) suasana
belajar diharapkan dalam mendukung pembelajaran aktif.
Harus diingat bahwa dalam pengembangan model pembelajaran, yaitu
harus diciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan peserta belajar
/KAT memiliki pengalaman belajar dari berbagai sumber, baik sumber yang
dirancang (by design), maupun yang dimanfaatkan (by utilization) untuk
keperluan pembelajaran. Kemudian dalam pengembangan belajar terdapat delapan
aspek yang perlu dilihat dalam pembelajaran, keaksaraan berbasis potensi lokal
yaitu: (1) pembelajaran keaksaraan berjalan sesuai program; (2) keterlibatan
Komunitas Adat Terpencil sebagai tutor dalam pengembangan pembelajaran
efektif; (3) pengembangan belajar dan larlatihan oleh tutor dan para peserta agar
belajar aktif; (4) kerjasama dan penciptaan suasana belajar, latihan aktif,
menyenangkan; (5) materi modul belajar potensi lokal dapat disesuaikan dengan
kebutuhan peserta belajar/KAT; (6) materi belajar dapat diterima oleh peserta
belajar; (7) evaluasi hasil belajar efektif; dan (8) hasil belajar dapat diaplikasikan
Semua aktivitas dicurahkan pada pencapaian tujuan pengembangan belajar
terhadap peserta belajar (client objective), tutor harus memerankan dirinya sebagai
fasilitator (teacher as fasilitator), proses dan dampak pengembangan belajar
adalah untuk kepentingan peserta belajar (process and outcome for client).
Berdasarkan uraian tersebut, maka strategi pengembangan model pembelajaran
keaksaraan harus dilakukan dengan cara merumuskan tujuan pengembangan
belajar atau peningkatan pemahaman yang harus dikuasai peserta belajar,
menanamkan pemahaman tutor tentang peran dirinya sebagai fasilitator belajar,
membangun pemahaman berkarakter sebagai tutor.
Metode pengumpulan data digunakan dalam tahap ini adalah wawancara
mendalam, observasi, serta pencatatan kejadian penting (anecdotal record), baik
dari hasil wawancara maupun observasi yang tidak tertangkap dalam teknik
pengumpulan data sebelumnya. Untuk kepentingan triangulasi dan verifikasi data,
digunakan forum diskusi terfokus (focus group discussion) dan delfi dengan pihak
sumber atau auditor data memiliki kredibilitas tinggi. Ujicoba perangkat model
dilakukan dengan metode limited field-trial. Hasil ujicoba kemudian direvisi
sesuai dengan permasalahan yang terjadi di lapangan untuk selanjutnya dilakukan
ujicoba lagi dalam skala lebih luas.
3. Ujicoba Produk Hasil Revisi dan Sosialisasi Hasil
Tahap ini dilaksanakan dengan cara melakukan eksperimen terhadap
kelompok sasaran program keaksaraan fungsional ditingkat mandiri. Eksperimen
dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan kehandalan pengembangan model
penghalusan pengembangan model belajar meliputi keselarasan bahasa, akselerasi
terhadap perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan belajar. Contoh-contoh
pengembangan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta
belajar, serta petunjuk penyusunan materi belajar potensi lokal digunakan tutor
dalam mengimplementasikan pengembangan model pembelajaran keaksaraan.
Pada prinsipnya eksperimen produk dan sosialisasi pengembangan model ini lebih
ditekankan pada upaya pencapaian kesempurnaan dan daya kenal pengembangan
model pembelajaran keaksaraan fungsional tingkat mandiri pada masyarakat
pendidikan nonformal, khususnya program pendidikan keaksaraan.
C. Indikator Pengembangan Pembelajaran
Beberapa indikator pengembangan belajar yang berhasil diangkat dan
disimpulkan dari berbagai sumber, serta pustaka pendukung penelitian ini adalah
sebagai berikut: (1) selalu berusaha belajar sepanjang hayat; (2) mengembangkan
sumber belajar kearah yang berkualitas; (3) membuat berbagi perubahan
pendidikan; (4) memperoleh informasi yang banyak; (5) menciptakan
meningkatkan pengetahuan keterampilan; (6) sebagai bahan evaluasi pengetahuan
yang diciptakan; (7) untuk memberikan fasilitas belajar latihan kepada peserta
belajar; (8) sebagai bahan kepentingan belajar dan berlatih peserta; (9) sebagai
aplikasi belajar latihan dan menciptakan situasi belajar bagi peserta; (10)
memungkinkan untuk memacu diri dan membantu orang, selalu berupaya
memenuhi kebutuhan belajar peserta; (11) memotivasi belajar peserta menjadikan
belajar sepanjang hayat; (12) belajar berbasis potensi lokal (memanfaatkan
digunakan secara konsisten; (14) mempunyai pengalaman berpikir menggali
banyak informasi menyediakan berbagai sumber menciptakan kegiatan.
Selanjutnya; (15) menghasilkan sesuatu yang bermutu guna meningkatkan
keterampilan berpirkir memperoleh pengetahuan keterampilan;(16) meningkatkan
sikap peserta belajar pada tutor terhadap prestasi belajar dan berpartisifasi aktif
meningkatkan kemampuan; (17) belajar membuat orang untuk meningkatkan
keterampilan; (18) belajar terus-menerus berlangsun seumur hidup, berusaha
merperluas wawasan pengetahuan, keterampilan serta menemukan bakat
terpendam pada diri peserta; (19) pembelajaran menjadi terus-menerus untuk
menghadapi tantangan baru serta menjadikan tidak takut persaingan; (20)
kesempatan belajar tersedia untuk semua KAT sebagai penghematan waktu,
materi; (22) suka menggali sesuatu dan mempelajari sebagai tantangan baru dan
belum diketahui orang lain; (23) tidak mudah menyetujui sesuatu yang belum
terbukti kebenarannya; (24) menemukan bakat terpendam pengembangan
pengetahuan, keterampilan dan menyampaikan pengalaman baru kepada orang
lain; (25) memiliki rasa tanggung jawab sangat tinggi untuk mengembangkan diri.
D. Subjek dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Waiapo, Kabupaten Buru, Provinsi
Maluku. Subjek penelitian ini adalah penyelenggara, tokoh adat, dan peserta
belajar di lima kelompok belajar PKBM yang tersebar pada lima desa/dusun,
se-Kecamatan Waiapo, yaitu Desa Lele Dusun Waingapan, Desa Wambsalit Dusun
Modan Mohe, Desa Debo Dusun Ukalahin, Desa Dafa Dusun Batu Karang, dan
mandiri (belum lancar membaca dan menulis) usia 15 sampai dengan 45 tahun.
Untuk responden yang akan dijadikan informan dalam proses wawancara
ditetapkan secara purposive.
Penyebaran subjek penelitian untuk setiap Desa, disajikan dalam tabel
berikut ini.
Tabel 3.2
Penyebaran Subjek Penelitian
No Desa Penyelenggara Tokoh
Adat
Tutor Peserta
Belajar
1 Lele 1 2 2 20
2 Wambsalit 1 2 2 20
3 Debo 1 2 2 20
4 Dafa 1 2 2 20
5 Kubalahin 1 2 2 20
Jumlah Sampel 5 10 10 100
Sasaran penelitian pengembangan model dilakukan terhadap 10 kelompok
belajar keaksaraan fungsional yang tidak berhubungan (independent),
masing-masing Desa/Dusun diambil dua kelompok belajar, satu kelompok belajar sebagai
kelompok ujicoba (eksperimen), satu kelompok sebagai kelompok pembanding
(control) di masing-masing desa/dusun. Jadi terdapat lima kelompok belajar
keaksaraan fungsional “Belajar Biasa”, lima Kelompok belajar keaksaraan
fungsional “Pengembangan Belajar” yang terdapat di Kecamatan Waiapo,
Kabupaten Buru. Penentuan atau penugasan kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dilakukan secara random. Subjek penelitian untuk kelompok eksperimen
(ujicoba) sebanyak 50 orang peserta belajar dan untuk kelompok kontrol
Sasaran Belajar Keaksaraan Fungsional subjek penlitian ini adalah para
penyelenggara program pendidikan keaksaraan fungsional, tutor/fasilitator, dan
peserta belajar keaksaraan fungsional pada kelompok-kelompok belajar di PKBM
Kecamatan Waiapo yang tersebar di lima Desa/Dusun Kecamatan Waiapo, karena
jumlah Komunitas Adat Terpencil buta aksara Kecamatan Waiapo dan Kabupaten
Buru termasuk kategori tinggi jika dibanding dengan kabupaten lain di Maluku.
E. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pengembangan
model pembelajaran pada pembelajaran keaksaraan fungsional Untuk keperluan
uji efektivitas digunakan desain kuasi eksperimen (quasi experimental) terhadap
dua kelompok belajar keaksaraan dengan model posttest only atau nonequivalent
group posttest only design. Oleh karena penelitian ini menggunakan dua
kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (pembanding), maka
penelitian dapat disebut juga dengan the two-group design dengan model
posttest-only control group design (Wiersma: 1991)
Merujuk pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini peneliti hanya
melakukan posttest, baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok
pembanding. Menurut Ary et al. (1982), penelitian model nonequivalent group
post test only design merupakan salah satu jenis penelitian kuasi eksperimen yang
Adapun desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.2
Desain Penelitian Kuasi Eksperimental ( Nonequivalent Group Posttest Only Design)
Penjelasan dari simbol-simbol yang tertera pada desain penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:
O
1 = PreetestO
2 = PosttestX = Perlakuan (experimental treatment)
O
1 = Pengukuran atau posttest untuk kelompok eksperimenO
2 = Pengukuran atau posttest untuk kelompok kontrol/pembandingAdapun langkah-langkah strategis pelaksanaan kuasi eksperimen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) penentuan atau
penugasan kelompok eksperimen dan kelompok pembanding secara random
terhadap kelompok peserta belajar pendidikan keaksaraan fungsional tanpa
melakukan uji penyamaan atau penyepadanan karakteristik kelompok; (2)
melakukan persiapan lapangan terhadap kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol/pembanding yang dipilih untuk proses pelaksanaan pengembangan model
pembelajaran; (3) melaksanakan implementasi pengembangan pembelajaran
keaksaraan sebagai bentuk perlakuan (treatment) dalam proses penelitian; (4)
melakukan perekaman data melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan
Kelompok eksperimen : O1 X
O
2angket; (5) melakukan analisis data terhadap peningkatan efektivitas belajar
peserta belajar, baik pada kelompok eksperimen, maupun kelompok pambanding
melalui uji analisis kualitatif dan kuantitatif; (6) analisis kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan uji t untuk mengetahui perbedaan rerata skor efektivitas
kelompok eksperimen dan kelompok pembanding.
Dipilihnya desain ini didasarkan argumentasi, bahwa model pembelajaran
peserta belajar telah diketahui secara mendalam melalui proses preliminary
research, yang secara konsisten menunjukkan kemauan belajar peserta belajar
keaksaraan tingkat mandiri belum berkembang maksimal. Atas dasar pakta
tersebut, maka peneliti tidak melakukan preetest untuk mengetahui keadaan awal
kemauan belajar peserta belajar. Namun demikian, pengembangan model posttest
yang dilakukan dalam penelitian ini bukan berarti menggambarkan kemampuan
akhir peserta belajar tentang kemauan belajarnya, tetapi lebih menunjukkan aspek
waktu diselenggarakannya tes tentang kemauan belajar dalam rentang waktu
proses belajar. Untuk memperkuat hasil penelitian terutama dalam proses
pemaknaan, peneliti juga melakukan observasi partisipatif dan nonpartisipatif
untuk merekam performa peserta belajar.
F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
1. Teknik Pengumpulan Data a. Angket
Angket atau daftar pertanyaan dirumuskan secara semi terbuka, artinya
masing-masing pertanyaan (item) disamping disediakan pilihan jawaban secara