• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS JURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS JURNAL"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN

INDIKASI GEOGRAFIS JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

WELLA GUSMI ERIZAL NIM. 150200544

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

(3)

i ABSTRAK Wella Gusmi Erizal*

OK.Saidin**

Syamsul Rizal***

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek harus memiliki daya pembeda, karena merek mengisyaratkan asal-usul suatu produk (barang/jasa) sekaligus pemiliknya. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana hak atas kekayaan intelektual di Indonesia, bagaimana kepemilikan hak atas merek di Indonesia, serta kasus-kasus sengketa merek yang ada di Indonesia dikaitkan dengan Undang-Undang Merek.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif atau kepustakaan, karena penelitian hukum ini meneliti norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.

Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh hukum atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia yang memiliki manfaat dan bernilai ekonomis. Kepemilikan hak atas merek di Indonesia diatur dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menganut sistem konstitutif, yaitu memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek yang mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. Dalam kepemilikan hak atas merek di Indonesia terdapat kasus- kasus pelanggaran dan pembatalan merek yang timbul dikarenakan adanya itikad tidak baik oleh salah satu pihak yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya, seperti meniru/menjiplak, yang menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, atau menyesatkan konsumen yang berakibat kerugian pada pihak lawannya.

Kata kunci: Kepemilikan, Hak atas Merek

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(4)

ii ABSTRACT Wella Gusmi Erizal*

OK.Saidin**

Syamsul Rizal***

Trademark is a sign that can be displayed graphically in the form of images, logos, names, words, letters, numbers, arrangement of colors, in the form of 2 (two) dimensions and / or 3 (three) dimensions, sounds, holograms, or a combination of 2 (two ) or more of these elements to distinguish goods and / or services produced by people or legal institutions in the activities of trading goods and / or services. Trademark must have a distinguishing power as it indicates the origin of products (goods / services) and its owner. The issue in this thesis deals with how proprietary intellectual property and ownership rights in Indonesia applied, as well as several cases of trademark explained by the Trademark Law.

The method used in this thesis is normative legal research or literature because this legal research examines legal norms contained in the legislation.

Proprietary intellectual property in Indonesia is exclusive rights granted by the law on the ownership of works that are born from human intellectual abilities that have economic benefits and values. Trademark ownership rights in Indonesia is regulated in the Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications that adhere to a constitutive system providing legal protection to trademark owners who register their trademarks within a period of 10 (ten) years and can be extended. In the ownership of rights to trademark in Indonesia there are cases of violations and cancellations of trademark that arise due to poor intention by one of the parties using a trademark that has the same principle or entirety, such as imitating / copying, which creates an unhealthy business competition or misleading consumers to cause loss of the other parties.

Keywords: Ownership, Trademark Rights

* Student of Faculty of Law, University of Sumatera Utara

** Supervisor I

*** Supervisor II

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak atas Kekayaan Intelektual atau Intellectual Property Rights (IPRs) merupakan hak ekonomis yang diberikan oleh hukum kepada seorang pencipta atau penemu atas suatu hasil karya dari kemampuan intelektual manusia.1

Perkembangan perekonomian sudah semakin pesat karena hubungan antar bangsa yang menjadi saling tergantung dan pola perdagangan yang tidak terikat pada batas-batas negara. Persaingan usaha menuntut masing-masing pelaku untuk menciptakan inovasi yang lebih kreatif dan memiliki daya jual yang tinggi agar dapat bertahan dalam dunia usaha, diperlukan juga kemampuan untuk membaca pasar, yaitu terkait pemilihan merek dagang, kualitas benda atau jasa yang ditawarkan dan profesionalitas dalam memuaskan pembeli atau pelanggannya, tidak hanya itu, para pelaku usaha juga harus memiliki pemahaman terkait hak dan kewajibannya sebagai pelaku usaha yang di Implementasikan dari perundang- undangan yang berlaku. Di sini merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Saat ini Indonesia telah mempunyai Undang-undang merek terbaru yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang diundangkan pada tanggal 25 November 2016.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pemilik-pemilik merek atas

1Khoirul Hidayah, 2017, Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Malang, Setara Press, hlm.1.

(6)

2

hasil suatu produksi dari tindakan pemalsuan merek dan sebagainya. Adanya pengaturan tentang merek diharapkan dapat mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya, serta keterjaminan bahwa produk itu original.2

Merek sebagai salah satu wujud kekayaan intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan atau investasi. Merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa hak atas merek adalah Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar. Berbeda dengan hak cipta, merek harus didaftarkan terlebih dahulu di dalam Daftar Umum Merek. Dengan terdaftarnya merek. barulah pemegang merek akan diakui atas kepemilikan haknya pada merek produk dagangannya.

Manfaat merek yang amat besar meningkatkan jumlah merek yang beredar, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut memunculkan banyak konflik dan sengketa baik terkait barangnya maupun terkait merek itu sendiri. Munculnya kasus-kasus dibidang merek seperti meniru, menjiplak, memalsu, mengcopy, menerjemahkan atau membonceng ketenaran merek orang lain yang dianggap sebagai perbuatan : 1) Pemalsuan (fraud), 2) Penyesatan (deception, misleading), 3) Memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use), 4) Persaingan curang (unfair competiton), serta perbuatan mencari kekayaan

2OK. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 329

(7)

3

secara tidak jujur (unjust enrichment) didorong keinginan mencari jalan pintas untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara-cara melanggar hukum.

Apabila produsen barang tersebut ingin merek yang diciptakannya terhindar dari konflik dan sengketa tersebut, maka merek tersebut harus didaftarkan dalam Daftar Umum Merek agar memperoleh perlindungan atas merek atau hak atas merek yang bersifat eksklusif dari negara. Untuk jangka waktu tertentu dia menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk menggunakannya. Sedangkan, perlindungan terhadap merek terdaftar yaitu adanya kepastian hukum atas merek terdaftar, baik untuk digunakan, diperpanjang, dialihkan, dan dihapuskan sebagai alat bukti bila terjadi sengketa pelanggaran atas merek terdaftar.

Perlindungan merek merupakan salah satu aspek penting dalam hukum merek. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang merek terhadap merek merupakan pengakuan terhadap keberhasilan pemilik merek dalam menciptakan image eksklusif dari produknya yang diperoleh melalui pengiklanan penjualan produk-produknya secara langsung.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul :

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS”

(8)

4 B. . Permasalahan :

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia?

2. Bagaimana Kepemilikan Hak atas Merek di Indonesia?

3. Bagaimana Tinjauan Yuridis Kepemilikan Hak atas Merek terhadap Kasus-kasus yang ada di Indonesia dikaitkan dengan Undang-Undang No.

20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis C. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat perskriptif bukan deskriptif.

2. Metode Pendekatan

Adapun dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan masalah yang dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan komparatif dan pendekatan kasus.

3. Sumber Data

Adapun bahan-bahan hukum yang penulis pergunakan meliputi:

a. Bahan hukum primer

(9)

5

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang selanjutnya disingkat dengan (UU Merek)

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek

4. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan

b. Bahan hukum sekunder sebagai pendukung data primer yang di dapat melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur- literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. . Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, literatur, dan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, sumber hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari sumber hukum yang diolah.3

3Soerjono soekanto, 1986, Pengantar Penulisan Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 196

(10)

6 BAB II

ISI

I. HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA A. Pengertian HaKI

Pengertian hak kekayaan intelektual pada intinya adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreatifitas intelektual.4 Konsepsi mengenai hak kekayaan intelektual didasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan tenaga, waktu dan biaya yang menjadikan karya yang telah dihasilkan memiliki nilai ekonomi karena manfaat yang dapat dinikmatinya. Berdasarkan konsep ini maka mendorong kebutuhan adanya penghargaan atas hasil karya yang telah dihasilkan berupa perlindungan hukum bagi hak kekayaan intelektual.

B. Ruang Lingkup HaKI

Hak atas kekayaan Intelektual terdiri dari: hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak kekayaan industri dibagi menjadi: perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, paten, merek, dan indikasi geografis

C. Sifat dan Prinsip HaKI

Sifat-sifat HaKI yakni mempunyai jangka waktu terbatas, bersifat eksklusif dan mutlak, serta bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan.

Prinsip-prinsip HaKI yaitu prinsip keadilan (the principle of natural justice), prinsip ekonomi (the economic argument), prinsip kebudayaan (the cultural argument), prinsip sosial (the social argument).

4 Muhammad Firmansyah, 2008, Tata Cara Mengurus HAKI, Jakarta, Visi Media, hlm. 7

(11)

7 D. Manfaat HaKI

Setiap hak milik mempunyai unsur kemampuan untuk menikmati dan mengawasi atau menguasai atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya. HaKI bermanfaat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemiliknya.

II. KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK DI INDONESIA

A. Pengertian Hak atas Merek

Pengertian hak atas merek diberikan menurut Pasal 1 angka 5 Undang- Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis disebutkan bahwa hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar. Bagi orang yang mendaftarkan mereknya terdapat suatu kepastian hukum bahwa dialah yang berhak atas merek tersebut. Sebaliknya bagi pihak lain yang mencoba akan mempergunakan merek yang sama atas barang atau jasa lainnya yang sejenis oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Kekayaan Intelektual tentunya akan ditolak pendaftarannya.

Mengenai jangka waktu keberlakuan hak atas suatu merek menurut Pasal 35 Undang-Undang 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu perlindungan yang diberikan secara “eksklusif” artinya merek terdaftar mendapat

(12)

8

perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Jadi, hak eksklusif ini, meskipun tidak boleh memakai merek yang telah terdaftar ini dan pemilik merek yang terdaftar inilah adalah satu-satunya yang dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya di dalam wilayah Republik Indonesia.

B. Sistem Pendaftaran Merek

Dalam pendaftaran merek, saat ini dikenal 2 (dua) macam sistem pendaftaran, yaitu:5

a. Sistem deklaratif

Sistem deklaratif (pasif) yaitu pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan. Dalam sistem deklaratif pendaftaran tidak merupakan suatu keharusan, tidak merupakan syarat mutlak bagi pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya. Oleh karena itu, sistem deklaratif memiliki kelemahan, yaitu kurang adanya kepastian hukum. .

b. Sistem konstitutif (aktif) atau attributif

Menurut sistem ini, bahwa yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Pihak yang mendaftarkan dialah satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya si pendaftar sebagai hak mutlak. Pendaftaranlah yang akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek.

5Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 185-187

(13)

9

Di Indonesia pada saat ini menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menganut sistem konstitutif. Jadi, siapa yang mereknya terdaftar dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, maka dialah yang berhak atas merek tersebut. Sistem ini akan lebih menjamin adanya kepastian hukum. Bentuk jaminan kepastian hukum ini yaitu adanya tanda bukti pendaftaran dalam bentuk sertifikat sebagai bukti hak atas merek sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama merek yang bersangkutan. Karena itu, sistem konstitutif ini lebih efektif dan sangat menguntungkan pemilik merek untuk mendapatkan kepastian hukum apabila terjadi sengketa merek dikemudian hari.

C. Konsep Kepemilikan Hak atas Merek

1) Pergeseran pendaftaran sistem deklaratif ke dalam sistem konstitutif6

Terjadinya pergeseran sistem deklaratif (first to use) ke dalam sistem konstitutif (first to file) di Indonesia yaitu berawal dari berlakunya Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan berlaku sistem deklaratif yang tidak mengharuskan adanya pendaftaran merek dan timbulnya hak Merek didasarkan pada pemakaian pertama kali bukan karena pendaftaran, maka sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek berlaku sistem konstitutif yang mengharuskan adanya pendaftaran merek bagi mereka yang ingin memperoleh perlindungan hukum, dimana timbulnya hak merek didasarkan pada pendaftaran.

6R. Murjiyanto, Konsep Kepemilikan Hak atas Merek di Indonesia (Studi Pergeseran Sistem “Dekklaratif” ke dalam Sistem “Konstitutif”), Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 24 No.

1, Januari 2017, hlm. 56-58

(14)

10

Adanya perubahan sistem hak Merek tersebut tidak lepas dari pertimbangan bahwa berlakunya Sistem Deklaratif dalam UU Nomor 21 Tahun 1961 dianggap kurang memberikan adanya kepastian dan perlindungan hukum, dengan disertai terjadinya beberapa kasus pembatalan Merek yang justru dimenangkan oleh pihak yang tidak mendaftarkan mereknya. Dengan sistem yang kurang memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemilik merek tersebut, tentunya akan menyebabkan keengganan bagi pemilik Merek untuk mendaftarkan Mereknya.

Menurut sistem Konstitutif (aktif), bahwa yang berhak atas suatu Merek adalah pihak yang mendaftarkan Mereknya. Pihak yang mendaftarkan dialah satu- satunya yang berhak atas suatu Merek dan pihak ke tiga harus menghormati hak si pendaftar sebagai hak mutlak. Pertimbangan secara khusus menyangkut perubahan sistem pendaftaran Merek dari Sistem Deklaratif (First to Use) ke dalam Sistem Konstitutif (First to File), disebutkan dalam penjelasan umum UU Merek 1992 bahwa, perubahan dari sistem deklaratif ke sistem konstitutif, karena sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum daripada sistem deklaratif. 7

Sistem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan Merek terlebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian hukum juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha.

Seperti dikatakan bahwa, perlindungan Merek terdaftar mutlak diberikan oleh pemerintah kepada pemegang dan pemakai hak atas Merek untuk menjamin terhadap kepastian berusaha bagi produsen.8 Penggunaan Sistem Konstitutif

7Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 256

8Hery Firmansyah, 2008, Tata Cara Mengurus HAKI, Jakarta, Visi Media, hlm. 38

(15)

11

bertujuan untuk menjamin kepastian hukum disertai dengan ketentuan-ketentuan yang menjamin segi-segi keadilan.

2) Model pemberlakuan sistem konstitutif atau first to file untuk memberikan kepastian hukum yang adil9

Penerapan Sistem Konstitutif dalam UU Merek selama ini hanya sebatas menyangkut kewajiban yang beraspek kepentingan hak keperdataan bagi pendaftar. Perlu dilakukan perubahan dalam penerapan Sistem Konstitutif secara ketat dan konsisten, artinya yang memperoleh perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik merek yang terdaftar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik berupa hak mengajukan gugatan pembatalan atau mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata, maupun upaya hukum secara pidana. Disamping itu, penerapan sistem konstitutif tidak hanya menyangkut kewajiban yang beraspek keperdataan bagi kepentingan hak pendaftar saja, tetapi juga aspek kepentingan publik. Kewajiban pendaftaran harus disertai sanksi bagi pemilik dan menggunakan Merek yang tidak mendaftarkan Mereknya. Dengan pemberian sanksi bagi pemilik yang tidak mendaftarkan mereknya, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang adil dan dapat menciptakan tertib administrasi merek bahkan akan menambah pendapatan negara.

Perlindungan merek melalui sistem pendaftaran mempunyai tujuan, antara lain perlindungan pengusaha pemilik merek, perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat melalui pencegahan dan penanggulangan segala bentuk persaingan curang, keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga apabila

9R. Murjiyanto, Op. Cit., hlm. 66

(16)

12

pendaftaran merek berlawanan dengan tujuan tersebut tentunya perlu dicegah.10 Secara hukum positif pengaturan dalam Undang-undang melalui pendaftaran Sistem Konstitutif juga dapat memberikan kepastian hukum, dengan memberikan hak berdasarkan Undang-undang. Demikian pula dalam praktek implementasinya, pemilik merek terdaftar mestinya akan memperoleh kepastian hukum dalam hal perlindungan hukumnya.

D. Kedudukan Kepemilikan Hak atas Merek

Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis disebutkan bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun berlaku surut sejak tanggal penerimaan. Kemudian ayat (2) menyebutkan, jangka waktu perlindungan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama..

Hanya orang yang didaftarkan sebagai pemilik yang dapat memakai dan memberikan orang lain hak untuk memakai (dengan sistem lisensi). Dan jika tidak didaftarkan, tidak ada perlindungan sama sekali karena tidak ada hak atas merek..

Pemilik merek terdaftar mempunyai hak khusus untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberi izin kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya, selama jangka waktu tertentu, yaitu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek (filling date). Hak khusus artinya hak yang hanya diberikan oleh negara kepada pemilik merek. Hak khusus tersebut meliputi penggunaan sendiri merek, artinya menikmati sendiri manfaat ekonomi merek melalui usaha yang dijalankan sendiri. Apabila pemilik merek melisensikan

10Nur Hayati, “Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar”, dalam Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 11 No. 3, Desember 2011, hlm. 176.

(17)

13

mereknya kepada pihak lain, pembuatan perjanjian lisensi tersebut harus memenuhi formalitas hukum. Artinya, perjanjian lisensi penggunaan merek harus dibuat dalam bentuk akta notaris karena akta notaris menjamin perlindungan hukum yang kuat.

E. Perlindungan Hukum Hak atas Merek

Konsep perlindungan hukum terhadap hak atas merek merupakan suatu sistem atau cara yang dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang hak atas merek dengan perangkat hukum berupa peraturan perundang- undangan merek, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif agar dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian bagi pemegang hak atas merek. Di Indonesia, perlindungan hak atas merek diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

III. TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN HAK ATAS MEREK TERHADAP KASUS-KASUS YANG ADA DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek

Bentuk-bentuk pelanggaran merek yang perlu diketahui ada 3 (tiga) yaitu:11 pembajakan merek, pemalsuan merek, peniruan label dan kemasan produk.

B. Analisis dari Contoh Kasus-Kasus Pelanggaran dan Pembatalan Merek di Indonesia

11Iswi Hariyani, 2010, Prosedur Mengurus HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) yang Benar, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, hlm. 119

(18)

14

1. Nomor : 783 K/Pdt.Sus-HKI/2018 jo. Nomor 60/Pdt.Sus- Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Dalam kasus pertama ini, berdasarkan uraian kasus posisi tersebut, Hakim pada Tingkat Kasasi sudah tepat dalam menerapkan Putusan No. 783 K/Pdt.Sus- HKI/2018 dalam hal-hal yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memberikan putusannya dan menolak gugatan Pemohon Kasasi dalam Putusan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung). Hakim dalam amarnya yang menolak permohonan kasasi oleh Pemohon Kasasi tersebut, dapat diartikan bahwa putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 60/Pdt.Sus- Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst sudah tepat dalam putusannya, yakni menyatakan Termohon Kasasi/ dahulu sebagai Penggugat sebagai pemilik merek terkenal merek dagang (kata) “PB” dan lukisan serta menyatakan batal menurut hukum pendaftaran merek dagang (kata) “PB” dan lukisan terdaftar Nomor IDM000047786 atas nama Pemohon Kasasi/ dahulu sebagai Tergugat dikarenakan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal merek dagang (kata) “PB” dan lukisan milik Termohon Kasasi yang membuat Pemohon Kasasi dinyatakan sebagai pendaftar yang beritikad tidak baik.

Itikad tidak baik yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan : “Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik”. Dalam hal ini Pemohon Kasasi telah beritikad tidak baik mendaftarkan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik Termohon Kasasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) huruf (a) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis: “Permohonan ditolak

(19)

15

jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: (a) merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis”. Kemudian Pasal 76 ayat (1) UU MIG menyatakan bahwa “Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21”. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemilik merek beritikad tidak baik karena telah menggunakan merek yang terbukti sama pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lawannya, maka telah terjadi peniruan merek yang sah milik orang lain. Hakim berpendapat, pendaftaran merek dagang (kata) “PB” dan Lukisan dengan nomor IDM000047786 oleh Pemohon Kasasi mengandung suatu niat untuk menyesatkan konsumen dan dapat membingungkan masyarakat dengan tujuan agar produknya dapat laku di pasaran.

Hal ini tentu saja merugikan pihak Termohon Kasasi.

Pemohon pendaftaran merek haruslah beritikad baik. Pentingnya pemilik merek beritikad baik ditetapkan sebagai salah satu syarat pendaftaran merek yang bertujuan untuk mencari kepastian hukum mengenai siapa yang sesungguhnya orang yang menjadi pemilik merek. Dalam sistem konstitutif dimaksudkan agar negara tidak keliru dalam memberi perlindungan hukum beserta hak atas merek kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Oleh sebab itu maka penerapan itikad tidak baik dalam pendaftaran merek dijadikan sebagai alasan pembatalan merek menurut Undang-Undang Merek, yang bertujuan untuk mengetahui adanya penerapan persamaan pada pokoknya dan itikad tidak baik dalam suatu gugatan pembatalan pendaftaran merek.

(20)

16

Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menganut sistem konstitutif, pada pendaftaran merek mengacu pada sistem first to file (pendaftar pertama) dan perlindungan hukum atas merek mengacu sistem first to register (yang pertama terdaftar), maka pendaftaran merek dagang (kata) “PB” dan Lukisan dengan nomor IDM000047786 oleh Pemohon Kasasi tersebut adalah pendaftaran dengan itikad tidak baik, yang sudah sepatutnya seluruh pendaftaran milik Pemohon Kasasi/ dahulu sebagai Tergugat tersebut dibatalkan dan dicoret dari Daftar Umum Merek.

2. Nomor: 606 K/Pdt.Sus-HKI/2018 jo. Nomor 05/Pdt.Sus.HKI/

MEREK/2017/PN Niaga.Sby.

Berdasarkan uraian posisi kasus kedua ini, diketahui bahwa jenis produk dari kedua merek yang memiliki sengketa sama-sama merupakan produk pipa dari logam. Pada kedua merek milik Pemohon Kasasi/ dahulu sebagai Penggugat dan Termohon Kasasi/ dahulu sebagai Tergugat I terdapat persamaan pada unsur bunyi Star pada kata Star dengan Green Star, Red Star, dan Blue Star.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) huruf (a) UU MIG bahwa

“Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: (a) merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis”.

Kesamaan-kesamaan seperti hal ini mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pihak Termohon Kasasi karena cenderung menjiplak atau meniru merek Pemohon Kasasi yang telah terdaftar terlebih dahulu, dimana Termohon Kasasi mengetahui merek Star & Logo Bintang tersebut sudah beredar di pasaran dan Termohon Kasasi/ Tergugat I pernah memesan atau melakukan pembelian-pembelian produk

(21)

17

pipa Penggugat dengan merek Star & Logo Bintang sehingga terdapat itikad tidak baik dari Termohon Kasasi/ Tergugat mendaftar merek Blue Star, Green Star, Red Star, karena akan menyesatkan konsumen, tentang asal usul dan kualitas barang, seakan-akan merek milik Tergugat berasal dari atau pengembangan dari merek milik Pemohon Kasasi/ Penggugat. Mengenai itikad tidak baik disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) UU MIG, yaitu “Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik”.

Pengabulan permohonan kasasi mengenai pembatalan pendaftaran Merek Dagang Green Star Daftar Nomor IDM000513150, Merek Dagang Red Star Daftar Nomor IDM000513223 dan Merek Dagang Blue Star Daftar Nomor IDM000540526 atas nama Tergugat I/ Termohon Kasasi oleh majelis hakim sudah merupakan keputusan yang tepat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 76 ayat (1) UU MIG bahwa pembatalan merek terdaftar berdasarkan alasan yang dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21, dimana Termohon Kasasi telah memenuhi alasan pembatalan merek tersebut.

Sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan hakim tingkat Kasasi, Merek Star & Logo Bintang milik Pemohon Kasasi/Penggugat telah terlebih dahulu terdaftar sebagai merek dagang yang sah di Daftar Nomor IDM000120263 Kelas 6 dan mendapat perlindungan merek sejak tanggal 15 Juli 2014. Indonesia dalam pendaftaran mereknya yang menganut sistem konstitutif, maka pendaftar pertamalah yang berhak atas kepemilikan hak atas merek tersebut.

(22)

18 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1) Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh hukum atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia yang diekspresikan dalam bentuk ciptaan hasil kreativitas melalui berbagai bidang yang memiliki manfaat serta berguna dalam kehidupan manusia dan memiliki nilai ekonomis.

2) Kepemilikan hak atas merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.

20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menganut sistem konstitutif, yaitu memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek yang mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. Sistem pendaftaran merek ini bertujuan agar pemilik terdaftar memperoleh kepastian hukum dalam perlindungan hukumya. Jika merek tidak didaftarkan, maka tidak ada perlindungan sama sekali karena tidak adanya hak atas merek sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 bahwa hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar.

3) Dalam kepemilikan hak atas merek di Indonesia terdapat kasus-kasus pelanggaran dan pembatalan merek yang timbul dikarenakan adanya itikad tidak baik oleh salah satu pihak yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya, seperti meniru/menjiplak, yang menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, atau menyesatkan konsumen yang berakibat kerugian pada pihak lawannya.

(23)

19 B. Saran

1) Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual perlu mengadakan sosialisasi dan penyuluhan terkait Undang-Undang yang mengatur HaKI khususnya Undang-Undang No.

20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dengan diadakannya sosialisasi hukum secara periodik dan terencana diharapkan masyarakat khususnya pengusaha mengetahui dan memahami hukum serta masalah- masalah yang dihadapi terkait dengan HaKI. Melalui penyuluhan hukum diharapkan adanya kesadaran masyarakat terhadap manfaat perlindungan hukum apabila hukum ditaati dan dilaksanakan.

2) Agar lebih terjaminnya perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas merek diperlukan koordinasi dan kerjasama yang efektif dan efisien antara pemerintah dengan perangkat peraturan perundang- undangan yang memadai, aparat pemeriksa merek, aparat penegak hukum, masyarakat luas, serta pengusaha yang akan menggunakan suatu merek bagi produknya. Sehingga tujuan dari adanya Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 ini dapat tercapai.

3) Direktorat Jenderal HKI selaku penerima pendaftaran merek, seharusnya dalam menerima merek harus mempertimbangkan syarat-syarat prosedur pendaftaran merek dan juga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang mengatur agar tidak menimbulkan sengketa-sengketa merek terdaftar yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

(24)

20

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Djubaedillah, R. dan Muhammad Djumhana, 2003, Hak Milik Intelektual:

Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djubaedilah, R. dan Muhammad Djumhana, 2014, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Firmansyah, Hery, 2011, Perlindungan Hukum terhadap Merek, Panduan Memahami Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Firmansyah, Muhammad, 2008, Tata Cara Mengurus HAKI, Visi Media, Jakarta.

Hariyani, Iswi, 2010, Prosedur Mengurus HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) yang Benar, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Hidayah, Khoirul, 2017, Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Setara Press, Malang.

Saidin, OK. 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penulisan Hukum, UI Press, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

C. JURNAL

Hayati, Nur, 2011, “Perlindungan Hukum pada Merek yang Terdaftar”, dalam Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 11 No. 3.

Murjiyanto, R., 2017, Konsep Kepemilikan Hak atas Merek di Indonesia (Studi Pergeseran Sistem “Dekklaratif” ke dalam Sistem “Konstitutif”), Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 24 No. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Hak Merek dan Indikasi Geografis pada Pasal 1 angka 1 definisi merek adalah tanda yang ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo,

menyelesaikan studi S1 Pendidikan Ekonomi di Universitas Indraprasta PGRI tahun 2010 dan S2 Pendidikan IPS Universitas Indraprasta PGRI 2013 Aktif sebagai mengajar dan

Dalam rangka pembinaan terhadap GPAI, maka Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam akan melaksanakan program

{ Hanya bisa melihat (contoh: mengamati posisi pelari. maraton, atau

Merek terkenal diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan Indikasi Geografis dan kriteria merek terkenal dijelaskan dalam

NO. Saya merasa puas dengan pendapatan yang saya terima setiap bulan. Saya merasa puas dengan kebutuhan sandang yang saya pakai. Saya merasa puas dengan pemenuhan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen antara lain hasil penelitian yang dilakukan oleh Anjar Wibisono (2010) menunjukkan bahwa semua variabel independend

Selain UU ITE, cybersquatting juga diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar