• Tidak ada hasil yang ditemukan

S h a r e. S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN : Vol. 4. No. 2, Desember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "S h a r e. S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN : Vol. 4. No. 2, Desember 2014"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

S o c i a l W o r k J o u r n a l

S h a r e

ISSN : 2339-0042-7

Vol. 4. No. 2, Desember 2014

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. ANEKA TAMBANG UBPE SEBAGAI SOLUSI MASALAH PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR Oleh: Danis Dea Rizky, Santoso Tri Raharjo, Risna Resnawaty

PROMOSI KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) BIDANG KESEHATAN IBU DAN ANAK

Oleh: Gina Indah P. Nastia, Hadiyanto A. Rachim, Maulana Irfan

PENGASUHAN (GOOD PARENTING) BAGI ANAK DENGAN DISABILITAS Oleh Gabriela Chrisnita Vani, Santoso Tri Raharjo, Eva Nuriyah Hidayat, Sahadi Humaedi

PERAN PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN LANSIA Oleh: Shinta Puji Triwanti, Ishartono, Arie Surya Gutama

PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI GANGGUAN JIWA DAN KETERBELAKANGAN MENTAL

Oleh: Nadira Lubis, Hetty Krisnani, Muhammad Fedryansyah

PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH DAN COPING BEHAVIOR SISWA SMA DALAM MENGHADAPI LINGKUNGAN SOSIAL DI SEKOLAH Oleh Rizkia Annisa Frabandani, Agus Wahyudi Riana, Santoso Tri Rahajo

KOMPETENSI LOKAL DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH INDUSTRI

Oleh Meilanny Budiarti S.

PELAYANAN SOSIAL BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH Oleh: Elita Metica Tamba, Hetty Krisnani, Arie Surya Gutama THE PRIMARY PROFESSION OF SOCIAL WORKER:

EKSISTENSI PEKERJA SOSIAL SEBAGAI SUATU PROFESI Oleh : Rizki Bunga Lestari,Soni Akhmad Nulhaqim, Maulana Irfan

PELAYANAN SOSIAL BAGI ANAK JALANAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL Oleh: Melisa Amalia Amin, Hj.Hetty Krisnani, Maulana Irfan EKSISTENSI PEKERJA SOSIAL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN

AMERIKA SERIKAT

Oleh :Adetya Nuzuliani Rahma, R.Nunung Nurwati, Budi Muhammad Taftazani

PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM SISTEM USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL DI ERA MILLENNIUM

Oleh: Purwowibowo

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2014

(2)

S h a r e

S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN: 2339-0042-7

Jurnal Pekerjaan Sosial

Departemen Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Padjadjaran

DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab : Drs. Budi Wibhawa, MS.

Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si Sekretaris : Drs. Nandang Mulyana, M.Si

Mitra Bestari : Prof. Drs. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D Dr. Dra. Sri Sulastri, M.Si.

Dr. Kanya Eka Santi, MSW.

Dewan Redaksi : Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si.

Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si.

Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D Anggota : Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW.

Risna Resnawaty, S.Sos., MP.

Heri Wibowo, S.Psi., MM .

Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si

Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si

Alamat Penerbit/Redaksi : Departemen Kesejahteraan Sosial

Gedung B FISIP-UNPAD

Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan e-mail : [email protected] dan

[email protected] ISSN: 2339-0042-7

2339-0042-7

(3)

ii

PENGANTAR REDAKSI

Dalam Jurnal Share Volume 4 nomor 2 Desember 2014 ini menerbitkan sepuluh artikel ilmiah yang merupakan hasil karya yang merupakan kerjasama mahasiswa dan dosen. Beberapa tema yang terdapat dalam jurnal ini yaitu: CSR, disabilitas, lansia, Ganguan Jiwa, Coping behavior, kemiskinan, kompetensi lokal, pelayanan remaja, profesi pekerjaan sosial, pelayanan anak jalanan. Beberapa tema tersebut masih tetap layak untuk ditampilkan sesuai dengan perkembangan terkini.

Para pembaca dapat memperoleh informasi lengkap dan utuh tentang topik- topik tersebut di atas pada artikel jurnal edisi ini. Semoga informasi yang diperoleh dari artikel-artikel yang diterbitkan dalam edisi ini bermanfaat dan dijadikan rujukan yang berarti. Selamat membaca.

Selamat membaca, Redaksi

(4)

iii

Share

Vol. 4. No. 2, Desember 2014

S o c i a l W o r k J o u r n a l

ISSN: 2339-0042-7

TEORI PEKERJAAN SOSIAL DALAM LINTASAN MODERNISME DAN POSMODERNISME

Oleh: Budi Muhammad Taftazani, S.Sos, MPSSp. 81 - 87

PERFORMA PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL INDONESIA

Oleh: Soni Akhmad Nulhaqim 88 - 95

PELAYANAN BAGI ANAK DENGAN KECACATAN DI KOTA CIMAHI

Oleh: Nurliana C. Apsari 96 -103

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. ANEKA TAMBANG UBPE SEBAGAI SOLUSI MASALAH PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR

Oleh: Danis Dea Rizky, Santoso Tri Raharjo, Risna Resnawaty 104 - 110 PROMOSI KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY (CSR) BIDANG KESEHATAN IBU DAN ANAK

Oleh: Gina Indah P. Nastia, Hadiyanto A. Rachim, Maulana Irfan 111 - 121 PENGASUHAN (GOOD PARENTING) BAGI ANAK DENGAN DISABILITAS

Oleh Gabriela Chrisnita Vani, Santoso Tri Raharjo, Eva Nuriyah Hidayat,

Sahadi Humaedi 122 - 128

PERAN PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN LANSIA

Oleh: Shinta Puji Triwanti, Ishartono, Arie Surya Gutama 129 - 136 PEMAHAMAN MASYARAKAT MENGENAI GANGGUAN JIWA DAN

KETERBELAKANGAN MENTAL

Oleh: Nadira Lubis, Hetty Krisnani, Muhammad Fedryansyah 137 - 144 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH DAN COPING BEHAVIOR SISWA SMA DALAM

MENGHADAPI LINGKUNGAN SOSIAL DI SEKOLAH

Oleh Rizkia Annisa Frabandani, Agus Wahyudi Riana, Santoso Tri Rahajo 145 - 153 KOMPETENSI LOKAL DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

DI DAERAH INDUSTRI

Oleh Meilanny Budiarti Santoso. 154 - 159

PELAYANAN SOSIAL BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH

Oleh: Elita Metica Tamba, Hetty Krisnani, Arie Surya Gutama 160 - 165 THE PRIMARY PROFESSION OF SOCIAL WORKER: EKSISTENSI PEKERJA

SOSIAL SEBAGAI SUATU PROFESI

Oleh : Rizki Bunga Lestari,Soni Akhmad Nulhaqim, Maulana Irfan 166 - 180

(5)

iv

PELAYANAN SOSIAL BAGI ANAK JALANAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

Oleh: Melisa Amalia Amin, Hj.Hetty Krisnani, Maulana Irfan 181 – 189 EKSISTENSI PEKERJA SOSIAL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN

AMERIKA SERIKAT

Oleh :Adetya Nuzuliani Rahma, R.Nunung Nurwati, Budi Muhammad Taftazani 190 - 197 PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM SISTEM USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

DI ERA MILLENNIUM

Oleh: Purwowibowo 198 - 210

2339-0042-7

(6)

82

TEORI PEKERJAAN SOSIAL

DALAM LINTASAN MODERNISME DAN POSMODERNISME

Oleh:

Budi Muhammad Taftazani, S.Sos, MPSSp.

Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad Email: [email protected]

ABSTRAK

Adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami teori pada ilmu-ilmu sosial termasuk pekerjaan sosial seringkali memunculkan pertanyaan seperti: apa sebenarnya teori itu? Apakah pekerjaan sosial memiliki teori? Apa gunanya teori dalam praktik pekerjaan sosial?

Paling tidak dalam skema yang besar, pemahaman teori dapat berakar dari dua pandangan utama yang selama ini mempengaruhi pengetahuan pekerjaan sosial yaitu pemahaman teori yang berasal dari pandangan positivis atau modernis dan teori yang berasal dari pandangan posmodernis.

Tentunya dilihat dari perjalanannya, teori dari aliran modernis-positivis adalah yang lebih dahulu berpengaruh, yang kemudian berkembang ke arah posmodernis.

Struktur pengetahuan positivisme yang dibangun dari tradisi ilmu alam dianggap kurang memadai dalam mengungkap kompleksitas gejala sosial atau interaksi dan perilaku manusia.

Positivisme tidak sanggup mengungkap aspek-aspek yang tidak kasat mata dari fenomena sosial.

Pengetahuan hanya sah bila sudah diuji oleh metode ilmiah. Sementara posmodernisme memberi ruang yang lebih terbuka dalam mengungkap aspek-aspek penting dibalik sebuah pengetahuan.

Realitas tunggal, universalisme dan generalisasi yang luas ditolak oleh pandangan ini. Pengetahuan dianggap bukan gambaran sebenarnya dari realitas.

Implikasi pada pekerjaan sosial dari dua pandangan ini diantaranya adalah memperkaya conceptual framework dari pengetahuan pekerjaan sosial serta memberi kesadaran baru akan pentingnya memperhatikan konteks, lokalitas, keragaman, relativitas kebenaran pengetahuan, serta aspek-aspek penting lain dari kehidupan manusia atau dunia klien yang tidak terungkap oleh metode positivis. Terdapat pula relevansi pandangan posmodernisme dengan pekerjaan sosial sebagai ilmu terapan ketika pemaknaan teori tidak lagi dibatasi hanya sebagai penjelasan ekplanatif saja.

Kata Kunci : Teori Pekerjaan Sosial, Modernisme, Posmodernisme

A. Teori Menurut Pandangan Positivis Positivisme adalah faham yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat objektif, dapat digeneralisasi, dan diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan

menurut aliran positivis harus paling tidak memiliki syarat sebagai berikut :

1. Harus didukung oleh bukti yang diperoleh dari pengalaman atau observasi 2. Pengetahuan tersebut bukanlah berupa

nilai, karena nilai tidak dapat diamati dan dibuktikan

(7)

81

3. Harus menggunakan langkah-langkah sistematis yaitu berupa penerapan metoda ilmiah

Positivisme sejalan dengan faham modernisme, yang dimulai di zaman pencerahan Eropa (enlightment) abad enam belas dan tujuh belas, saat pengaruh agama dilepaskan dari ilmu pengetahuan. Maka demikian ilmu pengetahuan menurut faham modernis-positivis haruslah diperoleh melalui upaya-upaya penyelidikan terhadap fenomena alam atau sosial melalui proses riset. Aliran positivis percaya bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar, maka pengetahuan tersebut haruslah dilepaskan dari nilai-nilai subjektif dan anggapan lain yang tidak dapat diamati.

Hammersley dan Atkinson (dalam Payne 1997:28), menyebutkan beberapa karakteristik dari metode positivis atau modernis dalam memperoleh pengetahuan yaitu:

1. Menggunakan model ilmu pengetahuan alam dalam semua reisetnya. Riset baru dikatakan valid jika menggunakan variabel-variabel dengan ukuran kuantitatif. Dengan demikian relasi manusia, budaya, masyarakat, dapat diteliti dengan cara seperti itu.

2. Menerapkan hukum universal, yaitu pandangan yang menggeneralisasikan sebuah kesimpulan untuk situasi yang lain. Menekankan pada kesamaan daripada melihat keunikan atau perbedaan yang dianggap tidak signifikan. Statistik digunakan dalam penelitian sosial sebagai dasar untuk menggeneralisasi

3. Observasi yang netral terhadap objek yang diteliti. Informasi-informasi yang tidak dapat terlihat atau tunggal diabaikan dengan penggunaan instrumen pengumpulan data yang sudah terstandar dan ditetapkan oleh peneliti.

4. Dapat meramalkan (teleology). Metode penelitian positivis dan modernis

melihat bahwa masyarakat atau manusia akan bergerak menuju capaian-capaian sosial atau kemanusiaan seperti menuju modernitas, kebebasan, atau pemenuhan diri.

Teori yang dibangun dari penelitian modernisme atau positivisme adalah bersifat eksplanatif dan sebagai hasil dari prosedur ilmiah. Tripodi, Fellin, & Meyer, 1969 dalam (Thyer, 2008) menjelaskan definisi teori menurut pandangan ini sebagai seperangkat hipotesis yang berhubungan secara logis yang menjelaskan relasi antar generalisasi yang sudah terbukti secara empiris. Sementara Tolson, Reid & Garvin (1994), mendefinisikan teori sebagai seperangkat konsep dan konstruk yang menggambarkan dan menjelaskan sesuatu atau fenomena.

Dalam faham positivis, teori menjelaskan mengapa sesuatu atau tindakan tertentu memunculkan akibat atau keadaan tertentu.

Clark (1995) menggambarkan pemahaman ini dengan apa yang disebutnya sebagai penjelasan sebab akibat (causal narative), sedangkan Payne menyebutnya sebagai explanatory theory.

Teori, Model, dan Perspektif

Dalam pandangan positivisme yang harus selalu menerapkan metode ilmiah dalam membangun teorinya, maka teori merupakan sebuah pernyataan umum mengenai dunia nyata yang kebenarannya harus dapat dibuktikan melalui metode ilmiah. Berbeda dengan pandangan posmodernis yang memahami teori secara lebih longgar, pandangan positivis yang secara tegas mendasarkan pada metode ilmiah membedakan secara ketat antara teori, model, dan pendekatan atau perspektif.

Teori menurut pandangan positivis haruslah menjelaskan – berdasarkan hasil pembuktian-, mengapa sesuatu terjadi. Jadi teori menjelaskan sesuatu atau fenomena.

Sedangkan model adalah sebuah acuan yang memberi panduan bagi praktik. Teori terdiri

(8)

82

dari definisi dan proposisi, yaitu mendefinisikan, menjelaskan, dan memprediksi, namun tidak mengarahkan.

Sebaliknya, model memberi penjelasan atau menentukan apa yang seharusnya dilakukan praktisi saat melakukan praktik. Model adalah pedoman untuk praktik. Tolson et al, (1994 dalam Thyer 2008), menjelaskan bahwa model, terdiri dari pernyataan-pernyataan yang memberi petunjuk atau langkah-langkah mengenai bagaimana intervensi seharusnya dilakukan.

Namun perlu juga dipahami bahwa model diperoleh dari teori atau berdasar teori namun cara mengembangkannya berbeda dengan teori. Loeb (1959) dalam Thyer 2008) menyebutkan bahwa model dibangun untuk memecahkan masalah secara langsung sehingga menghasilkan outcomes. Ia menyebut model sebagai alat pemecahan masalah (problem solving device).

Dari pemahaman teori dan model di atas, maka psikodinamika, behavioral, kognitif, konflik, fungsionalisme, modernisme, dan teori sistem adalah contoh- contoh teori saat semuanya mendefiniskan, menjelaskan, dan memprediksi perilaku manusia atau gejala sosial. Namun pada tingkatan pemecahan masalah, maka terdapat pula model-model intervensi yang berasal dari teori-teori tersebut seperti model cognitive- behavioral treatment, model untuk perubahan komunitas dan organisasi, Welfare State- Industry Model, Market Model, Charity Model, Activist Model, Task Centered, Case Management, Solution Focused, Intervensi Krisis, atau Self-Help Model.

Teori juga dibedakan dengan perspektif atau pendekatan. Perspektif merupakan sebuah cara melihat, yang mengarahkan pilihan pandangan kita dari berbagai variabel yang kompleks. Perspektif mengarahkan praktisi untuk memfokuskan perhatian pada faktor tertentu saja dari beragam variabel dalam situasi praktik.

Sebuah perspektif adalah sebuah lensa untuk memotret satu angle saja dari sebuah landscape yang luas. Contoh dari perspektif

adalah, ecological perspective, strength perspective, atau generalist perspective.

B. Pengetahuan dan Teori Menurut Pandangan Posmodernis

Sejak era 1990an, pekerjaan sosial mulai dipengaruhi oleh pemikiran posmodernisme. Posmodernisme sendiri adalah sebuah gerakan intelektual antitesa dari modernisme. Pemikiran ini melihat bahwa pengetahuan hanyalah gambaran dari realita yang tersusun dari simbol atau bahasa yang menggantikan realita. Dengan demikian, pengetahuan bukanlah realita yang sebenarnya. Karena tersusun dari simbol atau bahasa, maka ada proses komunikasi atau pertukaran simbol dan bahasa yang dilakukan manusia dalam mengembangkan pengetahuannya. Karena bahasa dapat dimaknai secara berbeda oleh manusia yang berbeda, maka pengetahuan yang ada bagaimanapun tidaklah bisa netral (sepeti yang diklaim oleh kaum positivis-modernis).

Manusia dapat menciptakan bias pada bahasa yang mereka gunakan.

Bahasa dapat menggambarkan asumsi sosial yang berbeda dan manusia seringkali melakukan pemaknaan yang berbeda dari sebuah bahasa. Dengan demikian ide atau pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri atau netral terhadap karakter, kepentingan, dan posisi sosial dari manusia saat mereka melakukan komunikasi dan memahami satu sama lain. Dengan demikian pengetahuan apapun bentuknya akan dipengaruhi oleh asumsi sosial tertentu.

Sebagai contoh, pada zaman orde baru, kelompok masyarakat yang mengalami kelaparan disebut oleh pemerintah atau media pada waktu itu sebagai kelompok yang mengalami ‘rawan pangan’. Apa artinya ini?

Bagaimana kita bisa melihat bahwa bahasa memiliki efek pencitraan dengan maksud tertentu oleh pusat kekuasaan. Atau bagaimana kita bisa menerima sebutan baru bagi kelompok pelacur menjadi ‘pekerja seks komersial?’ Hal yang sama juga terjadi dalam simbol (angka-angka) statistik, misalnya

(9)

83

dalam menentukan apakah sebuah kelompok masyarakat termasuk dalam kategori miskin atau tidak. Terdapat perbedaan dalam ukuran atau kriteria yang menentukan siapa yang masuk dalam kategori miskin dan siapa yang tidak masuk dalam kategori miskin. Padahal ukuran miskin dan tidak miskin serta riset yang dilakukan untuk itu tentunya sudah menggunakan apa yang disebut sebagai

‘metode ilmiah’. Contoh-contoh di atas menunjukan bagaimana simbol dan bahasa yang digunakan mempengaruhi persepsi, keadaan mental, dan tindakan-tindakan kita.

Karena dominasi saintific approach ini, maka banyak aspek yang tidak terlihat atau terungkap terkait fenomena kemiskinan.

Harris (1999), menjelaskan sejak science ditetapkan sebagai satu-satunya upaya dalam rangka mencari jawaban terbaik, maka pada saat yang sama kita tidak bisa melihat berbagai perbedaan dan ini bisa membawa akibat pada intoleransi. Melalui kacamata posmodernisme, kepantasan atau kelayakan menurut pendekatan science seringkali membawa ketidakadilan pada kelompok atau manusia yang lain.

Bias kepentingan, misinterpretasi, dan pemaknaan relatif yang tercermin dari bahasa atau simbol seringkali terlewatkan oleh ide atau pengetahuan modern (positivistik). Masalah terpentingnya adalah bahwa bahasa, simbol, atau pengetahuan tersebut mengandung ide tertentu sehingga sekaligus mengarahkan tindakan atau keputusan manusia seperti pada pola-pola relasi sampai pengambilan keputusan atau kebijakan. Posmodernisme menolak generalisasi yang luas (totalizing theories) seperti itu sehingga menolak science sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak.

Pengetahuan Sebagai Hasil Konstruksi Sosial Pandangan posmodernis melihat bahwa pengetahuan itu mengandung makna (meaning), dan bukanlah sekedar data-data empiris dan bersifat objektif seperti yang diyakini kaum positivis. Posmodernis menghargai adanya keragaman dan

kompleksitas pengetahuan atau pengalaman, serta melihat adanya saling mempengaruhi antara ide dan situasi sosial. Dengan demikian tidak ada realitas tunggal dalam pandangan posmodernis, - tidak seperti pandangan positivis yang melihat bahwa pengetahuan yang benar harus mengandung unsur universalitas, objektivitas dan dapat di generalisasi-.

Namun hal ini bukan berarti bahwa pandangan posmodernis tidak dapat menciptakan kesamaan-kesamaan mengenai ide atau pengetahuan. Payne (1997), menjelaskan bahwa kaum posmodernis tidaklah berpendapat bahwa kesepakatan mengenai teori untuk bertindak mustahil untuk dicapai. Sebaliknya, mereka beranggapan bahwa orang memahami sesuatu dengan cara menerima gambaran-gambaran dunia yang secara sosial disepakati dan diterima sebagai realita.

Lantas siapa yang menciptakan kesepakatan, dan bagaimana kesepakatan itu bisa tercapai? Jawabannya terletak pada proses relasi kekuasaan. Pengetahuan adalah ide-ide tentang dunia yang dikonteskan melalui pertukaran atau interaksi bahasa, sehingga muncul makna-makna yang disepakati secara sosial. Proses relasi ini menyebabkan satu ide atau pengetahuan dapat diterima dalam satu kelompok masyarakat atau individu, atau dianggap lemah bahkan ditolak. Ketika satu ide diterima, maka pengetahuan tersebut memiliki kekuatan (power). Inilah yang yang dimaksud pengetahuan yang dihasilkan dari konstruksi sosial. Pengetahuan bukanlah realita sesungguhnya melainkan seperangkat ide yang muncul dari hasil berbagai proses sosial (melalui dialog/debat dan tindakan/praktik) sehingga muncul kesepakatan sosial mengenai ide tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang dibangun berdasarkan konstruksi sosial bisa objektif ? Hal penting untuk menjawab ini adalah kita harus membedakan makna objektivitas antara pengetahuan alam dengan pengetahuan sosial.

Berbeda dengan pandangan positivis yang

(10)

84

menyandarkan makna objektivitas pengetahuan sosial sesuai dengan makna objektivitas pada pengetahuan alam, maka pandangan posmodernis memaknai objektivitas pengetahuan sosial berdasarkan pada konstruksi sosial. Payne (2005) menjelaskan ketika pengetahuan merupakan representasi dari realita yang kita terima dari berbagai proses sosial sehingga ditemukan pandangan yang sama, maka pengetahuan tersebut menjadi objektif. Kita juga melembagakan kesepakatan tersebut sesuai dengan kesamaan pengertian dari banyak orang, sehingga pengertian-pengertian tersebut menjadi terlegitimasi. Pada gilirannya ide-ide tersebut menjadi terorganisir dan menjadi sistem yang masuk akal serta dijadikan panduan untuk bertindak.

Dengan demikian pengertian- pengertian mengenai sesuatu menjadi objektif karena merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh sekelompok orang atau sekelompok masyarakat. Namun karena setiap orang, setiap kelompok, atau setiap masyarakat memaknai realita menjadi pengertian atau ide-ide yang berbeda (berdasarkan kesepakatan masing-masing) maka akan terlihat banyak pandangan yang berbeda, banyak ‘objektivitas’ yang berbeda dan khas sesuai konteksnya masing-masing.

Dalam posmodernine tidak mengenal teori universal. Konteks sejarah dan budaya membawa variasi dalam pengetahuan pekerjaan sosial termasuk fenomena pekerjaan sosial itu sendiri. Ketika masyarakat dibangun dari keadaan sosiokultural yang berbeda, posmodernisme menentang beragam bentuk dominasi pengetahuan universal. Dalam kajian pekerjaan sosial internasional, Payne &

Askeland (2008) misalnya memahami bahwa kajian pekerjaan sosial internasional ikut mengkritisi apakah model praktik dan organisasi pekerjaan sosial Barat berlaku universal dalam aplikasinya. Mereka melihat perlunya sebuah framework untuk memahami pekerjaan sosial secara berbeda yang memperhatikan asumsi-asumsi kultural dan kebutuhan sosial.

Teori Menurut Pandangan Posmodernis Karena posmodernisme mendasarkan pada ide konstruksi sosial, maka teori tidak hanya berupa penjelasan eksplalnatif atau causal narative saja seperti yang dianggap oleh positivisme. Menurut posmodernisme, teori merupakan generalisasi yang bisa mencakup tiga kemungkinan yaitu model, perspektif, dan teori eksplanatif (Payne 2005:4). Meskipun ketiga istilah tersebut memiliki arti yang agak berbeda, namun seringkali disatukan dalam istilah teori (Sheafor & Horesjsi, 2012:34).

Pekerjaan sosial adalah ilmu terapan sehingga dalam aktivitas praktik, sulit jika dilakukan pemisahan dari ketiga bentuk teori tersebut. Dalam praktik yang baik, pekerja sosial tidak bisa hanya mengandalkan pada teori-teori eksplanatif atau perspektif saja.

Pekerja sosial juga butuh model sebagai panduan untuk bertindak.

Teori, model, dan perspektif kegunaannya bukan sekedar untuk saling melengkapi satu sama lain namun juga dapat saling menguatkan satu sama lain. Payne (1997) menjelaskan, teori atau perspektif tidak akan berarti apa-apa dalam praktik jika tidak dilengkapi model sebagai panduan bertindak. Begitu pula model tidak akan benar dan efektif jika tidak didasari oleh bukti-bukti kuat sehingga diperlukan teori eksplanatif.

Model dan teori eksplanatif akan memiliki konsistensi dalam keluasan kajian pekerjaan sosial dan memiliki kegunaan secara umum jika menawarkan cara pandang (way of thinking) yang dapat memungkinkan kita mentransfer ide-ide pada berbagai situasi serta dapat membentuk pola praktik.

C. Relasi Teori dan Praktik Dalam Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah jenis ilmu terapan. Artinya teori-teori pekerjaan sosial tidak bisa dipisahkan dari praktik pekerjaan sosial, atau dalam pekerjaan sosial tidak bisa dipisahkan antara konsep dari aksi. Kita tidak

(11)

85

belajar teori yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan praktik atau tidak memberi pemahaman pada praktik pekerjaan sosial.

Sebagai ilmu terapan, teori pekerjaan sosial dapat dibangun dari lapangan praktik.

Praktik merupakan proses penggunaan pengetahuan dan penerapan teori agar menghasilkan sebuah perubahan. Praktik tanpa teori cenderung seperti ritual dan tidak efektif, sedangkan teori tanpa berlandaskan informasi dari kenyataan praktik, cenderung hanya menarik dan biasanya tidak relevan.

Beberapa penulis dalam pekerjaan sosial mendefinisikan teori diantaranya sebagai berikut: Teori adalah sekumpulan ide atau prinsip yang digunakan untuk pedoman praktik. Ide-ide ini harus jelas dan masuk akal sehingga terbuka untuk ditantang (Beckett, 2006); sedangkan Payne (2005) mendefinisikan teori sebagai pernyataan ide- ide yang terorganisir mengenai dunia.

Seperti penjelasan sebelumnya mengenai perbedaan pandangan teori menurut positivisme dan posmodernisme, maka penulis memilih pengertian teori dari pandangan posmodernis. Definisi posmodernis menunjukan bahwa teori bukanlah sekedar causal narrative (seperti versi positivis), melainkan sebagai pedoman praktik. Teori menjadi tidak berguna dalam pekerjaan sosial jika tidak ada relevansinya dengan praktik pekerjaan sosial.

Sebuah teori dapat dikonteskan melalui upaya pengajuan argumen atau keberatan yang berdasarkan pada temuan- temuan praktik. Orang dapat menantang teori yang ada dengan mengajukan argumen yang berbeda. Pada banyak situasi pekerja sosial seringkali mendasarkan pada teori mereka sendiri yang dibangun berdasarkan pengalamannya, hasil diskusi dengan pekerja sosial lain, dan dari sumber-sumber lain di luar sumber-sumber akademik. Proses konstruksi sosial ini terus terjadi dalam siklus konstruksi-praktik-rekonstruksi, dan seterusnya.

Beckett (2006), menyarankan bahwa tindakan pekerja sosial sebaiknya didasarkan pada ide-ide berikut,

1. Dalam situai seperti ini apa isu utamanya?

2. Apa yang dapat membantu? dan mengapa itu dapat membantu?

Pekerja sosial dapat mengajukan teori mengenai apa sebenarnya kesulitan atau kebutuhan yang dihadapi. Selanjutnya pekerja sosial mengajukan teori berikutnya, apa yang dapat membantu memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah tersebut? Jika itu adalah (‘X’), mengapa itu dapat membantu?

Kedua pernyataan di atas dapat dikonteskan sehingga bisa menghasilkan kesimpulan yang baru atau yang berbeda.

Orang yang tidak setuju dapat mengajukan bukti atau saran bahwa misalnya, kesulitannya bukanlah ‘Y’; atau ‘X’ tidaklah membantu meskipun masalahnya adalah ‘Y’.

Dalam pekerjaan sosial, teori akan diterapkan secara terus menerus di wilayah praktik dan penerapan suatu teori adalah sama dengan menguji teori tersebut sampai dilakukan evaluasi sehingga dapat diketahui apakah sebuah teori dianggap masih memadai atau tidak. Dari sinilah maka satu teori harus dapat di ‘challenge’ atau dikonteskan dengan anggapan baru, fakta baru, berbagai konteks seperti tempat dan waktu, sejarah, keadaan sosial politik, dan budaya.

Dunia pendidikan memungkinkan kita untuk saling mengajukan argumen dalam menguatkan posisi teori yang kita pilih.

Siklus konstruksi-praktik-rekonstruksi mensyaratkan situasi dialog yang terbuka dan fair. Turner (1996:11), menjelaskan bahwa kita dapat menjelaskan aktivitas praktik pada yang lain, mentransfer pengetahuan dan keterampilan kita yang sudah terlihat dan teruji di lapangan, serta sudah barang tentu aktivitas kita tersebut dapat dievaluasi dan diteliti kembali secara lebih cermat oleh orang lain.

(12)

86

D. Tindakan Berteori

Apa bedanya teori dalam pekerjaan sosial dengan teori dari disiplin lain? Perlu dijelaskan di sini bahwa teori-teori dalam pekerjaan sosial hanya berhubungan dengan apa yang pekerja sosial lakukan (praktik) serta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau akibat lain dari praktik yang dilakukan. Sudut pandang posmodernisme sejalan dengan pekerjaan sosial sebagai ilmu terapan karena pandangan ini memaknai teori bukan sekedar penjelasan eksplanatif atau causal narrative saja, melainkan termasuk di dalamnya model yang digunakan sebagai panduan untuk bertindak

Intervensi pekerjaan sosial adalah tindakan berteori. Kajian penting sebelum pekerjaan sosial melakukan tindakan atau praktiknya adalah menentukan terlebih dahulu apa isu utama yang akan ditangani, apa yang dapat membantu untuk menangani isu tersebut, dan mengapa itu dapat membantu.

Upaya untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan ini adalah tindakan atau aktivitas berteori. Dalam aktivitas ini, pekerja sosial mencari, memilih dan menggunakan teori yang relevan sebelum melakukan tindakan praktik.

Jika pekerja sosial hanya memiliki teori ekplanatif saja maka praktik tidak bisa dilakukan karena teori eksplanatif tidak memberi pedoman untuk aksi. Seandainya demikian faktanya maka pekerjaan sosial bukanlah ilmu terapan. Kenyataanya selain memiliki teori dengan bentuk eksplanatif atau causal narative, pekerjaan sosial seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya juga memiliki bentuk teori yang lain yaitu perspektif dan model. Disinilah terlihat relevansi pemaknaan teori yang lebih longgar dari pandangan posmodernisme dengan pekerjaan sosial sebagai ilmu terapan.

Selain menggunakan teorinya sendiri, pekerjaan sosial juga menggunakan konsep atau teori yang berasal dari ilmu-ilmu murni. Teori yang berasal dari ilmu lain termasuk ilmu murni adalah pinjaman.

Namun tetap saja bahwa teori yang dipilih dari ilmu murni tersebut harus terkait dengan kepentingan praktik. Maas (1996, dalam Shulman 1991), menjelaskan bahwa konsep- konsep dan kajian ilmu lain termasuk ilmu murni seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, antropologi, biologi, medis, hukum, dan disiplin lain hanya berguna jika dapat meningkatkan pemahaman pada praktik pekerjaaan sosial, termasuk pemahaman pada apa yang pekerja sosial lakukan, mengapa mereka melakukan itu, serta apa efek dari tindakan yang mereka lakukan itu. Dengan demikian pekerja sosial tidak mempelajari ilmu-ilmu lain hanya sekedar untuk memperoleh pemahaman belaka, namun ilmu lain tersebut digunakan untuk kepentingan mencapai praktik terbaiknya.

Teori-teori yang dipinjam dari ilmu murni umumnya adalah perspektif dan teori eksplanatif yang menyediakan pengetahuan dasar yang penting dan dikategorikan sebagai Orienting Theories yang merupakan bagian dari conceptual framework dalam pekerjaan sosial. Semua teori, model, dan persepktif yang terdapat dalam literatur pekerjaan sosial disebut sebagai conceptual framework yaitu serangkaian konsep, keyakinan, nilai, proposisi, asumsi, hipotesis, dan prinsip- prinsip. (Sheafor & Horesjsi, 2012).

Pekerjaan sosial adalah ilmu terapan yang memiliki tujuan untuk perubahan atau menghasilkan tindakan, bukan sekedar untuk memahami fenomena sosial. Dari sini sekaligus dapat dijelaskan pula bahwa lulusan studi pekerjaan sosial adalah para profesional, bukan sekumpulan akademisi yang hanya melakukan kajian-kajian tanpa memberikan pelayanan sosial atau aksi perubahan.

---

DAFTAR PUSTAKA

Beckett, Chris (2006). Essential Theory for Social Work Practice. London : Sage Publication Ltd.

(13)

87

Bruce A., Thyer (2008). Comprehensive Handbook of social Work and Social Welfare : Human Behavior in The Social Environment. John Wiley & Sons, Inc.

Harris, Marvin (1999). Theories of Culture in Postmodern Times. Altamira, Sage Publications, Inc

Payne, M. & Askeland A. Gurid (2008).

Globalization and International Social Work: Posmodern Change and Challenge.Ashgate Publicing Limited.

Payne, Malcolm (1997). Modern Social Work Theory. Macmillan Press Ltd.

_______ (2005). Modern Social Work Theory. Palgrave Macmillan.

Sheafor & Horesjsi (2012). Techniques and Guidelines for Social Work Practice.

Pearson Education, Inc.

Shulman, Lawrence (1991). Interactional Social Work Practice : Toward an Empirical Theory. F.E.Peacock Publishers, Inc.

Turner, Francis J (1996). Social Work Treatment : Interlocking Theoritical Approaches. New York : The Free Pres.

(14)

88

PERFORMA PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL INDONESIA

Oleh:

Soni Akhmad Nulhaqim (Email: [email protected])

ABSTRAK

Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang terus berkembang menjawab kebutuhan pelayanan sosial. Di Indonesia, pekerjaan sosial berkembang menjadi dua kategori yang diakui pemerintah, yaitu relawan sosial dan pekerja sosial profesional. Relawan sosial yang kegiatan yang bersifat charity dan philanthrophy dapat dilakukan oleh siapa saja dengan latar belakang apa saja. Namun demikian, pekerja sosial profesional adalah kegiatan yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam menjawab kebutuhan pelayanan sosial. Pekerja sosial profesional merupakan lulusan dari pendidikan Ilmu Kesejahteraan Sosial yang ada di Indonesia. Ketersediaan pekerja sosial profesional tergantung pada performa pendidikan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Indonesia.

Kualitas pendidikan ilmu Kesejahteraan Sosial dapat didukung salah satunya dengan keberadaan Asosiasi Pendidikan Pekerjaan Sosial. Di Indonesia, asosiasi ini dikenal sebagai Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI). Ikatan pendidikan sangat penting dalam membangun kerjasama dan kesepakatan terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan terkait dengan tuntutan perkembangan kebutuhan pekerja sosial profesional. Saat ini di Indonesia sudah terdaftar tiga puluh enam (36) sekolah yang mengajarkan pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial sebagai anggota dari IPPSI. 36 sekolah tersebut terbagi menjadi beberapa kategori kementerian, yaitu (10) perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud, sembilan belas (21) perguruan tinggi swasta yang tergabung dalam Kopertis, satu (1) perguruan tinggi di bawah Kemensos, serta lima (4) perguruan tinggi di bawah Kemenag.

Kata Kunci: Pekerja Sosial profesional, Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia

A. Pendahuluan

Pada saat ini, terdapat dua kategori pekerja sosial yang diakui oleh pemerintah yaitu relawan sosial dan pekerja sosial profesional. Relawan sosial merujuk kepada seseorang yang berbuat amal atau memiliki kepedulian untuk berbagi dengan orang lain.

Sedangkan pekerja sosial profesional adalah orang yang dasari oleh pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam melakukan

intervensi sosial terhadap permasalah sosial.

Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial No 11 Tahun 2011 yang menetapkan pekerja sosial profesional dan relawan sosial sebagai berikut :

Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,

(15)

89

dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

Relawan sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.

Terkait dengan UU No 11 2011 tersebut, maka pendidikan yang menghasilkan pekerja sosial profesional adalah pendidikan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Hal ini diperkuat juga dengan Peraturan Menteri Sosial No. 108 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial serta Peraturan Menteri Sosial No. 107 Tahun 2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial.

Perkembangan lainnya, kebutuhan akan sumber daya yang berkualitas sebagai hasil penyelenggaraan pendidikan terus menjadi perhatian. Tak terkecuali, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial sebagai institusi pendidikan dimana lulusannya sebagai pekerja sosial profesional. Kontrol dalam penyelenggaraan pendidikan dilakukan melalui peraturan perundang-undangan misalnya melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Standar Nasional Pendidikan, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan sebagainya.

Keberadaan asosiasi pendidikan menjadi sangat penting dalam membangun kerjasama dan kesepakatan terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan terkait dengan tuntunan perkembangan seperti yang telah disebutkan di atas. IPPSI sebagai wadah bagi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial di Indonesia memiliki tujuan yang mulia untuk

membangun kesepakatan dan ikatan dalam meningkatkan dan mengembangkan pendidikan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Saat ini di Indonesia sudah terdaftar tiga puluh enam (36) sekolah yang mengajarkan pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial sebagai anggota dari IPPSI ini, meskipun masih banyak sekolah-sekolah lain yang mengajarkan pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang belum terdaftar sebagai anggota IPPSI.

Tentunya akan menjadi tantangan yang besar bagi pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial di Indonesia dalam menyambut tuntutan dan tantangan dalam perkembangan dunia pekerjaan sosial di Indonesia. Merujuk pada uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mengkaji mengenai

“Performa Pendidikan Kesejahteraan Sosial di Indonesia”

B. Asosiasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial Indonesia

Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia pada awalnya dilakukan antara tiga lembaga pendidikan tinggi pertama yang mengajarkan pendidikan pekerjaan sosial yaitu STKS Bandung, Universitas Indonesia, serta STPS (sekarang STISIP Widuri) pada tahun 1967. Pertemuan awal tersebut membahas mengenai peran/tugasnya, serta kurikulum yang diperlukan dalam pendidikan pekerjaan sosial.

Selain lembaga pendidikan tinggi, pekerjaan sosial juga diajarkan pada jenjang pendidikan menengah yaitu di Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan (SPK) yang dibentuk sekitar tahun 1948 untuk menangani masalah-masalah sosial sebagai dampak dari

(16)

90

revolusi, yang didirikan setelah berdirinya Rehabilitation Center (RC) di Solo.

SPK kemudian dirubah menjadi Sekolah Pekerjaan Sosial Atas (SPSA) pada sekitar tahun 1960-an dengan lama pendidikan 4 tahun. Kemudian berubah menjadi Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS). Dalam perkembangannya, masa pendidikan di SMPS berubah menjadi 3 tahun. Kemudian, saat ini SMPS dikategorikan sebagai salah satu sekolah kejuruan atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Pada tingkat akademi, terdapat Akademi Pendidikan Pekerjaan Sosial (APPS).

Mahasiswa angkatan pertama, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI adalah lulusan APPS yang disetarakan dengan Sarjana Muda, namun harus menambah beberapa mata kuliah pada tingkat-tingkat sebelumnya yang belum diajarkan di APPS. Kalau antara APPS dan Fakultas/sekolah tinggi, sudah terlihat perbedaannya. Namun, antara SPSA dengan Perguruan Tinggi kurang jelas perbedaan karena sebagian pengajar adalah dari STKS yang dianggap paling mengerti tentang pekerjaan sosial, dengan landasan pengajaran yang sama. Sebagian pengajar di SPSA dan APPS adalah lulusan IKIP Bandung yang bekerja pada lembaga pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan departemen yang menangani masalah-masalah sosial.

Dalam beberapa pertemuan ditetapkan bahwa lulusan SPSA adalah Pra Pekerja Sosial, dalam arti bahwa mereka belum dapat bekerja secara langsung. Tugas utamanya adalah pengumpul data, pengolahannya di bawah bimbingan APPS yang perannya sebagai Pra Pekerja Sosial. Sedangkan lulusan S1 adalah Pekerja Sosial yang memberikan bimbingan kepada lulusan APPS dan lulusan SPSA. Sekiranya dalam organisasi sosial hanya terdapat lulusan

SPSA, maka harus dibantu oleh yang pengetahuannya lebih tinggi dalam penanganan masalah sosial.

Sejak tahun 1967 tersebut, pertemuan rutin dilakukan namun belum berbentuk asosiasi. Kebutuhan akan adanya asosiasi pendidikan muncul setelah beberapa sekolah pekerjaan sosial mulai dikembangka di beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia.

Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI) akhirnya dibentuk pada tahun 1986 di STKS Bandung. Kepengurusan pertama asosiasi ini berakhir tahun 1990.

Kepengurusan berikutnya, baru diadakan pada tahun 1996, tahun 2003, 2010, dan terkahir pada tahun 2012. Pada dasarnya, kepengurusan IPPSI selalu melibatkan wakil- wakil dari Lembaga Pendidikan yang dipilih.

Sehingga, hasil yang dicapai selama masa kepengurusan adalah hasil kerjasama antar beberapa Lembaga Pendidikan meskipun aktivitas sebenarnya hanya melibatkan beberapa orang.

Kegiatan-kegiatan awal IPPSI dimulai dengan tenaga-tenaga profesional yang masih terbatas. Meskipun demikian, kegiatannya tetap diusahakan untuk dilaksanakan. Dalam perkembangannya, muncul kebutuhan untuk membentuk organisasi yang terdiri dari lulusan pendidikan tinggi pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang dapat memberikan masukan terhadap lembaga pendidikan, tentang kebutuhan- kebutuhan pekerja sosial di lapangan.

Sehingga, dibentuk Himpunan Pekerja Sosial Indonesia (HIPSI) setelah IPPSI. Selanjutnya, IPPSI bersama HIPSI merangkul Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) sebagai lembaga yang mengorganisir organisasi-organisasi sosial dimana pekerja sosial bekerja. Sehingga, kegiatan awal IPPSI

(17)

91

adalah memperkuat hubungan ketiga lembaga tersebut. Saat ini, keanggotaan Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri dari 36 sekolah yang terbagi menjadi sembilan (10) perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud, sembilan belas (21) perguruan tinggi swasta yang tergabung dalam Kopertis, satu (1) perguruan tinggi di bawah Kemensos, serta lima (4) perguruan tinggi di bawah Kemenag.

C. Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Kesejahteraan Sosial/

Pekerjaan sosial

Berdasarkan data dari asosiasi pendidikan pekerjaan sosial, Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), diperoleh informasi mengenai jumlah perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga puluh enam (36) perguruan tinggi yang tersebar dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam sampai provinsi Papua. Berikut sebaran perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial di Indonesia.

(18)

92

Tabel 1 Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Kesejahteraan Sosial/Pekerjaan Sosial

NO NAMA PERGURUAN TINGGI ALAMAT

1 IAIN Ar Raniry Banda Aceh Kampus Darussalam, Banda Aceh 2

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

(UMSU) Kampus 1, Jalan Gedung Arca 53, Medan

3 Universitas Sumatera Utara (USU) Jl. Dr. A. Sofyan No. 1, Medan

4 STISIPOL Candradimuka Palembang Jl. Swadaya Basuki Rahmat, Palembang 5 Universitas Bengkulu (UNIB) Jalan Raya Kandang Limun, Bengkulu

6 STISIP Widuri Jl. Pal Merah Barat 353, Jakarta Selatan

7 Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP)

Jalan Raya Lenteng Agung 32, Jakarta Selatan

8 Universitas Indonesia (UI)

Gd. Nusantara Lt 2 Kampus FISIP UI, Depok

9 Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Jl. KH. Ahmad Dahlan, Ciputat 10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda 95, Ciputat 11 Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Jl. Ir. H. Juanda 367, Bandung

12 Universitas Galuh Jl. RE. Martadinata 150, Ciamis

13 Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor

14 Universitas Pasundan Jl. Lengkong Besar 68, Bandung 15 Universitas Langlang Buana Jl. Karapitan 116, Bandung

16 Universitas Garut Jalan Raya Cimanuk 285A, Garut

17 Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 18 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adi Sucipto, Yogyakarta 19

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa

"APMD" Jl. Timoho 317, Yogyakarta

20 Universitas Gadjah Mada (UGM) Jl. Kaliurang Bulak Sumur, Yogyakarta 21 Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jl. Merdeka 29A, Jombang

22 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jalan Raya Tlogomas 246, Malang 23 Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UNMUH) Jl. Budi Utomo 10, Ponorogo

24 Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Jl. Dukuh Kupang XXV/54, Surabaya 25 Universitas Jember (UNEJ) Jl. Kalimantan II/24, Jember

26 STISIP Muhammadiyah Madiun Jl. Mayjen Panjaitan 18, Madiun 27 Universitas Tanjungpura (UNTAN) Jl. Jenderal Ahmad Yani, Pontianak 28 Universitas Mulawarman Jl. Kuaro I/5, Samarinda

29 Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Makassar 30 Universitas Teknologi Sulawesi Jl. Abdullah Daeng Sirua 242, Makassar 31 STIKS Tamalanrea Makassar Jl. Ammana Gappa 12, Makassar 32 UIN Alaudin Makassar Jl. Sultan Alaudin 63, Makassar

33 STIKS Manado Jl. Wolter Mongisidi VI/129, Manado

34 Universitas Muhammadiyah Kupang Jl. KH. Ahmad Dahlan 17, Kupang 35 Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Jl. OT. Pattimaipauw, Ambon

36 Universitas Cendrawasih Jalan Raya Sentani Abepura, Jayapura

(19)

93

Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial tersebut dapat dibedakan berdasarkan kementerian yang menaunginya. Setidaknya terdapat tiga kementerian yang menaungi perguruan-perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat diklasifikasikan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dikoordinir oleh KOPERTIS. Dalam kajian ini, dipilih beberapa perguruan tinggi berdasarkan ketiga kementerian yang menangui perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial tersebut.

Perguruan tinggi tersebut antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Bengkulu, Universitas Pasundan, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Tanjungpura, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.

Perbedaan kementerian yang menaungi perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial tersebut, juga mempengaruhi kurikulum yang diterapkan di masing-masing perguruan tinggi. Khusus untuk perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama misalnya, terdapat penekanan pada kurikulum yang berbasis Agama Islam yang sesuai dengan core business dari Kementerian Agama yaitu pendidikan agama Islam. Namun, kondisi tersebut tidak menjadi hambatan bagi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial yang berada di bawah Kementerian Agama untuk tetap mengembangkan pendidikan kesejahteraan

sosial/pekerjaan sosial yang selaras dengan perguruan tinggi lain.

Mengenai profil dosen di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial, secara umum sudah menunjukkan kualifikasi dan kompetensi yang baik. Mayoritas dosen sudah menyelesaikan pendidikan di tingkat Magister atau S-2. Selain itu, mayoritas dosen juga mendapatkan gelar Sarjana dari Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Namun, saat ini masih sedikit dosen yang berpendidikan Doktor yang mengajar di jurusan-jurusan penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial. Begitu pula dengan dosen yang mendapatkan penghargaan sebagai Guru Besar. Di Indonesia jumlah Guru Besar di bidang pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial masih di bawah sepuluh orang. Hal ini tentunya menjadi catatan bagi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial, untuk terus mengembangkan kualifikasi dan kompetensi dosennya sehingga dapat menghasilkan lulusan yang baik.

Jika dilihat dari kondisi mahasiswa dan lulusan, kecenderungan jumlah mahasiswa baru di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial sudah mulai dikenal di masyarakat. Kondisi tersebut bisa dimaknai secara positif maupun negatif. Secara positif berarti pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial mulai dibutuhkan di masyarakat. Di sisi lain, kondisi tersebut menjadi tantangan bagi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial untuk terus meningkatkan kualitas pendidikannya. Selain itu, rata-rata penyelesaian masa studi di perguruan tinggi

(20)

94

penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial tidak lebih dari 5 tahun atau sepuluh semester. Hal tersebut menunjukkan pencapaian yang cukup baik, meskipun masih menjadi catatan bagi penyelenggara pendidikan untuk memacu percepatan penyelesaian masa studi hingga mencapai angka ideal yaitu 4 tahun atau delapan semester.

Dari sisi users atau pengguna lulusan, pada umumnya lulusan pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial bekerja di berbagai bidang seperti pemerintahan pusat dan daerah, BUMN, BUMS, maupun di berbagai lembaga pelayanan sosial. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan dan kebutuhan terhadap lulusan pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial dari pihak pengguna lulusan. Selain itu, juga menunjukkan bahwa lapangan kerja bagi para lulusan pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial masih sangat terbuka lebar dan sanggup untuk bersaing dengan lulusan dari luar pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial.

Jika dilihat dari kurikulum pendidikan, saat ini penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial sudah menerapkan beberapa mata kuliah yang menjadi mata kuliah inti dalam kurikulum nasional pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial. Lokakarya kurikulum inti yang dilakukan oleh asosiasi pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial (IPPSI) merupakan upaya yang dilakukan oleh asosiasi untuk mewadahi aspirasi dan kebutuhan dari para anggotanya. Oleh karena itu, semua perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial yang menjadi anggota asosiasi dapat menerima dan

akan menerapkan kurikulum inti yang sudah disepakati bersama.

D. Penutup

Dari hasil pembahasan dan analisa mengenai performa pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial di Indonesia, dapat ditarik beberapa hal yang menjadi kesimpulan.

Di Indonesia saat ini terdapat tiga puluh enam perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial. Untuk melihat performa pendidikan kesejahteraan sosial di Indonesia, dapat dijelaskan dari kondisi eksisting yang ada di perguruan tinggi seperti dosen, mahasiswa, lulusan, serta kurikulum yang berjalan.

1. Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial di beberapa perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial pada umumnya berpendidikan Magister atau S-2. Selain itu juga, mayoritas berasal dari pendidikan sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial. Hal ini menunjukan bahwa dosen di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial telah memiliki kompetensi yang sesuai untuk menjadi tenaga pengajar Ilmu Kesejahteraan Sosial.

2. Selama 5 tahun terakhir, jumlah mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial berjumlah lebih dari 50 mahasiswa setiap tahun akademiknya dan terus meningkat.

3. Sementara itu, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial memerlukan 8 sampai dengan 10 semester untuk lulus.

Lulusan ini memerlukan waktu 2,5 bulan hingga 3 tahun untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan persentase sebanyak 70% hingga 84%, lulusan ini terserap di pekerjaan yang sesuai dengan bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial. Seperti CSR, Peneliti Sosial, Pengajar Ilmu

(21)

95

Kesejahteraan Sosial, Lembaga Sosial Internasional serta lembaga pemerintahan seperti Dinas Sosial.

4. Sementara itu, 20 mata kuliah inti yang dihasilkan melalui lokakarya IPPSI umumnya telah terdapat pada kurikulum Ilmun Kesejahteraan Indonesia. Namun ada beberapa mata kuliah yang belum terdapat pada kurikulum sehingga perlu ditambahkan misalnya Mata Kuliah Supervisi.

E. Saran

Perlu diadakan upaya bagi peningkatan kompetensi dosen seperti bantuan pendidikan sehingga dosen-dosen yang masih berpendidikan S-1 maupun S-2 dapat terbantu untuk dapat meningkatkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Selain itu, terkait kurikulum yang diberlakukan di pendidikan Ilmu Kesejahteraan Sosial perlu adanya pemerataan sehingga lulusan yang dihasilkan dapat memiliki kompetensi umum yang sama. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan mata kuliah inti IPPSI pada kurikulum di masing- masing perguruan tinggi.

--- DAFTAR PUSTAKA

Andrew, J., & May, J.. 1995. Working in Human Service Organizations. Australia:

Long Man.

Dubois, B., & Miley, K. K. 1992. Social Work: An Empowering Profession.

Boston: Allyn & Bacon.

Gilbert,Neil & Harry Specht. 1995. Handbook of the social services. Englewood Cliffs : New Jersey.

Lewis, Judith A., Michael D. Lewis, &

federico Soflee Jr. 1991. Management of Human Service Programs. Brooks/Cole Publishing Company: Pacific Grove, California.

Meyer, C. H., Mattaini, M. A. 1995. The Foundations of Social Work Practice.

Washington: NASW Press.

Silalahi, Ulbert. 1997. Studi tentang Ilmu Administrasi. Bandung: Sinar Baru.

Weinbach, R. W. 1994. Social Worker as Manager. Allyn& Bacon: Boston.

Yayasan Manajemen Bisnis & Teknologi Independen. tt, Staffing Process for All Leaders (human resources management implementation) Training Program Module: (Tingkat Muda). Bandung:

Lambert Consult.

(22)

96

PELAYANAN BAGI ANAK DENGAN KECACATAN DI KOTA CIMAHI Oleh:

Nurliana C. Apsari, S.Sos., MSW.

Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad Email: [email protected]

ABSTRAK

Anak dengan kecacatan beresiko mendapatkan perlakuan salah dari masyarakat sebagi akibat dari ketidaksadaran dan ketidaktahuan masyarakat mengenai kondisi anak dengan kecacatan dan ketersediaan layanan bagi mereka. Kondisi ini membuat pihak berwenang harus lebih terlibat dalam beragam layanan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi layanan-layanan yang diberikan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga swasta bagi anak-anak dengan kecacatan dan keluarganya. Selain untuk mengidentifikasi, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat kemudahan keluarga untuk mengakses layanan-layanan yang telah ada. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif dan data dikumpulkan dengan menggunakan FGD dan wawancara mendalam dengan para informan terpilih. Penelitian dilakukan di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

Penelitian menemukan bahwa data mengenai anak dengan kecacatan dan tipe kecacatan masih terbatas. Untuk layanan pendidikan di Kota Cimahi, ada 8 sekolah luar biasa tersedia bagi anak-anak dengan kecacatan di Kota Cimahi. Sementara itu, untuk layanan kesehatan bagi anak dengan kecacatan, jaminan sosial di bidang kesehatan mudah diakses dan didapatkan oleh keluarga dan informasi mengenai layanan juga tersedia bagi keluarga anak dengan kecacatan.

Penelitian juga menemukan tantangan bagi keluarga untuk mengakses layanan adalah pada persyaratan akademis. Dapat disimpulkan bahwa layanan bagi anak dengan kecacatan masih sangat terbatas, dan tidak ada layanan yang dirancang oleh orang tua yang memiliki anak dengan kecacatan.

Penelitian merekomendasikan pihak berwenang dan penyedia layanan untuk memusatkan perhatian pada perencanaan dan pengembangan layanan sehingga mereka dapat turut serta secara aktif memutuskan beragam layanan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dengan kecacatan.

Kata kunci: layanan sosial, anak dengan kecacatan 1. Pendahuluan

Anak dengan kecacatan termasuk dalam kategori populasi yang rawan mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan haknya. Negara Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak tentunya memiliki kewajiban sebagai “Duty Bearer”

untuk memenuhi hak anak tersebut, terutama hak anak dengan kecacatan. Konvensi hak anak terdiri dari 4 domain utama menurut Protacio-De Castro, et.al. (2005) yaitu Keberlangsungan hidup, Pengembangan diri, Perlindungan dan Partisipasi.

(23)

97 Bagi anak dengan kecacatan, pemenuhan hak tersebut menjadi sangat penting agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang mandiri. Anak dengan kecacatan dan keluarganya harus mendapatkan kesempatan dan akses kepada layanan yang dapat mendukung kemandirian anak tersebut. Masa anak-anak dan masa remaja bagi yang normal dan berada dalam situasi terbaik dalam kehidupan mereka sendiri saja sudah merupakan masa yang penuh tantangan, apalagi dengan anak dan remaja yang mengalami kecacatan, baik itu karena kecelakaan maupun bawaan semenjak lahir atau genetika.

Penyandang cacat, sesuai dengan UU No. 4 tahun 1997 didefinisikan sebagai setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.

Menteri Sosial Republik Indonesia menyatakan sebagaimana dikutip oleh Antaranews.com bahwa terdapat 2,8 juta orang penyandang cacat dari jumlah penduduk Indonesia dan anggaran pemerintah untuk penyandang cacat masih minim (http://www.antaranews.com/berita/399334/p enyandang-cacat-di-indonesia-

mencapai-28-juta, 25 Maret 2014).

Sementara itu, untuk data anak penyandang cacat dengan rentang usia 0-21 tahun, menurut Jenis Cacat (dalam ribuan) yang diolah berdasarkan hasil Susenas, 2003 dan 2005 adalah sebagai berikut:

Sumber: YKAI.net dan hasil modifikasi peneliti

Berkaitan dengan minimnya anggaran pemerintah pusat tersebut, membuat pemerintah daerah harus mencari cara sendiri untuk dapat membantu para penyandang cacat sehingga mereka dapat membantu diri mereka sendiri.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pelayanan yang tersedia bagi anak dengan kecacatan di Kota Cimahi, karena Kota Cimahi adalah kota yang area pelayananannya relative lebih kecil, yang terdiri dari 3 Kecamatan sehingga memungkinkan bagi masyarakat warga Kota Cimahi untuk mengetahui dan mengakses pelayanan yang tersedia bagi anak dengan kecacatan di Kota Cimahi tersebut.

2. Pelayanan bagi anak dengan kecacatan Orang tua selalu mengharapkan anaknya dapat terlahir dengan sempurna dan berharap anak menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. Namun tidak semua anak terlahir sempurna atau sepanjang perjalanan hidupnya, anak tersebut selalu berada dalam

Tabel 1 Jumlah Anak Cacat Jenis Cacat

2000 2003

Tuli 37,8 23,5

Bisu 49,8 73,1

Tuli dan

Bisu 11,8 42,7

Cacat tubuh 114,5 156,9 Cacat

mental 38,4 118,1

Gangguan jiwa

16,6 26,7

(24)

98 kondisi sempurna. Anak dengan kecacatan mengalami kondisi yang berbeda dengan anak yang normal. Keadaan tersebut tentunya memunculkan konsekuensi kebutuhan- kebutuhan akan layanan dalam pemenuhan hak-haknya.

Anak dengan kecacatan yang tinggal dengan keluarga di lingkungan masyarakat tentunya memerlukan layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Rothman (1994:6) menyebut bahwa “the chronically mentally ill, frail elderly, and physically disabled are in circumstances of profound hardship”. Ini menunjukkan individu dengan kecacatan berada dalam kondisi yang sulit, sehingga wajib bagi pemerintah untuk menyediakan layanan bagi mereka baik itu layanan yang dikelola sendiri oleh pemerintah maupun layanan yang dikelola swasta dengan fasilitas pemerintah. Sayangnya, layanan yang ada maupun yang sedang dalam perencanaan seringkali bersifat parsial dan tidak saling berhubungan diantara lembaga pemerintah maupun non pemerintah.

Anderson (2000:484) mengklaim bahwa “disperate definition and eligibility criteria that are used to identify these disabilities have prevented agencies from collaborating or even communicating about the children with whom they work, resulting in a pervasive lack of coordination among service providers”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa layanan-layanan yang tersedia seringkali tidak terkordinasi dengan baik karena tidak adanya kesamaan definisi dan kriteria yang sama dari setiap penyedia layanan. Dukmak (2009) mengklaim bahwa

“there is a major and growing need for coordination of services, resources, program sharing, new pattern of interagency collaboration and cooperative services”. Ini menunjukkan bahwa pentingnya koordinasi

antara lembaga penyedia layanan bagi anak dengan kecacatan dan keluarga dipengaruhi oleh adanya kolaborasi dan komunikasi yang terbuka diantara penyedia layanan, sehingga layanan bisa tepat sasaran, berkesinambungan dan berkelanjutan.

Keterlibatan orang tua menjadi sangat penting, karena seringkali orang tua tidak mengetahui layanan apa yang sebenarnya tersedia bagi mereka sebagaimana yang dikemukakan oleh Dukmak (2009:1) “parents of children with disability often have difficulty obtaining necessary rehabilitation services from the community”. Ini menunjukkan bahwa orang tua sebagai orang terdekat anak dengan kecacatan memainkan peran penting untuk didengar dan diajak serta dalam merancang pelayanan yang diperlukan oleh anak dengan kecacatan. Lebih lanjut, Anderson (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada beberapa prinsip dalam menyediakan layanan bagi anak dengan kecacatan dan keluarga, yaitu pelibatan orang tua baik sebagai pengidentifikasi layanan yang dibutuhkan dan pendesain rencana pelayanan bagi anak- anak dan system dan penyedia layanan harus memiliki kompetensi budaya. Prinsip tersebut didukung pula oleh Freedman & Fes (1996) dalam Dukmak (2009)

yang menyebutkan bahwa “both the providers of rehabilitation services and policy planners appreciate the value of including parents in the rehabilitation process”. Dengan adanya keterlibatan orang tua dalam merancang dan merencanakan pelayanan bagi anak dengan kecacatan akan meminimalisir efek dari ketidaktahuan orang tua mengenai layanan yang ada bagi mereka sehingga tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidak

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga berlaku bagi para pelaku bisnis kios seluler atau pedagang pulsa. Sebelum melakukan pembelian, konsumen akan membandingkan berbagai faktor-faktor yang dimiliki oleh

4) Dana BOS digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka,

Mahasiswa/i yang telah menyelesaikan penggandaan Laporan Tugas Akhir Proyek, dan telah ditandatangani oleh Dosen Pembimbing, Ketua Program Studi, dan Wakil Ketua I, serta

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau

Yang harus diamati adalah penampilan umum (konselor harus berhati-hati dengan prasangka dan stereotipe pribadi sehingga mudah men- judge seseorang), perilaku, suasana hati dan

Manfaat yang diperoleh manekin pintar sebagai alat peraga anatomi manusia untuk anak penyandang tunanetra dan tunagrahita berbasis Arduino yaitu sebagai media pembelajaran

kelompok 20%-40%, 40%-60%, dan 60%-80%, dimana proporsi konsumsi makanan pokok terhadap total konsumsi juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 20% teratas, dengan

Sasaran strategis yang harus dicapai daerah dalam kebijakan pengelolaan barang daerah, antara lain adalah : (1) Terwujudnya tertib administrasi mengenai kekayaan daerah,