commit to user
i
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO
KABUPATEN KARANGANYAR
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian
Oleh:
Yullie Akhiril Izzati
H 0406081
Dosen Pembimbing
1. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi
2. D. Padmaningrum, SP, MSi
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PENGESAHAN
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO
KABUPATEN KARANGANYAR
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
Yullie Akhiril Izzati
H 0406081
Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji
Pada tanggal: 8 November 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Ketua
Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi NIP. 19681227 199409 1 002
Anggota I
D. Padmaningrum, SP, MSi NIP. 19720915 199702 2 001
Anggota II
Dr. Ir. Kusnandar, MSi NIP. 19670703 199203 1 004
Surakarta, 12 Desember 2010
Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Program
Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan
Bromo Kabupaten Karanganyar”. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Ir Kusnandar, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi
Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus dosen penguji tamu.
3. Dwiningtyas Padmaningrum, SP, MSi selaku Ketua Komisi Sarjana
Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing
akademik dan pembimbing pendamping dalam penulisan skripsi.
4. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi selaku pembimbing utama dalam penulisan
skripsi.
5. Bapak Ketut dan seluruh karyawan Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
atas kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan skripsi.
6. Kepala Bappeda dan Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar yang telah
mempermudah perijinan pengumpulan data.
7. Camat Karanganyar yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian
di wilayah Kecamatan Karanganyar.
8. Pimpinan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Administratur KPH
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.
9. Asisten Perhutani dan Mandor Hutan Bromo yang telah membantu
commit to user
iv
10. Segenap responden yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data.
11. Kedua orang tua penulis, Ibu Dra. Hj. Roswita dan Bapak Drs. H. M. Hasyimi,
terimakasih atas doa dan dukungan yang tiada henti. Mbak, Mas, Kakak, serta
Abangku yang juga selalu memberikan motivasi.
12. Teman-teman Kost Annisa, Ten Community, dan teman-teman seperjuangan
PKP’06, terimakasih atas bantuan dan dukungan serta persahabatan yang
kalian berikan.
13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan secara keseluruhan, yang telah
membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pihak-pihak yang memerlukan.
Surakarta, 12 Desember 2010
commit to user
v DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
RINGKASAN ... xii
SUMMARY ... xiii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Kegunaan Penelitian ... 5
II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 7
B. Kerangka Berfikir ... 35
C. Pembatasan Masalah ... 36
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 36
III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 43
B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian... 43
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian ... 44
D. Jenis dan Sumber Data... 45
E. Teknik Pengumpulan Data... 45
F. Metode Analisis Data... 46
commit to user
vi
B. Keadaan Penduduk... 49
C. Keadaan Pertanian... 55
D. Keadaan Perekonomian... 57
E. Gambaran Umum Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar ... 58
F. Profil Program Agroforestri Hutan Bromo Karanganyar ... 59
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden ... 63
B. Tingkat Aksesibilitas Informasi ... 65
C. Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi ... 69
D. Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal ... 78
E. Tingkat Kemanfaatan Agroforestri ... 81
F. Analisis Keragaan Pelaksanaan Kegiatan Agroforestri sebagai Program Pemberdayaan Masyarakat... 86
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
commit to user
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekonomi... . 38
Tabel 2.2 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Sosial ... . 38
Tabel 2.3 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekologi... . 39
Tabel 2.4 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan Total dari Aspek
Sosial, Ekonomi dan Ekologi ... . 39
Tabel 2.5 Pengukuran Variabel ... . 39
Tabel 3.1 Luas Total BKPH Lawu Utara ... . 44
Tabel 4.1 Keadaan Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di
Desa Delingan dan Desa Gedong... . 49
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa
Delingan dan Desa Gedong... . 52
Tabel 4.3 Keadaan Penduduk menurut Mata Pencaharian Desa
Delingan dan Desa Gedong... . 54
Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Desa Delingan dan
Desa Gedong ... . 55
Tabel 4.5 Jumlah Produksi Komoditas Utama di Desa Delingan dan
Desa Gedong ... . 56
Tabel 4.6 Keadaan Sarana Perekonomian di Desa Delingan dan Desa
Gedong ... . 57
Tabel 4.7 Keadaan Lembaga Perekonomian di Desa Gedong ... . 58
Tabel 5.1 Identitas Responden yang Pernah dan Masih Mengikuti Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 63
Tabel 5.2 Jenis Sumber Informasi yang Diakses oleh Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun
1990-2010... . 66
Tabel 5.3 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun
1990-2010... . 70
commit to user
viii
Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (38
Responden)... . 71
Tabel 5.5 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Lahan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari tahun 1990-2010 (40
esponden) ... . 72
Tabel 5.6 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Reswponden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Benih Tanaman Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun
1990-2010 (40 Responden) ... . 73
Tabel 5.7 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Penanaman Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40
Responden)... . 74
Tabel 5.8 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Pokok di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40
Responden)... . 75
Tabel 5.9 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Patroli Hutan di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (5 Responden) ... . 76
Tabel 5.10 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Panen Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (4 Responden) ... . 77
Tabel 5.11 Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal di Kawasan Hutan
Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 78
Tabel 5.12 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekonomi di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82
Tabel 5.13 Pertambahan Pendapatan Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri setelah Mengikuti Program Agroforestri di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82
commit to user
ix
Agroforestri pada Aspek Sosial di Kawasan Hutan Bromo
Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 84
Tabel 5.15.Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekologi di Kawasan Hutan Bromo
Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 85
Tabel 5.16 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 86
Tabel 5.17 Analisis Keragaan dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa
dengan Konsep Agroforestri... 7
Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program ... 22
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisisoner Penelitian... 100
Lampiran 2 Identitas responden dan Tabulasi Data... 116
Lampiran 3 Surat Ijin ... 138
Lampiran 4 Peta Kecamatan ... 143
commit to user
xii RINGKASAN
Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. “Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar”. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi dan D. Padmaningrum, SP, MSi.
Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem yang melimpah, salah satunya adalah hutan yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan pembangunan kehutanan perlu dilakukan karena dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama pembangunan kehutanan yang telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan. Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengelola hutan bersama masyarakat. Untuk menjaga kelestarian hutan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk partisipasi yang lebih populer dengan kata “perhutanan sosial”, dimana salah satu bentuknya adalah kegitan agroforestri. Begitu pula yang dilakukan di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar. Seluruh kegiatan agroforestri ini membutuhkan evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan tersebut telah dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji tingkat aksesibilitas informasi, tingkat keterlibatan dan tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri, mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan peserta agroforestri, serta menganalisis keragaan yang ada. Metode penelitian berdasarkan tujuannya adalah metode deskriptif dan berdasarkan kegunaannya adalah metode evaluasi dengan teknik survai. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja
(purposive), penentuan responden dilakukan dengan teknik snowball sampling
dan convenience sampling. Distribusi frekuensi digunakan untuk mengetahui
seberapa jauh kegiatan telah dilakukan, untuk menarik kesimpulan digunakan
median skor, untuk mengukur tingkat kemanfaatan digunakan distribusi skor,
commit to user
xiii
commit to user
xiv SUMMARY
Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. "Evaluation of Community Empowerment Programme in Agroforestry Activities in Bromo Forest Area Karanganyar District”. Agriculture Faculty of Sebelas Marert University Surakarta. Under guidance Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSI and D. Padmaningrum, SP, MSi.
Indonesia is a country with an abundant diversity of ecosystems, one of which is the forest that can provide benefits to people's lives. So that needs to be done for forestry development that can benefit the rural community as the main perpetrators of forestry development that actually has local knowledge to maintain and conserve forests. Nature is utilized by the government to manage the forest with the community together. To keep the forests preservation is also to improve people's welfare in the form of participation is more popular with the word "social forestry", where one form is the agroforestry activity. Similarly, conducted in the of Bromo Forest area Karanganyar District. All of these agroforestry activities require evaluation to determine how far these activities have been conducted.
The aim of this researchs are to inspect the information accessibility level, involvement (participation) level and the participant agroforestry capacity of local organizations level, inspect the usefulness of economic, social and ecological agroforestry participant perceived, as well as analyzing impact point existing. The method of this research is descriptive method based on objective and based on the usefulness evaluation method with survey techniques. The location of this reaserch is determined intentional (purposive), the determination of the respondents was done by using snowball sampling and convenience sampling. Frequency distribution used to find out how far the activities have been conducted, to draw conclusions use the median score, to measure the usefulness level used the score distribution, and to analyze the real fact used the potential and actual data comparison.
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem
yang melimpah, salah satunya adalah hutan. Hutan sebagai salah satu sumber
daya alam yang dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
masyarakat. Kemanfaatannya yang besar itu menimbulkan banyak kegiatan
illegal logging yang pada akhirnya dapat merugikan berbagai pihak. Data
yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia sejak tahun
1985-1997 telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan
diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Menurut data
Departemen Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat
berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi (perusakan hutan atau
penggundulan hutan) dalam 5 tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per
tahun (Parasdya, 2010).
Oleh karena itu, pembangunan hutan perlu dilakukan untuk
mendukung kelancaran pembangunan nasional, mengingat potensi hutan dan
permasalahan yang dimilikinya sama besar dan pentingnya. Pembangunan
kehutanan tidak hanya dapat berupa pembangunan dalam peningkatan
komoditasnya, namun juga dari yang awalnya berupa industrial menuju ke
kehutanan masyarakat.
Kehutanan masyarakat diharapkan dapat memberikan keuntungan
kepada masyarakat desa hutan guna merealisasikan pembangunan kehutanan,
karena masyarakat desa hutan sebenarnya merupakan pelaku utama dalam
kegiatan kehutanan karena kondisi geografis mereka yang dekat dengan hutan.
Hasil pembangunan kehutanan dianggap belum dirasakan secara optimal oleh
masyarakat desa hutan, padahal masyarakat desa hutan telah memberikan
andil yang cukup besar bagi pembangunan yang ada, baik itu dalam bentuk
memanfaatkan hasil hutan hingga tanggung jawab mengelola kelestarian hutan
commit to user
masyarakat desa hutan inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
mengelola hutan bersama masyarakat. Tujuannya adalah untuk menjaga
kelestarian hutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam
bentuk partisipasi.
Partisipasi mayarakat desa hutan dalam mengelola hutan, menurut
Mardikanto (2005), sebenarnya telah dimulai sejak masa penjajahan Hindia
Belanda dan Jepang, meskipun baru dilibatkan dalam kegiatan penanaman dan
pemeliharaan tanaman. Pada prakteknya saat ini kegiatan mengelola hutan
dengan melibatkan masyarakat tersebut lebih populer dengan istilah
“perhutanan sosial” sejak dilaksanakannya proyek Perhutanan Sosial oleh
Perum Perhutani pada tahun 1986. Adapun manfaat-manfaat yang diharapkan
dari kegiatan perhutanan sosial adalah perbaikan dan perluasan tanaman,
perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan,
perbaikan mutu sumberdaya manusia, pengembangan sarana-prasarana, serta
penumbuhan dan efektivitas kelembagaan.
Sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep antara perhutanan
sosial dengan kehutanan masyarakat adalah sama bila dilihat dari tujuan
keduanya secara garis besar yaitu: perbaikan kesejahteraan masyarakat desa
hutan dan perbaikan sumber daya alam (hutan) melalui kegiatan-kegiatan yang
telah dirancang pemerintah. Begitu pula dengan agroforestri, dimana ia
merupakan salah satu bentuk kegiatan rancangan pemerintah sebagai wujud
dari perhutanan sosial bila dilihat dari tujuan yang hendak dicapainya.
Kebutuhan pemerintah akan keamanan hutan, lahan dan hasil hutan,
serta keinginan untuk memberdayakan masyarakat desa hutan merupakan
salah satu faktor mengapa pemerintah perlu melakukan kegiatan agroforestri.
Hal ini juga didukung dengan adanya kebutuhan petani penggarap akan
pendapatan tambahan guna meningkatkan kesejahteraan petani dan
keluarganya. Kebutuhan antara pemerintah dan petani yang saling
menguntungkan tersebut mendorong pemerintah untuk mengadakan kegiatan
agroforestri dan mendorong petani untuk ikut serta dalam rangkaian kegiatan
commit to user
Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah satu-satunya
hutan produksi yang dimiliki Kabupaten Karanganyar dengan luas area 208,3
hektar di bawah kekuasaan dan wilayah kerja BKPH Lawu Utara (Sumber:
Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara), juga melakukan
kegiatan agroforestri demi keberlangsungan fungsi hutan dan mensejahterakan
masyarakat di desa sekitar hutan. Seluruh rangkaian dari suatu kegiatan
membutuhkan evaluasi untuk mengukur dan menilai seberapa jauh kegiatan
tersebut telah dilakukan. Adanya evaluasi ini akan diketahui apakah program
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan
Bromo Kabupaten Karanganyar dapat diterima baik atau tidak. Evaluasi
terhadap program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri
merupakan umpan balik yang sangat berguna bagi pelaksanaan untuk
mengevaluasi kembali kekurangan-kekurangan yang ada sehingga dapat
disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat.
B. Perumusan Masalah
Pemberdayaan masyarakat penting untuk dilakukan bila dilihat dari
tujuannya yaitu untuk memandirikan masyarakat dalam mengelola potensi
yang dimilikinya dengan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku utama
pemberdayaan (subyek bukan obyek). Begitu pula yang harus dilakukan
dalam memberdayakan masyarakat desa hutan, karena masyarakat tersebut
berdomisili dekat sekali dengan hutan. Namun kondisi mayarakat desa hutan
ternyata bertolak belakang dengan kondisi hutan yang kaya raya akan hasil
hutan. Jadi, pemberdayaan ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan adalah
dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.
Agroforestri adalah salah satu bentuk terpenting dari penerapan konsep
perhutanan sosial. Agroforestri dapat dipahami sebagai suatu sistem
penggunaan lahan dengan tujuan yang spesifik. Melalui agroforestri, peserta
perhutanan sosial diberi lahan garapan (andil) untuk ditanami tanaman
pertanian di sepanjang lajur diantara tanaman kehutanan. Sebagai timbal balik
commit to user
berpartisipasi dalam penanaman kembali pohon hutan dan pengamanan hutan.
Namun sebaik apapun fasilitas yang diberikan akan tidak berguna apabila
tidak ada partisipasi dari sasaran/petani.
BKPH Lawu Utara memiliki banyak hutan, namun hanya Hutan Bromo
yang dijadikan hutan produksi dengan luas area 208,3 hektar. Agroforestri di
Hutan Bromo sebenarnya sudah dilakukan oleh masyarakat dari dahulu secara
turun menurun untuk menambah pendapatan keluarga. Namun karena
masyarakat seringkali mengambil hasil hutan berupa kayu-kayuan, maka
Perhutani melakukan agroforestri bersama masyarakat dengan membentuk
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Ada atau tidaknya permasalahan dalam suatu kegiatan bukan merupakan
indikator penentu bahwa kegiatan tersebut baik atau buruk, namun tetap perlu
dievaluasi sejauh mana kegiatan tersebut telah berjalan. Dari penjelasan di
atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?
2. Bagaimana tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?
3. Bagaimana tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?
4. Bagaimana tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang
dirasakan peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat
dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar?
5. Bagaimana analisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai
program pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat
dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar adalah untuk:
1. Mengkaji tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.
2. Mengkaji tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.
3. Mengkaji tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama
program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di
kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.
4. Mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan
peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam
kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.
5. Menganalisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai program
pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat
dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten
Karanganyar adalah sebagai berkut:
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan proses belajar yang ditempuh
peneliti untuk mendalami tema penelitian yang diangkat dan memberikan
solusi bagi permasalahan yang muncul di lapang. Selain itu juga sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian.
2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan
commit to user
pengembangan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan
agroforestri.
3. Bagi peneliti lain, dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam
commit to user
7
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pembangunan Kehutanan
Di dalam pembangunan hutan yang bertitik tolak pada pendekatan
prosperity approach harus selalu berusaha mempertimbangkan penduduk
desa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek. Telah banyak bukti dengan
pendekatan ini pembangunan hutan dan masyarakat hutan akan berhasil.
Di dalam membina hutan dan masyarakat sekitar hutan sebaiknya
diusahakan adanya interaksi yang positif sifatnya yaitu bekerjasama
(cooperation). Skema interaksi sosial dalam pembangunan menurut
konsep agroforestri dapat dilihat pada gambar berikut:
program
pembangunan
oleh
kehutanan
masyarakat desa
Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa dengan Konsep Agroforestri (Sumber: Fandeli, 1985)
Pembangunan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan nasional
merupakan suatu usaha berencana yang diharapkan menghasilkan
produk-produk baik materiil maupun spiritual (tangible dan intangible) guna
meningkatklan kesejahteraan rakyat dan negara (Fandeli, 1985).
conflict
competation
commit to user
Secara keseluruhan, isi pola umum pembangunan jangka panjang
merupakan pangarahan dalam melaksanakan pembinaan dan
pembangunan, dan khusus untuk pembangunan kehutanan dapat dipetik:
a. Untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan bidang
industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yang berarti
bahwa sebagian besar dari usaha pembangunan diarahkan kepada
pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan di bidang-bidang
lainnya bersifat menunjang dan melengkapi bidang ekonomi.
b. Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia
harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam
tersebut harus diupayakan dengan tidak merusak tata lingkungan hidup
manusia, yaitu dilaksanakan dengan kebijakan yang menyeluruh dan
dengan memperhitungan kebutuhan generasi yang akan datang.
Pembangunan kehutanan diharapkan pada berkembangnya kehutanan yang
maju, efisien dan tangguh. Pembangunan kehutanan bertujuan untuk
meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan
taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan
berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor.
Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha diversifikasi,
intensifikasi, dan ekstensifikasi serta rehabilitasi yang harus dilaksanakan
secara terpadu, serasi dan merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air,
dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian sumber alam dan
lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat
setempat. Dalam rangka pembangunan kehutanan, perlu ditingkatkan pula
kemampuan pengusahaan dan pengelolaan serta penerapan teknologi yang
tepat pada usaha-usaha kehutanan. Pembangunan kehutanan harus
memanfaatkan sumber daya yang ada dan yang dapat dikembangkan
secara efisien serta harus merupakan usaha yang terpadu dan saling
menunjang dengan pembangunan di sektor lain, terutama untuk
commit to user
memelihara kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup
(Departemen Kehutanan, 1988).
Amanah dan arah pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan
pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 dan pasal 33 dan Garis-Garis
Besar Haluan Negara 1988. Arahan pembangunan kehutanan pada intinya
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Menciptakan iklim yang merangsang pengembangan industri di negara
berkembang sebagai usaha mengurangi tekanan pembangunan pada
sumber daya alam kehutanan dan tanah, serta menggeser tekanan itu
pada pemanfaatan ilmu dan teknologi.
b. Mengembangkan sistem tarip impor-ekspor yang mendorong ekspor
barang dan jasa yang diproses, serta mengurangi ekspor bahan mentah
dari negara berkembang ke negara industri. Dengan demikian, ekspor
negara berkembang meningkat dan mengurangi tekanan pada alam
sebagai sumber bahan mentah, termasuk hutan tropis.
c. Mengembangkan pariwisata lingkungan alam yang unik sebagai upaya
mendorong perkenalan lingkungan dan cinta pada alam beserta isinya.
d. Meningkatkan dan merealisasikan penghutanan kembali lahan-lahan
kritis.
e. Melakukan ikhtiar pengembangan keanekaragaman hayati di hutan asli
dan di luarnya untuk menjaga kelanggengan tumbuh-tumbuhan dan
satwa, menciptakan bibit unggul untuk menjadi sumber bagi bahan
obat-obatan, pangan, dan industri masa depan.
(Arief, 2005).
Sebagai unsur pendukung pembangunan nasioanal, pembangunan
kehutanan bertujuanan untuk mencapai sasaran utama sektor kehutanan,
yaitu: yang titik beratnya diletakkan pada bidang ekonomi dan dengan
memperhatikan faktor-faktor strategis yang mempengaruhi maka sasaran
utama sektor kehutanan dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang
adalah terjaminnya kemantapan dan keberadaan sumber daya hutan
commit to user
hutan bagi industri, menjamin terpeliharanya keragaman biologi
(biodiversity), pemeliharaan keseimbangan tata air (hydrology), penyangga
kehidupan, serta tercapainya fungsi sosial dan ekonomi yang tinggi
(Sumitro,1992).
Menurut Nugraha (2005), memasuki tahun 1998 dalam konteks
kehutanan terjadi pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, dimana
pengelolaan hutan tidak hanya berpusat pada satu komoditas melainkan
bergeser menjadi multikomoditas. Pergeseran tersebut diharapkan mampu
mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan yang adil, demokratis dan
berkelanjutan berdasarkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan.
2. Hutan
Info tentang definisi “hutan” sangat penting untuk dikemukakan,
sebab UU No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan dasar pengurusan
kehutanan Indonesia mendefinisikan hutan sebagai “suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Srihadiono, 2005).
Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan
forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang,
dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti
pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah suatu
daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup
binatang buas dan burung-burung hutan. Dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan, hutan diartikan dengan suatu lapangan bertumbuhan
pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohon-pohonan) yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting
dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu
commit to user
Indonesia. Manfaat itu dapat dibedakan atas dua macam: langsung dan
tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain
rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Ada delapan manfaat
hutan secara tidak langsung, antara lain: mengatur tata air, mencegah
terjadinya erosi, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan
manfaat dalam bidang pertahanan keamanan, menampung tenaga kerja,
dan menambah devisa negara. Di dalam Agenda 21 Konferensi Tingkat
Tinggi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 disebutkan manfaat hutan
sebagai paru-paru dunia (Salim, 2004).
Hutan sebagai suatu ekosistem, seperti yang dikemukakan Odum
dalam Sumardi dan S. M. Widyastuti (2004), tidak hanya terdiri atas
komunitas tumbuhan dan hewan semata, akan tetapi meliputi juga
keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan.
Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin
banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan
hutan dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai
dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan
sampai pada tindakan-tindakan yang menimbulkan perubahan komposisi
hutan yang mencolok.
Hutan di Indonesia, yang merupakan hutan tropika basah yang
karena pengaruh faktor geografi, hidrogafi dan klimatologi memiliki
berbagai macam tipe hutan dan jenis flora dan fauna yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan ini sumber daya hutan
merupakan penentu siklus kehidupan dan siklus alami, sehingga hilangnya
hutan berarti hilang pula sumber daya alam dan daya dukungnya.
Pemanfaatan sumber daya alam hutan bila dilakukan sesuai dengan fungsi
yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka,
fungsi produksi, fungsi wisata, dan lain-lain dengan dukungan kemampuan
pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi,
commit to user
dapat diukur berupa produksi, jasa, energi, perlindungan lingkungan dan
lain sebagainya (Pamulardi, 1999).
Kawasan hutan sebagian besar menempati daerah yang jauh dari
pemukiman penduduk dan lahan pertanian. Pada umumnya tanah hutan
memiliki kesuburan rendah sampai marginal, topografinya landai sampai
terjal, menempati kawasan sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung.
Oleh karena itu pengelolaan hutan pada awalnya berangkat dari daerah
yang berpenduduk jarang, bahkan seringkali tidak dihuni oleh penduduk
sama sekali. Dengan adanya kegiatan penebangan kayu dari hutan alam
untuk tujuan komersial, daerah yang kosong dari penduduk lambat laun
akan diisi oleh pemukim, baik yang bekerja dalam kegiatan penebangan
tersebut maupun yang menyediakan jasa kepada para pekerja. Komunitas
baru itu menarik masyarakat lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan
dasar sehingga kegiatan pertanian pun mulai berkembang pula. Semuanya
itu menyebabkan daerah tersebut menjadi terbuka, aksesibilitas dan sarana
komunikasi berkembang sehingga mobilitas penduduk di kawasan itu
meningkat. Akibatnya problem sosial di kawasan tersebut juga meningkat
yang akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap pengelolaan hutan
yang semula dapat berlangsung dengan tenang tanpa gangguan masyarakat
di sekitarnya (Hardiyanto dan Hardjono A., 2004).
Perhutani sebagai BUMN yang mengelola hutan di Jawa telah
melakukan beberapa pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan peran
serta masyarakat, diantaranya:
a. Sekitar tahun 1970-an, muncul program MALU (Mantri dan Lurah).
Program ini mengintegrasikan program kerja mantri dengan program
kerja lurah.
b. Tumpang sari konvensional (sampai dengan 1972).
c. Prosperity approach atau pendekatan kemakmuran (1972-1982).
Program ini disusun demi kemakmuran rakyat di sekitarnya.
d. Perhutanan sosial yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan
commit to user
e. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDT) (1994-2000).
(Perhutani, 2003).
3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu kepada pada kata
empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang
sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan
masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat
lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yeng mengorganisir diri mereka
sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan
dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi justru
sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan
dan kehidupan masyarakat secara umum. Prioritas utama program
pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemnadirian, yang artinya
masyarakat diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai
hal, terutama yang menyangkut kelangsungan kehidupan (Setiana, 2005).
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan
sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada
kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice)
serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice). Karena itu,
pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna
meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Upaya
pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan empat unsur pokok,
yaitu:
a. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru
kaitannya dengan peluang, layanan, penegakkan hukum, efektivitas
negosiasi, dan akuntabilitas.
b. Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibatkan
dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses
pembangunan.
c. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas
commit to user
d. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan
bekerjasama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi
sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi.
(Mardikanto, 2005).
Arti pemberdayaan pada dasarnya bertujuan membangun manusia
agar meningkatkan kualitas dirinya untuk membangun kehidupannya.
Pemberdayaan saat ini merupakan pilihan satu-satunya saat ini dalam
membangun secara bertahap, perlu diprioritaskan dalam peningkatan
sumber daya manusia. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat,
hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan
yang berfungsi mendinamisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat.
b. Pengembangan jaringan strategis antara kelompok yang terbentuk dan
berperan dalam pengembangan masyarakat.
c. Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal.
d. Terpenuhinya kebutuhan hidup dan kesejahteraan hidup.
(Nuraeni, 2005).
Menurut Wilson dalam Sumaryadi (2005), pemberdayaan individu
merupakan sebuah proses yang terdiri dari awakening, understanding,
harnessing, dan using. Tahap pertama dari proses pemberdayaan
individu adalah awakening, yang membantu orang mengadakan penelitian
terhadap situasi mereka saat ini, pekerjaan dan posisi mereka dalam
organisasi. Mereka menggambarkan kemampuan, sikap dan keterampilan
mereka untuk menentukan apakah mereka secara efektif dimanfaatkan.
Tahap kedua, yaitu understanding, dimana orang mendapat pemahaman
dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri,
pekerjaan mereka, aspirasi mereka dan keadaan umum. Misalnya, proses
mencari alasan mengapa mereka merasa perlu melakukan dan kemudian
mengembangkan suatu strategi atau prosedur untuk menyelesaikan suatu
commit to user
awakening dan understanding. Individu, yang sudah memperlihatkan
keterampilan dan sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat
menggunakannya bagi pemberdayaan. Tahap terakhir yaitu using atau
menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai
bagian dari kehidupan kerja setiap hari.
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat yang terpenting adalah
dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Dalam
mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan melalui
berbagai macam strategi, diantara strategi tersebut adalah modernisasi
yang mengarah pada perubahan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang
bersumber pada peran serta masyarakat setempat. Prioritas utama program
pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian, yang artinya
masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal, terutama
yang menyangkut kelangsungan hidupnya. Dalam pemberdayaan
masyarakat petani/peternak, perlu diketahui sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang ada sehingga dalam menyusun program pemberdayaan
akan lebih mengena sasaran (Setiana, 2005).
Menurut Suharto dalam Suharto (2009), pemberdayaan merujuk
pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga
mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi
kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom),
dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas
dari kelaparan, kebodohan, kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka
perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Untuk menjelaskan pembangunan masyarakat sebagai suatu realita
sosial dapat digunakan berbagai perspektif yang berbeda. pembangunan
commit to user
kebijakan yang berorientasi stabilitas telah melahirkan pelaksanaan
pembangunan yang bersifat sentralistis dan top down. Untuk mendukung
pendekatan itu dibutuhkan kekuasaan dan kewenangan negara yang besar
dan terpusat. Dalam pelaksanaanya, kebijakan ini juga telah melahirkan
dominasi negara di suatu pihak dan marginalisasi masyarakat di lain pihak,
terutama dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan. Walaupun secara makro kebijakan ini dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi secara mikro ternyata kurang menyentuh
peningkatan taraf hidup lapisan terbawah, bahkan kemudian menimbulkan
kesenjangan. Oleh sebab itu, kemudian muncul pemikiran alternatif dalam
kebijakan pembangunan, yaitu suatu pendekatan pembangunan yang
memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai pada tingkat
terbawah, khususnya masyarakat lokal dalam proses pengambilan
keputusan dan pengelolaan pembangunan (perspektif people centered
development). Oleh karena penyebab marginalisasi masyarakat menjadi
sumber masalah tidak terangkatnya taraf hidup lapisan bawah adalah
faktor ketidakberdayaan maka pendekatan yang banyak digunakan oleh
perspektif ini adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, dua
unsur penting dari pemberdayaan adalah desentralisasi dan pengembangan
kapasitas (Soetomo, 2009).
Menurut Nugraha (2005), pemberdayaan masyarakat desa hutan
dengan melibatkan mereka dalam pengelolaan hutan perlu dilakukan
dalam rangka mencapai keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan. Di
satu sisi, kelestarian fungsi lingkungan akan berlanjut secara lintas
generasi, kesejahteraan masyarakat desa hutan pun terwujud secara
optimal. Fakta tersebut mendesak keberadaan institusi lokal dalam rangka
mengatur dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dengan
melalui revitalisasi institusi lokal untuk selanjutnya perlu diberikan peran
yang meliputi kewenangan pengaturan. Hal inilah yang disebut dengan
commit to user
Menurut Sulistiyani (2004), pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu proses yang akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang
harus dilalui meliputi:
a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar
dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,
kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan
keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam
pembangunan.
c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan
sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk
mengantarkan pada kemandirian.
4. Evaluasi Program
Evaluasi yaitu kegiatan pengukuran dan penilaian yang dapat
dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going, pemantauan) dan
setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post). Meskipun demikian,
evaluasi seringkali hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat
proses dan hasil kegiatan, hasil (output) dan dampak (outcome) kegiatan,
yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun finansialnya
(Mardikanto, 2003).
Evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi,
dayaguna, efisiensi dan dampak dari suatu proyek dalam kaitannya dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan ini biasanya mencakup
pembandingan-pembandingan informasi yang dibutuhkan dari luar proyek
tersebut, baik menyangkut waktu, area/lahan atau penduduk
(von Maydell, 1988).
Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tingkatan
dan proses. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga
relevansi dan efek serta konsekuensinya ditentukan sesistematis dan
seobjektif mungkin. Data ini digunakan untuk memperbaiki kegiatan
commit to user
pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk mencapai
kebijaksanaan yang lebih efektif. Data tersebut mencakup penentuan
penilaian keefektifan kegiatan dibanding dengan sumber daya yang
digunakan (van den Ban dan H. S. Hawkins, 2003).
Evaluasi yang paling utama harus dititikberatkan terhadap perubahan
yang terjadi dalam kehidupan sasaran baik perubahan dalam cara hidup
maupun berusahatani. Evaluasi dapat dilaksanakan pada saat kegiatan
berlangsung, awal kegiatan dan pada akhir dari suatu kegiatan
(Samsudin, 1977).
Menurut Subagio (2002) dalam Nuraeni (2005), dijelaskan bahwa
informasi yang diperoleh dari evaluasi akan dianalisis sehingga relefansi
dan efek serta konsekuensinya dapat ditentukan subjektif dan sesistematik
mungkin. Evaluasi adalah proses pengumpulan data yang sistematis untuk
mengukur efektifitas program latihan. Evaluasi lebih ditekankan sebagai
suatu proses menentukan nilai yang berhubungan dengan tujuan yang
direncanakan.
Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi
program dimaksudkan untuk melihat pencapaian target program. Untuk
menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang dijadikan
tolok ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan
kegiatan. Terdapat dua ranah pengukuran, yaitu:
a. Pengukuran ranah afektif
Pengukuran ini tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti
pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku tidak dapat
berubah sewaktu-waktu. Pengukuran sikap seseorang memerlukan
waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan
commit to user b. Pengukuran ranah psikomotorik
Pengukuran ini dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang
berupa penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini
disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus.
(Arikunto, 1995).
Menurut Bloom (1956) dalam Sudijono (2005), salah satu prinsip
dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka
evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip mana
evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk
mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi
pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan
(aspek kognitif), maupun dalam segi penghayatan (aspek afektif) dan
pengalamannya (aspek psikomotor).
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk
dalam ranah kognitif.
b. Ranah afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan
nilai.
c. Ranah psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif
(memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam
bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil
belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor
apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan
tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif
commit to user
Menurut Suharto (2009), evaluasi adalah pengidentifikasian
keberhasilan dan/atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau program.
Secara umum dikenal dua tipe evaluasi, yaitu on-going evaluation atau
evaluasi terus menerus dan ex-post evaluation atau evaluasi akhir.
Evaluasi biasanya lebih difokuskan pada pengidentifikasian kualitas
program. Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang
sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Evaluasi
bertujuan untuk:
a. Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan
b. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran
c. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang
mungkin terjadi di luar rencana (externalities).
Menurut Iskandar (1981), sasaran dari evaluasi proyek adalah
mencari penyelesaian yang secara teknis dimungkinkan pada suatu kondisi
tertentu yang dapat memberikan pengembalian ekonomis yang baik, dapat
disesuaikan dengan kondisi institusional dan kepemimpinan suatu negara
dan dapat dibiayai dengan sumber daya yang ada. Dengan demikian
proyek haruslah dinilai dalam berbagai bentuk yang akan mencakup nilai
dari elemen-elemen berikut:
a. Kemungkinan teknis yang bersangkutan dengan pemilihan yang tepat
dari proses produksi termasuk ukuran yang paling tepat dari proyek,
pemilihan teknis peralatan dan lay out yang paling tepat. Dengan
demikian ini menyangkut pemilihan spesies, pembangunan hutan
tanaman beserta teknik-teknik pemeliharaannya, skala ekonomi dan
design dari pabrik.
b. Penilaian komersial yang sehat, yang bersangkutan dengan dua hal:
ongkos-ongkos haruslah berada di dalam batasan sumber-sumber
finansial yang ada, dan proyek harus dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban finansialnya.
c. Keuntungan ekonomis dan sosial yang bersangkutan dengan alokasi
commit to user
secara keseluruhan, dan bukan hanya keuntungan finansial yang
bersangkutan dengan pengembalian pinjaman yang khusus dibebankan
kepada proyek.
d. Kemungkinan-kemungkinan institusional dan efesiensi organisasi yang
bersangkutan dengan:
1) Adanya stuktur administrasi yanng dapat menjalankan proyek,
2) Adanya keahlian yang cukup dan terlatih dari personil-personilnya,
3) Peraturan-peraturan yang memadai dan efektif beserta
sarana-sarana untuk melaksanakan peraturan ini,
4) Kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan proyek yang konsisten
dengan pola sosial yang berlaku, sikap mental dan motivasi dari
masyarakat.
Menurut UNESCO (1982), evaluasi dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Evaluasi dapat dan seringkali mulai dilakukan pada tahap perencanaan
program,
b. Esensi evaluasi adalah infomasi yang berhubungan dengan program,
yang berasal dari kenyataan di lapang dan tidak menghakimi.
c. Evaluasi lebih berorientasi pada desain dan isi program. Standarisasi
evaluasi adalah keluaran berupa dimensi kualitatif.
d. Evaluasi adalah proses yang melengkapi, dan perlu perhatian khusus
untuk mencapai tujuan yang sama, untuk meningkatkan efektifitas
commit to user
[image:36.595.151.515.110.633.2]Tahap Proses Evaluasi Tahap Proses Program
Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program
Menurut Hawkins, et al (1982), evaluasi program penting dilakukan,
karena:
a. Penyelenggara program harus tahu bahwa program yang dilaksanakan
berlangsung dengan baik atau tidak,
b. Metode evaluasi menyediakan petunjuk untuk mengetahui metode apa
yang tepat untuk masing-masing situasi dan juga dapat digunakan
untuk mengetahui apakah penyelenggara program menggunakan
metode yang tepat atau tidak,
c. Hasil evaluasi dapat dijadikan masukkan untuk program selanjutnya
(fungsi timbal balik).
Lunandi (1981) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk
melakukan evaluasi, yaitu:
a. Umpan balik. Tiap-tiap peserta evaluasi secara bergantian
mengemukakan pikiran dan perasaannya mengenai pelajaran hari itu.
b. Refleksi. Masing-masing peserta merenungkan arti hari itu bagi
dirinya dan apa yang telah dipelajarinya. Setelah selesai, peserta Formulasi Program
Perencanaan Program
Keluaran
Efek/ pengaruh
Penyelesaian setelah
program berlangsung
Pengaruh jangka
panjang Evaluasi sebelum
program berlangsung
Evaluasi selama
program berlangsung
Evaluasi setelah
commit to user
diminta mengungkapkan refleksinya. Refleksi bersifat subjektif yang
khas pribadi, maka tidak ditanggapi oleh pembimbing maupun sesama
peserta, apalagi dibantah.
c. Diskusi kelompok. Para peserta dapat dibagi dalam kelompok kecil
agar lebih mudah dan lebih bebas berbicara. Secara informal para
peserta itu memperbincangkan evaluasi masing-masing, lalu
menuangkannya dalam sebuah laporan.
d. Questionnaire. Berupa formulir pertanyaan yang disiapkan dan
dibagikan kepada semua peserta untuk diisi.
e. Tim pengelola. Dari antara para peserta dibentuk sebuah tim yang
terdiri dari seorang moderator, satu atau dua orang menjadi pencatat
dan satu atau dua orang menjadi evaluator.
f. Evaluasi menyeluruh. Dapat dilakukan secara lisan ataupun secara
tertulis, dan dapat menyangkut dua aspek:
1) umpan balik bagi penyelenggara mengenai kekuatan maupun
kelemahan program,
2) apa yang dipelajari oleh peserta selama program ini dalam bidang
penambahan pengetahuan dan bidang perubahan sikap.
Menurut Morgan, et al dalam Suprijanto (2007), terdapat beberapa
prinsip umum yang harus diketahui:
a. Mempunyai tujuan yang pasti. Evaluasi tidak dilakukan karena hanya
karena “merupakan sesuatu yang harus dikerjakan”. Penemuan dari
hasil evaluasi harus dapat digunakan untuk memecahkan beberapa
masalah pendidikan.
b. Menggunakan tujuan perilaku yang terjangkau dan pasti.
c. Bukti tentang perubahan dalam diri individu. Hal yang penting adalah
mengukur seberapa jauh orang bergerak dari tempat ketika program
dimulai ke tempat ketika program berakhir.
d. Menggunakan instrumen yang tepat dalam evaluasi. Instrumen tersebut
akan memberikan data yang jauh lebih baik daripada sekedar
commit to user
lembar penilaian, inventori, survai, kartu penilaian, kuesioner, studi
kasus, catatan, laporan, dan keputusan ahli.
e. Kerjasama antara peneliti dengan orang yang dinilai kemajuannya.
f. Tidak perlu mengevaluasi semua hasil pembelajaran.
g. Evaluasi harus berkesinambungan.
Sejalan dengan hal tersebut Hamali (1990) mengungkapkan
prinsip-prinsip evaluasi sebagai berikut: Pertama, suatu penilaian hendaknya
diberikan berdasarkan contoh-contoh atau sample prestasi yang cukup
banyak, baik macam maupun jumlahnya. Kedua, secara teknis harus
dibedakan antara pembijian (scoring) dan penilaian (grading). Pembijian
berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka. Sedangkan
penilaian adalah pengenalan skala baik buruk, bisa diterima tidak bisa
diterima, memenuhi syarat dan yang sebangsanya berdasarkan sesuatu
orientasi tertentu terhadap prestasi yang telah diangkakan melalui proses
pengukuran. Dalam pembijian perhatian terutama ditujukan kepada aspek
kecermatan dan kemantapan (accuracy dan reliability), sedangkan dalam
penilaian perhatian terutama ditujukan kepada validitas dan kegunaan
(validity dan utility). Ketiga, dalam proses pemberian nilai dikenal adanya
dua macam orientasi yang bisa sejalan dan bisa pula tidak sejalan, yaitu
norm dan standard. Norm atau norma adalah patokan prestasi yang
diperoleh dari sesuatu kelompok tertentu, sedangkan standard adalah
patokan yang bukan berasal dari prestasi sesuatu kelompok tertentu.
Keempat, kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral
daripada proses belajar-mengajar. Kelima, penilaian bersifat komparabel
(comparable). Keenam, sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya
jelas bagi siswa dan terlebih-lebih lagi bagi pengajar sendiri.
Menurut Steele dalam Sudjana (2006) mengemukakan tujuh
karakteristik evaluasi program:
a. Evaluasi program lebih mengutamakan proses kegiatan yang bersifat
commit to user
dan lingkupnya menggunakan prinsip-prinsip umum dalam evaluasi
terhadap sistem dan atau manajemennya.
b. Evaluasi program lebih luas daripada pemeriksaan terhadap
pencapaian program. Evaluasi program mencakup semua komponen,
proses dan tujuan program yang disusun secara sistemik.
c. Evaluasi program lebih luas dibandingkan dengan evaluasi hasil
program.
d. Evaluasi program lebih luas daripada evaluasi proses pembelajaran.
e. Evaluasi program berbeda dengan penelitian evaluatif terhadap
program (evaluative research) dan penelitian program (program
research). Evaluasi program dilakukan hanya untuk menghasilkan data
sebagai masukan bagi pengambilan keputusan.
f. Evaluasi program merupakan alat dalam manajemen (management
tool) atau sebagai fungsi manajemen program. Evaluasi dapat
dilakukan terhadap fungsi-fungsi manajemen yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, dan
pengembangan. Hasil evaluasi digunakan sebagai masukan dalam
pengambilan keputusan mngenai setiap fungsi manajemen program.
g. Evaluasi program lebih berpusat pada manusia (people centered) yang
terlibat dalam dan terkait dengan program.
Menurut Rossi dan Howard (1921) penilaian dampak (impact
evaluation) dilakukan untuk memperkirakan ada atau tidaknya intervensi.
Perkiraan tersebut tidak dapat dibuat dengan pasti tetapi hanya dengan
berbagai tingkat yang masuk akal. Sebuah prinsip yang umum berlaku:
semakin ketat rancangan penelitian, semakin masuk akal perkiraan yang
dihasilkan. Desain evaluasi dampak perlu mempertimbangkan dua tekanan
yang bersaing: di satu sisi evaluasi harus dilakukan dengan ketelitian yang
memadai sehingga kesimpulan relatif dapat dicapai, dan di sisi lain
perlindungan subyek manusia membatasi pilihan desain dan prosedur
metodologi yang dapat dipekerjakan. Evaluator hanya menilai hasil-hasil
commit to user
yang bukan peserta dengan melakukan pengukuran pengulangan pada
peserta, sebelum dan sesudah intervensi, atau menggunakan metode lain
yang berusaha untuk mencapai suatu perbandingan. Tujuan dasar dari
penilaian dampak adalah untuk menghasilkan estimasi yang tidak
terkontaminasi oleh pengaruh lain atau peristiwa yang dapat
mempengaruhi perilaku atau kondisi dimana program sosial sedang
dievaluasi.
5. Agroforestri
Agroforestri (wanatani) adalah suatu bentuk pengelolaan lahan
dengan mengkombinasikan tanaman pepohonan dengan tanaman
semusim/pertanian. Maksud pengelolaan lahan dengan agroforestri, yaitu
dalam rangka mengoptimalkan/meningkatkan produktivitas lahan. Melalui
kegiatan agroforestri diharapkan kebutuhan petani berupa bahan pangan
(seperti palawija dan umbi-umbian) dan kayu untuk berbagai keperluan
dapat terpenuhi. Pola agroforestri yaitu:
a. menghasilkan produksi untuk memenuhi kebutuhan petani secara
berkesinambungan,
b. mampu melindungi dan meningkatkan kesuburan tanah, dan
c. menjaga kelestarian lingkungan hidup.
(Silabus Pelatihan Agroforestri, 2002).
Menurut Hairiah, dkk (2003), pada dasarnya agroforestri terdiri dari
tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana
masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai
satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut
umunya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok
produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan
beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut:
a. Agrisilvikultur, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan
commit to user
b. Agropastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan
pertanian dengan komponen peternakan.
c. Silvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan dengan peternakan.
d. Agrosilvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan
pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.
Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri
adalah Agrisilvikultur, Silvopastura dan Agrosilvopastura. Sementara
Agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen
kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi. Menurut Nair
dalam Hairiah, dkk (2003), di samping ketiga kombinasi tersebut dapat
ditambahkan sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai
agroforestri:
a. Silvofishery, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan dengan perikanan.
b. Apiculture, yaitu budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam
kegiatan atau komponen hutan.
Menurut Mardikanto (2005), telaah terhadap arti penting
agroforestri, dapat dilihat pada tiga perannya terhadap pembangunan
kehutanan, pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat secara
keseluruhan. Ditinjau dari sudut pembangunan kehutanan, dengan semakin
meningkatnya nilai ekonomi komoditas kayu-kayuan dan beragam jenis
tanaman serbaguna telah menarik perhatian masyarakat (pedesaan) untuk
mengembangkan “hutan rakyat” di lahan perkarangan maupun lahan
kering (tegalan). Kegiatan seperti ini, akan berdampak pada semakin
meningkatnya kesadaran dan minat masyarakat untuk meningkatkan
pendapatannya melalui kegiatan penghijauan, reboisasi dan konservasi
tanah secara vegetatif. Dengan kata lain, kegiatan agroforestri yang semula
dilaksanakan di lahan perkarangan, dapat berdampak positif kepada
partisipasi masyarakat di dalam pembangunan kehutanan, terutama yang
commit to user
Ditinjau dari kepentingan pembangunan pertanian, kegiatan
agroforestri memberikan kesempatan kepada masyarakat desa hutan untuk
terlibat dalam pemanfaatan lahan kehutanan, terutama di daerah-daerah
yang telah mengalami “lapar lahan”. Melalui kegiatan agroforestri yang
menghasilkan beragam komoditas pertanian, di satu pihak akan
mendukung program “ketahanan pangan” (food security) dan di pihak lain
akan merangsang kegiatan agrobisnis dan agroindustri. Di samping itu,
karena kegiatan agroforestri merupakan sistem pertanian yang senantiasa
memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, maka
pengembangan agroforestri akan sangat mendukung upaya pembangunan
pertanian yang lestari dan berkelanjutan.
Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah
satu bentuk kegiatan berbasis masyarakat (community based development),
pada hakekatnya merupakan kegiatan pembangunan yang dikerjakan oleh
(dengan melibatkan partisipasi) masyarakat, dan diperuntukkan bagi
kesejahteraan atau perbaikan mutu hidup masyarakat. Oleh sebab itu,
kegiatan agroforestri yang merupakan salah satu bentuk kegiatan
perhutanan sosial, akan memberikan sumbangan kepada pembangunan
masyarakat dalam arti luas untuk:
a. perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja,
b. penambahan/perbaikan pendapatan masyarakat,
c. peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat,
d. penumbuhkembangan partisipasi masyarakat dan pembangunan, serta
e. pelestarian dan perbaikan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pada saat ini penduduk Indonesia telah mencapai kurang lebih 150
juta. Suatu jumlah penduduk yang cukup besar. Pertambahan penduduk
yang semakin meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang tidak merata
antara satu pulau dengan pulau yang lain menimbulkan masalah
kependudukan yang cukup pelik. Sementara itu, sebagai akibat dari
adanya pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan kurang
commit to user
dilakukanlah kegiatan agroforestri yang dianggap sebagai suatu ekosistem
untuk memecahkan berbagai masalah, khususnya kependudukan. Dengan
praktek agroforestri di lahan milik dan di lahan hutan akan dapat:
a. Menanggulangi masalah ketenagaan kerja,
b. Menanggulangi peningkatan kebutuhan pangan, dan
c. Menanggulangi kerusakan lingkungan yang lebih parah.
(Fandeli, 1985).
Agroforestri sebagai salah satu model teknologi usahatani semakin
meningkat peranannya terutama bagi masyarakat pedesaan yang memiliki
luas lahan sempit. Pola usahatani seperti ini memberikan kemungkinan
bagi pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per
s