• Tidak ada hasil yang ditemukan

S h a r e. S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN : Vol. 4. No. 1, Januari 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "S h a r e. S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN : Vol. 4. No. 1, Januari 2014"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

S o c i a l W o r k J o u r n a l

S h a r e

ISSN : 2339-0042-6

Vol. 4. No. 1, Januari 2014

KEHIDUPAN SUKU LAUT DI BATAM: SEBUAH FENOMENA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PULAU BERTAM

KOTA BATAM Oleh: Atik Rahmawati, M.Kesos.

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DARI SUDUT PANDANG PERUSAHAAN Oleh: Meilanny Budiarti S., & Santoso Tri Raharjo

STRATEGI KOMUNIKASI PEKERJA SOSIAL DENGAN PASIEN SKIZOFRENIA DALAM PROSES REHABILITASI DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEROYO MAGELANG JAWA TENGAH Oleh: Sugiyanto

PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL MELALUI PELATIHAN PERENCANAAN BISNIS UNTUK WIRAUSAHA PEMULA

Oleh: Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa dan Sahadi Humaedi

EFEKTIFITAS PROGRAM BINA KELUARGA BALITA Oleh: Resti Fauziah, Nandang Mulyana, Santoso Tri Raharjo

HAK ASASI MANUSIA DAN PEKERJAAN SOSIAL Oleh: Eva Nuriyah Hidayat

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2014

(2)

S h a r e

S o c i a l W o r k J o u r n a l

ISSN: 2339-0042-6

Jurnal Pekerjaan Sosial

Departemen Kesejahteraan Sosial Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD

DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab : Drs. Budi Wibhawa, MS.

Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si

Sekretaris

: Drs. Nandang Mulyana, M.Si

Mitra Bestari

:

Prof. Drs. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D

Dr. Dra. Sri Sulastri, M.Si.

Dr. Edi Suharto

Dr. Kanya Eka Santi, MSW.

Dewan Redaksi

:

Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si.

Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si.

Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D

Anggota dewan redaksi: Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW.

Risna Resnawaty, S.Sos., MP.

Heri Wibowo, S.Psi., MM

.

Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si

Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si

Alamat Penerbit/Redaksi :

Laboratorium Ilmu Kesejahteraan Sosial (Lab Kesos) Gedung B FISIP-UNPAD

Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan e-mail : santosotriraharjo@gmail.com dan

(3)

PENGANTAR REDAKSI

Share Volume 4 nomor 1 Januari 2014 ini menerbitkan enam artikel ilmiah yang merupakan hasil penelitian serta kajian beberapa penulis. Volume ini diawali dengan tulisan Atik Rahmawati, M.Kesos mengenai Kehidupan Suku Laut Di Batam:

Sebuah Fenomena Kebijakan Pembangunan Di Pulau Bertam Kota Batam. Selanjutnya diikuti dengan artikel menyinggung mengenai CSR dari sudut pandang perusahaan yang ditulis oleh Santoso T. Raharjo dan Meilanny Budiarti.

Berikutnya adalah artikel berjudul Strategi Komunikasi Pekerja Sosial Dengan Pasien Skizofrenia Dalam Proses Rehabilitasi Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeroyo Magelang Jawa Tengah yang ditulis oleh Sugiyanto, selain itu juga ada artikel berdasarkan pengabdian kepada masyarakat yang ditulis oleh Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa dan Sahadi Humaedi dengan judul Pemberdayaan Ekonomi Lokal Melalui Pelatihan Perencanaan Bisnis Untuk Wirausaha Pemula. Dua penulis berikutnya masing-masing menyinggung mengenai Efektifitas Program Bina Keluarga Balita oleh Resti Fauziah, Nandang Mulyana, Santoso Tri Raharjo dan Hak Azazi Manusia berkaitan dengan Pekerjaan Sosial yang ditulis oleh Eva Nuriyah Hidayat

Para pembaca dapat memperoleh informasi lengkap dan utuh tentang topik-topik tersebut di atas pada artikel jurnal edisi ini. Semoga informasi yang diperoleh dari artikel-artikel yang diterbitkan dalam edisi ini bermanfaat dan dijadikan rujukan yang berarti.

Selamat membaca, Redaksi

(4)

Share

Vol. 4. No. 1, Januari 2014

S o c i a l W o r k J o u r n a l

ISSN: 2339-0042-6

1. KEHIDUPAN SUKU LAUT DI BATAM: SEBUAH FENOMENA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PULAU BERTAM KOTA BATAM

Oleh: Atik Rahmawati 1 -12

2. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DARI SUDUT PANDANG PERUSAHAAN

Oleh: Meilanny Budiarti S., & Santoso Tri Raharjo 13 – 29 3. STRATEGI KOMUNIKASI PEKERJA SOSIAL DENGAN PASIEN SKIZOFRENIA

DALAM PROSES REHABILITASI DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEROYO MAGELANG JAWA TENGAH

Oleh: Sugiyanto 30 - 49

4. PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL MELALUI PELATIHAN PERENCANAAN BISNIS UNTUK WIRAUSAHA PEMULA

Oleh: Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa

dan Sahadi Humaedi 50 - 58

5. EFEKTIFITAS PROGRAM BINA KELUARGA BALITA

Oleh: Resti Fauziah, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo 59 - 68 6. HAK ASASI MANUSIA DAN PEKERJAAN SOSIAL

Oleh: Eva Nuriyah Hidayat 69 - 77

(5)

KEHIDUPAN SUKU LAUT DI BATAM:

SEBUAH FENOMENA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PULAU BERTAM KOTA BATAM

Atik Rahmawati, M.Kesos.1

Suku Laut (Sea Nomads) merupakan salah komunitas pribumi (indigenous people) yang mendiami wilayah perairan Kepulauan Riau dengan jumlah terbanyak berdasarkan pendataan Departemen Sosial (Depsos) RI 1988, sekitar 11,23% terkonsentrasi berada di wilayah perairan Batam, berada di sekitar Selat Malaka, Selat Philip, dan Laut Cina Selatan. Disebut sebagai Sea Nomads karena keberadaannya yang hidup nomaden dengan melakukan seluruh aktifitas kegiatan hidup tinggal di sebuah perahu atau sampan yang beratapkan sebuah Kajang. Hidup nomaden di Laut tentu saja mempunyai resiko hidup yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa jika tiba-tiba cuaca buruk datang, disamping kurang keterjangkauan akan pelayanan sosial yang harusnya mereka dapatkan sebagai warga negara diantaranya pendidikan, kesehatan, perumahan. Hal ini juga mengingat bahwa sejak tahun 1973 Batam sebagai wilayah strategis daerah perbatasan negara tumbuh menjadi daerah Industri, perdagangan, galangan kapal, dan pariwisata yang mempunyai otoritas pengembangan wilayah. Pesatnya pembangunan di Batam tentu saja membawa pengaruh terhadap kehidupan Suku Laut, tak terkecuali dengan program pembangunan oleh Depsos RI terutama sejak tahun 1989 dengan penempatan mereka pada permukiman yang juga melibatkan unsur masyarakat setempat dalam hal ini Orsos Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam yang berada di pulau Bertam-Kota Batam. Tulisan ini berusaha menggambarkan kehidupan Suku Laut yang telah mengalami perubahan hidup menetap yang berada di pulau Bertam-Kota Batam dengan menyajikan impact yang diakibatkan oleh adanya kebijakan pembangunan.

Kata Kunci: Pemberdayaan, Dampak Kebijakan, Komunitas Adat, Suku Laut.

1

Penulis saat ini sebagai Staff Pengajar pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Jember. Kritik, saran, dan masukan dapat disampaikan melalui rahmadilli@gmail.com. Tulisan ini merupakan hasil dan pengembangan dari tesis penulis di Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia dan telah disampaikan pada saat The 4th International Graduate Student Conference On Indonesia, October 30 – 31, 2012 dengan tema INDIGENOUS COMMUNITIES AND “THE PROJECTS OF MODERNITY” Graduate School Of Gadjah Mada University.

(6)

Pendahuluan

Program PKAT Suku Laut2 di pulau Bertam merupakan program unggulan dari pemerintah dengan pelaksana program di bawah koordinasi Departemen Sosial dan merupakan proyek percontohan pembinaan Suku Laut melalui peran serta masyarakat, kerjasama Depsos RI dengan organisasi sosial yaitu Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam yang sebelumnya bernama Forum Komunikasi Dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) merupakan salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit terjangkau3

Sebagai proyek percontohan, program ini melibatkan dukungan banyak pihak baik dari; pemerintah RI dalam hal ini Menteri Penerangan, Menkokesra, Mensos, Mendikbud, dan juga Menristek; non pemerintah diantaranya FKKS Batam dan juga yayasan NEBA (Nedherland Batam) sebagai penyedia dana dari luar negeri; disamping juga dari unsur akademisi yaitu Universitas Indonesia dan Institut Teknologi

2 Suku Laut merupakan komunitas adat yang hidup menggembara di Laut, berdasarkan Literatur The

National Museum of Singapore dalam Ringkasan

Laporan pendataan Masyarakat Terasing di Daerah Perbatasan Riau oleh Direktorat Bina Masyarakat Terasing Depsos RI (1998) sebagian besar hidup di Kepulauan Riau.

3

(Direktorat PKAT, Depsos RI, hal.7).

Bandung.4 Program ini menjadikan pulau Bertam berubah menjadi pemukiman yang ramai dengan dibangunnya beberapa unit rumah tambahan dan fasilitas pendukung5. Mulai dari pembangunan rumah yang dilaksanakan dari tahun 1988 hingga tahun 1993, bangunan posyandu, gedung Sekolah Dasar, masjid, ruang serba guna, monumen tugu perahu, sumur, yetti (dermaga), jalan setapak di darat yang telah disemenisasi, jalan lingkar didarat, sampai dengan listrik tenaga surya.

Rumusan Masalah

Dengan dijadikannya pulau Bertam sebagai proyek percontohan tidak membuat pulau Bertam tumbuh menjadi permukiman yang berkembang baik dari penambahan jumlah sarana dan prasarana maupun dari jumlah warga suku laut yang menetap di pulau Bertam, seperti diungkap oleh Sekretaris RT 20 pulau Bertam sebagaimana hasil wawancara yang telah penulis lakukan sebagai berikut:

Dulu waktu pertamanya kali masuk pemukiman, banyak sekali bantuan yang datang, yang darinya pemerintah, K3S Batam (KKKS Batam), juga dari NEBA ada sembako, pembuatan rumah, termasuk jembatan yang sekarang sudah banyak lobang, juga dibuatnya tempat kesehatan juga dokter dan perawatnya, bangunan sekolah juga gurunya. Tapi sekarang jarang pemerintah datang, bantuan lebih banyak dari Bu Dar (yang dimaksud adalah Ibu Sudarsono, ketua KKKS Batam) tiap bulan ramadhan ada

4

Laporan Program FKKS Batam dan Pengarahan Menteri Sosial RI pada tanggal 21 Oktober 1998. 5 Arba dan Rahman. 2002. Menantang Gelombang Kehidupan Suku Laut di Pulau Bertam Perairan Batam.

(7)

sembako, buka puasa bersama, buat anak sekolah diberi seragam, sepatu. Bahkan sekarang banyak yang pergi ada yang kembali ke laut atau pindah ke belakang padang. Rumah tak ada sudah rubuh yang dipunya hanya sampan. Jadi sekarang tinggal 114 Jiwa. Kalau seperti ini terus bisa jadi Bertam makin sunyi (September, 2009). Kehidupan yang harus dijalani komunitas Suku Laut terutama setelah penempatan mereka di Bertam mengalami berbagai persoalan baik dari segi ekonomi, sosial, kesehatan, maupun pendidikan. Kehidupan nomaden komunitas Suku Laut dapat dilihat sebagaimana gambar dibawah ini:

Gambar 1: Suku Laut Sesekali Mendarat untuk Melakukan Barter, dan Suku Laut Hidup Mengembara secara berkelompok di

Laut.

Kajian ini berusaha menjawab pertanyaan tentang “Bagaimana Kebijakan Pembangunan bagi Komunitas Suku Laut berdampak pada kehidupan Komunitas Suku Laut di Pulau Bertam-Kota Batam ?”.

Dari Kehidupan Nomaden di Laut menjadi Komunitas Yang Menetap di Pulau Bertam Kota Batam

Pulau Bertam merupakan salah satu gugusan pulau yang ada di wilayah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau tepatnya di Desa Kasu Kecamatan Belakang Padang yang berjarak dari pulau Batam sekitar 7 mil dari pelabuhan Tanjung Uncang Batam atau 10 mil dari pelabuhan Sekupang Batam. Secara geografis wilayah Kota Batam sendiri mempunyai luas wilayah 1.570,35 km2, yang terdiri dari 186 pulau besar dan kecil dengan pulau terbesar yaitu pulau Batam dengan luas 415 Km2 atau yang disebut sebagai Bonded area sedangkan pulau-pulau kecil disekitarnya disebut sebagai daerah Hinterland termasuk pulau Bertam didalamnya.

Out put dari pelaksanaan program PKAT pada komunitas Suku Laut di pulau Bertam salah satunya adalah bermukimnya secara permanen komunitas suku laut di pulau Bertam-Kota Batam. Hidup secara permanen menyebabkan adanya perubahan hidup yang harus dijalani yang tentu saja sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya sebagai pengembara diperairan sekitar wilayah Batam.

Berdasarkan hasil penelitian6 menunjukkan bahwa mereka cenderung untuk memilih hidup stabil secara permanen di permukiman dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya yang mereka jalani.

6 Rahmawati, Atik. 2011. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) studi pada Komunitas Suku Laut di Pulau Bertam Kota Batam. Universitas Indonesia.

(8)

Kecenderungan pilihan hidup stabil di permukiman disebabkan diantaranya adalah terwujudnya keinginan warga untuk mempersiapkan masa depan generasi penerus terutama melalui pendidikan formal, menjaga keselamatan jiwa keluarga karena bisa terhindar dari bahaya keganasan cuaca laut, serta kondisi tubuh yang mulai beradaptasi dengan lingkungan darat sehingga tubuh akan mulai merasa sakit jika dalam waktu yang lama berada di lautan.

Dengan demikian kehidupan stabil secara permanen yang dijalani akan berdampak pada ketenangan batin/ jiwa mereka sehingga dapat merencanakan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga khususnya bagi masa depan anak-anak melalui pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu sarana bagi peningkatan kualitas manusia, manusia yang berkualitas merupakan kekuatan sosial sebagai aset komunitas yang bermanfaat bagi perkembangan komunitas. Adi (2008) menyebutkan sebagai Modal manusia (human capital).

Suku Laut di Pulau Bertam Kota Batam sebagai Komunitas yang “Sudah Diberdayakan”

Landasan Hukum Program Pemberdayaan komunitas Suku Laut di pulau Bertam-Kota Batam dilatarbelakangi oleh disahkannya kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial dan Pola penanganan Masalah Kesejahteraan Sosial oleh Departemen Sosial RI melalui program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Terasing (PKSMT). Dalam tataran implementatif program ini mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur (tata nama) dari awal kali pertama disebut dengan istilah “Suku Terasing”, kemudian “Masyarakat Terasing” hingga kemudian pada tahun 1992 disebut sebagai “Komunitas Adat Terpencil” sesuai dengan Kepres. RI No. 111 tentang “Pembinaan Kesejahteraan Sosial KAT.

Perubahan ini dilakukan tidak secara serta merta, tetapi dengan melalui pengkajian dan evaluasi terhadap program sebelumnya. Yang berarti bahwa dalam pelaksanaan terdapat pembaharuan dan perbaikan metode dan penanganan. Demikian juga dengan perubahan nomenklatur “Masyarakat Terasing” menjadi “KAT”. Perbedaan dapat dilihat dari segi pelaksanaan, dimana program PKAT lebih mengedepankan konsep pemberdayaan (bottom-up) dengan mengutamakan aspirasi, inisiatif, dan partisipasi komunitas sasaran dalam setiap kegiatan dari tahap persiapan, pelaksanaan, sampai tahap evaluasi, menumbuhkan sikap dan rasa percaya diri KAT untuk mengelola potensi yang ada pada dirinya guna melepaskan diri dari keterpencilan, hambatan geografis dan psikologis serta kemiskinan. Sedangkan dalam pelaksanaan PKSMT pemberdayaan dikemas dalam bentuk pembinaan dan cenderung bersifat top down. Kedua pendekatan diatas merupakan pendekatan yang bertolak belakang karenanya kecenderungan penggunaan pendekatan top down atau bottom-up dalam pelaksanaan program akan menimbulkan

(9)

efek yang berbeda pada komunitas sasaran, Pressman dan Wilavsky dalam Parsons (2008: 468) mengungkapkan bahwa Model rasional top down berisi gagasan bahwa “implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan, dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem”. Begitu juga yang diungkapkan oleh Kusumanegara dan Nugroho (2010) yang melihat bahwa pendekatan top down hanya terfokus pada urusan birokrasi untuk melaksanakan keputusan politik semata dan mengesampingkan interaksi serta perasaan manusia. Lebih dalam Fermana (2009) dan Parsons (2008) menyatakan bahwa dalam relasi sosial yang koersif yang membahas tentang siapa objek keputusan, paradigam top-down gagal menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat karena keputusannya yang bersifat tirani dan elitis. Dengan penekanan terlalu banyak dikenakan pada definisi tujuan yang ditentukan dari atas, bukan pada peran pekerja di lapangan.

Hal ini tentu saja berbeda dengan penggunaan pendekatan Bottom-Up, sebagaimana yang diungkapkan oleh Parsons (2008), Kusumanegara (2010), dan Nugroho (2010) bahwa pendekatan bottom-up merbottom-upakan pendekatan yang lebih preskriptif serta mengedepankan unsur desentralisasi dalam pelaksanaan program dan sudah menjadi keharusan suatu kebijakan publik yang menganut model demokrasi dirumuskan dari bawah (bottom up) sehingga pada nantinya lebih memungkinkan munculnya pemberdayaan

terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai target dari keputusan.

Implementasi kebijakan pada komunitas Suku Laut tercatat berdasarkan data Depsos RI tahun 2006 yang dimutakhirkan tahun 2008 menunjukkan bahwa suku laut yang merupakan Komunitas Adat terpencil (KAT) berada di pulau Bertam Desa Kasu Kecamatan Belakang Padang Kota Batam tercatat “sudah diberdayakan”, dengan pelaksanaan program dari awal tahun 1989/1990 sampai akhir tahun 1993/1994. Pemutakhiran menunjukkan bahwa program yang semula cenderung bersifat top down (PKSMT) serta merta dikategorikan sebagai program bersifat bottom up (PKAT).

Pudarnya Tradisi Budaya Kesenian “Silat Jung dan Joget”.

Suku laut merupakan bangsa yang maju (Neolithicum) bagian dari kelompok etnis (indigenous People) sebagai penduduk asli yang menempati wilayah perairan Batam mampu bertahan hidup selama berabad-abad lamanya dengan nilai-nilai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan melekat pada kehidupan sehari-hari. Pelibatan tradisi budaya komunitas dapat memperkuat budaya pribumi/asli yang secara efektif membantu mereka untuk memiliki kendali nyata terhadap masyarakat mereka sendiri. Partisipasi budaya juga sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat, dan menegaskan identitas, sebagaimana diungkapkan oleh Ife dan Tesoriero (2008). Demikian juga yang

(10)

diungkapkan Putnam dalam Suharto (2008: 98) bahwa “modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan”.

Yang terjadi pada komunitas Suku Laut di pulau Bertam terkait aspek budaya saat ini adalah mulai pudarnya budaya tradisi dalam hal ini kesenian diantaranya Silat, Jung, dan joget yang semula melembaga dalam kehidupan mereka sebagai media hiburan tempat warga melepas lelah setelah seharian berada di laut mencari tangkapan ikan. Salah satu tradisi yang masih ada pada saat ini adalah “Joget” namun demikian juga mengalami pergeseran dari tata cara dan peralatan yang digunakan. Jika sebelumnya Joget merupakan media hiburan gratis komunitas Suku Laut pada saat ini berubah menjadi media hiburan yang bisa mendorong warga untuk berperilaku hidup boros. Pertunjukkan “Joget” dilakukan oleh 10 penari yang kesemuanya masih dalam usia remaja dan berasal dari luar pulau Bertam dengan iringan musik modern yang menghentak dan tidak ada ketentuan serta aturan baku bagaimana penari harus menggerakkan badan. Kebiasaan ini dilakukan warga tiga bulan sekali sebagai hiburan pelepas lelah setelah seharian mencari ikan. Karenanya biasanya dimulai dari jam 24.00 WIB setelah beberapa saat para warga pulang melaut dan berakhir pada jam 02.00 WIB atau kurang lebih 2 jam. Untuk sekali goyang warga harus mengeluarkan biaya Rp. 4.000,- dengan

durasi waktu kurang lebih 5 menit. Sehingga pengeluaran keseluruhan warga untuk sekali pergelaran Joget adalah {(2x60 menit)/5 menit} x Rp. 4.000,- x 10 penari, atau kurang lebih Rp. 960.000,- dan selama 1 tahun maka dapat terkumpul dana kurang lebih sebesar Rp. 3.840.000,-. Ife dan tesoriero (2008) sendiri menyebutnya sebagai komodifikasi budaya.

Selain itu dampak langsung yang bersifat negatif yang dapat dilihat dari aspek budaya adalah munculnya sikap ketergantungan warga Bertam terhadap bantuan. Sifat ketergantungan muncul diakibatkan karena pandangan negatif pelaksana terhadap komunitas Suku Laut, akibatnya pelaksana program cenderung memanjakan warga dengan bantuan yang bersifat amal (charity). Program-program yang bersifat insidental (one shot programme) ataupun amal (charity) merupakan program yang kurang dapat dilihat manfaatnya dalam jangka panjang, sebagaimana yang diungkap oleh Adi (2008). Ketergantungan sendiri bukanlah merupakan tujuan dari sebuah kebijakan publik sebagaimana pendapat Nugroho (2006: 22) bahwa kebijakan publik yang terbaik adalah mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saing masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskannya ke dalam pola ketergantungan”.

Sifat ketergantungan ini di sebabkan salah satunya karena pada saat proses pelaksanaan program warga terbiasa untuk menerima bantuan yang cenderung bersifat amal, akibatnya ketika terminasi

(11)

dilaksanakan yang menandakan bahwa program telah berakhir serta menandakan pula bahwa segala pembangunan sarana dan prasarana, bantuan yang diperoleh warga juga terhenti. Dengan selesainya program PKAT untuk komunitas Suku Laut di Bertam, maka FKKS Batam tidak lagi bertanggung jawab terhadap keberlangsungan (sustainable) program tersebut. Untuk selanjutnya program pembangunan bagi warga Bertam akan disesuaikan dengan mekanisme penyaluran program pembangunan dari pemerintah atau melalui MUSRENBANG. Sedangkan mekanisme MUSRENBANG menghendaki adanya usulan akan perioritas kebutuhan warga yang berasal dari warga setempat dengan prasyarat adanya proposal analisis prioritas kebutuhan. Kondisi ini tentu saja mempersulit warga Bertam, hal ini disebabkan mayoritas warga khususnya orang tua tidak memiliki kemampuan membaca dan berhitung sehingga untuk memenuhi prasyarat tersebut adalah suatu hal yang sulit dilaksanakan.

Keadaan tersebut terjadi salah satunya juga akibat disfungsi ketua RT yang disebabkan oleh kesehatan dan fisik pelaksana yang sudah tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya sebagai Ketua Rukun Tetangga. Aparat pemerintah setempat yang kurang peduli dengan situasi dan kondisi warga di pulau Bertam menyebabkan permasalahan disfungsi ini menjadi berlarut-larut belum ada penyelesaian. Akibat lebih lanjut menunjukkan bahwa belum ada warga yang

menerima bantuan modal usaha untuk pemberdayaan ekonomi produktif, sebagaimana diungkap oleh salah satu Informan yang merupakan Kabid Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Batam.

Hal secara tidak langsung menunjukkan bahwa dalam evaluasi pelaksanaan kegiatan sebelum terminasi dilaksanakan, pelaksana belum mengikutsertakan warga dan kurang mempertimbangkan kualitas SDM dari komunitas sasaran. Adi (2008: 252) bahwa “Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga, karena dengan keterlibatan warga diharapkan akan terbentuk suatu sistem dalam komunitas untuk melakukan pengawasan secara internal sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan membentuk suatu sistem dalam masyarakat yang lebih “mandiri” dengan memanfaatkan sumber daya yang ada”. Jika dalam pelaksanaan evaluasi tanpa melibatkan komunitas sasaran akibat selanjutnya dalam jangka panjang adalah belum dapat memunculkan kemandirian warga dan yang ada lebih cenderung pada ketergantungan.

Akibat lebih lanjut yaitu kurang menumbuhkan sikap kesadaran untuk menjaga dan memiliki sarana dan prasana yang diperoleh pada saat proses pelaksanaan program. Hal ini dapat dilihat

(12)

dari kurang terjaga dan terawatnya sarana dan prasarana hidup yang diperoleh warga Bertam diantaranya, kondisi rumah yang mulai banyak yang lapuk bahkan beberapa telah roboh, jembatan (pelantar) dan yetti (dermaga) yang sudah mulai lapuk dan berlubang, modem sebagai alat listrik tenaga surya yang mulai rusak dan tidak bisa digunakan, bangunan ruang serba guna yang sudah roboh, ruang kesehatan yang mulai rusak tidak lagi digunakan, monumen perahu yang sudah tidak lagi berada ditempatnya, dan juga rumah yang dibangun di darat yang semuanya roboh tinggal puing-puing.

Adanya sifat ketergantungan serta kualitas SDM yang rendah dan didorong oleh kurangnya perhatian pemerintah setempat terhadap kebutuhan warga Bertam menyebabkan munculnya mobilitas warga Bertam yang dilakukan dengan pindah dari permukiman Bertam ke tempat yang lain, diantaranya ke pulau Lingga juga pulau Batam, atau juga kembali menjalani kehidupan sebagai Suku Laut yang nomaden di lautan

Kondisi ini secara tidak langsung menegaskan munculnya dampak negatif dari aspek budaya yang terjadi akibat dari pelaksanaan program PKAT khususnya bagi Komunitas Suku Laut yang ada di pulau Bertam-Kota Batam.

Lingkungan Yang Semakin Tercemar Penggunaan model rumah semi permanen di darat dengan pancang-pancang kayu sebagai penyangga rumah serta model Mandi Cuci Kakus (MCK) yang langsung

terbuang di laut memicu adanya kebiasaan warga yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan ini menyebabkan lingkungan menjadi kotor, karena sampah yang dibuang tidak bisa terbawa arus laut sehingga pada saat air surut tiba, sampah masih tertinggal di kolong-kolong rumah tersangkut oleh pancang-pancang penyangga.

Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan pencemaran lingkungan. sedangkan lingkungan merupakan salah satu modal yang oleh Adi (2008) disebut environmental capital sebagai aset komunitas yang mendukung pengembangan masyarakat. Lingkungan yang tercemar berakibat buruk pada kondisi kesehatan warga, atau dapat dikatakan merupakan dampak negatif dari lingkungan.

Menurunnya Hasil Tangkapan Yang Berpengaruh Pada Pendapatan

Data hasil penelitian menunjukkan adanya polusi di perairan Batam yang diakibatkan oleh limbah dari industri perkapalan yang ada di sekitar pulau Batam. Jarak yang relatif dekat antara pulau Batam dan pulau Bertam menyebabkan polusi yang ada sampai pada perairan di pulau Bertam. Akibat lebih lanjut dari polusi ini adalah berkurangnya habitat ikan sehingga mempengaruhi hasil tangkapan warga Bertam, yang secara langsung berpengaruh pada pendapatan.

Mengingat pekerjaan utama mayoritas warga Bertam adalah nelayan sehingga pendapatan mereka sangat tergantung pada

(13)

hasil tangkapan ikan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa dalam study kelayakan untuk menentukan lokasi permukiman yang dilaksanakan pada saat persiapan belum mempertimbangkan kondisi lingkungan di sekitar pulau Bertam yang dapat berakibat terhadap kehidupan warga di masa yang datang. Dengan semakin sedikitnya tangkapan ikan di perairan Bertam dan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelum bermukim di Bertam membuat sebagian besar warga melakukan kegiatan “Bertandang”.

Kegiatan bertandang dilakukan warga selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mencari ikan di sekitar perairan kepulauan Riau dengan membawa serta isteri juga anak mereka tak kecuali mereka yang masih dalam bangku sekolah. Akibat dari kegiatan ini lebih lanjut anak menjadi membolos sehingga berpengaruh pada proses belajar mengajar.

Kesadaran Hak Kepemilikan Tanah

Munculnya kesadaran warga Bertam atas kepemilikan tanah yang didorong oleh adanya kekhawatiran warga Bertam menyangkut legalitas secara hukum kepemilikan tanah sebagai akibat dari mayoritas warga yang belum memiliki Sertifikat Kepemilikan Tanah. Kepemilikan pulau Bertam secara umum terbagi atas dua warga yaitu bagian muka atau lokasi dimana permukiman berdiri yang merupakan milik sebagian warga Bertam dan hutan yang didalamnya terdapat perkebunan karet merupakan milik warga dari pulau Kasu

(pulau tetangga), dimana kepemilikan pertama atas tanah ada pada warga Kasu baru kemudian menyusul didirikan permukiman warga Bertam. Seperti yang diungkapkan oleh Ife dan tesoriero bahwa Isu yang sering muncul diseputar masyarakat adat adalah tanah dan spiritualitas (2008). Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa pelaksana kurang peka dengan isu-isu sentral seputar komunitas adat akibatnya pada saat program direncanakan dan diformulasikan, pelaksana program cenderung tidak mempertimbangkan aspek penilaian akan keberlanjutan kegiatan dari program yang dilaksanakan.

Munculnya Sikap Mengharap Akan Imbalan Tanpa Kerja Keras

Dampak tidak langsung dari program PKAT pada Komunitas Suku Laut yang ada di pulau Bertam adalah pemasukan sumber daya bagi Organisasi FKKS Batam serta perbaikan kualitas hidup dari petugas pendamping (Community Worker) pada saat pelaksanaan program berlangsung. Keberhasilan FKKS Batam menyelesaikan pelaksanaan program PKAT memberikan manfaat pada penambahan pemasukan sumber daya bagi opersionalisasi kegiatan, terutama berasal dari kepercayaan lembaga/ organisasi yang mempunyai tujuan yang sama sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan eksistensi organisasi.

Namun demikian bahwa kegiatan mempromosikan komunitas Suku Laut yang ada di Bertam oleh FKKS Batam juga memicu munculnya sikap mengharap akan

(14)

imbalan tanpa kerja keras, yang disebabkan oleh adanya kesadaran warga Bertam bahwa dirinya mempunyai nilai jual tinggi yang dapat menghasilkan uang, atau dapat dikatakan memicu munculnya dampak negatif aspek budaya.

Kesimpulan

Sebagai sebuah model pengembangan masyarakat, pelaksanaan program PKAT pada komunitas Suku Laut di pulau Bertam-Kota Batam memiliki kelemahan mendasar yaitu pelaksanaan program tidak mempertimbangkan pada analisis kebutuhan (need assessment) komunitas sasaran, disamping juga mengesampingkan aspek budaya, adat dan istiadat komunitas sasaran serta didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah ditunjukkan dengan tingkat buta huruf yang tinggi menyebabkan Partisipasi komunitas sasaran masih terbatas pada Partisipasi Incentive (Participation for Material Incentive) pada level fase “menenangkan” atau masuk dalam kategori “tokenisme”7. Tokenisme dalam keadaan terburuk akan membuat orang-orang yang tak berdaya semakin tak berdaya dan terasing. Akibatnya saat ini komunitas suku laut yang ada di pulau Bertam menjadi kurang berkembang. Yang ditandai dengan adanya mobilitas warga baik pindah ke pulau

7

Tokenisme dalam Ife dan Tesoriero (2008)

merupakan praktek memberikan kebaikan-hati secara resmi kepada wakil kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat hanya untuk tujuan menghasilkan suatu penampilan yang jujur/adil.

lain atau kembali menjalani kehidupan sebagai sea nomads.

Deskripsi singkat dampak pelaksanaan program PKAT pada komunitas Suku Laut di pulau Bertam dapat dilihat sebagaimana gambar dibawah ini:

(15)

Gambar 2. Skema Dampak Program PKAT pada Komunitas Suku Laut di Pulau

Bertam-Kota Batam

Daftar Pustaka

Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada.

Arba, Syarofin dan Rahman, Abdul. (2002).

Menantang Gelombang Kehidupan Suku Laut Di Pulau Bertam Perairan Batam.

Batam: Pustaka Dinamika.

Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial. (2005). Pengembangan Model Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI.

Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. (2004). Profil Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada 12 Provinsi. Jakarta: Direktorat

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Departemen Sosial RI.

Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. (2008). Alternatif

Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development

(Sastrawan Manullang, Nurul Yakin, M.

Dampak Program Suku Laut Bertam

Kahidupan Stabil di permukiman (terhindar cuaca yang mengancam jiwa, ↑ pendidikan anak, adapatasi kondisi tubuh)

Tidak Langsung-di Luar Suku Laut Bertam

- Mulai pudar bahkan hilang sebagian adat

istiadat budaya (Jung, Silat & Joget)

- Munculnya sikap ketergantungan akan

bantuan

- Mobilitas Warga (Menetap ditempat lain/

kembali nomaden

Munculnya kesadaran akan hak milik tanah

(aspek keberlanjutan tidak diperhitungkan dalam rencana &formulasi pada saat pelaksanaan program) Menurunnya Tangkapan ikan (pencemaran lingkungan) Sosial &Politik Budaya Ekonomi Personal/Spiritual + + Masukan sumber Daya FKKS/ KKKS Batam + Lingkungan Pencemaran Lingkungan (membuang sampah sembarangan) Bertandang (menambah pendapatan, anak tidak sekolah) +

(16)

Nursyahid, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Indihono, Dwiyanto. (2009). Kebijakan Publik

Berbasis Dynamic Policy Analisys.

Jogyakarta: Gava Media.

Nugroho D, Riant. (2006). Kebijakan Publik Untuk

Negara-Negara Berkembang Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Suharto, Edi. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai

Kebijakan Publik-Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam mewujudkan Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia. Bandung:

Alfabeta.

Direktorat Bina Masyarakat Terasing. (1987). Pola

Pembinaan Kesejahteraan Sosial Suku Laut di Batam. Jakarta: Direktorat Bina

Masyarakat Terasing Ditjen BINKESOS-Departemen Sosial RI.

Direktorat Bina Masarakat Terasing. (1988).

Ringkasan Laporan Pendataan Masyarakat

Terasing Di Daerah Perbatasan Riau.

Jakarta: Direktorat bina Masyarakat Terasing Ditjen BINKESOS- Departemen Sosial RI.

Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. (2002). Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2009 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil dan Keputusan Menteri sosial Republik Indonesia Nomor: 06/PENGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil-Derektorat Jenderal Pemberdayaan Sosial-Departemen Sosial RI.

Direktorat Pemberdaaan Komunitas Adat Terpencil. (2008). Data Persebaran Komunitas Adat Terpencil tahun 2006 yang Dimutakhirkan Tahun 2008. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

(17)

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

DARI SUDUT PANDANG PERUSAHAAN

Oleh:

Meilanny Budiarti S. & Santoso Tri Raharjo

Abstrak

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu bagian dari Corporate Responsibility sehingga diminta atau tidak dan ada aturan atau tidak terkait dengan pelaksanaan CSR, pihak perusahaan akan tetap melakukan kegiatan CSR kepada masyarakat lokal.

Eksistensi perusahaan berpotensi besar mengubah lingkungan masyarakat, baik ke arah negatif maupun positif. Dengan demikian perusahaan perlu mencegah timbulnya dampak negatif, karena hal tersebut dapat memicu konflik dengan masyarakat, yang selanjutnya dapat mengganggu jalannya perusahaan dan aktifitas masyarakat.

Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab kepada publik khususnya masyarakat di sekitar wilayah perusahaan melalui aktivitas yang nyata sehingga dalam pelaksanaan kegiatan CSR, perusahaan harus berhati-hati dan dilakukan dengan cara-cara yang benar agar tidak memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan kehadiran perusahaan.

Kata kunci:

CSR, tanggung jawab sosial, perusahaan, persepsi perusahaan, masyarakat

A. PENDAHULUAN

Masyarakat memiliki local wisdom yang berbeda di setiap daerah, sehingga program-program tanggung jawab sosial perusahaan harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat tersebut. Hal tersebut sebagai konsekuensi keberadaannya perusahaan sebagai ‘agent of development’ di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, sangat penting bagi perusahaan untuk mengetahui kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat sekitar.

Kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) perusahaan dengan demikian membutuhkan pemahaman yang baik dan mendalam mengenai kondisi masyarakat setempat dimana kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan tersebut diwujudkan. Peran serta masyarakat dan stakeholder menjadi penting untuk dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan CSR tersebut. Kegiatan CSR bagi masyarakat merupakan suatu proses yang bergerak dan bertalian dengan sumber-sumber yang ada di masyarakat, yang saat ini mulai

(18)

dimanfaatkan secara maksimal oleh perusahaan.

Di sisi lain, tanggung jawab sosial merupakan salah satu bagian dari corporate responsibility sehingga diminta atau tidak dan ada aturan atau tidak terkait dengan pelaksanaan corporate social responsibility (CSR), pihak perusahaan akan tetap melakukan kegiatan CSR kepada masyarakat lokal. Namun, pada praktiknya, program CSR yang dilakukan oleh perusahaan masih banyak yang cenderung ditujukan untuk ‘meredam’ munculnya gejolak atau konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan persoalan tersendiri yang harus dihadapi oleh perusahaan multinasional di daerah. Seiring pula dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya untuk turut serta mengatur penyelenggaraan negara, masyarakat mulai ingin memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan yang beroperasi di daerahnya. Hal ini didukung oleh tuntutan penerapan konsep CSR baik secara lokal melalui berbagai aksi masyarakat, secara nasional melalui legitimasi hukum, serta iklim perindustrian di seluruh penjuru dunia.

Dalam penerapan CSR oleh perusahaan, perlu hati-hati dan cara-cara yang benar agar tidak memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan kehadiran perusahaan. Keuntungan-keuntungan yang secara otomatis didapat dari pelaksanaan kegiatan CSR bagi

masyarakat di sini adalah adanya pengurangan resiko, meningkatnya good will, mengurangi biaya, membangun sumber daya manusia, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Penerapan kegiatan corporate social responsibility didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan, sebagai paduan antara faktor internal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Frynas (2009) yang melihat bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan berikut:

1) Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan

2) Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif

3) Bagian dari strategi bisnis perusahaan

4) Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat

5) Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial

Terkait dengan batasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman masing-masing mengenai CSR. Namun demikian perlu dikemukakan beberapa definisi, sebagai koridor dan memagari kajian mengenai CSR. Berikut definisi CSR yang dikemukakan oleh Pemerintah Inggris:

(19)

“The voluntary actions that business can take, over and above compliance with minimum requirements, to address both its own competitive interest and interests of wider society” (www.csr.gov.uk UK Government)

Lebih lanjut World Business Council and Sustainability Development (WBCSD), memberikan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan sebagai berikut:

“The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”(WBCSD, 1999, Business Association)

Pendapat tanggung jawab sosial lainnya dikemukakan dalam www.csr-asia.com, sebagai berikut:

“A company’s commitment to operating in an economically, socially, and environmentally sustainable manner while balancing the interests of the diverse stakeholders”( www.csr-asia.com, social enterprise)

Definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam mengartikan dan mengimplementasikan CSR, sehingga, hingga saat ini tidak ada terdapat kesepakatan mengenai batasan tanggung jawab sosial perusahaan (McWilliams, et.al, dalam Radyati, M.R. & Nindita. 2008). Namun demikian terdapat suatu pemahaman yang sama di masyarakat Eropa mengenai CSR, sebagaimana pernyataan berikut:

“There is broad agreement in Europe on the definition of CSR as a concept whereby companies integrate social and environmental concerns – on a voluntary basis- into their business

operations as well as their interactions with stakeholders”.(European Communities 2007)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik inti bahwa CSR merupakan konsep sebagai berikut:

1) Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungannya

2) Berdasarkan prinsip sukarela

3) Kegiatan bisnis dan interaksi dengan pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan

Setidaknya ada 2 (dua) landasan berkenaan dengan corporate social responsibility (CSR) yaitu berasal dari etika bisnis (bisa berdasarkan agama, budaya atau etika kebaikan lainnya) dan dimensi sosial dari aktivitas bisnis. CSR atau sering diartikan sebagai “being socially responsible” jelas merupakan suatu cara-cara yang berbeda untuk orang yang berbeda dalam negara yang berbeda pula. Artinya penerapan CSR di masing-masing negara harus disesuaikan dengan konteks sosial dan lingkungannya. Sehingga perlu kehati-hatian dalam menerapkan konsep CSR dari negara-negara maju di negara-negara-negara-negara yang sedang berkembang (Frynas, 2009).

Blowfield dan Frynas (2005) mengibaratkan CSR sebagai sebuah ‘payung’ bagi beragam teori dan praktek yang mengakui dan memahami persoalan-persoalan berikut:

1) Bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam, yang terkadang lebih jauh lagi

(20)

sekedar memenuhi aspek legal dan pertanggungjawaban individual. 2) Bahwa perusahaan memiliki suatu

tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka melakukan bisnis.

3) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, dengan alasan komersial atau untuk nilai tambah terhadap masyarakat.

Sebagai konsep ‘payung’ maka menjadi hal yang lumrah ketika melihat banyak dan beragamnya pengertian dan pemahaman mengenai CSR, memunculkan banyak interpretasi mengenai CSR sebagaimana yang dikemukakan oleh Ameshi and Adi, 2007 dan dikutip oleh Frynas (2009:5), yaitu:

1) Etika dan moralitas bisnis 2) Akuntabilitas perusahaan

3) Corporate citizenship (perusahaan warga)

4) Bantuan dan pilantropi perusahaan 5) Perusahaan hijau dan pemasaran

hijau

6) Manajemen keragaman 7) Tanggungjawab lingkungan 8) Hak asasi manusia

9) Rantai manajemen pembelian dan penyediaan yang bertanggungjawab 10) Investasi sosial yang bertanggung

jawab

11) Perjanjian (kesepakatan) stakeholder 12) Keberlanjutan

Sementara itu, Garriga & Mele (2004: 51-71) mencoba memetakan konsep-konsep CSR ke dalam empat kelompok besar, sebagai berikut:

1) Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial. Hanya aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis

dan masyarakat yang

dipertimbangkan. Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang diterima,

jika dan hanya jika hal tersebut konsisten dengan penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai alat belaka untuk memperoleh keuntungan.

2) Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan yang menjadi tekanan, khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena politis berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan perusahaan untuk menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau berpartisipasi dalam kerjasama sosial tertentu. Kita dapat menyebut kelompok ini dengan political theories. 3) Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan bisnis seharusnya to integrate tuntutan sosial. Biasanya berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat untuk kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan bisnisnya sendiri. Kelompok ini adalah integrative theories.

4) Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara bisnis dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai etis. Hal tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical theories

1. Instrumental CSR

Kelompok pertama, kelompok instrumental theories, menganggap bahwa CSR atau kegiatan sosial adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan ekonomi yang pada akhirnya adalah menghasilkan kekayaan. Pendekatan instrumental theories ini didukung oleh pandangan yang diungkapkan oleh Friedman (1970) bahwa satu-satunya

(21)

tanggung jawab bisnis kepada masyarakat adalah memaksimalkan profit untuk para pemegang saham, sesuai dengan kerangka hukum dan kebiasaan etika dari negara tempat bisnis tersebut berada. Kelompok teori ini kemudian banyak diakui dan diterima oleh perusahaan, bahkan banyak perusahaan yang melakukan program CSR dengan menggunakan dasar teori ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Windsor (2001: hal. 226) bahwa “a leit-motiv of wealth creation progressively dominates the managerial conception of responsibility”.

Ada tiga tujuan ekonomi yang kemudian dapat diidentifikasi dari kelompok instrumental theories ini menurut Garriga & Mele (2004: 53) yaitu maximization of shareholder value; the strategic goal of achieving competitive advantages; dan cause-related marketing. Dalam tujuan maximization of shareholder value, Garriga & Mele (2004) menjelasan bahwa investasi untuk menjawab tuntutan sosial yang akan meningkatkan nilai para investor dimata masyarakat harus dilakukan, sedangkan jika tuntutan sosial tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka investasi tersebut seharusnya ditolak. Konsep ini memuat tujuan untuk pencarian nilai atau value-seeking atau long-term values maximization sebagai tujuan utamanya dan pada saat yang bersamaan, tujuan ini digunakan sebagai kriteria dalam transaksi penting diantara para pemangku kepentingan (Jensen, 2000; Garriga & Mele, 2004).

Dalam tujuan the strategic goal of achieving competitive advantages, perusahaan fokus kepada bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan sosial jangka panjang dan menciptakan keuntungan yang kompetitif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Husted & Allen, 2000, yang dikutip oleh Garriga & Mele (2004:54) “…focused on how to allocate resources in order to achieve long-term social objectives and create competitive advantage”. Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu social investments in a competitive context melalui philanthropic activities; natural resource-based view of the firm and dynamic capabilities melalui unique interplay of human, organizational and physical resources over time; dan strategies for the bottom of the economic pyramid melalui disruptive innovations (Garriga & Mele, 2004; Porter & Kramer, 2002; Christensen, et al., 2001; Christensen & Overdorf, 2000; Barney, 1991; Wernerfelt, 1984).

Cause-related marketing, merupakan sebuah proses kegiatan pemasaran perusahaan yang menghasilkan keuntungan melalui adanya pertukaran yang menguntungkan yang sesuai dengan tujuan perusahaan dan juga individual. Misalnya dengan menjual produk dengan label bebas pestisida atau non-animal tested. Varadjan & Menon (1988:60) mendefinisikan cause-related marketing sebagai:

The process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the

(22)

firm to contribute a specified amount to a designated cause when costumers engage in a revenue-providing exchange that satisfy organizational and invididual objectives.

Tujuan dari cause-related marketing dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan adalah meningkatkan pendapatan perusahaan dan penjualan atau hubungan konsumen dengan membangun merk perusahaan melalui akuisisi dan asosiasi dengan dimensi etika atau dimensi tanggung jawab sosial, sehingga menghasilkan situasi yang saling menguntungkan, dalam konteks perusahaan dan sosial (Gerriga & Mele, 2004; Murray & Montanari, 1986; Varadarajan & Menon, 1988).

2. Politik CSR

Kelompok teori kedua yang dipetakan oleh Garriga & Mele (2004) adalah kelompok political theories. Kelompok teori ini memusatkan perhatiannya pada bagaimana menggunakan tanggung jawab dari kekuatan bisnis dalam arena politik. Yang dimaksud dengan political theories, menurut Garriga & Mele (2004:55) adalah “a group of CSR theories and approaches focus on interactions and connections between business and society and on the power and position of business and its inherent responsibility”. (sekelompok teori-teori dan pendekatan CSR yang memusatkan perhatiannya pada interaksi dan koneksi antara bisnis dan masyarakat dan pada kekuasaan dan posisi bisnis dan tanggung jawab yang melekat pada bisnis tersebut). Ada tiga teori utama yang diungkapkan oleh

Garriga & Mele (2004), yaitu Corporate Constitutionalism, Integrative Social Contract Theory dan Corporate Citizenship.

Teori Corporate Constitutionalism pertama kali dikemukakan oleh Davis (1960). Ia adalah orang pertama yang berpendapat bahwa bisnis adalah institusi sosial dan sehingga bisnis harus menggunakan kekuasaannya secara bertanggung jawab. Garriga & Mele (2004:55) mengungkapkan bahwa Davis (1960) “was one of the first to explore the role of power that business has in society and the social impact of this power”. Kemudian Davis (1960) memperkenalkan kekuatan bisnis sebagai sebuah elemen baru dalam debat mengenai CSR. Davis (1960) menekankan pada pendapat bahwa tanggung jawab sosial bisnis tergantung pada kekuasaan sosial yang dimiliki bisnis tersebut. Hal ini kemudian diperkuat dengan yang diungkapkan oleh Davis (1967:48) “social responsibilities of businessmen arise from the amount of social power that they have ….the equation of social power responsibility has to be understood through the functional role of business and managers”. Ini berarti bahwa tanggung jawab sosial kekuasaan dimanifestasikan melalui peran fungsional bisnis dan manager dalam masyarakat.

Teori integrative social contract theory yang diungkapkan oleh Donaldson & Dunfee (1994, 1999) berawal dari pertimbangan bahwa ada hubungan antara bisnis dan masyarakat berdasarkan pada tradisi kontrak sosial. Kontrak sosial ini kemudian

(23)

berimplikasi kepada beberapa kewajiban tidak langsung dari bisnis untuk masyarakat (Garriga & Mele, 2004; Prayogo, 2011). Lebih lanjut, teori ini mengungkapkan sebuah proses yang memberikan legitimasi kepada kontrak yang terjadi diantara sistem industri, departemen, dan ekonomi (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Prayogo (2011:74) mengungkapkan bahwa:

Kontrak sosial merupakan kesepakatan yang bersifat “implicit” masyarakat memberikan legitimasi sosial (the right to exist) atas kehadiran korporasi dan sebaliknya manfaat ekonomi yang dihasilkan bisnis harus terdistribusi pula kepada masyarakat (in return for certain benefits).

Sementara itu, teori corporate citizenship lebih memusatkan perhatiannya pada hak-hak, tanggung jawab dan kemungkinan partnership dari bisnis dalam masyarakat. Sebelumnya, corporate citizenship selalu dikaitkan dengan “a sense of belonging to a community” atau rasa kepemilikan kepada sebuah masyarakat (Matten, et al., 2003; Wood & Lodgson, 2002), sehingga sudah menjadi hal yang biasa diantara para manager dan pengelola bisnis untuk melihat bahwa bisnis perlu memperhatikan masyarakat tempat bisnis itu beroperasi. Oleh karena itu, menurut teori ini, bisnis dipahami sebagai seperti warga dengan keterlibatan tertentu dalam masyarakat.

3. Integratif CSR

Kelompok teori ketiga yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004) adalah kelompok integrative theories. Kelompok ini berpendapat bahwa bisnis sangat tergantung pada masyarakat untuk menjaga keberadaan, keberlanjutan dan perkembangan bisnis tersebut. Integrative theories memandang pada bagaimana bisnis mengintegrasikan tuntutan sosial dan biasanya fokus kepada mendeteksi, mencari dan memberikan respon kepada tuntutan sosial untuk mencapai legitimasi sosial, penerimaan sosial yang lebih tinggi dan prestige (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan yang diurai dalam kelompok teori ini adalah issues management, the principle of public responsibility, stakeholder management dan corporate social performance (Garriga & Mele, 2004:58-59).

Issues management menurut Wartick & Rude (1986:124) diartikan sebagai “the processes by which the corporation can identify, evaluate and respond to those social and political issues which may impact significantly upon it”. Issues management merupakan pelebaran dari konsep social responsiveness yang muncul di tahun 1970-an (Sethi, 1975). Konsep social responsiveness ini menekankan pada pentingnya untuk menutupi gap diantara apa yang diharapkan oleh masyarakat kepada perusahaan dan apa yang perusahaan lakukan secara aktual. Gap ini biasanya ada dalam zona yang disebut Ackerman (1973:92) sebagai “zone of discretion (neither

(24)

regulated nor illegal nor sanctioned) where the company receives some unclear signals from the environment”. Ini berarti bahwa issues management menekankan pada proses memberikan respon dari pihak perusahaan terhadap masalah-masalah sosial dan bahwa issues management berfungsi sebagai peringatan dini atas potensi munculnya ancaman-ancaman lingkungan dan juga kesempatan-kesempatan, sehingga dapat meminimalisir kejutan dari adanya perubahan sosial dan politik (Garriga & Mele, 2004).

Pendekatan the principle of public responsibility pertama kali diungkapkan oleh Preston & Post (1975, 1981). Mereka menekankan pada kegunaan kata “public” daripada “social”, untuk menunjukkan pada pentingnya proses publik dalam mendefinisikan scope dari tanggung jawab, daripada pandangan personal-morality atau berdasarkan minat kelompok tertentu saja (Garriga & Mele, 2004:58). Preston & Post dalam Garriga & Mele (2004) berpendapat bahwa aturan yang sesuai untuk melegitimasi perilaku manajerial dapat ditemukan dalam kerangka kebijakan publik yang relevan dan bahwa kebijakan publik tidak hanya berisi aturan-autran dan perundang-undangan tetapi juga mengandung pola yang sangat luas dari arah sosial yang terefleksikan dalam opini publik, isu-isu yang muncul, kebutuhan akan hukum formal dan praktik-praktik dukungan atau implementasi.

Pendekatan berikutnya adalah pendekatan stakeholder management.

Pendekatan ini berorientasi kepada para stakeholders atau pihak-pihak atau orang-orang yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan dan praktik sebuah perusahaan. Pendekatan Stakeholder management baru berkembang secara akademik di akhir tahun 1970-an. Di tahun 1978, Emshoff & Freeman (Garriga & Mele, 2004: 59) mempresentasikan dua prinsip dasar yang memperkuat pendekatan ini, yaitu achieving maximum cooperation between entire system of stakeholder groups and the objectives of the corporation; and efforts in dealing with issues affecting multiple stakeholders. Pendekatan ini mencoba mengintegrasikan kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan perusahaan ke dalam pembuatan keputusan managerial (Garriga & Mele, 2004). Di masa awal munculnya pendekatan ini, banyak korporasi yang ditekan oleh NGO, aktifis, masyarakat, pemerintah, media dan kelompok-kelompok lainnya untuk melakukan kegiatan yang disebut sebagai responsible corporate practices (Garriga & Mele, 2004:59). Namun sekarang, berbagai perusahaan berusaha mencari jawaban dari berbagai tuntutan sosial melalui dialog dengan beragam stakeholders. Dialog antar stakeholder membantu menjawab pertanyaan mengenai responsiveness dari perusahaan dalam menerima sinyal yang kurang jelas dari lingkungan. Kaptein & Van Tulder (2003:208) menambahkan “this dialogue not only enhances a company’s sensitivity to its environment but also

(25)

increases the environments understanding of the dilemmas facing the organization”.

Pendekatan corporate social performance juga merupakan sebuah pendekatan yang mencari legitimasi sosial. Carroll (1979) yang memperkenalkan pendekatan ini yang terdiri dari 3 elemen, yaitu definisi dasar dari tanggung jawab sosial, daftar isu yang memunculkan tanggung jawab sosial, dan filosofi dari respon terhadap isu-isu sosial (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Wartich & Cochran (1985) menambahkan pendekatan Carroll dengan menyarankan bahwa corporate social involvement mengandung prinsip-prinsip social responsibility, the process of social responsiveness and the policy of issues management (Garriga & Mele, 2004:60). Perkembangan terkini dari pendekatan ini kemudian diungkapkan oleh Wood (1991) yang menyebutkan bahwa corporate social performance terdiri dari prinsip-prinsip CSR, proses dari corporate social responsivenesss dan hasil dari perilaku perusahaan.

4. Etik CSR

Kelompok teori terakhir untuk memetakan konsep-konsep CSR adalah ethical theories. Teori-teori yang tercakup dalam kelompok ini berperan sebagai perekat hubungan diantara perusahaan dan masyarakat. Teori-teori ini merupakan prinsip-prinsip yang mengungkapkan mengenai hal-hal yang benar untuk dilakukan

atau hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera.

Pendekatan pertama adalah normative stakeholder theory. Teori ini menekankan pada perlunya referensi dari berbagai teori moral yang ada, seperti misalnya Kantian moral teori, konsep Libertian, prinsip-prinsip keadilan, dan masih banyak lagi. Donaldson & Preston (1995: 67) menyebutkan bahwa stakeholder theory memiliki inti normative yang berdasarkan pada dua ide utama, yaitu “(1) stakeholders are persons or groups with legitimate interests in procedural and/or substantive aspects of corporate activity and (2) the interests of all stakeholders are of intrinsic values”. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam praktik CSR dengan menggunakan pendekatan stakeholder teori, etika atau moral merupakan pusat dari praktik tersebut. Pendekatan Universal Rights melalui Hak Asasi Manusia telah diambil sebagai dasar bagi CSR (Cassel, 2001; Garriga & Mele, 2004). Kini, banyak tanggung jawab sosial yang dijalankan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Selain hak asasi manusia, pendekatan ini juga mendasarkan pada hak-hak buruh dan juga perlindungan lingkungan.

Pendekatan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development dimasukkan ke dalam kelompok ethical teori karena konsep pembangunan berkelanjutan menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menjawab kebutuhan di masa kini tanpa mengancam

(26)

kemampuan untuk melindungi generasi penerus untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah sustainable development muncul pada tahun 1987 dalam “Brutland Report”. Pada awalnya, pembangunan berkelanjutan menitikberatkan pada faktor lingkungan, namun, World Business Council for Sustainable Development (2002:2) menyebutkan bahwa “sustainable development requires the integration of social, environmental, and economic considerations to make balanced judgements for the long term”. Kaitannya dengan CSR adalah, seperti yang diungkapkan oleh Wheeler, et al. (2003:17) bahwa

Sustainability is an ideal toward which society and business can continually strive, the way we strive is by creating value, creating outcomes that are consistent with the ideal of sustainability along social environmental and economic dimensions.

Dengan demikian, secara etika, CSR perusahaan harus menggunakan pendekatan “triple bottom line”, yaitu memasukkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga akan dapat menjamin keberlanjutan perusahaan tanpa merusak keberlanjutan lingkungan dan masyarakat.

Pendekatan terakhir dalam kelompok ethical theories adalah pendekatan common good (kebajikan umum). Pendekatan ini merupakan pendekatan klasik yang berakar pada tradisi Aristotelian yang kemudian dijadikan referensi kunci untuk etika bisnis (Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002; Mele, 2002). Pendekatan ini menyebutkan bahwa

perusahaan, sebagaimana kelompok sosial atau individual dalam masyarakat, harus berkontribusi untuk kebajikan umum, karena sudah menjadi bagian dari masyarakat. Perusahaan dapat berkontribusi untuk kebajikan umum dengan berbagai macam cara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:62):

“….creating wealth, providing goods and services in an efficient and fair way, at the same time respecting the dignity and the inalienable and fundamental rights of the individual”.

Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa banyak teori-teori CSR fokus kepada 4 aspek utama, sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:65) yaitu: (1) meeting objectives that produce long-term profits, (2) using business power in a responsible way, (3) integrating social demands and (4) contributing to a good society by doing what is ethically correct.

Dalam tabel 2.1. dikemukakan secara ringkas mengenai teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Garriga and Mele (2004). Tabel tersebut sekaligus merangkum penjelasan-penjelasan sebelumnya, baik teori instrumental, teori politik, teori integratif dan teori etik mengenai CSR

(27)

Tabel 2.1

Corporate Social Responsibilities Theories and Related Approaches

Jenis Teori Pendekatan Penjelasan Singkat Beberapa Referensi Kunci

1. Intrumental theories (fokus pada pencapaian sasaran ekonomi melalui aktifitas sosial) 1. Maksimalisasi

nilai shareholder Maksimalisasi nilai jangka panjang Friedman Jensen (2000) (1970),

2. Strategi untuk keuntungan kompetitif

 Investasi sosial dalam

konteks kompetitif Porter and Kramer (2002)

 Strategi berdasarkan pandangan sumber alami dari perusahaan dan dinamika

kapabilitas perusahaan

Hart (1995), Lizt (1996

 Strategi dari dasar

piramida ekonomi Prahalad Hammond (2002), and Hart and Christensen (2002), Prahalad (2003)

3. Caused-related

marketing Pengakuan aktifitas sosial altruistik dimanfaatkan sebagai alat pemasaran

Varadarajan and Menon (1986), Murray and Montanari (1986) 2. Political theories (fokus pada pemanfaatan tanggung jawab kekuatan bisnis dalam arena politik) 1. Konstitusiona-lisme perusahaan (Corporate constitutiona-lism)

Tanggung jawab sosial bisnis muncul dari sejumlah

kekuatan sosial yang mereka

Davis (1960, 1967)

2. Teori Kontrak Sosial Integrative (integrative social contract theories)

Asumsinya bahwa terdapat suatu kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat

Donaldson & Dunfee (1994, 1999)

3. Corporate (or business) citizenship

Perusahaan dipahami sebagaimana seorang warga dengan keterlibatan tertentu dalam komunitas

Wood & Lodgson (2002), Andriof & McIntosh (2001) Matten & Crane (in press) 3. Integrative theories (fokus integrasi tuntutan sosial) 1. Manajemen isu (issues management) Proses-proses perusahaan merespon isu sosial dan politik yang mempengaruhinya. Sethi (1975), Ackerman (1973), Jones (1980), Vogel (1986), Wartick and Mahon (1994) 2. Tanggung jawab publik (public responsibility)

Hukum dan adanya proses kebijakan publik diambil sebagai rujukan untuk kinerja sosial (social performance)

Preston and Post (1975, 1981)

Gambar

Gambar 1: Suku Laut Sesekali Mendarat  untuk Melakukan Barter, dan Suku Laut  Hidup Mengembara secara berkelompok di
Gambar 2. Skema Dampak Program PKAT  pada Komunitas Suku Laut di Pulau
Diagram 2. Strategi komunikasi
Tabel 1.  Data SDM Unit Rehabilitasi berdasarkan  Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari tokoh-tokoh politik Indonesia pasca Proklamasi, didalamnya terdapat empat tulisan Aidit yang menggambarkan pola pemikiran

kredit melalui kurir yang ditunjuk dengan suatu perjanjian khusus, pihak kurir akan memberikan bukti penerimaan kartu kepada bagian pengiriman (bank) setelah kartu diterima

Ada sudut pandang yang sama pada berita ditanggal 15 September 2019 tersebut dari kedua media online itu yakni sama-sama memberitakan bentuk protes masyarakat terhadap kabut asap

Pelayanan antenatal yang berkualitas meliputi: pelayanan kepada ibu hamil minimal 4 kali, 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II, dan 2 kali pada trimester III

Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1 bahwa dari 153 embrio tahap 1 sel hasil ICSI ditransfer ke 12 ekor resipien menghasilkan 33 (22%) embrio tertanam di rahim, selanjutnya

Kendaraan ini di produksi oleh tangan-tangan kreatif anak bangsa yang awalnya di buat dari barang-barang bekas onderdil mobil-mobil rusak dengan mesin diesel

Pada kedua teori yakni teori prinsip penataan (ordering principle) Salura (2010) dan teori fenomenologi Schulz (1980) yang telah dielaborasi sebagai kerangka baca dan

Pada imaging plate ukuran 18x24 cm yang mempunyai ukuran pixel 0,097 mm menghasilkan nilai kontras yang paling tinggi pada stepwedge step kedua yaitu dengan