• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Mengenai Psychological Well-Being pada Pria Pensiunan PNS Usia 64 Tahun di Bandung Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Mengenai Psychological Well-Being pada Pria Pensiunan PNS Usia 64 Tahun di Bandung Utara."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran Psychological Well-Being (PWB) pada pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori Psychological Well-Being (Ryff, 1989) yang merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidupnya, yang di dalamnya terdapat enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan melakukan teknik wawancara secara mendalam untuk mendapatkan data selengkap mungkin mengenai PWB. Studi kasus ini dilakukan karena peneliti ingin membahas semua aspek secara mendalam dan melihat dinamika setiap dimensi PWB. Alat ukur yang digunakan adalah pedoman wawancara yang dibuat berdasarkan turunan indikator dari setiap dimensi, dengan pertanyaan terbuka sehingga memungkinkan subjek bebas untuk mengekspresikan diri dalam memberi informasi. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan sampel dari satu orang pria pensiunan PNS bertaraf direktur usia 64 tahun di Bandung Utara. Rigor penelitian ini dijaga dengan memanfaatkan inter-rater.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa responden ini menunjukkan nilai PWB yang tinggi. Kondisi tersebut dicapai melalui dinamika keenam dimensi PWB, yang diawali dengan Self-acceptance. Keenam dimensi itu selanjutnya saling mendukung dalam berinteraksi membangun PWB yang tinggi pada responden. Selain itu agama dan juga budaya merupakan salah satu dari faktor yang memengaruhi memberikan peranan pada pembentukkan dimensi yang menjadikan salah satu keunikan dalam penelitian ini.

(2)

Abstract

The purpose of this research is to determine the Psychological Well-Being (PWB) in retired male civil servant aged between 64 years in North of Bandung. For this research, the researcher uses the theory of Psychological Well-Being (Ryff, 1989), an individual evaluation of one's life satisfaction in which there are six dimensions namely, self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life and personal growth.

The methodology used in this research is a case study, conducted by in-depth interview technique to obtain a more holistic understanding of PWB. Case study is conducted so that the researcher can deeply discuss all aspects and see the dynamics of the relationship of each dimension of PWB. The researcher uses guided interview as measuring instrument, based on the derivative indicator of each dimension by using open ended questions to allow the subject freely expresses himself. The purposive sampling is employed for the selection of the sample that amounts to one retired male civil servant aged 64 years old who lives in Bandung and held Director position prior to the retirement. The Rigor that used for this research is using Inter-rater.

Based on the processed data result from the interview, the researcher concludes that the retired male civil servant aged between 64 years in North of Bandung shows a high PWB. The condition is achieved via the dynamic of all six PWB dimensions, which starts with Self-acceptance. All six dimensions support and interact with each others that lead building a high PWB to the sample. Besides that, religion and culture also influence the making of dimensions in PWB that makes this research unique.

The researcher suggests to include others contributing factors, such as: religion, socioeconomic status, life experience, social support and personality towards the degree of overall PWB or even the dimensions for further research on the PWB in retired male civil servant aged between 64 years in North of Bandung.

(3)

v Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Prakata...………...……….. i

Daftar Isi………..……….. v

Daftar Tabel……….……….. ix

Daftar Bagan……….. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………...……….. 1

1.2. Identifikasi Masalah……… ...……….. 9

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian………...……….. 9

1.3.1. Maksud Penelitian………...……….. 9

1.3.2. Tujuan Penelitian………...……….. 10

1.4. Kegunaan Penelitian………...……….. 10

1.4.1. Kegunaan Teoritis………...……….. 10

1.4.2. Kegunaan Praktis………...……….. 10

1.5. Kerangka Pemikiran…..………...……….. 10

(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Psychological well-being………...……….. 20

2.1.1. Sejarah PWB……….………...……….. 20

2.1.2. Pengertian Psychological Well-Being………...……….. 22

2.1.3. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being………...……….. 24

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being……….. 29

2. 2. Pensiun………....………....……….. 35

2.2.1. Definisi Pensiun………....………...………... 35

2.2.2. Fase-fase Pensiun………..………....……….. 38

2.2.3. Perubahan-perubahan akibat pensiun………....……….. 40

2. 3. Teori Perkembangan Dewasa Akhir....……….. 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian……….. 46

3.2 .Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………....……….. 46

3.2.1. Variabel Penelitian………..…… 46

(5)

Universitas Kristen Maranatha vii

3.3. Alat Ukur………....………....………..… 50

3.3.1. Alat Ukur Psychological Well-being………..…. 50

3.3.2. Prosedur wawancara………... 50

3.3.2.1. Pedoman Wawancara………....………... 51

3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang………....……… 54

3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………....……….. 55

3.4.1 Validitas Alat Ukur………....……….. 55

3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur………....……….. 56

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 3.6 Teknik Analisis Data……….. 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian………....………....……….. 64

4.1.1 Kasus………....………....……….. 64

4.1.1.1. Identitas Diri………....………....……….. 64

4.1.1.2. Status Praesens………....……….... 64

(6)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan………....………..……….. 77

5.2 Saran……….. 78

5.2.1. Saran Teoritis……….. 78

5.2.2. Saran Praktis……….……….. 79

Daftar Pustaka……….. 79

Daftar Rujukan……….. 83

(7)

Universitas Kristen Maranatha ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara……… 52

Tabel 3.2 Kisi-kisi Data Penunjang………. 54

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran……… 18

(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya, karena manusia memiliki akal budi dan dapat berpikir. Seiring berjalannya waktu manusia sebagai makhluk hidup berkembang melalui berbagai tahap perkembangan yang dimulai sejak masa kecil, masa di mana individu masih membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya hingga bertumbuh dewasa dan menjadi mandiri sesuai dengan tahap perkembangannya pula. Pembentukan kemandirian ditandai dengan sikap individu yang mulai memilih sesuai dengan keinginannya dan dalam proses pencapaiannya individu harus bergantung pada dirinya selaras dengan tingkat kedewasaan.

Menurut pengamatan peneliti, semakin lama manusia dituntut dalam memenuhi kebutuhannya semakin tinggi. Kebutuhan ini tidak dapat lagi dipenuhi oleh pihak lain secara terus menerus. Salah satu upaya dalam pemenuhan kebutuhan yang dilakukan sendiri dikenal sebagai proses bekerja. Di lain pihak, pengaruh dari sifat manusia yang tidak pernah puas berperan pada peningkatan kebutuhan mulai dari aspek materi, psikologis dan sosial, mendorong manusia untuk bekerja. Sebagian besar hidup manusia dihabiskan oleh bekerja. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Karl Marx yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pekerja atau homo laboran (a working human).

(10)

Selama rentang waktu yang panjang tersebut, posisi pekerjaan juga meningkat. Hal ini memberikan peluang bagi individu untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar. Individu harus meningkatkan kemampuannya agar memperoleh penghargaan yang lebih besar melalui pengembangan karier yang dimulai dari penentuan karir hingga pemantapan karier. Berkembangnya karier individu juga akan berpengaruh pada jabatan dan kompensasi berupa gaji yang akan diperolehnya kelak.

Jenjang karir dapat dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan tipe perusaahaannya. Perusahaan di Indonesia terbagi menjadi dua tipe yaitu perusahaan swasta dan pemerintah. Perusahaan swasta dan pemerintah memiliki pengelolaan dan aturan yang berbeda-beda dalam hal perkembangan karier. Pada perusahaan swasta memiliki pekerjaan dan persaingan yang dinamis sehingga siapapun memiliki kesempatan untuk mendapatkan kenaikan jabatan jika kemampuannya baik dan memiliki prestasi yang menonjol tanpa melihat lama bekerjanya. Berbeda dengan perusahaan pemerintah, memiliki pekerjaan yang tetap dan berkesinambungan. Kenaikan jabatan sudah jelas aturannya salah satunya dilihat dari masa kerjanya, jadi untuk individu yang sudah lama bekerja pasti akan mendapatkan kenaikan jabatan ataupun gaji (http://www.saibumi.com/artikel-57132-perbedaan-jadi-pns--pegawai

swasta). Individu yang bekerja pada perusahaan atau instansi pemerintah biasanya dikenal

sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang biasa disingkat sebagai PNS.

(11)

3

Universitas Kristen Maranatha tinggi tidaklah mudah dan cepat bagi seseorang agar dapat dipercaya atas tanggung jawab yang lebih besar. Selain dituntut kemampuan, tingkat pendidikan dan lama bekerja juga seringkali menjadi syarat penting untuk kenaikan jabatan.

Penghargaan berupa gaji yang diperoleh dari pekerjaan menjadi salah satu kebutuhan penting bagi seseorang khususnya seorang pria. Hal tersebut menjadi penting karena akan dijadikan modal saat pria tersebut menjadi seorang kepala keluarga kelak. Pada umumnya bagi seorang pria, status jabatan menjadi lebih penting karena pengaruh dari kebanyakan budaya patrilineal yang berasal dari perbedaan gender dan pengaruh Agama Islam yang dianut oleh kebanyakan kelompok mayoritas di Indonesia, di mana seorang pria dewasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menafkahi keluarganya (dalam Robinson, 2009).

Pada akhirnya, seiring penambahan usia tahap perkembangan karier akan sampai pada tahap kemunduran yang merupakan tahap terakhir dalam berkarier ketika individu menghadapi masa akhir kerjanya dan memasuki masa pensiun. Masa pensiun biasanya dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya. Pensiun biasanya memengaruhi aktivitas rutin yang telah dilakukan seseorang selama bertahun-tahun, selain itu biasanya juga menjadi salah satu penyebab kemunduran dari hubungan sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja dan yang telah melekat begitu lama. Bagi mereka yang tidak siap menghadapi masa pensiun dapat menimbulkan masalah psikologis.

(12)

mencapai usia maksimal 60 tahun. Pemerintah pun ikut peduli pada PNS yang akan menghadapi masa pensiun dengan mengadakan kelas masa persiapan pensiun, yang bertujuan agar PNS yang kelak menghadapi masa pensiunnya masih memiliki kegiatan yang dapat memberikan arti dan semangat yang baru setelah lepas dari rutinitas kerja yang biasa individu lakukan selama ini. Selain itu ada juga dana pensiun diberikan pemerintah sebagai jaminan hari tua sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa dalam dinas Pemerintah kepada Pegawai Negeri Sipil.

Menurut Turner dan Helms (1983) ada beberapa hal yang mengalami perubahan dan menuntut penyesuaian diri yang baik ketika menghadapi masa pensiun yaitu masalah keuangan, berkurangnya harga diri (Self-esteem), berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, hilangnya makna suatu tugas, hilangnya kelompok referensi yang biasanya memengaruhi self-image dan hilangnya rutinitas. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat mempengaruhi angka harapan hidup pada usia lanjut menjadi menurun.

(13)

5

Universitas Kristen Maranatha bekerja. Masa pensiun sewajarnya dipandang sebagai masa yang dilalui dengan bahagia dan menikmati karier yang telah dicapai selama ini.

Activity theory menyarankan bahwa banyak individu akan mencapai kepuasan hidup

yang lebih besar jika mereka melanjutkan peran pada dewasa madya hingga akhir dewasa akhir (Santrock, 2011). Jika peran ini “dirampas” dari mereka, maka adalah hal penting bagi mereka untuk mencari peran pengganti yang menjaga mereka agar tetap aktif terlibat. Adanya aktivitas pengganti ini dapat menghindarkan individu dari perasaan tidak berguna, tersisihkan yang membuat mereka manarik diri dari lingkungan yang nantinya akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu yang mengalaminya. Berdasarkan dari tahap perkembangannya, individu yang sudah memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan produktivitas yang juga memberikan dampak pada penurunan stamina kebugaran tubuh sehingga tidak menutup kemungkinan mengundang datangnya penyakit. Padahal, jika dilihat dari kondisi fisiknya pada usia lanjut sudah tidak mudah lagi bagi seseorang untuk dapat cepat pulih dan melawan penyakit karena kondisi fisiknya yang terus menurun.

(14)

Berikut ini terdapat enam dimensi dari Psychological Well-Being dalam skala Ryff, yaitu self-acceptance (penerimaan) yaitu dimana individu memiliki penerimaan diri yang baik. Personal growth (pribadi yang bertumbuh), yaitu penilaian sejauh mana individu melakukan mengeksplorasi kemampuan dirinya. Positive relation with others (hubungan yang positif dengan orang lain) yaitu penilaian sejauh mana individu mampu menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Autonomy (kemandirian), yaitu penilaian sejauh mana individu melakukan hal- hal yang diinginkannya secara mandiri. Environmental mastery (hubungan dengan lingkungan), yaitu penilaian sejauh mana individu melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Terakhir adalah Purpose in life (tujuan hidup), yaitu penilaian sejauh mana individu mampu menetapkan tujuan yang berguna bagi kelangsungan hidupnya.

Wawancara terhadap dua pria pensiunan PNS, yakni GS dan TM memperlihatkan adanya perbedaan dalam memandang masa pensiun. GS mengatakan bahwa masa pensiun merupakan hal yang memberikan dampak cukup besar baik dalam sisi psikologis maupun fisiknya. Selama berada dalam masa pensiun, dirinya menjadi lebih aktif melakukan kegiatan kerumahtanggaan seperti membersihkan mobil, rumah dan berkebun yang merupakan kegiatan yang GS sukai dan ingin GS lakukan sejak dahulu untuk mengisi masa pensiunnya, di mana akan memberikan pengaruh pada dimensi otonomi (autonomy). Sekarang GS sudah tidak perlu ke kantor lagi sehingga sudah jarang ada komunikasi atau bertemu orang baru seperti yang biasa ia lakukan dahulu di kantor. Hubungan GS dengan teman-temannya menjadi lebih renggang dari sebelumya karena sudah jarang bertemu, yang terkadang hal tersebut membuat GS merindukan dengan masa-masa bekerjannya. Kerenggangan hubungan ini akan berpengaruh pada dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relation with

others).

(15)

7

Universitas Kristen Maranatha kerumahtanggaan seperti listrik dan air, yang biasanya ditanggung oleh pemerintah dan diselesaikan oleh bawahannya sekarang harus ia lakukan sendiri dan harus ikut mengantri dengan orang lain yang memiliki kepentingan yang sama, menunjukkan dimensi menguasai lingkungan (environmental mastery). GS merasa cukup kerepotan karena GS sudah tidak pernah melakukan kegiatan bayar membayar tersebut setelah sekian lama semenjak dirinya menjabat sebagai direktur di perusahaannya. Kondisi seperti ini membuat GS merasa sedikit terbebani karena dirinya harus mengikuti tahap-tahap tertentu dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara yang baik, hal seperti ini akan berpengaruh pada dimensi pertumbuhan personal (personal growth).

Setelah mengalami masa-masa perubahan dan penyesuaian masa pensiun dalam beberapa bulan, sekarang GS dapat melalui masa pensiunnya sebagai hal yang menyenangkan dengan memandang dari sisi positif. Pandangan positif yang GS rasakan adalah ia dapat menerima dirinya yang sudah lanjut usia dengan segala kemunduran yang ia rasakan dan juga ia paham dan bisa menerima bahwa ada masa untuk perannya harus berhenti bekerja dan menjadi pensiunan menunjukkan dimensi penerimaan diri (Self

Acceptance). Waktu-waktu kosong yang GS peroleh juga dapat diisi dengan kegiatan seperti

membaca buku mengenai keagamaan dan juga berdiskusi dengan teman-teman persekutuannya membuat pemahaman GS akan Tuhan manjadi lebih dalam dan membantunya dalam usahanya untuk menjadi serupa dengan Tuhan menunjukkan dimensi tujuan dalam hidupnya (purpose in life).

(16)

kemunduran fisik, pengurangan kegiatan, dan tanggung jawab, GS merasa lebih bahagia karena pada saat inilah GS dapat menikmati hasil jerih payah yang diperoleh dari bekerja selama masa mudanya. GS merasa puas akan semua hal yang pernah ia capai dan miliki selama masih bekerja dahulu, terlebih lagi sekarang ia dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga dan memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan yang ia sukai.

Menurut hasil wawancara dengan koresponden yang kedua, didapatkan bahwa setelah memasuki masa pensiun, TM tidak merasakan adanya perubahan yang besar. Selama masa bekerjanya, TM hanya pernah memperoleh satu kali promosi untuk kenaikan pangkat. Hal ini membuat TM merasa bahwa dirinya hanyalah pekerja biasa dan merasa kurang adanya penghargaan lebih yang ia peroleh dari perusahaan. TM merasa tidak ada hal yang spesial yang ia rasakan selama bekerja, karena penghargaan yang ia peroleh kurang sebanding jika dilihat dari lamanya TM mengabdikan jasanya pada perusahaan itu, yaitu selama 28 tahun. Hal ini menunjukkan dimensi penerimaan diri (sef-acceptance).

(17)

9

Universitas Kristen Maranatha lagi memberikan pengaruh pada dimensi menguasai lingkungan (environmental mastery) dan dimensi tujuan dalam hidup (purpose in life).

Jika seseorang pada masa sebelumnya berhasil memenuhi tugas-tugasnya, diharapkan individu yang bersangkutan akan menikmati hidup dengan antusias dan memiliki identitas diri yang dapat membuat seseorang menjadi lebih mantap memasuki masa dewasa akhir, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian, diharapkan seseorang yang berhasil dalam kariernya dapat menikmati hasil jerih payahnya ketika memasuki masa pensiun atau ia dapat mengevaluasi pengalaman hidupnya serta menghayatinya sebagai hal yang baik yang merepresentasikan perealisasian potensi individu, sehingga yang bersangkutan dapat hidup lebih bahagia dan lebih sehat (secara mental dan fisik).

Mengingat pentingnya Psychological Well-Being pada kehidupan untuk lansia yang merupakan pria penisunan PNS di daerah Bandung Utara dan adanya variasi yang berpengaruh pada kesejahteraannya, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus mengenai PWB pada pria pensiunan PNS berusia 64 tahun di daerah Bandung Utara.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah seperti apa PWB pada pria pensiunan PNS berusia 64 tahun di daerah Bandung Utara.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

(18)

1.3.2 Tujuan penelitian

Mengetahui PWB pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara berdasarkan dinamika dimensi-dimensi PWB yang dikaitkan dengan faktor yang memengaruhinya.

1.4Keguanaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1.4.1.1Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Positif mengenai PWB pada pria pensiunan PNS berusia 64 tahun.

1.4.1.2Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai PWB pada pria pensiunan PNS berusia 64 tahun.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1.4.2.1Sebagai informasi mengenai profil PWB kepada Pria Pensiunan PNS yang menjadi sample penelitian guna memberikan insight dalam memahami potensi diri sehingga ia dapat mengembangkannya dalam menjalankan masa pensiun secara maksimal.

1.4.2.2Sebagai informasi untuk melakukan konseling sederhana kepada Pria Pensiunan PNS guna dalam pengembangan dirinya.

1.5Kerangka Pemikiran

(19)

11

Universitas Kristen Maranatha masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka beranjak tua (Santrock, 2011).

Karakteristik perkembangan lansia dapat dilihat dari perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2011). Pada profesi tertentu, mereka yang berusia di atas 60 tahun umumnya sudah menjalani masa pensiun sehingga mengakibatkan perubahan pada status sosial, lingkup pergaulan, dan jenis aktivitas yang mereka lakukan.Beberapa dari mereka menganggap pensiun sebagai tahap untuk menghabiskan dan menikmati masa tua dengan keluarga tanpa harus memikirkan pekerjaan lagi. Namun, ada juga yang menilai bahwa pensiun dianggap sebagai fase menakutkan karena harus kehilangan kegiatan, peran, kedudukan dan kekuasaan, penghasilan, status serta harga diri.

Anggapan negatif mengenai pensiun tersebut menyebabkan lansia mengalami post

power syndrome setelah mereka mengalami masa pensiun (Kuntjoro, 2002). Tahapan

perkembangan mereka di antaranya mengevaluasi pengalaman hidup dan memberi makna pada tiap pengalaman hidup mereka (Turner & Helms, 1987). Pemberian evaluasi pada pengalaman hidup tersebut sifatnya sangat subyektif pada masing-masing individu.

Ryff (1995) mendefinisikan psychological well-being ini sebagai suatu konsep yang berhubungan dengan apa yang dievaluasi dan dihayati oleh individu dalam aktivitas serta kehidupan sehari-harinya dan mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya yang tidak hanya sebatas pencapaian kepuasan, namun juga untuk mencapai keutuhan yang merepresentasikan perealisasian potensi individu yang sesungguhnya. Individu dapat menilai diri dan pengalaman hidup mereka lewat enam dimensi, yaitu penerimaan diri (Self-acceptance), pertumbuhan pribadi (Personal Growth), hubungan positif dengan orang lain (Positive

Relations with Other), otonom (Autonomy), penguasaan lingkungan (Environmental

(20)

Penerimaan diri (Self-acceptance) merupakan dimensi pertama dari Psychological

Well Being pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara. Kemampuan pria pensiunan

PNS usia 64 tahun untuk menyadari dan menghayati kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, mengakui dan menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, menerima kejadian yang terjadi di masa lalu (Ryff, 1989). Dikatakan tinggi jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun dapat menyadari, merasa, mengakui dan bersikap apa adanya terhadap kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya sebagai pensiunan. Selain itu juga jika ia bisa menerima, membiarkan berlalu kejadian di masa lalu dan juga menjalani serta memaklumi masa lalu sebagai proses hidupnya. Dikatakan rendah jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun merasa menyesal, mengungkit dan kecewa terhadap masa lalunya sebagai masa pensiunan.

Pertumbuhan pribadi (Personal Growth) merupakan dimensi kedua Psychological

Well Being pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara. Kemampuan pria pensiunan

PNS usia 64 tahun untuk merasakan, menyadari dan memandang perkembangan dirinya sedang bertumbuh, berkembang dan berkesinambungan, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman yang baru, menyadari potensi yang dimiliki, berubah dalam berbagai cara yang mencerminkan lebih banyak pengetahuan diri dan keberhasilan, melihat perbaikan di dalam diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu (Ryff, 1989). Dikatakan tinggi jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun dapat mendalami kegiatan-kegiatan sebagai pensiunan, menyadari potensi dirinya sebagai pensiunan, mau mencoba berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan ada keinginan untuk lebih memperbaiki diri di masa pensiunnya. Dikatakan rendah jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun tidak sanggup dan tidak peduli akan keberhasilan dirinya dalam memasuki masa pensiunnya, keterlambatan untuk memperbaiki dirinya karena sudah memasuki masa pensiun.

(21)

13

Universitas Kristen Maranatha Utara. Kemampuan pria pensiunan PNS usia 64 tahun untuk membangun hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling mempercayai dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki empati yang kuat, kasih sayang, dan keakraban, memahami istilah memberi dan menerima serta bersedia untuk memberi dan menerima dalam hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989). Dikatakan tinggi jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun dapat menjaga hubungan, merasa saling membutuhkan dan terbuka dalam membangun hubunganya dengan orang lain selama pensiun, bisa menjaga perasaan demi kesejahteraan orang lain, memiliki kasih sayang dan kedekatan dengan sesama, dan menerima bantuan serta timbal balik dalam berhubungan dengan orang lain. Dikatakan rendah jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun kurang memiliki inisiatif dalam menjalin relasi dan keakrabannya dengan orang lain.

(22)

bantuan orang lain, merasa tertekan karena tekanan sosial untuk bertindak dan berpikir dan lebih berpegang pada standar umum/ masyarakat.

Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery) merupakan dimensi terakhir dari

Psychological Well Being pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara. Kemampuan

pria pensiunan PNS usia 64 tahun untuk menguasai dan mengolah lingkungan, menguasai susunan aktifitas eksternal, efektif dalam menggunakan kesempatan yang ada disekitar, menciptakan keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya (Ryff, 1989). Dikatakan tinggi jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun dapat mengatur aktifitas sendiri, mengetahui batasan diri, memiliki penyesuaian diri yan baik sebagai pensiunan, fleksibel dalam mengolah lingkungannya dan berada dalam kendalinya. Selain itu ia juga dapat menerima, menyadari dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan, dapat menempatkan posisi perannya dengan baik setelah masuk ke masa pensiun dan berhasil menguasai aktifitas eksternal. Ia juga dapat menggunakan kesempatan yang ada dan memanfaatkan status yang dimiliki yaitu sebagai pensiunan dan mampu melihat fasilitas yang cocok untuk keadaannya saat ini. Dikatakan rendah jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun lingkungannya diluar kendali, tidak bisa bekerja sama dengan lingkungannya, mudah mengikuti kemauan orang lain dan menghindar dari lingkungan yang tidak menyenangkan, ketidaksesuaian dengan prinsip diri, keterbatasan akan kesempatan yang ada, keterbatasan fisik, biaya, dan waktu, keadaan yang tidak mendukung dan tidak dapat mengubah keadaan dan belum terciptanya keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya.

Tujuan dalam hidup (Purpose in Life) merupakan dimensi kelima Psychological Well

Being pria pensiunan PNS usia 60-80 tahun di Bandung Utara. Kemampuan pria pensiunan

(23)

15

Universitas Kristen Maranatha hidup atau cita-cita yang ingin dicapai hingga saat ini, sedang melakukan usaha untuk mencapai tujuan, yakin akan tercapainya tujuan hidup tersebut, memahami arti kehidupan, rasa ingin tahu akan pandangan yang baru, bersikap realistis, berhasil melakukan penyesuaian dengan masa kini sebagai pensiunan, menerima keadaan saat ini dan memiliki harapan hidup serta ada upaya penanganan terhadap dampak kehidupan masa lalu. Dikatakan rendah jika pria pensiunan PNS usia 64 tahun cita-citanya belum tercapai dan masih ingin kembali ke masa lalu.

Dalam dinamika Psychological well-being pada pria pensiunan PNS, keenam dimensi tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan antara dimensi satu dengan dimensi yang lain dalam membentuk Psychological well-being secara keseluruhan. Dimensi-dimensi tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang antar lain adalah sosiodemografis yang terdiri dari usia, status sosial-ekonomi mereka, latar belakang budaya, penghayatan mereka akan agama yang diyakini, penghayatan akan pengalaman hidupnya, dukungan sosial yang didapat dan faktor kepribadian mereka.

Faktor usia memengaruhi dimensi Environmental Mastery, Autonomy, Personal

Growth dan Purpose in Life (Ryff dan Singer, 1996). Sejalan dengan meningkatnya usia,

dimensi Autonomy mengenai kemandiriannya dan dimensi Environmental Mastery dalam kemampuannya mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya menunjukkan pola yang meningkat. Sedangkan untuk dimensi Personal Growth dan Purpose in Life pada usia lanjut usia menunjukkan pola yang menurun ketika berada pada usia dewasa madya dan dewasa akhir.

Selain itu faktor sosio-ekonomi juga memengaruhi pertumbuhan Psychological

well-being. Pria pensiunan PNS yang memiliki status sosio-ekonomi yang tinggi biasanya

(24)

hidupnya yang berpengaruh pada dimensi Purpose in Life dan memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik yang berpengaruh pada dimensi Personal Growth menjadi tinggi. Pekerjaan yang layak membuat pria pensiunan PNS menilai dan menerima diri mereka lebih baik lagi, yang pada akhirnya menimbulkan kesejahteraan psilologis yang lebih baik.

Budaya yang dimiliki oleh pria pensiunan PNS juga ikut berperan dalam menentukan

Psychological well-being. Pria pensiunan PNS yang biasa hidup dalam budaya yang memiliki

nilai individualistik yang tinggi cenderung akan tinggi dalam menilai diri mereka dengan tinggi sehingga berpengaruh pada dimensi Self-acceptance dan juga mereka sudah terbiasa untuk hidup mandiri yang berpengaruh pada dimensi Autonomy. Sedangkan pria pensiunan PNS yang hidup dalam kebudayaan yang menganut nilai kolektivistik akan tinggi dalam dimensi menjalin hubungan baik dengan orang lain (Positive Relation with Others) karena sudah terbiasa untuk saling bergantung.

Tingkat Psychological well-being seseorang dipengaruhi juga oleh dukungan sosial yang ia terima (Davis dalam Pratiwi, 2000). Selain itu juga dukungan sosial memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kondisi Psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pria pensiunan PNS yang mendapat dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dihargai, dipedulikan, dicintai dan menjadi bagian dalam jaringan sosial seperti keluarga dan komunitas tertentu yang bisa menyediakan tempat bergantung selagi ia membutuhkan dapat meningkatkan self-esteem. Dukungan sosial yang diberikan dari lingkungannya cenderung membuat pria pensiunan PNS memiliki Self-acceptance, Positive relation with others,

Purpose in Life dan Personal Growth yang lebih tinggi.

Jika pria pensiunan PNS mendapatkan perlakuan diskriminasi, penolakan ataupun dikucilkan karena statusnya sebagai seorang pensiunan cenderung memiliki Self-acceptance,

Positive relations with others, Purpose in life dan Personal Growth yang rendah. Hal

(25)

17

Universitas Kristen Maranatha menyenangkan yang pada umumnya akan membekas pada diri mereka sehingga membuat mereka minder.

Faktor religiusitas (agama), terutama penghayatan terhadap agama yang diyakini memengaruhi derajat PWB individu (Weiten & Lloyd, 2003), terutama dalam dimensi

Environmental Mastery dan Self- acceptance. Peran agama yang dihayati pria pensiunan PNS

dapat menghayati bahwa seluruh pengalaman dalam hidupnya, baik yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan adalah suatu hikmah yang perlu disyukuri. Hal tersebut membuatnya menghyati hidup dan pengalaman-pengalamannya lebih bermakna dan lebih positif. Selain itu mereka juga merasa bahwa doa merupakan salah satu cara yang berpengaruh dalam menyelesaikan masalahnya dan hal tersebut membantu mereka dalam menjalani tuntutan hidup sehari-hari.

Faktor lain yang berpengaruh adalah trait dari Big Five Personality yang terdiri dari

Extravertion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness to Experience.

Trait-trait tersebut memiliki hubungan dengan Psychological well-being pada seseorang (Schmute dan Ryff, 1997). Pria pensiunan PNS yang memiliki trait Neuroticism memiliki kecenderungan untuk mudah cemas, marah dan reaktif serta memiliki peluang untuk menerima dirinya secara negatif (Self-accaptance), hal ini juga berpengaruh pada pengambilan keputusan yang kurang mandiri dan cenderung membuat pria pensiunan PNS dengan trait Neurotism memiliki Autonomy yang rendah.

Berbeda dengan individu yang dengan trait Extraversion, cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik dan dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga akan memiliki kecenderungan positive relation with others dan purpose

in life yang tinggi. Pria pensiunan PNS yang memiliki trait Openness to experience

(26)

Pria Pensiunan PNS

terhadap pengalaman baru yang disertai nilai imajinasi, pemikiran luas dan apresiasi yang tinggi terhadap seni dan keindahan.

Pria pensiunan PNS yang memiliki trait Agreeableness biasanya akan ramah, pemaaf, penyayang, memiliki kepribadian selalu mengalah, sehingga cenderung memiliki dimensi

Positive relations with others yang lebih tinggi. Sedangkan pria pensiunan PNS yang

memiliki trait Conscientiousness biasanya merupakan seseorang yang terencana dan teroganisir sehingga pada umumnya mereka mempunyai rencana apa yang akan mereka raih atau lakukan dalam beberapa waktu ke depan dan mampu berpikir jauh ke masa depan yang berpengaruh pada dimensi Purpose in Life.

Tinggi atau rendah dari Psychological well-being dapat diketahui dari keenam dimensi dan berbagai faktor yang memengaruhi lainnya yang dimiliki oleh pria pensiunan PNS. Dengan demikian bagan kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

(27)

19

Universitas Kristen Maranatha 1.6Asumsi Penelitian

 Pensiun seringkali menimbulkan dampak bagi psikologis dan fisik pada pria pensiunan

PNS usia 64 tahun.

Psychological Well-Being dapat ditentukan berdasarkan dimensi Self acceptance,

Positive Relation wih Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan

Personal Growth.

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pria pensiunan PNS usia 64 tahun

(28)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dipaparkan di Bab IV beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Psychological well-being (PWB) pada pria pensiunan PNS usia 64 tahun di Bandung Utara diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Psychological well-being pada kasus G yang adalah pria pensiunan PNS usia 64 tahun di

Bandung Utara menunjukkan derajat yang tinggi.

2. Keenam dimensi Self-acceptance, Positive Relations with Others, Autonomy,

Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth mempunyai kaitan yang

erat satu sama lain dalam pembentukan PWB yang tinggi pada kasus G.

3. Dimensi Self-acceptance memainkan peran yang mendasar dalam pembentukan PWB yang tinggi pada kasus G. Kemampuan kasus G dalam menerima dirinya sebagai pensiunan melatarbelakangi penghayatan yang menjadi ciri khas utama pada evaluasi terhadap kepuasan hidupnya yang tinggi pula.

(29)

Universitas Kristen Maranatha 78

5. Faktor yang memengaruhi yaitu tingkat status-ekonomi, dukungan sosial yang didapat dari keluarga, teman dan komunitas juga menunjukkan perannya pada penghayatan akan pengalaman hidup menjadi saling mendukung dan berinteraksi membangun PWB yang tinggi.

6. Trait Conscientiousness menunjukkan peran dalam dimensi Purpose in Life yaitu dalam

pencapaian goal, Trait openness to experience mengembangkan pribadi yang terbuka terhadap pengalaman baru yang berkaitan dengan dimensi Personal Growth dalam hal pemahaman diri dan agama. Trait agreeableness yang dimiliki G membuatnya menjadi pribadi yang penyayang dan mudah mengalah, yang mengembangkan dimensi Positive

Relation with Others.

7. Trait Neuroticism menunjukkan peran yang jelas pada corak kepribadian G karena

nilainya rendah sehingga G dapat dengan mudah mengembangkan Self-acceptance dan

Personal Growth yang tinggi.

8. Trait Extraversion yang tinggi biasanya berpengaruh pada PWB yang tinggi pula, namun

pada kasus G ini trait extraversion yang rendah tidak menjadikan PWB yang rendah karena didukung oleh dimensi Positive Relation with Others G yang tinggi.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

(30)

2. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian guna mengetahui kontribusi faktor-faktor kepribadian terhadap keenam dimensi PWB.

3. Bagi peneliti selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian komparatif antara PWB pada pria dan wanita.

5.2.2 Saran Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran bagi G untuk mendapatkan insight akan beberapa aspek kehidupannya yang masih dapat dikembangkan untuk bisa menjalani masa pensiunnya lebih optimal lagi.

2. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi informasi bagi pihak HRD dari perusahaan dan badan usaha pemerintah sehingga dapat dilakukan pengembangan akan kegiatan-kegiatan masa persiapan pensiun (MPP) untuk taraf direktur, yang lebih menekankan pada pengembangan PWB yang merujuk pada dimensi Self-acceptance, Personal Growth,

Purpose in Life, Environmental Mastery dan juga pendekatan secara personal guna

memberikan dukungan dan arahan mengenai kegiatan apa saja yang dapat dilakukan calon pensiunan untuk dapat menghadapi masa pensiunnya dengan bahagia kelak.

(31)

80 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Argyle, S. 2000. Psychology and Religion: An Introduction. California: Taylor & Francis

Routledge Press.

Bastaman, H. D. 1996. Meraih Makna Hidup. Jakarta: Airlangga

Carr, A. 2004. Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. United Kingdom: Routledge.

Cobb, S. 1976 Social support as a moderator of life stress. “Journal of Psychosomatic Medicine”

Corsini, R.J.(1987) The concise Encyclopedia of Psychology. Canada : John Willey & Sons . Davis, M. T. 2004. The Effects of Religious Beliefs on Mental Health. New York:

Mc-GrawHills Companies, Inc.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. E. 1999. Subjective well-being: Three

decades of progress. Psychological Bulletin.

Flannelly, K. J., Koenig, H. G., Ellison, C. G., Galek, K., & Krause, N. 2006. Belief in Life after Death and Mental Health: Findings from a National Survey. “Journal of Nervous and Mental Disease”

Graziano, A. M. dan Raulin, M.L. 2000. A Process of Inquiry, Research Methods 4nd

edition. United States of America: Allyn and Bacon.

Harrington, R. & Loffredo, D.A. (2007). Private self-consciousness factors and psychological wellbeing. Journal of Psychiatry, Psychology and Mental Health, 1. Kerlinger, Fred N. 2000. Foundations of Behavioral Research. (4Ed). New York: Holt,

Rinehart and Winston, Inc.

Keyes & Shmotkin. 2002. Jurnal Optimizing Well-Being: The Empirical Ecounter of Two

Traditions.

Kumar, Ranjit. (1999). Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners. London: Sage Publications

Mayanoelah, N. (1991). Penyesuaian Masa Pensiun pada invidu type A dan type

B. (Skripsi ). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Mc Crae, R. R., & Costa P.T., Jr. (1991). The NEO Personality Inventory: Using the five-factor model in counseling. Journal of Counseling and Development, 69,367-372. Mc Crae, R. R. & John, O.P. 1992. An Introducstion to The Five Model and Its Application.

(32)

Minichiello, Victor, Rosalie Aroni, Eric Timewell, Loris Alexander. (1995). In- depth

Interviewing 2nd edition. Australia: Longman.

Papalia, D. et all. 2001. Human Development 8th edition. New York: McGraw-Hill.

Papalia, Diane E., et. al. (2003). Human Development : Ninth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Papalia D. E, Olds, Sally W., Feldman, Ruth D 2004. Human Development 9th edition. New

York: McGraw Hill

Patmononodewo, Soemiarti. 2001. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi: dari

Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta: Universitas Indonesia

Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah

Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi Kasus SPWB pada 3 orang Subyek). Depok:

Fakultas Psikologi UI

Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI

Robinson, Kathryn May, (2009). Gender, Islam and Democracy in Indonesia. New York, USA: Routledge.

Ryan, R. M., &Deci, E. L. (2001) On Happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology, 52, 141-166. Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of

psychological wellbeing. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well being revisited.

Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727

Santrock, John. W. 2011. Life-Span Development 13th Edition. New York: McGraw Hill.

Sarafino, E. P. 1990. Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. New York: John Wiley & Sons.

Schmute, P.S & Ryff, C.D. 1997. Personality processes and individual differences

Personality and Well-Being: Reexamining Methods and Meanings. “Journal of Personality and Social Psychology”

Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. (1990). Basics of Qualitative Research: Grounded Theory

Procedures and Techniques. USA : SAGE

Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta.

Taylor, R. J., Chatters, L. M., 2004. Religion in the Lives of African Americans: Social,

(33)

Universitas Kristen Maranatha 82

Turner, Jeffrey,S., & Helms. D., (1983). Life Span Development. New York: Hold Saunder Weiten, W. Lloyd, M.A. 2004. Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st

Century (with InfoTrac), 7th Edition. Wadsworth Publishing

Weiten, W.; Lloyd, M. A.; Dunn, D.S; Hammer, E.Y.2006. Psychology Applied To Modern

Life: Adjustment in The 21st Century. Belmont: Guilford Press

Wells, I. E. (2010). Psychological Well-Being, Assessment tools and Related Factors.

(34)

DAFTAR RUJUKAN

http://www.saibumi.com/artikel-57132-perbedaan-jadi-pns--pegawai-swasta.html#ixzz3sZJyJpCl

www.Psychemate.PsychologicalWellBeingpadaLansia.html

Rini, Jacinta. 2001. Pensiun dan pengaruhnya. www.e-psikologi.com/dewasa

http://www.bandungkab.go.id/arsip/2385/kesehatan diakses pada tgl 14 November 2013 Jessica, 2011. Studi Kasus Mengenai Profil Psychological Well-Being Pada Anak Yatim

Gambar

Tabel 3.3 Kata Kunci Skoring.........…………………………………………………. 58

Referensi

Dokumen terkait

3HUDVDQ PHPLOLNL NHOHELKDQ GLEDQGLQJ PHWRGH ODLQ VHSHUWL HNVWUDNVL \DLWX SDGD SURVHV SHPEXDWDQQ\D \DQJ OHELK VHGHUKDQD GDQ FHSDW 3HUDVDQ MXJD WLGDN PHPEXWXKNDQ SHUDODWDQ UXPLW

Pertimbangan penggunaan obat di luar formularium bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya permintaan khusus dari dokter karena obat yang diperlukan belum tersedia di

Dari hasil penelitian ini penerapan model pembelajaran PAKEM itu sama dengan pendapat diatas karena sudah pasti pada saat proses model pembelajaran ini di awali dengan

karena berkaitan dengan hubugnan manusia dan masyarakat sosial dalam novel ”Sapatu Dahlan” Karya Krisna Pabichara merupakan Novel yang sangat kental dengan seseorang

Efisiensi Pemasaran EP = (Biaya Pemasaran Harga Penjuaan) x 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola-pola saluran pemasaran sapi potong di Kab. Tingkat efisiensi

Pada bagian yang lurus biasanya pipa pecah dengan kondisi ”pecah getas (brittle)”, sedang pada bagian bawah knee menunjukkan ”pecah liat (ductile)”.. Dengan menguji pipa

Metode yang digunakan untuk identifikasi dan interpretasi objek adalah adalah metode visual berdasarkan kunci-kunci interpretasi objek.Berdasarkan kunci-kunci

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikatakan oleh Greenspoon & Saklofske (2001) yang menyatakan bawa meskipun kesejahteraan dan tekanan psikologis sering