• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI

2.1.4. Fenomena Pekerja Anak

Berbagai definisi mengenai pekerja anak dapat ditangkap berbeda oleh setiap pihak yang ada, baik pemerintah, masyarakat luas, orang tua sang pekerja anak, maupun juga sang pekerja anak sendiri. Secara sederhana, pekerja anak dapat didefinisikan sebagai anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Pekerja anak bekerja demi meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah tangganya secara langsung maupun tidak langsung. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1, menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang.

“Istilah ‘pekerja anak’ didefinisikan mencakup semua pekerja anak yang

berusia 5 – 12 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka, pekerja anak berusia 13 – 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan pekerja anak usia 15 – 17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu.” (Sakernas, 2008)

Pada dasarnya pekerja anak senantiasa dilarang oleh pemerintah dengan alasan yang jelas, yakni adanya konsekuensi yang ditanggung sang anak yang dapat membahayakan kesehatannya, begitupun juga adanya indikasi terganggunya proses belajar, dimana sang anak jadi lebih memprioritaskan untuk bekerja demi mendapatkan nafkah meski sebenarnya memiliki hak dan kewajiban untuk belajar demi masa depannya. Begitupun juga dengan kecenderuan gangguan yang akan terjadi dalam tumbuh kembangnya, dimana anak masih begitu rentan terganggu tumbuh kembangnya jika terpaksa bekerja dalam usia dini. Pekerja anak

didefinisikan sebagai anak-anak yang bekerja dalam setiap pekerjaan yang dapat dianggap berbahaya yang diindikasikan oleh jumlah jam kerja yang ditentukan oleh Undang-undang No. 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan.

“Menurut Biro Pusat Statistik (2009) pekerja anak didefinisikan sebagai anak usia kerja (10-14 tahun) yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara kontinu.”

Meski jam kerja didefinisikan secara berbeda oleh banyak lembaga, namun pada dasarnya satu paham yang dapat dijelaskan mengenai pekerja anak adalah anak yang terlibat dalam pekerjaan dan dengan didasari maksud dan niat untuk memperoleh keuntungan. Hal ini jelas menerangkan bahwa orientasi pendapatan ini bisa dikatakan menjadi indikator utama menentukan status anak sebagai pekerja anak.

“Pekerja anak menurut International Labour Organization (2009) ialah anak yang kehilangan masa anak dan masa depan (yang menjadi haknya), melakukan pekerjaan orang dewasa, jam kerja panjang, gaji rendah, kondisi kerja yang membahayakan kesehatan, dan perkembangan fisik serta mental.”

Definisi yang disampaikan ILO (International Labour Organization) mencakup arah yang lebih spesifik lagi mengenai pekerja anak, dimana penjelasan mengenai masa depan sang anak yang hilang diterangkan sebagai proses yang terjadi dalam diri para pekerja anak, terlepas dari sang anak maupun orang tua menyadari atau tidaknya proses yang terjadi ini. Begitupun juga dengan pekerjaan yang dilakukan, definisi ini lebih mengkhususkan pekerjaan yang dikerjakan adalah pekerjaan yang memang sebenarnya merupakan pekerjaan orang dewasa, dalam arti bahwa pekerjaan-pekerjaan ringan tidaklah tercakup, dan dengan

demikian tidak dapat mendefinisikan sang anak sebagai pekerja anak secara sembarangan. Jumlah jam kerja dan gaji serta kondisi kerja merupakan indikator yang dapat dinilai untuk menjelaskan apakah sang anak dapat disebut sebagai pekerja anak.

Jenis pekerjaan yang dilarang dipekerjakan oleh anak salah satunya adalah yang masuk dalam Bentuk Pekerja Terburuk untuk Anak (BPTA) yang semuanya adalah jenis pekerjaan yang memiliki sifat dan intensitas berbahaya bagi keselamatan, kesehatan dan mengganggu tumbuh kembang, moral serta pendidikan anak. Penjabarannya berdasarkan pasal 74 UU No.13 tahun 2003 meliputi:

“Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, serta semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak.”

Selain dari penjabaran di atas, Keppres No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan BPTA mengidentifikasikan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak adalah anak yang dieksploitasi secara fisik dan ekonomi, yang meliputi anak-anak yang dilacurkan, anak yang bekerja di pertambangan, anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara, anak yang bekerja diskonkruksi dijermal, pemulung sampah, dilibatkan pada kegiatan yang menggunakan bahan peledak, bekerja dijalanan, PRT anak, industri rumah tangga, perkebunan, penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu, industri kimia.

Sejak berpisah dari Kabupaten Serang, Kota Serang mulai menghadapi perubahan perkembangan sosial di daerah otonom yang penuh menjadi miliknya. Meski pemerintah nasional pada tahun tersebut telah gencar melakukan gerakan dan program untuk mengurangi pekerja anak, namun pekerja anak belum menjadi persoalan yang diprioritaskan pemerntah untuk dikerjakan. Namun seiring dengan adanya pembangunan di Kota Serang, Kota Serang mulai menarik di kalangan masyarakat sebagai daerah yang memiliki potensi untuk mencari nafkah. Mulai cukup banyaknya perusahaan, pabrik dan juga mulai makin bertambahnya jumlah penduduk kemudian membawa beberapa anak tertarik untuk mencari dana dan mulai bekerja.

Dimulai dari awalnya sekedar mengisi waktu luang sepulang sekolah, kini anak-anak di Kota Serang bukan hanya sekedar terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan di luar jam sekolah maupun juga pekerjaan-pekerjaan tambahan untuk mengisi waktu luang, tapi juga dapat ditemukan anak-anak yang bekerja aktif dalam dunia formal dan terlibat dalam kontrak kerja mengikat di perusahaan formal. Beberapa pekerjaan informal yang berbahaya juga banyak ditemui di wilayah Kota Serang, mulai dari mereka yang terlibat di bidang konstruksi, pembuatan batu bata, dan beberapa pekerjaan lainnya. Mereka yang bekerja dalam usaha formal juga mulai terlibat dalam usaha-usaha yang jam kerjanya bisa mencapai 7-10 jam per hari, sehingga mereka juga tidak lagi punya waktu untuk bersekolah.

Berbagai faktor, mulai dari faktor ekonomi keluarga yang kurang, pendidikan yang rendah, bahkan hingga faktor budaya yang mengganggap hal

biasa untuk anak-anak bekerja telah membuat makin bertambahnya pekerja anak yang ada di Kota Serang. Apalagi ditambah sampai saat ini belum ada sanksi tegas yang diberikan pihak pemerintah terhadap perusahaan atau keluarga dari pekerja anak yang membiarkan anak bekerja. Data yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang pada tahun 2013, pekerja anak formal di Kota Serang berjumlah 65 anak, dan meningkat pada tahun 2014, yakni sebanyak 73 anak. Pekerja anak di Kota Serang sendiri rata-rata berumur sekitar 13-17 tahun.