SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa Timur
Oleh :
ARDAN UDIKA OKTAVA NPM. 0771010022
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
Oleh :
ARDAN UDIKA OKTAVA NPM. 0771010022
Telah diper tahankan dihadapan dan diter ima oleh Tim Penguji Skr ipsi Pr ogr am Studi Ilmu Hukum Fa kultas Hukum
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur Pada tanggal 5 J uni 2013
PEMBIMBING TIM PENGUJ I
1.
MAS ANIENDA TIEN, SH., MH SUTRISNO, SH., M.Hum NPT. 3 7709 07 0223 NIP. 19601212 198803 1 001
2.
FAUZUL ALIWARMAN, SHI., M.Hum NPT. 2 8202 07 40221
3.
MAS ANIENDA TIEN, SH., MH NPT. 3 7709 07 0223
Mengetahui, DEKAN
ii
Disusun oleh :
ARDAN UDIKA OKTAVA 0771010022
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skr ipsi
Menyetujui,
Pembimbing
MAS ANIENDA T.F, SH, MH NPT. 3 7709 07 0223
Mengetahui,
DEKAN
v
Nama : Ardan Udika Oktava
Tempat /Tgl. Lahir : Surabaya, 22 Oktober 1989
NPM : 0771010022
Kosentrasi : Hukum Pidana
Alamat : Dukuh Pakis V Tengah, Surabaya
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : “Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anggota TNI” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarja Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pebangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).
Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat), maka saya bersedia dituntut di depan pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.
Mengetahui, Surabaya, Juni 2013
PEMBIMBING PENULIS
telah melimpah rahmat dan karenanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Disini penyusun mengambil judul PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TNI
Penulisan skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan sesuai dengan
kurikulum yang ada di Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur. penulisan ini
juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menambah wawasan serta untuk
menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima dengan keadaan
sebenarnya di lapangan. Di samping itu juga diharapkan dapat memberikan bekal
tentang hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmunya sebelum mengadakan
penelitian guna penulisan skripsi.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penyusun mengucapkan
banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, SH. MM., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Sutrisno, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
berkenan meluangkan waktu ditengah kesibukan yang begitu padat untuk
memberikan pebgarahan, bimbingan, koreksi dan saran yang bermanfaat bagi
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Yang telah berkenan memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar dengan fasilitas yang ada.
6. Bapak Kapten Dedi Wigandi SH. S.Sos dan seluruh Staff Kantor Pengadilan
Militer III-12 Surabaya yang telah membantu membimbing dan
menyelesaikan penulisan skripsi.
7. Kepada Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional ”Veteran” Surabaya Jawa Timur yang telah memberikan bekal ilmu
dan pengetahuan yang bermanfaat kepada penulis selama perkuliahan.
8. Kepala Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
”Veteran” Surabaya Jawa Timur beserta staff untuk segala bantuan
administrasinya dan Koordinator Perpustakaan yang telah memberikan
pelayanan atas peminjaman buku-buku.
9. Orang tua, Keluarga serta Rizky yang telah memberikan doa dan
dukungannya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum khususnya Harik, Rezky, Joshua,
sempurna oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penulis
harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi semua pihak.
Surabaya, Juni 2013
HALAMAN PERSETUJ UAN UJ IAN SKRIPSI. ... ... ii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... .. iii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN REVISI SKRIPSI. ... .. iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENULIS SKRIPSI ... ..v
KATA PENGANTAR ... . vi
DAFTAR ISI ... .. ix
DAFTAR LAMPIRAN ... . xii
ABSTRAKSI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... ... 1
1.1. Latar Belakang ... ... 1
1.2. Rumusan Masalah... ... .. .4
1.3. Tujuan Penelitian... ... .. .5
1.4. Manfaat Penelitian.. ... .. 5
1.5. Kajian Pustaka ... ... 6
1.5.1 Pengertian Nakotika.... ... ... 6
1.5.2 Jenis-jenis Narkotika.... ... ... 7
1.5.3 Pengertian Psikotropika... ... ... 8
1.5.4 Jenis-jenis Psikotropika.. ... ... 9
1.5.5 Penyalahgunaan Narkotika.. ... . 10
1.7. Metode Penelitian... . 22
1.7.1 Jenis Penelitian ... . 22
1.7.2 Data ... . 23
1.7.3 Pengumpulan Bahan atau Data... . 25
1.7.4 Metode Analisis Data... . 26
1.7.5 Sistematika Penulisan ... . 26
BAB II KEWENANGAN PENGADILAN MILITER DALAM MENYIDANGKAJ N PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA MILITER... . 28
2.1. Kewenangan Kekuasaan Pengadilan Militer di Tinjau Menurut Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan KUHPM ... . 28
2.2. Mekanisme Pemeriksaan Perkara Pidana Penyalahgunaan Narkotika oleh Anggota TNI ... . 33
2.2.1 Kasus Posisi ... . 33
2.2.2 Proses Penanganan Perkara ... . 34
2.2.3 Penyerahan Perkara ... . 39
2.2.4 Upaya Hukum ... . 46
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN MILITER DALAM PROSES PENJ ATUHAN PUTUSAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI ANGGOTA TNI ... . 48
4.2. Saran ... . 63 DAFTAR PUSTAKA
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 1989 Program Studi : Strata 1 ( S1 ) Judul Skripsi :
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TNI
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Kewenangan Kekuasaan Pengadilan Militer ditinjau menurut Kitab Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman dan KUHPM dan Kitab Undang-Undang Hukum Militer ditujukan untuk para anggota militer yang memang melakukan pelanggaran-pelanggaran yang secara khusus hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum militer yang salah satunya adalah anggota militer. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dan analisa data yang menggunakan analisa secara kualitatif normatif. Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai kompetensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seorang yang berstatus sebagai anggota militer atau yang dipersamakan dengan itu. Didalam penetapan putusan Nomor : 55 – K / PM.III – 12 / AL / II / 2012, dapat dilihat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Militer dalam penjatuhan putusan terhadap kasus Penyalahgunaan Narkotika oleh Anggota TNI tersebut sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana “Secara Tanpa hak memiliki Narkotika Golongan 1 bukan Tanaman”. Didalam putusan Nomor : 55 – K / PM.III – 12 / AL / II / 2012 tersebut bahwa Majelis Hakim menimbang dari fakta-fakta di persidangan dan unsur-unsur tindak pidana Narkotika termasuk hal-hal yang meringankan maupun memberatkan terdakwa serta menimbang dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer, maka berdasarkan pertimbangan dan musyawarah Hakim secara tertutup, maka diputuskan untuk menjerat terdakwa dengan pasal 112 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Pasal 26 KUHPM.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Hukum Militer merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari
sistem Hukum Nasional yang sekaligus juga merupakan subsistem dari ketentuan
yang mengatur tentang Pertahanan Keamanan Negara. Dengan demikian sistem
asas-asas pokok hukum militer harus berpangkal tolak dari tugas militer dan dari
sistem serta asas-asas pokok Hukum Nasional, disisi lain hukum militer
berkewajiban menjamin terselenggaranya tugas-tugas militer tersebut dengan baik
dan benar.
Hukum Militer sebagai subsistem dari sistem Pertahanan Keamanan
Negara perlu mengatur secara tegas mengenai oprasionalisasi dari tatanan
kehidupan Bela Negara yang melahirkan Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta.Tatanan kehidupan bela negara mencakup penyelenggaraan seluruh daya
kemampuan bangsa dan harus disusun, diarahkan serta dikerahkan secara terpadu
dan terkendali baik mengenai tenaga manusia, fasilitas, peralatan maupun jasa
dan ruang wilayah.
Arah pengembangan Hukum Militer menuju pada terciptanya
keserasian antara penyelenggaraan kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan
menjamin eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertujuan
membangun manusia seutuhnya1.
Banyaknya kasus Pidana yang terjadi pada seorang militer merupakan
suatu tugas untuk para penegak hukum agar penegakan hukum di bidang Hukum
Militer semakin dimaksimalkan.Karena dirasa seorang militer adalah alat
pertahanan negara, dimana militer yang seharusnya menjaga ketentraman dan
keamanan negara berdasarkan dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia, malah berbuat suatu tindakan yang
bertentangan dengan hukum.
Kasus-kasus yang menimpa pada seorang militer yang melakukan
sebuah tindak pidana, baik secara umum maupun khusus dibedakan secara
khusus di lingkup peradilannya.Karena Hukum Militer itu sendiri merupakan
salah satu daripada hukum khusus, maka sistem peradilannya juga secara
khusus.Kasus-kasus yang menjerat seorang militer sebagai subjek hukum pidana
tersebut disidangkan dan diadili secara khusus di Pengadilan Militer.
Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian dari masyarakat umum
yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas dan pembelaan
negara.Selain itu TNI dibatasi oleh undang-undang dan peraturan militer
sehingga semua perbuatan yang dijalani harus berdasarkan pada landasan
1 Suhadi, PembahasanPerkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Militer dan
Bela Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela Negara, Jakarta,
undang-undang dan peraturan yang berlaku.Untuk dapat melaksanakan tugas dan
kewajiban yang amat berat dan khusus maka TNI dididik dan dilatih untuk
mematuhi perintah-perintah atau putusan dan melaksanakannya dengan tepat dan
berdaya guna.
Dengan semakin tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat maka
seluruh prajurit TNI harus semakin berhati-hati dalam bertindak agar tidak
melakukan perbuatan yang dapat melanggar norma hukum yang berlaku.
Penyelesaiannya dalam ruang lingkup peradilan militer hampir sama dengan
peradilan umum hanya saja aparat yang berwenang untuk menyelesaikan perkara
berbeda dengan peradilan umum.
Maka dari itu Kitab Undang-Undang Hukum Militer ditujukan untuk
para anggota militer yang memang melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
secara khusus hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum militer yang salah
satunya adalah anggota militer.
Beberapa kasus yang terjadi pada anggota militer salah satunya adalah
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota TNI-AL yang
berpangkat Sertu. Ketika itu, ia tertangkap oleh anggota polisi dan Intel
Lantanmal V di suatu loby hotel di Surabaya dengan membawa sabu lengkap
dengan peralatannya.
Setelah melalui persidangan yang dilakukan di pengadilan militer tinggi,
memberatkan keputusan majelis Hakim yang sebenarnya menurut penasehat
hukum tedakwa, terdakwa tidak mengkonsumsi sabu tersebut melainkan hanya
membantu teman terdakwa untuk membeli sabu tersebut namun akan tetapi
semua permohonan banding yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa tidak
dapat dikabulkan dan harus ditolak oleh Majelis Hakim Tingkat Banding karena
keberatan – keberatan yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa tidak
sesuai dengan bukti – bukti yang berupa urine dan sabu beserta perlengkapannya
sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 112 ayat (1)
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maka pada
akhirnya hakim menjatuhi terdakwa tersebut dengan hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun dan dijatuhi hukuman berupa pemecatan dari dinas militer karena
dirasa terdakwa adalah seorang anggota militer.
Jadi, sebagaimana pemberitaan yang ada, anggota militer tersebut akan
menjalani harinya dibalik jeruji besi sampai dengan eksekusi putusan tersebut
kepadanya.
1.2Rumusa n masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik permasalahan–permasalahan
yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Militer dalam menyidangkan Perkara
2. Bagaimana pertimbangan hukum Pengadilan Militer dalam proses Penjatuhan
Putusan Pidana Penyalahgunaan Narkotika bagi anggota TNI ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Militer dalam menyidangkan
Perkara Penyalahgunaan Narkotika oleh anggota TNI?
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Pengadilan Militer dalam proses
Penjatuhan Putusan Pidana Penyalahgunaan Narkotika bagi anggota TNI ?
1.4 Ma nfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya mengembangkan
ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana
pada khususnya mengenai hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan
narkotika bagi anggota TNI.
2. Manfaat Praktis
Penulis pada dasarnya dapat memberikan masukan bagi pihak – pihak
yang terkait, untukdapat dijadikan sebagai bahan danpertimbangan bagi
Pengadilan Militer Surabaya dalam usahanya memberikan perlindungan
1.5 Ka jian Pustaka
1.5.1 Penger tian Nar kotika
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.2
Dari pengertian narkotika tersebut hal yang sama dengan
psikotropika adalah bentuknya sama – sama berupa zat atau obat yang
alamiah maupun sintesis. Perbedaannya pada narkotika ada yang berasal
dari tanaman, sedangkan dalam pengertian psikotropika tidak disebutkan
demikian.
Pada psikotropika pengaruhnya tertuju kepada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental pelaku.
Sedangkan pada narkotika dalam pengertiannya tidak menguraikan
pengaruh seperti itu, akan tetapi langsung memberikan hubungan
kausalitas, bahwa narkotika dapat menyebabkan penurunan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri. Baik
narkotika maupun psikotropika sama – sama menimbulkan
ketergantungan.3
1.5.2 J enis – J enis Nar kotika
Jenis-Jenis Narkotika menurut Undang-Undang RI No. 35 Th.
2009 ialah sebagai berikut :
1. Nar kotika Golongan I
Yaitu jenis narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
keterrgantungan, contohnya seperti Papaversomniferum, Opium,
Kokain, Ganja, Tetrahydrocannabinol.4
2. Nar kotika Golongan II
Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketegantungan, contohnya sepeti Morfina,
Normorfina, Petidina, Rasemorfan, Tilidina.5
3
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta : Jambatan, 2007 Hal.159 4UU RI No 35 TH 2009 Tentang Narkotika hal.103
3. Nar kotika Golongan III
Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan seta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan, contohnya seperti Etilmorfina, Kodeina, Nikokodina,
Polkodina, Propiram.6
1.5.3 Penger tian Psikotr opika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental pelaku.7
Pengertian tersebut menekankan adanya pembatasan ruang
lingkup psikotropika yang dipersempit, yaitu zat dan obat yang bukan
narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup
narkotika. Karena apabila tidak dibatasi demikian, nantinya akan
mengalami kesulitan untuk membedakan mana zat atau obat yang
tergolong narkotika.
Obat – obatan sebagaimana dimaksud memiliki kasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, dan mempunyai
hubungan kausalitas pada aktivitas mental dan perilaku
6Ibid., hal 113.
penggunanya.Mental dan perilaku pengguna menunjukkan adanya
perubahan yang khas dibandingkan yang bersangkutan mengkonsumsi
psikotropika.8
1.5.4 J enis – J enis Psikotr opika
Jenis – JenisPsikotropika menurut Undang-Undang RI No. 5 Th.
1997ialah sebagai berikut :
1. Psikotr oika Golongan I
Yaitu jenis psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan
contohnya, MDMA ( Ectacy ), Psilotsin, Psilosina, LSD, Mesvaline.9
2. Psikotr opika Golongan II
Yaitu kelompok Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan
seperti, Amfetamina, Deksamfetamina, Metakualon, Sekobarbital
Ziperpol.10
8
Gatot Supramono, op.cit., hal 17.
9. UU RI No.55 TH 1997Tentang Psikotropika,.
3. Psikotr opika Golongan III
Yaitu kelompok psikotropika yang bekhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan srta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan
seperti, Amobarbital, Flumitrazepam, Katina, Pentazosina,
Pentobarbital, 11
4. Psikotr opika Golongan IV
Yaitu kelompok jenis psikotropika yang mempunyai daya
menimbulkan ketergantungan yang tinggi, digunakan luas dan untuk
ilmu pengetahuan. Seperti, Diazepam, Barbital, Klobazam, Estazolam,
Nitrazepam.12
1.5.5Penyalahgunaan Nar kotika
Penyalahguanaan Narkotika adalah orang menggunakan
Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.13Pada masyarakat dewasa ini
sudah banyak yang mengerti bahaya dari Narkotika dan Psikotropika, tetapi
masih banyak orang menyalahgunakannya.
Faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan Narkotika dan
Psikotropika yaitu untuk membuktikan keberanian seseorang dalam
melakukan perbuatan yang sangat berbahaya, atau untuk menumbuhkan
11Ibid., hal 166. 12Ibid., hal 167.
rasa percaya diri, mendapatkan pengalaman – pengalaman secara
emosional, menghilangkan rasa frustasi atau sekedar ingin tahu,
melepaskan diri dari rasa kesepian, dan masih banyak lagi.
1.5.6 Penger tian Militer
Kata militer berasal dari “miles” dari bahasa Yunani yang berarti
seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan
pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan
keamanan suatu negara. Dalam perundang-undangan kita dibedakan
menjadi dua macam militer, yaitu: militer sukarela dan militer wajib. Akan
tetapi selain daripada itu di dalam keadaan perang sesuai dengan ketentuan
hukum perang dibuka kebolehan bagi rakyat untuk turut angkat senjata,
asal saja memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.Mereka ini dapat
disebut sebagai sukarelawan lainnya.
a.Militer Sukarela (Milsuk)
Seseorang berstatus militer setelah ia menandatangani surat ikatan dinas untuk waktu tertentu. Masa pendidikan pertama tidak termasuk.Sejak penandatangan itu berlaku baginya hukum militer.
b.Militer Wajib (Milwa) dan militer wajib darurat
Seseorang yang berstatus militer (dalam dinas) sejak mulai hari laporan datang yang ditentukan oleh komandan kesatuan.
c.Sukarelawan lainnya
d.Militer Sukarela dilarang melakukan jabatan, diberhentian sementara dari jabatan atau dinyatakan non aktif dari jabatan.
Menurut Pasal 15 sampai dengan 22 jo. Ps.25 Perpem no 37 Th. 1959 LN. No. 59 Th. 1959, (Peraturan tentang kepangkatan dalam jabatan Militer Sukarela), terhadap seseorang militer sukarela dalam keadaan:
1) Dikarenakan larangan melakukan jabatan (untuk kepentingan dinas dan/atau disiplin),
2) Pemberhentian sementara (karena melakukan perbuatan yang merugikan atau dapat merugikan angkatan perang, ia berada dalam penahanan justisial, ia menjalani pidana perampasan kemerdekaan) atau;
3) Pernyataan non aktif dari jabatan (menerima pencalonan untuk anggota DPR/MPR/Konstituante, mendapat tugas belajar, akan dikembalikan ke masyarakat/masa persiapan pensiun), masih tetap berada dalam hubungan organik dan administratif Angkatan Perang dan baginya tetap berlaku hukum pidana dan disiplin militer dan ia tetap dalam juridiksi peradilan militer14.
Walaupun sebagai warga Negara RI, tentara bukan merupakan
kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai anggota
masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan
Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka
diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih disiplin dalam
organisasinya. Sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk
mencapai tujuan tugasnya yang pokok.
Pengertian tentara secara formilnya menurut Undang-undang
dapat ditemukan dalam pasal 46, 47, dan 49 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Tentara/ Militer (S. 1934-164 yang telah dirubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947):
Pasal 46 ayat (1) yang dimaksud dengan tentara adalah:
1. Ke.1. mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan
Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus
dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut.
2. Ke.2. Semua Sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para
militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas,
demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya
dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk
masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang
dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139 KUHPT.
Pasal 47 : Barangsiapa yang kenyataannya bekerja pada Angkatan
Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer,, apabila dapat
diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan
dalam pasal di atas.
Pasal 49 ayat (1) termasuk pula sebagai anggota Angkatan Perang.
1. Ke.1. para bekas tentara yang dipekerjakan untuk dinas
ketentaraan.
2. Ke.2. komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang
berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu
3. Ke.3. para perwira pensiunan, para anggota suatu pengadilan
tentara (luar biasa) yang berpakaian dinas demikian itu.
4. Ke.4. mereka yang memakai pangkat militer titular baik oleh atau
bedasarkan undang-undang atau dalam waktu keadaan bahaya
diberikan oleh atau bedasarkan peraturan Dewan Pertahanan,
selama dan sebegitu jauh mereka dalam menjalankan tugas
kewajibannya, berdasarkan mana mereka memperoleh pangkat
militer titular tersebut.
Di dalam Pasal 45 KUHPM, menyebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan Angkatan Perang adalah:
1. Angkatan Darat dan Militer wajib yang termasuk dalam
lingkungannya terhitung juga personil cadangan (nasional)
2. Angkatan laut dan militer wajib yang termasuk dalam
lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)
3. Angkatan udara dan militer wajib termasuk dalam lingkungannya,
terhitung juga personil cadangannya (nasional)
4. Dalam waktu perang mereka yang dipanggil menurut
undang-undang untuk turut serta melaksanakan pertahanan atau
Angkatan perang merupakan wadah bagi orang-orang yang
ditugaskan untuk berperang, maka Pasal 46 dan 47 merupakan penegasan
siapa-siapa orangnya yang termasuk di dalam wadah tersebut.
1.6 Pidana Militer
Pidana militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum pidana
militer dalam arti materiil dan hukum pidana militer dalam arti formil.
Hukum Pidana Materiil merupakan kumpulan peraturan tindak pidana
yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan ketertiban hukum dan
apabila perintah dan larangan itu tidak ditaati maka diancam hukuman pidana.15
a. Tindak Pidana Militer/Khusus
Tindak pidana Militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh
subjek militer, yang terdiri dari:
(1) Tindak Pidana Militer Murni (Zuiver Militare Delict):
Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang
hanya dilakukan oleh seorang Militer, karena sifatnya khusus untuk
militer16
Contoh:
a. Tindak Pidana Disersi yang tertera pada pasal 87
KUHPM
15Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal 26
b. Tindak pidana insubordinasi pada Pasal 105-109
KUHPM
c. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan Pasal 118
KUHPM.
(2) Tindak Pidana Militer Campuran (Gemengde Militerire
Delict)
Tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan yang dilarang, yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, sedangkan ancaman hukumnya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena itu diatur lagi dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, disesuaikan dengan keadaan yang khas militer17
Jadi, walaupun di dalam KUHP sebagaimana diatur di dalam
pasal 52 KUHP tentang pemberatan ancaman pidana, ancaman pidana
yang diatur dalam KUHP tersebut masih dirasakan belum memenuhi
rasa keadilan bagi seorang anggota militer yang memang terjerat
dengan sebuah kasus hukum.Oleh karena itu maka Hukum Pidana
Militer disebut Hukum Pidana Khusus.Pengertian khusus itu adalah
ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi anggota militer saja dan
dalam keadaan tertentu pula.
b. Hakekat Pidana Bagi Militer
Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan
suatu tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau
pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer
setelah selesai menjalani pidana. Seseorang militer (eks narapidana) yang
akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan
berguna baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil “tindakan
pendidikan” yang ia terima selama dalam rumah penjara militer (rumah
rehabilitasi militer). Seandainya tidak demikian halnya, maka pemidanaan itu
tiada mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat
militer.Hal seperti ini perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk
menentukan perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap
terpidana di samping dasar-dasar lainnya, yang sudah ditentukan. Jika
terpidana adalah seorang non-militer, maka hakekatnya dan pelaksanaan
pidananya sama dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)18.
c. Hukum Disiplin Militer
Angkatan Perang Republik Indonesia yang Sapta Marga dan
ber-Sumpah Prajurit sebagai Bhayangkari negara dan bangsa, dalam bidang
pertahanan keamanan negara adalah penindak dan penyanggah awal,
pengaman, pengawal, penyelamat bangsa dan negara, serta sebagai kader,
pelopor dan pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan
negara dalam menghadapi setiap bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan (AGHT) musuh atau lawan dari manapun datangnya.
Dengan menghayati dan meresapi nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit, setiap Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia memiliki
sendi-sendi yang kukuh, kode etik dalam pergaulan, kode kehormatan dalam
perjuangan, kode moral dalam perilaku dan pengamala, serta sistem nilai
dalam tata kehidupan yang mantap.
Disiplin prajurit pada hakikatnya merupakan:
a. Suatu ketaatan yang dilandasi oleh kesadaran lahir dan batin atas pengabdian pada nusa dan bangsa serta merupakan perwujudan pengendalian diri untuk melanggar perintah kedinasan dan tata kehidupan prajurit.
b. Sikap mental setiap prajurit yang bermuara pada terjaminnya kesatuan pola pikir, pola sikap dan pola tindak sebgai perwujudan nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Oleh karena itu disiplin prajurit menjadi syarat mutlak dalam kehidupan prajurit militer Indonesia dan diwujudkan dalam penyerahan seluruh jiwa raga dalam menjalankan tugasnya berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kesadaran pengabdian bagi nusa dan bangsa19
Disiplin secara umum pada tingkat tertentu pada dasarnya memiliki
sikap ketergantungan pada kuasa orang lain atau peraturan
perundang-undangan, sehingga diperlukan alat kekuasaan untuk memaksakan ketaatan
berupa peranti pengendalian sosial dalam tata kehidupan yang berwujud
undang-undang disiplin. Namun pada tingkat ini ketaatan yang dipaksakan itu
ditransformasikan menjadi tanggung jawab sosial.
19
Disiplin prajurit mutlak harus ditegakkan demi tumbuh dan
berkembangnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam mengemban
dan mengamalkan tugas yang dipercayakan oleh bangsa dan negara
kepadanya.Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap prajurit untuk
mengakkan disiplin.
Jadi disiplin adalah pernyataan keluar (outward manifestation)
daripada sikap mental (mental houding) seseorang. Pernyataan keluar
merupakan ketaatan mutlak lahir dan batin tanpa terpaksa dengan ikhlas serta
penuh tanggung jawab, yang datang dari hati seseorang merupakan pula
persesuaian antara tingkah laku yang dikehendaki oleh hukum (dalam arti
luas) dengan tingkah laku yang sebenarnya nampak dimana pribadinya
mempunyai keyakinan batin bahwasanya kelakuan itu seharusnya memang
terjadi.
Disiplin bukan merupakan persoalan yang dimonopoli suatu golongan
atau instansi, bukan persoalan khusus perwira, bintara atau tamtama saja,
melainkan merupakan persoalan dari setiap pribadi.
Didalam kehidupan ketentaraan / militer adalah syarat mutlak:
a. Menepati semua peraturan-peraturan tentara dan semua perintah
kedinasan dari tiap atasan juga mengenai hal-hal yang kecil-kecil
tertib, tepat, sempurna dan kesadaran tinggi
1.6.1 Aturan Huk um dan Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Nar kotika oleh Anggota TNI
Agar memiliki efek jera pada pelakunya dan memperingatkan
masyarakat untuk tidak melakukan hal yang sama, maka perlu diterapkan
dan diberlakukan ancaman hukuman dan ketentuan atau aturan hukum bagi
pengguna serta pengedar narkoba dan ketentuan pidananya diatur dalam
UU RI No. 35 Th 2009 tentang narkotika BAB XV, Ketentuan Pidana,
Pasal 127 yaitu :
1. Setiap Penyalahgunaan :
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 4 tahun.
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 2 tahun.
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 1 tahun.20
Khususnya bagi anggota TNI maka menurut Kitab Undang –
Undang Hukum Militer (KUHPM) ada pidana tambahan yaitu pemecatan
dari dinas Militer.
1.6.2 Pencegahan Ter hadap Penyalahgunaan Nar kotika
Persoalan di dalam Negara dahulu itu tidaklah seruwet dan
berbelit-belit seperti sekarang ini, lagi pula jumlah warga Negaranya masih
sedikit21 maka, upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap
20. UU RI No.35 TH 2009 Pasal 127 Tentang Narkotika
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba perlu dilakukan secara
komperhensif dan multidimensional, dengan melibatkan berbagai pihak
terkait, baik aparat penegak hukum maupun masyarakat.22
1.6.3 Per bedaan Pengadilan Militer Dengan Pengadilan Tinggi Militer
Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan
peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas
untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang
terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat kapten kebawah. Nama,
tempat kedudukan, dan daerah hukum Pengadilan Militer ditetapkan
melalui Keputusan Panglima. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat
bersidang diluar tempat kedudukannya bahkan diluar daerah hukumnya
atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pengadilan Tinggi Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan
peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas
untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang
terdakwanya adalah perajurit yang berpangkat Mayor ke atas, selain itu
Pengadilan Tinggi Militer juga memeriksa dan memutus pada tingkat
banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding. Pengadilan Tinggi Militer
juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
22
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 J enis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan pendekatan masalah yaitu
pendekatan yuridis normatif, sehingga penulis menggunakan pendekatan
kasus atau studi kasus dan disertai dengan peraturan perundang-undangan.
Metode penelitian normatif ini dilakukan dengan cara menarik asas
hukum yang ada pada hukum positif tertulis. Selain itu dilakukan penelitian
terhadap pengertian dasar sistematik hukum mengenai peristiwa hukum
atau hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat dikaitkan dengan
Undang-Undang yang berlaku untuk peristiwa hukum tersebut.Kemudian
dilakukan taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan bahan-bahan kepustakaan untuk mencari informasi dan membuat
kesimpulan dan permasalahan yang diteliti23.
Berbeda dengan penelitian sosial, pendekatan kasus dalam
penelitian bertujuan untuk mempelajari penerapan norma – norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai
kasus – kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara – perkara yang menjadi fokus
penelitian.Jelas kasus – kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun
dalam suatu penelitian normatif, kasus – kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya
untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.24
Pendekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan aturan dan teori
yang berkaitan dengan kasus tindak pidana Narkotika,Psikotropika yang
diatur sesuai dengan UU RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika serta
dilengkapi dengan UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
1.7.2Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder.
Adapun penjelasan mengenai sumber data sekunder adalah sebagai beikut :
1.7.2.1 Data sekunder
Data yang diperoleh melalui studi literatur dan studi
kepustakaan. Dalam penelitian ini, maka penulis hanya
menggunakan sumber data sekunder melalui bahan hukum, bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :
24
1. Bahan Hukum Primer
“Bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat
seperti norma dasar, peraturan perundang-undangan atau
putusan pengadilan yang bersifat tetap dan mengikat
(yurisprudensi) “25
Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
a. Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika
b. Undang-undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika
c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
d. KUHP Militer
2. Bahan Hukum Sekunder
“Bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai
bahan hukum primer”.26, bahan hukum sekunder yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
mempergunakan berbagai referensi yang dihasilkan oleh
pakar-pakar dalam bidang pidana dan uraian yang di
ungkapkan oleh pakar tersebut dianggap relevan dengan
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Bahan Hukum Tersier
“Bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai
bahan hukum primer mapun sekunder”.27, bahan hukum
tersier yang digunakan adalah Kamus Bahasa Indonesia,
Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, buku.
1.7.3 Pengumpulan Bahan atau Data
Bahan – bahan hukum yang diperoleh, merupakan bahan – bahan
hukum yang dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu menganalisis hasil
penelitian kepustakaan yang terkumpul dan dituangkan dalam bentuk
uraian logis dan sistematis, untuk memperoleh kejelasan penyelesaian
masalah. Adapun prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang
dilakukan adalah dengan menggunakan studi pustaka dari sumber utama
bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan mengumpulkan bahan hukum sekunder berupa buku, koran, serta
bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang terkait dalam materi atau
permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini, serta observasi yang
merupakan langkah penelitian guna mencari jawaban dari penelitian
tersebut dimana observasi dalam penelitian ini dilakukan di Pengadilan
Militer III-12 Surabaya.
27
Selanjutnya dari masalah tersebut diolah dengan metode deduktif,
yaitu menganalisa masalah yang bersifat umum kemudian disimpulkan
sesuai dengan permasalahan yang ada. Dengan demikian dapat dijadikan
landasan untuk menarik kesimpulan dan saran-saran.
1.7.4 Metode Analisis Data
Setelah bahan kajian masalah yang dibutuhkan terkumpul, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisis dengan jalan mengaitkan masalah
yang diperoleh dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga
didapatkan suatu bahan kajian masalah dengan metode deduktif.
Metode deduktif adalah pola berpikir yang berawal dari
fakta-fakta yang bersifat umum kemudian dibahas berdasarkan hukum secara
khusus dalam teori dan prakteknya untuk diteliti sehingga analisis tersebut
dapat dilaporkan dan disusun dalam bentuk skripsi.
1.7.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan berguna untuk membantu dalam
mengartikan isi dari penulisan skripsi tersebut. Dimana dalam sistematika
penulisan tersebut terdiri dari empat Bab, yaitu :
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, bab ini terdiri dari
beberapa sub-bab yang dimulai dengan Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan
Bab kedua, bab ini mengulas dari rumusan masalah pertama yang
menguraikan tentang bagaimana kewenangan pengadilan militer dalam
menyidangkan perkara penyalahgunaan narkotika oleh anggota TNI. Sub
bab yang pertama yaitu kewenangan kekuasaan pengadilan militer ditinjau
menurut undang – undang kehakiman dan KUHPM, sub bab yang kedua
yaitu mekanisme pemeriksaan perkara pidana penyalahgunaan narkotika
oleh anggota TNI menurut KUHPM.
Bab ketiga, bab ini mengurai tentang bagaimana pertimbangan
hukum Pengadilan Militer dalam proses Penjatuhan Pidana
Penyalahgunaan Narkotika bagi anggota TNI. Sub babnya terdiri dari
Pertimbangan Hakim dan Analisis Pelaksanaan Putusan.
Bab keempat, bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran, yang
menyimpulkan semua permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi
tersebut, dan juga berisi rekomendasi yang telah dipaparkan dalam bentuk
2.1 Kewenangan Kekuasaan Pengadilan Militer ditinjau menur ut Kitab Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman dan KUHPM
Kitab Undang-Undang Hukum Militer ditujukan untuk para anggota
militer yang memang melakukan pelanggaran-pelanggaran yang secara khusus
hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum militer yang salah satunya adalah
anggota militer.
Pengadilan Militer berwenang menjatuhi pidana berdasarkan Pasal 6
KUHPM, yaitu :
Pidana – Pidana yang ditentukan dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana Militer adalah :
a. Pidana – Pidana Utama : Ke-1 pidana mati ; Ke-2 pidana penjara ; Ke-3 pidana kurungan ;
Ke-4 pidana tutupan (Undang – undang No. 20 Tahun 1946).
b. Pidana – Pidana Tambahan :
Ke-1 pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata ;
Ke-2 penurunan pangkat ;
Ke-3 pencabutan hak – hak yang disebutkan pada pasal 35 ayat pertama pada nomor – nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang – undang Hukum Pidana.
Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seorang yang berstatus sebagai anggota
militer atau yang dipersamakan dengan itu.
Berdasarkan Pasal 12 undang-undang nomor 31 tahun 1997,
kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer dilakukan oleh :
a. Pengadilan Militer
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang no. 31 tahun 1997 pasal
40 tentang peradilan militer, bahwa kekuasaan pengadilan militer yaitu:
Pengadilan militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara
pidana yang terdakwanya adalah:
I. Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah
II. Mereka yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk dalam tingkat kepangkatan kapten ke bawah
III. Mereka berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh pengadilan militer
Jadi, sesuai dengan ketetapan undang-undang di pasal tersebut maka
jika seorang tersangka tersebut adalah prajurit militer yang berpangkat kapten
ke bawah, maka mereka akan disidangkan di pengadilan militer. Dan hakim
ketua yang memiliki wewenang di pengadilan militer tersebut adalah hakim
yang memiliki pangkat paling rendah Mayor dan hakim anggota atau oditur
militer paling rendah berpangkat Kapten.
b. Pengadilan Militer Tinggi
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang no. 31 tahun 1997 Pasal
Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama:
1)Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: • Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas
• Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Mayor ke atas
• Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi
2)Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding
3)Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Jadi, sesuai dengan ketetapan undang-undang tersebut yang tertera
pada Pasal 41, jika seorang tersangkanya adalah prajurit militer yang
berpangkat Mayor keatas maka prajurit tersebut akan disidangkan di pengadilan
militer tinggi. Dan selaku Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer
Tinggi tersebut adalah hakim yang memiliki pangkat paling rendah Kolonel,
sedangkan untuk Hakim anggota dan Oditur Militer Tinggi paling rendah
berpangkat Letnan Kolonel.
Jika seorang terdakwanya adalah seorang Kolonel maka tingkat
kepangkatan seorang Hakim Ketua, Hakim anggota maupun Oditur Militer
Tingginya juga harus paling rendah berpangkat setingkat dengan seorang
c. Pengadilan Militer Utama
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang no. 5 tahun 1997 pasal
42, 43 dan 44 tentang kekuasaan peradilan militer, bahwa kekuasaan
pengadilan militer utama yaitu:
1. Sesuai dengan Pasal 42 yang menyebutkan:
Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.
2. Sesuai dengan Pasal 43 yang menyebutkan:
1) Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan
b. Antar Pengadilan Militer Tinggi
c. Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer 2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:
a. Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama
b. Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara yang sama
3) Pengadilan Militer Utama memutus perberbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau lingkungan peradilan umum.
3. Sesuai dengan pasal 44 yang menyebutkan:
1) Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a. Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing
b. Tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya
2) Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran
4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
5) Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.
d. Pengadilan Militer Pertempuran
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Pasal
45 dan 46 Tentang kekuasaan peradilan militer, bahwa kekuasaan
pengadilan militer pertempuran yaitu:
1. Pasal 45 UU No. 31 Tahun 1997:
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang telah dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. 2. Pasal 46 UU No. 31 Tahun 1997:
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pertempuran dan berkedudukan serta berada di daerah pertempuran.
2.2 Mekanisme pemer iksaan per kara Pidana Penyalahgunaan Nar kotika oleh
Anggota TNI
2.2.1 Kasus Posisi
Berdasarkan pada Putusan Nomor
45-K/PMT.III/BDG/AL/VI/2012, perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota
militer yang bernama Eko Pramono dengan pangkat Sertu yang berdinas di
Lantamal V Surabaya, setidak-tidaknya pada suatu hari sekitar bulan mei
2011 saat terdakwa jaga di Pelabuhan Gresik terdakwa ditelepon oleh Sdri
Monik yaitu perempuan yang baru terdakwa kenal 2 (dua) minggu, didalam
pembicaraan melalui telepon tersebut, Terdakwa diajak oleh Sdri. Monik
mengusahakan/mencari sabu lengkap dengan peralatannya supaya nanti
kalau sudah di hotel tidak mondar-mandir lagi cari peralatannya.
Setidaknya pada siang hari terdakwa pergi ketempat nongkrong
Sdr. Slamet di Jl. PPI pasar Gresik untuk mencari sekaligus memesan Sabu
dan minta tolong disiapkan alat-alat perlengkapan untuk mengkonsumsi
Sabu, dan setelah terdakwa mendapatkan Sabu-sabu 2 (dua) poket plastik
kecil seharga Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan peralatannya lalu
terdakwa menghubungi Sri. Monik.
Selanjutnya pukul 13.00 Wib dengan menggunakan mobil
terdakwa berangkat dari Jl. PPI Pasar Gresik untuk menjemput Sdri. Monik
di depan Islamic Centre Jl. Dukuh Kupang Surabaya, setelah ketemu
terdakwa sepakat mengkonsumsi sabu di Hotel Pasar Besar Surabaya,
setelah sampai di hotel terdakwa turun dari mobil untuk memesan kamar,
sedangkan Sdri. Monik menunggu di mobil.
Setelah selesai memesan kamar terdakwa bermaksud kembali ke
mobil untuk menghampiri Sdri. Monik, sebelum sampai di mobil terdakwa
tiba-tiba dihampiri oleh 8 (delapan) orang berpakaian preman yang
mengaku dari Polisi dan mengamankan terdakwa, namun sempat terdakwa
debat dengan anggota polisi tersebut, setelah berdebat dengan Polisi
tersebut lalu akhirnya terdakwa mengaku kalau dari anggota TNI-AL maka
petugas Polisi tersebut menghubungi anggota Intel Lantamal V dan
Lantamal V datang dan langsung memeriksa dan melakukan proses
penyidikan terhadap terdakwa.
2.2.2 Pr oses Penanganan Per kar a
a. Pemeriksaan Perkara Pidana
Pada waktu terdakwa Eko Pramono berada di loby hotel setelah
memesan kamar dan berjalan menuju mobil terdakwa dihampiri oleh 8
(delapan) orang berpakaian preman yang mengaku dari Polisi dan
mengamankan terdakwa, karena terdakwa mengaku dari anggota
TNI-Angkatan Laut maka petugas Polisi tersebut menghubungi anggota Intel
Lantamal V dan anggota pomal Lantamal V.
Anggota Intel Lantamal V An. Lettu Eko (saksi-1) melakukan
pemeriksaan kepada terdakwa dan mengamankan 1 (satu) buah dompet
warna coklat yang berisi surat-surat dan uang sejumlah Rp. 200.000,00
(dua ratus ribu rupiah), 1 (satu) buah buku tabungan Bank Mandiri atas
nama Eko Pramono yang memiliki sisa saldo Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) dan 1 (satu) buah tas pinggang yang berisikan
seperangkat alat hisap sabu yang terdiri dari bong (botol warna putih
bening bertutup merah muda), sedotan warna putih 3 (tiga) buah, pipet
putih 1 (satu) buah, serbuk sabu warna putih 2 (dua) poket plastik kecil
warna putih, yang 1 (satu) poket isinya penuh, yang 1 (satu) poket isinya
setengah, 2 (dua) buah korek api gas warna kuning dan hijau, 1 (satu)
(sembilan) butir peluru gotri dan 1 (satu) butir peluru plastik warna
putih, dan 2 (dua) bungkus rokok gudang garam surya 12 yang 1 (satu)
bungkus sudah terbuka, 1 (satu) buah gunting kecil bergagang warna
hijau dan 1 (satu) unit mobil Xenia warna silver Nopol L-1796-NU.
b. Penyelidikan
Penyelidikan yang dilakukan oleh anggota polisi yang
bermaksud akan menangkap terdakwa, namun terdakwa mengaku dari
anggota TNI-AL maka petugas polisi tersebut menghubungi anggota
Intel Lantamal V dan anggota Pomal Lantamal V, lalu segeralah
anggota Intel Lantamal V dan anggota Pomal Lantamal V memeriksa
terdakwa dan mengupulkan barang bukti.
Berdasarkan pada pemeriksaan yang dilakukan oleh Anggota
Intel Lantamal V terdapat bukti-bukti yang kuat seperti seperangkat alat
hisap sabu yang terdiri dari bong (botol warna putih bening bertutup
merah muda), sedotan warna putih 3 (tiga) buah, pipet putih 1 (satu)
buah, serbuk sabu warna putih 2 (dua) poket plastik kecil warna putih,
yang 1 (satu) poket isinya penuh, yang 1 (satu) poket isinya setengah,
untuk kemudian dilanjutkan prosesnya ke pengadilan,
Penyelidik mempunyai wewenang sebagaimana diatur pada
• Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.
• Mencari keterangan dan barang bukti.
• Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri.
• Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
c. Penyidikan
Ditinjau dari pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997, penyidik terdiri
dari Atasan Yang Berhak Menghukum (dalam hal ini Komandan
Kesatuan tempat terdakwa dinas), Polisi Militer dan Oditur Militer.
Dari pemeriksaan saksi-saksi yang ada dan dari pengumpulan
barang bukti yang ditemukan, disimpulkan bahwa keterlibatan terdakwa
semakin menguat, maka penyidik segera mengamankan terdakwa ke
kantor Pomal Lantamal V untuk diperiksa, kemudian dibuatkan Berita
Acara Penyerahan orang atau tahanan.
Adapun tugas-tugas penyidik sesuai dengan Pasal 71 UU No.
31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, bahwa Penyidik dalam
melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau diduga sebagai
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya
suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana
Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian
Mencari keterangan dan barang bukti
Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan
memeriksa tanda pengenalnya
Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
surat-surat
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka ataupun saksi
Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
d. Penangkapan
Seorang penyidik berwenang melakukan penangkapan.
Penangkapan tersangka di luar tempat kedudukan Ankum yang
langsung membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di
tempat tersangka ditemukan atau ditangkap dengan berdasarkan
permintaan dari penyidik yang menangani perkaranya. Berdasarkan
dengan surat perintah. Dalam penyidikan, penyidik berhak untuk
membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui
kantor pos dan telekomunikasi, jawatan perusahaan atau jawatan
pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat
mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang No. 31
Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Setelah proses penyidikan selesai dan saksi-saksi maupun
barang bukti yang ditemukan dirasa cukup, maka pihak Dandenma
Lantamal V selaku Ankum menahan terdakwa selama 20 (dua puluh)
hari sejak tanggal 18 Mei 2011 sampai dengan tanggal 6 juni 2011
berdasarkan Keputusan Penahanan Sementara Nomor : Kep/08/V/2011
tanggal 18 Mei 2011.
2.2.3 Penyerahan Per kara
Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas
dasar Undang-undang mempunyai wewenang untuk menentukan suatu
perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan
kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Perwira menyerahkan perkara adalah Panglima, Kepala Staf
Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Udara dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perwira Penyerah Perkara dapat menunjuk komandan kepala
kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan
Komandan Komando Resor Militer untuk bertindak selaku Perwira
Penyerah Perkara. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 122 Ayat (2) UU. No.
31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang sesuai dengan
Pasal 123 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer:
a) Memerintahkan Penyidik untuk melakukan tindakan penyidikan
b)Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan
c) Memerintahkan dilakukannya upaya paksa
d)Memperpanjang penahanan
e) Menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang
penyelesaian suatu perkara
f) Menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili
g)Menentukan perkara untuk diselesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit
h)Menutup perkara untuk kepentingan hukum atau demi kepentingan
umum/militer
Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan
oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya yang sebagaimana diatur dalam
pasal 126 ayat (1) bahwa Perwira Penyerah Perkara mengeluarkan:
1)Surat Keputusan Penyerahan Perkara
2)Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit
3) Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
Ditinjau dari peran dan fungsi penegakan Hukum Militer,
komandan selaku Ankum adalah atasan yang oleh atas Undang-undang
diberikan kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap
prajurit TNI yang berada dibawah wewenang komandonya apabila prajurit
tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Jika dalam hal bentuk
pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka
komandan-komandan tertentu yang berkedudukan setingkat dengan Komandan Korem
dapat bertindak sebagai perwira penyerah perkara yang oleh
Undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah
mempertimbangkan saran dari oditur militer. Saran dari oditur militer
tersebut disampaikan kepada perwira penyerah perkara berdasarkan pada
berita acara pemeriksaan hasil penyidikan penyidik.
Terhadap putusan Nomor : 55 – K / PM.III – 12 / AL / II / 2012,
dalam perkara ini terdakwa ditahan oleh Dandenma Lantamal V selaku
Ankum selama 20 (dua puluh) hari sejak tanggal 18 Mei 2011 sampai
dengan tanggal 6 juni 2011 bedasarkan Keputusan Penahanan Sementara
sesuai Perpanjangan Penahanan dari Dan Lantamal V selaku Papera selama
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 7 juni 2011 sampai dengan tanggal 6 juli
2011 berdasarkan Keputusan Penahanan Nomor : Kep/30/VI/2011 tanggal
6 mei 2011 dan dibebaskan dari tahanan pada tanggal 7 juli 2011
berdasarkan Keputusan Pembebasan dari Tahanan Nomor : Kep/35/II/2011
tanggal 6 juli 2011 dari Dan Lantamal V selaku Papera
1)Penahanan
Didalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer /
Pengadilan Militer Tinggi, hakim ketua berwenang:
a. Apabila terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib
menetapkan apakah terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari
tahanan sementara
b. Guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk
menahan terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari.
c. Pemanggilan
Oditur melakukan surat panggilan kepada terdakwa dan saksi yang
memuat hari, tanggal, tempat sidang dan untuk kepentingan apa
mereka dipanggil. Surat panggilan tersebut harus sudah diterima oleh
terdakwa atau saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang
dimulai. Apabila yang bersangkutan sedang berada di luar negeri,
pemanggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia di
d. Pemeriksaan dan Pembuktian
Dalam pemeriksaan terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada
hari sidang yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah
terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika terdakwa dipanggil secara
tidak sah, maka Hakim Ketua berhak menunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari
sidang berikutnya. Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah
tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, maka Hakim
Ketua memerintahkan supaya terdakwa dihadirkan secara paksa pada
sidang berikutnya. Apabila terdakwa lebih dari satu orang dan tidak
semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap yang hadir dapat
dilangsungkan. Panitera mencatat laporan dari oditur mengenai
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4), kemudian
menyampaikannya kepada Hakim Ketua sesuai dengan ketentuan
Pasal 142 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Pemeriksaan Terdakwa:
Pemeriksaan terdakwa dimulai setelah semua saksi selesai
didengar keterangannya
Apabila dalam suatu perkara terdapat lebih dari seorang terdakwa
maka hakim ketua dapat mengaturnya menurut cara yang
Hakim ketua menanyakan kepada terdakwa segala hal yang
dipandang perlu untuk memperoleh kebenaran materiil
Setelah Hakim Ketua selesai mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
ia memberikan kesempatan kepada Hakim Anggota, Oditur
Penuntut Umum dan Penasehat Hukum secara berturut-turut untuk
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa
Hakim Ketua menjaga supaya tidak diajukannya pertanyaan yang
tidak dibenarkan kepada terdakwa
Pemeriksaan Barang Bukti:
• Setelah pemeriksaan semua saksi dan terdakwa selesai, Hakim
Ketua memperlihatkan kepada terdakwa semua barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah terdakwa mengenal benda itu
serta menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkara
memperoleh kejelasan tentang peristiwanya
• Bila dipandang perlu barang bukti dapat juga diperlihatkan
sebelum pemeriksaan semua saksi dan terdakwa selesai
• Jika ada sangkut paut dengan saksi tertentu, barang bukti itu
diperlihatkan juga kepada saksi yang bersangkutan. Seperti
keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat dan
e. Penuntutan dan Pembelaan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, maka oditur mengajukan
tuntutan pidana. Terhadap tuntutannya, terdakwa atau penasihat
hukum dapat mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh
oditur, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum
selalu mendapatkan giliran yang terakhir. Tuntutan, pembelaan dan
jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan sesudah
dibacakan segera diserahkan kepada Hakim Ketua dan salinannya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
Apabila pembelaan telah selesai, Hakim Ketua menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat
membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua karena
jabatannya maupun atas permintaan Oditur, atau terdakwa atau
Penasihat Hukum dengan memberikan alasannya.
f. Musyawarah dan Putusan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan musyawarah secara
tertutup dan rahasia. Pelaksanaan musyawarah didasarkan pada surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan
dimuka persidangan. Pada dasarnya putusan dalam musyawarah
Majelis Hakim merupakan hasil pemufakatan secara bulat. Dalam
termuda (dalam kepangkatannya) memberikan pandangan, pendapat
dan saran urutan pertama disusul oleh Hakim Anggota yang lain, dan
Hakim Ketua memberikan pandangan, pendapat dan saran diurutan
terakhir. Pelaksaan pengambilan putusan dalam musyawarah Majelis
Hakim dicatat dalam Buku Himpunan Putusan. Apabila tidak
terdapat mufakat bulat, pendapat yang berbeda dari salah seorang
Hakim Majelis dicatat dalam Berita Acara Musyawarah Majelis
Hakim. Sesuai dengan ketentuan Pasal 188 ayat (4) huruf b, bahwa
jika mufakat tidak dapat diperoleh, maka putusan yang dipilih adalah
pendapat Hakim yang paling menguntungkan terdakwanya.
2.2.4 Upaya Hukum
Terdakwa berhak untuk melakukan upaya hukum yaitu terdakwa
meminta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan Pengadilan. Hal tersebut tertera didalam ketentuan Pasal 219 UU
No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer tanpa lewat dari 7 (tujuh)
hari sesudah putusan dijatuhkan atau sesudah putusan diberitahukan kepada
terdakwa yang tidak hadir.
Terdakwa yang didampingi oleh penasehat hukumnya melakukan