• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO KABUPATEN KARANGANYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO KABUPATEN KARANGANYAR"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO

KABUPATEN KARANGANYAR

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Oleh:

Yullie Akhiril Izzati

H 0406081

Dosen Pembimbing

1. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi

2. D. Padmaningrum, SP, MSi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

HALAMAN PENGESAHAN

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO

KABUPATEN KARANGANYAR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Yullie Akhiril Izzati

H 0406081

Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji

Pada tanggal: 8 November 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi NIP. 19681227 199409 1 002

Anggota I

D. Padmaningrum, SP, MSi NIP. 19720915 199702 2 001

Anggota II

Dr. Ir. Kusnandar, MSi NIP. 19670703 199203 1 004

Surakarta, 12 Desember 2010

Mengetahui

Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

(3)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Program

Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan

Bromo Kabupaten Karanganyar”. Tidak lupa penulis mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Ir Kusnandar, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi

Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus dosen penguji tamu.

3. Dwiningtyas Padmaningrum, SP, MSi selaku Ketua Komisi Sarjana

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas

Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing

akademik dan pembimbing pendamping dalam penulisan skripsi.

4. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi selaku pembimbing utama dalam penulisan

skripsi.

5. Bapak Ketut dan seluruh karyawan Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan

Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

atas kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan skripsi.

6. Kepala Bappeda dan Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar yang telah

mempermudah perijinan pengumpulan data.

7. Camat Karanganyar yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian

di wilayah Kecamatan Karanganyar.

8. Pimpinan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Administratur KPH

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

9. Asisten Perhutani dan Mandor Hutan Bromo yang telah membantu

(4)

commit to user

iv

10. Segenap responden yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data.

11. Kedua orang tua penulis, Ibu Dra. Hj. Roswita dan Bapak Drs. H. M. Hasyimi,

terimakasih atas doa dan dukungan yang tiada henti. Mbak, Mas, Kakak, serta

Abangku yang juga selalu memberikan motivasi.

12. Teman-teman Kost Annisa, Ten Community, dan teman-teman seperjuangan

PKP’06, terimakasih atas bantuan dan dukungan serta persahabatan yang

kalian berikan.

13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan secara keseluruhan, yang telah

membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pihak-pihak yang memerlukan.

Surakarta, 12 Desember 2010

(5)

commit to user

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 5

II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 7

B. Kerangka Berfikir ... 35

C. Pembatasan Masalah ... 36

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 36

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 43

B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian... 43

C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian ... 44

D. Jenis dan Sumber Data... 45

E. Teknik Pengumpulan Data... 45

F. Metode Analisis Data... 46

(6)

commit to user

vi

B. Keadaan Penduduk... 49

C. Keadaan Pertanian... 55

D. Keadaan Perekonomian... 57

E. Gambaran Umum Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar ... 58

F. Profil Program Agroforestri Hutan Bromo Karanganyar ... 59

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden ... 63

B. Tingkat Aksesibilitas Informasi ... 65

C. Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi ... 69

D. Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal ... 78

E. Tingkat Kemanfaatan Agroforestri ... 81

F. Analisis Keragaan Pelaksanaan Kegiatan Agroforestri sebagai Program Pemberdayaan Masyarakat... 86

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(7)

commit to user

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekonomi... . 38

Tabel 2.2 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Sosial ... . 38

Tabel 2.3 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekologi... . 39

Tabel 2.4 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan Total dari Aspek

Sosial, Ekonomi dan Ekologi ... . 39

Tabel 2.5 Pengukuran Variabel ... . 39

Tabel 3.1 Luas Total BKPH Lawu Utara ... . 44

Tabel 4.1 Keadaan Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di

Desa Delingan dan Desa Gedong... . 49

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa

Delingan dan Desa Gedong... . 52

Tabel 4.3 Keadaan Penduduk menurut Mata Pencaharian Desa

Delingan dan Desa Gedong... . 54

Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Desa Delingan dan

Desa Gedong ... . 55

Tabel 4.5 Jumlah Produksi Komoditas Utama di Desa Delingan dan

Desa Gedong ... . 56

Tabel 4.6 Keadaan Sarana Perekonomian di Desa Delingan dan Desa

Gedong ... . 57

Tabel 4.7 Keadaan Lembaga Perekonomian di Desa Gedong ... . 58

Tabel 5.1 Identitas Responden yang Pernah dan Masih Mengikuti Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 63

Tabel 5.2 Jenis Sumber Informasi yang Diakses oleh Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010... . 66

Tabel 5.3 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010... . 70

(8)

commit to user

viii

Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (38

Responden)... . 71

Tabel 5.5 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Lahan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari tahun 1990-2010 (40

esponden) ... . 72

Tabel 5.6 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Reswponden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Benih Tanaman Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010 (40 Responden) ... . 73

Tabel 5.7 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Penanaman Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40

Responden)... . 74

Tabel 5.8 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Pokok di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40

Responden)... . 75

Tabel 5.9 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Patroli Hutan di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (5 Responden) ... . 76

Tabel 5.10 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Panen Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (4 Responden) ... . 77

Tabel 5.11 Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal di Kawasan Hutan

Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 78

Tabel 5.12 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekonomi di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82

Tabel 5.13 Pertambahan Pendapatan Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri setelah Mengikuti Program Agroforestri di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82

(9)

commit to user

ix

Agroforestri pada Aspek Sosial di Kawasan Hutan Bromo

Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 84

Tabel 5.15.Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekologi di Kawasan Hutan Bromo

Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 85

Tabel 5.16 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 86

Tabel 5.17 Analisis Keragaan dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa

dengan Konsep Agroforestri... 7

Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program ... 22

(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisisoner Penelitian... 100

Lampiran 2 Identitas responden dan Tabulasi Data... 116

Lampiran 3 Surat Ijin ... 138

Lampiran 4 Peta Kecamatan ... 143

(12)

commit to user

xii RINGKASAN

Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. “Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar”. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi dan D. Padmaningrum, SP, MSi.

Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem yang melimpah, salah satunya adalah hutan yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan pembangunan kehutanan perlu dilakukan karena dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama pembangunan kehutanan yang telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan. Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengelola hutan bersama masyarakat. Untuk menjaga kelestarian hutan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk partisipasi yang lebih populer dengan kata “perhutanan sosial”, dimana salah satu bentuknya adalah kegitan agroforestri. Begitu pula yang dilakukan di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar. Seluruh kegiatan agroforestri ini membutuhkan evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan tersebut telah dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji tingkat aksesibilitas informasi, tingkat keterlibatan dan tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri, mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan peserta agroforestri, serta menganalisis keragaan yang ada. Metode penelitian berdasarkan tujuannya adalah metode deskriptif dan berdasarkan kegunaannya adalah metode evaluasi dengan teknik survai. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja

(purposive), penentuan responden dilakukan dengan teknik snowball sampling

dan convenience sampling. Distribusi frekuensi digunakan untuk mengetahui

seberapa jauh kegiatan telah dilakukan, untuk menarik kesimpulan digunakan

median skor, untuk mengukur tingkat kemanfaatan digunakan distribusi skor,

(13)

commit to user

xiii

(14)

commit to user

xiv SUMMARY

Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. "Evaluation of Community Empowerment Programme in Agroforestry Activities in Bromo Forest Area Karanganyar District”. Agriculture Faculty of Sebelas Marert University Surakarta. Under guidance Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSI and D. Padmaningrum, SP, MSi.

Indonesia is a country with an abundant diversity of ecosystems, one of which is the forest that can provide benefits to people's lives. So that needs to be done for forestry development that can benefit the rural community as the main perpetrators of forestry development that actually has local knowledge to maintain and conserve forests. Nature is utilized by the government to manage the forest with the community together. To keep the forests preservation is also to improve people's welfare in the form of participation is more popular with the word "social forestry", where one form is the agroforestry activity. Similarly, conducted in the of Bromo Forest area Karanganyar District. All of these agroforestry activities require evaluation to determine how far these activities have been conducted.

The aim of this researchs are to inspect the information accessibility level, involvement (participation) level and the participant agroforestry capacity of local organizations level, inspect the usefulness of economic, social and ecological agroforestry participant perceived, as well as analyzing impact point existing. The method of this research is descriptive method based on objective and based on the usefulness evaluation method with survey techniques. The location of this reaserch is determined intentional (purposive), the determination of the respondents was done by using snowball sampling and convenience sampling. Frequency distribution used to find out how far the activities have been conducted, to draw conclusions use the median score, to measure the usefulness level used the score distribution, and to analyze the real fact used the potential and actual data comparison.

(15)

commit to user

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem

yang melimpah, salah satunya adalah hutan. Hutan sebagai salah satu sumber

daya alam yang dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan

masyarakat. Kemanfaatannya yang besar itu menimbulkan banyak kegiatan

illegal logging yang pada akhirnya dapat merugikan berbagai pihak. Data

yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia sejak tahun

1985-1997 telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan

diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Menurut data

Departemen Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat

berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar

kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi (perusakan hutan atau

penggundulan hutan) dalam 5 tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per

tahun (Parasdya, 2010).

Oleh karena itu, pembangunan hutan perlu dilakukan untuk

mendukung kelancaran pembangunan nasional, mengingat potensi hutan dan

permasalahan yang dimilikinya sama besar dan pentingnya. Pembangunan

kehutanan tidak hanya dapat berupa pembangunan dalam peningkatan

komoditasnya, namun juga dari yang awalnya berupa industrial menuju ke

kehutanan masyarakat.

Kehutanan masyarakat diharapkan dapat memberikan keuntungan

kepada masyarakat desa hutan guna merealisasikan pembangunan kehutanan,

karena masyarakat desa hutan sebenarnya merupakan pelaku utama dalam

kegiatan kehutanan karena kondisi geografis mereka yang dekat dengan hutan.

Hasil pembangunan kehutanan dianggap belum dirasakan secara optimal oleh

masyarakat desa hutan, padahal masyarakat desa hutan telah memberikan

andil yang cukup besar bagi pembangunan yang ada, baik itu dalam bentuk

memanfaatkan hasil hutan hingga tanggung jawab mengelola kelestarian hutan

(16)

commit to user

masyarakat desa hutan inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk

mengelola hutan bersama masyarakat. Tujuannya adalah untuk menjaga

kelestarian hutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam

bentuk partisipasi.

Partisipasi mayarakat desa hutan dalam mengelola hutan, menurut

Mardikanto (2005), sebenarnya telah dimulai sejak masa penjajahan Hindia

Belanda dan Jepang, meskipun baru dilibatkan dalam kegiatan penanaman dan

pemeliharaan tanaman. Pada prakteknya saat ini kegiatan mengelola hutan

dengan melibatkan masyarakat tersebut lebih populer dengan istilah

“perhutanan sosial” sejak dilaksanakannya proyek Perhutanan Sosial oleh

Perum Perhutani pada tahun 1986. Adapun manfaat-manfaat yang diharapkan

dari kegiatan perhutanan sosial adalah perbaikan dan perluasan tanaman,

perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan,

perbaikan mutu sumberdaya manusia, pengembangan sarana-prasarana, serta

penumbuhan dan efektivitas kelembagaan.

Sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep antara perhutanan

sosial dengan kehutanan masyarakat adalah sama bila dilihat dari tujuan

keduanya secara garis besar yaitu: perbaikan kesejahteraan masyarakat desa

hutan dan perbaikan sumber daya alam (hutan) melalui kegiatan-kegiatan yang

telah dirancang pemerintah. Begitu pula dengan agroforestri, dimana ia

merupakan salah satu bentuk kegiatan rancangan pemerintah sebagai wujud

dari perhutanan sosial bila dilihat dari tujuan yang hendak dicapainya.

Kebutuhan pemerintah akan keamanan hutan, lahan dan hasil hutan,

serta keinginan untuk memberdayakan masyarakat desa hutan merupakan

salah satu faktor mengapa pemerintah perlu melakukan kegiatan agroforestri.

Hal ini juga didukung dengan adanya kebutuhan petani penggarap akan

pendapatan tambahan guna meningkatkan kesejahteraan petani dan

keluarganya. Kebutuhan antara pemerintah dan petani yang saling

menguntungkan tersebut mendorong pemerintah untuk mengadakan kegiatan

agroforestri dan mendorong petani untuk ikut serta dalam rangkaian kegiatan

(17)

commit to user

Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah satu-satunya

hutan produksi yang dimiliki Kabupaten Karanganyar dengan luas area 208,3

hektar di bawah kekuasaan dan wilayah kerja BKPH Lawu Utara (Sumber:

Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara), juga melakukan

kegiatan agroforestri demi keberlangsungan fungsi hutan dan mensejahterakan

masyarakat di desa sekitar hutan. Seluruh rangkaian dari suatu kegiatan

membutuhkan evaluasi untuk mengukur dan menilai seberapa jauh kegiatan

tersebut telah dilakukan. Adanya evaluasi ini akan diketahui apakah program

pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan

Bromo Kabupaten Karanganyar dapat diterima baik atau tidak. Evaluasi

terhadap program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri

merupakan umpan balik yang sangat berguna bagi pelaksanaan untuk

mengevaluasi kembali kekurangan-kekurangan yang ada sehingga dapat

disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat.

B. Perumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat penting untuk dilakukan bila dilihat dari

tujuannya yaitu untuk memandirikan masyarakat dalam mengelola potensi

yang dimilikinya dengan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku utama

pemberdayaan (subyek bukan obyek). Begitu pula yang harus dilakukan

dalam memberdayakan masyarakat desa hutan, karena masyarakat tersebut

berdomisili dekat sekali dengan hutan. Namun kondisi mayarakat desa hutan

ternyata bertolak belakang dengan kondisi hutan yang kaya raya akan hasil

hutan. Jadi, pemberdayaan ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan adalah

dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.

Agroforestri adalah salah satu bentuk terpenting dari penerapan konsep

perhutanan sosial. Agroforestri dapat dipahami sebagai suatu sistem

penggunaan lahan dengan tujuan yang spesifik. Melalui agroforestri, peserta

perhutanan sosial diberi lahan garapan (andil) untuk ditanami tanaman

pertanian di sepanjang lajur diantara tanaman kehutanan. Sebagai timbal balik

(18)

commit to user

berpartisipasi dalam penanaman kembali pohon hutan dan pengamanan hutan.

Namun sebaik apapun fasilitas yang diberikan akan tidak berguna apabila

tidak ada partisipasi dari sasaran/petani.

BKPH Lawu Utara memiliki banyak hutan, namun hanya Hutan Bromo

yang dijadikan hutan produksi dengan luas area 208,3 hektar. Agroforestri di

Hutan Bromo sebenarnya sudah dilakukan oleh masyarakat dari dahulu secara

turun menurun untuk menambah pendapatan keluarga. Namun karena

masyarakat seringkali mengambil hasil hutan berupa kayu-kayuan, maka

Perhutani melakukan agroforestri bersama masyarakat dengan membentuk

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Ada atau tidaknya permasalahan dalam suatu kegiatan bukan merupakan

indikator penentu bahwa kegiatan tersebut baik atau buruk, namun tetap perlu

dievaluasi sejauh mana kegiatan tersebut telah berjalan. Dari penjelasan di

atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

2. Bagaimana tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

3. Bagaimana tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

4. Bagaimana tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang

dirasakan peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat

dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar?

5. Bagaimana analisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai

program pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten

(19)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat

dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar adalah untuk:

1. Mengkaji tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

2. Mengkaji tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

3. Mengkaji tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di

kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

4. Mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan

peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam

kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

5. Menganalisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai program

pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat

dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar adalah sebagai berkut:

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan proses belajar yang ditempuh

peneliti untuk mendalami tema penelitian yang diangkat dan memberikan

solusi bagi permasalahan yang muncul di lapang. Selain itu juga sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian.

2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan

(20)

commit to user

pengembangan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan

agroforestri.

3. Bagi peneliti lain, dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam

(21)

commit to user

7

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembangunan Kehutanan

Di dalam pembangunan hutan yang bertitik tolak pada pendekatan

prosperity approach harus selalu berusaha mempertimbangkan penduduk

desa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek. Telah banyak bukti dengan

pendekatan ini pembangunan hutan dan masyarakat hutan akan berhasil.

Di dalam membina hutan dan masyarakat sekitar hutan sebaiknya

diusahakan adanya interaksi yang positif sifatnya yaitu bekerjasama

(cooperation). Skema interaksi sosial dalam pembangunan menurut

konsep agroforestri dapat dilihat pada gambar berikut:

program

pembangunan

oleh

kehutanan

masyarakat desa

Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa dengan Konsep Agroforestri (Sumber: Fandeli, 1985)

Pembangunan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan nasional

merupakan suatu usaha berencana yang diharapkan menghasilkan

produk-produk baik materiil maupun spiritual (tangible dan intangible) guna

meningkatklan kesejahteraan rakyat dan negara (Fandeli, 1985).

conflict

competation

(22)

commit to user

Secara keseluruhan, isi pola umum pembangunan jangka panjang

merupakan pangarahan dalam melaksanakan pembinaan dan

pembangunan, dan khusus untuk pembangunan kehutanan dapat dipetik:

a. Untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan bidang

industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yang berarti

bahwa sebagian besar dari usaha pembangunan diarahkan kepada

pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan di bidang-bidang

lainnya bersifat menunjang dan melengkapi bidang ekonomi.

b. Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia

harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam

tersebut harus diupayakan dengan tidak merusak tata lingkungan hidup

manusia, yaitu dilaksanakan dengan kebijakan yang menyeluruh dan

dengan memperhitungan kebutuhan generasi yang akan datang.

Pembangunan kehutanan diharapkan pada berkembangnya kehutanan yang

maju, efisien dan tangguh. Pembangunan kehutanan bertujuan untuk

meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan

taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan

berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor.

Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha diversifikasi,

intensifikasi, dan ekstensifikasi serta rehabilitasi yang harus dilaksanakan

secara terpadu, serasi dan merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air,

dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian sumber alam dan

lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat

setempat. Dalam rangka pembangunan kehutanan, perlu ditingkatkan pula

kemampuan pengusahaan dan pengelolaan serta penerapan teknologi yang

tepat pada usaha-usaha kehutanan. Pembangunan kehutanan harus

memanfaatkan sumber daya yang ada dan yang dapat dikembangkan

secara efisien serta harus merupakan usaha yang terpadu dan saling

menunjang dengan pembangunan di sektor lain, terutama untuk

(23)

commit to user

memelihara kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup

(Departemen Kehutanan, 1988).

Amanah dan arah pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan

pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 dan pasal 33 dan Garis-Garis

Besar Haluan Negara 1988. Arahan pembangunan kehutanan pada intinya

mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Menciptakan iklim yang merangsang pengembangan industri di negara

berkembang sebagai usaha mengurangi tekanan pembangunan pada

sumber daya alam kehutanan dan tanah, serta menggeser tekanan itu

pada pemanfaatan ilmu dan teknologi.

b. Mengembangkan sistem tarip impor-ekspor yang mendorong ekspor

barang dan jasa yang diproses, serta mengurangi ekspor bahan mentah

dari negara berkembang ke negara industri. Dengan demikian, ekspor

negara berkembang meningkat dan mengurangi tekanan pada alam

sebagai sumber bahan mentah, termasuk hutan tropis.

c. Mengembangkan pariwisata lingkungan alam yang unik sebagai upaya

mendorong perkenalan lingkungan dan cinta pada alam beserta isinya.

d. Meningkatkan dan merealisasikan penghutanan kembali lahan-lahan

kritis.

e. Melakukan ikhtiar pengembangan keanekaragaman hayati di hutan asli

dan di luarnya untuk menjaga kelanggengan tumbuh-tumbuhan dan

satwa, menciptakan bibit unggul untuk menjadi sumber bagi bahan

obat-obatan, pangan, dan industri masa depan.

(Arief, 2005).

Sebagai unsur pendukung pembangunan nasioanal, pembangunan

kehutanan bertujuanan untuk mencapai sasaran utama sektor kehutanan,

yaitu: yang titik beratnya diletakkan pada bidang ekonomi dan dengan

memperhatikan faktor-faktor strategis yang mempengaruhi maka sasaran

utama sektor kehutanan dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang

adalah terjaminnya kemantapan dan keberadaan sumber daya hutan

(24)

commit to user

hutan bagi industri, menjamin terpeliharanya keragaman biologi

(biodiversity), pemeliharaan keseimbangan tata air (hydrology), penyangga

kehidupan, serta tercapainya fungsi sosial dan ekonomi yang tinggi

(Sumitro,1992).

Menurut Nugraha (2005), memasuki tahun 1998 dalam konteks

kehutanan terjadi pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, dimana

pengelolaan hutan tidak hanya berpusat pada satu komoditas melainkan

bergeser menjadi multikomoditas. Pergeseran tersebut diharapkan mampu

mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan yang adil, demokratis dan

berkelanjutan berdasarkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan.

2. Hutan

Info tentang definisi “hutan” sangat penting untuk dikemukakan,

sebab UU No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan dasar pengurusan

kehutanan Indonesia mendefinisikan hutan sebagai “suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Srihadiono, 2005).

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan

forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang,

dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti

pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah suatu

daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup

binatang buas dan burung-burung hutan. Dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kehutanan, hutan diartikan dengan suatu lapangan bertumbuhan

pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohon-pohonan) yang secara keseluruhan merupakan

persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting

dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu

(25)

commit to user

Indonesia. Manfaat itu dapat dibedakan atas dua macam: langsung dan

tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu

yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain

rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Ada delapan manfaat

hutan secara tidak langsung, antara lain: mengatur tata air, mencegah

terjadinya erosi, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan

manfaat dalam bidang pertahanan keamanan, menampung tenaga kerja,

dan menambah devisa negara. Di dalam Agenda 21 Konferensi Tingkat

Tinggi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 disebutkan manfaat hutan

sebagai paru-paru dunia (Salim, 2004).

Hutan sebagai suatu ekosistem, seperti yang dikemukakan Odum

dalam Sumardi dan S. M. Widyastuti (2004), tidak hanya terdiri atas

komunitas tumbuhan dan hewan semata, akan tetapi meliputi juga

keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan.

Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan

hutan dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai

dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan

sampai pada tindakan-tindakan yang menimbulkan perubahan komposisi

hutan yang mencolok.

Hutan di Indonesia, yang merupakan hutan tropika basah yang

karena pengaruh faktor geografi, hidrogafi dan klimatologi memiliki

berbagai macam tipe hutan dan jenis flora dan fauna yang memiliki

potensi besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan ini sumber daya hutan

merupakan penentu siklus kehidupan dan siklus alami, sehingga hilangnya

hutan berarti hilang pula sumber daya alam dan daya dukungnya.

Pemanfaatan sumber daya alam hutan bila dilakukan sesuai dengan fungsi

yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka,

fungsi produksi, fungsi wisata, dan lain-lain dengan dukungan kemampuan

pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi,

(26)

commit to user

dapat diukur berupa produksi, jasa, energi, perlindungan lingkungan dan

lain sebagainya (Pamulardi, 1999).

Kawasan hutan sebagian besar menempati daerah yang jauh dari

pemukiman penduduk dan lahan pertanian. Pada umumnya tanah hutan

memiliki kesuburan rendah sampai marginal, topografinya landai sampai

terjal, menempati kawasan sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung.

Oleh karena itu pengelolaan hutan pada awalnya berangkat dari daerah

yang berpenduduk jarang, bahkan seringkali tidak dihuni oleh penduduk

sama sekali. Dengan adanya kegiatan penebangan kayu dari hutan alam

untuk tujuan komersial, daerah yang kosong dari penduduk lambat laun

akan diisi oleh pemukim, baik yang bekerja dalam kegiatan penebangan

tersebut maupun yang menyediakan jasa kepada para pekerja. Komunitas

baru itu menarik masyarakat lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan

dasar sehingga kegiatan pertanian pun mulai berkembang pula. Semuanya

itu menyebabkan daerah tersebut menjadi terbuka, aksesibilitas dan sarana

komunikasi berkembang sehingga mobilitas penduduk di kawasan itu

meningkat. Akibatnya problem sosial di kawasan tersebut juga meningkat

yang akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap pengelolaan hutan

yang semula dapat berlangsung dengan tenang tanpa gangguan masyarakat

di sekitarnya (Hardiyanto dan Hardjono A., 2004).

Perhutani sebagai BUMN yang mengelola hutan di Jawa telah

melakukan beberapa pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan peran

serta masyarakat, diantaranya:

a. Sekitar tahun 1970-an, muncul program MALU (Mantri dan Lurah).

Program ini mengintegrasikan program kerja mantri dengan program

kerja lurah.

b. Tumpang sari konvensional (sampai dengan 1972).

c. Prosperity approach atau pendekatan kemakmuran (1972-1982).

Program ini disusun demi kemakmuran rakyat di sekitarnya.

d. Perhutanan sosial yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan

(27)

commit to user

e. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDT) (1994-2000).

(Perhutani, 2003).

3. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu kepada pada kata

empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang

sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan

masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat

lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yeng mengorganisir diri mereka

sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan

dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi justru

sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan

dan kehidupan masyarakat secara umum. Prioritas utama program

pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemnadirian, yang artinya

masyarakat diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai

hal, terutama yang menyangkut kelangsungan kehidupan (Setiana, 2005).

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan

sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada

kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice)

serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice). Karena itu,

pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna

meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Upaya

pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan empat unsur pokok,

yaitu:

a. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru

kaitannya dengan peluang, layanan, penegakkan hukum, efektivitas

negosiasi, dan akuntabilitas.

b. Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibatkan

dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses

pembangunan.

c. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas

(28)

commit to user

d. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan

bekerjasama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi

sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka

hadapi.

(Mardikanto, 2005).

Arti pemberdayaan pada dasarnya bertujuan membangun manusia

agar meningkatkan kualitas dirinya untuk membangun kehidupannya.

Pemberdayaan saat ini merupakan pilihan satu-satunya saat ini dalam

membangun secara bertahap, perlu diprioritaskan dalam peningkatan

sumber daya manusia. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat,

hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan

yang berfungsi mendinamisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat.

b. Pengembangan jaringan strategis antara kelompok yang terbentuk dan

berperan dalam pengembangan masyarakat.

c. Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal.

d. Terpenuhinya kebutuhan hidup dan kesejahteraan hidup.

(Nuraeni, 2005).

Menurut Wilson dalam Sumaryadi (2005), pemberdayaan individu

merupakan sebuah proses yang terdiri dari awakening, understanding,

harnessing, dan using. Tahap pertama dari proses pemberdayaan

individu adalah awakening, yang membantu orang mengadakan penelitian

terhadap situasi mereka saat ini, pekerjaan dan posisi mereka dalam

organisasi. Mereka menggambarkan kemampuan, sikap dan keterampilan

mereka untuk menentukan apakah mereka secara efektif dimanfaatkan.

Tahap kedua, yaitu understanding, dimana orang mendapat pemahaman

dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri,

pekerjaan mereka, aspirasi mereka dan keadaan umum. Misalnya, proses

mencari alasan mengapa mereka merasa perlu melakukan dan kemudian

mengembangkan suatu strategi atau prosedur untuk menyelesaikan suatu

(29)

commit to user

awakening dan understanding. Individu, yang sudah memperlihatkan

keterampilan dan sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat

menggunakannya bagi pemberdayaan. Tahap terakhir yaitu using atau

menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai

bagian dari kehidupan kerja setiap hari.

Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat yang terpenting adalah

dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim

yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Dalam

mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan melalui

berbagai macam strategi, diantara strategi tersebut adalah modernisasi

yang mengarah pada perubahan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang

bersumber pada peran serta masyarakat setempat. Prioritas utama program

pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian, yang artinya

masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal, terutama

yang menyangkut kelangsungan hidupnya. Dalam pemberdayaan

masyarakat petani/peternak, perlu diketahui sumber daya alam dan sumber

daya manusia yang ada sehingga dalam menyusun program pemberdayaan

akan lebih mengena sasaran (Setiana, 2005).

Menurut Suharto dalam Suharto (2009), pemberdayaan merujuk

pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga

mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi

kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom),

dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas

dari kelaparan, kebodohan, kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber

produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan

pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka

perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan

keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Untuk menjelaskan pembangunan masyarakat sebagai suatu realita

sosial dapat digunakan berbagai perspektif yang berbeda. pembangunan

(30)

commit to user

kebijakan yang berorientasi stabilitas telah melahirkan pelaksanaan

pembangunan yang bersifat sentralistis dan top down. Untuk mendukung

pendekatan itu dibutuhkan kekuasaan dan kewenangan negara yang besar

dan terpusat. Dalam pelaksanaanya, kebijakan ini juga telah melahirkan

dominasi negara di suatu pihak dan marginalisasi masyarakat di lain pihak,

terutama dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan

pembangunan. Walaupun secara makro kebijakan ini dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, tetapi secara mikro ternyata kurang menyentuh

peningkatan taraf hidup lapisan terbawah, bahkan kemudian menimbulkan

kesenjangan. Oleh sebab itu, kemudian muncul pemikiran alternatif dalam

kebijakan pembangunan, yaitu suatu pendekatan pembangunan yang

memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai pada tingkat

terbawah, khususnya masyarakat lokal dalam proses pengambilan

keputusan dan pengelolaan pembangunan (perspektif people centered

development). Oleh karena penyebab marginalisasi masyarakat menjadi

sumber masalah tidak terangkatnya taraf hidup lapisan bawah adalah

faktor ketidakberdayaan maka pendekatan yang banyak digunakan oleh

perspektif ini adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, dua

unsur penting dari pemberdayaan adalah desentralisasi dan pengembangan

kapasitas (Soetomo, 2009).

Menurut Nugraha (2005), pemberdayaan masyarakat desa hutan

dengan melibatkan mereka dalam pengelolaan hutan perlu dilakukan

dalam rangka mencapai keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan. Di

satu sisi, kelestarian fungsi lingkungan akan berlanjut secara lintas

generasi, kesejahteraan masyarakat desa hutan pun terwujud secara

optimal. Fakta tersebut mendesak keberadaan institusi lokal dalam rangka

mengatur dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dengan

melalui revitalisasi institusi lokal untuk selanjutnya perlu diberikan peran

yang meliputi kewenangan pengaturan. Hal inilah yang disebut dengan

(31)

commit to user

Menurut Sulistiyani (2004), pemberdayaan masyarakat merupakan

suatu proses yang akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang

harus dilalui meliputi:

a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar

dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,

kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan

keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam

pembangunan.

c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan

sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk

mengantarkan pada kemandirian.

4. Evaluasi Program

Evaluasi yaitu kegiatan pengukuran dan penilaian yang dapat

dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going, pemantauan) dan

setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post). Meskipun demikian,

evaluasi seringkali hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat

proses dan hasil kegiatan, hasil (output) dan dampak (outcome) kegiatan,

yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun finansialnya

(Mardikanto, 2003).

Evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi,

dayaguna, efisiensi dan dampak dari suatu proyek dalam kaitannya dengan

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan ini biasanya mencakup

pembandingan-pembandingan informasi yang dibutuhkan dari luar proyek

tersebut, baik menyangkut waktu, area/lahan atau penduduk

(von Maydell, 1988).

Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tingkatan

dan proses. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga

relevansi dan efek serta konsekuensinya ditentukan sesistematis dan

seobjektif mungkin. Data ini digunakan untuk memperbaiki kegiatan

(32)

commit to user

pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk mencapai

kebijaksanaan yang lebih efektif. Data tersebut mencakup penentuan

penilaian keefektifan kegiatan dibanding dengan sumber daya yang

digunakan (van den Ban dan H. S. Hawkins, 2003).

Evaluasi yang paling utama harus dititikberatkan terhadap perubahan

yang terjadi dalam kehidupan sasaran baik perubahan dalam cara hidup

maupun berusahatani. Evaluasi dapat dilaksanakan pada saat kegiatan

berlangsung, awal kegiatan dan pada akhir dari suatu kegiatan

(Samsudin, 1977).

Menurut Subagio (2002) dalam Nuraeni (2005), dijelaskan bahwa

informasi yang diperoleh dari evaluasi akan dianalisis sehingga relefansi

dan efek serta konsekuensinya dapat ditentukan subjektif dan sesistematik

mungkin. Evaluasi adalah proses pengumpulan data yang sistematis untuk

mengukur efektifitas program latihan. Evaluasi lebih ditekankan sebagai

suatu proses menentukan nilai yang berhubungan dengan tujuan yang

direncanakan.

Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi

program dimaksudkan untuk melihat pencapaian target program. Untuk

menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang dijadikan

tolok ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan

kegiatan. Terdapat dua ranah pengukuran, yaitu:

a. Pengukuran ranah afektif

Pengukuran ini tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti

pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku tidak dapat

berubah sewaktu-waktu. Pengukuran sikap seseorang memerlukan

waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan

(33)

commit to user b. Pengukuran ranah psikomotorik

Pengukuran ini dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang

berupa penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini

disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus.

(Arikunto, 1995).

Menurut Bloom (1956) dalam Sudijono (2005), salah satu prinsip

dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka

evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip mana

evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk

mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi

pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan

(aspek kognitif), maupun dalam segi penghayatan (aspek afektif) dan

pengalamannya (aspek psikomotor).

a. Ranah kognitif

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental

(otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk

dalam ranah kognitif.

b. Ranah afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan

nilai.

c. Ranah psikomotor

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan

keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang

menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini

sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif

(memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam

bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil

belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor

apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan

tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif

(34)

commit to user

Menurut Suharto (2009), evaluasi adalah pengidentifikasian

keberhasilan dan/atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau program.

Secara umum dikenal dua tipe evaluasi, yaitu on-going evaluation atau

evaluasi terus menerus dan ex-post evaluation atau evaluasi akhir.

Evaluasi biasanya lebih difokuskan pada pengidentifikasian kualitas

program. Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang

sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Evaluasi

bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan

b. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran

c. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang

mungkin terjadi di luar rencana (externalities).

Menurut Iskandar (1981), sasaran dari evaluasi proyek adalah

mencari penyelesaian yang secara teknis dimungkinkan pada suatu kondisi

tertentu yang dapat memberikan pengembalian ekonomis yang baik, dapat

disesuaikan dengan kondisi institusional dan kepemimpinan suatu negara

dan dapat dibiayai dengan sumber daya yang ada. Dengan demikian

proyek haruslah dinilai dalam berbagai bentuk yang akan mencakup nilai

dari elemen-elemen berikut:

a. Kemungkinan teknis yang bersangkutan dengan pemilihan yang tepat

dari proses produksi termasuk ukuran yang paling tepat dari proyek,

pemilihan teknis peralatan dan lay out yang paling tepat. Dengan

demikian ini menyangkut pemilihan spesies, pembangunan hutan

tanaman beserta teknik-teknik pemeliharaannya, skala ekonomi dan

design dari pabrik.

b. Penilaian komersial yang sehat, yang bersangkutan dengan dua hal:

ongkos-ongkos haruslah berada di dalam batasan sumber-sumber

finansial yang ada, dan proyek harus dapat memenuhi

kewajiban-kewajiban finansialnya.

c. Keuntungan ekonomis dan sosial yang bersangkutan dengan alokasi

(35)

commit to user

secara keseluruhan, dan bukan hanya keuntungan finansial yang

bersangkutan dengan pengembalian pinjaman yang khusus dibebankan

kepada proyek.

d. Kemungkinan-kemungkinan institusional dan efesiensi organisasi yang

bersangkutan dengan:

1) Adanya stuktur administrasi yanng dapat menjalankan proyek,

2) Adanya keahlian yang cukup dan terlatih dari personil-personilnya,

3) Peraturan-peraturan yang memadai dan efektif beserta

sarana-sarana untuk melaksanakan peraturan ini,

4) Kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan proyek yang konsisten

dengan pola sosial yang berlaku, sikap mental dan motivasi dari

masyarakat.

Menurut UNESCO (1982), evaluasi dapat disimpulkan sebagai

berikut:

a. Evaluasi dapat dan seringkali mulai dilakukan pada tahap perencanaan

program,

b. Esensi evaluasi adalah infomasi yang berhubungan dengan program,

yang berasal dari kenyataan di lapang dan tidak menghakimi.

c. Evaluasi lebih berorientasi pada desain dan isi program. Standarisasi

evaluasi adalah keluaran berupa dimensi kualitatif.

d. Evaluasi adalah proses yang melengkapi, dan perlu perhatian khusus

untuk mencapai tujuan yang sama, untuk meningkatkan efektifitas

(36)

commit to user

[image:36.595.151.515.110.633.2]

Tahap Proses Evaluasi Tahap Proses Program

Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program

Menurut Hawkins, et al (1982), evaluasi program penting dilakukan,

karena:

a. Penyelenggara program harus tahu bahwa program yang dilaksanakan

berlangsung dengan baik atau tidak,

b. Metode evaluasi menyediakan petunjuk untuk mengetahui metode apa

yang tepat untuk masing-masing situasi dan juga dapat digunakan

untuk mengetahui apakah penyelenggara program menggunakan

metode yang tepat atau tidak,

c. Hasil evaluasi dapat dijadikan masukkan untuk program selanjutnya

(fungsi timbal balik).

Lunandi (1981) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk

melakukan evaluasi, yaitu:

a. Umpan balik. Tiap-tiap peserta evaluasi secara bergantian

mengemukakan pikiran dan perasaannya mengenai pelajaran hari itu.

b. Refleksi. Masing-masing peserta merenungkan arti hari itu bagi

dirinya dan apa yang telah dipelajarinya. Setelah selesai, peserta Formulasi Program

Perencanaan Program

Keluaran

Efek/ pengaruh

Penyelesaian setelah

program berlangsung

Pengaruh jangka

panjang Evaluasi sebelum

program berlangsung

Evaluasi selama

program berlangsung

Evaluasi setelah

(37)

commit to user

diminta mengungkapkan refleksinya. Refleksi bersifat subjektif yang

khas pribadi, maka tidak ditanggapi oleh pembimbing maupun sesama

peserta, apalagi dibantah.

c. Diskusi kelompok. Para peserta dapat dibagi dalam kelompok kecil

agar lebih mudah dan lebih bebas berbicara. Secara informal para

peserta itu memperbincangkan evaluasi masing-masing, lalu

menuangkannya dalam sebuah laporan.

d. Questionnaire. Berupa formulir pertanyaan yang disiapkan dan

dibagikan kepada semua peserta untuk diisi.

e. Tim pengelola. Dari antara para peserta dibentuk sebuah tim yang

terdiri dari seorang moderator, satu atau dua orang menjadi pencatat

dan satu atau dua orang menjadi evaluator.

f. Evaluasi menyeluruh. Dapat dilakukan secara lisan ataupun secara

tertulis, dan dapat menyangkut dua aspek:

1) umpan balik bagi penyelenggara mengenai kekuatan maupun

kelemahan program,

2) apa yang dipelajari oleh peserta selama program ini dalam bidang

penambahan pengetahuan dan bidang perubahan sikap.

Menurut Morgan, et al dalam Suprijanto (2007), terdapat beberapa

prinsip umum yang harus diketahui:

a. Mempunyai tujuan yang pasti. Evaluasi tidak dilakukan karena hanya

karena “merupakan sesuatu yang harus dikerjakan”. Penemuan dari

hasil evaluasi harus dapat digunakan untuk memecahkan beberapa

masalah pendidikan.

b. Menggunakan tujuan perilaku yang terjangkau dan pasti.

c. Bukti tentang perubahan dalam diri individu. Hal yang penting adalah

mengukur seberapa jauh orang bergerak dari tempat ketika program

dimulai ke tempat ketika program berakhir.

d. Menggunakan instrumen yang tepat dalam evaluasi. Instrumen tersebut

akan memberikan data yang jauh lebih baik daripada sekedar

(38)

commit to user

lembar penilaian, inventori, survai, kartu penilaian, kuesioner, studi

kasus, catatan, laporan, dan keputusan ahli.

e. Kerjasama antara peneliti dengan orang yang dinilai kemajuannya.

f. Tidak perlu mengevaluasi semua hasil pembelajaran.

g. Evaluasi harus berkesinambungan.

Sejalan dengan hal tersebut Hamali (1990) mengungkapkan

prinsip-prinsip evaluasi sebagai berikut: Pertama, suatu penilaian hendaknya

diberikan berdasarkan contoh-contoh atau sample prestasi yang cukup

banyak, baik macam maupun jumlahnya. Kedua, secara teknis harus

dibedakan antara pembijian (scoring) dan penilaian (grading). Pembijian

berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka. Sedangkan

penilaian adalah pengenalan skala baik buruk, bisa diterima tidak bisa

diterima, memenuhi syarat dan yang sebangsanya berdasarkan sesuatu

orientasi tertentu terhadap prestasi yang telah diangkakan melalui proses

pengukuran. Dalam pembijian perhatian terutama ditujukan kepada aspek

kecermatan dan kemantapan (accuracy dan reliability), sedangkan dalam

penilaian perhatian terutama ditujukan kepada validitas dan kegunaan

(validity dan utility). Ketiga, dalam proses pemberian nilai dikenal adanya

dua macam orientasi yang bisa sejalan dan bisa pula tidak sejalan, yaitu

norm dan standard. Norm atau norma adalah patokan prestasi yang

diperoleh dari sesuatu kelompok tertentu, sedangkan standard adalah

patokan yang bukan berasal dari prestasi sesuatu kelompok tertentu.

Keempat, kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral

daripada proses belajar-mengajar. Kelima, penilaian bersifat komparabel

(comparable). Keenam, sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya

jelas bagi siswa dan terlebih-lebih lagi bagi pengajar sendiri.

Menurut Steele dalam Sudjana (2006) mengemukakan tujuh

karakteristik evaluasi program:

a. Evaluasi program lebih mengutamakan proses kegiatan yang bersifat

(39)

commit to user

dan lingkupnya menggunakan prinsip-prinsip umum dalam evaluasi

terhadap sistem dan atau manajemennya.

b. Evaluasi program lebih luas daripada pemeriksaan terhadap

pencapaian program. Evaluasi program mencakup semua komponen,

proses dan tujuan program yang disusun secara sistemik.

c. Evaluasi program lebih luas dibandingkan dengan evaluasi hasil

program.

d. Evaluasi program lebih luas daripada evaluasi proses pembelajaran.

e. Evaluasi program berbeda dengan penelitian evaluatif terhadap

program (evaluative research) dan penelitian program (program

research). Evaluasi program dilakukan hanya untuk menghasilkan data

sebagai masukan bagi pengambilan keputusan.

f. Evaluasi program merupakan alat dalam manajemen (management

tool) atau sebagai fungsi manajemen program. Evaluasi dapat

dilakukan terhadap fungsi-fungsi manajemen yang terdiri dari

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, dan

pengembangan. Hasil evaluasi digunakan sebagai masukan dalam

pengambilan keputusan mngenai setiap fungsi manajemen program.

g. Evaluasi program lebih berpusat pada manusia (people centered) yang

terlibat dalam dan terkait dengan program.

Menurut Rossi dan Howard (1921) penilaian dampak (impact

evaluation) dilakukan untuk memperkirakan ada atau tidaknya intervensi.

Perkiraan tersebut tidak dapat dibuat dengan pasti tetapi hanya dengan

berbagai tingkat yang masuk akal. Sebuah prinsip yang umum berlaku:

semakin ketat rancangan penelitian, semakin masuk akal perkiraan yang

dihasilkan. Desain evaluasi dampak perlu mempertimbangkan dua tekanan

yang bersaing: di satu sisi evaluasi harus dilakukan dengan ketelitian yang

memadai sehingga kesimpulan relatif dapat dicapai, dan di sisi lain

perlindungan subyek manusia membatasi pilihan desain dan prosedur

metodologi yang dapat dipekerjakan. Evaluator hanya menilai hasil-hasil

(40)

commit to user

yang bukan peserta dengan melakukan pengukuran pengulangan pada

peserta, sebelum dan sesudah intervensi, atau menggunakan metode lain

yang berusaha untuk mencapai suatu perbandingan. Tujuan dasar dari

penilaian dampak adalah untuk menghasilkan estimasi yang tidak

terkontaminasi oleh pengaruh lain atau peristiwa yang dapat

mempengaruhi perilaku atau kondisi dimana program sosial sedang

dievaluasi.

5. Agroforestri

Agroforestri (wanatani) adalah suatu bentuk pengelolaan lahan

dengan mengkombinasikan tanaman pepohonan dengan tanaman

semusim/pertanian. Maksud pengelolaan lahan dengan agroforestri, yaitu

dalam rangka mengoptimalkan/meningkatkan produktivitas lahan. Melalui

kegiatan agroforestri diharapkan kebutuhan petani berupa bahan pangan

(seperti palawija dan umbi-umbian) dan kayu untuk berbagai keperluan

dapat terpenuhi. Pola agroforestri yaitu:

a. menghasilkan produksi untuk memenuhi kebutuhan petani secara

berkesinambungan,

b. mampu melindungi dan meningkatkan kesuburan tanah, dan

c. menjaga kelestarian lingkungan hidup.

(Silabus Pelatihan Agroforestri, 2002).

Menurut Hairiah, dkk (2003), pada dasarnya agroforestri terdiri dari

tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana

masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai

satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut

umunya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok

produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan

beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut:

a. Agrisilvikultur, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan

(41)

commit to user

b. Agropastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan komponen peternakan.

c. Silvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan dengan peternakan.

d. Agrosilvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri

adalah Agrisilvikultur, Silvopastura dan Agrosilvopastura. Sementara

Agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen

kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi. Menurut Nair

dalam Hairiah, dkk (2003), di samping ketiga kombinasi tersebut dapat

ditambahkan sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai

agroforestri:

a. Silvofishery, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan dengan perikanan.

b. Apiculture, yaitu budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam

kegiatan atau komponen hutan.

Menurut Mardikanto (2005), telaah terhadap arti penting

agroforestri, dapat dilihat pada tiga perannya terhadap pembangunan

kehutanan, pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat secara

keseluruhan. Ditinjau dari sudut pembangunan kehutanan, dengan semakin

meningkatnya nilai ekonomi komoditas kayu-kayuan dan beragam jenis

tanaman serbaguna telah menarik perhatian masyarakat (pedesaan) untuk

mengembangkan “hutan rakyat” di lahan perkarangan maupun lahan

kering (tegalan). Kegiatan seperti ini, akan berdampak pada semakin

meningkatnya kesadaran dan minat masyarakat untuk meningkatkan

pendapatannya melalui kegiatan penghijauan, reboisasi dan konservasi

tanah secara vegetatif. Dengan kata lain, kegiatan agroforestri yang semula

dilaksanakan di lahan perkarangan, dapat berdampak positif kepada

partisipasi masyarakat di dalam pembangunan kehutanan, terutama yang

(42)

commit to user

Ditinjau dari kepentingan pembangunan pertanian, kegiatan

agroforestri memberikan kesempatan kepada masyarakat desa hutan untuk

terlibat dalam pemanfaatan lahan kehutanan, terutama di daerah-daerah

yang telah mengalami “lapar lahan”. Melalui kegiatan agroforestri yang

menghasilkan beragam komoditas pertanian, di satu pihak akan

mendukung program “ketahanan pangan” (food security) dan di pihak lain

akan merangsang kegiatan agrobisnis dan agroindustri. Di samping itu,

karena kegiatan agroforestri merupakan sistem pertanian yang senantiasa

memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, maka

pengembangan agroforestri akan sangat mendukung upaya pembangunan

pertanian yang lestari dan berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah

satu bentuk kegiatan berbasis masyarakat (community based development),

pada hakekatnya merupakan kegiatan pembangunan yang dikerjakan oleh

(dengan melibatkan partisipasi) masyarakat, dan diperuntukkan bagi

kesejahteraan atau perbaikan mutu hidup masyarakat. Oleh sebab itu,

kegiatan agroforestri yang merupakan salah satu bentuk kegiatan

perhutanan sosial, akan memberikan sumbangan kepada pembangunan

masyarakat dalam arti luas untuk:

a. perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja,

b. penambahan/perbaikan pendapatan masyarakat,

c. peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat,

d. penumbuhkembangan partisipasi masyarakat dan pembangunan, serta

e. pelestarian dan perbaikan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pada saat ini penduduk Indonesia telah mencapai kurang lebih 150

juta. Suatu jumlah penduduk yang cukup besar. Pertambahan penduduk

yang semakin meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang tidak merata

antara satu pulau dengan pulau yang lain menimbulkan masalah

kependudukan yang cukup pelik. Sementara itu, sebagai akibat dari

adanya pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan kurang

(43)

commit to user

dilakukanlah kegiatan agroforestri yang dianggap sebagai suatu ekosistem

untuk memecahkan berbagai masalah, khususnya kependudukan. Dengan

praktek agroforestri di lahan milik dan di lahan hutan akan dapat:

a. Menanggulangi masalah ketenagaan kerja,

b. Menanggulangi peningkatan kebutuhan pangan, dan

c. Menanggulangi kerusakan lingkungan yang lebih parah.

(Fandeli, 1985).

Agroforestri sebagai salah satu model teknologi usahatani semakin

meningkat peranannya terutama bagi masyarakat pedesaan yang memiliki

luas lahan sempit. Pola usahatani seperti ini memberikan kemungkinan

bagi pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per

s

Gambar

Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program
Gambar 2.3. Kerangka Berpikir Penelitian
Tabel 2.1. Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekonomi
Tabel 2.5. Pengukuran Variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengolah pepaya menjadi tape merupakan salah satu usaha dalam mengadakan makanan yang unik dan menarik untuk menjadikan banyak orang ingin mengkonsumsinya1.

Diwujudkan dengan sekolah anak jalanan berupa pusat pengembangan Anak Jalanan yang ada di Bandung, diberi nama Rumah Perlindungan Anak Jalanan .Yang berfungsi sebagai tempat

memungkinkan termasuk kegunaan dari tugas tersebut. Peserta didik tipe guardian sangat patuh kepada guru. Segala pekerjaan yang diberikan kepada guardian dikerjakan

a) Masyarakat yang diusulkan sebagai calon penerima penghargaan adalah mereka yang memberikan kontribusi nyata dan memenuhi persyaratan umum antara lain: (i)

Sistem pengawasan yang ada memastikan bahwa pekerja anak harus ditarik dari dunia pekerjaan dan kembali dalam dunia pendidikan, sementara anak-anak yang bekerja

ke Gilimanuk dan juga sebaliknya. Analisa Getaran pada ruang penumpang. Menghitung getaran pada lam bung pada ruang penumpang.. Menghitung level getaran pada lokal area.

akhirnya skripsi dengan judul “ Pengaruh Kinerja Likuiditas, Kualitas Aktiva, Sensitifitas, Efisiensi, dan Profitabilitas Terhadap Return On Asset (ROA) Pada Bank

Mereka secara garis besar telah dapat menerima persaman gender dalam hal jabatan dan disisi lain mereka juga mendukung adanya kepemimpinan perempuan yang dapat