• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

INDEPENDENSI

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR

(Studi Kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan LSM Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa (LPS DD) Republika)

HUSAIN ASSA’DI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 9

(2)

ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Independensi LSM di tengah Kepentingan Lembaga Donor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2008

Husain Assa’di NRP A152050051

(3)

iii ABSTRACT

The top-down development approach has been failed in bringing prosperity to Indonesia. The model of development approach by the NGO become an alternative model of development before. But this approach is also not free from problems, the indicator is from rapid development of NGOs cannot reduce the poverty in Indonesia. Each development agencies including NGOs cannot be separated from the various interests. Form of interest relationship happens between NGOs and Donors.This study would like to answer the question that is donors infleunce of the independence of NGOs.

In order to answer the research question, the writer is using qualitative method.

The financial arrangement network, action, interest, motives and NGOs ideology are the main focus of this study. Two NGOs are observed, namely Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) and Lembaga Pertanian Sehat (LPS).

The first NGO is more dependent to international donor where as the second is more dependent to local donor. The first NGO is working at region wide, while the second on local level.

This study resulted that LKTS and LPS were dependent in the financial aspect.

LKTS was also dependent in action aspects but LPS was independent in this aspect. The NGOs differences were in independences financial aspects and the action. They appeared on the characteristics of the donor, where LKTS collect funds from foreign donors with a greater interest agenda while LPS collect funds from the community in a participatory management of the trust to LPS. In addition, Factors that affected the independence of NGOs to the characteristics of donors were the change that also influenced by internal factors, namely: 1.

Militancy of NGOs’ ideology, 2. Fund, 3. NGOs Achievements be the strength variabel in negotiations.

Shifting in NGOs Ideology orientation was not directly caused by the donor, but because of the greater increased in financial needs. This occured because of the NGOs’ increasing demand activities (Operational Costs, developing events, staff, and other budget support). Needs should be fulfilled by NGOs to be able to maintain its existence.

In the development perspective, NGOs did not necessarily become a social movement organization which realised the dream of success bottom up approach.

NGOs that had established its first platform as an independent institution from outside interests and the interests of a civil (civil sphere) appeared to have the problem in dependency on the donor in the field of financial and actions. In addition, NGO had also experienced in shifting ideology orientation.

keywords: Social movement organization, NGO, development approach, local participation, empowerment

(4)

iv RINGKASAN

HUSAIN ASSA’DI. Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Di Tengah Kepentingan Donor. Studi kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) di Boyolali dan LSM Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di Bogor. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan SOERYO ADIWIBOWO

Pendekatan pembangunan top down dinilai telah gagal dalam membawa kesejahteraan bagi Indonesia. Model pendekatan pembangunan oleh LSM menjadi alternatif dari model pembangunan sebelumnya. Tetapi pendekatan ini juga tidak bebas dari masalah, Indikasinya adalah pesatnya perkembangan LSM tidak menghasilkan penurunan kemiskinan di Indonesia. Setiap agen pembangunan termasuk didalamnya LSM, tidak lepas dari berbagai kepentingan. Bentuk hubungan kepentingan diantaranya hubungan antara LSM dan donor. Penelitian ini ingin mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi.

Untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini adalah pada jejaring donor, aksi, kepentingan, motif, dan ideologi LSM. Dua LSM yang diteliti adalah Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan Lembaga Pertanian Sehat (LPS). LKTS lebih dependen dengan donor internasional sementara LPS dependen dengan donor lokal. LKTS berskala regional dan LPS berskala lokal.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa LKTS dan LPS dependen dalam aspek finansial. LKTS juga dependen dalam aspek aksi tetapi LPS independen dalam aspek ini. Perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi di atas muncul dari karakteristik donor, dimana LKTS menghimpun dana dari donor asing dengan agenda kepentingan yang lebih besar dan LPS menghimpun dana masyarakat secara partisipatif dengan kepercayaan pengelolaan kepada LPS.

Faktor yang mempengaruhi independensi LSM selain karakteristik donor, perubahan juga dipengaruhi oleh faktor internal juga dimana 1. Militansi ideologi LSM, 2.Kemapanan LSM dalam dana, 3. Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM) menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi.

Pergeseran orientasi ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Kebutuhan ini terjadi karena meningkatnya aktifitas LSM (Biaya Operasional, pegembangan kegiatan, Staf, Anggaran pendukung lainnya). Kebutuhan tersebut perlu dipenuhi oleh LSM untuk bisa mempertahankan eksistensinya.

Dalam perspektif pendekatan pembangunan, LSM tidak serta merta menjadi organisasi gerakan sosial yang mampu mewujudkan mimpi kesuksesan pendekatan bottom up. LSM yang memiliki platform awal berdiri sebagai lembaga yang independen dari kepentingan luar dan membawa kepentingan sipil (civil sphere) ternyata mempunyai masalah ketergantungan pada donor di bidang finansial dan aksi. Selain itu LSM juga mengalami pergeseran orientasi ideologi.

(5)

v

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(6)

vi Judul Penelitian : Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di

tengah Kepentingan Donor

Nama : Husain Assa’di

NRP : A152050051

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Mayor Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal ujian: 30 Januari 2009 Tanggal lulus:

(7)

vii PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia Nya sehingga Penulisan Tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih ialah Respons Komunitas dengan judul: Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor.

Terimakasih disampaikan kepada Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (Ketua Komisi Pembimbing), dan Dr. Soeryo Adiwibowo,MS (Anggota) atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Ir.

Fredian Tonny, MS yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi. Penghargaan disampaikan pula kepada:

- Rektor IPB Bogor, Dekan SPs, Dekan FEMA dan Ketua PS Sosiologi Pedesaan

- Orang tua Ibu tercinta dan M. Yazid Chusnadi (Alm) .

- Isteri tercinta R. Desi Santika, SP serta ananda tersayang Muhammad Telaga Kautsar (Agas) dan Muhammad Pijar Azami (Pijar) atas kesabaran, doa kasih sayang serta motivasinya.

- Aktivis LSM LKTS dan LPS

- Rekan-rekan PS SPD khususnya S2 dan S3

Penulis mengharapkan kritik serta masukan demi penyempurnaan tulisan, serta pengembangan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada proses

‘pendewasaan’ LSM yang sesuai dengan platform awal berdirinya. Semoga semua usaha kita selalu dituntun dan dirahmati oleh Allah SWT. Amin.

Bogor, Januari 2009

Husain Assa’di

(8)

viii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, 27 Juli 1981 dari Anak kelima dari lima bersaudara pasangan Muhammad Yazid Chusnadi dan Sri Sulami. Penulis menempuh studi SD di Madrasah Muhammadyah 1 Trangsan di Sukoharjo, SMP Al Islam 1 Surakarta, SMU Negeri 4 Surakarta dan menyelesaikan Program Sarjana di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga aktif berorganiasasi sejak SMP, tercatat sebagai Ketua OSIS SMP Al Islam 1 Surakarta, Ketua OSIS SMU Negeri 4 Surakarta, dan Ketua Harian Eksternal BKIM IPB. Saat ini penulis aktif sebagai direktur d’sainku advertising, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang disain visual media.

(9)

ix GLOSSARY

AUSAID Australian Aid

BIMAS Pembinaan Masyarakat CO Community Organizer

Cordaid Catholic Organisation for Relief and Development AID CPSM Community for Participatory Social Management CRP Community Recovery Programme

CRS Catholic Relief Services CSO Civil Socety Organization

CSRO Civil Society Resource Organization

DAP Development of Australian People (Australian Embassy) DD Dompet Duafa

Depkes Departemen Kesehatan FNS Friedrich Naumann Stiftung IAIN Institut Agama Islam Negeri

ICCO Inter-Church Organisation for Development Co-operation Inmendagri Instruksi Menteri Dalam Negeri

JAR Jejaring Aset Reform JAS Jejaring Aset Sosial

KSM Kelompok Swadaya Masyarakat KTNA Kelompok Tani Nelayan Andalan KUT Kredit Usaha Tani

LKTS Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial LPS Lembaga Pertanian Sehat

LPSM Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

NGO Non Government Oranization NPS Nematoda Pengendali Serangga NPV Nuclear Polyhedrosis Virus NU Nahdlatul Ulama

NZAID New Zealand Aid

NZODA New Zealand Overseas Development Agency OPT Organisme Pengganggu Tanaman

ORNOP Organisasi Non Pemerintah

P3S Program Pemberdayaan Pertanian Sehat P3S Program Pemberdayaan Petani Sehat PASTI Pestisida Hayati

PKL Pedagang Kaki Lima

PKM Pendidikan Keswadayaan Masyarakat

PPM Participation in Development Planning and Management Probis Produksi dan Bisnis

QC Quality Control RI Republik Indonesia SAE Sehat, Aman, Enak

SDC Swiss Development and Cooperation

(10)

x SDM Sumber Daya Manusia

SHO Self Help Organization SHPI Self Help Promoting Institute THK Tebar Hewan Kurban

TNC The Nature Conservation UPS Usaha Pertanian Sehat USAID United State Aid UU Undang-Undang

Walhi Wahana Lingkungan Hidup WCC Women Crisis Centre WWF World Wide Foundation

YBKS Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial YLKI Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ZISWAF Zakat, Infaq, Shadawoh dan Wakaf

(11)

xi DAFTAR ISI

Abstract ... iii

Ringkasan ... iv

Halaman Pengesahan ... vii

Prakata ... viii

Riwayat Hidup ... ix

Glossary ... x

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Matriks ... xv

Daftar Gambar ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 18

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 19

2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial ... 19

2.2 Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM ... 24

2.3 LSM dan Model Pengembangan Alternatif ... 30

2.4 Perubahan Berencana; Narasi Negara dan Sipil ... 32

2.5 Kerangka Pemikiran ... 33

2.6 Hipotesis Pengarah ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2 Unit Analisis ... 39

3.3 Strategi Penelitian ... 39

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 40

(12)

xii BAB IV

PROFIL LSM LPS DAN LKTS ... 43

4.1 Pengantar ... 43

4.2 Sejarah LSM ... 45

4.3 Lingkup Kerja LSM ... 47

4.4 Fokus Isu yang diangkat... 52

4.5 Mitra Donor LSM ... 54

4.6 Program Kegiatan ... 55

4.7 Struktur Organisasi ... 64

BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM ... 66

5.1 Pengantar ... 66

5.2 Sumber Dana LSM ... 71

5.3 Pengelolaan, Monitoring dan Evaluasi ... 80

5.4 Adaptasi keberlangsungan LSM dalam Pendanaan ... 85

BAB VI ANALISIS AKSI LSM LKTS DAN LPS ... 89

6.1 Pengantar ... 89

6.2 Aksi LSM mulai Insiasi hingga Monitoring ... 91

6.3 Aksi LSM LKTS ... 97

6.4 Aksi LSM LPS ... 110

6.5 Perbandingan Aspek Aksi LKTS dan LPS ... 121

BAB VII DINAMIKA INDEPENDENSI LSM DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR ... 123

7.1 Dinamika Pendanaan dan Ideologi LSM ... 123

7.2 Dinamika Aksi LSM dan Ideologi LSM ... 129

7.3 Pergeseran Orientasi Ideologi ... 131

7.4 Independensi LSM ... 137

(13)

xiii

7.5 Implikasi Studi ... 141

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

8. 1 Kesimpulan ... 144

8.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(14)

xiv DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman Tabel 1. Laporan Keuangan LKTS Tahun 2006

(Dilaporkan Tahun 2007) ... 72 Tabel 2. Laporan Keuangan LPS Tahun 2008 ... 77 Tabel 3. Perbandingan Sumber Dana LKTS Dan LPS

(Persentase) ... 79

(15)

xv DAFTAR MATRIKS

Nomor Teks Halaman

Matriks 1. Pengelolaan Dana LSM ... 84

Matriks 2. Strategi LSM Menjaga Keberlangsungan Dana ... 88

Matriks 3. Perbandingan Inisiasi, Aksi Dan Evaluasi LKTS Dan LPS ... 97

Matriks 4. Ikhtisar Program LKTS ... 108

Matriks 5. Ikhtisar Program LPS ... 120

Matriks 6. Dinamika Sistem Pendanaan Dan Ideologi LSM ... 126

Matriks 7. Dinamika Ideologi Dan Aksi LSM ... 131

Matriks 8. Pergeseran Orientasi Ideologi Independensi LSM ... 135

Matriks 9. Independensi LSM LKTS Dan LSM LPS ... 142

(16)

xvi DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan

Di Indonesia Tahun 1996-2008 ... 13

Gambar 2. Kerangka Pemikiran ... 36

Gambar 3. Alur Metodologi Penelitian Independensi LSM ... 42

Gambar 4. Proporsi Sumber Dana LKTS ... 74

Gambar 5. Proporsi Sumber Dana LPS... 78

Gambar 6. Alur Lembaga Donor Dan Pokok Kegiatan LKTS ... 82

Gambar 7. Alur Sumber Dana Dan Pokok Kegiatan LPS ... 84

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara berkembang dapat dipandang sebagai alternatif pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach) atau lebih dikenal dengan perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa yang disebut dengan pembangunan (Fakih, 2000). Modernisasi sebagai salah satu pendekatan pembangunan seringkali menempuh cara/mekanisme pertumbuhan sebagai strategi utamanya. Hal ini antara lain ditunjukkkan oleh diadopsinya Teori Rostow sebagai kerangka pembangunan. Teori ini menjelaskan adanya lima tahapan ekonomi dalam perkembangan suatu negara (Rostow, 1964). Dalam perjalanannya, teori ini telah menuai beragam kritik, diantaranya disampaikan oleh Frank (1973) dengan teori ketergantungan. Menurut Frank (1973), modernisasi ternyata membawa kemacetan ekonomi, krisis ekologi, serta kesengsaraan rakyat di dunia ketiga ketimbang kemajuan dan kemakmuran.

Menurut Fakih (2000) praktek-praktek pembangunan selama ini selalu menekankan pengalihan modal, perencanaan formal, spesialisasi, dan pengendalian oleh pemerintah pusat. Teori-teori pembangunan konvensional yang dijadikan dasar sangat menekankan pentingnya meletakkan tanggung-jawab pengendalian dan pengalokasian sumber-sumber pembangunan pada pemerintahan terpusat, karena dengan demikian dianggap akan dapat dihasilkan

(18)

2 pengambilan keputusan yang optimal tentang investasi. Billah (1988) mengatakan bahwa pendekatan sistem komando atas pengelolaan sumber-sumber ini lebih sering menghasilkan pemantapan sistem patronase dan membangun proyek- proyek ekonomi yang lembek, mengabaikan kemandirian, meningkatkan ketergantungan pada sumber-sumber luar, dan menggusur prakarsa lokal. Selain itu, pendekatan semacam ini cenderung mendorong ke arah otoritarianisme, dan pemusatan kekayaan dan kekuasaan politik. Sebagai tanggapan terhadap kecenderungan itu, kemudian muncullah suatu tuntutan agar pembangunan lebih berkiblat pada rakyat yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial yang mendukung pengembangan pengendalian, pertanggung-gugatan (accountability), prakarsa, dan kemandirian lokal.

Pengalihan modal dilihat sebagai bukan masalah yang paling utama, dan sebaliknya prioritas diutamakan pada proses demokratisasi. Rakyat didorong untuk memobilisasikan dan mengelola sumber-sumber mereka sendiri. Dengan pendekatan yang terdesentralisasikan dan penekanan pada kemampuan mengorganisasikan-diri untuk mengelola sumber-sumber pembangunan seperti itu, pada umumnya akan dihasilkan suatu pengelolaan sumber-sumber yang lebih effisien dan produktif, peningkatan prakarsa dan pertanggung-gugatan lokal, dan penguatan disiplin ekonomi. Pendekatan seperti yang disebut terakhir ini seringkali digunakan oleh LSM yang pada prakteknya cenderung memiliki minat yang kuat dalam demokratisasi (Korten, 1987).

Kegagalan penerapan modernisasi di Indonesia sudah selayaknya menjadi pelajaran berharga dalam menata kehidupan rakyat kedepannya. Pendekatan yang

(19)

3 mengagungkan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat secara lebih holistik hubungan manusia dengan alamnya telah nyata membawa kerusakan tidak saja pada alam tetapi juga telah dirasakan membawa petaka bagi manusia. Revolusi Hijau adalah contoh jalan yang baru kemudian diyakini telah merusak lingkungan dan tata sosial. Lenyapnya keanekaragaman hayati, resistensi hama, tanah jenuh karena overdosis pupuk dan hilangnya pola bertani yang ramah lingkungan adalah bukti bahwa kebijakan yang selama ini diambil salah.

Selain itu, secara sosiologi pendekatan yang selama ini dilakukan dalam menata kehidupan bernegara lebih bersifat top down (Sheperd, 1998). Masyarakat cenderung dibiarkan pasif, dimanjakan dan dipaksa untuk melaksanakan program yang berasal dari atas tanpa adanya usaha memandirikan mereka. Revolusi Hijau dengan swasembada beras sebagai icon keberhasilan pada era 80-an menjadi bukti bahwa pendekatan top down bukan strategi yang tepat bagi pembangunan di Indonesia. Untuk itulah diperlukan strategi pembangunan yang tepat.

Permasalahan pembangunan perdesaan sangatlah kompleks. Pada tataran paradigma pembangunan perdesaan, penekanan prioritas pemerintah terhadap pembangunan perdesaan masa lampau hanya kepada pembangunan pertanian yang goalnya semata-mata hanya menyediakan pangan, sehingga penekanan ini menciptakan banyaknya proyek-peroyek seperti; irigasi, gudang-gudang hasil produksi pertanian/ saprotan, pencentakan sawah, BIMAS dan KUT-KUT, yang semua proyek tersebut diikuti pula oleh kebijakan harga beras yang nilai tukarnya terhadap jenis komuditas lainnya relatif lebih rendah.

(20)

4 Pemerintah tidak mengalami kesulitan untuk menyediakan dana pembiayaan proyek-proyek pembangunan pada era tahun 70an hingga 90an, karena saat itu limpahan dollar yang mengalir ke pemerintah begitu dahsyatnya, berasal dari hasil nilai ekspor minyak dan gas bumi yang meningkat tiga kali lipat dari US$1,708 milyar menjadi US$5,153 milyar, selain itu adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan keuangan negara-negara luar, seperti misalnya penaman modal asing dan pinjaman hutan luar negeri. Jelas-jelas di depan mata, pemerintah berperan bagaikan ‘sinterklas’ dalam melaksanakan pembangunan (Billah, 2000).

Billah (2000) menjelaskan bahwa proyek-proyek tersebut di atas juga menjadi tanda tanya besar, jawaban dari kesemua proyek (wilayah pertanian dan wilayah pantai) adalah Proyek hanya menghasilkan fisik bagaikan yang terbengkalai.

Lebih ironis lagi bagi masyarakat perdesaan, mereka mengalami; keterbatasan kesempatan kerja, disparitas pendapatan, keseluruhan hasil komoditas (pertanian, perikanan, kerajinan) tidak berkembang dan perekonomian lokal tidak tumbuh dan berkembang, dengan demikian gol yang nyata adalah kemiskinan pedesaan.

Kejadian ini dikarenakan, model pendekatan dan pengelolaan pembangunan perdesaan oleh pihak pemerintah masa itu. Budiman (1998) menyebutkan adanya pola; otoriter instruksi, dominasi melalui birokrasinya, orientasi proyek, tidak mengotonomikan masyarakat perdesaan, dan tidak memperhatikan kerugian sosial dan kerugian sumberdaya alam.

Orientasi stabilitas yang dilanjutkan dengan orientasi pertumbuhan dalam pembangunan, dianggap pemerintah sebagai mekanisme pemerataan pendapatan,

(21)

5 ternyata tidak berfungsi sama sekali. Peningkatan pendapatan hanya terjadi di lingkungan pemerintah dan swasta pada masyarakat lapisan atas, dengan kata lain nikmat limpahan dollar yang mengalir begitu mengesankan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia, sedangkan sebagian besar lainya justru menderita proses pemiskinan. Jurang kesejahteraan antara masyarakat lapisan atas dengan masyarakat lapisan bawah jelas-jelas semakin dalam dan melebar. Salah satu dari banyaknya kompleksitas permasalahaan yang menjadi tema sentral adalah kemisikinan struktural. Inti dari kemiskinan struktural adalah relasi antara suatu subyek dengan suatu obyek dan antara subyek dengan subyek yang merupakan bagian dari suatu sistem. Jadi permasalahan struktural adalah masalah kondisi dan posisi subyek - subyek/obyek -obyek dari struktur yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan/sistem dan fungsi dari komponen tersebut dalam keseluruhan fungsi dari sistem.

Apabila masing-masing subyek dan obyek memiliki posisi dan kondisi yang timpang terwujud dalam pola relasinya, maka struktur tersebut dikatakan tidak adil. Ketidakadilan struktural ini semakin diperkuat lagi oleh sifat kemakmuran yang kumulatif. Artinya kemakmuran akan semakin menumpuk di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki otoritas, modal, pengetahuan dan keterampilan, sehingga orang-orang yang tidak memilikinya semakin kehilangan kesempatan untuk menikmati kemakmuran tersebut. Dengan demikian kemiskinan timbul sebagai produk dan ketidakadilan struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang berlaku. Kemiskinan adalah buatan oleh manusia, dari manusia dan terhadap manusia.

(22)

6 Ketimpangan-ketimpangan struktural tidak hanya menghalangi perkembangan suatu ekonomi nasional saja, tetapi juga akan memantapkan struktur ketidakadilan itu sendiri. Jadi, pembangunan perdesaan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata hanya bersifat asistensialisme, yaitu lebih merupakan penghapusan gejala-gejala yang diperbanyak dengan show ke seantero dunia, sama sekali bukan penanganan sebab-sebab dari problema-problema yang dihadapi masyarakat.

Artinya usaha pembangunan yang semata-mata mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi justru memantapkan, melangsungkan dan mempertajam ketimpangan-ketimpangan struktural yang sudah pasti tidak akan pernah menciptakan partisipasi, bahkan masyarakat menjadi statis, apatis dan tidak berdaya.

Wacana pembangunan yang peduli pada lingkungan dan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akar rumput muncul sebagai kritik atas kondisi di atas. Pembangunan yang mementingkan aspek ekologi dan aspek sosial selain ekonomi, akan membawa pada kondisi yang lebih ideal. Diperhatikannya aspek lingkungan dan masyarakat yang berdaya diyakini akan memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan pembangunan (sustainable development). Sehingga kemajuan dan kemakmuran rakyat yang dicita-citakan itu dapat terwujud (Budiman, 1988).

Shepherd (1998) mengkritik pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara yang cenderung top down, perlu adanya kelompok sosial yang mampu menggerakkan komunitas sehingga berdaya dimana publik mengenalnya sebagai

(23)

7 organisasi gerakan sosial. Gerakan masyarakat sipil yang memperkuat entitas ini berhadapan dengan pasar dan negara. Gerakan sosial yang terorganisir dengan baik, dimana rencana aksi kolektif mewujud dalam perancangan kegiatan nyata pada masyarakat akar rumput, diantaranya ditunjukkan oleh gerakan sosial akar rumput, yang dikenal luas sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia pada tahun 1970 sangatlah mengesankan bila ditinjau dari jumlah, keragaman, dan letak geografinya (Fakih, 2000). Sebagai kekuatan yang bekerja di akar rumput, LSM mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor yang melayani perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil. LSM dengan isu lingkungan hidup mengalami perkembangan yang sangat cepat. World Wide Foundation (WWF) misalnya, LSM yang didirikan di Switzerland pada tahun 1961 dengan kantor kecil dan staf hanya 25 orang pada tahun 70an, pada tahun 1980 sudah tumbuh menjadi 300 staf dan pada tahun 2004 LSM ini sudah mempekerjakan lebih dari 4000 staf yang tersebar di 90 negara (Chapin, 2004). Begitupula jika menyimak perkembangan TNC (The Nature Conservation), sebuah LSM yang fokus pada isu konservasi.

LSM ini didirikan pada tahun 1951 dan pada tahun 1970 sudah berkembang ke 50 negara (Chapin, 2004). Tidak sekedar jumlah, besarnya perputaran uang pada lembaga ini juga tidak kalah kecil, WWF melaporkan pada tahun 2003 pemasukan lembaga ini mencapai $380 juta (sekitar 3,4 trilyun rupiah). TNC lebih besar lagi, pada tahun 2000 perputaran uang mencapai $786,8 juta (sekitar 7,2 trilyun rupiah) sehingga dijuluki world’s richest conservation organization (Chapin, 2004).

(24)

8 Di Indonesia, pertumbuhan jumlah LSM, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan diskursus pembangunan. Sehingga pembahasan tentang LSM juga tidak dapat dipisahkan dengan wacana yang terkait dengan struktur negara (Eldrigde, 1989).

Keberadaan LSM sebagai bagian dari ranah sipil (Civil Sphere) akan berkaitan pengaruh dengan ranah negara (State Sphere) dan ranah pasar (Market Sphere) seperti yang dijelaskan oleh Bebbington dalam

Dalam dasawarsa-dasawarsa terkahir ini, ketika pembangunan di berbagai negara- berkembang mulai dan terus digalakkan, peran LSM dilihat semakin meningkat (Drabek, 1987), dan bahkan Chambers mengenalkan konsep additionally untuk menggambarkan sumbangan potensial dari LSM bagi proses pembangunan. Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tanpa mempertimbangkan dampak yang luas akan tetapi kemudian terjadi pergeseran

Dharmawan (2002).

Hasil studi tentang LSM sudah cukup banyak, kaitannya dengan struktur negara dan cakupan wilayah kerja LSM. Nordholt (1987) membagi LSM menjadi tiga tipe, yaitu: LSM Besar (Big NGO), LSM menengah (Regional NGO), dan LSM Lokal (Local NGO). Menurut Nordholt (1987), Semakin besar cakupan wilayah LSM, maka akses ke lembaga-lembaga besar (termasuk didalamnya struktur pemerintah dan pasar) akan semakin mudah. Hal ini akan berimplikasi pada kekuatan nilai tawar dan akses dana. Sementara, LSM kecil pada kondisi ini sebaliknya, LSM kecil memiliki posisi tawar yang rendah dan akses pendanaan yang terbatas.

(25)

9 yang mendasar yakni bahwa LSM tidak lagi hanya berupaya memenuhi kebutuhan kelompok miskin melainkan juga membantu mereka untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek, 1987).

Meskipun tujuan dan kegiatan serta pengalaman LSM sangat beranekaragam, sehingga terasa sangat sulit untuk diklasifikasikan (Korten, 1987), akan tetapi LSM Indonesia, menurut Eldridge (1995), memiliki ciri-ciri umum yang kurang lebih sama, yakni antara lain: (1) orientasi mereka kepada penguatan kelompok- kelompok komunitas sebagai basis dari masyarakat dan sebagai pengimbang bagi pemerintah; (2) pada umumnya ada komitmen yang kuat terhadap cita-cita partisipasi rakyat di dalam pengambilan keputusan; (3) adanya satu komunitas LSM di Indonesia, dengan banyak hubungan-silang antar pribadi dan kelembagaan, yang saling mendukung, terdapat pertukaran gagasan dan sumber- daya, yang memberikan potensi pada satu tujuan bersama pada berbagai tingkat.

Hubungan-silang itu dilatar belakangi oleh bentuk dan skala organisasi serta keaneka-ragaman kegiatan LSM. Hal yang disebut terakhir ini seringkali dianggap sebagai kekuatan komunitas LSM, tetapi sekaligus juga kelemahannya (Eldrige, 1995). Hasil utama yang dicapai oleh LSM pada tingkat makro adalah pemunculan issues dari pengalaman lapangan mereka menjadi agenda politik nasional. LSM juga menyampaikan refleksi dan lebih mengartikulasikan kepedulian umum pada lingkungan hidup, hak-azasi dan demokratisasi. Dampak dari kegiatan LSM yang mempunyai makna politis terlihat pada keseluruhan

(26)

10 keseimbangan kekuatan antara kelompok-kelompok sosial dan ekonomi, pemerintah Indonesia dan berbagai agen-agennya. Sampai derajat tertentu LSM menunjukkan kapasitasnya dalam meningkatkan kemandirian pengelolaan organisasi berbagai kelompok yang kurang beruntung, dan memberikan kemampuan kepada kelompok-kelompok itu untuk menghadapi aparat pemerintah dan kekuatan lain yang sangat kuat dalam kedudukan sederajat; singkat kata mereka melayani kepentingan untuk memperkuat masyarakat.

Beberapa kajian tentang LSM di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan berbagai kategorisasi juga telah dilakukan. Korten (1987) menggunakan 7 variabel untuk membuat kategorisai LSM di Indonesia, dan hasilnya menunjukkan tiga generasi LSM. CPSM (1993) dan Fakih (2000) cenderung menggunakan pembeda yang kurang lebih sama, yakni segi-segi 'ideologis', sehingga menghasilkan LSM ' developmentalis', LSM 'reformis’, dan LSM 'transformatorif. Eldridge, (1989) dengan menggunakan empat kriteria, mengemukakan tiga kategori pokok LSM dan satu kategori tambahan berdasarkan perkembangan mutakhir. Tiga kategori pokok itu adalah (a) 'High level Cooperation-Grass-roots Development, (b) 'High level Politics-Grass-roots Mobilization, (c) 'Empowerment from below', dan (d) yang lebih radikal (Eldridge, 1989) Sedangkan Uhlin (1997), mengidentifikasikan empat ciri ideologi dasar, yaitu radikal, liberal, konservatif dan Islam. Drabek (1987) dan CPSM (1993) melihat posisi LSM vis-a-vis negara.

Dalam konteks pembahsan mengenai LSM, Negara bukanlah hanya sekedar pemerintah tetapi sebagai satu sistem administratif, legal, birokratik dan paksaan

(27)

11 yang berkesinambungan. Satu negara tidak selalu unitary atau monolitik. Setiap negara terdiri dari berbagai bagian, seperti eksekutif, administrasi yang permanen, peradilan (judiciary), aparat pemaksa (coersive). Elite strategis yang ditugasi sebagai aparat negara pada kenyataannya mengontrol semua bagian komponen dari negara secara bervariasi (Stepan, 1978). Pada dasarnya, ada dua pandangan dikotomis LSM tentang negara, yaitu: (a) 'organic stateism', menyatakan bahwa negara otonom (atau hampir sepenuhnya otonom) yang memiliki peran sentral di dalam polity (masyarakat politik), bahwa negara mengatur masyarakat, dan (b) pandangan liberalist pluralist, dan pandangan Marxists mana negara diperlakukan sebagai dependent variable sehingga negara hanya sedikit memiliki kebebasan dan peran di dalam politik, karena masyarakatlah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur negara.

Meskipun belum ada kajian khusus dan mendalam tentang bagaimana pandangan LSM terhadap negara, akan tetapi ada tanda-tanda awal yang dapat dijadikan petunjuk sementara adanya tiga cara bagaimana LSM memandang negara. LSM yang menganut organic stateism dan/atau corporate stateism adalah, menurut kategorisasi CPSM, (1) LSM yang menganggap dirinya sebagai bagian integral dari pemerintah dan (2) LSM yang menganggap dirinya sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok LSM ini tidak memberi perhatian pada demokrasi, karena kesengsem (ideologically occupied) oleh developmentalisme, dan tetap percaya pada bureaucraticpolity, serta tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan bahkan juga pergeseran kontrol dari sistem yang ada (Eldrige, 1990). LSM yang menganut paham liberalist pluralist pada intinya berpendapat

(28)

12 bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang mengejar kepentingan ekonomi (pertumbuhan modal), sosial (status), dan politik (power) mereka sendiri-sendiri. Negara diberi tugas berbeda, yaitu: (a) melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan dari masyarakat lain, (b) melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidak-adilan dan penindasan dari anggota lain, (c) melakukan dan memelihara pekerjaan dan lembaga-lembaga publik yang tidak dilakukan oleh orang karena tidak profitable (Stepan, 1978).

Kelompok LSM radikal menyatakan bahwa negara adalah alat kekuasaan dari kelas dominan untuk menindas, atau negara adalah alat pemaksa (coercive instrument) dari kelas dominan. Negara pada awalnya muncul sebagai satu alat paksaan yang diperlukan (a necessary means of coertion) ketika terjadi pembagian kerja, dan pada gilirannya menjadi alat penindasan (instrument of oppression) sampai dengan terbentuknya masyarakat nirkelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus, dan perbedaan kelas hilang, kebutuhan akan negara sebagai alat penindasan sudah tidak ada lagi, sehingga pada tingkat ini negara tidak lagi diperlukan karena pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri.

Pertumbuhan LSM yang demikian cepat dengan keragaman fokus isu yang diangkat (Fakih, 2000. Nordholt, 1986. Eldridge, 1987) bila bandingkan dengan data angka kemiskinan BPS dari tahun 1996-2008 (BPS, 2008), peningkatan jumlah LSM tidak berpengaruh (lihat Gambar 1).

(29)

13

Tahun 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Prosentase 17,47 24,23 23,43 19,14 18,41 18,2 17,42 16,66 15,97 17,75 15,42 16,58

Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 1996-2008

Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa peningkatan jumlah LSM tidak diikuti dengan hasil nyata turunnya angka kemiskinan. Padahal isu kemiskinan adalah isu yang paling banyak menjadi fokus kegiatan LSM di Indonesia (Korten, 1987).

Angka kemiskinan pada tahun 1996 sampai dengan menunjukkan kondisi yang relatif tetap, sempat ada kenaikan pada tahun 1998 tetapi bisa dipahami karena pada tahun terebut terjadi krisis ekonomi di Indonesia, dan kemudian terjadi penurunan akibat meredanya krisis. Kondisi ini menarik untuk dicermati, di satu sisi LSM dengan fokus isu kemiskinan berkembang sangat pesat di Indonesia tetapi selama itu tidak terjadi penurunan angka kemiskinan. Sehingga muncul pertanyaan kritis mengenai hasil kinerja LSM sebagai agen pembangunan alternatif yang mengalami kesenjangan antara tujuan dan kenyataan yang ada.

Salah satu pendekatan untuk memahami masalah ini adalah dengan merujuk hasil penelitian dari Ufford dan Giri (2002) mengenai praktik agen pembangunan

0 5 10 15 20 25 30

th 1996 th

1998 th 1999 th

2000 th 2001 th

2002 th 2003 th

2004 th 2005 th

2006 th 2007 th

2008

(30)

14 alternatif yang tidak memiliki konsistensi dalam memperjuangkan visi dan idealismenya, melainkan hanya menjadi pelaksana kekuatan lain yang lebih besar.

Secara ideal LSM adalah organisasi yang muncul dari ranah sipil yang tentunya memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, 2000. Budiman, 1988. Hannam, 1988.), tetapi pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002).

Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Pada titik inilah penulis melihat ada relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor.

1.2 Perumusan Masalah

Modernisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, telah dijalankan oleh Bangsa Indonesia dalam membangun. Pembangunan pedesaanpun tidak lepas dari strategi ini. Shepherd (1998) menyebutnya sebagai paradigma lama pembangunan pedesaan (old paradigm of rural development).

Dharmawan (2002) memberikan ilustrasi pendekatan pembangunan ini sebagai pendekatan yang sarat dengan pesan-pesan ekonomi, pertumbuhan, perubahan nilai budaya lokal, westernisasi, dan investasi modal. Yang pada akhirnya, secara

(31)

15 nyata telah membawa akibat buruk pada tata kehidupan sosial dan rusaknya lingkungan.

Perkembangan LSM di Indonesia yang sangat cepat tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam proses pengentasan kemiskinan. Secara ideal LSM adalah organisasi dengan kesadaran dan semangat kesukarelaan yang muncul dari ranah sipil yang memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, 2000. Budiman, 1988. Hannam, 1988.), tetapi pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002).

Petras dan Veltemeyer (2002) mengemukakan sebagai berikut:

“Ornop-ornop di seluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan profesional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ 40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan yang sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga di tangan pembanru dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu di tempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang sering mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada di kampung-kampung berlumpur di negara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘profesional’

yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuanyya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan”

Pernyataan diatas menyiratkan fakta dilapangan yang jauh dari idealisme LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit yang mengambil

(32)

16 keuntungan sebesar-besarnya di tengah penderitaan rakyat sipil yang diperjuangkann. Lebih lanjut Petras dan Veltmeyer (2002) mengatakan:

“Para pemimpin Ornop bisa dipandang sebagai semacam kelompok neo- komprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk negara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi”

Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu pembangunan, tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM yang hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil.

Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor.

Walhi sebagai sebuah LSM lingkungan yang berdiri 15 Oktober 1980 adalah organisasi yang dari awal memposisikan diri mengambil jarak dengan pemerintah.

Walhi lebih banyak mendapatkan dana dari donor internasional dari United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AusAID), Novib, OXFAM, Asia Foundation , EZE.

Belgium’s National Center for Development Cooperation (NCOS), Department for International Development Agency (CIDA) dan lain-lain (Walhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk menjamin independensinya dengan pemerintah selama orde

(33)

17 baru, Walhi menyadari bahwa dana-dana dari pemerintah tidak akan lepas dari kepentingan, sehingga donor asing menjadi pilihan. Dengan posisi ini Walhi ingin mengambil posisi kritis dan independen terhadap pemerintah.

Pada akhir tahun 2000, Walhi membuat perencanaan jangka panjang yang bertolak belakang dari kebijakan awal. Bentuk perencanaannya adalah Walhi akan mulai mengalihkan sumber pendanaan dari donor asing (yang saat itu mencapai 90 persen) menuju dana lokal dari masyarakat lewat kegiatan-kegiatan partisipatif.

Perubahan kebijakan ini didasarkan pada pengalaman selama bemitra dengan donor asing dan tarik menarik kepentingan LSM dan donor. (Culla, 2006). Kasus Walhi memberikan gambaran bahwa LSM adalah agen pembangunan alternatif yang dinamis dengan tarik-ulur kepentingan baik dari negara, swasta maupun sipil. Perjalanan Walhi, Penjelasan Petras dan Veltmeyer (2002) tentang LSM, mengetengahkan hangatnya pembahasan mengenai isyu subordinasi kekuasaan LSM dibawah donor dan subordinasi kepentingan, isyu infiltrasi kekuasaan asing, dan komodifikasi gerakan.

Pada titik inilah tampak adanya relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor. Pertanyaan yang muncul adalah apakah LSM memang akan memilih menjadi agen yang memberdayakan, atau sekedar menjadi kepanjangan tangan dari pemberi donor.

Hal ini yang perlu diungkap sebagai bagian dari bentuk hubungan LSM dengan donor pada aspek-aspek yang dapat diteliti. Penelitian ini ingin melihat keragaan

(34)

18 independensi LSM dalam konstelasi kepentingan donor, dengan menjawab rumusan pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi?

2. Apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi.

2. Mengetahui apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM.

(35)

19

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial

Dinamika penguatan potensi ranah sipil, pada hakikatnya adalah proses menuju menuju masyarakat sipil yang berdaya. Untuk mencapai keberhasilan menggalang potensi sipil, organisasi gerakan sosial adalah agen potensial dalam mewujudkannya (Fakih 2000). Wood dan Jackson dikutip

Dalam pendapat ini terdapat penekanan pada aspek pengorganisasian, dimana Stzompka (1993) dan Martell (1994) mempunyai gagasan yang sebaliknya. Dalam perkembangannya, gerakan sosial membutuhkan pengorganisasian yang dapat menjamin keberhasilan, kontinuitas, dan efisiensi pencapaian tujuan. Masuknya aspek organisasi dalam proses gerakan sosial, politik dan ekonomi membawa akibat pada formalisasi gerakan. Pada saat itulah, publik mengenal apa yang kemudian dikenal sebagai social movement organization, dimana LSM menjadi salah satu bagiannya (Jenkins, 1983).

oleh Fakih (2000) memberikan deskripsi tentang organisasi gerakan sosial sebagai berikut:

Kelompok tak konvensional yang memiliki beragam derajat organisasi formal dan yang berusaha untuk menghasilkan atau mencegah bentuk perubahan radikal ataupun reformis.

LSM adalah wujud konkret organisasi gerakan sosial, LSM adalah lembaga yang bukan bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan antar permerintah. LSM difahami sebagai organisasi gerakan sosial yang menjadi pelopor terciptanya sebuah gerakan sosial untuk perubahan sosial.

(36)

20 Sedangkan organisasi gerakan sosial sebagaimana dijelaskan oleh Zald dan McCarhty dalam Fakih (2000) adalah sebagai berikut:

Kelompok yang memiliki kesadaran diri yang bertindak inconcerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim penentang dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain dengan klaim-klaim tersebut. "

Lahirnya LSM dilatarbelakangi kondisi dimana pemerintah tidak dapat menjangkau seeara keseluruhan kebutuhan-kebutuhan rakyat. Sehingga perlu adanya pihak yang mengatasi masalah tadi. Tetapi tidak cukup sampai pada kondisi tersebut, kehadiran LSM juga dipandang sebagai bentuk penyeimbang dari pemerintah atas kekuatan rakyat. Dengan batasan di atas LSM merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak untuk menciptakan perubahan sosial (Budiman, 1988).

Di Indonesia, istilah LSM baru muncul pada tahun 1978. Sebelumnya konsep LSM, lebih dikenal dengan nama Non Govermental Organization (NGO) atau ORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Dalam perkembangannya, istilah non pemerintah dianggap kurang pas dengan situasi yang ada, kata "non" berlawanan dengan kata "ko", dimana kata "non" berkonotasi tidak mau bekerjasama dengan pemerintah (Ismawan, 2002).

Dalam situasi yang demikian, kemudian dicari suatu istilah yang tepat untuk menggantikan ORNOP. Merujuk pada Kementrian Kerjasama pembangunan Jerman Barat, maka istilah yang dipakai oleh lembaga ini adalah Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO). Pada tahun 1978, Sayogyo kemudian memperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya

(37)

21 Masyarakat (LPSM) sebagai pengganti SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengganti SHO (Ismawan. 1999).

Sugiyanto (2002) melihat setidaknya ada tiga latar belakang lahirnya lembaga- lembaga non pemerintah di Indonesia. Pemerintah Orde Baru melandaskan strategi pembangunannya pada:

1. Pendekatan teknokratis dengan birokrasi dominan.

2. Sangat menekankan pendekatan top down.

3. Keterbatasan memberikan peluang partisipasi masyarakat.

Ketiga hal inilah menurut Sugiyanto (2002), sebagai penyebab adanya keinginan masyarakat untuk mencari altematif lembaga sosial yang mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan kesejahteraan. Aspirasi ini yang kemudian mewujud dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Istilah LSM didefinisikan lebih tegas lagi dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 (dikutip dari, Ismawan, 2002) yang disebutkan sebagai:

LSM merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan fungsi yang diminati oleh lembaga yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih berdayaguna agar LSM, sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan, dapat meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat tersebut melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasi masyarakat tersebut, melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasinya demi tercapai sasaran pembangunan nasional baik di pusat maupun daerah.

Hyden seperti dikutip oleh Siregar (1988) menyimpulkan lima kepentingan LSM:

1. NGOs are much closer than the government to the poorer section of society.

2. NGOs staff are normally highly motivated and altruistic in their behaviour

(38)

22 NGOs operate economically

3. NGOs is their flexibility, a quality that stems from smallsize and the decentralized nature of decission making structurals.

4. NGOs independent from the government which gives an opportunity to develop demands for public sevices and resources and thus facilitate to work or individual government departements in rural areas.

Williams seperti dikutip oleh Hannam (1988) mengajukan tiga karakteristik LSM sebagai berikut:

1. Organisasi dibentuk bukan atas inisiatif pemerintah dan berorientasi non profit.

2. Bebas dari pemerintah dan organisasi lainnya dalan menyusun prioritas kegiatannya.

3. Membatasi kegiatannya terutama pada kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan pembangunan kemasyarakatan.

Budiman (1988) berpendapat bahwa LSM merupakan bentuk lembaga yang menjadi wahana bagi masyarakat kelas menengah untuk mengembangkan masyarakat pedesaan dan membawa perubahan sosial di dalamnya. Perkembangan LSM menurut Budiman (1988) telah memberikan efek positif terhadap perkembangan politik pedesaan, membuka daerah-daerah terisolasi dari kemajuan peradaban.

Penjelasan tentang LSM, Hannam (1988) memberikan gambaran tentang pendekatan pengembangan masyarakat. LSM mempunyai metode yang lebih partisipatif dalam mengembangkan masyarakat di tingkat grass root. Menurut Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) fenomena LSM adalah

(39)

23 cermin dari kekecewaan atas pendekatan top down yang selama ini dilakukan.

Sehingga Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) memahami LSM.

Sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan ditingkat grass root. Hal ini biasa diejawantahkan dalam bentuk penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Budiman (1988) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai oleh LSM adalah menjadikan kelompok-kelompok lokal mempunyai kemandirian.

Seperti dikutip oleh Hannam (1988), Ralston menjelaskan lima peranan penting LSM dalam mengembangkan masyarakat. Kelima hal tersebut adalah:

1. Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal dan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Melakukan mobilisasi dan agitasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhan- kebutuhan yang telah diidentifikasi sebelumnya.

3. Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan lebih umum.

4. Menghasilkan dan memobilisasi sumber daya lokal dan ekstemal untuk kegiatan-kegiatan pembangunan pedesaan.

5. Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

Beberapa konsep pemahaman tentang LSM diatas, secara umum dapat dipahami sebagai konsep yang ‘seragam’ dan saling melengkapi. Konsep tentang LSM mengacu pada bentuk lembaga non profit yang berkiprah di akar rumput (grass root) untuk mengembangkan masyarakat dengan pendekatan bottom up. Menurut Budiman (1988) pendekatan pengembangan masyarakat dengan pendekatan

(40)

24 bottom up akan melahirkan kemandirian dan keberlanjutan. Masyarakat lebih merasakan dan merasa memiliki program, dibandingkan dengan pendekatan top down yang cenderung memaksa, dan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal (Hannam, 1988).

2.2 Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM

Perspektif ketergantungan memberikan arahan untuk memperbanyak hubungan alternatif untuk mengatasi ketergantungan. Teori ini pada mulanya adalah teori struktural yang menelaah jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.

Teori struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di negara dunia ketiga yang mengkhusukan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah.

Teori ini berpangkal pada filsafat materialisme yang dikembangkan Karl Marx.

Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang lahir dari 2 induk, yakni seorang ahli pemikiran liberal Raul Prebiesch dan teori-teori Marx tentang imperialisme dan kolonialisme serta seorang pemikir marxis yang merevisi pandangan marxis tentang cara produksi Asia. Ada 6 (enam) inti pembahasan teori ketergantungan:

1. Pendekatan keseluruhan melalui pendekatan kasus. Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini.

(41)

25 2. Pakar eksternal melawan internal. Para pengikut teori ketergantungan tidak

sependapat dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos.

Sebaliknya ada yang menekan factor internal yang mempengaruhi/

menyebabkan ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto.

3. Analisis ekonomi melawan analisi sosiopolitik. Raul Plebiech memulainya dengan memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi kemudian berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran.

4. Kontradiksi sektoral/regional melawan kontradiksi kelas. Salah satu kelompok penganut ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional. Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas, seperti Cardoso.

5. Keterbelakangan melawan pembangunan. Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam konteks ketergantungan.

6. Voluntarisme melawan determinisme. Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada

(42)

26 sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah penganut teori voluntaristik.

Asumsi dasar teori ketergantungan ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.

Terdapat beberapa asumsi dasar dalam perspektif dependensi yang disampaikan oleh beberapa ahli. Frank (1973) menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara.

Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara

(43)

27 penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme.

Pembangunan ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut. Frank (1973) menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :

1. Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.

2. Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer”

yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara pusat. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara

“pusat-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.

3. Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat.

(44)

28 4. Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan

kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.

5. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.

Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan- aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin.

Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”.

(45)

29 Tesis yang diajukan oleh santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.

Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.

Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi disampaikan oleh Galtung (1980). Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi (CC-CP). Ditambahkan Frank, bahwa daerah desa yang terbelakang akan menjadi penghalang untuk maju bagi negara bersangkutan. Struktur kapitalisme juga dapat dikaitkan dengan Cardoso (1982)

(46)

30 tentang dependensi ekonomi. Ketergantungan ekonomi terjadi melalui perbedaan produk dan kebijakan hutang yang menyebabkan eksploitasi finansial.

Dalam pendekatan gerakan sosial, perspektif ketergantungan melihat hubungan- hubungan yang dominan dan eksplotatif perlu untuk direkonstruksi secara struktural. Dalam konsteks Indonesia, mulai masa orde baru terjadi pendekatan yang dominan oleh negara. Praktik pendekatan pembangunan seperti ini nyata- nyata telah gagal mengantarkan bangsa Indonesia menuju kesejahteraan dan menimbulkan ketergantungan dalam pembangunan. LSM adalah agen pembangunan alternatif yang secara struktural memberikan alternatif hubungan yang lebih memperkuat posisi masyarakat sipil. Dengan munculnya agen pembangunan alternatif, masyarakat sipil dimungkinkan untuk bisa melakukan proses pembangunan sendiri tanpa ada ketergantungan dengan negara. Masyarakat sipil bisa melakukan proses tersebut dengan inisiatif, pelaksanaan dan evaluasi secara mandiri.

2.3 LSM dan Model Pengembangan Alternatif

Dalam konteks situasi, kondisi dan hasil pembanguan perdesaan yang lebih menekankan pendekatan top down eksistensi LSM memiliki relevansi dan urgensi yang cukup mendasar untuk melakukan pengembangan alternatif, sebab berbeda dengan pemeintah dalam: proses, metode, program dan gerakan dalam:

1. Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal dan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan hasil identifikasi.

2. Melakukan mobilisasi dan persuasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhan-

(47)

31 kebutuhan kelompok yang telah diidentifikasi.

3. Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan perdesaan yang lebih esensial.

4. Menghasilkan dan memobilisasi sumberdaya lokal atau eksternal untuk kegiatan pembangunan perdesaan.

5. Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan desa.

Peranan LSM dalam melakukan proses, metode. Program dan gerakan tersebut menekankan persepsi:

1. Bahwa masyarakat perdesaan bukan hanya sekadar sebagai sumber energi, tetapi juga merupakan sumber informasi. Informasi yang dimiliki masyarakat berupa aset mendesak bagi keberhasilan program pengembangan perdesaan, terlebih pada tahap perencanaan. Persepsi ini dilandaskan pada fakta bahwa hanya masyarakatlah yang paling mengetahui dan kebutuhannya sendiri.

2. Bahwa pengembangan perdesaan tidak hanya berarti mengatur saja, tetapi juga berarti membantu masyarakat untuk memecahkan problema-problema pengembangan perdesaan yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri.

3. Bahwa masyarakat perdesaan pada hakekatnya bukanlah sifat statis, apatis dan fatalistis, yang mewujud dalam sistem panutan (paternalisme). Sebab kepaternalismean masyarakat perdesaan muncul karena mereka tidak diberi ruang dan peluang untuk secara otonom dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, sikap manut adalah akibat keterbelakangan dan kemiskinan struktural yang diciptakan.

4. Bahwa masyarakat perdesaan di Indonesia adalah heterogen, baik dilihat dari segi ekologis, sosiologis maupun dari segi kultural. Dengan demikian; pola, metode dan strategi pengembangan perdesaan yang seragam (uniform) pada akhimya akan mematikan dinamika, kreativitas dan oleh karena itu daya-daya

(48)

32 inovatif masyarakat perdesaan itu sendiri. Uniformitas ini akan mencekik partisipasi dan keswadayaan mereka.

5. Sudah terbukti berdasarkan pengalaman selama ini bahwa persistensi eksistensi masyarakat desa menunjukan adanya satu kemampuan yang tinggi untuk mempertahankan diri dalam menghadapi dan mengatasi problema- problema mereka sendiri. Oleh karena itu persepsi bahwa masyarakat perdesaan tidak produktif karena miskin materi adalah tidak benar sama sekali.

6. Bahwa sifat hubungan antara LSM dengan masyarakat perdesaan (kelompok mitra kerja) adalah dialogis dan rembug strategis. Artinya, antara pihak-pihak yang berhubungan terdapat kesamaan derajat. LSM yang datang ke perdesaan bukanlah atasan atau pimpinan masyarakat perdesaan (kelompok mitra kerja), demikian pula sebaliknya. Hubungan dialogis dan rembug strategis ini tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar tindakan LSM untuk "menabungkan"

gagasan-gagasannya kepada masyarakat perdesaan, atau sekedar sebagai sebuah pertukaran gagasan untuk "dikonsumsikan" oleh masyarakat perdesaan atau LSM. Sebagai satu hubungan horizontal, maka dialog harus pula didasarkan kepada adanya keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya (yang bukan hak istimewa kelompok elit, tetapi hak kelahiran semua insan manusia).

2.4 Perubahan Berencana; Narasi Negara dan Sipil

Kebanyakan dari batasan-batasan selalu ditemukan dalam Negara-negara berkembang dan sangat membatasi percobaan dengan Participation in Development Planing and Management (PPM) –(Garcia, 1985):

1. Sebuah sistem politik terpusat yang memandang inisitif lokal dengan beberapa kecurigaan.

2. Sebuah mekanisme yang teliti dalam pengawasan yang ketat terhadap

(49)

33 perencanaan nasional yang terkait utnuk pengalokasian sumberdaya yang langka, dimana prioritas politik berperan penting.

3. Birokrasi nasional cenderung mengesampingkan metode partisipatif sebagai sebuah hambatan/rintangan ekonomi dalam skala yang diinginkan.

4. Kecenderungan yang belum teruji dari PPM sebagai fasilitator pembangunan.

Birokrasi telah sungguh-sungguh meragukan sebuah aktivitas kerja dengan baik dalam sebuah kampung/desa kecil dapat menjadi sama efektifnya sebagai bagian dari program seluruh negeri.

5. Tidak adanya koordinasi pada tingkat nasional dimana pemerintah tidak segera mampu untuk merumuskan strategi pembangunan terpadu.

6. Tidak adanya koordinasi pada level nasional dimana tidak ada mekanisme formal untuk agen pembangunan untuk diskusi antara masukan teknik dan fisik yang ada dengan program mereka, berdampak pada program-program untuk aktivitas lain masing-masing atau beberapa urutan dari aktivitas yang dapat membuat tugasnya lebih mudah.

7. Pada akhirnya terdapat pemisah antaran pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Pada negera-negara berkembang, banyak sumberdaya pemerintahan terkonsentrasi pada ibukota Negara. Pada umumnya terdapat kekurangan/kelangkaan tenaga kerja, bahkan dengan pelatihan pekerja dengan baik, dalam wilayah Negara lainnya. Jurang pemisah antara pemerintahan nasional dan lokal ini dalam Negara berkembang secara konstan meluas sebab tidak adanya jaringan komunikasi modern.

2.5 Kerangka Pemikiran

Konstelasi kekuasaan dalam proses pembangunan menurut Bebbington dikutip oleh Dharmawan (2002) mengenal tiga ranah yang saling mempengaruhi.

Masyarakat sipil akan terwujud apabila ranah sipil mempunyai kekuatan .untuk menggeser hegemoni negara dan hegemoni pasar. Usaha memperkuat posisi ruang

Gambar

Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 1996-2008
Gambar 3. Alur Metodologi Penelitian Independensi LSM  Metode Penelitian“Parameter”Fokus kajianPenelitianIndependensi
Tabel 1. Laporan Keuangan LKTS Tahun 2006 (dilaporkan tahun 2007)
Tabel 2. Laporan Keuangan LPS Tahun 2008
+5

Referensi

Dokumen terkait

(stengiasi pasiūlyti naujų idėjų užduotims atlik­ ti; siekia rasti originalių būdų įgyvendinti šias idėjas; išradingai, nesutrikdamas veikia kiekvie­ noje situacijoje;

Men Mengan gangka gkat bend t benda kerj a kerja dari ai a dari air, dan d r, dan diam iamkan be kan benda k nda kerja s erja supa upaya ya kering terkena udara atau bisa juga

Sejumlah pasal tentang hak asasi manusia terlihat pula di luar Bab XIA (terdapat 8 substansi hak); (ii) UUD 1945 pasca amandemen telah mengadopsi jauh lebih banyak dan

Perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi di atas muncul dari karakteristik donor, dimana LKTS menghimpun dana dari donor asing dengan agenda kepentingan yang

Mempraktikan teknik dasar memukul bola pada permainan kasti dengan baik dan benar yang meliputi : cara memukul bola datar, memukul bola bawah, memukul bola lambungan.

2 LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT GERAKAN MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN SOSIAL (LSM. BLEKOK

Salah satu pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan lestari adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) khususnya yang bergerak pada bidang kehutanan.. LSM

Hasil renungan dari teoritik dari temuan penelitian adalah, pertama, lembaga donor bertidak lebih superior dibanding LSM dengan mememfaatkan dana yang mereka miliki..