• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN QUARTER LIFE CRISIS PADA DEWASA AWAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN QUARTER LIFE CRISIS PADA DEWASA AWAL SKRIPSI"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN QUARTER LIFE CRISIS PADA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Oleh:

Siti Amiatul Badriyah 201810230311387

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022

(2)
(3)

i

(4)

ii

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Quarter Life Crisis pada Dewasa Awal” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak M. Salis Yuniardi, M.Psi., PhD., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Sofa Amalia, S.Psi., M.Si., selaku ketua program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, sekaligus Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Ibu Dr. Djudiyah, M.Si., selaku Dosen Wali penulis yang telah mendukung, memberikan semangat dan pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Kedua orang tua yang selalu mendoakan penulis, selalu yakin dan percaya bahwa penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dengan baik, serta dukungan finansial dan psikologis untuk meningkatkan semangat penulis saat mengalami masa sulit.

5. Kedua adikku yang selalu memberikan dukungan dan semangat, selalu menghibur dan meyakinkan bahwa penulis telah melakukan yang terbaik.

6. Anindita dan Kurnia selaku teman seperbimbingan skripsi yang selalu meluangkan waktunya untuk saling membantu dan mendukung disaat susah maupun senang dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Teman-teman Fakultas Psikologi kelas G tahun 2018 yang selalu ada dan memberikan semangat.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap agar ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 11 Juli 2022

Penulis, Siti Amiatul Badriyah

(6)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI ... 4

Quarter Life Crisis ... 4

Aspek-aspek Quarter Life Crisis ... 4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Quarter Life Crisis ... 5

Self-Efficacy ... 5

Aspek-aspek Self-Efficacy ... 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy ... 6

Hubungan Self-Efficacy dengan Quarter Life Crisis ... 6

Kerangka Berpikir ... 8

Hipotesis ... 9

METODE PENELITIAN ... 9

Rancangan Penelitian ... 9

Subjek Penelitian ... 9

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 10

Prosedur Penelitian dan Analisis Data ... 11

HASIL PENELITIAN ... 11

DISKUSI ... 13

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 16

REFERENSI ... 17

LAMPIRAN ... 20

(7)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 9

Tabel 2. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 10

Tabel 3. Kategorisasi Variabel ... 11

Tabel 4. Uji Korelasi Product Moment Self-Efficacy dan Quarter Life Crisis ... 12

Tabel 5. Uji Korelasi Product Moment Self-Efficacy dengan Quarter Life Crisis ... 12

(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 8

(9)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian Self-Efficacy dan Skala Penelitian Quarter Life Crisis ... 21

Lampiran 2. Blue Print Skala Self-Efficacy dan Skala Quarter Life Crisis ... 26

Lampiran 3. Validitas dan Reliabilitas Skala ... 32

Lampiran 4. Analisis Data Uji Normalitas, Uji Linearitas dan Uji Korelasi Pearson …...48

Lampiran 5. Deskripsi Data ... 53

Lampiran 6. Tabulasi Data ... 56

Lampiran 7. Uji Verifikasi Analisis Data dan Uji Plagiasi ... 91

(10)

1

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN QUARTER LIFE CRISIS PADA DEWASA AWAL

Siti Amiatul Badriyah

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang amiatulb@gmail.com

Dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa yang mana pada periode perkembangan inilah individu dewasa awal rawan mengalami quarter life crisis karena pada masa ini individu mulai dihadapkan dengan banyak tuntutan permasalahan terkait dengan tugas akademik, pekerjaan dan karier, hingga relasi interpersonal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan quarter life crisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dengan jumlah subjek sebanyak 370 orang (106 laki- laki dan 264 perempuan) yang berada pada masa dewasa awal dengan kisaran usia 18 hingga 25 tahun. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala self-efficacy dan skala quarter life crisis. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment Pearson. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara self- efficacy dengan quarter life crisis pada dewasa awal dengan nilai (r = -0,234 dan sig/p = 0,000

< 0,05) yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat self-efficacy pada individu maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami, dan sebaliknya semakin rendah tingkat self- efficacy maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami.

Kata kunci: Dewasa awal, Self-Efficacy, Quarter Life Crisis

Early adulthood is a transition period from adolescence to adulthood, in which early adult individuals are prone to experiencing a quarter life crisis because at this time individuals are faced with many demands for problems related to academic, work and career tasks, to interpersonal relationships. The purpose of this study was to determine the relationship between self-efficacy and the quarter life crisis. This study uses a correlational quantitative approach. Subjects in this study used an accidental sampling technique with a total of 370 subjects (106 males and 264 females) who were in early adulthood with an age range of 18 to 25 years. The research instrument used is the self-efficacy scale and the quarter life crisis scale.

The data analysis technique used is Pearson Product Moment correlation. The results of the study stated that there was a negative and significant relationship between self-efficacy and quarter life crisis in early adulthood with a value (r = -0.234 and sig/p = 0.000 <0.05) which means that the higher the level of self-efficacy in individuals the lower the level of the quarter life crisis experienced, and conversely the lower the level of self-efficacy, the higher the level of the quarter life crisis experienced.

Keywords: Early Adulthood, Self-Efficacy, Quarter Life Crisis

(11)

Semua manusia pasti akan melalui fase perkembangan dimulai dari masa bayi dan kanak-kanak, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak tengah, remaja, dewasa awal, hingga dewasa akhir.

Dari banyaknya variasi individu mengenai karakteristik dan tugas perkembangannya, salah satu periode perkembangan yang dianggap serius yaitu masa transisi dari remaja menuju dewasa yang mana pada masa ini individu dihadapkan dengan berbagai banyak pilihan terkait masa depannya. Santrock (2011) mengatakan bahwa rentang usia pada masa dewasa awal berkisar antara 18 tahun hingga 25 tahun, individu yang sedang berada pada fase tersebut ditandai oleh kegiatan yang bersifat eksperimen dan eksplorasi seperti halnya masa pencarian, penemuan, pemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, hingga penyesuaian diri pada hidup yang baru dimana pada fase ini individu didambakan sudah mampu berpikir lebih kritis, bertanggung jawab, serta mandiri.

Masa tersebut diketahui adalah masa emerging adulthood, dalam masa ini individu dengan kisaran usia 18-25 tahun mulai menggali dirinya mengenai kemampuan diri dalam karier yang akan diambil, menjadi individu yang seperti apa, serta gaya hidup bagaimana yang diinginkan (Arnett, 2004). Akan tetapi tiap-tiap individu memiliki reaksi yang berbeda hingga ada yang merasa tidak dapat menangani perubahan-perubahan dalam masa emerging adulthood tersebut.

Hal ini akan menimbulkan perasaan takut, cemas, serta khawatir di dalam diri individu. Robbins

& Wilner (2001) menyebut fenomena ini dengan quarter life crisis. Perasaan takut, cemas, serta khawatir terkait masa depan termasuk relasi, kehidupan sosial, dan karier sering muncul pada saat individu mencapai pertengahan usia 20-an tahun yang disebut dengan krisis seperempat abad quarter life crisis. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nash & Murray (2010) permasalahan quarter life crisis yakni terkait mimpi dan harapan, tugas akademik, agama dan spiritualitas, karier, percintaan dan relasi.

Fenomena quarter life crisis ini marak terjadi dikalangan dewasa awal yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan psikologis. Tugas utama dari periode ini adalah untuk membentuk struktur kehidupan, pekerjaan dan keluarga yang harmonis serta mandiri untuk pertama kali jauh dari jangkauan orang tua (Robinson, 2008). Sebagaimana pada tahap pertama kehidupan dewasa ditandai dengan ketidakstabilan dalam hubungan, identitas, jaringan sosial dan pengaturan hidup (Arnett, 2000). Hal ini didukung oleh survei terhadap 1.000 orang di Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 70% orang berusia 30-an mencerminkan bahwa mereka mengalami krisis kehidupan pada usia 20-an (Robinson & Wright, 2013). Krisis ini disebabkan oleh banyaknya tekanan dan tuntutan yang dihadapi terkait dengan langkah yang akan dicapai untuk masa depannya.

Selain itu hasil survei yang dilakukan oleh Robinson (2017) terhadap 2.000 responden millenial di Inggris menggambarkan 56% individu berada dalam quarter life crisis. Hampir 60%

melaporkan bahwa individu mempertanyakan situasi kehidupan mereka dikarenakan adanya tekanan-tekanan dari lingkungan. Semakin mendapat tekanan, individu akan merasa frustasi dan memandang negatif terhadap diri sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa individu dewasa awal yang mampu mengatasi dengan baik masa quarter life crisis-nya akan mampu berdamai dengan dirinya, sementara individu yang belum mampu mengatasi hal tersebut dengan baik tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan psikologis seperti stres, depresi, tidak percaya diri dan ragu akan kemampuan yang dimiliki, kurangnya motivasi pada diri, mulai membandingkan dirinya dengan individu yang lain, serta kecemasan yang berlebih.

(12)

Robbins & Wilner (2001) menjelaskan quarter life crisis terjadi karena adanya perubahan hidup dari masa remaja menuju dewasa awal dimana muncul rasa stagnasi yang memicu seseorang merenungkan masa lalunya dan melihat apakah hidupnya sampai saat ini sesuai dengan kehidupan yang ia impikan sebagai seorang manusia. Quarter life crisis merupakan respon terhadap ketidakstabilan yang luar biasa, perubahan terus-menerus karena terlalu banyaknya pilihan yang membuat individu merasa tidak berdaya dan panik, dengan demikian ketidakpastian hidup dapat mendorong seseorang ke dalam kekacauan. Ketidakpastian yang dialami usia 20-an terjadi karena apa yang dulunya mereka lakukan seperti rangkaian lembaga pendidikan telah dijalani kini menjadi banyak pilihan yang berbeda terkait dengan karir, situasi keuangan, rumah, dan kehidupan sosial. Maka dari itu dengan banyaknya pilihan pasti akan mempunyai banyak pandangan, namun banyaknya pilihan yang tak ada habisnya juga bisa membuat individu merasa tersesat, cemas, takut, serta khawatir terkait pilihan hidupnya sehingga individu kerap meragukan keputusannya, kemampuannya, hingga kesiapannya di masa depan (Robbins & Wilner, 2001).

Penelitian terdahulu terkait quarter life crisis yang dilakukan oleh Black (2010) menunjukkan hasil bahwa mahasiswa pascasarjana mengalami krisis seperempat abad dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap krisis seperempat kehidupan pada mahasiswa pascasarjana yaitu perubahan terkait relasi interpersonal, masalah pekerjaan dan keuangan, stres akademik, dan identitas diri. Respon emosional yang muncul dalam krisis ini berupa perasaan cemas, bimbang, frustasi dan gelisah. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Yeler et al (2021) yang mana hasil penelitian menyebutkan bahwa 82% peserta mengalami krisis pada tingkatan yang berbeda.

Peserta mengalami kesulitan dalam bidang yang berhubungan dengan karir, usia, tingkat kebahagiaan yang dirasakan, tingkat kesulitan yang dirasakan, dan intoleransi ketidakpastian ditentukan sebagai prediktor krisis yang signifikan. Maka dari itu terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam intoleransi ketidakpastian dan tingkat krisis di antara kelompok umur yang artinya semakin tinggi intoleransi terhadap ketidakpastian dan tingkat kesulitan hidup yang dirasakan maka semakin tinggi pula individu untuk mengalami quarter life crisis, oleh karena itu penyebab dari munculnya quarter life crisis adalah sulitnya menyesuaikan diri terkait perubahan yang muncul pada masa dewasa. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Martunis (2016) menunjukkan bahwa 66% mahasiswa di Universitas Syiah Kuala mengalami masalah terkait masa depan dan pekerjaan. Selain itu penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Sari (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar kaum milenial mengalami quarter life crisis

Arnett (2004) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang melatarbelakangi terjadinya quarter life crisis yaitu faktor internal dan eksternal. Berangkat dari faktor internal yang mempengaruhi quarter life crisis yakni terdapat faktor ketidakstabilan (instability) dan kebimbangan (feeling in between) yang mana kedua faktor tersebut erat kaitannya dengan ketidakmampuan individu dalam mengatasi tekanan-tekanan yang muncul saat individu berada di masa peralihan, yang berdampak pada kegagalan individu dalam melaksanakan tugas perkembangan yang ada di tahap perkembangan manusia. Individu dengan ketidakstabilan dan kebimbangan yang tinggi dapat dikatakan memiliki self-efficacy yang rendah. Dengan demikian keyakinan dalam diri atau self-efficacy sangatlah penting untuk dimiliki individu dewasa awal karena untuk dapat melewati masa dewasa terbilang cukup sulit melihat banyaknya tuntutan permasalahan baik itu dari diri sendiri maupun lingkungan serta harapan-harapan yang harus dipenuhi. Maka dari itu diperlukannya keyakinan diri atau self-efficacy agar dapat menghadapi serta melalui segala permasalahan yang terjadi di kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori self- efficacy Bandura (1997) menyebutkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan yang ada pada diri individu terkait kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang

(13)

diperlukan untuk memperoleh hasil tertentu. Self-efficacy dapat memberi dampak positif terhadap kebutuhan hidup manusia karena meminimalisir adanya masalah yang kompleks dalam sebuah kehidupan sehingga cenderung untuk tidak meninggalkan masalah tanpa adanya penyelesaian. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti terkait hubungan kedua variabel yaitu self-efficacy dan quarter life crisis. Sehingga pembeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini hanya terfokus pada self-efficacy terhadap quarter life crisis dengan subjek dewasa awal secara umum, namun penelitian sebelumnya lebih banyak mengaitkan quarter life crisis dengan stres, komparasi sosial, psychological well-being, serta dengan subjek mahasiswa.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan quarter life crisis pada dewasa awal. Dengan demikian diharapkan dapat bermanfaat bagi keilmuan psikologi dalam mengembangkan teori perkembangan khususnya pada tahap dewasa awal, selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat bagi individu yang berada pada masa dewasa awal agar lebih mudah mengidentifikasi tahap krisisnya serta dapat lebih mudah mengetahui cara penanganannya pada setiap permasalahan yang ada di kehidupan manusia.

Quarter Life Crisis

Alexander Robbins dan Abby Wilner adalah pencetus pertama terkait dengan fenomena quarter life crisis. Quarter life crisis didefinisikan sebagai masa perubahan hidup dan perubahan emosional yang terjadi pada saat transisi dari kehidupan remaja menuju dewasa, dengan adanya banyak pilihan terkait kehidupannya yang membuat individu khawatir dan cemas akan masa depan, hal ini biasanya terjadi pada kisaran usia 18 tahun hingga 25 tahun. Kondisi tersebut dapat memicu permasalahan psikologis seperti stres, depresi, tidak percaya diri dan ragu akan kemampuan yang dimiliki, kurangnya motivasi pada diri, mulai membandingkan dirinya dengan individu yang lain, serta kecemasan yang berlebih (Robbins & Wilner, 2001). Quarter life crisis terjadi pada tahap pertama kehidupan dewasa yang ditandai dengan adanya ketidakstabilan dalam hubungan, identitas, relasi sosial serta gaya hidup (Arnett, 2000).

Atwood & Scholtz mengemukakan bahwa krisis emosional di pertengahan usia 20-an tahun mencakup rasa kesepian, keterasingan, ketidakmampuan, dan keraguan pada diri sendiri, serta ketakutan terbesar akan kegagalan di masa depan (dalam Stapleton, 2012).

Menurut Robinson & Wright (2013) terdapat 4 fase pada masa quarter life crisis: (1) terkunci, pada fase ini masa krisis individu yang berhubungan dengan relasi sosial baik itu percintaan maupun pekerjaan dimana individu mulai merasa kurang sesuai dengan nilai dan kepribadiannya sehingga muncul ketidaknyamanan atau ketidakberdayaan; (2) separation/waktu habis, pada fase ini individu mulai memisahkan diri dan meluangkan waktu untuk dirinya dari aktivitas sosialnya yang biasa ia lakukan sehari-hari karena ketidaksesuaiannya tersebut; (3) eksplorasi, pada fase ini individu mulai mengeksplor dirinya kembali untuk menemukan struktur kehidupan baru sesuai dengan yang diinginkan; (4) membangun kembali, pada fase terakhir ini individu membangun kembali struktur kehidupan yang lebih stabil dari sebelum masa krisisnya.

Robbins & Wilner (2001) juga mengemukakan bahwa diperoleh 7 aspek dalam quarter life crisis meliputi: (1) kebimbangan dalam mengambil keputusan, individu yang sedang berada di fase dewasa didambakan sudah mampu bertanggung jawab, di samping itu dengan banyaknya pilihan membuat individu merasa bimbang akan keputusan terkait masa depan yang akan diambil sementara pada usia dewasa awal individu masih belum cukup pengalaman terkait struktur kehidupan; (2) putus asa, rasa putus asa itu muncul karena adanya kegagalan atau hasil yang kurang memuaskan pada diri individu, selain itu kebiasaan membandingkan diri dengan

(14)

teman sebaya yang lebih berhasil baik di bidang karir maupun akademik dapat memicu rasa putus asa serta tidak yakin akan kemampuan yang dimiliki; (3) penilaian diri negatif, individu yang sering membandingkan dirinya dengan teman sebaya seringkali menilai dirinya lebih rendah dari orang lain. Hal ini dapat menimbulkan rasa ragu dan tidak yakin akan kemampuan yang dimiliki karena takut dengan kegagalan; (4) terjebak dalam situasi yang sulit, lingkungan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena lingkungan dapat mempengaruhi tindakan dan pikiran. Maka dari itu sangat sulit individu untuk mengambil keputusan; (5) rasa cemas, di masa dewasa individu dihadapkan dengan tuntutan terkait harapan orang tua maupun harapan dari diri sendiri yang harus dipenuhi, maka dari itu individu cenderung melakukan yang terbaik agar hasil sempurna dengan demikian individu merasa cemas apabila harapannya tidak sesuai dengan yang diinginkan; (6) tertekan, perasaan tertekan muncul akibat dari banyaknya masalah yang sedang dihadapi maka dari itu individu merasa tertekan karena terbebani hingga menghambat aktivitasnya; (7) kekhawatiran terkait relasi interpersonal, pada masa ini individu merasa khawatir terkait hubungan interpersonalnya, salah satunya hubungan dengan lawan jenis yang mana individu mulai memikirkan seperti halnya kapan akan menikah, apakah nantinya akan menikah dengan orang yang sesuai kriteria, bahkan khawatir kelak tidak dapat menyeimbangkan hubungan antara keluarga, pasangan, teman, dan karirnya.

Arnett (2004) mengemukakan bahwa ditemukan dua faktor yang mempengaruhi quarter life crisis yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal melingkupi, (1) identity exploration (eksplorasi identitas), ialah proses pencarian atau pengggalian jati diri individu; (2) instability (ketidakstabilan), ialah perubahan kebiasaan yang mengharuskan individu siap dengan keadaan yang tidak sesuai dengan rencana sebelumnya; (3) being self-focused (fokus pada diri sendiri), ialah individu diharuskan untuk mandiri dan bertanggung jawab atas keputusannya; (4) feeling in between (perasaan bimbang), ialah fase dimana individu merasa bahwa dirinya bukan remaja tetapi belum memenuhi kriteria dewasa; (5) the age of possibilities (harapan dan kemungkinan), ialah perasaan khawatir terkait harapan dan mimpinya di masa depan karena yang direncanakan tidak sesuai. Di samping itu terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi quarter life crisis yakni (1) relasi dengan keluarga, teman dan percintaan, yang mana individu mulai mempertimbangkan apakah dirinya siap untuk menikah, dalam relasi keluarga dirinya merasa cukup dewasa untuk menjadi tanggungan orang tua, serta dalam relasi pertemanan mempertanyakan bagaimana dirinya menemukan teman sejati; (2) kehidupan pekerjaan dan karier. Individu mulai terombang-ambing terkait pilihan dalam pekerjaan yaitu antara memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion atau pekerjaan yang hanya menuntut pemenuhan kebutuhan semata; (3) bidang pendidikan, individu mulai bingung dalam mempertimbangkan kemampuan atau bidang pendidikan yang sedang didalami apakah dapat menunjang karirnya di masa depan atau tidak.

Self-Efficacy

Salah satu tokoh yang mengembangkan teori self-efficacy adalah Albert Bandura (1997) yang mendefinisikan sebagai keyakinan seseorang dalam mengatur dan menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara itu menurut Baron & Byrne self-efficacy merupakan sebuah penilaian diri terhadap kemampuan dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, serta dalam menghadapi kendala yang dialami (dalam Afidah, 2017). Selaras dengan penjelasan Alwisol (2009) bahwa self-efficacy yakni sebuah penilaian kepada diri sendiri untuk dapat melakukan tindakan baik atau buruk, tepat atau salah, serta dapat diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut Bandura (dalam Rahmadini, 2011) terdapat beberapa karakteristik pada individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi dan rendah. Individu dengan self-efficacy yang tinggi

(15)

memiliki karakteristik diantaranya: yakin akan kemampuan yang dimiliki bahwa ia dapat menangani atau menyelesaikan tugas atau masalah dengan baik, tekun dalam menyelesaikan tugas, melihat kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman, suka mencari suasana yang baru, memiliki usaha yang kuat untuk bangkit saat menghadapi kegagalan, memiliki komitmen yang kuat terkait tujuan yang ingin dicapai, fokus pada masalah atau tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, memiliki keyakinan ketika menghadapi ancaman bahwa dirinya mampu menanganinya,. Sementara individu dengan self-efficacy yang rendah memiliki karakteristik diantaranya: merasa cemas, tidak berdaya, mudah sedih, apatis dan menghindar dari tugas-tugas yang sulit karena merasa tidak mampu menyelesaikannya, mudah menyerah saat menghadapi rintangan atau hambatan, aspirasi yang rendah serta komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai, cenderung memikirkan kelemahannya saat dalam keadaan yang sulit, pada saat mengalami kegagalan sulit untuk membangkitkan kembali semangatnya.

Bandura (1997) juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa aspek dari self-efficacy yaitu:

(1) magnitude (tingkat), aspek ini mengenai tingkat kesukaran tugas yang diyakini. Dalam menyelesaikan suatu tugas individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung lebih memilih untuk mengerjakan suatu tugas yang dirasa tingkat kesulitannya sesuai dengan kemampuannya; (2) strength (kekuatan), aspek ini mengenai tingkat kekuatan terhadap keyakinannya dalam menyelesaikan tugas tertentu dengan demikian individu dengan self- efficacy yang tinggi cenderung akan berusaha keras dan pantang menyerah ketika dihadapkan dengan kesulitan atau hambatan, sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan; (3) generality (keluasan), aspek ini mengenai penguasaan dalam bidang tugas yang dilakukan. Dalam mengatasi suatu masalah atau tugas, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung dapat menguasai beberapa bidang sekaligus, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy menurut Bandura meliputi: (1) pengalaman keberhasilan (mastery experience), yang mana jika individu sempat mengalami keberhasilan di masa lampau maka tingkat self-efficacy tinggi dan sebaliknya jika individu sempat mengalami kegagalan di masa lampau maka tingkat self-efficacy rendah; (2) pengalaman orang lain (vicarious experience or modeling), dengan melihat pengalaman orang lain yang berhasil dapat memicu tingkat keyakinan diri individu bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam mencapai sesuatu yang diinginkan dan begitu pula sebaliknya jika melihat pengalaman orang lain gagal dengan kemampuan yang setara dengan dirinya maka dapat menurunkan keyakinan diri hingga meragukan kemampuan yang dimiliki; (3) persuasi verbal (verbal persuasion) dengan adanya penyampaian secara verbal oleh orang-orang sekitar bahwa individu memiliki kemampuan yang layak untuk mencapai sesuatu yang diinginkan akan memperkuat keyakinan dirinya serta cenderung berusaha dengan maksimal dan mempertahankan, begitu pula sebaliknya; (4) kondisi fisiologis dan afektif (physiological and affective state), jika individu sedang mengalami kondisi fisik yang kurang baik maka akan menurunkan tingkat keyakinan dirinya dan sebaliknya karena keadaan dan kondisi yang menekan tersebut dapat mempengaruhi keyakinan diri individu terkait kemampuan yang dimiliki dalam menyelesaikan tugas tertentu (dalam Subaidi, 2016).

Hubungan Self-Efficacy dengan Quarter Life Crisis

Terbentuknya quarter life crisis pada individu di masa perkembangan dewasa awal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang mempengaruhi hal tersebut diketahui terbagi menjadi dua (dalam Arnett, 2004) yakni faktor yang munculnya dari dalam diri (internal) dan faktor yang munculnya dari lingkungan luar (eksternal). Faktor yang munculnya dari dalam diri

(16)

diantaranya terdapat ketidakstabilan (instability) dan kebimbangan (feeling in between). Kedua faktor tersebut erat kaitannya dengan ketidakmampuan individu dalam mengatasi tekanan- tekanan yang muncul saat individu berada di masa peralihan, yang berdampak pada kegagalan individu dalam melaksanakan tugas perkembangan yang ada di tahap perkembangan manusia.

Individu dengan ketidakstabilan dan kebimbangan yang tinggi dapat dikatakan memiliki self- efficacy yang rendah. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, self-efficacy merupakan suatu kemampuan yang dapat membantu individu untuk menyelesaikan segala macam tugas kehidupan (Bandura, 1997).

Self-efficacy memiliki peran dalam menghadapi quarter life crisis (Walshe, 2018). Hal ini didukung oleh pernyataan Bandura (1997) yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi maka dirinya akan yakin dapat mengatasi dan menyelesaikan suatu tugas atau masalah yang sedang dihadapi sekalipun terdapat hambatan di dalamnya. Selain itu individu yang yakin akan kemampuan yang dimiliki dapat lebih gigih dalam berusaha serta menekankan bahwa suatu tugas atau masalah harus memiliki beban yang berat dan menuntut agar dapat mengevaluasi dan menantang diri sendiri untuk dapat memecahkan suatu tugas atau permasalahan tersebut. Sehingga individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengalami quarter life crisis yang rendah dalam hidupnya. Bandura juga menambahkan bahwa individu dengan tingkat efikasi diri yang tinggi menganggap suatu permasalahan sebagai tantangan bukan ancaman karena ia menyadari bahwa dirinya mampu mengatasi rintangan dan fokus pada keinginan yang dicapai (Jungert & Rosander, 2010).

Self-efficacy juga dapat memberi dampak positif terhadap kebutuhan hidup manusia karena meminimalisir adanya masalah yang kompleks dalam sebuah kehidupan sehingga cenderung untuk tidak meninggalkan masalah tanpa adanya penyelesaian dan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi (Bandura, 1997). Berdasarkan data di lapangan, individu yang sedang berada pada masa dewasa awal rentan mengalami krisis karena perubahan-perubahan serta banyaknya pilihan yang dihadapi. Dengan demikian jika individu memiliki self-efficacy yang tinggi, diperkirakan akan mampu melewati masa quarter life crisis dengan baik. Sehingga diperlukannya keyakinan diri atau self-efficacy agar dapat menghadapi serta melalui segala permasalahan yang terjadi di kehidupan. Begitupun sebaliknya, jika individu memiliki self- efficacy yang rendah diperkirakan akan mengalami quarter life crisis yang tinggi.

(17)

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Dewasa Awal

Besarnya tanggung jawab dan harapan dari orang sekitar mengakibatkan individu dewasa awal

rentan mengalami ketidakberdayaan

Self-Efficacy Tinggi

- Yakin terhadap kemampuan yang dimiliki bahwa ia dapat menangani dan menyelesaikan tugas atau permasalahan dengan baik

- Memiliki komitmen yang kuat dan fokus terkait tujuan yang ingin dicapai

- Memiliki usaha yang besar untuk bangkit ketika menghadapi kegagalan

Self-Efficacy Rendah - Merasa cemas, tidak berdaya,

mudah sedih, apatis dan meghindar dari tugas-tugas yang sulit karena merasa tidak mampu menyelesaikannya - Mudah menyerah saat

menghadapi hambatan

- Memiliki komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai

Quarter Life Crisis Rendah - Memahami dan meyakini terkait

tingkat kemampuan yang dimiliki sehingga individu lebih mengetahui langkah apa yang akan diambil pada masa yang akan datang

- Tidak takut akan kegagalan - Fokus terhadap tujuan yang akan

dicapai

Dampaknya:

Individu akan lebih yakin terkait kemampuan yang ada pada dirinya

ketika dihadapkan dengan situasi sulit. Sehingga didapatkan quarter life

crisis yang rendah

Quarter Life Crisis Tinggi - Merasa ragu akan kemampuan

yang dimiliki

- Merasa cemas dan bimbang terkait langkah apa yang akan diambil di masa depan

- Merasa tertekan dan khawatir akan adanya kegagalan di masa depan

Dampaknya:

Individu menjadi kurang yakin akan kemampuan yang ada pada dirinya

ketika dihadapkan dengan situasi sulit. Sehingga didapatkan quarter life

crisis yang tinggi

(18)

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara self-efficacy dengan quarter life crisis pada masa dewasa awal. Semakin tinggi tingkat self-efficacy pada individu maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami, dan sebaliknya semakin rendah tingkat self-efficacy maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis korelasional. Pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang menggunakan angka dan diolah dengan menggunakan analisis statistik. Penelitian dengan jenis korelasional ini bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Sugiyono, 2013).

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang berada pada masa dewasa awal dengan rentang usia 18 hingga 25 tahun serta bersedia menjadi responden dalam penelitian.

Teknik pengambilan subjek dengan menggunakan teknik accidental sampling, yang mana sampel ditentukan berdasarkan siapa saja yang secara kebetulan ditemui oleh peneliti yang kemudian dijadikan sampel dengan ketersediaan orang yang sesuai pada kriteria serta bersedia memberikan respon pada penelitian (Sugiyono, 2013). Adapun jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 370 orang. Dimana dapat diperoleh data demografi subjek berdasarkan hasil penyebaran skala penelitian yang telah dilakukan pada 370 orang yakni sebagai berikut:

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian

Kategori Frekuensi Presentase

Jenis Kelamin

Status

Tinggal Bersama

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Mahasiswa

Bekerja

Mahasiswa dan bekerja Pelajar

Pengangguran, freshgraduate

Jumlah Orang Tua Saudara, kakek/nenek,

tante

Kos, teman, asrama, sendiri Jumlah

106 264 370 230 91

6 26 17 370 326 25 19 370

28,6%

71,4%

100%

62,2%

24,6%

1,6%

7%

4,6%

100%

88,1%

6,8%

5,1%

100%

(19)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek penelitian berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada subjek berjenis kelamin laki-laki.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu self-efficacy sebagai variabel bebas (X) yaitu penilaian atau persepsi dari individu yang berada pada rentang usia dewasa awal terkait keyakinan di dalam diri yang berhubungan dengan kemampuan dalam penyelesaian masalah atau tugas yang sedang dihadapi. Instrumen penelitian yang digunakan merupakan skala likert yang disusun oleh Ralf Schwarzer (2002) serta telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Damayanti (2020) yaitu skala self-efficacy dengan total 10 item, dimana semua item hanya terdiri dari item favorable dengan berdasarkan tiga aspek yakni magnitude (tingkat), strength (kekuatan), dan generality (keluasan). Subjek akan menjawab pernyataan dengan memberikan pilihan angka mulai dari angka (1), (2), (3), hingga (4), artinya semakin besar angka yang dipilih maka akan semakin mendekati keadaan diri subjek. Angka (1) menunjukkan arti sangat tidak sesuai, (2) tidak sesuai, (3) sesuai, dan (4) sangat sesuai.

Kemudian quarter life crisis sebagai variabel terikat (Y) yaitu penilaian individu yang berada pada rentang usia dewasa awal mengenai kondisi ketidakberdayaan dan kebimbangan terkait pengambilan keputusan, putus asa, penilaian diri negatif, terjebak dalam situasi sulit, rasa cemas, tertekan, serta kekhawatiran terkait relasi interpersonal yang dapat memicu munculnya permasalahan psikologis. Instrumen penelitian yang digunakan merupakan skala likert yang disusun oleh Christine Hassler (2009) dan telah diadaptasi oleh Agustin (2012) yaitu skala quarter life crisis dengan total 25 item, dimana semua item hanya terdiri dari item favorable dengan berdasarkan tujuh aspek yakni kebimbangan dalam pengambilan keputusan, putus asa, penilaian diri negatif, terjebak dalam situasi sulit, rasa cemas, tertekan, kekhawatiran terkait relasi interpersonal. Subjek akan menjawab pernyataan dengan memberikan pilihan jawaban mulai dari angka 1 artinya sangat tidak sesuai (STS), 2 artinya tidak sesuai (TS), 3 artinya cukup tidak sesuai (CTS), 4 artinya cukup sesuai (CS), 5 artinya sesuai (S), hingga 6 artinya sangat sesuai (SS).

Tabel 2. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian Alat Ukur Jumlah Item Valid Corrected Item-Total

Correlation

Indeks Reliabilitas Self-Efficacy

Quarter Life Crisis

10 25

0,479 - 0,829 0,362 - 0,845

0,878 0,956

Untuk menghitung validitas salah satunya adalah dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel yang mana dasar pengambilan keputusannya yakni suatu data dapat dikatakan valid jika r hitung > r tabel, begitu juga sebaliknya suatu data dapat dikatakan tidak valid jika r hitung <

r tabel. Berdasarkan taraf signifikansi didapatkan hasil r tabel sebesar 0,279 yang mana dapat dilihat pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil uji validitas dan reliabilitas dari alat ukur self-efficacy memiliki indeks validitas dengan rentang 0,479 – 0,829 dan indeks reliabilitas sebesar 0,878. Kemudian dari alat ukur quarter life crisis memiliki indeks validitas dengan rentang 0,362 – 0,845 dan indeks reliabilitas sebesar 0,956. Dengan demikian seluruh item dapat dikatakan valid dan reliabel, maka dari itu skala self-efficacy dan skala quarter life crisis dapat digunakan pada penelitian ini.

(20)

Prosedur Penelitian dan Analisis Data

Prosedur dalam penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisa data. Tahap persiapan merupakan tahap pertama, yang mana pada tahap ini peneliti mencari fenomena serta mendalami kajian teoritik terkait variabel yang akan diteliti, yakni self-efficacy dan quarter life crisis. Kemudian skala yang digunakan adalah skala self-efficacy yang yang disusun oleh Ralf Schwarzer (2002) serta telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Damayanti (2020) dan skala quarter life crisis yang dikembangkan oleh Christine Hassler (2009) yang telah diadaptasi oleh Agustin (2012).

Tahap pelaksanaan merupakan tahap kedua, yang mana pada tahap ini peneliti melakukan penyebaran skala kepada subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian yang telah disusun dan disebarluaskan melalui google form dengan kriteria subjek yang digunakan adalah individu dewasa awal dengan kisaran usia 18 hingga 25 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta bersedia menjadi responden pada penelitian.

Tahap analisa data merupakan tahap terakhir, yang mana pada tahap ini adalah tahap menganalisis data. Data yang telah diperoleh diolah dan diinput menggunakan aplikasi Statistikal Package for the Social Sciences (SPSS) versi 22. Setelah itu data dianalisis menggunakan korelasi Product Moment Pearson untuk menguji hipotesis hubungan antara variabel bebas (X) yaitu self-efficacy dan variabel terikat (Y) yaitu quarter life crisis. Kemudian peneliti menuliskan hasil dan pembahasan terkait penelitian yang telah dilakukan berdasarkan data yang telah didapat, serta menuliskan kesimpulan keterkaitan dari penelitian yang telah dilakukan.

HASIL PENELITIAN Tabel 3. Kategorisasi Variabel

Variabel Penelitian

Kategori Interval Frekuensi Presentase

Self-Efficacy

Quarter Life Crisis

Rendah Tinggi Rendah Tinggi

<30,5

>31

<99,5

>100

164 206 183 187

44,3%

55,7%

49,5%

50,5%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa subjek penelitian dikelompokkan menjadi dua kategorisasi yakni rendah dan tinggi dengan berpacu pada nilai mean dan standar deviation yang didapatkan dari hasil perhitungan statistik menggunakan SPSS for windows versi 22. Pada variabel self-efficacy didapatkan sebanyak 164 subjek dengan persentase 44,3% berada pada kategori rendah dan sebanyak 206 subjek dengan persentase 55,7% berada pada kategori tinggi.

Sedangkan pada variabel quarter life crisis didapatkan sebanyak 183 subjek dengan persentase 49,5% berada pada kategori rendah dan sebanyak 187 subjek dengan persentase 50,5% berada pada kategori tinggi.

Pada uji normalitas terdapat dasar pengambilan keputusan yakni suatu data bisa dikatakan berdistribusi normal jika uji Kolmogorov-smirnov (asymp sig 2-tailed) > 0,05 begitu pula sebaliknya, suatu data bisa dikatakan berdistribusi tidak normal jika Kolmogorov-smirnov (asymp sig 2-tailed) < 0,05. Sementara itu, hasil dari uji normalitas menunjukkan nilai Asymp

(21)

(Sig 2-tailed) sebesar 0,090 yang artinya data dari kedua variabel berdistribusi normal dan dapat dilanjutkan pada uji linearitas.

Sementara itu, uji linearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan secara linear antara dua variabel yang akan diuji dengan menggunakan perhitungan statistik SPSS for windows versi 22. Dasar pengambilan keputusan yakni suatu data dikatakan memiliki hubungan yang linear jika nilai signifikansi dari deviation from linearity > 0,05 begitu pula sebaliknya suatu data dikatakan tidak memiliki hubungan yang linear jika nilai signifikansi dari deviation from linearity < 0,05. Maka dari itu berdasarkan hasil dari uji linearitas menunjukkan nilai signifikansi dari deviation from linearity sebesar 0,902 yang artinya data dari kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang linear.

Tabel 4. Uji Korelasi Product Moment Self-Efficacy dan Quarter Life Crisis

Self-Efficacy Quarter Life Crisis Self-Efficacy

Quarter Life Crisis

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

1 370 -0,234

0,000 370

-0,234 0,000

370 1 370

Dasar pengambilan keputusan yakni jika nilai signifikansi < 0,05 maka kedua variabel dapat dinyatakan berkorelasi, begitu pula sebaliknya jika nilai signifikansi > 0,05 maka kedua variabel dapat dinyatakan tidak berkorelasi. Berdasarkan hasil uji korelasi di atas dapat diketahui nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,234 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 <

0,05 dan N sebesar 370. Sementara itu dilihat dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,234 yang menunjukkan arah hubungan kedua variabel tersebut negatif. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan yang negatif antara self- efficacy dengan quarter life crisis, artinya semakin tinggi tingkat self-efficacy pada individu maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami, dan sebaliknya semakin rendah tingkat self-efficacy maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami. Dengan demikian hipotesis yang telah diajukan dapat diterima.

Tabel 5. Uji Korelasi Aspek Self-Efficacy dengan Quarter Life Crisis

QLC Magnitude/Level Strength Generality QLC Pearson

Correlation Sig. (1- tailed)

1 -0,219

0,000

-0,201 0,000

-0,204 0,000

Dasar pengambilan keputusan yakni jika nilai signifikansi < 0,05 maka kedua variabel dapat dinyatakan berkorelasi, begitu pula sebaliknya jika nilai signifikansi > 0,05 maka kedua variabel dapat dinyatakan tidak berkorelasi. Berdasarkan hasil uji korelasi dari ketiga aspek self-efficacy didapatkan nilai koefisien korelasi (r) dari aspek pertama (magnitude/level) sebesar -0,219 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Selanjutnya hasil uji korelasi dari aspek kedua (strength) sebesar -0,201 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Kemudian hasil uji korelasi dari aspek ketiga (generality) sebesar -0,204 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000

(22)

< 0,05. Dari hasil nilai koefisien korelasi (r) pada ketiga aspek menunjukkan arah hubungan kedua variabel tersebut negatif maka dari itu hipotesis yang telah diajukan dapat diterima.

DISKUSI

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan dari self-efficacy dengan quarter life crisis. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat self-efficacy pada individu maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami, dan sebaliknya semakin rendah tingkat self-efficacy maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami. Sebelumnya hipotesis dalam penelitian ini dinyatakan diterima karena hasil dari penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara self-efficacy dengan quarter life crisis.

Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muttaqien &

Hidayati (2020) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi self-efficacy maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami oleh mahasiswa. Hasil penelitian menambahkan penjelasan bahwa self-efficacy dapat membantu dalam hal berpikir positif, memberi motivasi pada diri, dapat mengenal dan mengulas dirinya lebih dalam, serta mengetahui lingkungan yang dapat membantu masa depan yang lebih baik, dengan demikian self-efficacy dirasa penting untuk dimiliki individu karena dapat meminimalisir terjadinya quarter life crisis. Pendapat di atas diperkuat oleh pernyataan Sarafino (dalam Siregar & Putri, 2019) yang mengemukakan bahwa self-efficacy yang dimiliki individu dapat membuat individu mampu menghadapi berbagai situasi. Individu dengan self-efficacy yang tinggi, mereka percaya dapat melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian atau peristiwa yang ada di sekitarnya. Sementara individu dengan self-efficacy yang rendah akan menganggap pada dasarnya dirinya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Selain itu, keyakinan individu akan berpengaruh pada tingkah laku yang akan dipilih, bagaimana usaha yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan, hingga membutuhkan waktu berapa lama untuk bertahan dalam menyelesaikan suatu tugas atau rintangan agar dapat menyesuaikan pilihan dan tujuan yang telah ditentukan (Bandura, 1997).

Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh penelitian Walshe (2018) menyebutkan bahwa self- efficacy berkorelasi negatif dengan quarter life crisis, dengan demikian hal ini dapat memberikan uraian bahwa stres dan ketidakpuasan mengenai pekerjaan dan hubungan interpersonal serta kesehatan mental dapat menjadi faktor yang signifikan pada masa quarter life crisis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Junaidy & Surjaningrum (2014) bahwa tidak dimilikinya pekerjaan pada usia dewasa awal akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan juga akan mempengaruhi kondisi psikologis individu. Keinginan individu yang sedang berada pada masa dewasa awal dengan posisi baru saja menyelesaikan pendidikan memiliki keinginan untuk berkarir sebelum menikah atau meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun kenyataanya masih banyak individu dewasa awal yang belum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan serta terdapat hal lain yang mendorongnya untuk menunda pekerjaan yang diinginkan atau berumah tangga, sehingga menjadi faktor pemicu quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Permasalahan yang terjadi pada dewasa awal terkait self-efficacy dengan quarter life crisis sejalan atau terdapat persamaan dengan prokrastinasi dan stres. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pratama & Darminto (2021) pada peserta didik kelas XII SMA menunjukkan bahwa self-efficacy dan prokrastinasi akademik secara bersamaan berhubungan dengan quarter life crisis. Sebagaimana hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Solomon &

(23)

Rothblum (1984) bahwa prokrastinasi berkorelasi dengan kecemasan dan kurang yakin akan kemampuan diri. Individu yang melakukan prokrastinasi cenderung menyepelekan tanggung jawab yang dimiliki, akibatnya hasil belajar individu tidak maksimal, lambat dalam mengerjakan tugas, tidak naik kelas dan sebagainya. Hal inilah yang akan berdampak pada quarter life crisis yang dialami individu dan begitu pula sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Anindya & Sartika (2018) juga menyebutkan bahwa stres dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang diinginkan oleh individu, baik keinginan yang bersifat jasmani maupun rohani. Hal ini diperkuat oleh Jensen et al (2004) yang menegaskan bahwa quarter life crisis pada individu bukan terjadi hanya karena faktor tunggal, melainkan memiliki hubungan dengan faktor lain yang berasal dari dalam maupun dari luar diri individu. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa quarter life crisis pada individu tidak hanya memiliki keterikatan dengan self-efficacy saja melainkan juga memiliki keterikatan dengan stres dan prokrastinasi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 di atas, diketahui terdapat dua kategorisasi hasil dari kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rendah dan tinggi. Pada skala self- efficacy, kategorisasi data yang dihasilkan yaitu terdapat responden yang memiliki tingkat self- efficacy yang rendah dan juga tinggi. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa besarnya tingkat self-efficacy berbeda pada tiap-tiap individu. Dikarenakan menurut Bandura (dalam Stianti, 2017) perbedaan tingkat self-efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu seberapa sulit tingkatan tugas yang dihadapi, penghargaan atau reward yang mampu meningkatkan motivasi individu, status individu dalam lingkungannya, dan analisa individu terkait kemampuan dirinya. Hasil yang serupa juga didapatkan dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti penelitian yang dilaksanakan oleh Tangkeallo et al., 2014) terdapat tiga kategorisasi dengan hasil menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki tingkat self-efficacy yang sedang, tinggi dan rendah. Selanjutnya penelitian dengan hasil yang serupa dilakukan oleh Afidah (2017) mengungkapkan bahwa beberapa siswa memiliki tingkat self- efficacy yang sedang hingga tinggi namun tidak terdapat siswa dengan tingkat self-efficacy yang rendah.

Sementara itu, pada skala quarter life crisis kategorisasi data yang diperoleh juga sama yakni responden pada penelitian memiliki tingkat quarter life crisis yang rendah dan tinggi. Artinya terdapat beberapa responden pada penelitian mengalami quarter life crisis dengan tingkat rendah karena individu meyakini bahwa dirinya akan mampu melewati masa quarter life crisis- nya dengan baik dengan cara meningkatkan self-efficacy yang dimiliki, mendekatkan diri kepada Tuhan, serta lebih mengenal diri sendiri. Namun terdapat juga individu pada penelitian ini yang mengalami quarter life crisis dengan tingkat tinggi pada saat memasuki tahap dewasa awal dalam menghadapi realita dunia yang terbayang menjadi sulit dan berat dikarenakan individu kurang memiliki bekal dan persiapan dalam menghadapinya. Hasil yang sama juga didapatkan dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti penelitian yang dilaksanakan oleh Sari (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar kaum milenial mengalami quarter life crisis. Selanjutnya penelitian dari Mutiara (2018) menunjukkan hal yang sama yaitu sebagian besar mahasiswa BKI tingkat akhir mengalami quarter life crisis pada tingkat sedang. Hal ini diperkuat dengan penelitian Robbins (2004) yang mengemukakan bahwa individu di usia 20-an mengalami kebingungan terkait identitasnya, merasakan kegagalan dalam hubungan dan karir, merasa kecewa dengan semua hal, serta merasakan kekhawatiran terkait kehidupannya sebagai orang dewasa.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden pada dewasa awal dalam penelitian ini memiliki self-efficacy yang tinggi dan rendah dalam menghadapi permasalahan

(24)

quarter life crisis. Sehingga keyakinan diri yang dimiliki dapat menjadi salah satu cara untuk dapat melewati permasalahan pada masa dewasa awal.

Selain itu, pada penelitian ini didapatkan hasil uji korelasi dari ketiga aspek self-efficacy dimana nilai pada aspek magnitude (tingkat) memiliki hubungan yang sangat erat dengan variabel quarter life crisis. Aspek ini berhubungan dengan seberapa besar keyakinan individu dalam menghadapi tingkatan tugas. Maka ketika aspek ini diterapkan dalam kehidupan memungkinkan untuk membantu individu dalam memahami dan meyakini tingkat kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi situasi tertentu yang mana telah diketahui bahwa tiap-tiap individu berbeda dalam memandang suatu tingkat kesulitan tugas atau permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini didukung oleh Odgen (dalam Hasfrentia, 2016) yang mengemukakan bahwa keyakinan yang dimiliki individu terkait kemampuannya dalam mengontrol perilaku akan sangat berpengaruh pada respon individu akan kejadian atau peristiwa yang dihadapi serta berakibat menimbulkan stres.

Kemudian pada aspek generality (keluasan) turut berhubungan. Aspek ini mengenai penguasaan dalam bidang tugas yang dilakukan, dimana individu memandang kemampuannya yang ditunjukkan dalam konteks tugas yang berbeda-beda, baik melalui tingkah laku, kognitif, maupun afektifnya. Maka ketika aspek ini diterapkan dalam kehidupan memungkinkan untuk membantu individu dalam mengatasi suatu masalah atau tugas di waktu yang bersamaan.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung dapat menguasai beberapa bidang sekaligus, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas. Sama halnya pada aspek strength (kekuatan) tidak berbeda jauh dengan aspek generality yang cukup berhubungan. Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan terhadap keyakinannya dalam menyelesaikan tugas atau permasalahan tertentu dengan demikian individu dengan keyakinan diri yang kuat akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meski banyak hambatan dan kesulitan didalamnya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hargenhahn (dalam Rizky et al., 2014) yang menyatakan bahwa individu yang memandang tingkat kemampuannya cukup tinggi, ia akan berusaha lebih keras serta lebih gigih dalam menjalankan tugas daripada individu yang memandang kemampuan dirinya rendah.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa self-efficacy berhubungan dengan quarter life crisis, karena self-efficacy merupakan salah satu faktor penyebab munculnya quarter life crisis. Tidak hanya self-efficacy yang dapat mempengaruhi tingkat quarter life crisis yang dialami oleh individu, faktor eksternal seperti faktor lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan percintaan, tingkat pendidikan, tradisi dan budaya serta masih banyak faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi quarter life crisis. Maka dari itu sangat penting untuk meningkatkan self-efficacy agar individu dapat mengatasi dan melalui segala situasi atau permasalahan tertentu untuk mencapai suatu keinginan atau harapan-harapan pada dirinya.

Selain itu, selama penelitian berlangsung terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian.

Diantaranya merupakan replikasi dari penelitian Muttaqien & Hidayati (2020). Selain itu dalam pengambilan subjek, peneliti kurang spesifik menentukan status yang sedang ditempuh oleh subjek, apakah yang sedang menempuh pendidikan atau yang sedang bekerja, ataukah yang tidak bekerja, kemudian apakah yang sedang menempuh keduanya sekaligus yaitu bekerja dan menempuh pendidikan, maupun yang telah menikah.

(25)

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa hipotesis penelitian diterima, yang mana hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara self-efficacy dengan quarter life crisis. Artinya semakin tinggi tingkat self-efficacy pada individu maka semakin rendah tingkat quarter life crisis yang dialami, dan sebaliknya semakin rendah tingkat self-efficacy maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami.

Implikasi dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberi manfaat menjadi sebuah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca dan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti terkait self-efficacy dan quarter life crisis. Upaya yang dapat dilakukan oleh individu dalam meningkatkan self-efficacy adalah yang pertama mencari lingkungan positif dan supportive karena dengan adanya dukungan orang sekitar yang turut meyakinkan bahwa kita dapat menangani tuntutan tugas atau permasalahan yang terjadi akan meningkatkan self-efficacy, kedua dengan melihat pengalaman keberhasilan yang telah dicapai orang lain dengan demikian rasa semangat dan keyakinan akan meningkat bahwa diri sendiri juga dapat mencapai keberhasilan, dan ketiga yaitu dengan meningkatkan stamina daya tahan tubuh serta mood yang baik karena kondisi tubuh dan mood yang bagus dapat berpengaruh pada kinerja individu dalam menyelesaikan tugas tertentu maka dari itu dapat ditingkatkan dengan cara menjaga kesehatan fisik, mengurangi stress, dan menghindari pemikiran negatif. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih mengembangkan penelitian ini dengan membahas terkait pengaruh antara self-efficacy dan quarter life crisis terhadap pengangguran.

(26)

REFERENSI

Afidah, M. (2017). Pengaruh self efficacy dan dukungan sosial terhadap penyesuaian diri siswa baru SMA NU 1 Model di Pondok Pesantren Tanwirul Qulub Sungelebak Karanggeneng Lamongan. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Agustin, I. (2012). Terapi dengan pendekatan solution focused pada individu yang mengalami quarter life crisis. Skripsi. Universitas Indonesia.

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. UMM Press.

Anindya, G. S., & Sartika, D. (2018). Hubungan antara self-efficacy dengan stress pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi di Universitas Islam Bandung. Prosiding Psikologi, 4(1), 345–351. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29313/.v0i0.9443

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469–480. https://doi.org/10.1037/0003- 066X.55.5.469

Arnett, J. J. (2004). Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens through the Twenties. Oxford University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1037/0003- 066X.55.5.469

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. W.H. Freeman and Company.

Black, A. S. (2010). “Halfway between somewhere and nothing”: a exploration of the quarter- life crisis and life satisfaction among graduate students. Thesis for Master Education, University of Arkansas.

Damayanti, M. E. (2020). Pengaruh self esteem terhadap self efficacy pada siswa. Skripsi.

Universitas Muhammadiyah Malang.

Gloria A. Tangkeallo, Rijanto Purbojo, & Kartika S. Sitorus. (2014). Hubungan antara self- efficacy dengan orientasi masa depan mahasiswa tingkat akhir. Jurnal Psikologi, 10(1), 25–32. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24014/jp.v10i1.1176

Hasfrentia, Y. D. (2016). Hubungan antara self efficacy dengan stres akademik pada pelajar SMAN 1 Tuntang. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

Hassler, C. (2009). Are you having a quarter life crisis?

http://www.huffingtonpost.com/christine-hassler/are-you-having- aquarterl_b_326612.html

Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarterlife crisis pada masa dewasa awal di Pekanbaru.

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 5(2), 145–156.

https://doi.org/10.33367/psi.v5i2.1036

Jensen, L. A., Arnett, J. J., & Feldman, S. S. (2004). The right to do wrong: lying to parents among adolescents and emerging adults. Journal of Youth and Adolescence, 33(2), 101–

112. https://doi.org/https://doi.org/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a

Junaidy, D., & Surjaningrum, E. R. (2014). Perbedaan kualitas hidup pada dewasa awal yang bekerja dan yang tidak bekerja. Jurnal Psikologi Industri Dan Organisasi, 3(2), 102–107.

https://doi.org/http://journal.unair.ac.id

(27)

Jungert, T., & Rosander, M. (2010). Self-efficacy and strategies to influence the study environment. Teaching in Higher Education, 15(6), 647–659.

https://doi.org/10.1080/13562517.2010.522080

Martunis, S. (2016). Identifikasi Masalah-Masalah yang Dialami Mahasiswa Fakultas Teknik dan Ekonomi UNSYIAH. Pusat Pelayanan Psikologi dan Konseling Universitas Syiah Kuala.

Mutiara, Y. (2018). Quarter life crisis mahasiswa BKI tingkat akhir. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga.

Muttaqien, F., & Hidayati, F. (2020). Hubungan self efficacy dengan quarter life crisis pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015.

Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 5(1), 75–84.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/psikoislamedia.v5i1.6302

Nash, R. J., & Murray, M. C. (2010). Helping college students find purpose: The campus guide to meaning making. Jossey Bass.

Pratama, M. N. A., & Darminto, E. (2021). Self efficacy dan prokrastinasi akademik di fase remaja akhir pada peserta didik kelas XII Sekolah Menengah Atas. Konseling, Bimbingan Pendidikan, Fakultas Ilmu Surabaya, Universitas Negeri, 12(1), 551–558.

https://doi.org/https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/43976 Rahmadini, A. P. (2011). Studi deskriptif mengenai self-efficacy terhadap pekerjaan pada

pegawai staf bidang statistik sosial di Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Skripsi.

Universitas Islam Bandung.

Rizky, E., Zulharman, & Risma, D. (2014). Hubungan efikasi diri dengan coping stress pada mahasiswa angkatan 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran, 1(2), 1–8.

Robbins, A. (2004). Conquering your quarter life crisis: advince from twenty somethings who

have been there and survived. Penguin Group (USA).

https://books.google.co.id/books?id=6JUAbTHK5QEC&lpg=PP1&hl=id&pg=PP1#v=o nepage&q&f=false

Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarterlife crisis : the unique challenges of life in your twenties. Penguin Putnam Inc.

Robinson, O. (2008). Developmental crisis in early adulthood: a composite qualitative analysis. Thesis for the degree of Doctor of Philosophy.

Robinson, O. (2017). How to turn your quarter life crisis into quarter life catalyst. Skripsi.

University of Greenwich.

Robinson, O. C., & Wright, G. R. T. (2013). The prevalence, types and perceived outcomes of crisis episodes in early adulthood and midlife: a structure retrospective-autobiographical study. International Journal of Behavioral Development, 37(5), 407–416.

https://doi.org/10.1177/0165025413492464

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Erlangga.

Sari, M. A. P. (2021). Quarter life crisis pada kaum millenial. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(28)

Scholz, U., Doña, B. G., Sud, S., & Schwarzer, R. (2002). Is general self-efficacy a universal construct? psychometric findings from 25 countries. European Journal of Psychological Assessment, 18(3), 243–251. https://doi.org/10.1027//1015-5759.18.3.242

Siregar, I. K., & Putri, S. R. (2019). Hubungan self-efficacy dan stres akademik mahasiswa.

Consilium : Berkala Kajian Konseling Dan Ilmu Keagamaan, 6(2), 91–95.

https://doi.org/10.37064/consilium.v6i2.6386

Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. (1984). Academic procrastination: frequency and cognitive- behavioral correlates. Journal of Counseling Psychology, 31(4), 503–509.

https://doi.org/https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-0167.31.4.503

Stapleton, A. (2012). Coaching clients through the quarter-life crisis: what works? International Journal of Evidence Based Coaching and Mentoring, 6, 130–145.

Stianti, V. E. H. (2017). Pengaruh pelatihan strategi peningkatan efikasi diri pada guru untuk meningkatkan efikasi diri kemampuan matematika siswa Sekolah Dasar. Skripsi.

Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Subaidi, A. (2016). Self-efficacy siswa dalam pemecahan masalah matematika. Sigma, 1(2), 64–68. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.0324/sigma.v1i2.68

Sugiyono, D. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Alfabeta. Aflabeta.

Walshe, Ă“. (2018). The quarter-life crisis: investigating emotional intelligence, self-esteem and maximization as predictors of coping self-efficacy. Thesis Dublin Business School.

Yeler, Z., Berber, K., Özdoğan, H. K., & Çok, F. (2021). Quarter life crisis among emerging adults in Turkey and its relationship with intolerance of uncertainty. Turkish Psychological Counseling and Guidance Journal, 11(61), 245–262.

(29)

LAMPIRAN

(30)

LAMPIRAN 1

Skala Penelitian Self-Efficacy & Skala Penelitian Quarter Life Crisis

(31)

Skala Self-Efficacy Nama/Inisial :

Usia :

Jenis Kelamin :

Domisili :

Status :

Status Orang Tua : Tinggal Bersama :

Petunjuk Pengisian:

Baca dan pahamilah setiap pernyataan berikut ini, perlu diketahui bahwa pada skala ini tidak ada jawaban benar atau salah maka dari itu jawablah sesuai dengan keadaan diri Anda, dengan cara memberi jawaban pada pilihan 1-4. Semakin besar angka yang Anda pilih, semakin menggambarkan diri Anda dan pastikan tidak ada jawaban yang terlewat.

No. Pernyataan Pilihan

1 2 3 4

1. Saya bisa menyelesaikan masalah yang berat dengan berusaha

2. Saya dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan meskipun banyak yang menghambat

3. Saya tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan sesuatu

4. Saya mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan sekitar

5. Saya mampu menyelesaikan masalah

6. Saya mempunyai solusi dari setiap permasalahan 7. Saya yakin dapat menyelesikan permasalahan

dengan baik

8. Saya mampu mengatasi setiap kesulitan Karen mempunyai banyak ide

9. Saya dapat memikirkan solusi dari kesulitan yang ada

10. Saya dapat menghadapi permasalahan yang terjadi

(32)

Skala Quarter Life Crisis Nama/Inisial :

Usia :

Jenis Kelamin :

Domisili :

Status :

Status Orang Tua : Tinggal Bersama :

Petunjuk Pengisian:

Baca dan pahamilah setiap pernyataan di bawah ini, perlu diketahui bahwa pada skala ini tidak ada jawaban benar atau salah maka dari itu jawablah sesuai dengan keadaan diri Anda, dengan cara memberi jawaban pada salah satu pilihan jawaban: (1) = Sangat Tidak Sesuai; (2) = Tidak Sesuai; (3) = Cukup Tidak Sesuai; (4) = Cukup Sesuai; (5) = Sesuai; (6) = Sangat Sesuai.

Pastikan tidak ada jawaban yang terlewat.

No. Pernyataan STS TS CTS CS S SS

1. Saya berada dalam situasi dimana semua yang saya lakukan tidak ada yang benar, namun juga tidak bisa dianggap salah 2. Untuk pertama kalinya saya merasa

sudah demikian tua dan tidak menghasilkan apa-apa dalam hidup saya 3. Saya merasa tidak termotivasi dan tidak

memiliki arah tujuan dalam hidup 4. Saya sangat khawatir dan gelisah karena

saya tidak tahu tujuan hidup saya sendiri 5. Saya merasakan ada tekanan untuk menjadi dewasa dan menjalani hidup layaknya orang dewasa

6. Saya merasa berhak memperoleh pencapaian hidup yang lebih besar dibandingkan dengan kehidupan saya saat ini

7. Sehari-harinya, saya sering merasakan kecemasan yang berlebihan, tertekan, sia-sia dan bahkan sedikit putus asa 8. Saya merasakan adanya tekanan atau

pengharapan yang demikian besar untuk meraih dan/atau mencapai sesuatu dalam hidup saya

9. Saya merasa waktu telah berjalan begitu cepat dan saya belum juga mampu

Referensi

Dokumen terkait

yang mempengaruhi self management pada individu dengan diabetes tipe 2 meliputi edukasi, sosial, sistem pelayanan kesehatan, penyakit dan obat. Optimalisasi Self Management pada

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan adalah motivasi berwirausaha, motif berprestasi (Achivement), rasa percaya diri yang tinggi, memiliki pengalaman

Sedangkan self efficacy menurut penelitian terdahulu terkait tindakan RJP dengan 30 responden di dapatkan bahwa self efficacy perawat di pengaruhi oleh mastery experience

Saran untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk memperkaya konsep teoritis mengenai self esteem serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self esteem ,

Bandura (1997) menjelaskan karakteristik individu yang memiliki self- efficacy tinggi adalah ketika individu tersebut merasa memiliki keyakinan bahwa ia mampu menangani

Dilihat dari aspek psikologis, tahap ini berkaitan erat dengan dimensi emotional cues menurut Bandura dalam teori self efficacy yakni keyakinan diri meliputi sikap

Self-Efficacy Source Mean score SD Category Mastery Experience 2.18 .62 Moderate Vicarious Experience 2.13 .63 Moderate Social Persuasion 2.42 .58 High Affective States 2.17 .56

Diskusi Hasil Penelitian dari hubungan antara self-efficacy dengan quarter life crisis pada mahasiswa rantau dari luar pulau Jawa di kota Salatiga, menunjukkan bahwa terdapat hubungan