• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG FENOMENA PEKERJA ANAK DI KOTA SERANG - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGAWASAN DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG FENOMENA PEKERJA ANAK DI KOTA SERANG - FISIP Untirta Repository"

Copied!
211
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSMIGRASI TENTANG FENOMENA

PEKERJA ANAK DI KOTA SERANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh MAGDA LENA NIM 6661111123

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

Magda Lena, 6661111123. 2015. Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tentang Fenomena Pekerja Anak di Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I: Yeni Widiastuti, S.Sos, M.Si, Dosen Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos, M.Si.

Pengawasan fenomena pekerja anak di Kota Serang perlu dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang karena pendataan pekerja anak belum menyeluruh, respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menangani permasalahan pekerja anak, koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah lain masih lemah, dan belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak. Penelitian ini menggunakan teori karakteristik pengawasan yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004). Metode yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Lofland dan Loflang dalam Moleong (2010). Hasil penelitian disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang dinilai masih belum optimal. Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu memperbaharui data pekerja anak dan memetakan dengan spesifik permasalahan terkait pekerja anak, penegakan sanksi dan peraturan bagi mereka yang mempekerjakan pekerja anak, melakukan penarikan pekerja anak dan memperbaiki koordinasi antar bidang maupun antar Satuan Kerja Perangkat Daerah, melakukan kampanye dan sosialisasi terkait pekerja anak dan juga melakukan analisis jabatan untuk mengoptimalkan kinerja pegawai.

(6)

Magda Lena, 6661111123. 2015. Monitoring Department of Labor and Transmigration of child labor phenomenons in Serang city. Program studies Public Administration, Faculty of Social Sciences Political Science, University of Sultan Agung Tirtayasa. Supervisor I: Yeni Widiastuti, S. Sos, M.Si, Supervisor II: Rahmawati, S.Sos, M.Si.

Monitoring of the child labor phenomenons in Serang city needs to be done by the Department of Labor and Transmigration Serang because there are many child labors who have not been recorded by Department of Labor and Transmigration, slow response and corrective action about the issues of child labor, coordination with other regional work units still weak, and yet widespread dissemination campaign and the elimination of child labor. This study uses the theory of effective characteristics monitoring by Amirullah and Budiyono (2004). The method used is qualitative descriptive. Data collection techniques used were interviews, observation and documentation study. Informants interviewed are monitor, society, and local governments. Analysis data in this study using a model Lofland and Loflang in Moleong (2010). The final conclusion is monitoring of Department of Labor and Transmigration Serang still not optimal. Recommendations can be given that the data of child labor must be update, mapping about specific issues related to child labor, enforcement and regulatory sanctions for those who employ child labor. Then, take child labor from their workplace and improve coordination between field and also between governments, campaigning and dissemination related to child labor and also conduct job analysis to optimize the performance of employees.

(7)

Jangan seorang pun menganggap engkau rendah

karena engkau muda. Jadilah teladan bagi

orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah

lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan

dalam kesucianmu

Rasul Paulus

Teruntuk,

Keluarga terkasih, sahabat , dan juga

kakak serta adik-adik kelompok kecilku

Terimakasih atas motivasi dan doanya

(8)

i

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara yang berjudul “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap Fenomena Pekerja Anak di Kota Serang”.

Skripsi ini tentunya dapat selesai tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung dan membimbing penulis. Maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si, sebagai Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Mia Dwianna M., S.Sos, M.I.Kom sebagai Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Gandung Ismanto, S.Sos, MM Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

(9)

ii

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 8. Yeni Widyastuti, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing pertama. Terima

kasih untuk setiap semangat, masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

9. Riny Handayani, S.Sos, M.Si dan Bapak DR. Dirlanudin, M.Si selaku dosen penguji, terimakasih untuk setiap masukannya sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik

10.Semua dosen dan staff Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

11.Papa, mama, dan cici yang senantiasa memberikan kesempatan dan semangat bagi penulis. Terimakasih untuk segala kepercayaan dan doa kalian.

12.PKK dan AKK ku terkasih, Ka Agnes, Mega, Puri, Btari, Maria, Citra, terimakasih untuk kesempatan mempelajari firman dan mengaplikasikannya bersama

13.Teman-teman kepengurusan PMK di Untirta yang sudah bersama menjalani suka dan duka di dalam Dia, secara khusus Ria, Maria, Rina, Dessy, trimakasih tak henti berdoa, mendukung, dan menyemangati. 14.Kevin, yang setia menemani dan menyemangati sepanjang menyelesaikan

skripsi, terimakasih untuk doa dan semangat serta setiap bantuannya. 15.Sahabat-sahabat terkasih selama dalam perkuliahan Alfi, Anis, Putri,

(10)

iii

Heni, Besty, Novi, Diana, Selvia. Terimakasih untuk doa dan dukungan dari jarak jauhnya.

17.Teman-teman kelas B reguler Administrasi Negara angkatan 2011. Terimakasih untuk kehangatan bersama selama berkuliah.

18.Kepada setiap pihak yang telah membantu meski tak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Serang, Agustus 2015

(11)

iv Lembar Persetujuan

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vii

Daftar Grafik ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 22

1.3. Batasan Masalah ... 22

1.4. Rumusan Masalah ... 22

1.5. Manfaat Penelitian ... 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1. Landasan Teori ... 24

2.1.1. Pengawasan ... 24

2.1.2. Fungsi Pengawasan... 27

2.1.3. Karakteristik Pengawasan yang Efektif... 30

2.1.4. Fenomena Pekerja Anak... 36

2.2. Penelitian Terdahulu... 40

(12)

v BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian... 48

3.2. Instrumen Penelitian... 48

3.3. Lokasi Penelitian... 49

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.4.1.Data Primer ... 50

3.4.1.1. Wawancara ... 50

3.4.1.2. Observasi ... 53

3.4.2. Data Sekunder ... 54

3.5. Informan Penelitian... 55

3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 58

3.7. Jadwal Penelitian... 59

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian………...… 60 4.1.1. Deskripsi Wilayah Kota Serang………... 60

4.1.2. Gambaran Umum Disnakertrans ………..… 65 4.1.3. Sumber Daya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ... 72

4.1.4. Gambaran Umum Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan ………... 73

(13)

vi

4.2.2. Daftar Informan Penelitian ………... 79

4.3. Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian ....……….... 81

4.3.1. Akurat ... 81

4.3.2. Secara ekonomi realistik ... 89

4.3.3. Tepat waktu ... 98

4.3.4. Realistik secara organisasi ... 111

4.3.5. Dipusatkan pada pengendalian strategik ... 122

4.3.6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi ... 127

4.3.7. Objektif dan kompherensif ... 135

4.3.8. Fleksibel ... 139

4.3.9. Diterima para anggota organisasi ... 143

4.4. Pembahasan ……… 145

BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……… 156

5.2. Saran ………... 157 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

vii

Tabel 1.1 Jenis Pekerjaan Terburuk Anak... 5

Tabel 1.2 Jenis Pekerjaan dan Jam Kerja/ Hari Pekerja Anak di Kota Serang Tahun 2014 ... 11

Tabel 1.3 Angka Partisipasi Murni Kota Serang ... 12

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara ... 52

Tabel 3.2 Daftar Informan Penelitian ... 56

Tabel 3.3 Waktu Penelitian ... 59 Tabel 4.1 Angka Partisipasi Sekolah di Kota Serang ………..… 63 Tabel 4.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran

(15)

viii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Persentase Tingkat Pendidikan Pekerja Anak Kota Serang Tahun 2014 ... 13 Grafik 4.1 Komposisi Tenaga Kerja menurut Lapangan Pekerjaan Tahun

(16)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehadiran pekerja anak sebenarnya sudah tidak lagi asing di telinga kita. Pemandangan anak-anak yang bekerja sebagai buruh, pengamen, tenaga kerja konstruksi dan berbagai pekerjaan lainnya sudah kerap kali kita lihat di lingkungan sekitar kita. Pada dasarnya anak adalah generasi masa depan bangsa yang harus dipersiapkan sejak dini untuk dapat senantiasa berkembang menjadi pribadi yang baik, santun, dan menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat.

Perkembangan bangsa dan dunia yang semakin maju, serta adanya tuntutan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas juga menjadi salah satu faktor mengapa anak merupakan modal untuk bisa tetap mempertahankan kemajuan bangsa. Anak harus dilindungi karena masa anak adalah masa tumbuh kembang baik fisik, mental, sosial, maupun intelektualnya. Proses tumbuh kembang anak sangat menentukan kepribadian anak setelah dewasa, dimana perlakuan buruk atau kasar terhadap anak dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak baik jangka pendek maupun panjang.

(17)

Anak yang telah diratifikasi pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No.36 dan juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan tenaga kerja anak sebagai mereka yang bekerja dan berusia kurang dari 18 tahun. Sehingga dapat kita pastikan bahwa pekerja anak ialah mereka yang terlibat dalam pekerjaan meski berusia kurang dari 18 tahun. Meski demikian, tidak semua jenis pekerjaan dilarang oleh pemerintah untuk dikerjakan oleh anak yang berusia di bawah 18 tahun.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (2014) menetapkan bahwa ada beberapa jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk dikerjakan seorang anak. Anak usia 13-15 tahun diperbolehkan mengerjakan pekerjaan ringan yang apabila dikerjakan anak dalam rentang usia 13-15 tahun tidak mengganggu tumbuh kembang, keselamatan, kesehatan, moral, dan juga pendidikan anak. Adapun pengusaha yang akan mempekerjakan anak pada jenis pekerjaan ringan ini harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yakni memiliki ijin tertulis dari orangtua, dan anak hanya boleh bekerja dalam waktu kerja maksimal 3 jam yang dilakukan pada siang hari. Perusahaan harus dengan teliti memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja sang anak, serta memiliki hubungan kerja yang jelas dengan pekerja anak, dan diwajibkan memberikan upah sesuai ketentuan yang sudah disepakati.

(18)

anak dalam batasan usia minimal 14 tahun. Syaratnya adalah sang anak diberi petunjuk jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan, bimbingan serta pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan, serta diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pekerjaan yang diperbolehkan untuk dilakukan anak kemudian ialah pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Dalam hal ini, anak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang disukainya dalam rangka mengembangkan bakat dan minat sejak usia dini. Tentunya ada syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang mempekerjakan anak yang bekerja untuk mengembangkan minat dan bakatnya, yaitu membuat perjanjian tertulis dengan orang tua/wali sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, orang tua/wali juga harus terlibat dalam pengawasan langsung di lokasi kerja, serta waktu kerja yang diberikan untuk sang anak paling lama 3 jam dalam sehari dan 12 jam dalam seminggu yang dilakukan di luar waktu sekolah.

(19)

Di dalam UU No.13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan oleh anak yang kemudian dikategorikan sebagai Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1.1. Hal ini dikarenakan BPTA dapat berdampak buruk bagi pekerja anak, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

(20)

Tabel 1.1

Jenis Pekerjaan Terburuk Anak

No. Jenis Pekerjaan Anak

1 Pekerjaan yang dilakukan berhubungan dengan: a. Mesin Bor, Gerindra, Bubut

b. Pesawat ketel uap, pemanas air/oli, pembangkit gas karbit, gondola, forklift, escalator, turbin, pembangkit listrik

c. Instalasi Instalasi listrik, instalasi pemadam kebenaran, saluran listrik

d. peralatan lainnya Tanur, Dapur peleburan, e. Bejana tekan,

bejana penimbun, bejana pengangkut

2 Lingkungan kerja yang berbahaya :

a. Bahaya fisik Pekerjaan dibawah air/tanah, ruang tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas, bekerja pada ketinggian lebih dari 2, menggunakan peralatan las/listrik, gas bahan radio aktif, lingkungan kerja dengan tingkat getaran tinggi melebihi nilai ambang batas (NAB), kebisingan, bahan radio aktif, bahan yang dapat menimbulkan bahaya radiasi mangion, kebakaran atau peledakan

b. Bahaya kimia Ada pejanan bahan kimia, bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, iritatif, asbes, pestisida

c. Bahaya Biologis Bakteri, virus, parasite, pekerjaan di penyamakan kulit, pencucian getah, penegakan binatang buas

3 Sifat dan keadaan berbahaya

Pekerjaan dan konstruksi bangunan, jembatan, pengolahan kayu, bongkar muat, tempat kerja yang terkunci, terisolisir dan terpencil, dikapal, penangkapan ikan, pembuangan sampah, daur ulang, mengangkat secara manual melebihi 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan, bekerja pada malam hari (antara pukul 18.00-06.00)

4 Membahayakan moral anak

Bar, diskotik, bola sodok, panti pijat, lokalisasi prostitusi, model iklan promosi minuman keras, rokok

(21)

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (2005) mengungkapkan ada tiga faktor yang menjadi penyebab timbulnya pekerja anak, yakni faktor ekonomi, faktor budaya/tradisi /kebiasaan, dan faktor pendidikan. Faktor pertama ialah faktor ekonomi, dimana kemiskinan menjadi salah satu penyebab utama timbulnya pekerja anak disamping faktor ekonomi lainnya. Hal ini biasa timbul karena ketidakmampuan ekonomi keluarga yang kemudian berpengaruh pada produktifitas kerja menjadi rendah, gizi kurang, perawatan kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan penyakit bagi sang anak. Penghasilan orang tua yang rendah juga menjadi faktor yang menyebabkan anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal keterampilan.

Faktor kedua penyebab pekerja anak semakin marak ialah masih adanya budaya keluarga dimana anak sejak usia muda sudah melakukan pekerjaan dan terlibat dalam dunia kerja. Tanpa disadari para orang tua terbiasa beranggapan bahwa anak yang bekerja sudah merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat. Dalam kondisi lainnya, ada anak yang diperbolehkan bekerja dengan alasan untuk mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi kehidupan di masyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah dewasa.

(22)

disadari adanya budaya, tradisi, kebiasaan tersebut menghantarkan anak-anak sebagai pekerja anak meski belum waktunya untuk bekerja.

Faktor ketiga merupakan faktor pendidikan, dimana kerap kali berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, serta adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orang tua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah dan kemudian bekerja dengan berbagai alasan, mulai dari alasan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, biaya pendidikan mahal, maupun juga pandangan bahwa meski sang anak sekolah tinggi pada akhirnya jadi penganggur. Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi kemudian membuat orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah lebih tinggi yang dapat meningkatkan kesejahteraan anak di masa mendatang. Situasi tersebut tanpa sadar kemudian mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja anak.

(23)

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak telah memberikan payung perlindungan bagi anak-anak, khususnya anak-anak yang berada dalam situasi sulit, termasuk anak-anak yang bekerja. Undang-undang ini memberikan dasar bagi pengakuan, penghargaan, dan perlindungan bagi hak-hak anak. Namun, untuk menjamin keefektifan pelaksanaan undang-undang ini memerlukan upaya terpadu untuk memberikan pemahaman kepada para aparat penegak hukum dan mengharmonisasi peraturan-peraturan yang terkait termasuk didalamnya peraturan-peraturan daerah.

Kemajuan dalam kebijakan-kebijakan nasional telah berlangsung, dimana adanya pendirian Komnas HAM yang didalamnya termasuk juga badan khusus yang menangani permasalahan hak-hak anak-anak dan perempuan. Dalam berbagai kesempatan, komisi ini seringkali bekerjasama dengan kelompok pengawas konvensi dan aliansi LSM. Terkait dengan hak-hak anak, Indonesia kini memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di tingkat nasional dan juga KPAID di tingkat lokal (di tingkat kotamadya/kabupaten) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) (didirikan oleh Kementrian Sosial di tingkat kotamadya/kabupaten) di tingkat provinsi, kotamadya, dan kabupaten.

(24)

Hak Anak, mereka telah secara aktif terlibat dalam penulisan laporan bayangan kepada komite PBB untuk Konvensi Hak Anak.

Indonesia juga telah memiliki berbagai keputusan dan Instruksi Presiden maupun menteri serta peraturan-peraturan lainnya yang ditujukan untuk mencegah ataupun melarang anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang memposisikan mereka dalam BPTA. Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan oleh berbagai sektor seperti seperti sektor tenaga kerja dan transmigrasi, kebudayaan dan turisme, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Melalui Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak, berbagai kebijakan disahkan untuk secara bertahap mencegah dan menghapuskan BPTA dengan cara menentukan prioritas-prioritas untuk secara bertahap menghapuskan BPTA, melibatkan para pemangku kepentingan di tiap tingkat, dengan penuh pemikiran mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi lokal, serta melakukan kerjasama teknis dengan berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional melalui berbagai program aksi.

(25)

Komite Aksi untuk Penghapusan BPTA telah dibentuk di berbagai provinsi dan hingga kini masih menjalankan fungsinya.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan, tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun. Indonesia memiliki 1,7 juta pekerja anak yang mayoritas bekerja di sektor informal. Rinciannya, 674 ribu berusia di bawah 13 tahun. Sebanyak 321 ribu berusia 13-14 tahun, dan sisanya 760 ribu berusia 15-17 tahun. Dari jumlah tersebut, baru 63.055 anak yang ditarik dari pekerjaannya untuk dikembalikan ke sekolah sepanjang tahun 2008-2014.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), kantong pekerja anak yang cukup besar ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Pekerja Anak Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker, Budi Hartawan mengatakan, pekerja anak ini umumnya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan serta konstruksi.

(26)

Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten, dimana Kabupaten Serang 90 anak, Kabupaten Pandeglang 180 anak, Kabupaten Lebak 180 anak, dan Kabupaten Tangerang sebanyak 120 anak. (http://www.beritasatu.com/nusantara/118585-570-pekerja-anak-di-banten-akan-disekolahkan.html).

Sesuai data yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang pada tahun 2013, pekerja anak formal di Kota Serang sendiri berjumlah 65 anak. Tentunya dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain, pekerja anak di wilayah Kota Serang sudah cukup tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai ibukota provinsi yang juga baru berdiri sejak tahun 2007. Adapun pekerja yang ada kemudian juga meningkat pada tahun 2014, yakni sebanyak 73 anak, dimana rata-rata pekerja anak yang ada berumur sekitar 13-17 tahun.

Tabel 1.2

Jenis Pekerjaan dan Jam Kerja/ Hari Pekerja Anak di Kota Serang Tahun 2014

No. Jenis Pekerjaan Jam Kerja/Hari Jumlah Anak

1 Nyusun Kue 8-10 7

2 Pembuat Emping 6 2

3 Pengepakan Kue Kering 11 10

4 Cetak Kue 10 2

5 Pembuatan Kue Kering 10 1

6 Plester Steples Kue 8 1

7 Pelayanan 9 1

8 Mencet Kue 8 1

9 Produksi 8-10 43

10 Bungkus Kue 9 3

11 Menyusun Adonan Kue 7 1

12 Narik Royak 7 1

(27)

Dari tabel di atas, dapat kita perhatikan bahwa pekerja anak yang ada di Kota Serang ragam pekerjaannya cukup banyak, dimana mereka juga rata-rata bekerja di sektor industri kue. Meski pekerjaan yang dilakukan di industri kue bersifat ringan secara kasat mata, namun dapat kita perhatikan bahwa jumlah jam kerja dari kegiatan pekerjaan yang dilakukan jelas sudah melebihi standar jam kerja yang diperbolehkan oleh pemerintah mengingat jam kerja mereka mencapai 7-11 jam per hari. Begitu juga dengan pekerja anak yang bekerja di sektor formal dan bekerja di bagian produksi yang memiliki rata-rata kerja 8 -10 jam per hari.

Jika ditelaah lebih lanjut, maka sesuai dengan Tabel 1.3, kita juga dapat menemukan bahwa Kota Serang sampai saat ini memang masih memiliki tingkat pendidikan yang cukup memprihatinkan. Pada tahun 2013, angka partisipasi murni pendidikan di Kota Serang masih cukup baik pada tingkat SD/MI dan juga SMP, kemudian di tingkat SMA sederajatlah tingkat pendidikan masih rendah, dimana baru mencapai 59,04% untuk laki-laki dan 54,40% untuk perempuan.

Tabel 1.3

Angka Partisipasi Murni Kota Serang Jenjang

Pendidikan

APM Kota Serang (Persen)

Laki-laki Perempuan

2013 2013

(28)

Fakta tersebut selaras dengan kondisi fenomena pekerja anak di Kota Serang, dimana seperti yang dapat kita lihat dalam Grafik 1.1, pekerja anak di Kota Serang sebesar 75% hanya bersekolah sampai tingkat sekolah dasar, kemudian 19% pekerja anak yang ada mencapai tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan hanya 6% diantaranya yang menempuh pendidikan hingga di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Hal ini menjelaskan keterkaitan antara tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan anak bekerja.

Grafik 1.1

Persentase Tingkat Pendidikan Pekerja Anak Kota Serang Tahun 2014

Sumber : Disnakertans Kota Serang (2014)

Dalam mengatasi pekerja anak ini sendiri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja yang membawahi Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak memiliki fungsi khusus dalam menangani persoalan pekerja anak. Disnakertrans memiliki salah satu misi meningkatkan perlindungan tenaga kerja melalui penegakan, dan aturan ketenagakerjaan. Misi ini yang mendukung Disnakertans melakukan

tindakan-SD

75% SLTP

19%

SLTA

(29)

tindakan pencegahan dan juga penghapusan pekerja anak yang ada di Kota Serang, demi menjaga anak-anak yang ada tidak terlibat dalam eksploitasi maupun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Fenomena pekerja anak ini bukanlah persoalan kecil, dimana melibatkan cukup banyak pihak dan juga lokasi yang tidak dalam lingkup sempit, maka Disnakertrans bekerjasama dengan pihak pihak yang terlibat dalam Komite Aksi Daerah untuk sama-sama mengurangi pekerja anak yang ada di Kota Serang.

Pada tahap pertama pemerintah berusaha melakukan penelitian dan dokumentasi. Program pelarangan dan tindakan segera akan penghapusan BPTA mulai disusun atas dasar besaran, kualitas dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat dalam dunia kerja. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sampai saat ini berusaha mengkoordinasikan pengumpulan data ini dengan melakukan penelitian di lapangan untuk mendata para pekerja anak yang ada di Kota Serang, baik yang bekerja secara formal maupun non formal.

(30)

Harapan (PKH) yang memiliki pekerja anak untuk bisa dibantu keuangan keluarganya, sehingga anak-anak dalam kondisi kurang mampu diharapkan bisa meneruskan pendidikannya dan tidak perlu terlibat dalam dunia kerja sejak usia dini.

Pemerintah Kota Serang telah menyadari juga bahwa guna menunjang keberhasilan program penghapusan pekerja anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, agar penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan oleh Disnakertrans sendiri sejauh ini meliputi pengkoordinasian lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak, karena bagaimanapun juga permasalahan ini tidak dapat ditangani sendiri hanya oleh Disnakertrans, meski kewenangan dan tugas penyelesaian permasalahan pekerja anak terkait langsung dengan Disnakertrans. Disnakertrans juga dalam bagian ini menjadi pandu dalam menetapkan karakteristik bagi para pekerja anak yang dimaksudkan sebagai pekerja yang melakukan bentuk pekerjaan terburuk sehingga tidak terjadinya salah tafsir yang membuat semakin sulitnya penanganan pekerja anak.

(31)

Berdasarkan hasil observasi awal, peneliti menemukan beberapa permasalahan. Permasalahan pertama ialah pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal, dimana belum adanya data serta informasi yang akurat dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. Perkiraan peneliti adalah belum adanya data pekerja informal, dan baru adanya data pekerja anak formal di dua pabrik, sedangkan masih ada sekitar 10 pabrik yang diketahui juga mempekerjakan pekerja anak.

Tidak dipungkiri masih cukup banyak pekerja anak yang belum terdata, dimana kadang mereka memalsukan umur atau juga data mereka masih ditutup-tutupi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Apalagi untuk pengawasan kepada pekerja informal sampai saat ini memang belum terlaksana. (Wawancara dengan Ibu Uswatun, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans). Beberapa masyarakat mengaku bahwa di lokasi tempat tinggal mereka masih ada pekerja-pekerja anak yang bekerja dan belum terdata oleh Disnakertrans. Pekerja anak ini rata-rata bekerja di pabrik kue, roti, dan juga yang mengolah batu bara. (Wawancara dengan Bapak Nasrudin dan Bapak Karim, Ketua RT di wilayah Cipare, 24 Februari 2015, pukul 10.30 WIB dalam Seminar Pekerja Anak di RM Surabayan).

(32)

pekerja anak yang memberikan data alamat palsu karena tidak ingin didatangi oleh pihak Disnakertrans.

Berdasarkan hasil pendataan, hampir keseluruhan rata-rata pekerja anak di Kota Serang yang terdata oleh Disnakertrans memberi alasan keterlibatan mereka di dalam dunia kerja dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan. Ketika orang tua mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan, maka pilihan yang diambil adalah bekerja. Hal ini dipilih karena keluarga merasa jauh lebih efektif sang anak bekerja daripada hanya harus diam saja di rumah.

Permasalahan kedua yakni meliputi respon dari Disnakertrans yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak. Secara nasional pembentukan kajian mengenai pekerja anak dan perrmasalahannya sudah begitu marak sejak lama. Indonesia telah mengesahkan Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan BPTA dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2000, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut, diamanatkanlah untuk menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus BPTA. Sehubungan dengan hal tersebut, keluarlah tuntutan untuk daerah mulai membentuk juga Rencana Aksi Daerah dalam upaya penghapusan BPTA untuk dapat mencegah maupun mengatasi permasalahan pekerja anak di daerah masing-masing.

(33)

tersebut berasal dari Kabupaten Serang sejumlah 90 anak, Kabupaten Pandeglang 180 anak, Kabupaten Lebak 180 anak, Kabupaten Tangerang 120 pekerja anak. Kota Serang meski telah mulai melakukan pengawasan terhadap pekerja anak, namun baru pada tahun 2015 mulai memberikan reaksi terhadap permasalahan pekerja anak di Kota Serang, yakni ketika bergabung dengan Komite Aksi Daerah yang akhirnya merumuskan Rencana Aksi Daerah untuk mengurangi pekerja anak yang ada di Kota Serang. Pada dasarnya reaksi yang diberikan oleh Disnakertrans dalam menangani pekerja anak ini dapat dikatakan cukup lamban mengingat beberapa tahun selama pengawasan dilakukan, pekerja anak masih dapat secara bebas bekerja dan dapat kita temui di wilayah-wilayah sekitar Serang, seperti di daerah Karuhun, Taktakan, Rau, dan beberapa titik lainnya. Ada yang terlibat menjadi pegawai toko, pengamen, produksi kue, produksi coklat, maupun juga produksi emping dan beberapa pekerjaan lainnya.

(34)

(Wawancara dengan Ruli Riatno, 24 Februari 2015 pukul 09.10 WIB, RM Surabayan).

Permasalahan ketiga meliputi koordinasi Disnakertrans dengan SKPD lain, dimana sampai saat ini data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial yang rencananya disinergikan untuk memberi bantuan juga terhadap anak-anak yang kurang mampu masih belum ada. Penerima PKH di Kota Serang sampai saat ini masih terfokus kepada ibu hamil maupun juga balita, dan bantuan yang ada belum sampai pada bantuan yang diberikan untuk pendidikan anak kurang mampu.

PKH sendiri tadinya memang merupakan program yang ditujukan bagi ibu hamil dan yang baru melahirkan, sehingga ketika adanya perubahan yang ditetapkan untuk mendata kembali adanya pekerja anak di rumah tangga tersebut, para pendamping PKH masih harus mendata ulang kembali Rumah Tangga Sasaran yang ada. (Wawancara dengan Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial Dinsos Kota Serang, 17 Februari 2015, pukul 10.00 WIB, Dinas Sosial Kota Serang).

(35)

tersendiri bagi warga kurang mampu. (Wawancara dengan Bapak Badrudin, selaku pendamping PKH, 24 Februari 2015, pukul 10.40 WIB, di Taktakan)

Dinas Pendidikan juga masih belum mengetahui dengan jelas teknis dari pembagian fokus mengenai pekerja anak yang ada di Kota Serang yang membutuhkan pembinaan ataupun beasiswa. Ketika peneliti mengkonfirmasi pembinaan maupun beasiswa yang diberikan pihak Dinas Pendidikan, dapat diketahui bahwa sejauh ini Dinas Pendidikan belum memberikan dana beasiswa dan bantuan khusus kepada pekerja anak. Beasiswa yang diberikan masih secara umum, yakni kepada anak-anak kurang mampu. Pemberian beasiswa ditujukan kepada anak-anak yang dalam kondisi keluarga kurang mampu, tapi secara umum dan tidak spesifik kepada mereka yang terlibat sebagai pekerja anak. Untuk kejar paketpun di Kota Serang itu hampir keseluruhannya diperuntukkan kepada orang-orang tua bukan anak-anak. (Wawancara dengan Bapak Iswadi, 12 Februari 2015 , pukul 09.30, Dinas Pendidikan Kota Serang).

(36)

Permasalahan keempat yang ditemui adalah kampanye penghapusan BPTA sampai saat ini diakui pihak Disnakertrans masih belum optimal, dimana persebaran luas tentang informasi BPTA untuk anak kepada masyarakat luas masih berupa sosialisasi kepada para RT RW yang merupakan ujung tombak pemerintah terhadap masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan pun masih belum menyeluruh ke setiap daerah. Sosialisasi yang belum menyeluruh ini kemudian membuat masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami bahwa pekerja anak ini merupakan persoalan serius dan menimbulkan sanksi hukum. Sampai saat ini belum ada masyarakat yang secara sadar dan atas inisiatif sendiri melaporkan pekerja anak di lingkungan sekitarnya. Sedangkan untuk menjemput bola pun Disnakertrans masih cukup terkendala masalah waktu dan sumber daya pekerja (Wawancara dengan Ibu Hasahnatun, 13 Februari 2015, pukul 09.00 WIB, di Kantor Disnakertrans Serang).

Belum adanya masyarakat yang pernah melaporkan tentang kasus pekerja anak di sekitarnya menunjukkan masih sangat sedikit masyarakat yang menyadari bahaya bagi anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan oleh anak. Ditambah lagi pihak keluarga maupun perusahaan yang juga masih cukup banyak menutup-nutupi keberadaan pekerja anak di sekitarnya. Hal ini membuat semakin sulit bagi Disnakertrans dalam mengawasi keselamatan kerja para pekerja anak yang ada di Kota Serang. Berdasarkan latar belakang masalah yang ada inilah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Pekerja Anak di

(37)

1.2. Identifikasi Masalah

1. Pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal

2. Respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak

3. Koordinasi dengan SKPD lain dalam penanganan pekerja anak masih lemah

4. Belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak

1.3. Batasan Masalah

Untuk membuat penelitian ini tidak lari daripada fokus masalah yang ada, dan karena keterbatasan peneliti untuk meneliti masalah ini secara luas, peneliti membatasi masalah pada “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena Pekerja Anak di Kota Serang”

1.4. Rumusan Masalah

(38)

1.5. Manfaat Penelitian

1.Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuan keilmuan dalam bidang disiplin Ilmu Administrasi Negara, dan juga dapat dijadikan bahan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pengawasan Disnakertrans dan juga fenomena pekerja anak di Kota Serang.

2.Manfaat Praktis

(39)

24

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1. Landasan Teori

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti menggunakan cukup banyak istilah yang berkaitan dengan masalah penelitian. Maka dari itu pada bab ini peneliti menggunakan beberapa teori yang mendukung masalah dalam penelitian yang peneliti lakukan. Adapun teori penelitian ini berfungsi sebagai pisau analisis yaitu untuk menjelaskan dan juga menjadi panduan dalam penelitian. Dengan penggunaan teori tentunya akan ditemukan cara yang tepat untuk mengelola sumber daya, waktu yang singkat untuk menyelesaikan pekerjaan dan alat yang tepat untuk meringankan pekerjaan.

2.1.1. Pengawasan

(40)

bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat positif maupun negatif.

Pengawasan positif terjadi kala sifatnya adalah pengujian untuk mengetahui apakah rencana dan tujuan yang ditetapkan berhasil atau tidak dan apakah tujuan organisasi dicapai dengan efisien dan efektif. Sebaliknya, pengawasan negatif terjadi kala kita mencoba untuk melakukan pengawasan demi menjamin kegiatan yang tidak kita inginkan ataupun juga tidak kita butuhkan tidak terjadi atau terjadi kembali. Kerap kali yang terjadi dalam kita melaksanakan suatu kegiatan ataupun menargetkan suatu tujuan, apa yang terjadi tidaklah sesuai dengan apa yang kita harapkan di awal, seperti yang disampaikan oleh Harahap (2001 : 14) :

“Pengawasan adalah keseluruhan sistem , teknik, cara yang mungkin dapat digunakan oleh seorang atasan untuk menjamin agar segala aktivitas yang dilakukan oleh dan dalam organisasi benar-benar menerapkan prinsip efisiensi dan mengarah pada upaya mencapai keseluruhan tujuan organisasi”.

(41)

Henry Fayol dalam Harahap (2001:10) “Control consist in veryfing whether everything occurs in conformity with the plan adopted, the instruction issued and principles established. It has objective to point out of weaknesses and errors in order to rectify then prevent recurrance”. Hal ini selaras dengan pengertian pengawasan yang disampaikan oleh G.R. Terry dalam Hasibuan (2008:242):

“Controlling can be defined as the process of determiig what is to be accomplished, that is the performance, evaluating the performance and if neccessary applying corrective measure so that performance takes place

according to plans, that is, in conformity with the standard”.

Pengawasan yang baik harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali apa standar yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan suatu kegiatan, sehingga dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan dalam kegiatan, serta menilai bagaimana pelaksanaannya. Ketika ternyata dalam pelaksanaan yang ada beberapa hal ternyata menyimpang, maka pengawasan berfungsi untuk memperbaiki penyimpangan tersebut sehingga pelaksanaan bisa berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

(42)

2.1.2. Fungsi Pengawasan

Fungsi manajemen yang diarahkan untuk melakukan pengawasan atas apa yang telah direncanakan dan bagaimana langkah-langkah koreksinya inilah yang dinamakan fungsi pengawasan atau pengendalian. Schermerhorn dalam Manullang (2012:317) mendifinisikan pengawasan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan.

Dalam pengertian yang didefinisikan oleh Schermerhorn dapat kita pelajari bahwa kunci utama dalam pengawasan ialah ukuran dari kinerja yang ada sebagai usaha dalam melaksanakan suatu kegiatan sesuai rencana yang ditujukan untuk bisa mencapai tujuan yang ada. Tidak hanya itu, pengambilan tindakan juga menjadi bagian yang harus diperhatikan karena menyangkut perubahan yang positif maupun negatif terhadap pencapaian hasil yang akan didapat nantinya. Disinilah peran pengawasan menjadi begitu penting untuk dilakukan, agar kinerja yang ada bisa berjalan dengan baik dan juga tindakan yang diambil bisa bermanfaat untuk meningkatkan kinerja yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

“Mockler dalam Manullang (2012:318) menyampaikan fungsi pengawasan sebagai upaya sistematis dalam menerapkan standar kinerja dan berbagai tujuan yang direncanakan, mendesain sistem informasi umpan balik, membandingkan antara kinerja yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan apakah terdapat penyimpangan dan tingkat signifikasi dari setiap penyimpangan tersebut, dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh sumber daya perusahaan digunakan secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan

(43)

Dalam hal ini dapat dipelajari bahwa pengawasan harusnya bersifat sistematis, dimana setiap proses yang dilakukan dalam pengawasan diperhatikan secara teliti dan seksama, sehingga bisa menghasilkan tindakan-tindakan pelaksanaan yang efektif dan efisien. Pengawasan tentunya menjadikan kinerja kita secara keseluruhan sesuai dengan rencana. Semakin terperinci rencana dan kinerja diperhatikan, maka semakin efektif dan efisien tindakan yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

“Secara umum proses pengawasan (pengendalian) menurut Amirullah dan Budiyono (2004:304) terdiri dari tiga langkah, yaitu mengukur kinerja sebenarnya, membandingkan kinerja yang sebenarnya dengan standar, mengambil tindakan manajerial untuk memperbaiki penyimpangan atau standar yang tidak memadai.”

Dapat kita pastikan bahwa tindakan pengawasan dilakukan bukan hanya secara sistematis, namun juga harus ditindaki dengan baik. Artinya, ketika dilakukan pengawasan, kita tidak hanya sekedar mengukur kinerja, tapi juga membandingkannya untuk melihat apa saja kekurangannya, sehingga pada akhirnya kita dapat mengambil tindakan untuk hal tersebut.

(44)

dilakukan saat akhir proses mengerjakan sesuatu, yakni untuk memastikan bahwa hasil yang diperoleh pada saat pengerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan di awal dan proses yang telah dikerjakan.

Sesuai dengan bentuk pengawasan diatas, dapat kita pahami bahwa pengawasan bersifat terus-menerus berlangsung selama sebuah proses berjalan, tidak hanya sekedar bersifat di waktu-waktu tertentu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau kesalahan yang mungkin saja terjadi, karena faktor input produksi yang salah, atau proses yang gagal dan tidak sesuai, sampai hasil akhir yang bisa saja menyimpang dari rencana awal yang ada.

Empat langkah dalam melakukan pengawasan (pengendalian) menurut Mockler dalam buku Amirullah dan Budiyono (2004:299) yaitu menetapkan standar dan metode untuk pengukuran prestasi, mengukur prestasi, membandingkan prestasi sesuai dengan standar, mengambil tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pengawasan selalu berupa tindakan yang dari awal harus memiliki standar yang jelas, karena tidak akan dapat pengawasan dilakukan jika kita tidak mengetahui standar ukuran yang jelas utuk mengukur prestasi kerja yang ada.

G.R. Terry dalam Hasibuan (2009) menjabarkan tujuan pengawasan sebagai berikut:

1. Supaya proses pelaksanaan dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari rencana

2. Melakukan tindakan perbaikan (corrective), jika terdapat penyimpangan – penyimpangan (deviasi)

(45)

2.1.3. Karakteristik Pengawasan yang Efektif

Dalam melakukan pengendalian (pengawasan) tentunya tidak bisa sembarangan saja dilakukan, mengingat pengawasan ini bertujuan untuk bisa mencapai target dan tujuan dalam rencana yang telah ditetapkan. Karena itu pengendalian harus dilakukan secara efektif dimana pengendalian yang ada harus tepat sesuai dengan proses yang dilaluinya dan tanpa menyimpang dari sistem yang dianut sehingga tahapan yang dilalui juga benar.

Siagian (2005:130) menyampaikan bahwa pengawasan akan berlangsung efektif apabila memiliki berbagai ciri seperti:

1. Pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan

2. Pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana`

3. Pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-titik strategis tertentu

4. Objektivitas dalam melakukan pengawasan 5. Keluwesan pengawasan

6. Pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi 7. Efisiensi pelaksanaan pengawasan

8. Pemahaman sistem pengawasan oleh semua pihak yang terlibat 9. Pengawasan mencari apa yang tidak beres

10.Pengawasan harus bersifat membimbing

Karakteristik pengendalian yang efektif kemudian disampaikan oleh Vincent dan Rosalia (2013:176) dimana karakteristik tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Terintegrasi dengan perencanaan organisasi

(46)

yang akan terlibat dalam pengendalian, cara pengendalian itu dilakukan, bahkan merencanakan alternatif-alternatif tindakan bila terjadi penyimpangan.

2. Akurat

Informasi atau hasil pengendalian haruslah akurat sebagai dasar keputusan, kita kaan membiarkan proses berlanjut, mengambil tindakan korektif dalam bentuk perbaikan, atau menghentikan sama sekali. Akurat berarti informasi dikumpulkan secara cermat, teliti, dan mempunyai tingkat ketetapan tinggi, terlepas dari unsur-unsur manipulasi subjektif. Akurasi hasil pengendalian merupakan faktor penentu yang sangat kuat bagi kualitas keputusan manajerial. Kurangnya akurasi hasil berdampak pada keputusan dan tindakan korektif yang tidak tepat sasaran, pemborosan, penyimpangan kebijakan manajemen, dan masalah-masalah baru.

3. Tepat Waktu

Pengendalian harus tepat waktu, artinya, sesuai dengan kebutuhan kapan pengendalian diperlukan. Setiap kegiatan membutuhkan waktu pengendalian yang berbeda. Ketepatan waktu diperlukan untuk mencegah penyimpangan menjadi lebih fatal dan munculnya anggapan penyimpangan sebagai sesuatu yang wajar dan sulit memperbaikinya. 4. Fleksibilitas

Fleksibilitas merupakan kemampuan sistem pengendalian beradaptasi dengan berbagai perubahan. Sebaik apa pun kita merencanakan, menyusun standar pengendalian dan segala proses pelaksanaannya, semua itu baru pada tahap prediksi dengan asumsi faktor-faktor yang berhubungan dengan rencana dan pengendalian tidak mengalami perubahan atau sama dengan saat kita menyusunnya. Namun, sulit sekali menemukan situasi yang selalu sama karena yang ada adalah perubahan. Jadi, sistem pengendalian dikatakan efektif bila mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, tetapi tetap berfungsi sebagai alat kendali untuk menjamin tercapainya tujuan.

5. Realistis

(47)

pelaksanaan pengendalian yang wajar-wajar, tidak berlebihan, sehingga menimbulkan penolakan.

6. Relevan

Aspek-aspek yang diukur ketika kita menilai kinerja karyawan harus menggunakan standar-standar yang relevan dengan bidang kerja mereka. Setiap pekerjaan membutuhkan standar berbeda, ada yang lebih mengarah pada standar kuantitatif, maupun juga kualitatif.

7. Mudah dipahami

Pengendalian mudah dipahami dengan membuat proses dan langkah-langkah yang jelas bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.

8. Berfokus pada aspek-aspek strategis

Tidak semua proses serta merta dikendalikan setiap saat. Proses yang vital dan berpotensi memunculkan penyimpangan fatal bagi kinerja organisasi harus dipantau secara seksama, tetapi proses-proses standar dan diyakini akan berjalan lancar hanya membutuhkan pemantauan secara periodik. Kalau hal ini terjadi berarti pengendalian itu sudah berfokus pada aspek-aspek strategis.

9. Objektif

Pengendalian juga harus bersifat objektif, dalam arti didukung oleh data dan fakta yang benar-benar bersumber dari temuan lapangan, bukan persepsi atau interpretasi pribadi penilai. Kesimpulan-kesimpulan dan tindakan korektif dari satu proses pengendalian harus didasarkan pada analisis dan menghindari masuknya kepentingan pribadi.

10.Berkesinambungan

Hasil pengendalian harus memberikan solusi, bisa dijadikan dasar tindakan korektif dan masukan bagi perencanaan periode selanjutnya. Hal inilah yang dimaksud dengan pengendalian yang berkesinambungan. Pengendalian tidak berhenti hanya pada hasil temuan, tetapi temuan kemudian dievaluasi dan dijadikan dasar bertindak untuk memperbaiki kinerja organisasi ke depan. Pengendalian akan terus berlanjut selama organisasi beroperasi.

Selain itu, Siswanto (2011:149) mengemukakan bahwa karakteristik yang efektif adalah:

1. Akurat

(48)

akan menemui kegagalan untuk memperbaiki suatu permasalahan atau menciptakan permasalahan baru.

2. Tepat waktu

Informasi harus dihimpun, diarahkan, dan segera dievaluasi jika akan diambil tindakan tepat pada waktunya guna menghasilkan perbaikan. 3. Objektif dan komprejensif

Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin objektif sistem pengendalian, makin besar kemungkinannya bahwa individu dengan sadar dan efektif akan merespons informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya. Sistem informasi yang sulit dipahami akan mengakibatkan bias yang tidak perlu dan kebingungan atau frustasi di antara para karyawan.

4. Dipusatkan pada tempat pengendalian strategis

Sistem pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada bidang yang paling banyak kemungkinan akan terjadi penyimpangan dari standar, atau yang akan menimbulkan kerugian yang paling besar. Selain itu, sistem pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan seefektif mungkin.

5. Secara ekonomi realistik

Pengeluaran biaya untuk implementasi harus ditekan sedemikian mungkin sehingga terhindar dari pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya paling minimum yang diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan.

6. Secara organisasi realistik

Sistem pengendalian harus dapat digabungkan dengan realitas organisasi. Selain itu, semua standar untuk kinerja harus realistik. Perbedaan status di antara individu harus dihargai juga.

7. Dikoordinasikan dengan arus kerja organisasi

Informasi pengendalian perlu untuk dikoordinasikan dengan arus pekerjaan di seluru organisasi karena dua alasan. Pertama, setiap langkah dalam proses pekerjaan dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seluruh operasi. Kedua, informasi pengendalian harus sampai pada semua orang yang perlu untuk menerimanya.

8. Fleksibel

(49)

9. Preskriptif dan Operasional

Pengendalian yang efektif dapat mengidentifikasi tindakan perbaikan apa yang perlu diambil setelah terjadi penyimpangan dari standar. Informasi harus sampai dalam bentuk yang dapat digunakan ketika informasi itu tiba pada pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan perbaikan. 10.Diterima para anggota organisasi

Agar sistem pengendalian dapat diterima oleh para anggota organisasi, pengendalian tersebut arus bertalian dengan tujuan yang berarti dan diterima. Tujuan tersebut harus mencerminkan bahasa dan aktivitas individu kepada situasi tujuan tersebut dipertautkan.

Sistem pengendalian yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004:307) mempunyai karakteristik pengendalian yang efektif dan dijabarkan sebagai berikut:

1. Akurat

Informasi dari prestasi yang akan diukur haruslah akurat. Ketidakakuratan data akan menyebabkan kesalahan dalam menarik kesimpulan, bahkan dapat menimbulkan kesalahan yang tidak perlu. Pengujian keakuratan data atau informasi merupakan salah satu tugas penting bagi seorang manajer atau pimpinan.

2. Secara ekonomi realistik

Pengeluaran biaya untuk implementasi pengendalian (pengawasan) harus ditekan seminimum mungkin sehingga terhindar dari pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya yang paling minimum yang diperlukan, untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan yang ditetapkan.

3. Tepat waktu

Sistem pengendalian (pengawasan) akan efektif jika dilakukan dengan cepat disaat penyimpangan diketahui. Jika terjadi kelambatan dalam reaksi penyimpangan, kerugian yang dihadapi akan semakin besar. Untuk menghindari hal ini, maka sebaiknya pengawasan dilakukan secara rutin, tetapi untuk hal-hal yang sangat penting juga dilakukan pengawasan di luar kontrol rutin. 4. Realistik secara organisasi

(50)

5. Dipusatkan pada pengendalian strategik

Pengendalian hendaknya diarahkan pada titik-titik kunci yang memiliki nilai strategis sehingga penyimpangan di bidang ini cepat diketahui dan dapat dihindarkan timbulnya kegagalan pencapaian tujuan. Selain itu sistem pengawasan strategik sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan.

6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi

Memperhatikan bahwa satu kegiatan akan selalu terkait dengan kegiatan lain, maka sistem pengawasannya juga harus harus dikoordinasikan dengan kegiatan lain yang erat hubungannya dengan kegiatan yang dikendalikan tersebut.

7. Objektif dan Komprehensif

Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin objektif sistem pengawasan, makin besar kemungkinanannya bahwa individu dengan sadar dan efektif akan merespon informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya. Sistem informasi yang sukar dipahami akan mengakibatkan bias yang tidak perlu dan kebingungan atau frustasi di antara para karyawan.

8. Fleksibel

Mengingat situasi dan kondisi terus berubah dengan cepat, maka sistem pengendalian harus memiliki keluwesan yang tinggi sehingga standar-standar pengendalian tetap dapat dipergunakan meskipun situasi dan kondisi berubah.

9. Diterima para anggota organisasi

Idealnya, setiap sistem pengendalian dapat diterima dan dimengerti oleh semua anggota organisasi, sehingga mereka masing-masing akan merasa ikut bertanggung jawab terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, sistem pengawasan hendaknya dijelaskan terlebih dahulu kepada semua anggota organisasi.

(51)

2.1.4. Fenomena Pekerja Anak

Berbagai definisi mengenai pekerja anak dapat ditangkap berbeda oleh setiap pihak yang ada, baik pemerintah, masyarakat luas, orang tua sang pekerja anak, maupun juga sang pekerja anak sendiri. Secara sederhana, pekerja anak dapat didefinisikan sebagai anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Pekerja anak bekerja demi meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah tangganya secara langsung maupun tidak langsung. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1, menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang.

“Istilah ‘pekerja anak’ didefinisikan mencakup semua pekerja anak yang berusia 5 – 12 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka, pekerja anak berusia 13 – 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan pekerja anak usia 15 – 17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu.” (Sakernas, 2008)

(52)

didefinisikan sebagai anak-anak yang bekerja dalam setiap pekerjaan yang dapat dianggap berbahaya yang diindikasikan oleh jumlah jam kerja yang ditentukan oleh Undang-undang No. 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan.

“Menurut Biro Pusat Statistik (2009) pekerja anak didefinisikan sebagai anak usia kerja (10-14 tahun) yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara kontinu.”

Meski jam kerja didefinisikan secara berbeda oleh banyak lembaga, namun pada dasarnya satu paham yang dapat dijelaskan mengenai pekerja anak adalah anak yang terlibat dalam pekerjaan dan dengan didasari maksud dan niat untuk memperoleh keuntungan. Hal ini jelas menerangkan bahwa orientasi pendapatan ini bisa dikatakan menjadi indikator utama menentukan status anak sebagai pekerja anak.

“Pekerja anak menurut International Labour Organization (2009) ialah anak yang kehilangan masa anak dan masa depan (yang menjadi haknya), melakukan pekerjaan orang dewasa, jam kerja panjang, gaji rendah, kondisi kerja yang membahayakan kesehatan, dan perkembangan fisik serta mental.”

(53)

demikian tidak dapat mendefinisikan sang anak sebagai pekerja anak secara sembarangan. Jumlah jam kerja dan gaji serta kondisi kerja merupakan indikator yang dapat dinilai untuk menjelaskan apakah sang anak dapat disebut sebagai pekerja anak.

Jenis pekerjaan yang dilarang dipekerjakan oleh anak salah satunya adalah yang masuk dalam Bentuk Pekerja Terburuk untuk Anak (BPTA) yang semuanya adalah jenis pekerjaan yang memiliki sifat dan intensitas berbahaya bagi keselamatan, kesehatan dan mengganggu tumbuh kembang, moral serta pendidikan anak. Penjabarannya berdasarkan pasal 74 UU No.13 tahun 2003 meliputi:

“Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, serta semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak.”

(54)

Sejak berpisah dari Kabupaten Serang, Kota Serang mulai menghadapi perubahan perkembangan sosial di daerah otonom yang penuh menjadi miliknya. Meski pemerintah nasional pada tahun tersebut telah gencar melakukan gerakan dan program untuk mengurangi pekerja anak, namun pekerja anak belum menjadi persoalan yang diprioritaskan pemerntah untuk dikerjakan. Namun seiring dengan adanya pembangunan di Kota Serang, Kota Serang mulai menarik di kalangan masyarakat sebagai daerah yang memiliki potensi untuk mencari nafkah. Mulai cukup banyaknya perusahaan, pabrik dan juga mulai makin bertambahnya jumlah penduduk kemudian membawa beberapa anak tertarik untuk mencari dana dan mulai bekerja.

Dimulai dari awalnya sekedar mengisi waktu luang sepulang sekolah, kini anak-anak di Kota Serang bukan hanya sekedar terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan di luar jam sekolah maupun juga pekerjaan-pekerjaan tambahan untuk mengisi waktu luang, tapi juga dapat ditemukan anak-anak yang bekerja aktif dalam dunia formal dan terlibat dalam kontrak kerja mengikat di perusahaan formal. Beberapa pekerjaan informal yang berbahaya juga banyak ditemui di wilayah Kota Serang, mulai dari mereka yang terlibat di bidang konstruksi, pembuatan batu bata, dan beberapa pekerjaan lainnya. Mereka yang bekerja dalam usaha formal juga mulai terlibat dalam usaha-usaha yang jam kerjanya bisa mencapai 7-10 jam per hari, sehingga mereka juga tidak lagi punya waktu untuk bersekolah.

(55)

biasa untuk anak-anak bekerja telah membuat makin bertambahnya pekerja anak yang ada di Kota Serang. Apalagi ditambah sampai saat ini belum ada sanksi tegas yang diberikan pihak pemerintah terhadap perusahaan atau keluarga dari pekerja anak yang membiarkan anak bekerja. Data yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang pada tahun 2013, pekerja anak formal di Kota Serang berjumlah 65 anak, dan meningkat pada tahun 2014, yakni sebanyak 73 anak. Pekerja anak di Kota Serang sendiri rata-rata berumur sekitar 13-17 tahun.

2.2. Penelitian Terdahulu

Sebagai bentuk pembelajaran dan juga bahan masukan selama mengerjakan penelitian, peneliti memiliki skripsi sebagai pedoman bagi peneliti, salah satunya adalah skripsi yang berjudul Tinjauan Tentang Pekerja Anak di Terminal Amplas (Studi Kasus Anak yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di Terminal Terpadu Amplas). Adapun penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah mengetahui bagaimana pekerja anak yang ada di Terminal Terpadu Amplas, khususnya anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum di Terminal Amplas.

(56)

dan pengaruh modernisasi. Faktor inilah yang dianggap memicu para anak bekerja, dan pada akhirnya memberi dampak, yakni hilangnya waktu untuk bersekolah dan bermain, terjadinya penyimpangan perilaku, kesehatan yang buruk, hingga terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Adapun tipe penelitian ini adalah studi kasus deskriptif yang penelaahannya kepada suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan kompherensif. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan mendiskripsikan perkasus dari data-data yang telah dikumpulkan.

Kesimpulan dari penelitian ini ialah pada dasarnya anak bekerja tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi keluarga yang rendah (miskin/ serba kekurangan). Tampaknya anak bekerja merupakan suatu pilihan dalam keadaaan sosial ekonomi keluarga yang demikian, keadaan tersebut melahirkan motivasi atau alasan anak-anak ini bekerja antara lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh orangtua, untuk membantu kebutuhan keluarga, arena tidak sekolah lagi, dan ingin mempunyai penghasilan sendiri. Selain itu, motivasi anak untuk bekerja dengan kondisi keluarga juga sangat berkaitan erat.

(57)

psikologis anak-anak terlalu cepat dan terpaksa untuk menerima keadaan ini yang belum sesuai dengan perkembangan dan akibat ini akan tercermin dari tingkah laku anak.

Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama melakukan penelitian terkait dengan pekerja anak, begitupun dengan metode penelitian yang digunakan adalah metode dengan teknik kualitatif. Perbedaannya terletak pada studi kasus yang dilakukan, dimana penelitian yang dilakukan peneliti tidak dibatasi hanya kepada pekerjaan sang pekerja anak dan faktor yang mempengaruhinya, tetapi juga kepada apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan pekerja anak yang ada.

(58)

Selain menggunakan skripsi diatas sebagai pedoman dalam mengerjakan penelitian ini, peneliti juga menggunakan sebuah kajian literatur yang berjudul Kajian Terhadap Peraturan, Kebijakan, dan Program-Program Penghapusan Pekerja Anak di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, serta program-program untuk mengatasi persoalan pekerja anak di Indonesia dari tahun 1999/2000, untuk mengidentifikasi dan menganalisa kelemahan-kelemahan dalam respon nasional untuk menghapuskan pekerja anak yang masih harus ditangani, untuk mengidentifikasi pilhan-pilihan kebijakan dan praktik-praktik kebijakan yang baik, serta untuk memberikan rekomendasi guna memberikan arah bagi peraturan-peraturan, kebijakan dan program-program yang efektif untuk penghapusan pekerja anak di Indonesia.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian literatur dari dokumen dokumen kunci yang disediakan oleh ILO-OPEC Jakarta, dimana dokumen-dokumen ini sebelumnya telah dikaji secara intenal dan sebuah draf laporan telah ditulis untuk kemudian diperkaya oleh kajian literatur ini. Adapun kesimpulan yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada, baik masyarakat, aparat penegak hukum, dan para pengambil keputusan masih belum secara menyeluruh memahami permasalahan pekerja anak serta upaya-upaya yang sedang dilaksanakan.

(59)

untuk bekerja merupakan suatu tantangan tersendiri yang perlu segera diatasi. Permasalahan lainnya seperti masalah kemiskinan, tingkat pendidikan dan literasi yang rendah, dan kesulitan-kesulitan yang terkait dengan tanggung jawab negara serta penggugahan kesadaran akan peraturan-peraturan yang berlaku masih menjadi permasalahan klasik yang perlu diatasi. Mengingat situasi ini dan masih sulitnya infrastruktur untuk teknologi komunikasi, harus diakui bahwa hingga kini kampanye penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) masih belum dapat membawa perubahan baik disisi permintaan maupun disisi persediaan. Indonesia masih belum mampu mengatasi hambatan-hambatan struktural dalam penegakan hukum dan kebijakan.

(60)

Bahkan, secara nasional, Indonesia tidak memiliki kebijakan yang menyeluruh mengenai rehabilitasi dan pengintegrasian kembali. Adapun persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah melakukan penelitian seputar pekerja anak. Selain itu, fokus penelitian ini juga sama-sama mengarah kepada kebijakan maupun tindakan-tindakan pemerintah dalam mengurangi pekerja anak meski penelitian yang dilakukan peneliti lebih sempit karena lingkupnya hanya di Kota Serang belum mencakup keseluruhan Indonesia dan bagian pemerintah yang diteliti lebih spesifik, yakni Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian ini mengkaji kebijakan pekerja anak secara umum dalam setiap dinas dan juga lingkup pemerintahan yang aktif menangani permasalahan pekerja anak, sedangkan peneliti bukan mengkaji soal kebijakan, tapi lebih kepada pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai bagian dari Komite Aksi Daerah yang memiliki kewenangan langsung dalam menangani permasalahan pekerja anak di Kota Serang. Bagaimanapun juga dari sudut pandang administrasi negara, suatu kebijakan tidak akan berjalan dengan baik kala pengawasan dalam kegiatan tersebut berjalan tidak semestinya.

(61)

Ilmu – ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia) yang dibantu oleh Siska Natalia pada Mei 2011.

2.3. Kerangka Berpikir

Rumusan Masalah:

1. Pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal

2. Respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak

3. Koordinasi dengan SKPD lain dalam penanganan pekerja anak masih lemah

4. Belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak (Peneliti, 2014)

Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif : 1. Akurat

2. Secara ekonomi realistik 3. Tepat waktu

4. Realistik secara organisasi

5. Dipusatkan pada pengendalian strategik 6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi 7. Objektif dan Komprehensif

8. Fleksibel

9. Diterima para anggota organisasi (Amirullah dan Budiyono (2004:307))

(62)

2.4. Asumsi Dasar

Gambar

Tabel 1.1 Jenis Pekerjaan Terburuk Anak
Tabel 1.2
Grafik 1.1
Tabel 3.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aku pikir, aku gak tau banget yha mbak, tapi dari sekian kali aku ikut rapat kayak gitu, kan juga bahas eeee... Isu-isu di news seperti kayak gitu. Memang ada

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan menguasai landasan, konsep, desain, dan langkah-langkah penelitian (khususnya dalam seting bimbingan dan konseling)

Untuk kurva proporsional, data yang digunakan adalah data plot sementara, dengan mengasumsikan bahwa semua kualitas tempat tumbuh telah tersebar secara merata pada tiap umur

Keunt ungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok t ersedia unt ukc.

The social conditions that affect her personalities based on her motive are first, poverty that brings her into prostitution world that makes her deceits herself because she just

Dengan hasil pembahasan Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perlindungan mengenai Pekerja rumah tangga tidak diatur secara eksplisit namun Pengaturan tentang

Untuk itu biasa dituntut validasi instrumen (yang menyangkut validitas content, concurrent , predictive dan construct , serta menyangkut tingkat reliabilitas) atas

The key stakeholders consisted of representatives from South Sumatra Region Railway Engineering Institution, Lampung Railway Development Office, Regional Division IV