• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.3. Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian

4.3.3. Tepat waktu

Pengendalian harus tepat waktu, artinya sesuai dengan kebutuhan kapan pengendalian diperlukan. Setiap kegiatan membutuhkan waktu pengendalian yang berbeda. Ketepatan waktu diperlukan untuk mencegah penyimpangan menjadi lebih fatal dan munculnya anggapan penyimpangan sebagai sesuatu yang wajar dan sulit memperbaikinya.

Fenomena pekerja anak ini merupakan salah satu pekerjaan yang sulit diselesaikan, karena melibatkan berbagai faktor dan kondisi yang tidak dapat

ditangani dengan satu tindakan saja. Undang-Undang no. 13 tahun 2003 di pasal 68 secara jelas mengatur larangan untuk mempekerjakan anak, meski di pasal berikutnya kembali diterangkan bahwa dengan syarat-syarat tertentu, anak diperbolehkan bekerja. I1-4 menjelaskannya sebagai berikut:

“Dasar hukum pekerja anak sendiri ada di UU No. 13 tahun 2003 di pasal 68 yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak, namun di pasal berikutnya memang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi pengusaha dengan konteks pekerjaan yang dikerjakan ialah pekerjaan ringan. Perjanjian kerja yang dilaksanakan juga seharusnya adalah perjanjian kerja antara pengusaha dan orang tua, bukan kepada pekerja anak karena memang anak dianggap belum dapat memahami perjanjian kerja. Waktu kerja tiga jam yang dilakukan siang hari dan tidak menganggu sekolah. Upah yang diberikan juga harus sesuai ketentuan yang berlaku.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Pada kenyataan di lapangan, pengusaha tidak menggaji dan memberikan upah kepada para pekerja anak dengan upah sesuai ketentuan yang berlaku. Beberapa pekerjaan yang dikerjakan oleh anak-anak yang bekerja di wilayah Kota Serang juga meski adalah pekerjaan ringan namun melibatkan waktu kerja yang panjang dan lebih dari tiga jam. Bagaimanapun juga berdasarkan Undang-Undang seperti yang telah dibahas di atas, hal ini merupakan bentuk penyimpangan yang harus ditangani pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh I1-1:

“Usia anak yang muda ini memiliki kerentanan untuk dieksploitasi baik secara fisik maupun psikis untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan ekonomi keluarga. Eksploitasi tersebut salah satunya adalah dengan melibatkan anak dalam dunia kerja yang seharusnya belum waktunya anak-anak tersebut masuk dunia kerja.”(Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan)

Pelanggaran yang terjadi di Kota Serang terkait pekerja anak memang sampai saat ini belum menemukan kasus dimana anak-anak terlibat dalam Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA), dimana secara sifat pekerjaan sangat membahayakan bagi anak, dan disertai intensitas pekerjaan yang berlebihan sehingga membuat pekerja anak berada dalam ancaman yang membahayakan baik fisik maupun mentalnya. Meski demikian, pihak Disnakertrans menemukan kasus dimana ada orang tua pekerja anak yang memanfaatkan sang anak bagi kepentingan ekonomi dirinya dan keluarga, seperti apa yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan:

“Bentuk bentuk pekerjaan terburuk menjadi salah satu yang juga terus dilarang dan tidak diperbolehkan untuk sama sekali dipekerjakan, mulai dari perbudakan, perlibatan dalam pornografi, perlibatan dalam pekerjaan-pekerjaan ilegal, dan pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan baik fisik maupun mental pekerja anak, baik dari sifat pekerjaannya maupun intensitas pekerjaannya. Dari data orang tua yang rata-rata kita peroleh, pekerja anak rata-rata tumbuh dari keluarga miskin atau tidak mampu, meski ada juga yang berasal dari keluarga yang mampu. Hal ini menjadi fenomena yang pelik, dimana di perempatan jalan, orang tuanya ada dan dia sekolah tapi pulang sekolah, atau ada yang memang tidak sekolah kemudian suka ngamen. Pekerjaan seperti ini tentunya termasuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh

anak, karena itu akan mengganggu tumbuh kembang

mereka.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., 23 April 2015, Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB)

Pekerja anak merupakan hal yang dilarang karena memang masa anak merupakan masa tumbuh dan kembang yang seharusnya diisi dengan hal-hal positif agar tidak menjadikan anak-anak tersebut terbiasa dalam kegiatan yang tidak seharusnya mereka kerjakan. Terutama bagi mereka kerawanan lebih karena bekerja dalam lingkungan berbahaya, akan memicu mereka berpotensi terjebak

dalam hal-hal yang salah dan menyebabkan pola pikir mereka terbentuk bahwa bekerja dalam usia anak dan bekerja di lingkungan berbahaya tidak salah dan sangat wajar untuk dilakukan. Hal ini diungkapkan oleh I1-3:

“Pola pikir anak akan terbentuk dan terbudaya sesuai lingkungan, itu sebabnya sangat dilarang bagi mereka untuk bekerja di lingkungan-lingkungan berbahaya, seperti mereka yang bekerja di lingkungan-lingkungan bola sodok, bar, dan sebagainya.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan)

Untuk mencegah hal ini terjadi, ada berbagai upaya yang dilakukan dalam meresponi permasalahan seputar keberadaan pekerja anak. Saat ini, Disnakertrans mulai melakukan sosialisasi terhadap pekerja anak, pemilik pabrik, dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sosialisasi ini dilakukan sebagai momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di wilayah Kota Serang. Dengan mensosialisasikan hal ini, Disnakertrans berharap bahwa berbagai pihak dapat meresponi persoalan ini secara aktif, dan kemudian dapat turut serta baik dalam melakukan pengawasan maupun juga pelaporan ketika menemukan persoalan seputar pekerja anak. Hal ini dijelaskan oleh I1-1:

“Sosialisasi penghapusan BPTA merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah Kota Serang terhadap pekerja anak yang ada di wilayah Kota Serang. Sosialisasi yang ada diharapkan jadi momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di Kota Serang. Tentunya keterlibatan pihak lain sangat membantu tujuan dan harapan pemerintah, mulai dari keluarga, pengusaha dan pemerintah untuk sama-sama memastikan

anak-anak tidak terlibat dalam dunia pekerjaan.”(Wawancara dengan Bapak

DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan)

Berbagai program dan kegiatan dirancang untuk bisa mengurangi dan bahkan menghapus pekerja anak dalam upaya mengembalikan hak anak. Selain sosialisasi, ada beberapa program telah dilakukan oleh Disnakertrans, yakni program-program berkesinambungan yang juga dikerjakan bersama SKPD lainnya dalam mengatasi permasalahan pekerja anak. Berbagai program dilaksanakan, tapi terkendala masih ada masyarakat dalam budaya yang memang tidak menginginkan anaknya bersekolah, dimana kurangnya upaya dari pihak orang tua untuk bekerja sama agar anak mereka bisa bersekolah meski telah diberikan jalan oleh pemerintah, seperti apa yang disampaikan oleh I1-2:

“Pemerintahkan sebenarnya hanya sebagai motivator bukan eksekutor. Bagaimanapun pemerintah punya program dan niat baik, kalau dari masyarakat sendiri tidak mau ya tidak akan bisa kita cegah pekerja anak ini muncul. Pemerintah sebagai fasilitator tapi tidak bisa semua hal dijangkau. Masalah pekerja anak ini sendiri kita sudah kasih sekolah gratis, sudah kasih bantuan. Tapi masih saja ada orang tuanya yang tidak menyekolahkan anaknya. Alasannya kan sekolah butuh ongkos, padahal sebenarnya untuk ongkos kan bisa diberdayakan orang tua, mungkin belikan sepeda atau bagaimana caranya. Apalagi banyak yang orang tuanya sebenarnya bisa habisin uang untuk beli rokok, tapi justru untuk sekolah sang anak malah tidak ada uang katanya.” (Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB)

Berbagai upaya terus dilakukan oleh Disnakertrans, seperti rencana penarikan sejumlah anak dari pabrik untuk dikembalikan ke dunia pendidikan, maupun masuk dalam pelatihan non formal di bulan Mei 2015. Hal ini merupakan respon yang diberikan pemerintah menangani pekerja anak yang ada kepada setiap pekerja anak yang sudah masuk dalam data Disnakertrans. Keterlibatan berbagai pihak juga menjadi hal yang penting mengingat pembinaan yang

dilakukan akan dikerjakan dalam berbagai sisi sehingga tidak mungkin untuk dikerjakan hanya oleh Disnakertrans. Hal ini disampaikan oleh I1-3:

“Di bulan April dan Mei rencananya ada sekitar kurang lebih 60 anak yang akan dimasukkan ke dalam shelter (rumah singgah) yang dikontrak dengan dana dari pusat. Semua komite akan dilibatkan untuk bisa membimbing dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang berumur cukup akan mulai dicaritahu potensi nya untuk bisa dibina sehingga bisa bekerja dengan baik sesuai keterampilan yang dimiliki, yang diasah selama berada di shelter tersebut. Atau juga bagi mereka yang memang belum siap untuk bekerja sama sekali, ditawarkan untuk bersekolah kembali dengan dibiayai pemerintah, ataupun juga diarahkan ke dalam program kesetaraan maupun pondok pesantren. Adapun para pekerja anak yang dimasukkan dalam shelter ini ialah mereka yang memang memiliki kemauan untuk dibina dan dididik, mengingat bahwa tidak semua pekerja anak mau untuk dikembalikan ke dalam dunia sekolah atau juga diberikan pelatihan.” (Wawancara dengan Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans)

Pengawasan yang selama ini dilaksanakan oleh Disnakertrans adalah pengawasan yang memiliki rentang waktu khusus, dimana dibuat rencana kerja dalam setahun untuk bisa mengawasi berbagai perusahaan dan pabrik di wilayah Kota Serang dengan teratur dan sistematis. Meski demikian, tidak selamanya waktu dan rencana yang ditetapkan dijalani sesuai rencana kerja. Jika memang ada kondisi khusus dari perusahaan/pabrik tertentu, maka akan dilakukan pengawasan mendalam. Laporan dari masyarakat juga menjadi referensi bagi pihak Disnakertrans untuk mengawasi pabrik/perusahaan tertentu, seperti apa yang disampaikan oleh I1-4:

“Kalau kita mengawasi ke perusahaan itu ada namanya rencana kerja, masukan dari pimpinan atau yang diprioritaskan oleh pimpinan kemana, atau misalnya ada pengaduan dari masyarakat itu yang kita dahulukan... Dalam satu bulan itu 6 kunjungan perusahaan idealnya. Tapi ya kadang

ada juga yang tertunda, jadi dimasukkan bulan berikutnya dalam pengawasannya.”(Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Adapun penentuan jangka waktu dan rentang pengawasan memang dibahas bersama dalam rapat rencana kerja. Analisis kondisi dari permasalahan yang terjadi menjadi bagian utama pembahasan, dan berlanjut pada penentuan pengawasan sampai kepada tindakan yang akan dilakukan bila ditemukan penyimpangan. Pimpinan dinas juga memiliki hak khusus untuk menentukan dan memutuskan prioritas perusahaan yang akan diawasi dengan mempertimbangkan jadwal para pegawai dan juga beban kerja yang dilakukan. Hal ini dikemukakan oleh I1-4:

“Kalo untuk rencana kerja ya biasanya analisis kondisi kemudian ada rapat bersama pimpinan untuk tentukan rencana kerja yang akan dilakukan. Yang jelas semua rutin dilakukan, kecuali kalau ada kegiatan pemkot yang memang bentrok.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Bagaimanapun juga penyimpangan yang terjadi cukup sulit ditemukan mengingat bahwa secara kuantitas, sumber daya manusia yang ada di Disnakertrans tidaklah banyak. Pengawas untuk bidang pengawasan dan pembinaan hanya terdiri dari dua orang dalam satu bidang dan harus mengawasi lebih dari 500 perusahaan. Karena itu Disnakertrans menggunakan cara-cara yang bisa mengefektifkan pengawasan seperti melakukan pembinaan dimana pembinaan ini dapat menjangkau sejumlah perusahaan dalam satu kali pertemuan. Penyimpangan tidak dapat dibenahi dalam waktu yang cepat karena memang biasanya penyimpangan yang terjadi menyangkut beberapa persoalan sampai

munculnya penyimpangan tersebut. Karena hal inilah, meski jelas-jelas diatur dalam Undang-Undang, pemerintah masih menimbang banyak hal dalam memberikan sanksi ketika menemukan pekerja anak. Hal ini disampaikan oleh pengawas ketenagakerjaan:

“Kalau untuk sumber daya kan memang tidak cukup untuk melakukan pengawasan ke perusahaan-perusahaan, cuma ya ada trik-triknya, misalnya kita bikin pembinaan atau melakukan door to door perda dan aturan-aturan, atau mengundang HRDnya untuk hadir ke tempat kita. Kecuali kalau memang ada tindakan dari penyimpangan baru kita turun langsung ke perusahaan. Pekerja anak sendiri kan menurut Undang-undang ya harusnya memang dicabut dan ditarik. Namun penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB)

Beberapa masyarakat memberikan penilaian bahwa bentuk reaksi dan tindakan yang dilakukan Disnakertrans dalam menghadapi pekerja anak terkesan lamban dan belum efektif. Indikator yang digunakan dalam penilaian ini salah satunya ialah karena Disnakertrans masih terpacu pada data dan pengawasan dari pihak perusahaan, meskipun sebenarnya perusahaan bisa saja menyembunyikan pekerja anak yang ada di perusahaannya. Jika menginginkan pengawasan yang tepat sasaran dan sesuai keadaan, pemerintah diharapkan melibatkan masyarakat yang mengenali situasi dan kondisi sebenarnnya di lapangan, seperti apa yang disampaikan oleh I2-3:

“Sejauh ini survei yang dilakukan Disnakertrans belum sepenuhnya dilakukan ke lapangan, dalam arti pemerintah belum menjemput bola ke masyarakat. Butuh data yang memang objektif dan tidak terpaku pada data yang ada dari perusahaan.”(Wawancara dengan Bapak Nasarudin,

Ketua RT 01/11 Cipare, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.00 WIB)

Selain itu, indikator berikutnya ialah belum tanggapnya pengawasan yang dilakukan Disnakertrans dimana belum pernah ada sanksi yang diberikan baik kepada pabrik yang mempekerjakan pekerja anak, ataupun juga pihak-pihak yang terlibat dalam mempekerjakan pekerja anak. Hal ini menjadi peluang bagi pabrik dan juga masyarakat untuk tetap mempekerjakan anak di bawah umur, karena memang meski tahu bahwa hal tersebut dilarang, tapi sampai saat ini mereka masih tetap dengan bebas mempekerjakan pekerja anak tanpa sanksi, seperti apa yang disampaikan oleh I2-5:

“Belum, apalagi sanksi yang jelas bagi pabrik yang mempekerjakan anak

sampai saat ini belum ada.”(Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB)

Efek jera yang diberikan dari sebuah tindakan, seperti memberi sanski dalam meresponi permasalahan merupakan bentuk tindakan yang diharapkan masyarakat dapat dilakukan Disnakertrans untuk bisa menolong anak-anak yang terpaksa bekerja karena berbagai faktor. Sanksi yang diberikan diharapkan bukan saja akan memberikan jera bagi pihak pabrik tersebut tapi juga kepada pihak-pihak lainnya, yang tentu saja akan berpikir ulang ketika mau mempekerjakan pekerja anak di tempat usahanya. Hal ini dikemukakan oleh I2-1:

“Pokoknya kalo udah mendekat lebaran gini biasanya muncul banyak pabrik-pabrik kue yang kaya deket puskesmas, musiman gitu dan nanti ada pekerja anak yang kisaran SMP biasanya jadi pekerja. Tapi sejauh ini belum ada peringatan atau sanksi yang dikenakan ke pihak

pabrik.”(Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur,

Selain penanganan yang diberikan terhadap pihak pabrik, tentunya pekerja anak juga menjadi objek utama yang diawasi oleh Disnakertrans. Permasalahan yang dihadapi pekerja anak merupakan faktor utama yang harus dikaji untuk mencegah semakin luas dan maraknya pekerja anak di Kota Serang. Pihak pekerja anak sendiri menyatakan permasalahan ekonomi yang dihadapi telah melibatkan mereka dalam dunia pekerjaan, dan untuk kembali masuk dalam dunia pendidikan yang seharusnya sempat tidak terpikirkan. Ketakutan bahwa program yang diberikan pemerintah hanya bersifat sementara dan setengah-setengah merupakan salah satu faktor mereka memilih bertahan dalam dunia kerja, seperti yang disampaikan oleh I2-7:

“Ya pokoknya kita disini niatnya mencari uang, jadi kalau memang

sekolah lagi sebenarnya mau asal benar-benar gratis dan ga cuma yang sebentar saja. Nanti pas sudah masuk sekolah tiba-tiba ada bayaran tambahan kan kita bingung.” (Wawancara dengan AN, Pekerja Anak,Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.30 WIB)

Apatisme dari masyarakat merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi pemerintah. Pandangan bahwa pemerintah kerap menciptakan program yang sekedar dikerjakan dan tidak sesuai kebutuhan masyarakat menjadi salah satu alasan pekerja anak menjadi apatis dan tidak berharap banyak pada pemerintah. Pekerja anak sendiri menginginkan bahwa setiap pernyataan bahwa mereka akan dikembalikan dan dibiayai untuk bersekolah tidak hanya sekedar pernyataan dan bisa benar-benar dilakukan. Hal ini disampaikan oleh I2-8:

“Semoga ya program-programnya ga cuma ngomong doang tapi memang benar-benar dipedulikan pendidikan dan kebutuhan kita.”(Wawancara dengan NR, Pekerja Anak, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.45 WIB)

Anak-anak sendiri sebenarnya masih sangat sulit untuk membedakan apa yang buruk dan baik bagi masa depannya. Mereka yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga berbagai faktor sehingga harus bekerja kerap kali hanya berpikir singkat tentang kebutuhan masa kininya yang mendesak. Asalkan mendapat upah dan bisa mendapat uang jajan atau bisa membantu orang tua, mereka berpikir akan baik-baik saja. Meski sebenarnya di dalam dunia kerja mereka tanpa sadar dibatasi tumbuh kembangnya dan juga kesempatan mengembangkan potensinya. Apalagi dalam menghadapi masa depan yang jauh lebih kompetitif dan menuntut lebih standar pendidikan serta kemampuan dan bakat, seperti yang dikemukakan oleh I3-1:

“Kesulitan yang terjadi dalam menangani para pekerja anak di bawah umur salah satunya adalah karena anak tersebut juga tidak sadar bahwa hal itu membahayakan dirinya, kemudian juga dapat mengganggu perkembangan masa depannya. Ketika alasan pekerja anak bekerja datang karena situasi ekonomi dan kondisi keuangan yang sulit, maka susah untuk mencegahnya. Meskipun sebenarnya secara Undang-Undang, hal ini tentu tetap tidak dapat dibiarkan.”(Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB)

Itu sebabnya bagi pihak P2TP2A sebagai salah satu SKPD yang berkoordinasi dengan Disnakertrans dalam upaya mengurangi pekerja anak, perlu adanya sosialisasi secara besar-besaran kepada setiap pihak masyarakat agar terbuka dan mengetahui dampak negatif persoalan pekerja ini. Mengingat bahwa ada kalangan masyarakat yang secara budaya terbiasa membiarkan anak bekerja, perlu ada pengubahan mindset agar tidak terus menganggap persoalan ini menjadi persoalan yang ringan. Masyarakat perlu untuk mengetahui bahwa pemerintah

menjamin perlindungan anak, sehingga ketika mereka merasa terancam mereka tidak segan untuk mencari perlindungan dan memperoleh hak mereka. Hal ini disampaikan oleh I3-1:

“Banyak kasus yang terjadi di Kota Serang ini seperti fenomena gunung es. Sebenarnya banyak sekali korban-korban, namun kalau sudah berbicara keluarga merupakan ladang intern, anggapan aib dan budaya tidak nyaman untuk menceritakan kekurangan keluarga. Pada akhirnya hanya sedikit korban-korban yang berani untuk mengadukan kasus mereka. Ketidakpahaman hukum tentang Perlindungan Anak juga jadi soal, karena meski menjadi hak masyarakat untuk dilindungi, masyarakat belum tahu bahwa akan ada pembelaan bagi dirinya. Kesini, dengan semakin banyaknya sosialisasi yang diberikan, masyarakat sudah mulai ada yang melaporkan kasusnya, sehingga bisa ditangani oleh pemerintah.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB)

Kesinambungan pengawasan yang dikerjakan oleh Disnakertrans dengan SKPD lainnya bisa membawa perubahan bagi permasalahan pekerja anak. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan secara terstruktur diharapkan akan menghasilkan evaluasi yang matang bagi perkembangan tindakan dan rencana-rencana berikutnya. Tentunya rentang ini menjaga agar tindakan yang dilakukan tidak sekedar bersifat rutinitas, tapi memang sesuai dengan kebutuhan yang ada, seperti apa yang disampaikan oleh I3-3:

“Biasanya kita juga ada pengawasan terhadap anak-anak yang bekerja

atau juga hidup di jalanan, pengawasan tersebut tentunya kita evaluasi dalam rentang waktu tertentu untuk bisa kita jadikan evaluasi tiap program berikutnya.” (Wawancara dengan Ibu Irma Mulyasari, Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia, pukul 13.10 WIB, Dinas Sosial Provinsi Banten)

Penanganan pekerja anak ini permasalahan utamanya salah satunya adalah anak-anak mulai kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan, padahal sebenarnya pemerintah Kota Serang juga telah menyediakan program sekolah gratis. Itu sebabnya tindakan dan respon Disnakertans tidak cukup hanya menarik mereka dari dunia kerja, tapi juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk mengembalikan mereka kembali dalam dunia pendidikan formal maupun informal. Adapun tindakan Dinas Pendidikan dalam menangani pekerja anak di Kota Serang sejauh ini adalah seperti apa yang dikemukakan oleh I3-4:

“Di Dinas Pendidikan juga sudah ada aturan bahwa anak-anak wajib

untuk bersekolah sesuai dengan umurnya. Misalnya anak 12 tahun diwajibkan untuk bersekolah. Jika ada anak yang tidak bersekolah maka sekolah wajib menegur pihak orang tua siswa, atau Dinas Pendidikan yang pada akhirnya memberi teguran ke sekolah tersebut karena memang sekolah berada di bawah naungan Dinas Pendidikan. Ketika tetap tidak bisa, maka akan dialihkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi untuk ditangani lebih lanjut, dan jika masih bermasalah maka anak diberi