• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.3. Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian

4.3.4. Realistik secara organisasi

Standar kinerja yang digunakan sebagai alat ukur dalam pengendalian harus realistis. Standar itu harus menantang, namun sebagian besar pegawai harus tetap yakin bahwa hal itu bisa dicapai. Standar seperti ini akan memotivasi mereka berkinerja lebih baik. Standar terlalu tinggi bisa membuat karyawan frustasi dan upaya mereka melemah, sebaliknya, standar terlalu rendah bisa

membuat mereka merasa tidak tertantang dan juga berdampak pada lemahnya kinerja. Realistis juga berkaitan dengan pelaksanaan pengendalian yang wajar-wajar, tidak berlebihan, sehingga bisa menimbulkan penolakan.

Disnakertrans dalam menghadapi pekerja anak secara realita melawan budaya masyarakat yang masih menganggap bahwa pekerja anak merupakan hal yang biasa. Dalam beberapa kasus yang terjadi, penanganan menjadi sulit karena tidaklah mudah mengubah pandangan masyarakat dalam waktu singkat. Pihak pabrik/perusahaan yang mempekerjakan pekerja anak juga demikian, meski secara jelas diatur dalam Undang-Undang larangan mempekerjakan anak, namun kondisi di lapangan ialah masih banyak pabrik yang diuntungkan ketika mempekerjakan anak di tempat usahanya. Salah satunya adalah efisiensi biaya secara gaji yang jauh lebih murah, dan juga kondisi dimana anak-anak lebih mudah dikontrol sehingga tidak menuntut banyak tapi tekun dalam bekerja. Hal ini yang diungkapkan oleh I2-6:

“Sistemnya disini bisa dibilang seperti borongan, ya kalo mereka mau

kerjain dapet gaji. Karena memang kita juga tidak pake mandor yang mengawasi mereka bekerja. Kerjanya juga kan terasa ga enak kalo dimandorin.”(Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB)

Sampai saat ini juga pengawasan yang dilakukan oleh Disnakertrans masih terpusat kepada para pekerja anak formal, meski dalam kenyataan di lapangan justru lebih banyak ditemukan pekerja anak informal. Berdasarkan Undang-Undang yang adapun, hampir rata-rata pekerjaan terburuk anak yang mengancam

kesehatan maupun mental anak berada dalam lingkup wilayah informal, seperti yang disampaikan oleh I1-2:

“Berkaitan dengan anak, tentunya sudah ada peraturan yang melarang untuk mempekerjakan anak. Seringkali seolah-olah pekerja anak adalah mereka yang bekerja di sektor formal. Tetapi realitanya ketika di sektor formal justru tidak ditemukan adanya pekerja anak seperti di pusat-pusat perbelanjaan terkenal karena memang perusahaan sudah mengetahui aturannya. Ketika di sektor informal, seperti UMKM misalnya pabrik roti dan kue kering disitu justru biasanya ada pekerja anak.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB)

Memang menjadi hal yang penting untuk memahami dengan jelas syarat dan standar yang ditetapkan agar tidak membiarkan penyimpangan dan kesalahan terus terjadi. Pengenalan akan situasi kondisi di lapangan dengan peraturan juga harus seimbang, dengan demikianlah pengawasan dapat dilakukan secara jelas dan tepat. Peraturan yang ada menjadi landasan pergerakan dan pengawasan untuk mencapai suatu standar, mengenali batasan apa yang tidak boleh dilewati dan apa yang harus diperjuangkan dan ditidaklanjuti, seperti yang disampaikan oleh I1-3:

“Anak sebenarnya boleh bekerja asal anak tersebut usianya 3-15 tahun

untuk pekerjaan yang ringan dan karena anak juga harus dilatih agar tidak malas, begitupun juga dalam rangka kurikulum pendidikan dan minat serta bakat. Kriteria pekerjaan ringan ialah pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan fisik dan mental sosial serta pekerjaan di luar Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak. Ada kewajiban pengusaha yang mempekerjakan anak dalam pekerjaan ringan, yakni seharusnya memiliki surat ijin dari orang tua, waktu maksimal bekerja juga adalah tiga jam, dilakukan siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatannya tetap dijaga dan menjadi tanggung jawab perusahaan, dan tidak bekerja di tempat-tempat yang membahayakan, ada hubungan kerja yang jelas antara pekerja dan pengusaha, upah yang diberikan sesuai ketentuan. Pada dasarnya semua orang dilarang mempekerjakan anak, apalagi

dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans)

Dalam menjalankan standar yang ada, penting juga untuk mengukur kapasitas dan sumber daya yang diperlukan agar bisa mencapai standar yang ditetapkan. Disnakertrans sendiri dalam melakukan pengawasan masih terkendala dengan sumber daya manusia yang minim, dimana hanya ada dua pengawas dalam satu bidang Pengawasan dan Pembinaan. PNS yang bergabung dalam bidang ini berjumlah 6 orang, dan dibagi-bagi lagi dalam beberapa seksi. Pengawas selain melakukan pengawasan masih harus ikut melaksanakan tugas yang dibebankan oleh pejabat meski sebenarnya tugas dari pengawas sendiri adalah mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan. Hal ini disampaikan oleh I1-4:

“Kita disini kan satu bidang ada 6 orang yang PNS, nah pengawas juga bertanggung jawab melaksanakan kegiatan yang disuruh oleh para pejabat, jadi akan bagi waktu juga dalam melakukan pengawasan dan program kegiatan lain. Kalau untuk pengawas, saya lebih bertugas mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Bidang Pembinaan dan Pengawasan yang dibagi lagi dalam tiga seksi memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Dengan jumlah pegawai yang dapat dikatakan minim, pemerintah membutuhkan bantuan dari masyarakat untuk bisa membantu pencapaian pengawasan yang efektif bagi Disnakertrans karena adalah

hal yang tidak mungkin jika Disnakertrans sendiri yang harus mengelola permasalahan ini, seperti yang disampaikan oleh I1-2:

“Bidang pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan memiliki tugas

memastikan bahwa setiap aturan ketenagakerjaan dilaksanakan dan diikuti oleh perusahaan. Di dalamnya ada tiga seksi, yaitu seksi norma pekerja perempuan dan anak, yang menagani masalah pekerja perempuan dan anak. Masyarakat sekitar lingkungan pekerja anak, mempunyai kapasitas lebih dalam mendekatkan diri kepada pekerja anak, membina dan memberi nasehat untuk mereka yang bekerja agar kembali ke sekolah

kepada mereka yang bekerja dengan alasan apapun.” (Wawancara

dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB)

Selain masyarakat yang memang mengerti dengan utuh dan mengenali kondisi lapangan sekitar pekerja anak, yang tidak kalah penting adalah sinergitas dengan tokoh masyarakat dan juga LSM yang bisa membantu tindak lanjut Disnakertrans dalam mengangani persoalan pekerja anak. Tergabungnya berbagai elemen masyarakat termasuk juga penegak hukum dan instansi-instansi terkait, seperti instansi keagaamaan, kesehatan, dan sosial menjadi jalan agar koordinasi bisa tercipta dan membantu penyelesaian efektif dan berkesinambungan, sehingga tidak ada lagi alasan untuk anak-anak bekerja. Hal ini dikemukakan oleh I1-3:

“Kepala RT, RW, pendamping PKH dan LSM merupakan ujung tombak pemerintah dalam mengetahui adanya pekerja anak di wilayah Kota Serang. Masalah pekerja anak ini adalah masalah yang kompleks, melibatkan lintas sektoral baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun LSM harus bersinergi dalam upaya mengapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Kesadaran akan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya pihak Disnakertrans. Masyarakat tentunya bertanggungjawab untuk mencegah eksploitasi anak dalam dunia kerja. Sinergi antara penegak hukum, instansi terkait, misalnya intansi

keagamaan, kesehatan, sosial.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan)

Sumber daya yang minim dari pihak Disnakertrans diperlengkapi dengan adanya kesinambungan program dan kegiatan serta solisi dari pihak dinas lainnya. Pembagian tugas dan fungsi yang tepat membantu tercapainya penghapusan pekerja anak. Seperti halnya validasi data yang dilakukan Disnakertrans bersama dengan para pendamping PKH yang dalam hal ini berkaitan langsung dengan masyarakat kurang mampu. Pendataan yang dilakukan pendamping PKH dapat membantu pihak Disnakertrans agar bisa memperoleh data dan informasi lebih luas seputar pekerja anak yang mungkin tidak didapat dari pengawasan di perusahaan maupun pabrik. Berbagai program dibuat oleh Disnakertrans dalam upaya mengurangi pekerja anak, mulai dari pendataan, pembentukan Komite Aksi Daerah, sosialisasi, sampai kepada rencana penarikan pekerja anak. Hal ini dijelaskan oleh I1-3 sebagai berikut:

“Disnakertrans bekerjasama dengan pendamping PKH yang bertugas memvalidasi data pekerja anak yang memang bersungguh-sungguh untuk mau dibina dan dididik serta ditindaklanjuti oleh pihak Disnakertrans. Pendataan pekerja anak di 6 kecamatan di wilayah Kota Serang, pembentuk Komite Aksi Daerah dalam rangka Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, kemudian sosialisasi kepada perusahaan dan masyarakat tentang Penghapusan Pekerja Anak, membuat atau menyusun Rencana Aksi Daerah tentang Penghapusan Pekerja Anak, dan mulai bulan Mei 2015 akan dilaksanakan Program Penghapusan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan yang menarik 60 pekerja anak di Kota

Serang.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja

Perempuan dan Anak, 15 April 2015 pukul 09.00 WIB, Disnakertrans Kota Serang)

Tindakan untuk mencapai target dan sasaran dari peraturan merupakan hal yang tidak mudah. Standar yang ditetapkan dalam UU terkait persoalan pekerja

anak ini diakui oleh pihak Disnakertrans tidak mudah dikerjakan, karena memang persoalan pekerja anak ini merupakan kumpulan permasalahan yang tidak bisa begitu saja secara singkat ditindaklanjuti. Kesiapan yang matang diperlukan agar tindakan yang diberikan tidak justru menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan menimbulkan kesan pemerintah tidak mempedulikan kebutuhan masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh I1-4 dalam pengalamannya mengawasi pekerja anak di Kota Serang:

“Kalau pekerja anak sendiri kan menurut Undang-undang ya harusnya

memang dicabut dan ditarik. Namun ya penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja. Karena itu butuh yang namanya koordinasi dengan berbagai instansi yang terkait. Karena memang waktu ditarik dalam pekerjaan, masih ada permasalahan ekonomi keluarga yang masih harus dibenahi agar anak tidak kembali bekerja. Biasanya ada pembinaan dulu yang dilakukan jadinya tidak langsung ditarik dari perusahaan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Mengingat bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya pekerja anak adalah masyarakat tidak mengenali dampak besar negatif yang ditimbulkan bagi masa depan pekerja anak, maka perlu Disnakertrans secara aktif terjun dalam lingkungan masyarakat sekitar pabrik yang mempekerjakan pekerja anak. Karena berdasar hasil wawancara yang ada menunjukkan masyarakat sebenarnya mau untuk ikut serta mendukung pemerintah mencegah pekerja anak, hanya saja masyarakat masih banyak yang tidak dibekali pengetahuan yang cukup mengenai larangan dan sanksi tegas dalam UU terkait hal ini. Penting bahwa Disnakertrans

bukan hanya mengawasi dan membina pabrik atau perusahaan, tapi juga masyarakat sekitar, seperti apa yang disampaikan olehI2-2:

“Keterbukaan kepada masyarakat dan sosialisasi tentang pekerja anak. Jadi tidak hanya perusahaan yang diberitahu, tapi tokoh masyarakat juga dilibatkan untuk mengawasi, karena kita yang berinteraksi aktif dengan mereka. Selain itu juga bantuan yang cukup dan pemberdayaan masyarakat supaya anak-anak bisa keluar dari budaya bekerja di usia

sekolah.”(Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul

16.15 WIB, wilayah Karundang)

Pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi kunci penting agar tidak semakin banyak anak yang terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi yang berat dari keluarganya, dan agar seiring kecukupan ekonomi keluarga, anak-anak memiliki kecukupan materi dan bekal untuk bisa bersekolah. Selain pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan pemikiran juga merupakan hal yang penting, agar masyarakat tidak terus menerus membiarkan pekerja anak bekerja.

Dengan adanya kesadaran mayarakat, akan lebih mudah pemerintah menetapkan larangan dan menegakkan sanksi ketika menemukan pekerja anak. Perbedaan persepsi masyarakat dan pemerintah pun bisa dikikis, sehingga masing-masing saling membantu dan mendukung untuk menghapus pekerja anak dan mengembalikan mereka pada hak-hak mereka. Hal ini yang dijelaskan oleh I2-4:

“Perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan pentingnya mengubah mindset masyarakat untuk bisa melihat masa depan, bukan hanya sekedar hidup untuk hari ini. Jadi Disnakertrans perlu memikirkan program yang tidak hanya fokus mengurangi pekerja anak, tapi lebih kepada bagaimana orang tua mereka bisa mencukupi juga kebutuhan

anak-anaknya.”(Wawancara dengan Bapak Agus, RT 15, Karundang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.10 WIB)

Dalam memberdayakan masyarakat ini, Disnakertrans berkoordinasi dengan pihak P2TP2A, dimana pihak P2TP2A juga sigap membantu ketika adanya kasus kekerasan yang mengorbankan anak. Kasus-kasus yang ditangani oleh P2TP2A ditangani secara komprehensif, melibatkan setiap pihak yang berkaitan sehingga tidak hanya terpaku pada satu pihak. Hal ini disampaikan oleh I3-1:

“Untuk di P2TP2A sendiri didirikan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk membentuk P2TP2A dalam membantu korban dan eks korban kekerasan yang sedang marak terjadi di Indonesia ini, baik eksploitasi, KDRT, anak-anak korban perceraian. Kasus yang ditangani bersifat kompherensif, jadi tidak sekedar kasus orang tua yang ditangani, tapi juga anak yang berada dalam keluarga yang berkasus.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB)

Pemahaman kondisi anak dan juga kondisi orang tua akan memudahkan kegiatan mediasi dilakukan secara tepat dan tidak sembarangan. Kondisi jiwa si anak yang terlibat dalam masalah, dikhawatirkan dapat menganggu masa depan mereka jika tidak diatasi. Hal ini secara jelas menjadi tanggung jawab pemerintah karena memang secara jelas diatur dalam aturan terkait perlindungan anak. Dengan landasan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya dapat diultimatum pemerintah ketika terus diabaikan, dan orang tua bisa saja kehilangan haknya untuk mengurus anak sehingga sang anak kemudian dipelihara oleh negara. Hal ini dikemukakan oleh I3-1:

“Yang dilakukan oleh P2TP2A biasanya lebih ke sifat mediasi untuk menangani permasalahan yang ada. Kemudian dilakukan juga pelayanan bersifat pemulihan terhadap traumatik dari si korban itu sendiri secara khusus pada mentalnya. Karena anak yang tidak dimediasi biasanya akan terbawa ke dalam kehidupannya kemudian dan meniru perilaku orang tua. Anak yang ditelantarkan juga biasanya karena faktor broken home. Maka P2TP2A memberikan ultimatum bagi orang tua dari sang anak untuk bisa mengembalikan kondisi sang anak, mengingat bahwa jelas dalam UU pemerintah wajib untuk menangani anak-anak terlantar, karena itu wajib bagi orang tua mengembalikan dan memperhatikan kondisi anak. Jika tidak, pemerintah wajib mengamankan sang anak dalam panti atau tempat yang aman bagi sang anak. Perjanjian juga diberikan kepada orang tua untuk bisa menjaga sang anak. Jika tidak, maka negara punya kewajiban untuk mengamankan sang anak. Penanganan, pelayanan, sampai

pemulihan dan pemberdayaan.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris

Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB)

Selain P2TP2A, tindak lanjut terhadap pekerja anak juga melibatkan Dinas Pendidikan untuk penanganannya. Anak-anak diberikan fasilitas sekolah gratis agar bisa mengenyam pendidikan dan mempersiapkan masa depan dengan baik melalui Dinas Pendidikan. Meski tidak terkait langsung dengan pekerja anak secara spesifik, pemberian program pendidikan gratis membuka jalan bagi pekerja anak untuk bisa bersekolah walaupun tidak mendapatkan biaya dari orang tua mereka. Hal ini dikemukakan oleh I3-4 :

“Dinas Pendidikan tidak mengurusi langsung secara spesifik mengenai pekerja anak, hanya mengurusi anak-anak untuk bisa bersekolah dari jenjang sekolah dasar hingga ke sekolah menengah atas.”(Wawancara dengan Bapak Windy Jadmiko, S.S, Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang, 22 April 2015, pukul 11.00 WIB)

Sanksi yang jelas menjadi cara tersendiri bagi Disnakertrans untuk dapat menangani permasalahan ini, supaya tidak sekedar menghabiskan anggaran untuk mengawasi, tapi benar-benar menyiapkan tindakan tepat yang membuat

perusahaan tidak lagi mempekerjakan pekerja anak, dan anak-anak bisa kembali bersekolah, serta orang tua mendukung pendidikan sang anak. Efek jera yang ditimbulkan dari sanksi yang tepat juga menjadi pelajaran dan pemahaman yang jelas bahwa pemerintah tidak main-main atas larangan yang dibuat, tapi benar-benar bersungguh dalam cita-citanya untuk menghapuskan pekerja anak di Kota Serang. Hal ini yang disampaikan oleh I2-5:

“Ketegasan dari pihak Disnakertrans dalam memberi sanksi bagi mereka yang terlibat mempekerjakan anak sangat perlu. Tidak boleh tumpul dan sekedarnya dalam memberi peringatan, supaya perusahaan bisa jera.”(Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB)

Bagaimanapun juga pemerintah memegang wewenang dan tugas dalam mengelola kekayaan negara. Maka jika pemerintah sendiri lunak dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya, akan sulit untuk permasalahan yang ada bisa teratasi. Sebaliknya jika secara efektif pemerintah menggunakan sumber daya yang ada untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan memaksimalkan sumber daya yang ada dan menggunakan wewenang dengan tepat, maka persoalan pekerja anak ini tentu dapat teratasi. Hal ini disampaikan oleh I2-9:

“Tentu pemerintah yang memiliki modal dan punya kewenangan untuk mengelola kekayaan negara ini harus memiliki kepedulian yang besar terhadap situasi ini, baik dengan jalan memasukkan mereka kembali ke sekolah ataupun juga pelatihan-pelatihan yang ada.”(Wawancara dengan Badrudin, Pendamping PKH, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.40 WIB)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan sudah realistis, karena memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang terjadi serta kebutuhan yang ada. Semuanya

dapat dilaksanakan dengan tepat ketika pengawasan dilakukan dengan bekerjasama bersama beberapa pihak. Seperti halnya saling membantu pekerjaan dalam satu seksi, maupun juga antar seksi di Disnakertrans dan juga koordinasi lintas sektor dengan beberapa tokoh maupun SKPD.