PEMBINAAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot kab.Bandung)
Diajukan untuk memenuhi syarat penyelesaian studiprogram magister (S2) studi Pendidikan Umum Universitas Pendidikan Indonesia.
TESIS
oleh
Asep Kusmiadi, S.Pd.I
1005100
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si.
Pembimbing II,
Dr. Kama Abdul Hakam, M.Pd
Diketahui oleh
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Umum,
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pembinaan Karakter Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus di MTs. Persis 102 Dayeuhkolt Kab. Bandung)” beserta seluruh isinya adalah benar-benar asli karya saya sendiri, dan bukan atau bebas dari plagiarisme yang bertentangan dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat
ilmiah. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sangsi yang dijatuhkan kepada saya
apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam tesis ini, atau
ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian tesis ini.
Bandung, Maret 2013 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Pembinaan Karakter Melalui Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs. Penelitian ini melibatkan beberapa responden
diantaranya satu orang wakil kepala sekolah urusan kurikulum, tiga orang guru PAI dan enam orang siswa. Untuk memahami masalah tersebut digunakan teori Lickona yang menjelaskan bahwa pendidikana karakter adalah pendidikan yang memadukan antara pengetahuan moral, perasaan moral yang berupa kelembutan hati, dan perilaku moral. Adapun pertanyaan penelitian yang digunakan yaitu: 1) Bagaimanakah Program (Planing) Pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam, 2) Materi/ Nilai-nilai karakter apa saja yang ditanamkan dalam pembelajaran Pendidikan Agama, 3) Bagaimana proses pelaksanaan pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam, 4) Bagaimana evaluasi dan hasil pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam, 5) Apa saja kendala-kendala dalam pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan di atas diklasifikasikan menjadi data primer dari guru dan siswa dan data skunder dari dokumen resmi dan tidak resmi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitik dalam bentuk studi kasus, sedangkan tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka. Adapun instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Analisis data dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Data berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan ke dalam catatan lapangan, selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisa. Adapun pengolahan dan penganalisaan data merupakan upaya menata data secara sistematis.
LEMBAR PENGESAHAN ……….... i
BAB II PEMBINAAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM …….……… 13
7. Evaluasi Hasil Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ………. 73
C. PENDIDIKAN UMUM ………... 75
1. Pengertian Pendidikan Umum ……….. 75
2. Hakikat Pendidikan Umum dalam Pendidikan Nasional …………. 82
3. Tujuan Pendidikan Umum ………...……… 82
4. Kajian Kurikulum Pendidikan Umum ………... 89
93 5. Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan Umum ……….. 6. Pendidikan Agama Islam dalam Pendidikan Umum ……….. 94
D. HASIL STUDI TERDAHULU ……….………. 96
BAB III METODE PENELITIAN ………... 99
A. METODE DAN PENDEKATAN PENELITIAN ………. 99
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 124
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Nilai-nilai Karakter, Indikator Keberhasilan Sekolah dan Kelas
dalam Pengembangan Pendidikan Karakter………... 22
Tabel 2.2.
Tabel 4.12
Jakauan Sikap, Perilaku dan Nilai-nilai Budi Pekerti …….……...
Data Kualitatif Program Pembinaan Siswa
29
131
Tabel 4.13.
Tabel 4.14.
Tabel 4.15.
Nilai-nilai Karakter dan Indikator Kelas dalam Pembelajaran PAI …
Data Kualitatif Materi Nilai yangditanamka kepada Siswa ………
Data Kualitatif Proses Pembinaan Karakter siswa ……….
136
141
153
Tabel 4.16. Gambaran Format Penilaian Rumpun PAI MP Aqidah Akhlak … 155
Tabel 4.17. Gambaran Format Penilaian Rumpun PAI Mata Pelajaran Fiqih … 156
Tabel 4.18. Gambaran Format Penilaian Rumpun PAI MP Qur’an Hadits … 156
Tabel 4.19. Gambaran Format Penilaian Rumpun PAI ……… 157
Tabel 4.20. Indikator Kelas Menggambarkan Keberhasilan Pembinaan Karakter
Siswa melalui Pembelajaran PAI di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot… 158
Tabel 4.21.
Tabel 4.22.
Data Kualitatif Evaluasi Keberhasilan Pembinaan Karakter ……..
Data Kualitatif Kendala-kendala Pembinaan Siswa ………
165
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto-foto Kegiatan Penelitian ……… 203
Lampiran 2. SK Pengangkatan Pembimbing Tesis ……… 216
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian kepada MTs. Persis 102 ……….. 218
Lampiran 4. Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian di MTs. Persis 102 ……. 219
Lampiran 5. Format Wawancara ……… 220
Lampiran 6. Data Hasil Wawancara ………. 232
Lampiran 7. Silabus Pendidikan Agama Islam MTs. Persis 102 ……….. 244
Lampiran 8. Tata Tertib MTs. Persis 102 Dayeuhkolot ... 256
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang
hayat, tanpa pendidikan mustahil manusia dapat hidup dan berkembang sejalan
dengan fitrahnya. Aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pernah
terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan aktivitas sendiri
maupun dalam suatu kelompok. Dengan demikian, tidak ada ruang dan waktu bagi
manusia untuk melepaskan dirinya dari kegiatan belajar dan mengajar. Rasyidin
(2007: 36) mengatakan bahwa pendidikan dimulai di keluarga atas anak (infant) yang
belum mandiri, dan diperluas di lingkungan tetangga/ komunitas sekitar (milieu),
lembaga pra-sekolah, persekolah formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari
kelompok kecil sampai rombongan relatif besar (lingkup makro).
Pendidikan merupakan upaya-upaya untuk membentuk karakter manusia
menjadi lebih baik. “Mendidik ialah membimbing pertumbuhan anak, jasmani dan
rohani dengan sengaja, bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang melainkan
utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan” (Rasyidin, 2007: 34).
Sedangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (2003: 3)
mendefinisikan pendidikan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasanan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dilihat dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan
pembelajaran. Pendidikan yang dilakukan dapat membentuk kepribadian dan karakter
peserta didik menjadi lebih baik dan memiliki nilai dalam kehidupannya.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan potensi peserta didik yang positif
harus dilakukan secara integral dan terpadu. Menurut Joni (1996: 3) pembelajaran
terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara
individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta
konsep keilmuan secara holistik dan bermakna.
Pengembangan potensi peserta didik secara tidak seimbang pada akhirnya
akan menjadikan pendidikan cenderung pada pengembangan satu aspek kepribadian
tertentu saja, bahkan ada indikasi kuat akan hilangnya nilai-nilai luhur yang melekat
pada bangsa kita, seperti kejujuran, ketulusan, kesantunan, kerja keras, mandiri,
bersahabat dan kebersamaan serta karakter-karakter lainnya.
Padahal menurut Budimansyah (2010:152-153) tujuan Pendidikan Nasional
sangat sarat dengan nilai, yakni “...beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hal ini sangat tegas dan jelas
tersirat dalam undang-undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 (2003: 3)
dikatakan bahwa:
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian jelas bahwa pendidikan yang diselenggarakan terhadap
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri yang tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung
jawab dan demokratis.
Tetapi kenyataannya, tujuan membentuk karakter peserta didik tidak berhasil
dan kehilangan makna. Hal ini ditandai dengan banyaknya peserta didik yang
melakukan tindakan-tindakan menyimpang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
karakter bangsa. Di antaranya sering terjadi tawuran antar pelajar, kasus seks bebas
dan mesum serta penayalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh para pelajar.
Menurut Wibowo (2012: 8-9) mengatakan bahwa berdasarkan beberapa data,
diantaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan
sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia
(Jakarta, Surabaya dan Bandung) pernah berhubungan seks.
Sumber lain yang lebih memilukan dan memalukan dilakukan oleh remaja
bahwa “hasil penelitian LSM Sahara Bandung antara tahun 2000-2002 saja terdapat,
remaja yang melakukan seks pra nikah, 72,9% hamil, dan 91,5% diantaranya
mengaku telah melakukan aborsi lebih dari satu kali” (Wibowo, 2012: 9). Kasus lain
adalah penggunaan Narkoba dikalangan pelajara dan mahasiswa yang terus
meningkat tiap tahunnya, menurut Wibowo (2012: 10) “berdasarkan data dari Badan
Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 saja jumlah pengguna narkoba di
Indonesia mencapat 3,2 juta orang. Dari jumlah ini 32% nya adalah pelajar dan juga
mahasiswa”.
Terjadinya kasus-kasus tersebut seharusnya menjadi pertimbangan untuk
muda bangsa. Salah satu upayanya melalui sistem pendidikan yang menitik beratkan
pada pendidikan karakter. Kemendiknas (2011: 2) menerangkan bahwa tujuan
pendidikan karakter adalah untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus
dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak hentinya melakukan bebagai upaya untuk
memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan yang
menghasilkan insan Indonesia yang berkarakter. Salah satu upaya untuk mewujudkan
pendidikan yang seperti di atas, maka para peserta didik harus dibekali dengan
pendidikan yang membawa misi pokok pembinaan karakter yang berakhlak mulia.
Di sinilah mata pelajaran pendidikan agama, khususnya Pendidikan Agama
Islam (PAI) menjadi sangat penting untuk menjadi pijakan dalam pembinaan karakter
peserta didik, mengingat tujuan akhir dari PAI tidak lain adalah terwujudnya akhlak
atau karakter mulia. Menurut Pusat Kurikulum Depdiknas 2004 mengemukakan bahwa
tujuan Pendidikan Agama Islam di Indonesia adalah bertujuan untuk menumbuhkan
dan meningkatkan keimanan, peserta didik melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan,
ketaqwaannya kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, Nasih, A.M. (2009: 9) berpendapat bahwa “tujuan pendidikan
agama Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Allah SWT yang harus
diinternalisasikan ke dalam individu anak didik lewat proses pendidikan”. Hal ini
menggambarkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam mengamanatkan pembentukan
karakter peserta didik sesuai dengan nilai-nilai dari Allah SWT sebagai tuhan semesta
alam.
Tentu saja misi pembentukan karakter ini tidak hanya diemban oleh pendidikan
agama Islam saja, tetapi juga oleh pelajaran-pelajaran lain secara bersama-sama.
Meskipun demikian, pendidikan agama Islam dapat dijadikan basis yang langsung
berhubungan dengan pembinaan karakter peserta didik, sebab semua materi pendidikan
agama Islam sarat dengan nilai-nilai karakter.
Sekitar delapan dekade yang lalu, Gandhi (2009: 327) mengungkapkan bahwa
adanya ancaman yang mematikan dari tujuh dosa sosial, salah satunya adalah
pendidikan tanpa karakter. Pendidikan merupakan karakter suatu bangsa. Semakin baik
pendidikan suatu negara, semakin baik pula moral, ekonomi, dan budaya negara
tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa pendidikan karakter sangat penting dalam proses
pendidikan, terutama pendidikan yang berbasis pendidikan agama Islam. Untuk
menjawab hal tersebut Budimansyah (2010: 3) mengatakan bahwa perlu diawali
dengan melihat perjalanan sejarah bangsa kebelakang jauh sebelum Indonesia
mencapai kemerdekaanya. Modal sebagai bangsa yang ingin bernegara pada masa
prakemerdekaan sudah jelas adalah adanya tekad, semangat, keberanian, kesediaan
tekad dan semangat yang dilandasi oleh karakter dan jati diri kebangsaan itulah para
pahlawan memiliki daya juang yang luar biasa di tengah-tengah tekanan kolonialisme.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa modal karakter bangsa untuk
mencapai kemerdekaan adalah tekad, semangat, keberanian, kesediaan mengorbankan
jiwa, raga, maupun harta. Artinya bahwa untuk menghadapai tantangan jaman yang
lebih berat daripada jaman sebelum kemerdekaan diperlukan karakter yang kuat dan
tangguh.
Pendidikan karakter dapat dimulai dari ranah pendidikan formal, non formal
ataupun informal mulai sejak usia dini. Hal ini berdasarkan Undang-undang (UU) no.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ayat 1 menyebutkan
bahwa “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal dan informal”.
Pendidikan formal merupakan pendidikan jalur sekolah, sekolah ini lah yang menjadi
basis terpenting dalam sistem pendidikan nasional dan menjadi salah satu media untuk
membina karakter peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
Sekolah sebagai Pembina pendidikan karakter perlu dikembangakan secara
holistic, desain pendidikan karakter seharusnya tidak menitik beratkan pada unsur
penilaian kognitif saja, tetapi ranah afektif dan psikomotor harus memiliki porsi yang
lebih dalam proses pendidikan. Salah satu kegagalan pembentukan karakter saat ini
karena terlalu mengkognitifkan nilai-nilai dalam pembentukan karakter, termasuk
Pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh para pendidiknya yang selama ini
cendrung menekankan aspek kognitif saja. Wibowo (2012: 55) mengatakan bahwa
penginternalisasian karakter luhur terhadap anak didik, kenyataannya sekedar
mengajarkan dasar-dasar agama”.
Pendidikan agama seharusnya dapat meningkatkan potensi spriritual dan
membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT dan akhlak mulia. Akhlak mulia yang mencakup etika, budi pekerti, dan
moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Lebih khusus lagi pendidikan agama
Islam (PAI) di sekolah, merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agama dalam diri peserta didik. “Melalaui PAI, siswa
diharapkan mampu membudayakan diri dengan prilaku yang luhur dan mengamalkan
ilmu beserta keterampilannya sesuai dengan nilai Islam” (Daradjat, 1993: 96).
Berdasar definisi di atas tergambar jelas bahwa PAI merupakan sebuah proses
untuk menata dan merekontruksi pengetahuan yang merupakan aspek kognitif,
meluruskan pemahaman yang merupakan aspek afektif dan meningkatkan pengamalan
yang merupakan aspek psikomotor yang dicakupkan menjadi satu dalam jiwa peserta
didik. Pemahaman yang mendalam akan ajaran dan nilai-nilai agama Islam tersebut,
akan mampu menjiwai perilaku dan tindakan peserta didik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan kata lain, nilai-nilai agama Islam dan ajarannya yang telah
ditanamkan melalui PAI, mampu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara
nyata.
Sangat disayangkan, harapan dan tujuan dari PAI tersebut belum dapat
direalisasikan, “sebab kenyataannya PAI tidak dapat berperan secara optimal. Bahkan,
ia semakin kehilangan perannya sebagai media mengantarkan peserta didik untuk
Sejatinya pendidikan karakter dalam pembelajaran PAI dapat membina para
peserta didik yang mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Dalam lingkungan
sekolah, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan
pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Guru
harus menampilkan diri sebagai teladan yang memperlihatkan perilaku yang baik.
Pendidikan karakter harus mengedepankan contoh dan perilaku daripada slogan
dan harapan. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar
dengan metode yang lebih banyak menampilkan peran dan pelakonan yang bukan
hanya sekedar hapalan yang dibutuhkan untuk tes. Guru tidak lagi harus duduk di meja
sambil membaca buku atau menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu
menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Demikian juga, mata pelajaran PAI adalah sarana yang menjembatani antara
guru dan peserta didik dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran,
sedangkan guru juga harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu
melahirkan nilai-nilai karakter yang bermakna bagi kehidupan. Karakter dapat diolah
melalui aktivitas yang menampilkan sikap moral yang benar. Guru harus berupaya
meningkatkan pembinaan beragam karakter siswa di kelas dan di sekolah, termasuk
pembinaan emosi dan spritualnya.
Saluran emosi sangat penting dalam ranah pendidikan karakter, sebab emosi
merupakan salah satu ekspresi. Salah satu keuntungan ekspresi adalah mampu
menghargai perbedaan orang lain atau kultur lain tanpa harus terbebani. Melatih peserta
didik berpikir kritis sangat penting, sebab berpikir kritis akan menghasilkan sikap
Berpikir kritis dengan model debat untuk melatih siswa mampu mendengarkan
argumen atau opini orang lain. Debat bukan melatih peserta didik asal berpendapat,
tetapi memberi kesempatan saling mencermati.
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai mata pelajaran yang memiliki misi
mewariskan dan mengembangkan nilai peserta didik, maka mata pelajaran tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda dari mata pelajaran lainnya. Nilai moral, etika,
merupakan substansi yang terdapat di dalamnya dan itu semua harus menjadi komitmen
setiap pendidik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut.
Oleh karena itu, apabila dalam belajar PAI tidak memfasilitasi anak untuk
belajar menimbang dan memilih nilai secara kritis dan kreatif, yang menempatkan
peserta didik sebagai peserta pasif, maka pembinaan kedewasaan menjadi pribadi
muslim yang baik sulit diwujudkan.
Dengan demikian, Pembinaan Karakter melalui pembelajaran PAI perlu
dilakukan walaupun guru kesulitan memilih pendekatan dan strategi pembelajaran yang
digunakan.
Dari berbagai permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menulis tesis
dengan judul “ Pembinaan Karakter melalui pembelajaran PAI” (Studi kasus di MTs
Persis 102 Dayeuhkolot Kab. Bandung).
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah Persis 102
Dayeuhkolot Kabupaten Bandung?”.
Untuk memberikan arahan penelitian yang jelas, selanjutnya penelitian ini
diuraikan lagi dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Program (Planing) Pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs Persis 102 Dayeuhkolot Kabupaten Bandung?
2. Materi/ Nilai-nilai karakter apa saja yang ditanamkan dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs Persis 102 Dayeuhkolot Kabupaten Bandung?
3. Bagaimana proses pelaksanaan pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs Persis 102 Dayeuh kolot Kabupaten Bandung?
4. Bagaimana evaluasi dan hasil pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs Persis 102 Dayeuhkolot Kabupaten Bandung?
5. Apa saja kendala-kendala dalam pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di MTs Persis 102 Dayeuhkolot Kabupaten Bandung ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan bentuk
Pembinaan Karakter di lapangan melalui pembelajaran PAI di Madrasah Tsanawiyah
Persis 102 Dayeuhkolot kab. Bandung. Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi dan deskripsi yang jelas dalam hal:
1. Program (Planing) pembinaan karakter yang dikembangkan untuk membina
peserta didik melalui pembelajaran PAI di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Bandung.
2. Materi/ Nilai-nilai karakter dalam membina siswa melalui pembelajaran
3. Proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam rangka Pembinaan Karakter
peserta didik.
4. Keberhasilan Pembinaan Karakter siswa melalui pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Bandung.
5. Kendala-kendala dalam pembinaan karakter melalui pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, yang dapat dijadikan cermin bagi pengembangan pendidikan dan
pendidikan karakter bangsa.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi
pengembangan dan perluasan khajanah pengetahuan dalam upaya Pembinaan
karakter melalui pembelajaran PAI di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot yaitu:
1. Manfaat segi teori
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang berbagai pengetahuan yang
berhubungan dengan Pembinaan karakter melalui pembelajaran PAI terutama
yang berkaitan dengan materi, metode, dan evaluasi pembinaan karakter
melalui pembelajaran PAI. Dengan demikian dapat membantu dalam
mengembangkan teori pendidikan karakter untuk melengkapi teori pendidikan
umum yang secara spesifik berkenaan dengan pendidikan nilai, moral, etika dan
akhlak.
2. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi praktisi pendidikan
baik kepala madrasah, guru, orang tua ustadz/ ustadzah, pengurus lembaga
pembinaan karakter melalui Pendidikan Agama Islam, sehingga mampu
merencanakan, membimbing dan mengarahkan peserta didik, mahasiswa, warga
jama’ah dan masyarakat sekitar kepada kehidupan yang lebih berkarakter, lebih
baik dan lebih bernilai.
E. Struktur Organisasi Tesis
Urutan penulisan dalam penelitian yang peneliti rancang adalah sebagai
berikut: Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V.
Bab I adalah bab pendahuluan dengan susunan terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur
organisasi tesis. Sedangkan bab II merupakan kajian teoretis terhadap masalah
yang diteliti yaitu ”Pembinaan Karakter Siswa Melalui Pendidikan Agama
Islam di Sekolah” dengan susunan terdiri dari pengertian pendidikan karakter,
pendidikan agama Islam dan pendidikan umum.
Sedangkan bab III adalah metode penelitian yang terdiri dari metode
penelitian, pendekatan penelitian, definisi oprasional, instrument penelitian,
sampling dan satu kajian, tehnik pengumpulan data, tahapan-tahapan penelitian,
validisasi dan realibilitas data. Adapun bab IV adalah hasil penelitian dan
pembahasan yang terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian, temuan-temuan
hasil penelitian melalui wawancara, observasi dan kajian dokumntasi dan
pembahasan, kemudian yang terakhir adalah bab V yang terdiri dari kesimpulan
BAB III
METODE PENELITIAN A. PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan kualitatif dipilih, karena dianggap sangat cocok dengan masalah
yang menjadi fokus penelitian. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki karakteristik
tersendiri dibanding dengan jenis penelitian lainnya. Guba dan Lincoln dalam
Alwasilah (2009: 104-107) mengemukakan 14 karakteristik penelitian kualitatif
sebagai berikut: a) Latar alamiah; b) Manusia sebagai alat (instrument); c)
Pemanpaatan pengetahuan non-proporsional; d) Metode-metode kualitatif; e) Sampel
purposif; f) Analisis data secara induktif; g) Teori dilandskan pada data di lapangan;
h) Desain penelitian mencuat secara alamiah; i) Hasil penelitian berdasarkan
negosiasi; j) Cara pelaporan kasus; k) Interpretasi idiografik; l) Aplikasi tentatif; m)
Batas penelitian ditentukan fokus; n) Kepercayaan dengan kriteria khusus.
Berdasarkan pendapat tersebut dipahami bahwa semua karakteristik penelitian
kualitatif tersebut harus nampak dalam penelitian deskriptif analitik kualitatif.
Selanjutnya Guba dan Loncoln (Moleong, 2007: 8) mengemukakan 11 macam
karkteristik kualitatif yakni sebagai berikut: a) latar alamiah; b) manusia sebagai alat
(instrument); c) metode kualitatif; d) analisis data secara induktif; e) teori dari dasar
(grounded theory); f) deskriptif; g) lebih mementingkan proses dari pada hasil; h)
adanya batas yang ditentukan oleh fokus; i) adanya kriteria khusus untuk keabsahan
data; j) desain yang bersifat sementara; k) hasil penelitian dirundingkan dan
Dari kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini penulis lebih cendrung
untuk mengikuti karekteristik yang dikemukakan oleh Guba dan Lincoln.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode
deskriptik analitik kualitatif dengan tipe studi kasus. Sedangkan David William
(Maleong, 2007: 5) menyebutkan bahwa istilah kualitatif adalah pengumpulan data
pada satu latar ilmiah, dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh
orang atau peneliti yang tertarik secara ilmiah.
Metode deskriptif analitik kualitatif merupakan metode penelitian yang
menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala
pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, dan lebih
jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang
diinginkan. Kemudian dalam penelitian deskriptif analitik kualitatif, fenomenologilah
yang dijadikan landasan teoritis utama. Sedangkan yang lainnya dijadikan sebagai
tambahan untuk melatar belakangi teoritis penelitian kualitatif.
Dalam proses pelaksanaannya, metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya
sampai kepada deskripsi dan penyusunan data, akan tetapi meliputi analisa dan
interpretasi tentang arti data itu. Sebab itulah, pada penelitian ini dilakukan penelitian
deskriptif analitik kualitatif.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Creswell (1998: 15) bahwa: ―Qualitative
research in an inquiry process of understanding based on distinct methodological
traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds of
Adapun penelitian kualitatif menurut Denzim dan Lincoln (Maleong, 2007: 5)
adalah ―penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsikan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang
ada‖. Sedangkan Kirk dan Miller mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah
―tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun istilahnya‖
(Maleong, 2007: 4).
Dari penjelasan di atas, Saodih (2009: 147) menarik kesimpulan bahwa
―penelitian kualitatif adalah penelitian yang langsung dilakukan oleh seseorang
melalui pengamatan terhadap manusia dan lingkungan dengan melibatkan berbagai
metode penelitian untuk memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian‖.
Sesuai dengan karakternya, penelitian deskriptif analitik kualitatif biasanya
menggunakan pendekatan studi kasus yang dilakukan pada objek yang terbatas.
Sehingga persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak
sama dengan persoalan yang dihadapi oleh peneliti kuantitatif. Dan sebagai
implikasinya, hasilnya tidak dapat digenaralisasikan, dengan kata lain hanya berlaku
pada kasus itu saja.
Pada penelitian ini, peneliti membangun sebuah gambaran yang kompleks dan
menyeluruh, menganalisa kata-kata, laporan yang mendetail berdasarkan sudut
pandang informan, serta melakukan penelitian pada latar ilmiah (natural setting).
3. Alasan Memilih Metode Deskrptik Analitik Kualitatif
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti menggunakan metode deskriptik
metode kualitatif melalui pengamatan (observasi), wawancara (intervieu), atau
penelaahan (studi) dokumen; b) penyesuaian metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan jamak yang kompleks; c) metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden; d) metode ini
lebih peka dan dapat menyesuaikan diri terhadap pola-pola nilai yang dihadapi; e)
menggunakan analisis induktif; f) proses induktif lebih dapat menemukan
kenyataan-kenyataan jamak sebagaimana yang terdapat dalam data; g) analisis induktif lebih
membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan
akuntabel; h) analisis lebih menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat
keputusn-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya; i)
analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam
hubungan-hubungan; j) analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara
eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. Sedangkan alasan peneliti memilih
objek penelitian ini berdasarkan observasi dan data yang diterima bahwa
karakter-karakter (akhlak) siswa MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Bandung cukup positif
walaupun dalam kondisi dan situasi yang kurang mendukung.
B. INSTRUMEN PENELITIAN
Dalam penelitian deskriptif-kualitatif peneliti merupakan instrument utama yang
terjun langsung ke lapangan serta berusaha mengumpulkan data dan informasi melalui
pengamatan langsung (observasi), wawancara, maupun penelaahan dokumen.
Instrument penelitian yang dimaksud, bahwa peneliti langsung menjadi pengamat
Dayeuhkolot Kab. Bandung, serta bagaimana proses pembinaan karakter peserta didik
melalui Pendidikan Agama Islam itu.
Yang dimaksud peneliti sebagai pengamat adalah peneliti tidak sekedar melihat
peristiwa dalam situasi pendidikan, melainkan memberikan interpretasi terhadap situasi
tersebut. Sedangkan peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan analisa
terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, dan selanjutnya
menyimpulkan sehingga dapat digali maknanya.
Maleong (2007: 196-172) menjelaskan ciri-ciri manusia sebagai instrument yaitu:
Responsif, Dapat menyesuaikan diri, Menekankan kebutuhan, Mendasarkan diri atas
perluasan pengetahuan, Memproses data secepatnya, Memanfaatkan kesempatan untuk
mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan, Memanfaatkan kesempatan untuk mencari
respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Untuk memperlancar penelitian, peneliti
sebagai instrument harus memiliki ciri-ciri tersebut sebagai usaha untuk mempermudah
pelaksanaan penelitian.
C. SAMPLING DAN SATUAN KAJIAN
Teknik sampling dalam penelitian kualitatif jelas berbeda dengan penelitian
kauantitatif. Pada penelitian kuantitaif, sampel dipilih dari suatu populasi sehingga dapat
digunakan untuk mengadakan generalisasi. Jadi, sampel benar-benar mewakili ciri-ciri
suatu populasi.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif sampling itu adalah pengambilan beberapa
sampel untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan
Dengan demikian, tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya
perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk
merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Selain dari itu maksud
sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori
yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi
sampel bertujuan (purposive sample).
Menurut Moleong (2007: 224-225) sampel bertujuan dapat diketahui dari
ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Rancangan sample yang muncul, yaitu sampel tidak dapat ditentukan atau
ditarik terlebih dahulu.
2. Pemilihan sampel secara berurutan. Tujuan memperoleh variasi
sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika
satuannya sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap sampel berikutnya
dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu
sehingga dapat dipertentangkan atau diisi adanya kesenjangan informasi yang
ditemui. Dari mana dan dari siapa ia mulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila
hal itu sudah berjalan, pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan
peneliti. Teknik sampling bola salju bermanfaat dalam hal ini, yaitu mulai dari
satu menjadi makin lam makin banyak.
3. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya, setiap sampel dapat
sama kegunaannya. Namun, sesudah makin banyak informasi yang masuk dan
makin mengembangkan hipotesis kerja maka sampel akan dipilih atas dasar
4. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan. Pada sampel bertujuan
seperti ini, jumlah sampel ditentukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan
informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi yang dapat
dijaring, penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi, kuncinya disini
adalah jika sudah terjadi pengulangan informasi, penarikan sampel sudah harus
dihentikan.
Dengan demikian, satuan kajian biasanya ditetapkan juga rancangan penelitian
berupa sampel. Adapun keputusan tentang penentuan sampel, besarnya, dan strategi
sampling pada dasarnya bergantung pada penetapan satuan kajian. Kadang-kadang satuan
kajian itu bersifat perseorangan, seperti siswa, klien, atau pasien yang menjadi satuan
kajian.
Bila perseorangan itu sudah ditentukan sebagai satuan kajian maka pengumpulan
data dipusatkan disekitarnya. Hal yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam
kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya, dan seterusnya. Dalam
konteks penelitian ini, satuan kajiannya adalah guru Pendidikan Agama Islam dan siswa
yang ada di MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Kab. Bandung sedangkan sampelnya satu
orang wakil kepala urusan kurikulum, guru Pendidikan Agama Islam berjumlah tiga
orang dan siswa berjumlah enam orang.
D. TEHNIK PENGUMPULAN DATA
Peneliti menggunakan empat teknik dalam melakukan pengumpulan data yakni
1. Tehnik Observasi
Melalui teknik ini, peneliti ikut berperan serta dalam pembelajaran di kelas
yang dilakukan atau diikuti oleh responden. Peneliti berpartisipasi dalam kegiatan
responden namun tidak sepenuhnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan antara kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai
orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan responden. Selain sambil
berpartisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka, artinya diketahui oleh
responden karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap responden.
Apa yang dilakukan peneliti di atas, relevan dengan yang diungkapkan
Moleong (2007: 163) bahwa ciri has penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari
pengamatan berperan serta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruh
sekenarionya.
Bogdan dalam Moleong (2007: 164) menjelaskan bahwa pengamatan
berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial, yang memakan
waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan
selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematik dan
berlaku tanpa gangguan.
Agar hasil observasi dapat membantu menjawab tujuan penelitian yang sudah
digariskan, maka dalam penelitian ini peneliti memperhatikan apa yang diungkapkan
oleh Alwasilah, yakni dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai berikut:
1). Latar (setting); 2). Pelibat (participant); 3). Kegiatan dan interkasi (activity and
interaction); 4). Frekuensi dan durasi (frequency and duration); dan 5). Faktor substil
Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 174-175) mengemukakan beberapa
alasan, mengapa dalam penelitian ini pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Hal ini karena memberikan bantuan sebagai berikut: Pertama, teknik pengamatan ini
didasarkan atas pengalaman secara langsung. Pengalaman langsung merupakan alat
yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh kurang
meyakinkan, biasanya peneliti ingin menanyakan kepada subjek, tetapi karena ia
hendak memperoleh keyakinan tentang keabsahan data tersebut; jalan yang
ditempuhnya adalah mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung
peristiwanya. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada
keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan
yang langsung diperoleh dari data. Keempat, sering terjadi ada keraguan pada
peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias.
Kemungkinan keliru itu terjadi karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil
wawacara, adanya jarak antara peneliti dan yang diwawancarai, ataupun karena reaksi
peneliti yang emosional pada suatu saat. Jalan yang terbaik untuk mengecek
kepercayaan data tersebut ialah dengan jalan memanfaatkan pengamatan. Kelima,
teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang
rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa
tingkah laku sekaligus. Jadi, pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk
kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan
dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang
ditemukan. Dan sesampainya di rumah catatan yang dibuat pada saat di lapangan,
langsung ditranskif ke dalam catatan lapangan.
Dalam rangka mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan-temuan
dilapangan pada saat observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan,
selanjutnya peneliti melakukan proses wawancara terhadap guru bersangkutan dan
siswa di sekolah tersebut.
2. Tehnik Wawancara
Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada instrumen yang telah disusun
(pedoman wawancara), berupa rangkaian pertanyaan yang tidak berstruktur yang
dapat dikembangkan terus, baik terhadap guru maupun terhadap siswanya. Sehingga
memperoleh data atau informasi yang valid dan akurat. Selain lembar pertanyaan
sebagai pedoman wawancara, peneliti juga menggunakan tape recorder serta kamera
sebagai alat bantu.
Adapun maksud mengadakan wawancara, seperti yang diungkapkan oleh
Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 186) adalah mengkontruksi mengenai
orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain
kebulatan; merekontruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa
lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami
pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi
dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas kontruksi yang dikembangkan oleh
peneliti sebagai pengecekan anggota.
Selain itu Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2009: 195) mengungkapkan ada lima
langkah penting dalam melakukan intervieu, yakni: 1) Menentukan siapa yang
diinterviu; 2) Menyiapkan bahan-bahan intervieu; 3) Langkah-langkah pendahuluan;
4) Mengatur kecepatan mengintervieu dan mengupayakan agar tetap produktif; dan 5)
Mengakhiri intervieu.
Berdasarkan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Guba dan Lincoln di
atas, maka langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah menetukan siapa yang
akan diinterview.
Setelah orang yang akan diinterview jelas, selanjutnya peneliti menyusun
pedoman wawancara sebagai kompas dalam praktek wawancara agar senantiasa
terarah kepada fokus penelitian, dalam prakteknya terlontar secara sistematis sesuai
dengan pedoman, namun tidak jarang ditambahkan beberapa pertanyaan tambahan
atas fenomena baru yang mencuat.
Pedoman wawancara isinya mengacu kepada rumusan masalah, hasil
observasi dan hasil wawancara sebelumnya, ruang lingkup pedoman wawancara
berbeda setiap sasaran responden yang diwawancarai (lihat lampiran).
Tiga orang guru Pendidikan Agama Islam, merupakan sumber pertama yang
diinterview oleh peneliti. Selanjutnya, enam orang siswa yang telah mengikuti
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan kemudian satu orang wakil kepala
Tempat dan waktu tidak ditentukan terlebih dahulu. Hal ini karena kesibukan
yang dihadapi para guru tersebut. Selain itu juga kesempatan yang dimiliki peneliti
tidak menentu. Oleh karena itu wawancara terhadap para guru tersebut dilaksanakan
pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Begitu juga wawancara dengan para
siswa dilakukan setelah selesai pembelajaran, serta pada waktu senggang di luar jam
pelajaran.
3. Studi Dokumentasi
Yang dimaksud studi dokumentasi dalam hal ini yakni dengan mempelajari
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Sebagaimana menurut Guba dan Lincoln dalam Alwasilah (2009: 156)
menyatakan bahwa:
Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari, sekali pun dokumen
tidak lagi berlaku.
Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk
mempertahankan diri terhadap tuduhan dan kekeliruan interpretasi.
Dokumen itu merupakan sumber data yang relatif mudah dan murah dan
terkadang dapat diperoleh dengan cuma-Cuma.
Dokumen merupakan sumber data yang non reaktif dan alami.
Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi
informasi yang diperoleh lewat intervieu atau observasi‖.
Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui
dokumen tentang bagaimana kurikulum dan proses pembelajaran Pendidikan Agama
dokumen tersebut diperoleh dari guru-guru Pendidikan Agama Islam MTs. Persis
102 Dayeuhkolot Kab. Bandung berbentuk silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Selain itu dokumen yang berhubungan dengan pengembangan
disiplin sekolah berupa tata tertib diperoleh oleh peneliti dari bagian tata usaha
sekolah dan kesiswaan. Dan dokumen lain berasal dari unsur-unsur sekolah yang
dianggap mendukung pada pembinaan karakter dan pembelajaran pendidikan agama
Islam, serta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penanaman moral serta
berhubungan dengan pembinaan karakter peserta didik di sekolah.
4. Tehnik Studi Pustaka
Studi pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan data ilmiah dari berbagai
literatur yang berhubungan dengan konsep pendidikan karakter, pendidikan agama
Islam dan Pendidikan Umum, kegiatan pembelajaran serta metode penelitian
pendidikan.
Untuk memperoleh data-data ilmiah ini, penulis mengkaji referensi-referensi
kepustakaan dari perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung,
Perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPs UPI, perpustakaan Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, perpustakaan MTs. Persis 102
Dayeuhkolot Kab. Bandung, perpustakaan penulis sendiri, internet dan sumber lain
yang mendukung terhadap penulisan penelitian tesis ini.
E. TAHAPAN-TAHAPAN PENELITIAN
Untuk mendapatkan data secara maksimal, penulis melakukan penelitian dengan
1. Tahapan Orientasi
Pada tahapan orientasi, awalnya peneliti mengadakan survey ke lembaga
pendidikan MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Kab. Bandung, yang diawali dialog dengan
wakil kepala sekolah, staf tata usaha dan guru-guru yang berada di lingkungan MTs.
Persis 102 Dayeuhkolot Kab. Bandung.
Setelah mendapatkan informasi dan izin dari pimpinan sekolah tersebut,
penulis selanjutnya mengadakan wawancara sederhana tentang pembelajaran yang
berkaitan dengan pembinaan karakter peserta didik yang dikembangkan melalui
pendidikan agama Islam di sekolah sebagai wujud internalisasi nilai-nilai karakter
dalam pendidikan umum/ nilai.
Dari hasil pendekatan tersebut peneliti mengambil tiga unsur responden yaitu
wakasek kurikulm, guru-guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan para
siswa yang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut.
2. Tahapan Eksplorasi
Pada tahapan ini peneliti mulai melakukan kunjungan pada sekolah dan
responden, serta mulai mengenal secara dekat dengan responden. Selanjutnya
meningkat dengan mengamati sekaligus berpartisipasi bersama responden. Sehingga
penulis dapat melaksanakan wawancara dengan pendidik/ guru.
Untuk mendukung kelengkapan data, peneliti pun mencari informasi dari
responden yang berasal dari siswa yang mewakilinya.
Peroses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu dengan
guru bersangkutan sehingga proses pengamatan diketahui oleh guru tersebut.
sendiri, juga atas masukan dari guru yang bersangkutan, serta guru bimbingan
konseling di sekolah tersebut.
Pengamatan selanjutnya dilakukan di dalam kelas pada saat kegiatan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dilaksanakan, maupun diluar kelas ketika
siswa sedang beristirahat, melaksanakan ibadah ataupun ketika para siswa sedang
melakukan kegiatan ekstra kulikuler.
3. Tahapan Pencatatan Data
Catatan merupakan rekaman hasil observasi dan wawancara, yang dilakukan
pada saat terjun di lapangan berupa catatan singkat atau catatan kunci. Selanjutnya
pada saat ingatan masih segar, pencatatan data di lapangan segera dilakukan.
Adapun langkah-langkah penulisan catatan lapangan yang dilakukan oleh
peneliti, sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong (2007: 216-217) sebagai
berikut:
1. Pencatatan awal. Pencatatan ini dilakukan sewaktu berada di latar
penelitian dengan jalan hanya menuliskan kata-kata kunci pada buku nota.
2. Pembuatan catatan lapangan lengkap setelah kembali ke tempat tinggal.
Pembuatan catatan ini dilakukan dalam suasana yang tenang dan tidak ada
gangguan. Hasilnya sudah berupa catatan lapangan lengkap.
3. Apabila sewaktu ke lapangan penelitian kemudian teringat bahwa masih
ada yang belum dicatat dan dimasukan dalam catatan lapangan, dan hal itu
4. Tahapan Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan ke dalam
catatan lapangan, selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisa. Adapun pengolahan
dan penganalisaan data merupakan upaya menata data secara sistematis. Maksudnya
untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan
upaya memahami maknanya.
Diungkapkan oleh Seiddel dalam Moleong (2007: 248) bahwa dalam proses
berjalannya analisis data kualitatif, peneliti harus memperhatikan hal-hal sebagi
berikut:
a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mengsintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeknya.
c. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, serta membuat
temuan-temuan umum.
Selanjutnya tahapan analisis data tersebut menurut Janice Mc Drury dalam
mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data; b)
Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari
data; c) Menuliskan model yang ditemukan; dan d) Koding yang telah dilakukan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka proses analisis data dalam penelitian ini
dikembangkan berdasarkan hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi.
Kemudian dituangkan dalam catatan lapangan untuk dikategorikan berdasarkan
pengkodean yang telah dibuat oleh peneliti. Selanjutnya peneliti memilih kategori
yang terdapat hubungan dengan fokus penelitian untuk kemudian dianalisis dan diberi
makna sehingga menghasilkan sebuah teori.
5. Tahapan Pelaporan
Data yang sudah dianalisa kemudian dipadukan dengan teori-teori yang
relevan dengan konsepsi penulis tentang permasalahan yang menjadi fokus penelitian.
Proses pemaduan konsepsi penelitian dituangkan dalam laporan penelitian yang
sistematikanya mengacu pada pedoman penulisan karya tulis ilmiah dari Universitas
Pendidikan Indonesia edisi 2011.
Selain itu, dalam rangka menyempurnakan laporan penelitian dilakukan
proses bimbingan secara berkelanjutan dengan dosen pembimbing, baik pembimbing
I maupun pembimbing II.
F. VALIDISASI DAN RELIABILITAS DATA
Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan,
maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang
1. Validisasi Data
Sebagaimana dinyatakan Alwasilah (2009: 169) bahwa ―validitas adalah
kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran dan segala
jenis laporan‖. Dan apabila ada ancaman terhadap validitas, hanya dapat ditangkis
dengan bukti, bukan dengan metode. Karena metode hanyalah alat untuk
mendapatkan bukti.
Dalam menguji validitas ini, dapat dilakukan dengan beberapa teknik. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik-teknik yang disarankan oleh Alwasilah
(2009: 175-184) yang mengemukakan 14 teknik dalam menguji validitas penelitian
sebagai berikut: 1) Pendekatan Modus Operandi (MO); 2) Mencari bukti yang
menyimpang dan kasus negatif; 3) Triangulasi; 4) Masukan, asupan atau feedback; 5)
Mengecek ulang atau member checks; 6) ―Rich data‖ atau data yang melimpah; 7)
Quasi-statistics; 8) Perbandingan; 9) Audit; 10) Observasi jangka panjang (long-term
observation); 11) Metode partisipatori (participatory mode of research); 12) Bias
penelitian; 13) Jurnal reflektif (reflective Journal); dan 14) Catatan pengambilan
keputusan.
Dari keempat belas teknik tersebut, dalam penelitian ini hanya menggunakan
5 (lima) teknik yang dianggap dapat mewakili teknik-teknik tersebut yakni:
triangulasi, member checks, metode partisipatori, jurnal reflektif dan catatan
pengambilan keputusan.
a. Triangulasi
Menurut Alwasilah (2009: 175) menyebutkan bahwa ―Triangulasi
dengan menggunakan berbagai metode‖ . Sejalan dengan hal itu Moleong (2007:
330) mengungkapkan bahwa ―Triangulasi adalah sebagai teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain‖. Selain itu Patton dalam
Moleong (2007: 330) menyatakan bahwa triangulasi dapat dicapai dengan jalan
sebagai berikut: (1) membandingkan data pengamatan dengan data hasil
wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan orang secara pribadi; (3) membandingkan apa yang
dikatakan orang-orang tentang situasi penelitiaan dengan apa yang dikatakannya
sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dengan persfektif seseorang
dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang
berpendidikan menengah dan tinggi, orang berada, orang pemerintahan; (5)
membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
b. Member Cheeks atau Mengecek Ulang
Member checks yaitu ―masukan yang diberikan individu yang menjadi
responden kita‖ (Alwasilah, 2009: 178). Sedangkan Moleong (2007: 335)
menjelaskan bahwa ―pengecekan dilakukan dengan anggota yang terlibat dalam
proses pengumpulan data sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan,
yang dicek meliputi data, kategori analisis, penafsiran dan kesimpulan‖.
Member checks tersebut digunakan untuk menghidari salah tafsir terhadap
jawaban responden sewaktu diintervieu, kemudian untuk menghindari salah tafsir
terhadap prilaku responden sewaktu diobservasi, serta untuk mengkonfirmasi
c. Metode Partisipatori
Menurut Alwasilah (2009: 182) menyebutkan bahwa dalam metode
partisipatori (participatory mode of research) ―Peneliti sejak dini melibatkan
partisipan peneliti dalam segala fase penelitian dari konseptualisasi penelitian
sampai dengan penulisan pelaporan‖. Artinya bahwa peneliti berpartisipasi
langsung sekaligus melibatkan partisipan-partisipan lain yang mendukung dalam
setiap fase-fase penelitian.
Dalam hal ini peneliti terjun langsung ke lapangan, larut dan berbaur
dengan lingkungan penelitian yaitu MTs. Persis 102 Dayeuhkolot Kab. Bandung,
serta meminta beberapa partisipan seperti guru-guru Pendidikan Agama Islam,
siswa-siswa, Wakil Kepala Sekolah atau partisipan lain yang dianggap
mendukung terhadap penelitian untuk melibatkan diri dan larut dalam setiap
fase-fase penelitian agar hasil dan laporan penelitian mempunyai validitas yang tinggi.
d. Jurnal Reflektif
Jurnal reflektif adalah sebagaimana yang diungkapkan Alwasilah (2009:
183) bahwa ini merujuk pada jurnal yang disiapkan peneliti dan diisi setiap saat
selama melakukan penelitian. Ini merupakan rekaman pengalaman peneliti yang
merupakan bukti otentik bagi yang penasaran dengan hasil-hasil yang
dikemukakan peneliti.
Artinya bahwa peneliti harus membuat jurnal yang disiapkan untuk
penelitian dan diisi setiap saat selama melaksanakan penelitian dilapangan.
Jurnal refleksi ini sebagai bukti otentik penelitian, hal ini diungkapkan
peneliti yang merupakan bukti otentik bagi yang penasaran dengan hasil-hasil
yang dikemukakan peneliti‖. Peneliti merekam semua pengalamannya dalam
sebuah jurnal sebagai bukti fisik yang otentik dan ini merupakan bukti bahwa
penelitian tersebut benar-benar dilakukan.
e. Catatan pengambilan keputusan
Alwasilah (2009: 184) mengungkapkan bahwa ―paradigma kualitaif tidak
mengenal keputusan a priori, melainkan membiarkan keputusan-keputusan itu
mencuat dengan sendirinya dari data secara alami. Namun demikian peneliti
boleh memulai penelitian dengan keputusan-keputusan pendahuluan‖. Dalam hal
ini peneliti membuat keputusan-keputusan dalam tahapan-tahapan dan
langkah-langkah penelitian dan hal itu dicatat dengan tertib dan rapi dalam sebuah catatan
pengambilan keputusan (Decision Trail).
Ada tiga alasan dalam pengambilan keputusan ini, sebagaimana yang
dikemukakan Alwasilah (2009: 184) sebagai berikut: Pertama, firasat, intuisi,
insting, reaksi seketika sebagi faktor internal yang terus menerus mendorong saya
segera mengambil keputusan, Misalnya saya merasa seorang responden yang
sombong, menggurui, dan sok tahu yang tidak mungkin dapat diajak bekerja
sama. Saya juga merasa bahwa beberapa pertanyaan tidak selayaknya diajukan
pada responden tertentu. Kedua, informasi yang muncul dari interviu dan
observasi mempengaruhi pengambilan keputusan. Manakala keteraturan dan
konsistensi berakumulasi dalam kategori-kategori, saya berkeyakinan bahwa saya
harus mengakhiri interviu dan observasi. Proses debriefing dengan semua
sudut pandang dan menumbuhkan revitalisasi kesadaran saya sebagai peneliti.
Ketiga, faktor eksternal seperti jangka beasiswa dan keterbatasan dana membatasi
saya untuk melakukan penelitian yang –sebenarnya bisa—lebih ekstensif.
2. Reliabilitas Data
Suatu alat dikatakan reliable, bila alat itu dalam mengukur suatu gejala pada
waktu yang berlainan senantiasa menunjukan hasil yang sama (Nasution, 1996: 77).
Adapun ―konsep reliabilitas (reliability) mempunyai pengertian sejauh mana
temuan-temuan penelitian dapat direplikasi‖ (Alwasilah, 2009: 186).
Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2009: 187) mengungkapkan ―tidak perlu untuk
mengeksplisitkan persyaratan reliabilitas. Namun menyarankan penggunaan istilah
dependability atau consistenscy, atau keterhandalan‖.
Selanjutnya pada penelitian kualitatif reliabilitas ini sulit dipenuhi karena
perilaku manusia senantiasa berubah-ubah. Berbeda dengan penelitian kuantitatif
yang berasumsi bahwa reliabilitas dilandaskan pada adanya realitas esa (single
reality).
G. DEFINISI KONSEPTUAL 1. Membina
Membina sangat penting diperhatikan dalam membentuk karakter siswa,
sedangkan membina dapat diartikan ―mengusahakan supaya lebih baik (maju,
sempurna)‖ (Depdikbud, 2001: 152). Dalam penelitian ini yang dimaksud membina
adalah upaya yang dilakukan guru Agama Islam untuk menata situasi sekolah serta
melaksanakan intrakulikuler maupun ekstrakurikuler agar siswa menjadi insan yang
2. Pendidikan Karakter
Thomas Lickona (1991:51) mengemukakan bahwa karakter adalah ―A reliable
inner disposition to respond to situations in amorally good way”, selanjutnya ia
menambahkan, ―Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing,
moral feeling, and moral behavior”. Selanjutnya Konsep pendidikan karakter
dikemukakan lagi oleh Elkind dan Sweet dalam Rachman (Ditjen Dikdas, 2011:7)
bahwa Character education is the deliberate effort to help people understand, care
about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character
we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is
right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even
in the face of pressure from without and temptation from within.
Dengan demikian, pendidikana karakter adalah pendidikan yang memadukan
antara pengetahuan moral, perasaan moral yang berupa kelembutan hati, dan perilaku
moral menjadi kesatuan yang utuh dan terpancar dari hati serta perpengaruh pada
perbuatan perserta didik, sehingga dapat berbuat baik, bersikap baik dan berfikir baik.
3. Pendidikan Agama Islam
Hidayat, Abdurrahman dan Nurbayan (2009:2) mengungkapkan bahwa
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk
sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah
Sedangkan Darajat (1976:172) yang mengungkapkan bahwa pendidikan
agama adalah suatu usaha yang secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi
siswa dalam rangka pembentukan manusia beragama.
Sedangkan Depdiknas (2002: 20) mengemukakan bahwa pendidikan agama
Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak
mulia dalam menjalankan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci
Al-Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan serta
penggunaan pengalaman.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam adalah pendidikan untuk
membangun peserta didik menjadi orang yang beriman, bertakwa berakhlak mulia,
sehingga dapat menjalankan seluruh ajaran agama Islam yang berumber kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Pendidikan Umum
― … general education is the process of engendering essensial meaning.
(Phenix, 1965: 5). Yang maksudnya adalah Pendidikana umum adalah proses
pemunculan makna-makna esensial. Definisi yang lain dikemukakan oleh Sauri
(2007: 21) Pendidikan Umum adalah pendidikan kepribadian, pendidikan
memanusiakan manusia, yakni pembentukan jati diri manusia sebagai individu,
mahluk sosial dan mahluk religius.
Dengan demikian, pendidikan umum adalah pendidikan yang menjadikan
sehingga menjadi bermakna dan bermanfaat dalam kehidupan bagi linkungan hidup
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN UMUM
Secara umum berdasarkan hasil data dan analisis data yang dilakukan peneliti
pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa MTs. Persis 102 Dayeuhkolot
Kab. Bandung telah melakukan pembinaan karakter atau akhlak terhadap
siswa-siswanya melalui pembelajaran PAI. Hal ini terlihat dari program-program pembinaan
karakter yang digulirkan melalui pembelajaran Pendidikana Agama Islam. Pembinaan
karakter siswa MTs. Persis 102 dilakukan dengan beberapa program kegiatan sebagai
berikut: Pengikraran Bai’at/ Sumpah, Upacara yang dilanjutkan dengan ceramah/ khutbah
oleh peserta didik, MABIT (malam bina iman dan taqwa) yang dilakukan tiga bulan
sekali, shalat berjamah yang diakhir dengan kegiatan tausyiah dan arahan dari dewan
asatidz, Studi tour ke tempat-tempat sejarah Islam; dan Pengajian akbar yang dihadiri
oleh suluruh peserta didik dan orang tua.
Pendidikan agama Islam dalam membina karakter siswa sangat berperan penting,
hal ini terlihat dari seluruh kegiatan pembinaan karakter siswa yang dilakukan sekolah,
hampir semuanya diarahkan kepada nilai-nilai Islam dan dikelola oleh guru Pendidikan
Agama Islam, sehingga pengaruh pendidikan agama Islam sangat kental dalam kegiatan
pembinaan karakter tersebut.
Ditambah dengan kegiatan guru PAI dalam setiap pembelajaran yang selalu aktif
membina karakter siswa dengan berbagai upaya seperti, pengkondisian siswa sebelum
pembelajaran, berdoa sebelum belajar, bersodakoh atau berinfak setiap hari sebelum