• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIK"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIK A. Kajian Pustaka

1. Budaya Madura

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai hamba dan makhluk yang berakal, sebagai bekal untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial dan budaya dimana manusia itu berbijak, karena latar belakang sosial, budaya dan lingkungan akan mempengaruhi pola pikir dan bahkan prilaku bagi manusia itu sendiri untuk menjadi bekal dalam bersosialisasi dengan manusia dan masyarakat yang lain (Taufikurrahman, 2014).

Budaya merupakan hasil kreatifitas dan sengaja diproduksi dan bahkan direproduksi oleh masyarakat berdasarkan latar belakang sosial dan lingkungan manusia dalam berinteraksi baik dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan yang lain, begitu juga dengan masyarakat Madura yang sengaja menampilkan budaya yang bisa saja berbeda dengan mayoritas etnis yang lain, sehingga proses tersosialisasi dan enkulturasi, akan terus berkesinambungan dan berkelanjutan dan terus dinamis, dan semuanya itu memerlukan campur tangan agama didalamnya (Hefni, 2006).

Islam merupakan agama mayoritas umat di Madura, yang berfungsi tidak hanya sebagai kontrol hidup dan kehidupan dalam kelakuan sosial masyarakat, namun disisi yang lain Islam merupakan bagian yang khas dari penanda identitas umat di Madura, sehingga identitas diri masyarakat dan umat di Madura lebih pada bagaimana nilai-nilai keislaman di jalankan dalam segala aspek dan sendi kehidupan, maka dengan demikian nafas dan nadi masyarakat dan umat di Madura adalah nadi dan nafas islam tradisional yang kental dengan budaya Madura yang paternalis (Hepni, 2006).

(2)

Konstruksi identitas ini dari perspektif konstruktifis-interpretativis menyakini bahwa identitas diri masyarakat khususnya masyarakat dan umat Madura adalah hasil dan buah dari bukti sejarah konstruksi sosial, perspektif ini diyakini sebagai sebuah identitas yang bersumber dan bermakna dari sebuah pengalaman sejarah yang bersifat subyektif dan intersubyektif. Karena identitas disini merupakan sebuah hasil dari proses dan praktik dan dinamika sosial. (Eriksen, 1993). Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa budaya sosial dan peradaban yang berkembang pada masyarakat Madura merupakan representasi dari nilai dan budaya Islam tradisional, dan nilai-nilai budaya Islam tradisional itulah yang kemudian menjelma menjadi sebuah budaya dan tradisi yang memungkinkan menjadi identitas kelompok islam tradisional di Indonesia

Bentuk nilai dan budaya yang berkembang di Madura dan bahkan sengaja dikembangkannya melalui nilai dan budaya dan tradisi Islam dengan mengedepankan penghormatan terhadap kedua orang tua, guru atau kiyai dan pemerintah, kemudian bagaimana masyarakat menghargai nilai-nilai budaya dan tradisi lokal, dimana budaya dan tradisi itu merupakan bagian implementasi penghormatan yang begitu tinggi terhadap, pilar elit kehormatan budaya dan tradisi Madura, yaitu bhuppa, bhabu, ghuru, rato yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia memiliki arti bapak, ibu, guru atau kiyai dan pemerintah. Pilar elit ke-familian yang khas bagi keturunan Madura, sehingga kekhasan itu menjadi unik dalam bentuk dan situasi khusus pula, dan bisa dipastikan bahwa wujud penghormatan dan kepatuhan itu menjadi pengikat dan pendorong bahkan menjadi resolusi konflik yang efektif dan efisien dalam mengatasi berbagai persoalan sosial dan budaya masyarakat yang semakin majemuk di Madura (Surokim, 2015).

(3)

Sebuah pilar elit kekerabatan dan kepatuhan masyarakat dan umat di Madura terhadap kedua orang tua, guru atau kiyai dan pemerintah. Ini memiliki arti penting bahwa tatanan kehidupan sosial dan budaya pada masyarakat Madura terdapat standar referensi yang unik dari elit kekerabatan dan kepatuhan terhadap figur-figur elit utama secara hierarkial, yang kemudian menjadi aturan yang mengikat secara normatif bagi masyarakat Madura, sehingga pelanggaran atau paling tidak melalaikan aturan akan mendapatkan sanksi sosial berupa tola sekaligus kultural. Sanksi sosial dan kultural dimaksud adalah hukuman, biasanya berupa peringatan yang mengancam keberadaan personal yang tidak patuh, salah satunya kualat dan ilmu yang yang tidak bermanfaat. (Solihin, 2013).

Masyarakat Madura dan wali muridnya tentunya memiliki acuan dalam kehidupan mereka utamanya dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya yang dimilikinya, karena budaya itu tercipta dari adanya interaksi, komunikasi antar sesama dalam kehidupan normal mereka, tentunya kebudayaan pada masyarakat akan memiliki keunikan tersendiri, karena adanya interaksi dan komunikasi yang spesifik dan dipengarahui oleh kondisi geografis dan pendidikan mereka, sehingga akan memuncukan pola pikir yang spesifik, serta memiliki karakteriskan rasional yang berbeda pula antar satu sama lain.

Berdasarkan konteks ini, budaya tercipta secara normatif dan menjadi acuan dalam prilaku wali murid dan masyarakat secara utuh. Menurut Lenski (1970) bahwa budaya itu dianggap bagian dari prasyarat fungsional agar tetap bertahan hidup, karena budaya prilaku merubah prilakunya masyarakat. Menurut Lenski, human society is basically and adjustment mechanism. In other word, they are tools that men use to meet their needs. Bagi Lenski masyarakat dan wali murid ditempatkan untuk menyempurnakan kebutuhan hidupnya sebagaimana masyarakat yang lain dalam lingkungannya. Hal ini dapat dipahami

(4)

bahwa fungsi, struktur dan evolusi wali murid dan masyarakat secara umum, merupakan tuntutan adaptasi menyempurkan kehidupannya. Maka dengan demikian masyarakat dan wali murid dituntit agar fungsi dan evolusi tersesusun dengan baik dan merupakan rangkaian untuk memenuhi kehidupanya.

Sependapat dengan Lenski, alur pikir dan pendapat dasi ahli sosiologi yakni Talcott Parsons (1952) yang menyatakan bahwa, Culture is aproduct of social interaction on the one hand, and as a determinant on the other hand in a social interaction system of between people. Dengan kata lain bahwa budaya itu merupakan produk interaksi dan komunikasi masyarakat dan wali murid disatu sisi, dan sekaligus dapat menentukan dalam sistem interaksi dan komunikasi disisi yang lain. (Geertz, 1995). Hal merupakan produk dari sistem interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersangkutan. Karenanya, menurut pandangan Parsons, suatu budaya pada dasarnya merupakan warisan sosial (social heritage) yang diperoleh dari hasil belajar dan merupakan hasil berbagi (sharing) dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti antara masyarakat dan budaya adalah dua persoalan yang secara analitik dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, namun dalam kenyataan kehidupan keduanya tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab satu sama lain saling bergantung sekaligus saling membentuk. Dalam kenyataan, budaya mempersyaratkan adanya masyarakat agar bisa tercipta dan terbetuk suatu tatanan sosial (sistem interaksi) dalam kehidupan masyarakat.

Perspektif yang sesuai untuk menjelaskan persoalan diatas adalah perpektif teori struktur fungsional, dan diharapkan dapat menggiring persoalan menjadi lebih jelas, guna menemukan persoalan-persoalan substansial dari penelitian yang dilakukan.

(5)

Thomas F.O`dea (1990) dan Zainuddin M (2010), teori struktur fungsional digunakan karena dapat menumbuhkan perhatian terhadap sumbangan ideal fungsional agama dan pendidikan yang diberikan pada sistem dan pranata sosial. Konteks penelitian ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah fungsi agama dan pendidikan sebagai kekuatan integrasi masyarakat. Sebagaimana diketahui struktur fungsional memandang secara utuh masyarakat secara umum sebagai egualibrium sosial dan budaya dari semua institusi yang ada didalamnya. Karena di yakini bahwa keseluruhan sistem sosial dan budaya masyarakat dapat menciptakan pola-pola prilaku yang mandiri dan terdiri dari norma dan etika yang dianggap baik dan mengikat oleh semua anggota masyarakat yang akhirnya menjadi bagian dari masyarakat yang berpartisipasi dari sistem itu untuk memfungsikan dirinya sebagai tatanan yang sudah mapan dan baik dari sebuah prilaku sosial yang akhirnya akan membentuk sebuah institusi. Institusi-institusi yang dibentuk dari tatanan sistem sosial itu akan mempengaruhi perubahan prilaku yang secara fungsional saling menguntungkan antara para pihak dengan semua bagian dari institusi untuk mempengaruhi tatanan sistem yang dibangun dari nilai sosial dan budaya masyarakat. (Hendropuspito, 1986)

Agak berbeda dengan pemikiran dimuka, Berger dan Luckmann (1990) yang mengedepankan perspektif fenomenologis memadang bahwa sebuah tertib sosial yang tampak nyata secara empiris pada kehidupan masyarakat manusia bukanlah dikarenakan insting, tetapi lebih dikarenakan adanya produksi budaya yang kemudian melahirkan tatanan sosial. Ketika seorang manusia dilahirkan, tatanan sosial tersebut telah ada dan membudaya.

Dari manakah asal usul tatanan sosial tersebut?. Menurut Berger dan Luckmann tatanan tersebut merupakan produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produk manusia yang berlangsung secara terus menerus.

(6)

Pemikiran yang dikembangkan, Berger dan Luckmann diatas sesungguhnya juga tampak lebih tegas dari apa yang ditawarkan Anthony Giddens melalui teori strukturasi-nya.

Menurut Giddens (1984), struktur suatu masyarakat merupakan aturan-aturan dan sumber- sumber (rules and recorurces) yang tercermin dalam sistem sosial sehari-hari. Konsep struktur tersebut secara ekplisit memasukkan budaya sebagai bagian integral dari struktur masyarakat, sebab aturan-aturan, baik dalam pengertian konstitutif maupun regulatif, pada dasarnya adalah juga yang oleh Giddens dimaksudkan dalam pengertian struktur. kemudian struktur itu bersifat dinamis, karena ia tidak hanya diproduksi secara terus menerus oleh para aktor yang bertindak selaku agen struktur. Dengan demikian struktur masyarakat termasuk budaya didalam, disatu sisi merupakan medium (acuan bertindak) bagi warga masyarakat, disisi lain sekaligus merupakan outcome (hasil) dari agensi para pelaku yang berlangsung terus menerus dalam masyarakat.

Berdasarkan pemikiran para ahli dimuka, yang hendak dikatakan pada titik akhir adalah bahwa budaya pada masyarakat Madura yang merupakan cara hidup serta memori kolektif itu muncul sebagai hasil belajar dan hasil berbagi dalam masyarakat. Karena itu adalah sebuah keniscayaan bagi suatu masyarakat termasuk di Madura untuk melakukan polarisasi tradisi budaya dari tingkatan generasi tertentu ke tingkatan generasi berikutnya sehingga masyarakat bersangkutan berikut tradisi dan budayanya tetap eksis dalam suatu waktu yang cukup lama dan akan secara berjalan dengan kontinyu dan begitu seterusnya, untuk menjamin keberlangsungan sistem budaya yang melekat pada tatana kehidupan masyarakat secara utuh.

Peran pewarisan budaya yang demikian itulah yang digeluti oleh fungsi agama dan pendidikan dalam sebuah masyarakat. Dalam hubungan ini, Thomas F.O.`Dea (1990) dan

(7)

Hendropuspito (1994) menyebutkan, agama dan pendidikan merupakan pemanfaatan fasilitas-fasilitas supra empiris dengan tujuan akhir sarana-sarana non empiris.

Demikianlah, sinyalemen tersebut di atas menunjukkan bahwa disatu sisi agama dan pendidikan merupakan suatu proses dan instrumen penting di dalam masyarakat dalam rangka mewariskan budaya, disisi lain budaya terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya memerlukan fungsi agama dan pendidikan di dalamnya. Karena itu, antara agama, budaya dan pendidikan bersifat interaktif komplementatif.

2. Guru di Madura

Guru sebagai jabatan profesi atau lebih dikenal pak guru di Madura adalah sosok yang tetap menjadi magnet bagi masyarakat untuk terus meningkatkan prilakunya, utamanya dalam memberikan pelayanan pembelajaran di sekolah/madrasah, meskipun mereka bukanlah generasi kiyai yang disebut murobbi, ustadz, lora. Karena guru di Madura adalah sosok yang meng-inspirasi terhadap pendidikan putra-putri masyarakat Madura yang mendambakan generasinya bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan kedua orang tuanya.

Kualitas pendidikan di Madura dari waktu kewaktu terus selalu di benahi dan disempurnakan untuk meminimalisir masalah dan meningkatkan kualitas pembelajaran dalam dunia pendidikan, probematika pendidikan di Madura saat ini dan bisa jadi pada masa-masa berikutnya terletak pada profesiolitas dan produktifitas outcome pendidikan dan secara terus menerus harus terus dipacu, dikembangkan dan ditingkatkan utamanya dari aspek pembelajaran yang menekankan pada titik kemandirian peserta didik dalam melakukan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran di madrasah atau sekolah berbasis

(8)

pembelajaran mandiri dan terbimbing (Usman, 2002). Produktivitas disini dalam arti kemampuan guru dan pendidik profesional bangsa Indonesia termasuk di Madura khususnya para pendidik atau guru dalam menata kualitas pendidikan dan pembelajaran kepada peserta didik. Indikator peningkatan kompetensi yang dapat mencerminkan bahwa produktifitas dan kualiats pendidikan akan meningkat kualitasnya apabila hal-hal dibawah ini bisa di implementasikan di Madura, sebagai berikut:

a. Penguatan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter atau istilah yang sering di pakai guru di Madura yakni mengajarkan akhlakul karimah sejak dini kepada peserta didik baik sekolah maupun madrasah merupakan target utama dan pertama agar menjadikan siswa tawadhu’, menghormati dan menghargai guru, sehingga wujud kepatuhan terhadap guru akan tertanam sejak dini. Ada sebuah sloga yang populer dan hampir semua sekolah atau madrasah di Madura utamanya di Pamekasan, menulisnya yakni ”Kesopanan Lebih Tinggi Nilainya dari pada Kecerdasan” ini adalah bagian justifikasi warga pendidikan di Madura lebih mengedepan nilai-nilai akhlakul karimah utamanya kepada sosok guru yang telah memberikan pengetahuan kepada peserta didik dibandingkan hanya sekedar pengetahuan secara umum. Sehingga Akhlak lebih penting dibandingkan dengan hanya sekedar pengetahuan yang bisa saja semua orang mendapatkannya.

Melihat guru sebagai tenaga pendidik di Madura, yang merupakan representasi keberadaan pendidikan, maka mengajarkan pengetahuan selain akhlak adalah nomor dua, sehingga bisa di pastikan guru di Madura tidak akan langsung memberikan materi pembelajaran didalam kelas sebelum memastikan peserta didik yang sedang

(9)

belajar di sekolah dan madrasah sudah menjalankan prosedur akhlakul karimah yang di jalankan di sekolah/madrasah, sehingga tidak heran apabila beberapa sekolah dan madrasah di Madura mengajarkan kitab ta’limul muta’alim sebagai referensi pertama dalam mempraktekkan nilai-nilai akhlakul karimah kepada guru.

Maka dengan demikian Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang merupakan hasil dari kebijakan revisi kurikulum 2013, menjadi hal yang dan bisa dikatakan terlambat datangnya, jika dibandingkan dengan konsep akhlakul karimah yang dimiliki pada dunia pendidikan di Madura.

b. Penguatan Budaya Literasi

Membaca merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai hamba Allah SWT dan hal ini menjadi dasar mengapa surat pertama yang diturunkan-Nya adalah perintah membaca. Karena membaca merupakan kebutuhan setiap manusia, maka bagaimana masyarakat sebagai kumpulan dari manusia seyogyanya mampu menjadikan literasi atau kebiasaan membaca sebagai kebutuhan pokok dalam hidup bermasyarakat.

Budaya literasi adalah bagian perintah Allah yang diperuntukkan umatnya agar setidaknya menerapkannya dalam dunia pendidikan, disadari bersama bahwa membaca utamanya bagi guru dianggap hal yang paling membosankan karena guru khusunya di Madura sudah merasa aman dengan pengetahuan yang dimilikinya selama ini, sehingga mencukupkan apa yang telah dimiliki dan kayaknya menjadi tidak penting untuk menambah pengetahuannya melalui budaya literasi (membaca, menulis dan mempresentasikan).

(10)

Dengan demikian maka peningkatan penguatan budaya literasi bagi guru sebagai tenaga pendidik di Madura menjadi hal yang sangat penting dan terus di pacu, agar kualitas pembelajaran kepada peserta didik akan dinamis dan sesuai dengan tuntutan abad 21 yang menjadi jargon pendidikan di Indonesia. Karena Madura juga bagian dari Indonesia seyogyanya manusia Madura sudah sepatutnya sadar diri dengan keberadaan kualitas pendidikan di Madura, dan terus berpacu untuk meningkatkannya melalui budaya literasi.

c. Penguatan 4C (Critical Thingking, Creativity, Collaboration, Communication)

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang di lakukan oleh guru sebagai pendidik yang berani mengkaitkan semua materi pembelajaran dengan kehidupan nyata disekitarya serta memanfaatkan alam lingkungan sekitarnya sebagai media dan sumber belajar, sehingga akan terjadi dinamisasi pembelajaran kearah pembelajaran yang berkualitas.

Dengan model pembelajaran saintific learning maka pembelajaran menyosong abad 21 yakni Critical Thingking, Creativity, Collaboration, Communication akan terwujud dengan baik, karena pembelajaran yang di lakukan oleh guru sebagai pendidik akan selalu bermuara kepada bagaimana membangun peserta didik yang memiliki kemampuan mengkoreksi dengan argumentasi yang logis, dengan cara-cara yang baik dan elegan dapat memberikan solusi yang baik dalam pembelajaran, kemudian peserta didik didorong dan dirangsang oleh guru sebagai pendidik untuk kreatif, bisa berkomukasi dengan baik dan juga mampu berkolaborasi dengan orang lain baik dalam konteks pembelajaran maupun di luar pembelajaran, agar muncul

(11)

pembelajaran yang enjoy ful learning, begitu juga dengan pembelajaran pada pendidikan di Madura, yang diharapkan mampu memberikan jawaban kepada masyarakat sebagai persiapan diri menyongsong abad 21, dan itulah yang sedang di implementasikan di Madura, agar pendidikannya setara dengan pendidikan di daerah- daerah lain di nusantara.

d. Higher Order Thingking Skills (HOTs)

Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi (KeBiTT), itulah kata lain dari Higher Order Thingking Skill (HOTs), merupakan salah satu target revisi kurikulum 2013 edisi 2017, yang menjadi tugas berat guru sebagai pendidik di Madura.

Memberikan pembelajaran pada pendidikan di Madura dengan berorientasi dan bertujuan agar peserta didik didorong dan dimotivasi untuk memiliki karakter kerangka berfikir tingkat tinggi, sehingga guru sebagai pendidik seyogyannya memahami konteks dan cara serta medote agar dirinya mampu meramu pembelajaran didalam kelas agar dapat menjadi pembelajaran yang dapat mendorong dan memotivasi peserta didik pada tingkatakan berfikir tingkat tinggi.

Berfikir tingkat tinggi, tidak hanya pada proses pembelajaran dengan cara memberikan soal-soal mulai dari LOTs ke HOTs akan tetapi pada metode pembelajaran, media dan sumber belajar yang digunakan, kegiatan inti pembelajaran mulai dari pendahuluan sampai pada penutup. Guru sebagai pendidik diharapkan

(12)

mampu mendorong untuk melakukannya agar target pembelajaran mengarah kepada kemampuan berfikir tingkat tinggi menjadi terealiasi dengan baik.

Dorongan dan motivasi agar guru sebagai pendidik di Madura mampu mengimplimentasikan pembelajaran di sekolah/madrasah dengan mengarah ke HOTs atau KeBiTT merupakan dambaan dan tentunya, atas keyakinan bahwa guru sebagai pendidik di Madura akan selalu berupaya untuk memperbaiki sistem pembelajaran, catatannya ada pada bagaimana kepala sekolah/madrasah mendorong dengan cara mensupervisi setiap langkah yang akan dilaksanakan guru dalam mempersiapkan, mengimplementasikan dan mengevaluasi pembelajaran pada pendidikan di Madura.

3. Guru Dalam Konteks Global

Menanamkan nilai-nilai, etika moralitas global dan pemahaman terhadap jenis prilaku merupakan elemen pokok dalam usaha untuk memberikan keuntungan didalam perspektif moralitas global menjadi elemen pendidik atau guru, karena pendidik dan tenaga kependidikan saat ini dituntut untuk mengikuti perkembangan pendidikan abad 21 yang tertuang dalam kurikulum 2013 revisi tahun 2017 yakni yang pertama bagaimana guru menjadi pelopor dalam penguatan pendidikan karakter (PPK) disekolah dan madrasah, kemudian yang kedua guru sebagai pendidik pada konteks global harus mampu memainkan perannya sebagai penggerak literasi sekolah atau madrasah, literasi tidak hanya terbatas pada bagaimana membaca dan mempresentasikannya namun diharapkan lebih dari itu yakni harapannya mampu memberikan jawaban terhadap kebutuhan peserta didik untuk bisa menulis dan mempublikasikannya. Yang ketiga pengembangan empat (4C) yakni communication, creatifity, collaboration dan critical

(13)

thingking, dimana targetnya adalah bagaimana agar peserta didik memiliki kemampuan komukasi yang baik bagi dengan sesama teman, guru dan bahkan dengan masyarakat secara umum, disamping itu peserta didik juga didorong untuk menunjukkan kreatifitasnya melalui pembimbingan guru sebagai tenaga pendidik, kemudian selanjutnya peserta didik dituntut untuk mampu mengklaborasikan apa-apa yang telah diterima dengan keadaan sekitar dan masyarakat, kemudian yang terakhir peserta didik juga didorong untuk dapat melakukan koreksi yang baik dan mencari problem solving dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilangsungkan di kelas atau di luar kelas.

Maka dengan demikian, guru sebagai tenaga pendidik seharusnya mendorong dan memotivasi secara efektif, agar dapat mengetahui apa saja yang menjadi kekhasan atau setidaknya yang menonjol dan penting untuk mendukung persepsi utama terhadap moralital global saat ini melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan lain-lain, yang dicanangkan oleh pemerintah melalui revisi kurikulum 2013 revisi tahun 2017. Oleh karena itu bagaimana tenaga pendidik atau guru seharusnya belajar dan mempelajari cara-cara memanfaatkannya, sehingga tidak hanya untuk kepentingan pembelajaran secara spesifik namun dimungkinkan juga untuk membangkitkan semangat motivasi sosial dan emosional peserta didik untuk menjadi peserta didik yang dapat merubah dunia dengan pola pembelajaran yang efektif dan kreatif, akan tetapi mengharapkan dan diharapkan juga untuk membentuk kepribadian yang hakiki, sehingga dapat turut serta mempengaruhi dan membentuk sikap dan cara hidup serta pembelajaran disiplin dan harga diri di madrasah atau sekolah.

(14)

1. Tupoksi Guru Sebagai Pendidik

Guru harus dipandang sebagai pengambil prakarsa, pencipta dan pelaksana kurikulum, perangcang konteks, sumber dan media belajar, yang melibatkan diri dan lingkungan dalam upaya dan usaha yang berkesinambungan dan terus menerus serta sungguh-sungguh dalam rangka mengubah selera peserta didik untuk menjadi kreatif dan komunikatif. Kualitas tenaga pendidik dan atau juga disebut guru dan pengembang kurikulum merupakan bagian tugas pokok dan fungsi sebagai mengembang pembelajaran untuk menemukan solusi permasalahan pembelajaran dan pendidikan saat ini melalui sekolah dan madrasah, sehingga guru sebagai tenaga pendidik aka nada perubahan peran dan peranan yang ditimbulkan akibat semakin banykanya prakarsa dan prakarya berdasarkan kesempatan dan kemauan yang diberikan kepada guru sebagai pendidik harus dijadikan sebagai sarana pendukung yang efektif berdasarkan mekanisme dan regulasi yang mengatur dan berfungsi meningkatkan kualitas pendidikan menurut cara yang bertbeda dan lebih terinci.

Guru sebagai tenaga pendidik yang profesional dan merupakan jabatan profesi, atau setidaknya menjadi jabatan yang menuntut dan memerlukan keahlian khusus dan spesifik sebagai pembina, pendidik, pembimbing, penilai dan pengevaluasi proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah dan madrasah, tentunya dituntut dengan profesinya agar dapat menjaga diri dengancara meningkatkan kualitas diri dalam mempertahan dan meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dan madrasah. Jenis pekerjaan seperti ini tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh semua orang apalagi masyarakat secara umum diluar bidang pendidikan, meskipun faktanya masih ada yang dilakukan secara umum individu selain bidang pendidikan,

(15)

inilah yang menyebabkan profesi seperti ini yakni profesi guru atau tenaga pendidik paling mudah terkena pencemaran dan rentan terhadap masalah.

Tugas dan tanggung jawab guru sebagai profesi yaitu mendidik, mengarahkan, membimbing, dan memberikan penilaian kepada peserta didik dalam arti secara terus menerus dan berkesinambungan dalam rangka pengembangan nilai dan karakter hidup dan kehidupan di masyarakat, sehingga dengan demikian maka peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik yang profesional sedemikian penting dan berarti bagi terselenggaranya kehidupan sosial masyarakat, karena dengan perannya akan dapat mengubah peradaban dunia pada era-era yang akan datang.

Karena mengajar, membimbing, mengarahkan dan mendidik berarti menjalankan estafet pengetahuan dan melanjutkan serta memformulasikan knowlage yang berbasis teknologi informasi. Akan tetapi melatih, menilai dan mengevaluasi memiliki arti mengembangkan menumbuhkan skill kepada peserta didik sebagai bekal dalam kehidupanya dalam bersosialisasi di masyarakat.

Pendidik sebagai guru dibidang kemanusiaan di sekolah dan madrasah memiliki tugas untuk menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua dan wali untuk menjamin keberlangsungangan penerapan karakter dan moral yang beradap. Guru ini dituntut harus mampu menarik simpati peserta didik sebagai masyarakat umum sehingga dapat menjadi idola bagi peserta didiknya dan masyarakat.

Namun demikian peran tenaga pendidik atau guru tidaklah hanya terbatas sebagaimana disebut atas, akan tetapi pada kehidupan bermasyarakat tenaga pendidik atau guru/ustadz dan generasinya pada hakekatnya merupakan bagian individu atau manusia elit bonavit yang dapat fokus dan memiliki peran dan fungsi yang strategis

(16)

dalam ikut menggerakkan dan mendorong majunya kehidupan suatu bangsa dan peradabannya. Sehingga keberadaannya merupakan taqdir ilahi dimana hal ini mustahil akan bisa dan dapat digantikan dalam arti posisinya dari aspek manapun dalam kehidupan bangsa dan negara mulai jaman kolonial, apalagi saat ini.

Oleh karena begitu pentingnya peran dan fungsi guru/ustadz sebagai tenaga pendidik dalam kehidupan masyarakat, maka keberadaan guru sebagai tenaga pendidik bagi suatu bangsa amatlah urgen dan penting, apalagi suatu bangsa yang sedang membangun menuju bangsa yang memiliki peradaban yang maju dan unggul, lebih-lebih bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa yang disertai dengan teknologi informatika yang semakin canggih tak terkejar.

2. Pergeseran Peranan Guru

Guru sebagai tenaga pendidik dengan segala keterbatasannya merupakan sosok yang penting, dengan memiliki posisi dan hak-hak istimewa untuk sekedar memutuskan mata rantai lingkaran kemiskinan, kebodohan dan dapat memutuskan sangkaan-sangkaan dengan memakai berbagai metode dan strategi untuk sedapatnya diterima oleh masyarakat, tentunya dengan diakuinya jabatan profesinya.

Dibawah ini adalah beberapa hal kecenderungan pergeseran peranan guru sebagai pendidik disebabkan tuntutkan pembelajaran dan pendidikan abad 21 sebagai berikut:

1). Penyampaian materi pada proses pembelajaran kepada peserta didik dengan pemanfaatan secara maksimal penggunaan sumber belajar berbasis teknologi informatika

(17)

2). Fungsi-fungsi yang didiversifikasikan dalam proses intruksional dalam rangkat meningkatan tanggung jawab pada proses pembelajaran.

3). Individualistik pada proses pembelajaran antara pendidik/guru dengan peserta didik/siswa

4). Mengorientasikan output dan outcome pendidikan dan pembelajaran kearah kebutuhan kerja pada dunia usaha, dengan cara memberikan pembelajaran life skill dan bekal yang baik dan terencana kepada peserta didik dan masyarakat secara utuh.

Guru sebagai jabatan profesi saat ini masih banyak diperbincangkan atau dipertanyakan, baik oleh pakar pendidikan maupun masyarakat secara umum.

Bahkan selama tahun-tahun terakhir ini bisa dipastikan dan bahkan hampir setiap hari, beberapa media baik cetak ataupun elektronik memberitakan tentang sosok tenaga pendidik atau guru sebagai jabatan profesi. Namun kadang ironis juga ketika berita tersebut justru cenderung melecehkan guru sebagai jabatan profesi.

Kompetensi profesional, sosial, religiusitas seakan-akan tidak mampu membendung tudingan bahwa kualitas dan kompetensi pendidik/guru dipertanyakan ketika terjadi kekerassan di sekolah/madrasah, yang disinyalir tidak dapat menyelesaikan persoalan pembelajaran secara personal dan profesional.

Kecenderungan peserta didik/siswa menghargai guru/pendidik karena hanya sebatas ingin mendapatkan nilai merupakan fakta nyata yang tidak terbantahkan dilapangan dan cenderung menjadi salah satu konsen pemegang kebijakan.

Sikap dan prilaku masyarakat yang sering menganggap guru sebagai tenaga pendidik tidak profesional sebenarnya memiliki alasan tersendiri, mungkin karena

(18)

faktor sebagian oknum tenaga pendidik atau gurulah yang kadang kala menyimpang dari kode etik dan norma yang beraku di masyarakat baik disengaja atau tidak.

Namun anehnya saat ini kesalahan kecil yang dilakukan oleh tenaga pendidik atau guru akan menjadi perhatian serius dan seakan-akan menghilangkan jasa dan pengabdiannya dimata masyarakat secara umum dan akhirnya memunculkan reaksi yang berlebihan dimata masyarakat. Namun demikian prilaku masyarakat yang demikian itu tidaklah terlalu di salahkan dan juga tidak perlu dimaklumi, karena mereka menganggap guru itu seyogyanya menjadi panutan bagi masyarakat secara umum.

Namun demikian dan harus diakui bersama bahwa posisi guru sebagai pendidik profesional harus tetap eksis dan kokoh sebagai sosok yang mengajarkan pada kebaikan dan tidak mungkin bisa digantikan dengan sosok yang lain sekalipun mesin dan teknologi yang canggih dan dengan teknologi informasi yang memadai, dengan kata lain bahwa guru sebagai pendidik profesional masih tetap dibutuhkan untuk membangun peradaban bangsa dan negara ini dengan baik.

Kemampuan mengembangkan diri dan bermodalkan kewibawaan yang dimiliki oleh guru akan selalu menjadikan guru/ustadz sebagai sosok yang selalu ditunggu petuah dan bimbingannya, sehingga penghormatan, pernghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi mutlak diterima oleh guru, sebagai konsekwensi profesional kinerja yang tulus dah ikhlas.. Dengan catatan peningkatan kualitas professional guru sebagai pendidik ditingkatkan dengan cara dilatih, di update, melalui kegiatan pelatihan, pendidkkan dan latihan, workshop dan bimbingan

(19)

teknis dengan tanpa mengenyampingkan nilai dan norma agama yang dianut oleh peserta didik, sebagai tameng menjaga akhlakul karimah masyarakat.

Dibawah ini adalah salah-satu penyebab rendahkan pengakuan masyarakat terhadap guru sebagai jabatan profesi sebagai berikut:

1. Ada beberapa pandangan masyarakat dan wali murid secara umum bahwa siapapun bisa menjadi guru dan tenaga pendidik dengan hanya bermodalkan pengetahuan seadanya.

2. Minusnya tenaga pendidik sebagai guru/ustadz di daerah-daerah terpencil, pelosok desa, akan sangat berpeluang yang tinggi untuk mempekerjakan seseorang dan sosok yang bisa jadi tidak memiliki kemampuan dibidang pendidikan untuk menjadi tenaga pendidik sebagai guru/ustadz.

Ada sebagian tenaga pendidik sebagai guru/ustadz yang tidak bisa menghargai pekerjaannya sebagai profesi serta tenaga profesional, apalagi mengembangkannya.

Kadangkala muncul sentimen dan merasa rendah diri sehingga tidak percaya diri karena menjadi guru/ustadz yang memberikan pembelajaran kepada peserta didik dibidang pendidikan untuk kepentingan pribadi dan egonya, sehingga menurunkan wibawa dan martabat sebagai guru yang profesional.

4. Patronisasi di Madura

Patron berasal dari bahasa spayol yang memiliki arti dan makna seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dalam memimpin dan kekuasaan serta berpengaruh dalam suatu kelompok masyarakat tertentu untuk bisa menguasai kelomopk masyarakat tersebut (Kompasiana, 2018), termasuk di Madura dimana ada nilai-nilai budaya yang

(20)

merupakan implementasi dari akar budaya masyarakat yakni bhuppa’, bhebbu’, ghuru, rato.

Munculnya patronisasi di Madura berawal dari bagaimana sebenarnya masyarakat Madura memulyakan dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam religiusitas keseharian mereka terhadap value keislaman yang dianut mayoritas masyarakat Madura seperti patuh terhadap orang tua, kiyai dan pemerintah yang sah, yang kemudian memunculkan hierarki kepatuhan masyarakat Madura terhadap figur- figur penyangga budaya dan kehidupan masyarakat Madura.

Kepatuhan yang secara sadar terjadi secara alami pada sebagian besar masyarakat Madura, menjadikan mereka unik dan menarik dalam menjalani kehidupan bermasyarakat di tengah hiruk pikuk dinamika kehidupan. Sehingga dengan sendirinya memunculkan pengaruh tersendiri terhadap nilai budaya yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman yakni hierarki kepatuhan masyarakat Madura terhadap orang tua, kiyai dan pemerintah.

Patronisme masyarakat Madura dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama Orang tua (Ayah dan Ibu) menjadi patron pertama yang berpengaruh dalam keluarga masyarakat Madura, anak tidak direstui dalam tindakan apapun, maka ada kecendrengan mereka menyatakan kenning tola atau kualat ketika tidak mengikuti titah orang tua dalam segala hal. Argumentasi dalam beberapa persoalan hidup dan kehidupan dalam keluarga menjadi dimamika dalam rangka mengukur tingkat kepatuhan anak terhadap orang tua.

Sehingga apapun dan bagaimanapun anak harus patuh secara hirarkial kepada kedua orang tua (Ayah dan Ibu).

(21)

Kedua ghuru/kiyai menjadi patron kedua dalam tatanan kehidupan masyarakat Madura, terutama bagi kalangan kaum santri, ketidakpatuhan terhadap ghuru/kiyai akan membawa malapetaka bagi mereka yang mempercayai sebagai pengganti tafsir logis mereka terhadap status ghuru/kiyai bagi masyarakat Madura, sehingga kepatuhan ini menjadi mutlak harus diikuti untuk hal seperti, berdagang, bercocok tanam dan lain sebagai termasuk untuk sebagian masyarakat Madura di bidang politik.

Ketiga pemerintah menjadi patron yang ketiga dalam kehidupan masyarakat, pemerintah disini diartikan aparat mulai tingkat pamong (RT/RW), klebun (Kepala Desa), sampai ke presiden, tingkat kepatuhan masyarakat Madura terhadap pemerintah ada posisi ketiga setelah kiyai/ulama.

B. Landasan Teoritik

1. Teori Interaksionisme Simbolik

Kajian teori yang mendukung terhadap penelitian disertasi ini adalah Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer (1962). Herbert Blumer memperkenalkan konsep teori interaksionisme simbolik ini sekitar tahun 1939. Berdasarkan lingkup ilmu-ilmu sosial, awalnya ide ini diperkenalkan oleh GH Mead, akan tetapi setelah itu dikembangkan dan di desain ulang oleh GH Blumer untuk memenuhi target dan maksud yang spesifik. Teori interaksionisme simbolik ini memiliki konsep dan gagasan yang baik, akan tetapi kurang terlalu mendalam dan khas sebagaimana di terangkan GH Mead.

Teori interaksionisme simbolik berawal dari gagasan-gagasan tentang interaksi masyarakat secara umum dengan individu sebagai subyek. Sehingga essensi interaksionisme simbolik yaitu adanya satu kegiatan sosial yang menampilkan kekhasan

(22)

sebagai manusia dan individu untuk suatu tanda bahwa interaksi itu betul betul terjadi, yakni berupa pertukaran simbol dan komunikasi yang kemudian di maknai dengan pemaknaan subyektif. Mengatur pola prilaku manusia sebagai suatu proses untuk membentuk dan mengatur pola prilaku adalah bagian perspektif teori interaksinisme simbolik, yang salah satu fungsinya adalah untuk memberikan pendapat dan masukan tentang keberadaan orang lain untuk menjadi teman dalam berkomunikasi tentunya dalam kehidupan masyarakat secara utuh.

Pemikiran interaksionisme simbolik Blumer lebih pada merupakan sebuah gagasan yang menganggap bahwa individu menggunakan bahasa dan simbol yang signifikan dalam komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Yang kemudian perhatian mereka tertuju pada interpretasi subjektif sudut pandang, serta bagaimana cara individu memahami dunia mereka dari sisi keunikan perspektifnya. Namun demikian interaksionisme simbolik kadang kurang peduli dengan struktur obyektif dibandingkan dengan makna subjektif. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa interaksi yang bermakna di antara individu datang untuk mendefinisikan susunan masyarakat.

Sedikitnya ada empat prinsip dasar dari interaksionisme simbolik menurut Blumer yakni (1) The individuals acts based on the meaning that the object has for him; (2) Interactions occurs in certain social and cultural contexts whwrw physical and social objects (people), as well as situations, must be defined or categorized based on individual meanings; (3) Meaning arises from interactions with other individuals and with society, and (4) Meaning is continuously created and re-created through interpreting the processof interpretation during interactions with others (Blumer, 1969;

Carter, 2015)

(23)

Berdasarkan pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari interaksionisme simbolik dapat dinyatakan bahwa: Pertama individu bertindak berdasarkan makna benda-benda yang mereka miliki. Ini memiliki arti bahwa tenaga pendidik atau guru selalu bertindak atas dasar makna prilaku peserta didik dalam menerima pembelajaran di sekolah atau madrasah, sehingga makna tindakan itu akan dikomunikasikan dengan wali murid dan pada akhirnya akan melahirkan makna fungsional guru sebagai tenaga pendidik.

Kedua interaksi antar masayarakat akan terjadi dalam sebuah bentuk dan dinamika sosial dan budaya tertentu dimana objek fisik dan sosial (orang), serta situasi, harus didefinisikan atau dikategorikan berdasarkan makna individu. Ini memiliki arti bahwa terjadinya interaksi antara tenaga pendidik yang kemudian disebut guru dengan wali murid didasarkan pada cara pandangnya terhadap obyek guru dari sisi kualitas pembelajaran di sekolah atau madrasah melalui peserta didik, sehingga dengan demikian wali murid akan mendefinisikan fungsi dan makna guru yang sebenarya menurut kategori yang di rasakan oleh wali murid terhadap kualiatas sikap guru dalam menyelesaikan setiap konflik sosial masyarakat.

Ketiga makna itu yang akan muncul ketika ada interaksi dengan individu lain dan masyarakat. Ini memiliki arti bahwa secara substansi interaksi antara guru dan peserta didik yang otomatis akan ada interaksi dengan wali murid, merupakan bentuk mencarian makna original dalam memaknai guru pada pendidikan formal.

Keempat makna akan terus tercipta dan diciptakan kembali melalui proses interpretasi selama interaksi dengan orang lain. Artinya bahwa pemaknaan wali murid terhadap guru pada pendidikan formal akan selalu dinamis jika dilihat dari konsep

(24)

fungsi dan makna yang seharusnya diinterpretasikan ke dalam kehidupan yang kemudian menjadi budaya dan peradaban umat manusia.

Pada dasarnya interaksi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dalam sebuah komunitas dan kehidupan sosial merupakan bentuk komunikasi dan interaksi manusia sebagai indvidu yang memanfaatkan dan menggunakan simbol- simbol untuk menjadi alat bantu dalam interaksi, cara-cara individu sebagai manusia memanfaatkan dan menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud dan tujuan mereka untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya akan menjadi tertarik karena mereka menggunakan dan memanfaatkan simbol-simbol yang dimiliki oleh manusia sebagai individu yang penuh dengan simbol dan bisa di interpresikan sesuai dengan ekspektasi mereka memaknainya, sehingga akan terlihat dalam interaksi sosial masyarakat secara umum. (Berger, 2004).

Pengunaan dan pemanfaatn simbol-simbol oleh manusia sebagai individu pada sebuah interaksi sosial yakni antara guru dan peserta didik dan bahkan dengan wali murid, merupakan salah satu cara dan proses berfikir subyektif, karena simbol-simbol itu berbentuk bahasa yang setiap saat bisa diterjemahkan dan diinterpretasi menjadi sebuah makna subyektif yang kemudian menjadi budaya dan peradaban manusia. Secara nyata dan dipastikan bahwa simbol-simbol itu tidak dipakai, akan tetapi dipakai menggunakan dan dimanfaatkan melalui percakapan-percakapan manusia sebagai individu dan secara internal. Maka dengan demikian manusia sebagai indvidu akan merasakan dirinya sendiri dimaknai oleh masyarakat sebagai makhluk sosial yang lain atas identitas dirinya, karena melihat reaksi-reaksi yang ditunjukkan masyarakat dalam memaknai prilakunya terhadap dirinya sendiri. (Wirawan, 2014).

(25)

Blumer dengan interaksionisme simbolik, tidak selalu menjadikan pola tindakan dan interaksi orang lain hanya semata-mata menjadikan aktor agar bereaksi terhadap prilakunya. Akan tetapi sang aktor akan berupaya untuk mendefinisikan serta menafsirkan dan bahkan menerjemahkan setiap pola serta tidakan orang lain, sehingga menemukan yang sebenarnya dari tindakan itu.

Pola dan tindakan itu bisa terjadi disebabkan manusia sebagai individu memiliki jati diri dimana ia selalu bisa membentuk dengan dirinya sendiri menjadi objek yang tepat. Pola interaksi dan tindakan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, tergantung bagaimana proses pemaknaan melalui simbol itu di diskripsikan karena individu dapat dijembatani dengan penggunaan tanda atau simbol pemaknaan, tafsir, yakni ungkapan lisan dalam bentuk bahasa.

Pola tafsir dan interpretasi tanda dan simbol oleh manusia sebagai individu dapat diterjemahkan dan dimaknai akan memberikan arti dan makna yang dapat dipahami oleh orang lain, pemahaman itulah yang kemudian disebut dengan makna, dan inilah sebenarnya menilai hal-hal yang sesuai dengan tindakan dan interaksi, serta mengambil sebuah keputusan dengan berdasarkan penilaian terhadap tindakan itu. Oleh karena itu manusia sebagai individu yang bisa terlibat dalam interaksi ini merupakan manusia sebagai individu yang termasuk sebagai aktor yang tepat dan sadar yang kemudian bisa berekspresi seperti apa yang ingin dan telah dimaknai oleh individu tadi, artinya individu tidak bertindak tanpa akal sehat dan pikiran, atau pertimbangan. Bentuk dan konsep inilah yang kemudian oleh GH Blumer disebut dengan self-indicatian, yakni sebuah proses berlangsungnya interaksi yang sedang berlangsung kemudian dalam proses ini manusia sebagai individu akan mengetahui sesuatu, melihatnya, menilainya,

(26)

kemudian memberinya arti dan makna, dan memberikan keputusan untuk melakukan tindakan berdasarkan arti dan makna-makna yang muncul akibat dari interaksi dan tindakan individu.

Setidaknya ada beberapa ide dasar teori interaksionisme simbolik perspektif Blumer yakni:

Pertama, proses terbentuknya struktur sosial masyarakat, berawal dari adanya interaksi antara manusia sebagai individu dalam sebuah masyarakat, karena harus dipahami bahwa masyarakat itu sebenarnya adalah manusia yang berinteraksi. Sehingga setiap kegiatan dan tindakan bersama antar individu dalam masyarakat itulah yang akhirnya akan membentuk struktur sosial masyarakat.

Kedua, harus dipahami bahwa interaksi itu ada dua yakni interaksi simbolis yakni penafsiran dan interpretasi terhadap tindakan-tindakan individu sebagai simbol, sedangkan yang kedua adalah interaksi non simbolis yakni interaksi yang mencakup stimulus dan respon terhadap stimulus itu. Sehingga proses terjadinya komunikasi antar sesama manusia dengan manusia yang lain dalam berbagai kegiatan sosial itulah sebenarnya yang disebut interaksi.

Ketiga, objek-objek itu dapat dikategorikan menjadi tiga sebagai berikut yakni objek fisik, objek sosial, objek abstrak. Objek-objek itu merupakan gejala-gejala sosial yang tidak memiliki arti dan makna secara khusus. Karena makna adalah sebuah produk interaksi simbolis. Sehingga makna akan terungkap dengan sendirinya ketika ada simbol-simbol yang ditampilkan dalam sebuah interaksi antar manusia sebagai individu.

(27)

Keempat, manusia sebagai individu tidak hanya mengenal objek secara eksternal, akan tetapi mereka juga mengenal objek secara internal yakni diri mereka sendiri. Objek juga bisa mempengaruhi proses interaksi antar sesama manusia yang kemudian melahirkan makna, namun objek juga bisa menjadikan hubungan antar sesama manusia akan menemukan makna dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh manusia yang lain sebagai individu.

Kelima, interpretasi atau bisa disebut juga penafsiran adalah sebuah tindakan yang dibuat dan dilakukan oleh manusia sebagai makhluk individu, karena tindakan manusia itu adalah tindakan interpretasi atau menafsirkan pola interaksi antar sesama manusia dalam komunikasi sosial.

Keenam, tindakan yang akan melahirkan peradaban dan kebudayaan adalah tindakan masyarakat secara bersama-sama untuk melakukan aktifitas sosial dan terus menerus bahkan berkesinambungan dan dilakukan secara berulang-ulang serta kondisi sadar dan stabil dalam melakukannya. (Bachtiar, 2006; Ahmadi, 2008)

2. Asumsi Pokok Interaksionisme Simbolik

Herbert Blumer dalam karyanya yang cukup baik untuk dijadikan referensi, yakni Symbolic Interactionism; Perspective, and Method (1986), memberikan penegasan bahwa sedikitnya terdapat tiga asumsi dasar yang dapat melatar belakangi tindakan dan interaksi manusia sebagai individu. Penjabaran tiga asumsi dasar dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut (1). human act on things based on the meaning they have for them; (2).

the meaning of things arises frm one social interaction with others, and (3). the meaning

(28)

of things handled and modified through the interpretative process used by the person in dealing with the things he encounters (Soemirat,2010).

Tiga asumsi yang mendasasi tindakan sosial dapat dijelaskan sebagai berikut:

Petama, manusia sebagai individu melakukan tindakan terhadap sesuatu berdasarkan arti dan makna yang terkandung didalam benda, kejadian atau fenomena.

Karena manusia sebagai individu akan selalu merespon suatu simbol, dan simbol itulah yang di interpretasi dan dimaknai secara subyektif sebagai wujud dari tindakan sosial yang di lakukannya.

Kedua, makna muncul karena adanya interaksi manusia sebagai individu, namun harus dipahami bahwa makna itu tidak inheren, melainkan sangat bergantung kepada proses interaksi manusia sebagai individu, termasuk kualitas interaksi antara keduanya akan sangat berpengeatuh terhadap pemaknaan sebuah interaksi sosila yang terjadi, karena makna itu dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, kualitas bahasa juga mempengaruhi makna dalam memahami segala sesuatu yang di interaksinya antara mereka. Oleh karena itu penggunaan simbol dalam interaksi individu sebagai makhluk sosial akan berpengaruh terhadap pengalaman dan kedalaman interaksi antar mereka.

Ketiga, dalam menghadapi fenomena tertentu, maka makna dapat dimodifikasi dan di illustrasikan melalui interpretasi individu dan akan dinamis dari sisi perubahan waktu ke waktu, di satu tempat ke tempat yang lain dalam interaksi sosial. Sehingga perubahan penafsiran dapat di mungkinkan apabila individu seyogyanya bisa mengerjakan proses interaksi dan berkomunikasi melalui dirinya sendiri (Soemirat,2010).

(29)

Teori interaksinsme simbolik Blumer pada kesimpulannya berujung pada tiga premis utama yakni: (1) manusia melakukan tindakan menurut arti dan makna yang dimilikinya bagi mereka; (2) makna akan didapat dari sebuah komunikasi sosial yang dilakukan dengan manusia yang lain, dan (3) makna dapat disempurnakan ketika proses komunikasi sedang berlangsung (Suprapto, 2002; Ahmadi, 2008).

3. Kerangka Berfikir

Penelitian disertasi ini akan mencoba mendiskripsikan bagaimana sebenarnya seorang subyek penelitian yakni wali murid pada masyarakat Pamekasan tepatnya dikecamatan Pakong, memaknai simbol Ghuru (Guru) yang mengajar pada pendidikan formal (baik di Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan dan atau Madrasah Aliyah Keagamaan dan Kejuruan), dilihat dari sudut pandang hierarki kepatuhan masyarakat Madura sebagai akar budaya yakni bhuppa’ bebhu’ ghuru ratoh, yang sudah mulai memudar. Dengan demikian penelitian ini tentunya dimulai dengan asumsi bahwa, seorang wali murid pada masyarakat Pamekasan (apabila dia inginkan), dapat memaknai simbol Ghuru (guru) sesuai dengan keinginnya, dengan siapa dan lingkungan mana mereka berinteraksi dan komunikasi, serta bagaimana mereka melakukan interaksi dan komunikasi, sehingga cepat atau lambat akan memperngaruhi cara mereka memandang dan berfikir.

Pandangan, prilaku/tindakan dan pemikirannyalah itu, yang pada akhirnya akan menemukan arti dan makna yang sebenarnya simbol ghuru pada dirinya. Setelah melihat asumsi dasar tersebut diatas, peneliti bisa menjelaskan bahwa keputusan wali

(30)

murid pada masyarakat Pamekasan untuk memaknai simbol ghuru bukanlah muncul secara tiba-tiba tanpa adanya proses, akan tetapi mercipta melalui proses kontruksi yang sadar, dan ia melakukan tindakan sesuai dari sistematika kondisi yang sengaja dibuatnya. Secara intrinsik, sesuatu itu mustahil akan mempunyai arti dan makna, namun manusia sebagai individu yang mencoba memaknainya sesuai dengan alur pikir yang dimilikinya pada sesuatu itu sesuai dengan cara pandang mereka. Memberi makna berarti memahami terhadap fenomena yang sedang berlangsung pada masyarakat, kemudian bertindak atas dasar pemahamanya tersebut.

Teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menganalisis sebuah proses pemakanaan wali murid atas simbol ghuru pada masyarakat Pamekasan. Karena salah satu keunggulan pendekatan teori interasionisme simbolik adalah adanya statemen dan pendapat bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir. Artinya perspektif ini mengakui bahwa mustahil bagi siapapun untuk merubah prilaku dan tindakan yang sudah menjadi kebiasaan dan membudaya, tanpa melalui proses berfikir yang logis dan dinamis. Sehingga pada akhirnya mau tidak mau, kebijakan dan kesimpulan tidak akan diambil kecuali atas keputusan aktor yang sudah berinteraksi dan komunikasi lebih dulu dengan diri sendiri (self-interaction), dengan demikian maka kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat disajikan dalam bentuk skema berikut:

Ghuru

Interaksi Sosial

Walimurid Pemaknaan

(31)

Gambar 1. Kerangka Berfikir

Setelah memahami dan membaca dengan seksama perspektif teoritis yang telah dipaparkan didepan, penelitian disertasi ini hendaknya ingin mengedepankan kerangka konseptual bahwa Pemaknaan Wali Murid atas simbol Ghuru: Pada Masyarakat Pamekasan Madura, terhadap guru pendidikan formal Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan atau Madrasah Aliyah Keagamaan dan Kejuruan merupakan budaya hierarki kepatuhan elit masyarakat Madura terhadap simbol dan patron Ghuru. Karena itu dalam penelitian yang penting untuk disampaikan adalah adanya sebuah usaha memberikan pengertian terhadap logis dan tidaknya terhadap struktur budaya yang menjadi dasar pemahaman mereka atas keputusan terhadap Pemaknaan Wali Murid atas simbol Ghuru Pada Masyarakat Pamekasan Madura utamanya terhadap guru pendidikan formal Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan atau Madrasah Aliyah Keagamaan dan Kejuruan dalam berinteraksi antar sesama individu sebagai manusia dengan orang lain dalam rangkaian aktifitas sosial.

Rasionalitas dari sebuah interaksi sosial itu akan terungkap dan teridentifikasi berdasarkan argumentasi dalam proses pemaknaan yang merupakan alur pikir dan penafsiran yang dipakai oleh mereka untuk mengambil keputusan dan kebijakan. Ini hanya dapat dipahami

self-interaction

Makna

Ghuru

(32)

dan dimengerti dengan menggunakan perspektif emik, berdasarkan apa yang dipikirkan atau apa yang hidup dalam dunia makna pelakunya sendiri.

C. Penelitian Terdahulu

Studi-studi tentang masyarakat Madura telah banyak dilakukan oleh akademisi antara lain:

Kurniawan (2007) bahwa makna profesionalisme guru di pedesaan adalah sebuah aktualisasi diri sebagai perwujudan keinginan yang unik dan khas untuk mencerdasakan anak- anak didesa, dengan mengenyampingkan fungsi dari profesi mereka sebagai guru, karena ingin memberikan pelayanan yang maksimal terhadap peserta didik untuk menjadi cerdas dan sukses.

Sedangkan penelitian ini memaknai simbol guru bagi wali murid pada perspektif fungsi dan simbol identitas sosialnya sebagai implementasi dari interaksi antara wali murid dan guru baik melalui peserta didik disekolah/madrasah atau dimasyarakat secara umum sehingga akan nampak makna pada perspektif tersebut, dan tidak pada posisi mengkaji profesi guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya di sekolah/madrasah.

Sukimi (2004) bahwa carok sebagai elemen identitas manusia Madura, carok merupakan tindakan “agresif” yang dilakukan oleh orang Madura terhadap individu lain demi mempertahankan harga diri dan atau meraih harga diri yang telah terkoyak. Oleh karena itu, carok sangat akrab dengan individu dan manusia Madura dan kedua-duanya seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Dalam penelitian yang dilakukan pada masyarakat Madura yang berada di Malaysia ini, mengupas fenomena carok dari sudut pandang pihak berkuasa dan pengalaman seharian orang Madura tentang pengertian secara filosofis tentang carok, faktor penyebab terjadinya carok, ciri-ciri pelaku yang melakukan tindakan carok, dan beberapa bentuk-bentuk carok yang terjadi selama ini. Sehingga pandangan itu, fokus mengkaji tentang

(33)

idetintas diri masyarakat Madura dan hal-hal yang menyebabkan terjadi konflik sosial atau carok tidak pada posisi makna atas simbol guru.

Sedangkan penulis membahas tentang makna guru yang memunculkan fungsi dan peran sosial dari sisi moralitas guru bagi wali murid dan masyarakat secara umum yakni salah satunya guru bâjing, dimana salah satu peran dan fungsinya adalah menyelasaikan konflik sosial (resolusi konflik) yang menyebabkan carok, melalui kemampuan supranatural serta moralitas yang ditunjukkan hasilnya kepada wali murid dan masyarakat secara umum.

Hefni (2007) hierarki kepatuhan dalam budaya Madura, berpandangan bahwa penghormatan dan kepatuhan masyarakat Madura terhadap elit secara hierarkis terhadap figur tokoh bagi masyarakat Madura, yakni bhuppa’, babhu’, ghuru, rato, merupakan struktur yang telah cukup lama menjadi rujukan bagi masyarakat Madura dalam melaksanakan setiap kegiatan yang berkaitan dengan sosial masyarakat. Struktur elit kepatuhan tersebut secara simultan selalu diwariskan dan terus dilembagakan secara berkesinambungan diatas kebiasaan yang melekat pada budaya Madura secara utuh (habitualisasi). Namun demikian, masyarakat Madura sebagai manusia kreatif tentunya tidak tunduk begitu saja terhadap struktur kepatuhan terhadap elit yang menghegemoni kesadarannya. Hasilnya menjadi sebuah rekonstruksi tradisi dan budaya baik berupa modifikasi sebuah konsep atas kepatuhan terhadap elit budaya sesuai kebutuhan dalam rangka mematuhi figur-figur tersebut.

Pandangan ini fokus pada memaknai secara habitualisasi struktur hierarki kepatuhan masyarakat Madura terhadap figur ghuru pada budaya Madura yakni bhuppa’, babhu’, ghuru, rato tidak pada pemaknaan secara fungsi, peran dan identitas guru bagi wali muri/masyarakat, sedangkan penulis disini lebih pada makna simbol guru pada hierarki kepatuhan masyarakat Madura yakni bhuppa’, babhu’, ghuru, rato, pada simbol ghuru di maknai guru pada pendidikan

(34)

formal, yang mengabdikannya sebagai profesi, berbanding lurus dengan peran dan fungsi sosial guru secara spesifik bagi wali murid dan masyarakra secara umum.

Sadik (2007) bahwa revitalisasi semangat bhuppa’, babhu’, ghuru, rato. merupakan: (1) revolusi yang dilakukan terhadap budaya kepatuhan terhadap elit yakni bhuppa’, babhu’, ghuru, rato, bukan perombakan merupakan perombakan nilai dan budaya melainkan untuk penyesuaian dan adaptasi dengan kondisi budaya dan zaman yang memang diperlukan, (2) mayoritas masyarakat Madura yang islami selalu ingin menempa kekuatan religiusitas melalui keimanan kepada Allah agar menjadi masyarakat yang selamanya mengabdi kepada sang kholik, dan (3) Masyarakat Madura selalu menjaga marwah, akhlakul karimah, keteladanan dalam etika dan menjadikan Islam sebagai pegangan hidup bagi masyarakat Madura pada umumnya, meskipun kadangkala aktifitas yang di lakukan bisa saja tidak mencerminkan budaya yang ada dalam Islam. Sehingga fokusnya pada makna nilai spiritual dan religiusitas guru dalam melakukan ritual keagamaan pada masyarakat.

Penelitian ini lebih pada memaknai guru dari sisi identitas sosial yang cenderung mengarah pada faham keagamaan guru, tidak pada nilai ritualitas dan spiritualitas mereka, sehingga akan tercermin peran dan fungsi guru pada wali murid utamanya dan masyarakat pada umumnya, karena guru dituntut untuk memiliki nilai integritas, tanggung jawab yang tinggi, sehingga bisa memerankan sebagai seorang sosok yang dapat mengayomi dan menjadi pemimpin di masyarakat sesuai dengan harapan semuanya.

Susanto (2009) bahwa ustadz sebagai generasi baru dalam struktur budaya Madura, menyimpulkan bahwa masyarakat Madura telah mengalami direfensiasi dan diversifikasi strata sosial yang memiliki orientasi ideologis dan kepentingan yang tidak lagi tunggal, melainkan sudah terkontaminasi dengan kondisi global yang tidak bisa dibendung, sehingga Madura akan

(35)

selalu mengikuti perkembangan zaman dalam setiap tindakan dan aktifitas sosial. Sehingga kiyai dan generasinya yakni lora dan ustadz dimaknai sebagai generasi peyangga budaya Madura yakni bhuppa’, babhu’, ghuru, rato.

Sedangkan penulis fokus pada makna guru pada pendidikan formal tidak pada guru dimaknai kiyai, lora dan ustadz serta tidak memaknai generasi guru yang lain, yakni pada perspektif fungsi dan identitas sosial dalam peranya di masyarakat, sehingga akan lebih kelihatan fungsi dan perannya di masyarakat dibandingkan dengan profesinya sebagai guru pada pendidikan formal.

Taufiqurrahman (2014) keberislaman orang Madura ditinjau dari pengetahuan agama

“Islam” masyarakat Madura dibagi menjadi tiga tipologi masyarakat sebagai berikut, (1) Formalistik yakni bertumpu pada orientasi pemaknaan dalam tata kelola kehidupan sosioreligius yang bertumpu pada pemahaman secara struktural dan skriptualistik yang dianggap sebagai bentuk kebenaran atas ajaran suci yang diperlukan untuk mempersiapkan diri di akhirat, (2) Substansial yakni masyarakat Madura secara umum telah menemukan pengertian dan pemahaman tentang esensi ajaran “Islam” dan hakikat sebenarnya yang tersembunyi di balik bunyi teks suci al-Qur’an dan Sunnah, yang menjadi landasan hidup di dunia dan akhirat sebagai keyakinan abadi, dan (3) Sekularistik yakni masyarakat Madura berorientasi dalam skat-skat kehidupan sosioreligius dengan memisahkan atau membedakan antara urusan agama dan urusan duniawi sebagai suatu kebenaran positivistik, sehingga perbedaan mencolok dalam implementasinya di masyarakat tentang pemaknaan faham agama dan akhirat sebagai final kepatuhan.

Sehingga fokusnya pada pemaknaan keberagamaan masyarakat Madura, sedangkan penulis lebih pada faham keagamaan guru dalam penggunaan identitas sosial berupa kostum

(36)

yang dimaknai dan dicerminkan sebagai implementasi nilai-nilai keberagamaan dan keislaman serta nilai-nilai etika dan kesopanan serta keshalehan spriritual dalam berpakaian dan menggunannya, sehingga akan kelihatan konstruksi guru yang sholeh dalam spiritualitas mereka, sopan dan beretika dari sisi penggunaan pakaian yang dipakai dengan sosok guru tolang.

Kemudian dimaknai dengan kedalaman dalam penguasaan keilmuan fiqh dan tasawuf menjadi ciri guru pada penelitian ini.

Jonge (2012) bahwa esai-esai tentang orang madura dan kebudayaan orang Madura mulai dari Pulau Garam, Carok dan Karapan Sapi, merupakan bagian dari kekayaan sumber daya alam yang patut untuk dilestarikan sebagai khazanah yang baik. Sedangkan penulis fokus pada fungsi dan peran guru dimasyarakat yang memiliki salah satu makna sebagai resolusi konflik yakni guru bâjing dan guru téngka. Tentunya dengan modal budaya yang kuat dari masyarakat untuk tetap lestari.

Bariyah (2011) bahwa guru di Pamekasan cukup memiliki kompetensi profesional dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) sesuai dengan karkteristik masyarakat Madura. Sedangkan peneliti fokus pada makna guru sebagai profesi dilihat dari pespektif fungsi dan identitas sosial, serta peran di masyarakat dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui konsep silaturrahmi yang dijalankan dengan wadah pengajian dan sejenisnya

Lauermann (2013) sedikitnya ada Tiga metode dalam melakukan penelitian terhadap respon guru dalam pembelajaran, (1) tantangan pemahaman sistem penilaian yang dinamis dalam pembelajaran di sekolah yang mengharuskan guru untuk terus meng-update setiap perkembangan yang sedang terjadi saat ini, termasuk mengkritisi kebijakan yang berkaitan dengan revisi kurikulum dan pembelajaran yang jelas berpengaruh terhadap keberadaan guru sebagai pendidik dan peserta didik, (2) korelasi antara keyakinan dan kemampuan sumber daya guru tentang

(37)

tanggung jawab professional yang di embannya untuk menjadikan hasil pendidikan sebagai target utama dalam mempersiapkan pembelajaran yang berkualitas, dan (3) mekanisme pelaksanaan, perencanaan dan evaluasi pembelajaran sebagai tanggang jawab secara personal tenaga pendidik, menggunakan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang disesuaikan dengan regulasi yang berlaku. Sehingga fokus pada makna respon guru pada proses pembelajaran yang berkualitas.

Sedangkan penulis membahas tetang pemakanaan wali murid atau bahkan masyarakat secara umum tentang simbol guru, dalam rangka meningkan fungsi dan peran sosial pada masyarakat dan wali murid pada kegiatan diluar sekolah/madrasah, sehingga akan memunculkan dua perspektif yakni pespektif fungsi sosial dan persepektif identitas sosial.

Demirkasǐmoğlu (2010) bahwa Interpretasi kontemporer tentang profesionalisme guru memiliki pergeseran makna dari pengertian sebelumnya dalam arti bahwa para guru menghadapi berbagai tekanan dan lebih pada tuntutan idealisme, tuntutan pekerjaan yang meningkat kinerja dan kontrol pekerjaan yang lebih besar di masa belakangan ini. Sebenarnya mereka tidak dapat berbicara tentang kesepakatan tentang konseptualisasi istilah profesionalisme guru sebagai jabatan profesi. Di sisi lain, mengingat perdebatan ilmiah hingga sekarang, profesionalisme guru dapat diartikan sebagai bidang kerja profesional dengan dimensi sosiologis, ideologis dan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai standar tertinggi dalam profesi guru yang didasarkan pada pembentukan profesional, pengetahuan, dan keterampilan dan nilai-nilai pendidikan.

Peneliti dalam tulisan ini membangun konsep tentang interpretasi pemaknaan wali murid atas simbol guru dari perspektif fungsi dan identitas sosial melalui penggunaan kostum pada masyarakat Pamekasan Madura, dengan harapan fungsi dan peran guru tidak hanya bermakna

(38)

untuk murid dilingkungan sekolah/madrasah akan tetapi di luar sekolah/madrsah yakni pada masyarakat umumnya.

Burhani (2014), guru memiliki peran baru dalam proses internaliasasi pendidikan untuk mengimbangi proses terjadinya revolusi industri 4.0 di belahan dunia sebagai berikut:

1. Pelatihan guru secara psikologis dan kolektif merupakan kebutuhan mendesak bagi masyarakat aljazair

2. Kualitas pelatihan yang dilaksanakan harus dilakukan secara efisien untuk mengembangkan keterampilan guru agar professional dalam menjalankan tugasnya menyongsong revolusi industri 4.0

3. Persiaan yang baik sesuai dengan rencana strategis yang konstruktif seperti menyiapkan program pelatihan sesuai dengan schedule yang ditetapkan

4. Untuk pengembangan kemampuan professional dalam pembelajaran agar guru mengambil bagian dalam setiap kegiatan pelatihan yang di laksanakan.

5. Untuk terlaksananya kegiatan pelatihan yang baik sesuai dengan kebutuhan, maka harus disiapkan kurikulum ilmiyah sesuai dengan tuntutan zaman.

6. Memasukkan konsep baru yang berkaitan dengan pegembangan teknologi informatika dalam setiap kegiatan pelatihan yang di lakukan.

Sedangkan penulis fokus pada makna simbol guru yang dipengaruhi revolusi industri 4.0 sehingga ada peran dan fungsi guru bagi wali murid dan masyarakat secara umum, untuk memperbaiki sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah/ masrasah, serta peran dan fungsi itu karena adanya proses pemaknaan yang mendalam tentang keberadaan guru serta penghargaan yang tinggi dari masyarakat terhadap guru.

(39)

Mohamed (2010), beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru masa kini dalam menghadapi tantangan global sebagai berikut:

1. Pada era revolusi digital, guru menghadapi banyak tantangan seperti pendidikan berkelanjutan, kepemimpinan perubahan, manajemen teknologi, revolusi informasi, dan tantangan budaya yang mengancam prilaku dan nilai-nilai masyarakat.

2. Penggunaan teknologi baru dalam pendidikan membutuhkan seperangkat keterampilan yang harus dimiliki oleh para guru diera digital, yaitu kemampuan untuk berpikir kritis, keterampilan untuk memperoleh kecakapan hidup peserta didik, keterampilan untuk mengembangkan keterampilan berfikir yang lebih tinggi, dan keterampilan untuk menggunakan dan mengelola teknologi pendidikan, dan keterampilan untuk mendukung ekonomi pengetahuan, serta keterampilan mengelola kemampuan peserta didik melalui pengajaran yang beraneka model pembelajaran. Dapat mengembangkan keterampilan guru di era revolusi digital melalui beberapa metode, terutama pengembangan professional guru berbasis online, dan memberikan motivasi kepada guru serta mengurangi beban pembelajaran yang diberikan melalui pelatihan online yang berkelanjutan untuk guru.

Penulis disini fokus pada makna guru dari sudut pandang peran dan fungsinya dimasyarakat menurut versi wali murid dan masyarakat secara umum, sehingga akan nampak posisi guru dilihat dari pespektif fungsi dan identitas sosial.

Ainiyah (2017), bahwa makna guru dalam perspektif identitas diri dalam sebuah profesi ada dua kategori, yakni sebagai profesi guru yang mulia dan profesi guru inspiratif. Karena dengan dua makna yang dimiliki guru tersebut, masyarakat dan akan menghormati profesinya dan akan selalu menginspirasi semuanya.

(40)

Sedangkan penulis fokus pada perspektif identitas sosial guru yang dimaknainya dengan melihat kostum yang digunakan oleh guru pada saat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan wali murid secara umum di luar kegiatan pembelajaran di sekolah/madrasah, sehingga yang lebih ditonjolkan adalah makna fungsi dan peran guru pada kegiatan di masyarakat.

Azimuddin, (2017) bahwa Makna profesional guru bagi para murid di India, sebagai berikut, yakni pertama guru yang memiliki dominasi otoritatif negatif salah satunya karena kecanduan merokok, minum minuman keras dan bahkan berjudi, kedua guru berperan di masyarakat sebagai pembangun bangsa, kepribadian dan pembimbing. Namun tidak responsive, dan rendahnya tingkat akuntabilitas serta interfensi politik. Namun demikian penulis disini lebih pada pemakanaan guru bagi wali murid, sebagai dominasi peran dan fungsi dimasyarakat tidak pada otoritas di sekolah dan madrasah, sehingga pemakanaan wali murid terhadap guru pada pendidikan formal ada dua perspektif, yakni perspektif fungsi sosial dan perspektif identitas sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga dan Status Kesehatan dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita di Kelurahan Bulukan Kabupaten

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Sebaliknya pada bangsa yang tidak memberlakukan strata sosial, perlakuan tidak adil tidak dapat diterima, sehingga menghambat munculnya OCB (Paine & Organ,

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Kejuaraan pencak silat ini menjadi event tahunan / untuk membina sejumlah atlit yang berada dibawah bimbingan mahasiswa UIN // Hal ini disampaikan oleh pendiri pencak silat

Penyesuaian bentuk sel darah merah terhadap proses fisiologis tubuh unggas antara lain dengan tingkat fleksibilitas sel darah untuk mampu bergerak bebas dengan

Dilema yang terjadi dengan sistem multi partai dalam pemilu adalah. terkait dengan pengaturan bagaimana dengan partai politik yang

Pedoman Perilaku Etika (Code of Conduct) PT NINDYA KARYA (Persero) pertama kali dikeluarkan pada tanggal 6 April 2005 dan telah dilakukan revisi sebanyak 7 (tujuh) kali