• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAN IMPLEMENTASIKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TERHADAP HUTAN

(Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh : Ridho Ramadhan

120906001

Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar. Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:

Nama : Ridho Ramadhan NIM : 120906001 Departemen : Ilmu Politik

Judul : ANALISIS DAN IMPLEMENTASI

KEBIJAKANPEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TERHADAP HUTAN (Studi Kasus: Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Warjio, MA, Ph.D)

NIP. 197408062006041003 NIP. 196207181987101001 (Prof. Subhilhar, Ph.D)

Mengetahui:

Wakil Dekan I

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(Husni Thamrin, S.Sos., M.SP)

(3)

ii

NIP. 197203082005011001 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Halaman Pengesahan

Nama : Ridho Ramadhan NIM : 120906001

Judul : ANALISIS DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TERHADAP HUTAN (Studi Kasus: Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan) Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Majelis Penguji:

Ketua :

Nama : ( )

NIP :

Penguji Utama:

Nama : ( )

NIP :

Penguji Tamu:

Nama : ( )

(4)

iii

NIP :

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan sesungguhnya :

1. Karya tulis ilmiah saya dalam bentuk Skripsi dengan Judul “ANALISIS DAN IMPLEMENTASIKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TERHADAP HUTAN (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)” adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar Akademik, baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain.

2. Skripsi ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan dari tim pembimbing dan penguji.

3. Di dalam Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau di publikasikan orang lain, kecuali ditulis dengan cara menyebutkan pengarang dan mencantumkannya pada daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran di dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena skripsi ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma dan ketentuan hokum yang berlaku.

Medan,

Yang Menyatakan,

Ridho Ramadhan NIM 170906001

(5)

iv

Karya ini dipersembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda Tercinta

(6)

v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RIDHO RAMADHAN (120906001)

ANALISIS DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TERHADAP HUTAN (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

Rincian Isi Skripsi: 120 halaman, 22 buku, 3 Undang-Undang, 9 tabel,8 situs internet dan 3 informan.

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang analisis dan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan dengan studi kasus Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Dimana tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui isi dari kebijakan pemerintah daerah Provinsi Riau melalui Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dan menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.Untuk menganalisis kajian tersebut.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari buku-buku,arsip-arsip, dokumen-dokumen, internet dan wawancara. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu dengan membuat, menggambarkan, meringkaskan dari berbagai kondisi dengan berbagai variabel yang timbul pada objek penelitian ini dan mengungkapkan fakta melalui pengumpulan data-data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif, adapun teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan public, teori politik lingkungan dan politik pembangunan.

Kata Kunci: Kebakaran Hutan, Kebijakan Publik, Politik Lingkungan, Politik Pembangunan

(7)

vi UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RIDHO RAMADAN(120906001)

ANALYSIS AND IMPLEMENTATION OF GOVERNMENT POLICY TOWARDS THE PROVINCE OF RIAU FOREST AREA (Case Study: The Governor's Rule Number 11 By 2014 About Forest Fire Control Centre And Land)

Details of the contents of the Thesis:120 the pages, 22 books, 3 Laws, 9 tables,8 internet sites and 3 interview.

ABSTRACT

The study tried to elaborate on analysis and implementation of Government Policy Towards the province of Riau Forest Area with the case study of the regulation of the Governor's number 11 by 2014 About forest fire Control Centre and land. Where the purpose of the study to know the content of the policy of the regional Government of Riau Province through the Governor's Rule number 11 by 2014 About forest fire Control Centre and land and to analyze the Governor's province of Riau Regulation by 2014 About forest fire Control Centre and land . To analyze the study. The Data used in this research was sourced from books, archives, documents internet, and interviews . Methods of analysis used in this study is a qualitative method which is descriptive, namely by creating, describing, summarising the various conditions with a variety of variables that arise on the object of this research and reveal facts through the collection of data for later studied, processed, analyzed and then interpreted being presented in a descriptive, adapun theory that the author use in research is a public policy, environmental political theory and political development.

Keyword: Forest Fires, Public Policy, Environmental Politics, Politics Of Development

(8)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan atas berkat rahmat Allah Swt yang senantiasa menolong dan memberkati sehingga penulis diberikan kesehatan, kemampuan, dan kesempatan untuk menyelesaikan tahap demi tahap dalam pembuatan skripsi ini. Semoga namaMu semakin ditinggikan, Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini banyak mendapat bantuan dan dukungan baik dari segi materiil maupun moril dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Warjio. MA. Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Subhilhar. MA. Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah mengarahkan, mengkritik dan memberikan saran yang sangat berguna dalam penulisan skripsi ini.

4. Dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Kak Juraidah dan Pak Burhan yang selalu membantu dalam urusan administrasi.

(9)

ix

6. Kepada seluruh narasumber di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau yang telah rela memberikan waktunya untuk diwawancarai dan dimintai penjelasannya.

7. Teristimewa untuk Orang tua atas limpahan kasih sayang, pengertian serta kesabarannya yang selama ini telah beliau berikan agar saya selalu semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih kepada Papa dan Mama tersayang atas kepercayaan dan perlindungan dan pengajaran hidup yang terus dibagi kepada penulis hingga saat ini. Sungguh kalian orang tua yang paling sempurna bagi kami anak-anakmu.

8. Teristimewa kepada saudara kandung penulis,

Medan, Penulis

Ridho Ramadhan

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 LatarBelakang ... 1

I.2 RumusanMasalah ... 9

I.3 Pembatasan Masalah ... 10

I.4 TujuanPenelitian ... 10

I.5 ManfaatPenelitian ... 10

I.6 KerangkaTeori ... 11

I.6.1 TeoriKebijakanPublik ... 11

I.6.2 PolitikLingkungan ... 21

I.6.3 Politik Pembangunan ... 24

I.7 MetodologiPenelitian ... 27

I.7.1 MetodePenelitian ... 27

I.7.2 JenisPenelitian ... 27

I.7.3 TeknikPengumpulan Data ... 28

I.7.4 Teknik Analisa Data ... 28

I.7.5 SistematikaPenulisan ... 29

(11)

x

BAB II PROFIL PROVINSI RIAU DAN TATA KELOLA HUTAN

PROVINSI RIAU ... 30

II.1 ProfilProvinsi Riau ... 30

II.1.2 Sejarah Provinsi Riau ... 31

II.1.3 Geografis ... 35

II.1.4 PerekonomiandanSosialBudaya ... 36

II.2 KondisiHutan di Provinsi Riau ... 38

BAB III AnalisisdanImplementasiKebijakanPeraturanGubernurProvinsi Riau Nomor 11 Tahun 2014 TentangPusatPengendalianKebakaranHutandanLahan ... 49

III.1 Faktor Yang mempengaruhiKebakaranHutandanLahan di Provinsi Riau .... 50

III.1.1 Kebakaran yang disebabkanolehFaktorAlam ... 50

III.1.2 Kebakaran yang disebabkanolehKesengajaanManusia ... 51

III.1.3 Dampak yang ditimbulkanAkibatKebakaranHutandanLahan ... 52

III.2 MendeskripsikanPeraturanGubernurNomor 11 Tahun 2014 tentangPusatPengendalianKebakaranHutandanLahan ... 56

III.2.1 BerdasarkanNilaiPencapaianKebijakan ... 58

III.2.2 BerdasarkanFaktaKeberadaanKebijakan ... 59

III.2.3 BerdasarkanTindakanPenerapannya ... 61

III.3 MenganalisisKebijakanpemerintah Riau berdasarkanPeraturanGubernurNomor 11 Tahun 2014 TentangPusatpengendalianKebakaranHutandanLahan ... 62

III.3.1 ImplementasiPeraturanGubernurNomor 11 Tahun 2014 tentangPusatPengendalianKebakaranHutandanLahan ... 72

III.3.2 KebijakanPemerintah Riau dalamMengendalikanKebakaranHutandanLahan di Provinsi Riau ... 73

(12)

x

III.3.3 PengaruhHambatandanTantanganPemerintah Riau dalamMengimplementasikanPeraturanGubernurNomor 11 Tahun 2014

tentangPusatPengendalianKebakaranHutandanLahan di provinsi Riau ... 82

III.4 AnalisisTeori ... 89

BAB IV KESIMPULAN ... 98

IV.1 Kesimpulan ... 98

IV.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(13)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 PendekatanDalamAnalisisKebijakanPublik ... 16 Tabel 1.2 Tahapan kebijakan Publik ... 21

Tabel 2.1 PelepasanKawasanHutanUntuk Perkebunan di Provinsi Riau berdasarkan Tata GunaHutanKesepakatan (TGHK) Tahun 1999 s.d 2014 ... 40 Tabel2.2 KawasanHutan di Provinsi Riau 2014 ... 41 Tabel2.3 Penderita ISPA di Provinsi Riau Padatahun 2014 ... 47 Tabel 3.1 PembagianPeranPencegahandanPenangananKarhutla di Provinsi Riau

... 75 Tabel3.2 Rekapitulasipemantauan Hot Spot dariSatelit NOAA ... 80 Tabel3.3 JumlahKasusKebakaranHutan dan Lahan di Provinsi Riau ... 82 Tabel 3.4 Rekapitulasi Luas KebakaranHutandanLahan (Ha) Per provinsi di Indonesia Tahun 2011-2016 ... 83

Daftar Gambar

Gambar 1. Proyeksi Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional TerhadapProvinsi Riau ... 44

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia dikaruniai sebagai salah satu hutan tropis yang paling luas dan paling kaya akan keanekaragaman hayati di dunia. Puluhan juta rakyat Indonesia mengandalkan hidup dan mencari mata pencaharian dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun yang bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Hutan tropis Indonesia merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak tertandingi dengan negara lain. Bahkan sampai sekarang hampir setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan hutan Indonesia selalu menghasilkan penemuan species – species yang baru.

Seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah.

Pohon – pohonnya menutupi 80 sampai 95 persen dari luas lahan total. Tutupan hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta Hektar. Saat ini, tutupan hutan sekitar 98 juta Ha, dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat deforestasi makin meningkat, Indonesia kehilangan sekitar 17 persen hutannya pada periode tahun 1985 dan 1997. Rata – rata negara kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980-an dan sekitar 1,7 juta per tahun pada tahun 1990-an. Sejak

(15)

2

tahun 1996, deforestasi tampaknya malah meningkat lagi sampai sekitar 2 juta ha per tahun.1

Di Indonesia, hampir seluruh hutan merupakan milik negara dan secara administrasi lahan – lahan hutan ini dipetakan secara akurat oleh pemerintah berdasarkan penggunaan dan fungsinya. Departemen Kehutanan bertanggung jawab atas kawasan hutan yang berstatus permanen, yaitu hutan – hutan yang telah dialokasikan sebagai hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas atau hutan produksi. Meskipun demikian, defenisi – defenisi pemanfaatan hutan secara administratif ini sering tidak sesuai dengan tutupan hutan yang sebenarnya.

Pada tingkatan ini, seluruh hutan dataran rendah Indonesia yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu akan lenyap dalam dekade mendatang. Banyak sekali ancaman terhadap hutan Indonesia, mulai dari berbagai kegiatan pembalakan skala besar oleh perusahaan industri perkebunan sampai skala kecil oleh kalangan petani. Pembalakan illegal terhadap hutan dilakukan oleh setiap tingkatan masyarakat mulai dari petani, pejabat pemerintah nasional maupun lokal, para pengusaha industri bahkan militer.

2

Kondisi hutan Indonesia yang mengawatirkan tersebut disebabkan oleh sistem politik dan ekonomi yang korup, yang beranggapan bahwa hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik maupun pribadi. Perkembangan industri yang berkaitan dengan hutan dan perkebunan di

1Restu Achmaliadi. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia. Hal 6.

2Ibid. Hal 17.

(16)

3

Indonesia terbukti sangat menguntungkan, hal ini bermula di masa Orde Baru dimana regulasi terkait Hak Pengusahaan Hutan (HPH) begitu menguntungkan para pemodal.

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku serta berdasarkan azas kelestarian. HPH diberikan Izin pengusahaan oleh pemerintah untuk kegiatan tebang pilih di hutan-hutan alam selama periode tertentu, umumnya 20 tahun, dan diperbarui untuk satu periode selanjutnya, umumnya 20 tahun lagi. Izin HPH ini semula dimaksudkan untuk tetap mempertahankan hutan sebagai kawasan hutan produksi permanen.3

Halini juga dibarengi dengan kebijakan pembangunan hutan di Indonesia di awali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya peraturan pemerintah Nomor 64 tahun 1957 tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan pemerintah mengeluarkan Undang – Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang – Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam negeri. Setelah Undang – Undang tersebut disahkan,

3 Lihat blog http://artidefinisimakna.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-hak-pengusahaan-hutan-hph.html (di akses pada tanggal 08 nov 16)

(17)

4

para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia dengan tujuan bisnis.4

Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak – hak lokal. Lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit juga merupakan penyebab dari deforestasi. Hal ini dikarenakan hampir 7 juta ha hutan sudah dikoversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 sampai tahun 1997.

Pada saat rejim “Orde Baru” mulai berkuasa pada akhir tahun 1960-an, para perencana ekonomi mengambil langkah – langkah taktis untuk membangun perekonomian yang pada saat itu lemah menjadi membaik dengan menciptakan kerangka legal yang membuat perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi besar – besaran terhadap hutan tanpa memikirkan akibatnya. Hutan Sumatera dan Kalimantan merupakan targetan utama dalam hal eksploitasi tersebut dimana kondisi kedua hutan tersebut memiliki pasokan spesies pohon yang bernilai tinggi.

5

Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah meluncurkan sebuah rencana ambisius untuk membangun kawasan yang luas untuk hutan tanaman industri yang tumbuh cepat (Hutan Tanaman Industri – HTI), khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Program ini pada awalnya sebagai rencana untuk menyediakan pasokan tambahan kayu yang berasal dari hutan – hutan alam, melakukan

4Lihat blog Mukti Ali https://mukti-ali.blogspot.co.id (di akses pada tanggal 08 nov 16)

5Opcit. Keadaan Hutan Indonesia Hal 25

(18)

5

rehabilitasi lahan yang terdegradasi dan mempromosikan konservasi alam. Untuk mencapai tujuan tersebut, para pengusaha HTI menerima berbagai subsidi pemerintah.

Peraturan pemerintah pada saat itu jelas menyatakan bahwa HTI hanya diberikan untuk kawasan hutan permanen nonproduktif dan tidak akan diberikan di kawasan yang sudah berada di bawah sebuah HPH. Namun pada kenyataannya, konsesi HTI sering dibangun di lahan hutan yang masih produktif.

Secara umum, hutan sangat berperan dalam membantu umat manusia.

Diantaranya seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah abrasi air laut, mengendalikan erosi, memelihara kesuburan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sudah seharusnya hutan menjadi salah satu yang harus dimiliki dan dijaga oleh negara, bukan malah negara menjadi alat penghancur terhadap hutan. Namun seiring berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan lahan yang terus meningkat, mendorong baik individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan secara berlebihan serta tidak memperhatikan kelestariannya. Salah satu pelanggaran yang dilakukann dan sangat sering diperbincangkan adalah maraknya pembakaran hutan secara liar.

Kebakaran hutan Indonesia di mulai pada masa pemerintahan Soeharto, di mana begitu tingginya hasrat akan pengelolahan hutan secara massif. Praktek kebakaran hutan tersebut meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa di dalam hutan. Tingkat kerusakan yang terjadi akibat kebakaran hutan secara langsung berkaitan dengan degradasi hutan. Kebakaran hutan Indonesia di

(19)

6

masa kepemimpinan Soeharto sering terjadi bahkan sampai pada pemerintahan sekarang ini kita dapat merasakan kebakaran – kebakaran hutan yang dilakukan oleh pihak koorporasi yang mendapatkan izin untuk mengelolah hutan produksi dan membuka lahan perkebunan.

Sekarang ini Indonesia berada di persimpangan jalan, di mana sebagian besar sumber daya alamnya mengalami kehancuran. Jatuhnya rejim orde baru mengawali langkah baik dalam pengimpelementasi kebijakan otonomi daerah yang pada intinya melakukan desentralisasi berbagai fungsi pemerintahan, termasuk juga aspek peraturan tentang pengelolahan hutan kepada pemerintah daerah.

Transisi pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformis menimbulkan kondisi hutan yang porak poranda, sehingga banyak kalangan yang peduli akan kondisi hutan coba memformulasikan konsepsi terkait pemulihan kondisi hutan Indonesia yang juga dibarengi dengan adanya otonomi daerah. Otonomi daerah dalam konteks hutan sangatlah penting, di mana pemerintah daerah yang seyongyanya sebagai lembaga representatif sangat memahami kondisi dan kebutuhan daerah itu sendiri. Sehingga, ketika masyarakat daerah tersebut resah akan kondisi hutan dan kebakaran hutan yang ada maka pemerintah daerah haruslah siap untuk melayani masyarakat untuk terhindar dari bencana yang ditimbulkan akibat pembalakan hutan.

Fakta mengenai jumlah kebakaran yang terjadi sangat memprihatinkan.

Pada tahun 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Propinsi Riau.

(20)

7

Angka yang cukup mengejutkan dimana sebanyak 87% dari peringatan titik api di sepanjang Sumatera berada di Provinsi Riau. Kebakaran hutan dan lahan gabut di Provinsi Riau terus meningkat. Kebakaran hutan di Riau masih terus terjadi hingga saat ini, sehingga menimbulkan banyak dampak sosialnya seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya.

Selama kurun tahun 2013, total 252.172 hektare hutan alam dihancurkan oleh korporasi berbasis tanaman industri, dibanding tahun sebelumnya deforestasi sebesar 188.000 hektare. Ada peningkatan sekitar 64 ribu lebih deforestasi terjadi dibanding tahun 2012. Kini sisa hutan alam sekira 1.7 juta hektare atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau (8.9 juta hektare). Data menunjukkan bahwa tiga tahun belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197,8 (0.5 juta) hektare, dengan laju deforestasi per tahun 188 ribu hektare per hari. Dan 73.5 persen kehancuran itu terjadi pada hutan alam gambut yang seharusnya dilindungi.6

Berdasarkan Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pertimbangannya menyatakan pada huruf (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

6Lihat Natgeo http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/01/eksploitasi-hutan-riau-potret-buruknya-tata- kelola-kehutanan-ri (di akses pada 08 nov 16)

(21)

8

demokrasi, pemerataan, suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.7

Kebijakan tentang pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan bertujuan untuk memantapkan keterpaduan langkah – langkah dan tindakan – tindakan dalam hal pengendalian hutan dan lahan. Di dalam kebijakan tersebut

Maka dari itu, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan melayani masyarakat daerahnya sendiri.

Dalam upaya mengatasi kebakaran hutan yang terjadi saat ini maka kebijakan pemerintah daerah sangat diperlukan.Berdasarkan fenomena kebakaran dan eksploitasi terhadap hutan di Provinsi Riau, maka pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan Peraturan Gubernur tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau Nomor 11 tahun 2014. Peraturan Gubernur tersebut merupakan tindaklanjut dari Intruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, intruksi tersebut ditujukan kepada pemerintah daerah seperti gubernur.

Kebijakan tersebut juga mengingat tentang beberapa undang – undang yang saling terkait tentang hutan di antaranya adalah Undang – undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang – undang Nomor 26 tahun 2007 tentangPenataan Ruang, Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Pengungsi di Daerah.

7Leo Agustino, 2009. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Hal. 12.

(22)

9

juga dilakukan berdasarkan azas kemanusiaan, kemandirian, gotong-royong, profesionalitas dan kewilayahan sesuai dengan wewenang dalam undang – undang nomor 23 tahun 2004 tentang pemerintah daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul tentang Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Provinsi RiauNomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)dengan menganalisis apa – apa saja isi dari kebijakan tersebut.

I.2 Rumusan Masalah

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu masalahnya. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah yaitu :

1. Apa – apa saja yang menjadi kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau melalui Peraturan Gubernur tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

2. Menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

(23)

10 I.3Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas :

1. Penelitian ini hanya mengkaji kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

2. Penelitian ini hanya menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

I.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui isi dari kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau melalui Peraturan Gubernur tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

2. Menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

I.5 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, diharapkan mampu memberikan masukan, infromasi yang bermanfaat, baik bagi peneliti maupun bagi orang lain, yaitu :

(24)

11

1. Secara Akademis, Penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan ilmiah di bidang politik terkait dengan menganalisis kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan Pemerintah.

2. Secara Kelembagaan, penelitian ini dapat menjadi peluang maupun evaluasi bagi pemerintah dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat.

3. Secara Individu, penelitian ini bermanfaat mengembangkan kemampuan penulis dalam mengasah kemampuan berpikir secara ilmiah mengenai kebijakan pemerintah tentang hutan.

I.6 Kerangka Teori

Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir dalam penelitian ini adalah :

I.6.1 Teori Kebijakan Publik

Kebijakan adalah suatu keputusan yang mencerminkan sikap suatu organisasi terhadap suatu persoalan yang telah, sedang atau akan dihadapi .Kebijakan publik adalah keputusan yang di buat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.8

Kebijakan publik dalam defenisi yang mashur dari Dye adalah bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan

8Riant Nugraoho.2008. Public Policy.Jakarta: Elex media Komputindo, Hal 55.

(25)

12

kebijakan. Jika anda melihat banyak jalan berlubang, jembatan rusak atau sekolah rubuh kemudian anda mengira bahwa pemerintah tidak berbuat apa – apa, maka

“diamnya” pemerintah menurut Dye adalah kebijakan. Selain Dye, James E Anderson mendefenisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.9

Menurut Carl Frederich memandang kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seorang kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan - kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan atau suatu maksud tertentu.10

Sebagian dasar pemikiran, macam dan jenis kebijakan publik sangat banyak, namun demikian secara sederhana dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu:11

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau mendasar, yaitu:

Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang - Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang,Peraturan Pemeirntah,Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

2. Kebijakan publik yang bersifat menengah berupa penjelasan pelaksanaan.

Kebijakan ini dapat berbentuk peraturan menteri, Surat Edaran

9Dwiyanto Indiahono.2009.kebijakan publik berbabasis Dynamic Policy Analisys, Yogyakarta : Gava Media, Hal 17.

10 Budi Winarno.2002,Teori dan Proses Kebijakan Publik, Jogjakara: Media Presindo, Hal. 16.

11Riant Nugroho D.2006.Kebijakan Publik Untuk negara-negara berkembang ,Jakarta, Hal 31.

(26)

13

Kebijakanya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur dan Bupati atau Walikota.

3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur kebijakanya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota.

Dalam pembuatan kebijakan, terdapat proses yang kompleks karena melibatkan banyak bagian dari proses maupun variabel yang harus dikaji.

Kebijakan publik adalah suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian kebagian lain secara berkesinambungan, timbal–balik dan saling membentuk.

Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor – aktor yang akan bermain dalam proses pembuat kebijakan.perumusan kebijakan adalah inti dari kebijakan publik, karena di dalam perumusan akan dirumuskan batas – batas kebijakan itu sendiri.12

Tidak semua isu yang dianggap masalah oleh masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya kedalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan, yaitu :13

1. Tahap pertama, perumusan masalah mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan.

Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah – masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik

12Riant Nogroho, Ibid, Hal.355.

13 Budi Winarno, Opcit, Hal.82

(27)

14

2. Tahap kedua, agenda kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk kedalam agenda kebijakan. Masalah – masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah – masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk kedalam agenda kebijakan masalah publik yang masuk kedalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan. Masalah – masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk dilaksanakan.

3. Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.

Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan – pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4. Tahap keempat, penetapan kebijakan setelah salah satu dari kebijakan alternatif diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuat kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.

(28)

15

Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupanya sehuingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Analisis yang dimaksud di dalam analisis kebijakan publik adalah proses dalam menelaah dan memilah unsur-unsur penting yang terkandung di dalam kebijakan publik tersebut. Selain memilah dan menilah bagian-bagian penting yang terkandung di dalam suatu kebijakan, analisis kebijakan publik juga bertujuan untuk menemukan rancangan-rancangan alternatif baru yang ada didalam kebijakan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan- pandangan terhadap isu-isu atau masalah - masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif.14

Sebagai suatu terapan dalam disiplin ilmu analisis kebijakan publik diharaplam dapat menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang memiliki dasar logika yang jelas dan mengandung 3 macam tolak ukur utama, yaitu :15

1. Nilai yang pencapainya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi

2. Fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai

3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

14 William.N.Dunn. 2003. Analisis Kebijakan Publik II.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal.95

15 Ibid 97

(29)

16

Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan sesorang dalam menganalisis sehingga memiliki dasar logika yang kuat yaitu pendekatan empiris, valuatif dan normatif.

Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik Tabel 1.1

Pendekatan Pertanyaan Utama Tipe Informasi

Empiris Adakah dan adakah

(fakta)

Deskriptif dan preddiktif

Valuatif Apa manfaatnya (nilai) Valuatif

Normatif Apakah yang harus di

perbuat (aksi)

Preskriptif

Sumber : Analisis Kebijakan Publik. William N.Dunn hal 98

Tabel diatas menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisis sebuah kebijakan publik. Pendekatan empirisi menekankan penjelasan berbagai sebab dan akibat dari sebuah kebijakan publik. Pertanyaan utama di dalam pendekatan empiris bersifat faktual dan informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Sebaliknya, pendekatan valuatif lebih menekankan terhadap penentuan bobot atau nilai yang terkandung didalam kebijakan. Adapun pertanyaan dalam analisisnya adalah berapa nilai dan bobot yang terkandung di dalam kebijakan tersebut, sehingga informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.

(30)

17

Dan yang terakhir adalah pendekatan normatif yang menekankan terhadap rekomendasi serangkaian tindakan-tindakan yangakan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, pertanyaan dalam pendekatan ini adalah yang berkenaan dengan tindakan yang diapilkasikan dari kebijakan publik tersebut.

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu16

1. Penetapan Agenda Kebijakan (Agenda Setting)

:

Yang pertama kali harus dilakukan adalah penentuan masalah publik yang harus dipecahkan. Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui proses Problem structuring. Woll mengemukakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembaang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat berikut:

a. Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat.

b. Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan.

c. Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada.

d. Terjadinya kegagalan pasar (market failure)

e. Tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah publik.

Menurut Dunnproblem structuring memiliki 4 fase yaitu: pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition),

16 Ibid. Hal. 28.

(31)

18

spesifikasi masalah (problem specification), dan pengenalan masalah (problem setting). Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki brainsroming, analisis multi persfektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.

2. Formulasi Kebijakan ( Policy Formulation)

Menurut Woll, formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk penyelesaian masalah publik, dimana pada tahap para analisis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas.Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forcasting untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap kebijakan yang dipilih.

3. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholder atau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang

(32)

19

diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.

b. Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasi.

c. Mengevaluasi alternative-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar daripada efek negative yang akan terjadi.

4. Implementasi kebijakan (policy implementation)

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit- unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

(33)

20

Jadi, tahapan implementasi kebijakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundangundangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktifitas atau kegiatan program pemerintah.

5. Evaluasi Kebijakan (Policy Asassment)

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau yang direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (Kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuannya atau tidak.

Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan mak pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan (kelemahan) tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terulang dimasa depan.

(34)

21

Tahapan Kebijakan Publik Tabel A 1.2

Penyusunan kebijakan ( Agenda Setting)

Formulasi kebijakan (Policy Formulation)

Adopsi kebijakan (Policy Adoption)

Implemantasi kebijakan (Policy Implementation)

Evaluasi kebijakan (Policy Assassment)

I.6.2 Politik Lingkungan

Politik lingkungan sering kali disamakan pengertiannya dengan ekologi politik. Beberapa definisi tentang ekologi politik yang asumsinya adalah samayaitu: “environmental change and ecological conditions are (to some extent)

(35)

22

the product of political processes” Jika keadaan lingkungan adalah produk dari proses-proses politik, maka tidak terlepas pula dalam hal ini adalah keterlibatan proses-proses dialektik dalam politik ekonomi. Perhatian tertentu difokuskan pada konflik yang di timbulkan karena adanya akses lingkungan yang dihubungkan ke sistem politik dan hubungannya dengan ekonomi.17

Menurut Vandana Siva, akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan.18Paterson mengatakan bahwa politik lingkungan adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yangbermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan.19

Sementara menurut Bryant, politik lingkungan boleh didefenisikan sebagai usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi suatu jaringan dari pergantian lingkungan. Bryant memusatkan kajian politik lingkungannya dengan meneliti operasional dalam pengelolaan hutan dalam kasus Indonesia. Dari defenisi di atas, jelaslah, bahwa defenisi Bryant yang menekankan bahwa politik hal yang pertama atas politik lingkungan, yang berbasis aspek

17 Sansen Situmorang. 2008. Ekologi Politik : Gagasan CSR Dalam Meredam Gejolak Sosial Masyarakat Lokal. Hal 25.

18 Umar Syadat Hasibuan. 2008. Green Politics dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia.

Melalui (http://www.unisosdem.org/article_detail diakses pada 08-11-16 pukul 21.00 WIB).

19 Herman Hidayat. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. Hal 9.

(36)

23

pembangunan dan berwawasan lestari. Ada dua alasan rasional untuk kondisi ini.Pertama, bahwa tekanan politik dan ekonomi dari pemerintah Soeharto mewarnai secara mendalam dalam pengelolaan hutan sejak tiga dekade pemerintahannya (1966-1998). Kedua, implikasi dari tekanan politik dan ekonomi atas perspektif lingkungan telah diabaikan oleh birokrat kehutanan, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan hutan.15

Mengamati skala sosial dan lingkungan yang berbeda, politik lingkungan menjelaskan sekurangnya tiga penelitian area yang berbeda, yaitu :20

1. Pertama, penelitian ke dalam sumber yang kontekstual perubahan lingkungan yang menguji pengaruh lingkungan secara umum pada suatu negara, hubungan antar negara, dan kapitalisme global.

2. Kedua, area penelitian mencari tahu suatu lokasi dari aspek-aspek yang khusus mengenai perubahan lingkungan, yaitu dengan studi suatu konflik atas akses sumber -sumber lingkungan. Ilmuwan memperoleh pandangan bagaimana kontekstual pelaku berpengaruh atas kondisi sosio-lingkungan yang khusus, hubungan, dan menekankan perjuangan lokasi yang khusus atas lingkungan. Mengambil, baik sejarah maupun dinamika konflik, penelitian area ini menggambarkan bagaimana para petani yang miskin dan marsyarakat lokal tanpa kekuasaan berperang melindungi fondasi lingkungan atas kehidupannya.

20Ibid. Hal 10.

(37)

24

3. Ketiga, penelitian area ini menjelaskan jaringan politik dari perubahan lingkungan atas hubungan sosio - ekonomi dan politik.

Etika lingkungan menyoroti tentang kapasitas sumber daya bumi untuk menopang populasi manusia, kapasitas biosfer untuk menyerap limbah manusia, perubahan iklim sebagai akibat perilaku manusia, laju kepunahan spesies non- manusia yang terus meningkat dengan cepat, eksploitasi lingkungan dengan cepat, eksploitasi lingkungan di negara miskin untuk mempertahankan gaya hidup negara kaya, ketidakpedulian sistematis terhadap kepentingan generasi yang akan datang, perusakan yang luas dan parah terhadap hutan dan laut, dan pemanfaat binatang untuk keperluan industri.21

Politik pembangunan dapat didesain atau dibuat oleh Negara. Ditinjau dari konsepnya, politik banyak Pembangunan adalah perubahan kearah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang berlawanan dengan merusak.Oleh karena itu, perubahan ke arah yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan terencana, harus mengoptimalkan sumberdaya I.6.3 Politik Pembangunan

Sama dengan konsep politik, pembangunan juga merupakan suatu konsep yang masih diperdebatkan dan banyak menuai kritik.

21 Nicholas Low. 2009. Politik Hijau, Bandung : Nusa Media, Hal 3.

(38)

25

yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. mengartikan sebagai sebuah perebutan kekuasaan seperti pengertian politik yang diberikan Hans J.

Morgenthau dengan istilah The Stuggle For Power yakni perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan22. Politik itu dalam hubungan ini adalah perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan, mengontrol kekuasaan, serta bagaimana menggunakan kekuasaan. Namun terlepas dari sinisme akan politik dan perebutan kekuasaan, politik sesungguhnya merupakan cara atau strategi untuk meraih kekuasaan dan dengan itu ia dapat mengimplementasikan ide, gagsan atau ideologi perjuangan baik secara individu, kelompok atau negara.23

Menurut Warjio, peran pemerintah menjadi subjek utama pembangunan yakni memperlakukan rakyat sebagai objek, resipient atau penerima. Pemahaman Dalam pembangunan peran pemerintah menjadi subjek utama yang memperlakukan rakyat sebagai objek, penerima dan bahkan partisipasi pembangunan.Dalam pembahasan mengenai paradigma yang mencari jalan ke arah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhususan setempat.

22 Hans J. Morgenthau. 1959. Politics Among Nations, The Struggle For Power and Peace, New York:

Alfred A. Knopf, Hal 25.

23 Warjio, Ph.D. 2013. Politik Pembangunan Islam, Pemikiran dan Implementasi, Medan: Perdana Publishing, Hal 70-71.

(39)

26

yang demikian tentang pembangunan memberikan satu kesimpulan bahwa pembangunan sangat terkait erat dengan proses dan kepentingan politik lembaga- lembaga internasional ataupun kepentingan negara. Pembangunan juga merupakan hasil dari proses ataupun kepentingan elit politik pemerintah ataupun kelompok kepentingan dalam satu negara.24

Menurut Warjio, Strategi pembangunan pada dasarnya adalah cara atau jalan yang terbaik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula berdasarkan platform yang di buat. Karena itu strategi pembangunan yang baik akan dapat menghasilkan pencapaian tujuan yang diinginkan secara efesien dan efektif. Strategi pembangunan mestilah disesuaikan dengan kondisi, potensi yang dimiliki dan permasalahan pokok yang dihadapi serta sumber daya yang tersedia yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan.

Menurut Todaro, pembangunan adalah sebuah proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi, pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengetasan kemiskinan.

Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka.

25

24 Warjio. Ibid. Hal. 12

25Ibid. Hal. 112

(40)

27

Politik pembangunan sebagai pedoman dalam pembangunan nasional memerlukan keterpaduan tata nilai, struktur, dan proses. Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, kita memerlukan sistem manajemen nasional. Sistem manajemen nasional berfungsi memadukan penyelenggaraan siklus kegiatan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan. Sistem manajemen nasional memadukan seluruh upaya manajerial yang melibatkan pengambilan keputusan berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan ketertiban sosial, politik, dan administrasi.

I.7 Metodologi Penelitian I.7.1 Metode Penelitian

Merujuk pada permasalahan yang akan diteliti, penulis menggunakan jenis penilitian deskriftif. Penelitian deskriptif adalah cara dalam melihat dan memecahkan masalah dengan melihat data dan fakta dari fenomena dimasa kekinian. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaaan sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat

(41)

28

pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.26

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian interaksi, dan kegiatan.

Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual, dan kategoris dari data itu sendiri.

I.7.2 Jenis Penelitian

27 Tipe paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survei, wawancara, atau observasi.

I.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Dimana data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara mendalam kepada sumbernya, adapun yang menjadi narasumber adalah:

26 Hadari Nawawi. 1987. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hal: 63.

27 Bruce A. Chodwick. 1991. Social Science Research Method, terj. Sulistia dkk, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal: 234.

(42)

29 1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau

2. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau 3. Pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Riau.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, laporan, jurnal dan dokumen lainnya.

I.7.4 Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan data penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif. Analisa yang dilakukan berdasarkan data deskriptif dari lapangan dimana data diperoleh kejelasan dan permasalahan telah dirumuskan sebelumnya, kemudia dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

(43)

30 I.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab ini berisi tentang Latar belakang Masalah,Rumusan Masalah,TujuanPenelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian dansistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Pada Bab ini mengambarkanprofil Provinsi Riau serta menguraikan kondisi hutan di Provinsi Riau sebagai sumber analisis penelitian.

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan terkait permasalahan yang menjadi masalah penelitian.

BAB IV PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.

(44)

31 BAB II

PROFIL PROVINSI RIAU DAN TATA KELOLA HUTAN DI PROVINSI RIAU

II.1 Profil Provinsi Riau

Provinsi Riau merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang terletak dibagian tengah pulau Sumatera, Provinsi ini juga terletak di bagian tengah pantai timur Pulau Sumatera, yaitu sepanjang pesisir Selat Melaka. Ibukota dan kota terbesar Provinsi Riau adalah Pekanbaru, kota besar lainnya antara lain Dumai, Selat panjang, Bagan siapiapi, Bengkalis, Bangkinang, Tembilahan, dan Rengat.28

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat. Tetapi, penebangan hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada 1982 menjadi hanya 33% pada 2005. Rata-rata 160,000 hektare hutan habis ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009. Deforestasi dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa sawit dan produksi kertas telah menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun.29

28"Sejarah Singkat Indragiri Hilir". Situs resmi pemerintah kabupaten Indragiri Hilir, diakses melalui situs Wikipedia pada tanggal 21 Februari 2017

29 "Kondisi Sosial Budaya Provinsi Riau". Sekretariat Negara, diakses melalui situs Wikipedia pada tanggal 21 Februari 2017

(45)

32 II.1.2 Sejarah Provinsi Riau

Provinsi Riau diduga telah dihuni sejak masa antara 10.000-40.000 SM.

Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosin di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu.30

30 Artikel Antara "Artefak Masa Prasejarah Ditemukan di Riau". ANTARA, diakses melalui Situs Wikipedia pada tanggal 21 Februari 2017

Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus di Kampar sebagai titik awalnya.

Sejarah Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai wilayah di Riau. Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir. Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka. Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.

(46)

33

Di akhir abad ke-18, Kerajaan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Pada tahun 1761, Sultan Abdul Jalil Syah III mengikat perjanjian ekslusif dengan Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di dalam tubuh kesultanan yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi penguasa Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.

Tahun 1780, Siak menaklukkan daerah Langkat dan termasuk wilayah Deli Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.31

Pada masa kolonial, invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatera tidak dapat dihadang oleh kerajaan Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Para sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur

31Ryan, N. J. 1969, “The making of modern Malaysia and Singapore : a history from earliest times to 1966 (4th ed., rev ed.)”, Oxford University Press, di akses melalui situs Wikipedia paa tanggal 22 Februari 2017

(47)

34

antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatera.

Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda. Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki. Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942. Seluruh Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang.

Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang 300 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru yang terbengkalai.

Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk menyelesaikan proyek ini.32

Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi.

Seiring dengan penumpasan simpatisan PRRI, Sumatera Tengah dimekarkan lagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Ketika itu, Sumatera Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI, situasi ini menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah Sumatera Tengah

32 Samad, R. S., & Zulkarnain. 2010. Negara dan masyarakat: Studi penetrasi negara di Riau Kepulauan masa Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar di Akses melalui situs Wikipedia pada Tanggal 22 Februari 2017

(48)

35

dengan tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI. Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat.

Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.33

Provinsi Riau sempat menjadi salah satu daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada akhir 1950-an. Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI. Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, yang secara geografis terletak di tengah-tengah. Pemerintah akhirnya menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari 1959 lewat Kepmendagri.34

Setelah jatuhnya Orde Lama, Riau menjadi salah satu tonggak pembangunan ekonomi Orde Baru yang kembali menggeliat. Pada tahun 1944, ahli geologi NPPM, Richard H. Hopper dan Toru Oki bersama timnya menemukan sumur minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu di Minas, Siak. Sumur ini awalnya bernama Minas No. 1. Minas terkenal dengan jenis minyak Sumatera

33Asnan, Gusti. 2007. “Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an”. Yayasan Obor Indonesia di akses melalui Wikipedia pada tanggal 22 Februari 2017

34 Ibid

(49)

36

Light Crude (SLC) yang baik dan memiliki kadar belerang rendah. Pada masa awal 1950-an, sumur-sumur minyak baru ditemukan di Minas, Duri, Bengkalis, Pantaicermin, dan Petapahan. Eksploitasi minyak bumi di Riau dimulai di Blok Siak pada September 1963, dengan ditandatanganinya kontrak karya dengan PT California Texas Indonesia (kini menjadi Chevron Pacific Indonesia). Provinsi ini sempat diandalkan sebagai penyumbang 70 persen dari produksi minyak nasional pada tahun 1970-an. Provinnsi Riau juga menjadi tujuan utama program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Soeharto. Banyak keluarga dari Pulau Jawa yang pindah ke perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka di Riau.35

Provinsi Riau terdiri dari daerah dataran dan perairan, dengan itu lebih kurang 8.915.016 Ha (89.150 Km), keberadaanya membentang dari lereng bukit barisan sampai dengan Selat Malaka terletak antara 01 05’00’’ Lintang Selatan – 02 25’00’’ Lintang Utara atau antara 10 00’00’’ – 105 05’00’’ Bujur Timur. Di daratan terdapat sungai Siak (300 Km) dengan Kedalaman -12m, Sungai Rokan (400 Km) dengan kedalaman 6-8 m, Sungai Kampar (400 Km) dengan kedalaman lebih kurang 6 meter dan sungai Indragiri (500 Km) dengan kedalaman 6-8 meter.

Keempat sungai yang membelah pegunungan dataran tinggi bukit barisan tersebut bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

II.1.3 Geografis

36

35 ibid

36 Badan Pusat Statistik Provinsi Riau "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut di Provinsi Riau". Badan Pusat Statistik.

(50)

37

Adapun batas – batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan provinsi lainnya adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara b. Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat c. Sebelah Timur : Provinsi Kepulauan Riau da Selat Malaka d. Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara Provinsi Riau sendiri memiliki 10 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu : a. KabupatenKuantan Singingi

b. KabupatenIndragiri Hulu c. KabupatenIndragiri Hilir d. Kabupaten Pelalawan

e. KabupatenSiak Sri Indrapura f. KabupatenKampar

g. KabupatenRokan Hulu h. KabupatenBengkalis i. KabupatenRokan Hilir j. Kota Pekanbaru k. Kota Dumai

l. Kabupaten Kepulauan Meranti II.1.4 Perekonomian dan Sosial Budaya

Mayoritas penghasilan yang dimiliki penduduk di Provinsi Riau adalah dari Perkebunan. Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan

(51)

38

perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun oleh rakyat.

Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektare. Selain itu, telah terdapat sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut palm oil (CPO).

Letak strategis Provinsi Riau di jalur lintas perdagangan di Selat Malaka menyebabkan terjadinya kontak suku bangsa di sekitaran nusantara seperti dengan India, Arab dan Eropa. Masuknya agama Hindu, Budha dan Islam menyebabkan terjadinya akulturasi, adaptasi dan asimilasi di bidang kebudayaan. Salah satu warisan Hindu yang nyata di Provinsi Riau adalah adanya komplek Candi Muara Takus di Kecamatan Tiga Belas Koto Kampar (Kabupaten Kampar). Selain itu, terdapat pula dipadang candi di Kabupaten Indragiri Hulu dan juga Candi Sedinginan di Kabupaten Rokan Hilir.37

Proses pembaharuan terjadi terus menerus di Provinsi Riau sampai saat ini. Pembaharuan etnis yang ada saat ini sudah terjadi selama berabad, sehingga Pengaruh agam islam masuk ke Indonesia pada melenium pertama dan sesudahnya terjadi secara damai dan berkembang, hampir semua elemen kebudayaan mengalami penyesuaian terhadap agama islam, dengan demikinan pengaruh islam menjadi dominan di kebudayaan melayu. Oleh sebab itu, agama islam menjadi semakin kuat dan kemudian menyatu dengan nama komunitas Riau.

37 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Balai Pustaka di akses melalui situs Wikipedia pada tanggal 23 Februari 2017

(52)

39

heterogenitas yang terjadi di Provinsi Riau saat ini merupakan hal yang wajar.

Kemajemukan yang terjadi dapat terlihat dari adanya penduduk yang bersuku Bungis, Banjar, Minangkabau, Tapanuli, Jawa dan bahkan Arab. Oleh karena itu, beberapa tradisi memiliki kemiripan satu sama lain, tetapi semuanya dikenal sebagai kebudayaan melayu tanpa mempertanyakan asal usul mereka.38

Proses degradasi hutan di Provinsi Riau sangatlah cepat, Provinsi Riau adalah wilayah yang mempunyai lahan gambut terbesar di pulau Sumatera.

Menjamurnya indusrialisasi kehutanan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya degradasi hutan yang tidak terkendali. Tata kelola hutan lestari tidak dapat dilepaskan dari unsur pengelola. Hutan yang hanya diorentasikan kepada pemanfaatan hutan melalui pemberian izin semata dengan cara membagi-bagi seluruh kawasan hutan produksi. Pada dasarnya tata kelola harus dilihat dari proses keserasian antara pengukuhan dan penetapan kawasan hutan dengan Jejak – jejak kebudayaan yang mewarisi masa lalu masih terlihat nyata di dalam tradisi dan adat istiadat di tengah kehidupan sehari – hari masyarakat Melayu Riau. Tetapi kebudaaan melayu di daerah ini tidak sepenuhnya berakat semata – mata dari kebudayaan melayu, melainkan dari beberapa bentuk kebudayaan lain dan tradisi lain yang telah ada di Indonsia Berabad – abad yang lalu dimana tetap meninggalkan jejak dan memengaruhi kebudayaan melayu setempat. Bentuk kesenian melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya islam.

II.2 Kondisi Hutan di Provinsi Riau

38Suwardi MS.1991. Budaya Melayu dalam perjalanannya menuju masa depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI-Riau Hal 23.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara dengan siswa pelajaran IPA menunjukkan bahwa minat siswa terhadap pelajaran IPA kelas VII SMP Negeri 4 Terbanggi Besar masih kurang. Siswa tidak

Pengaruh Risiko Pasar Terhadap ROA IRR memiliki pengaruh positif yang tidak signifikan dan kontribusi sebesar 5,76 persen terhadap ROA pada Bank Umum Swasta

Penyakit Buerger adalah suatu keadaan dimana arteri serta vena ukuran sedang dan kecil mengalami inflamasi berulang (rekuren), terutama pada bagian ekstremitas bawah dan atas

Selain itu lini bisnis surety bond merupakan lini bisnis yang menjadi primadona perusahaan meskipun pada tahun 2003 tingkat risikonya cukup signifikan 49,34% yaitu adanya klaim

Tahapan kegiatan yang akan dilakukan melalui scientific approach menurut Petunjuk Teknis Pendekatan Ilmiah (scientific approach) Kurikulum 2013 dalam Permendikbud 81

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2013

Dalam hal peningkatan stabilitas kapal cepat penggunaan skeg pada buritan kapal disamping mempunyai efek posistif juga mempunyai efek negatif yang berhubungan

[r]