• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELATIHAN SEKAR DALANG WAYANG GOLEK DI PAGURON MUNGGUL PAWENANG KOTA BANDUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELATIHAN SEKAR DALANG WAYANG GOLEK DI PAGURON MUNGGUL PAWENANG KOTA BANDUNG."

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KOTA BANDUNG

TESIS

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar magister pendidikan

Program Studi Pendidikan Seni

Oleh :

Ojang Cahyadi

NIM. 1006937

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)
(3)
(4)

viii   

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji dan mendeskripsikan strategi pelatihan sekar dalang wayang golek khususnya yang dilakukan di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Strategi pelatihan sekar dalang wayang golek di Jawa Barat tampaknya belum dilaksanakan secara sistematis, bahkan proses pelaksanaan belum terorganisir dengan baik, sehingga perlu diteliti untuk menghasilkan sebuah format pelatihan yang bisa diacu oleh sanggar dan paguron sebagai penyelenggara pelatihan atau para calon dalang.

Proses pelatihan sekar dalang perlu diangkat dan dideskripsikan sebagai acuan pelatihan untuk paguron atau peminat pedalangan dalam berolah seni pedalangan.

Proses pelatihan sekar dalang wayang golek di Munggul Pawenang telah mendorong munculnya dalang-dalang muda sebagai generasi penerus pewaris budaya dalam dunia pedalangan di Jawa Barat.

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam rumusan masalah, yaitu mendeskripsikan strategi pelatihan dan proses pelatihan sekar dalang di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Dimulai dari perencanaan, proses pelatihan, materi pelatihan, dan evaluasi pelatihan. Kemudian dikaji dan dianalisis sehingga menjadi acuan konsep pelatihan sekar dalang di paguron yang belum memiliki konsep pelatihan sekar dalang wayang golek. Memperoleh gambaran faktual tentang proses pembelajaran dan pelatihan sekar dalang wayang golek yang diterapkan di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Data penelitan ini diperoleh melalui proses wawancara, observasi dan kajian dokumentasi. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori pelatihan, strategi pelatihan, dan sekar dalang. Hasil temuan dalam penelitian ini adalah strategi pelatihan yang dikembangkan di paguron Munggul Pawenang adalah strategi aktifitas yang lebih menekankan unsur skill dan keterampilan praktek. Strategi yang dimaksud diwujudkan melalui konsep nyatrik dengan sepuluh tahapan pelatihan. Strategi pelatihan di Munggul Pawenang menggunakan pola tradisional dan telah menghasilkan beberapa orang dalang wayang golek yang berkualitas dan diakui keberadaannya oleh masyarakat, namun demikian perlu adanya penataan kembali khususnya terkait dengan organisasi dan kelembagaan, kurikulum, pola pelatihan, proses pelatihan, serta evaluasi pelatihan. Secara umum dalam pandangan tradisional hasilnya bisa dikatakan berhasil, hal ini terbukti dengan munculnya generasi muda pedalangan lulusan dari Paguron Munggul Pawenang.

(5)

ix   

Training in paguron Munggul Pawenang Bandung (A Case Study Of Aspects Sekar Marionette Puppet puppeteer). The process of preservation puppeteer puppet show has its own distinct characteristics with other arts training system. Marionette puppeteer training system known as concept nyatrik (some are calling nyantrik), ie the teacher pass their knowledge through hands-on stage, so that the students will be absorbed, follow, observe and patterned what is happening on stage as learning materials.

The purpose of this study to describe the training strategy applied in paguron Munggul Pawenang Bandung, from planning, training process, training materials, students and coaches, as well as the objectives and evaluation of training, particularly in the matter sekar mastermind.

This study used qualitative methods conducted in paguron Munggul Pawenang Bandung. Data in this research is obtained through a process of interviews, observations and review documentation. The theory used in this study is the theory of conservation, learning theories and teaching / training, coaching strategy, and the theory sekar mastermind.

The results or findings in the study were a) the existence of Munggul Pawenang in Bandung as a print paguron young puppeteers who have superior quality in presenting sekar mastermind, b) art conservation puppet show performed by paguron Munggul Pawenang include training and development of materials puppeteer art show, festival, and performances to the community, c) training strategy in Munggul Pawenang using traditional patterns and have produced some quality puppeteer puppet show and recognized by the public, however, there needs to be specifically associated with the realignment of organizational and institutional , curriculum, training patterns, process training, and evaluation. In general, the traditional view of the results can be said to be successful, it is proved by the emergence of a young generation of graduates puppetry paguron Munggul Pawenang.

(6)
(7)

xi   

1. Strategi Pelatihan Sekar Dalang di Paguron Munggul

Pawenang ... 78

a. Perencanaan Pelatihan ... 79

b. Proses Pelatihan ... 81

c. Materi Pelatihan ... 97

d. Sekar Dalang ... 107

e. Metode Pelatihan ... 117

f. Sasaran dan Evaluasi Pelatihan ... 122

B. Pembahasan ... 126

1. Strategi Pelatihan ... 126

2. Proses Pelatihan ... 144

3. Analisis Materi Sekar Dalang ... 148

a. Murwa ... 148

b. Nyandra ... 153

c. Kakawen ... 159

d. Antawacana ... 175

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 183

A. Kesimpulan ... 183

B. Saran ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 188

GLOSARI ... 191

(8)

xii   

DAFTAR FOTO

Foto 3.1 Foto Dede Amung Sutarya ... 46 Foto 3.2 Dalang Dede Amung Sutarya sebagai Ketua

Yayasan Pedalangan Jawa Barat Memberi sambutan

Pembukaan Binojakrama Padalangan ... 55 Foto 3.3 Paguron Munggul Pawenang Bandung ... 57 Foto 3.4 Salah satu Gamelan Selap Komplit milik Paguron

Munggul Pawenang ... 59 Foto 3.5 Beberapa kotak wayang golek milik Munggul Pawenang ... 59 Foto 3.6 Rumah kediaman dalang Dede Amung sekaligus

sebagai Paguron Munggul Pawenang ... 60 Foto 3.7 Pertunjukan Dalang Dede Amung ditengah masyarakat ... 62 Foto 3.8 Dalang Dede Amung sedang diskusi dengan Dalang Asep

Sunandar Sunarya terkait dengan Perkembangan

pedalangan di Jawa Barat ... 64 Foto 3.9 Spanduk dan Banner Geunjleung Wayang ... 67 Foto 3.10 Peneliti sedang melakukan wawancara dengan dalang

Dede Amung Sutarya di Paguron Munggul Pawenang

Kota Bandung ... 71 Foto 4.1 Dalang Dede Amung sedang mengarahkan Teknik

Cepen wayang pada tahap ngalalanyah... 85 Foto 4.2 Dalang Dede Amung sedang memberikan demontrasi

dalam latihan dengan iringan gamelan dan sinden pada

tahap ngapalkeun ... 86 foto 4.3 Dalang Dede Amung sedang mencontohkan

Teknik sekar dalang dan sabet wayang pada tahap ngaderes 87 Foto 4.4 Wawan Dede Amung (kiri) dan Dandan Dede

Amung (kanan) sedang memulai tahapan make

aplikasi pertunjukan ... 89 Foto 4.5 Dalang Wawan Dede Amung Sutarya sudah memasuki

tahapan mateakeun dalam pertunjukan ... 91 Foto 4.6 Proses ngabeurangan oleh Dalang Dadan ... 92 Foto 4.7 Penulis sedang wawancara dengan dalang

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Proses pendidikan dapat terjadi dimana saja, tidak terbatas di lingkungan

sekolah dan kampus. Perkembangan manusia dari mulai kecil, remaja, sampai

dengan dewasa, di dalam lingkungan sekolah, rumah dan di masyarakat,

merupakan proses pendidikan yang menyeluruh dan tidak terbatas oleh ruang dan

waktu, dengan konsep pendidikan sepanjang hayat.

Berdasarkan pengorganisasian, struktur dan tempat terjadinya pendidikan,

dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah atau lebih dikenal

dengan sebutan pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan

informal. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistim Pendidikan Nasional yang membagi pendidikan dalam tiga jalur, yakni

pendidikan formal, nonformal dan informal.

Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang mempunyai fungsi

untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan

pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan

kepribadian profesional. Proses pendidikan dilakukan dilingkungan masyarakat

berupa pelatihan baik di lembaga kursus atau lembaga pelatihan sejenis seperti

sanggar seni. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sudjana (2004), tujuan pendidikan

nonformal ditinjau dari jangka waktu penyelesaian studi adalah jangka pendek

dan spesifik untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang fungsional. Ijazah tidak

(10)

 

begitu ditekankan asal hasil belajar dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di

lingkungan pekerjaan atau masyarakat.

Program dan isi materi pada pendidikan nonformal berpusat pada peserta

didik, bersifat praktis dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sedangkan

sistem penyampaian pembelajarannya dilakukan oleh tutor, pelatih dan fasilitator

dengan materi dan kurikulum yang berinteraksi secara fungsional dengan dunia

pekerjaan/kehidupan. Struktur program pendidikan dalam pendidikan non formal

ini bersifat fleksibel dan luwes artinya dapat dikembangkan sesuai kebutuhan.

Sedangkan proses pengendalian dan pengawasannya dilakukan oleh pelaksana

program dan peserta didik dengan menekankan inisiatif serta partisipasi

masyarakat.

Selain pendidikan nonformal, pendidikan berbasis masyarakat lainnya

adalah Pendidikan informal, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan

dalam sebuah keluarga, dari orang tua kepada anaknya, seperti penanaman

pendidikan budi pekerti, etika, moral, hal-hal yang bersifat kemasyarakatan dan

kerukunan didalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Selain itu ada pula

keluarga yang memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan kepada

anak-anaknya, dengan harapan mereka dapat meneruskan profesinya. Dengan demikian

telah terjadi sebuah proses pendidikan informal yang secara terus menerus dari

generasi ke generasi berikutnya.

Dalam konteks penelitian ini, tinjauan dan pengamatan diangkat dan

(11)

informal yang dilakukan di paguron seni wayang golek sunda dengan

menggunakan metode pelatihan.

Di Jawa Barat terdapat beberapa paguron seni wayang golek yang sangat

dikenal dan diminati sajian pertunjukannya di masyarakat. Selain itu

paguron-paguron wayang ini juga memberi kesempatan dan menyediakan layanan

pembelajaran seni wayang golek melalui metode pelatihan kepada masyarakat.

Pertama, adalah Sanggar Kampung Seni “Jelekong” di Giri Harja yang

berlokasi di Jelekong Kabupaten Bandung merupakan sentra kerajinan wayang

golek yang mengembangkan potensi masyarakat dalam pembuatan kerajinan

wayang golek, dan dikembangkan menjadi sentra industri wayang golek di

Kabupaten Bandung. Selain sentra kerajinan wayang golek, aktifitas utama yang

menjadi andalan Padepokan Giri Harja adalah layanan pertunjukan pada

masyarakat berupa pelatihan seni pedalangan yang mengembangkan pola

pelatihan dalang wayang golek dibawah binaan dalang kondang Asep Sunandar

Sunarya. Perkembangan selanjutnya padepokan Giri Harja menjadi icon

pedalangan Bandung Kidul (Bandung Selatan) (wawancara, Cahya Hedi,

Nopember 2012).

Kedua, Padepokan Seni Padalangan “Panca Komara” di Kabupaten

Karawang, yang didirikan dan dibina oleh dalang kondang Tjetjep Supriadi.

Padepokan Panca Komara berdiri pada tahun 1969 kemudian berubah statusnya

menjadi yayasan. Dalam kurun waktu 44 tahun, padepokan ini sudah

(12)

 

pedalangan. Padepokan Panca Komara memiliki gaya kaleran atau gaya yang

berkembang di daerah Pantai Utara (wawancara, Cahya Hedi, Nopember 2012)

Ketiga, adalah kehadiran Paguron Munggul Pawenang di Kota Bandung

yang berdiri pada tahun 1966 oleh dalang beraliran konservatif yaitu dalang Dede

Amung Sutarya. Kiprah Munggul Pawenag dalam dunia pedalangan di Jawa Barat

telah memberikan kontribusi dan gaya yang khas utamannya pada kekuatannya

menyajikan pertunjukan yang selalu memegang teguh pada aturan pedalangan

atau lebih dikenal dengan sebutan tetekon dan pakem. Selain itu keunggulan

Munggul Pawenang terdapat dalam penyajian amardawa lagu yang telah menjadi

ciri khas Munggul Pawenang, dan gaya tersebut telah banyak diikuti oleh dalang

di Jawa Barat, sehingga pada akhirnya gaya tersebut dijadikan ciri khas

pertunjukkan wayang golek Bandung Kaler (Bandung Utara) (wawancara, Cahya

Hedi, Nopember 2012).

Kesenian wayang golek oleh beberapa kalangan digolongkan kepada seni

pertunjukan teater tradisional. Menurut pemahaman orang Indonesia, selama ini

teater diartikan sebagai ‘drama’. Hal ini dapat dilihat dari aspek pokok

pertunjukan wayang golek yang merupakan dramatisasi dari sebuah cerita atau

lakon. Selain unsur drama, dalam pertunjukan wayang golek terdapat pula

unsur-unsur seni lainnya, di antaranya unsur-unsur seni sastra, unsur-unsur seni tari, unsur-unsur seni

karawitan, dan unsur seni rupa. Oleh karena itu banyak kalangan yang

menyatakan bahwa wayang golek merupakan salah satu pertunjukan yang

lengkap, artinya pertunjukan dan penyajian wayang golek dibangun oleh

(13)

Fenomena yang berkembang saat ini pertunjukkan wayang golek yang

diminati oleh masyarakat luas adalah pertunjukkan wayang golek yang

menekankan pada aspek garap, yaitu yang menonjolkan unsur sabet, inovasi

bentuk wayang dan banyol atau lawakannya. Hal tersebut mengakibatkan

berkurangnya nilai-nilai pertunjukkan wayang golek secara utuh dan runtut,

karena untuk memenuhi keinginan pasar, dalang wayang golek seringkali lebih

memunculkan aspek hiburannya. Unsur-unsur seni yang terdapat dalam

pertunjukan wayang golek menjadi aspek penting yang harus dikuasai oleh

seorang dalang yang sarat dengan simbol-simbol pemaknaan. Unsur seni rupa

terdapat dalam bentuk boneka kayu yang biasa disebut wayang golek. Bentuk,

raut wajah, dan warnanya tidak hanya sekedar untuk membedakan peran tokoh

yang satu dengan lainnya tetapi juga memiliki makna yang menunjukkan

karakteristik wayangnya dan harus dikuasai oleh seorang dalang. Karakteristik

tersebut dapat dibedakan berdasarkan jenis suara wayang, intonasi, nada-nada

dalam antawacana (teknik membawakan dialog); serta aspek sabet atau

ngigelkeun (menggerakan) wayang, baik gerak ekspresif maupun gerak yang

berbentuk tari.

Selain karakteristik di atas, aspek-aspek lain yang harus dikuasai oleh

seorang dalang wayang golek adalah tetekon yang meliputi antawacana, renggep,

engés, tutug, banyol, sabet, kawi radya, parama kawi, parama sastra, awicarita,

amardibasa, dan amardawalagu. Khusus pada bagian antawacana, parama kawi,

parama sastra, dan amardawa lagu diungkapkan melalui murwa, nyandra,

(14)

 

setiap aspek yang terdapat dalam tetekon tadi harus dikuasai oleh setiap dalang,

akan tetapi tidak semua dalang mampu menyajikannya dengan baik.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada saat ini dalang yang dipandang

memiliki keahlian dalam bidang sekar dalang, adalah dalang Dede Amung

Sutarya dari Perkumpulan Seni Wayang Golek Munggul Pawenang, Padasuka

Kota Bandung. Menurut hasil wawancara dengan Suhendi Afriyanto seorang

pengamat pedalangan dan pengurus yayasan pedalangan Jawa Barat, Paguron

Munggul Pawenang memiliki keunggulan dalam aspek garap sekar dalang. Selain

itu menurutnya, dalang kasepuhan Dede Amung Sutarya sebagai guru memiliki

metoda pelatihan sekar dalang yang baik dan detail dalam memberikan materi

sekar dalang, serta memberikan pengarahan mengenai cara ’mendalang’ yang

benar dengan berpegang pada tetekon pedalangan. Dede juga selalu

memproporsikan amardawa lagu, amardibasa dan antawacana dalam proses

pelatihannya (wawancara, April 2012).

Aspek sekar dalang saat ini nampaknya kurang mendapat perhatian dari

para penikmat sajian wayang golek, atau bahkan oleh beberapa dalang. Padahal

unsur cerita dan unsur musikal yang diungkapkan melalui sekar dalang,

mendominasi hampir 70% dalam sajian wayang golek (Suparli, wawancara di

Bandung, tanggal 12 Juni 2012). Pada umumnya dalang menyajikan sekar dalang

dengan sangat sederhana, baik dari segi teknik vocal, maupun jenis sekar

dalangnya. Padahal kemampuan dalang dalam menyajikan sekar dalang bisa

dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas dan kompetensi seorang dalang

(15)

ketika aspek sekar dalang semakin terlupakan atau bahkan dilupakan maka

kompetensi dalang dipandang tidak memiliki kharisma dalam sajian

pertunjukannya.

Di samping itu, alasan pemilihan objek penelitian ini adalah dikarenakan

penelitian tentang proses pelestarian di lingkungan paguron dalang Dede Amung

Sutarya, terutama yang berkaitan dengan penelaahan aspek sekar dalang, sampai

saat ini belum ada yang meneliti.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan, yang terkait dengan topik penelitian ini, di antaranya:

1. Persoalan proses pelatihan dalang wayang golek khususnya pada aspek sekar

dalang belum ada yang meneliti.

2. Pelatihan sekar dalang wayang golek khususnya yang dilakukan di sanggar

atau paguron wayang golek di Jawa Barat tampaknya belum sistematis,

bahkan proses pelaksanaan pelatihannya pun belum terorganisir dengan baik.

Sehingga perlu diteliti untuk menghasilkan sebuah format pelatihan yang bisa

dijadikan acuan oleh sanggar dan paguron sebagai penyelenggara pelatihan

atau para calon dalang.

3. Proses pelatihan perlu diangkat dan dideskripsikan sebagai acuan pelatihan

(16)

 

4. Proses pelatihan sekar dalang wayang golek di Munggul Pawenang telah

mendorong munculnya dalang-dalang muda sebagai generasi penerus

pewaris budaya dalam dunia pedalangan di Jawa Barat.

5. Pelatihan sekar dalang wayang golek belum banyak disosialisasikan,

sehingga umumnya masyarakat tidak mengetahui keberadaan pelatihan

dalang di paguron Munggul Pawenang.

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, dirumuskan permasalahan utama

yakni, ”Bagaimanakah pelatihan sekar dalang wayang golek di Paguron Munggul

Pawenang.?” Kemudian dituangkan kedalam rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah strategi pelatihan sekar dalang di Paguron Munggul Pawenang

Kota Bandung?

2. Bagaimanakah proses pelatihan sekar dalang wayang golek yang diterapkan

di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yang paling utama adalah untuk memperoleh

jawaban dari permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam rumusan masalah.

Kemudian dikaji dan dianalisis sehingga mampu menjadi acuan konsep pelatihan

sekar dalang di sanggar-sanggar atau paguron yang belum memiliki konsep

pelatihan dalang wayang golek. Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan

(17)

1. Mendeskripsikan strategi pelatihan sekar dalang yang terapkan di Paguron

Munggul Pawenang Kota Bandung, dari mulai perencanaan, proses pelatihan,

materi, dan evaluasi pelatihan.

2. Memperoleh gambaran faktual tentang proses pelatihan sekar dalang

wayang golek yang diterapkan di paguron Munggul Pawenang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik pada

tataran akademik maupun kalangan praktisi, serta para pemegang kebijakan,

karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan strategi pelatihan sekar dalang

yang dilakukan di Paguron Munggul Pawenang. Manfaat penelitian ini antara lain

bagi:

1. Peneliti

Penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga, serta

dalam rangka memberikan kontribusi yang bermanfaat terhadap khasanah

pengetahuan kesenian dan kebudayaan khususnya di Jawa Barat. Disamping itu

hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah tentang

aspek-aspek pendidikan dan pelatihan dalang wayang golek termasuk informasi

lain yang berharga bagi pengembangan tugas sebagai pengajar, peneliti, dan

(18)

10 

 

2. Objek yang diteliti

Pelatihan dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang sampai

saat ini masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Atas dasar itu

penelitian ini akan menjembatani informasi kepada masyarakat tentang aktifitas

dan keberadaan juga produk yang dihasilkan dari kegiatan pelatihan dalang

wayang golek di Paguron Munggul Pawenang, Padasuka Kota Bandung.

3. Guru dan Seniman

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi seluas-luasnya

kepada seluruh kalangan professional yakni guru dan seniman yang memiliki

perhatian dan ketertarikan pada dunia pedalangan khususnya wayang golek

Sunda, lebih khusus lagi pada materi sekar dalang yang menjadi ciri khas Paguron

Munggul Pawenang.

4. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal memiliki tanggung

jawab yang sama, yakni memberikan pelayanan pendidikan melalui proses yang

berkesinambungan. Salah satunya adalah memberikan pembelajaran seni budaya

yang lebih mengenalkan muatan lokal dalam hal ini seni tradisional. Universitas

Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi tentu

diharapkan akan menjadi lembaga terdepan dalam mendukung dan melaksanakan

upaya pelestarian budaya, khususnya seni wayang golek sebagai kesenian yang

(19)

karawitan dan filsafat kehidupan, maka sangat pantas untuk dikenalkan dan

diterapkan dalam dunia pendidikan secara lebih luas.

5. Instansi lain

Upaya pelestarian dan pengembangan seni tradisional telah dilakukan oleh

Pemerintah melalui Kementerian terkait dan dinas-dinas pada satuan tugas

Pemerintah Daerah yang mengemban tugas terhadap pelestarian dan

pengembangan seni budaya tradisional, termasuk pelestarian dan pengembangan

seni wayang golek Sunda. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu

memberikan sumbangan berarti bagi pemerintah dan instansi lain yang terkait

dalam upaya pelestarian dan pengembangan serta pendidikan seni budaya lokal

seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan sebagai referensi,

karena hasil penelitian ini sudah dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Struktur Organisasi Tesis

Sistematika penulisan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Dalam bab I ini akan diuraikan berbagai pokok bahasan diantaranya :

A. latar belakang penelitian, B. identifikasi dan rumusan masalah, C. tujuan

penelitian, D. manfaat penelitian dan E. struktur organisasi tesis.

BAB II. Landasan Teori dan Kajian Pustaka

Dalam bab II ini menyajikan tentang landasan teori dan studi pustaka yang

memiliki peran sangat penting dalam sebuah penelitian. A. Landasan teoritis. 1.

(20)

12 

 

pelatihan, d. Tahap/proses pelatihan, e. Metode pelatihan, f. Pengelolaan

pelatihan, 2 paguron, 3. dalang, 4. wayang golek, 5. sekar dalang wayang golek,

a. teknik sekar dalang, b. titilaras dan musikalitas, dan c. bentuk sekar dalang.

B. Studi pustaka membuat perbandingan dengan beberapa hasil penelitian yang

terkait dengan pedalangan sunda, agar tidak terjadi kesamaan dalam menentukan

fokus yang diteliti. Studi pustaka juga mengacu pada Mustofa Kamil (2010)

dalam bukunya berjudul : Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi,

Bandung, Alfabeta. Buku ini menyajikan dan membahas konsep pelatihan secara

rinci, ditunjang dengan pendekatan aplikatif secara teknis dalam proses pelatihan

di lembaga-lembaga nonformal.

Saleh Marzuki (2010) dalam bukunya berjudul : Pendidikan Nonformal

Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan dan Andragogi. Buku ini

menyajikan dan membahas secara komprehensif mengenai pendidikan dan

pengembangan masyarakat sebagai pemberdayaan masyarakat.

M.A. Salmun (1961) dalam bukunya berjudul Padalangan memuat tentang

asal-usul, sastra, aturan dalang. Kakawen dan lakon. Clara Van Groenendael

(1988) dalam bukunya berjudul: Dalang di balik Wayang, Jakarta, Pustaka Grafiti

Utama, Atik Soepandi (1988) dalam bukunya berjudul: Tetekon Padalangan

Sunda, Bandung, Balai Pustaka, Atik Soepandi (1984) dalam bukunya berjudul :

Pergelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan,Bandung, Pustaka Buana,

Sri Mulyono (1989) dalam bukunya berjudul : Wayang Asal-Usul, Filsafat

(21)

masalah-masalah; asal-usul wayang, sejarah wayang sejak jaman prasejarah, hindu-budha

dan islam, jaman penjajahan serta jaman kemerdekaan.

BAB III. Metode Penelitian

Di dalam bab III ini akan diuraikan lebih rinci tentang metode penelitian,

bahasan mengenai metode penelitian memuat beberapa komponen diantaranya:

A. Rancangan Penelitian; B. Subjek Penelitian; C. Lokasi Penelitian, D.

Instrumen Penelitian; E. Teknik Pengumpulan Data; dan F. Teknik Analisis Data.

BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab IV ini dikemukakan tentang persoalan-persoalan yang ditemukan

dalam penelitian antara lain:

A. Hasil Penelitian : 1. Strategi pelatihan sekar dalang wayang golek di Paguron

Munggul Pawenang. a.perencanaan pelatihan, b. proses pelatihan, c. materi

pelatihan, d. sekar dalang, e. metoda pelatihan, f. sasaran dan evaluasi pelatihan

B. Pembahasan : 1. Strategi Pelatihan, 2. Proses pelatihan 3. Analisis Materi

Sekar Dalang pada aspek : a. Murwa, b. Nyandra, c. Kakawen, dan d.

Antawacana.

BAB V. Kesimpulan dan Saran Pada bab V ini merupakan:

A. Kesimpulan

(22)

38   

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya lebih mengarah kepada fenomena yang

terjadi dalam kesenian tradisional, khususnya dalam perkembangan kesenian

wayang golek purwa di Jawa Barat. Sedangkan tujuannya untuk mencari

gambaran tentang proses pelatihan dalang wayang golek di Paguron Munggul

Pawenang Kota Bandung.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong mendefnisikan tentang

metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati

(Maleong, 2007: 4).

Metode penelitian harus disiapkan untuk mencapai tujuan penelitian

(Alwasilah, 2006:85). Maka untuk mecapai tujuan penelitian ini, menggunakan

penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini peneliti menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang

diamati. (Bogdan dan Taylor 1975: 5) Oleh karena itu dalam penelitian ini

pendeskripsian pelatihan sekar dalangyakni dengan mengungkapkan strategi

pelatihan yang diterapkan dan proses pelatihan dengan cara antara lain, pemilihan

dan pengklasiflkasian sekar dalang dari setiap tahapan pelatihan, dalam hal ini

(23)

informasi atau data-data dari nara sumber. Selanjutnya penafsiran data dilakukan

dengan meminjam cara interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman.

Dari definisi-definisi diatas, maka penelitian kualitatif deskriptif adalah

penelitian yang menggambarkan tentang latar pengamatan, manusia, tindakan dan

pembicaraanberupa kata-kata tertulis atau lisan.

Disamping itu, penelitian ini bersifat multi disipliner karena menggunakan pisau

bedah dari teori sosiologi, etnomusikologi, dan sejarah. Teori sosiologi digunakan

untuk mengungkap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberadaan

kesenian wayang golek di masyarakat Jawa Barat. Teori etnomusikologi

digunakan untuk mengungkap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

konsepsi musikal yang terdapat dalam wayang golek. Sedangkan teori sejarah

akan digunakan untuk mengungkap garis keturunan paguron Munggul Pawenang,

berkaitan dengan keberadaannya yang memiliki ciri khas, terutama dalam aspek

sekar dalang.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini di antaranya:

1. Melakukan pendekatan dengan responden, dalam hal ini nara sumber utama

Dalang Dede Amung Sutarya, Wawan Dede Amung. Asep Koswara Dede

Amung, Dandan Dede Amung, Dalang Apep AS Hudaya (Pemenang

Binojakrama Padalangan tahun 2012 di Kabupaten Bandung), Dalang Sano di

Subang dan Dalang Jajang di Sumedang sebagai murid Dede Amung Sutarya.

Dari sekian nara sumber diharapkan akan diperoleh data tentang keberadaan

(24)

40   

aspek teknis yang menyangkut proses pelatihan, strategi pelatihan khususnya

terhadap aspek sekar dalang wayang golek.

2. Menentukan sampel, dalam hal ini sampel peserta didik (catrik) yang menjadi

murid di Paguron Munggul Pawenang. Peserta didik atau murid di paguron

adalah menjadi objek yang diamati, karena secara langsung atau tidak

langsung proses pembelajaran dan pelatihan terjadi diantara murid dan guru

dalang sebagai pelatih.

3. Mengumpulkan data, dilakukan dengan wawancara, observasi dan

menyimpulkan setiap teknik pengumpulan data dengan dalang sebagai

pelatih, dan peserta pelatihan (catrik), tentang proses pelatihan berikut

tahapan-tahapan pelatihan sekar dalang wayang golek.

4. Menganalisa data, melaporkan setiap tahapan -tahapan yang dianalisis dari

proses pelatihan secara rinci, yang terdiri dari strategi pelatihan dimulai dari

perencanaa, proses pelatihan, tahapan-tahapan pelatihan, metode pelatihan,

materi pelatihan, dan evaluasi pelatihan.

Langkah-langkah penelitian seperti itu, menurut Alwasilah dalam bukunya

Pokoknya Kualitatif, ditegaskan seperti berikut.

(25)

Denzim dan Lincoln (1994:1-3) memberikan rumusan bahwa penelitian

kualitatif adalah kajian fenomena (budaya) emperik di lapangan.Penelitian

kualitatif adalah wilayah kajian multimetode, yang memfokuskan pada

interpretasi dan pendekatan naturalistik bagi suatu persoalan.Demikian pula yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1983: 30), bahwa:

…Penelitian yang bersifat deskriptif, memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Adakalanya penelitian demikian bertolak dari beberapa hipotesa tertentu, adakalanya tidak.Seringkali arah penelitian dibantu oleh adanya hasil penelitian sebelumnya.Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa sehingga akhirnya membantu pembentukan teori baru memperkuat teori lama.

Pertimbangan lain pemilihan pendekatan kualitatif ini di antaranya: (1)

penelitian kualitatif mementingkan makna dan karakter dengan perspektif emik,

logika induktif berdasarkan data, dan dapat melukiskan objek dalam setting yang

alamiah; (2) desain penelitian bersifat luwes; (3) pengumpulan data dan analisis

berlangsung simultan dan terus menerus; dan (4) menggunakan penelitian sebagai

instrumen penelitian (Rohidi, 1992)

Ilmu sejarah akan digunakan untuk membedah dan mengungkap asal usul

keluarga dalang Dede Amung Sutarya. Ilmu antropologi akan digunakan untuk

mengkaji perspektif berbagai bidang yang dapat ditemukan, misalnya dalam

bidang pendidikan dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi dan

perkembangan Paguron Munggul Pawenang. Selanjutnya peran ilmu sosiologi

digunakan untuk menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan sosial

Paguron Munggul Pawenang dengan masyarakat sekitar atau masyarakat secara

(26)

42   

etnomusikologi, digunakan untuk membedah aspek-aspek musikal, mengingat

fokus penelitian ini diarahkan kepada studi kasus aspek sekar dalang.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini memiliki perhatian terhadap pelestarian dalang

wayang golek melalui upaya pelatihan di paguron Munggul Pawenang Kota

Bandung (studi kasus pada aspek sekar dalang).Hal itu dilandasi atas kelebihan

yang dimiliki paguron Munggul Pawenang dalam aspek Amardawalagu sebagai

bagian dari Sekar Dalang, dengan kualitas yang sudah diakui oleh seluruh lapisan

masyarakat padalangan di Jawa Barat.Selain itu hal yang sangat menarik yaitu

hasil pelatihan paguron Munggul Pawenang telah banyak melahirkan

dalang-dalang muda yang potensial dan berprestasi.

C. Lokasi Penelitian

Oleh karena penelitian ini merupakan Pelatihan Sekar Dalang Wayang

Golek di Paguron Munggul Pawenang, maka lokasi penelitian ini selain di

Paguron Munggul Pawenang, yaitu Jl. Padasuka No. 54 Cicadas Kota Bandung,

dilakukan pula di beberapa tempat yang merupakan tempat domisili para

murid-muridnya, di antaranya di yang berada di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, di

Kabupaten Sumedang, dan di Kabupaten Subang.Alasan memilih paguron

Munggul Pawenang, yakni atas pertimbangan prestasi dan kualitas paguron

Munggul Pawenang dengan dalang Dede Amung yang memiliki kualitas sekar

(27)

1. Peta Lokasi Paguron Munggul Pawenang Jl. Padasuka No. 54 Kota Bandung

Sumber : Google Maps

2. Keberadaan Munggul Pawenang di Kota Bandung

Munggul Pawenang merupakan salah satu paguron dari keluarga Amung

Sutarya yang didirikan pada tahun 1966 oleh dalang Dede Amung Sutarya, adik

sepupu dari dalang Amung Sutarya. Eksistensi Paguron Munggul Pawenang

selain sebagai salah satu group kesenian wayang golek di kota Bandung, juga

sebagai tempat berlatihnya (maguron) calon dalang-dalang muda. Dede Amung

Sutarya adalah dalang yang cukup terkenal sebagai dalang wayang golek purwa di

kota Bandung. Puncak prestasinya pada tahun 1980-an setelah mendapatkan

penghargaan tertinggi dalam Binojakrama Padalangan di Jawa Barat sebagai juara

(28)

44   

Dede Amung Sutarya dengan paguronnya masih mempertahankan

nilai-nilai luhur yang disebuttetekon dalam wayang golek purwa. Hal ini yang

membedakannya dengan dalang Asep Sunandar Sunarya sebagai pelopor

pembaharuan wayang golek dari keluarga Sunarya. Pembaharuan dengan

mengatasnamakan inovasi dan kreativitas seringkali keluar bahkan dianggap telah

mendobrak nilai-nilai yang terkandung dalam tetekon padalangan. Tetapi hal itu

bukan berarti Dede Amung tidak melakukan kreativitas dan inovasi.

Menurut dalang Dede Amung, kamotekaran(bahasa lain dari kreativitas dan

inovasi), memang diperlukan dalam upaya mengembangkan dan mempertahankan

kesenian wayang golek purwa supaya tetap bisa diterima dimasyarakat.tetapi

bukan untuk mengabaikan norma-norma atau aturan tetekon padalangan. Adapun

kreatifitas yang diolah oleh dalang Dede Amung Sutarya dengan padepokannya

diantaranya adalah aspek sekar dalang. Melalui kemampuan kreativitasnya, Dede

Amung Sutarya berhasil mendudukan pertunjukan wayang golek purwa menjadi

salah satu bentuk pertunjukan kesenian tradisional yang menarik, tanpa merusak

nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tetekon padalangan Sunda.

Paguron Munggul Pawenang pada dasarnya tempat untuk mencetak para

dalang, yang keberadaannya bersifat temporer.Maksud temporer di sini adalah

keberadaan muridnya yang terkadang tidak selalu ada secara periodik. Proses

pembelajaran dan pelatihan akan terjadi apabila ada murid yang benar-benar ingin

berguru kepada Dede Amung Sutarya. Sehingga visi atau misi Dede Amung

dalam hal mewariskan keterampilannya melalui paguron Munggul Pawenang

(29)

teguh kepada tetekon padalangan. Oleh karena itu ia tidak memperdulikan jumlah

murid yang ada, tetapi yang dipentingkan oleh Dede Amung adalah kualitas

mendalang berdasarkan tetekon padalangan.

Dede Amung berpendapat bahwa dalang-dalang lain banyak yang telah

lepas dari kendali tetekon padalangan Sunda. Sehingga ia memiliki sebuah obsesi

bahwa sebelum murid-muridnya menemukan jati diri dan ciri khasnya

masing-masing, Dede Amung mentransformasikan gaya dirinya kepada murid-muridnya,

dengan tolok ukur harus sama percis dengan gaya dirinya. Hal itu dilakukan Dede

Amung, bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi untuk membingkai keteguhan

terhadap tetekon padalangan pada muridnya. Apabila kekuatan dan keteguhan

terhadap tetekon telah dimiliki oleh muridnya, maka Dede Amung pun memberi

ruang berkreasi sebagai ciri khas yang mandiri untuk murid-muridnya.

Berdasarkan prinsip-prinsip itulah, murid-murid Dede Amung selain

mulai dikenal oleh masyarakat, banyak pula yang telah meraih penghargaan dalam

penyelenggaraan Bonojakrama Padalangan, seperti Dalang Jajang Amung

Sutarya, dalang Dedi Amung Sutarya, dalang Sano Amung Sutarya, dalang

Wawan Dede Amung Sutarya, dalang Asep Koswara Dede Amung Sutarya dan

lain sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran di paguron

Munggul Pawenang memiliki prestasi yang patut diperhitungkan.

Berbicara keberadaan Paguron Munggul Pawenang di Kota Bandung

tentunya tidak akan terlepas dari eksistensi dalang Dede Amung Sutarya, dari

mulai berkarir sebagai seorang dalang wayang golek sampai saat ini sudah

(30)

46   

peristiwa-peristiwa yang menarik yang bisa dijadikan cermin dan pelajaran untuk

generasi muda yang berminat pada dunia pedalangan.

Begitu pula tentang ketenaran dalang Dede Amung Sutarya, walaupun

beliau baru menjadi Juara Pertama Binojakrama Padalangan Jawa Barat pada

tahun 1980, ia telah menjadi dalang sekitar tahun 1966. Kepiawaian dalang Dede

Amung Sutarya terletak pada aspek amardawalagu, yaitu aspek kepiawaian

dalang yang berkaitan dengan konsep musikal, meliputi murwa, nyandra, dan

kakawen; serta aspek paramasastra dan aspek amardibasa.Di samping itu, dalang

Dede Amung Sutarya piawai menyajikan lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh

tokoh panakawan, sehingga menjadi salah satu ciri khasnya.

3. Profil Dede Amung Sutarya

Foto : 3.1

(31)

Dede Amung Sutarya menurut pengakuannya dilahirkan pada bulan

Nopember 1950, walaupun pada ijazah tertulis tahun 1952. Perihal tanggal

kelahirannya tidak diketahui, ibunya hanya mengatakan bahwa ia dilahirkan pada

bulan Maulid di daerah Parakan Saat- Cisaranten Bandung (Wawancara, dengan

Dede Amung, di Bandung 24 Juni 2012). Ia merupakan anak ketiga dari tujuh

bersaudara, dari Ibunya bernama Permasih dan ayahnya bernama Wiharna

seorang seniman kendang. Pendidikan yang ditempuh Dede Amung hanya

sempat mencapai pendidikan Sekolah Teknik (ST) setingkat dengan Sekolah

Menengah Pertama (SMP), khusus dalam bidang keterampilan teknik mesin.

Kemandegan dalam menempuh pendidikannya dikarenakan oleh keinginannya

untuk menjadidalang. Oleh sebab itu ia kemudian berguru kepada Dalang

kasepuhan Amung Sutarya, yang masih memiliki hubungan keluarga, yaitu

sebagai kakak sepupunya atau anak Uwa, sehingga orang menyebutnya sebagai

‘Anak Amung’. Dari gurunya ini Dede Amung mendapatkan berbagai

pengetahuan tentang pedalangan seperti amardawa lagu, amardibasa dan

antawacana.

Ketika menginjak usia remaja, ia menikah dengan seorang gadis bernama

Yati yang sering dipanggil Dedeh. Dari perkawinanya dikaruniai tiga orang anak

bernama Wawan, Dewi dan Yeni. Karena sesuatu hal, perkawinannya tidak bisa

dipertahankan, sehingga pada tahun 1971 Dede menceraikan Yati (Dedeh).

Selama kurang lebih dua tahun Dede Amung menjalani kehidupan sebagai Duda.

Pada tahun 1973 Dede kembali menemukan tambatan hatinya. Gadis yang

(32)

48   

dikaruniai lima orang anak yakni Wiwit, Asep, Dian, Yoga dan Cinta. Perkawinan

ini langgeng terbukti dengan kehidupan rumah tangganya yang awet hingga

sekarang.

Tahun 1981 Entin harus rela menjadi istri tua, artinya harus rela dimadu,

karena di tahun ini Dede Amung menikah lagi dengan seorang sinden dari Subang

bernama Umay Mutiara. Dede Amung mengakui bahwa poligaminya ini tidak

dilakukan sembunyi-sembunyi, bahkan dijelaskannya kedua istrinya sangat

harmonis. Umay Mutiara sering mengunjungi rumah Entin, begitu pula

sebaliknya. Mereka akur satu sama lain. Dari perkawinannya dengan Umay,

dikaruniai dua orang anak bernama Ai dan Dandan. Sebagai kepala keluarga,

Dede Amung dikenal sebagai ayah yang cukup keras dan disiplin dalam mendidik

anak-anaknya. Dari kesepuluh anaknya, tiga orang diantaranya telah mengikuti

jejak profesi sang ayah sebagai dalang. Mereka adalah Wawan Dede Amung

Sutarya (Awan) berusia 39 tahun, Asep Koswara Dede Amung Sutarya 36 tahun,

dan Dandan Dede Amung Sutarya 31 tahun.

Sejalan dengan bergulirnya waktu, nama Dede Amung pun semakin

berkibar di dunia pedalangan. Ia dikenal sebagai dalang yang sangat kental

dengan warna tradisinya, bahkan menurut para pengamat, Dede Amung memiliki

ciri mandiri, khususnya dalam hal sekar dalang dan iringan gamelan wayang.

Lebih jauh ditegaskan oleh para pengamat, bahwa Dede Amung seorang dalang

yang memiliki kemampuan dalam pengetahuan wayang yang sangat luas termasuk

memahami nilai-nilai filosofisnya, serta ditunjang oleh kemampuan dan

(33)

kalimat lain, selain memiliki keterampilan mendalang, Dede Amung memiliki

pula pengetahuan yang luas tentang karawitan Wayang Golek.

Saat ini Dede Amung sudah termasuk kategori sebagai dalang kasepuhan

yang memiliki ciri tersendiri.Dede Amung dikenal sebagai dalang yang kukuh

pengkuh dalam bersikap untuk mengekspresikan pendiriannya. Sebagai contoh

untuk mengupas sebuah persoalan, ia selalu memberikan pendekatan filosofis

pada ragam waditra gamelannya. Seperti yang diungkapkan oleh Dede Amung

Sutarya dalam wawancara dengan peneliti (17 Juli 2012), ”Cempala paneteg

rasa, kecrek panghudang rasa, kendang panungtun wirahma, rebab haliringna

rasa”.

”Cempala” sebagai alat yang dipakai dalang, konotasinya hampir sama

dengan palu yang digunakan hakim untuk menjatuhkan keputusan dalam suatu

perkara pengadilan. Artinya dalang harus memiliki kekuasaan penuh dalam

sebuah pertunjukan, dalang yang bertindak sebagai sutradara, pengatur lakon,

pemegang skenario, pengatur adegan, dan sebagainya. ”Kecrek” memberi ugeran

yang pasti pada suasana adegan berikutnya, tergantung kebutuhan dramatik yang

ditentukan dalang. Artinya memberi perintah dan diikuti oleh seluruh wiyaga

(pemain gamelan) dan pesinden. ”Kendang” panungtun wirahma, jalan kehidupan

sudah ada yang mengatur walaupun temponya kadang berubah-ubah tapi tetap

iramanya terkendali dan kita yang mengatur dinamikanya. ”Rebab” menurutnya

merujuk pada pengertian reb-rep sidakep ngarah apal bab-bab anu kawasa, da nu

(34)

50   

hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT, karena yang berdoa adalah rasa, hati

dan nurani). Ungkapan tersebut ditafsirkan sebagai tetekon padalangan.

Lebih jauh Dede Amung menegaskan bahwa baginya tetekon dan pakem

itu perlu direnungkan, karena tetekon itu lakuning hirup, sementara pakem adalah

semacam rem (kalau dalam kendaraan), dan agama (dalam kehidupan). Ia

berpendapat bahwa manusia yang sudah benar pasti beragama, sementara orang

yang beragama belum tentu berbuat benar. Oleh karena itu ia memandang bahwa

orang Islam, harus bener dulu baru sholat. Jangan sholat dulu sebelum

bener.Pesan moral seperti inilah diantaranya yang sering disampaikan Dede

Amung pada masyarakat melalui media pertunjukan wayangnya.

Sebagai seorang dalang yang kental pada idiologi konservatif, Dede

Amung sangat memegang teguh ritual yang disebut ”Tawajuh”. Menurutnya

bahwa itu semacam ”guru ngistrenan murid”. Biasanya pada acara ritual ini,

seorang calon dalang akan ditanya kesiapannya untuk menjadi dalang, apakah

mereka sudah siap meninggalkan 7 M (maling, madon, mabok, madat, mangani,

mateni dan maen). Hal ini penting untuk diketahui dan dijalan sebagaimana

mestinya, karena seorang dalang harus mampu menjadikan dirinya sebagai guru

bagi para penontonya. Seorang dalang harus memberikan suri tauladan dan

memiliki kewibawaan. Dalang juga dituntut untuk tetap memegang aturan atau

etika pergelaran dengan bercermin pada konsep ”panca curiga” atau panca S

(Sindir, silib, siloka, simbul dan sasmita).

Sindir merupakan kritik, kecaman dan pujian yang diungkapkan dalam

(35)

serta tidak secara langsung menyinggu perasaan yang dikritik atau dikecamnya.

Silib bagaikan suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan dalam suatu tema

adegan atau babak. Siloka wujud dari kalimat-kalimat yang harus digali kembali

bila ingin mengetahui arti dan nilai-nilai sastra padalangan. Misalnya; Kebo

mulih pakandangan, pucang labuh katuhu, yang memiliki makna bahwa kita

hidup di dunia ini harus mampu menjawab, dari mana asal kita, apa fungsi kita

hidup di dunia, dan kemanakah kita akan kembali. Persoalan ini harus

diaplikasikan dalam kehidupan, agar dapat menemukan kebahagiaan dan

kesempurnaan.

Simbul atau lambang adalah benda, gambar, lukisan atau kalimat yang

dipergunakan sebagai ciri khas bagi yang mempergunakannya. Contoh karakter

Rahwana sebagai simbul kemurkaan, keserakahan serta kedholiman. Rama simbul

keadilan dan Darmakusumah (Samiaji) lambang kesucian dan segala simbul

kebaikan. Sedangkan sasmita, dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, adalah misil,

silaka atau perlambang. Sumber lain mengatakan bahwa sasmita adalah

isyarat-isyarat, tanda-tanda, atau tutur kata dalang untuk memerintahkan wiyaga dan atau

juru kawih, untuk melaksanakan sesuatu. Sebagai contoh, menginginkan gending

Gawil, dalang akan menuturkan ”Kadia kuda ditongankeun..”, kemudian wiyaga

segera melaksanakan gending yang dimintanya.

Dede Amung Sutarya adalah salah seorang dalang yang dipandang

memiliki kelebihan dalam bidang sekar dalang, di antaranya pada aspek:

a) Kawiradya, kemampuan dalang dalam menceritakan setiap tokoh, terutama

(36)

52   

jejer atau adegan berikutnya dengan menggunakan bahasa kawi sangat

mumpuni, karena disitulah keunggulannya dibanding dalang-dalang dari

paguron lain.

b) Paramakawi, yaitu kemampuan dalang dalam menguasai tata bahasa kawi.

Dalam hal penguasaan tata bahasa dalam bahasa kawi, masih sangat

dipertahankan oleh dalang Dede. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran

bahwa kemampuan dalang harus menguasai unsur-unsur bahasa kawi dengan

benar.

c) Paramasastra,yaitu kemampuan dalang dalam mengolah sastra yang

berkaitan dengan bahasa-bahasa yang digunakan dalam berbagai aspek. Dalam

hal penguasaan sastra ini, tidak terbatas pada bahasa kawi, akan tetapi bahasa

pokok dalam pengentar pertunjukan wayang golek yakni bahasa Sunda,

dalang Dede lebih sering mengangkatnya dengan sastra Sunda melalui dialog

dan sastra lagu.

d) Amardibasa, yaitu kemampuan dalang dalam menggunakan tata bahasa atas

kepentingannya dalam berbagai tokoh. Dalam bahasa Sunda dikenal dengan

istilah undak usuk basa. Konsep undak usuk inilah yang menjadi modal utama

dalang Dede dalam menampilkan antawacana antara para tokoh wayang

dalam jejer atau babak yang sedang berlangsung.

Visualisasi dari keempat aspek diatas, diungkapkan melalui bentuk

murwa, nyandra, kakawen, dan antawacana karena penguasaan terhadap aspek

amardawalagu, Dede memiliki kelebihan dibandingkan dalang-dalang lainnya

(37)

ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, yang dikemas melalui

lantunan-lantunan melodi lagu yang dibuatnya sendiri, di antaranya:

1) Pada umumnya apabila gending jejer ngawitan menggunakan gending

Kawitan, maka murwa pun menggunakan lagu kawitan. Sedangkan Dede

Amung, ia selain menggunakan murwa lagu kawitan, sering pula

menggunakan murwa lagu Sungsang, lagu Bendra, lagu Kastawa, bahkan

lagu-lagu jenis lagu Lenyepan, seperti lagu Tablo. Hal itu tidak pernah

dilakukan oleh dalang-dalang lainnya, baik dalang-dalang yang saat ini masih

berjaya, maupun oleh dalang-dalang sebelumnya. Walaupun menggunakan

lagu yang sama, Dede memiliki sentuhan-sentuhan kreatif dengan

memberikan ornamen tertentu, dan senggol yang berbeda dengan dalang

lainnya. Lihat lampiran notasi No. 1 dan No. 2.

2) Ketika menceritakan seorang tokoh wayang melalui nyandra, Dede tidak

terlepas dari aspek kawiradya, paramakawi, dan paramasastra. Misalnya,

ketika ia akan mengeluarkan tokoh Gatotkaca, maka ia akan mengawalinya

nyandra Gatotkaca, yang digarap dengan bentuk nyandra galantang, dan

nyandra haleuang. Lihat lampiran notasi No. 3.

3) Ketika Kakawen, penggunaan laras dan alur melodi Dede menggubahnya

dengan gayanya tersendiri. Lihat lampiran No.4 dan No. 5

4) Dede dikenal pula dengan produktifitasnya dalam lagu-lagu yang sering

dibawakan oleh tokoh panakawan, yang menjadi kekhasannya, baik yang

(38)

54   

5) Lagu-lagu pengiring tokoh-tokoh tertentu, Dede sering membuat sensasi,

misalnya tokoh Gatotkaca yang pada umumnya menggunakan lagu Macan

Ucul atau lagu Barlen, sedangkan dalang Dede Amung menggunakan lagu

Garuda Pancasila dalam versi Sunda.

6) Hal yang paling fenomenal, Dede Amung Sutarya merupakan salah seorang

dalang yang pertama mempopulerkan Gamelan Selap (gamelan multi laras,

yang kini diikuti oleh para dalang seperti Asep Sunandar, Ade Kosasih

Sunarya, Tjetjep Supriadi, dan dalang-dalang muda yang saat ini sudah mulai

dikenal di masyarakat).

Kelebihan-kelebihan itulah yang tidak banyak dimiliki oleh dalang-dalang

lain, sehingga saat ini gaya Dede Amung banyak diikuti oleh dalang-dalang

lainnya terutama dalang kalangan muda. Walaupun bukan muridnya secara

langsung, dalam istilah lain murid jiplak atau hanya sekedar meniru dari

pertunjukan langsung maupun lewat audio visual dan media rekam.

Sebagai Ketua Yayasan Pedalangan yang memiliki wewenang sebagai

penyelenggara Binojakrama Pedalangan, Dede Amung masih sangat konsisten

memberi motivasi dan terjun secara langsung dalam mengarahkan sampai pada

tataran teknis penyelenggaraan.Kiprahnya sebagai ketua Yayasan Pedalangan

memiliki arti yang sangat strategis dalam mengelola dan mensosialisasikan

program-program yang terkait dengan pelestarian dan perkembangan pedalangan

di Jawa Barat.

Selain sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat, kiprahnya dalam

(39)

Anggota Dewan Pakar pada kepengurusan SENAWANGI (Sekretariat Nasional

Pedalangan Indonesia) periode tahun 2011-2016, bersamaan dengan Dalang

Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Artinya Dalang Dede Amung akan

berbicara wacana dan langkah-langkah nyata pada tingkat nasional.

Foto : 3.2

Dalang Dede Amung Sutarya sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat Memberi sambutan Pembukaan Binojakrama Padalangan

Tahun 2012 di Pendopo Kabupaten Bandung (Dokumentasi: Ojang Cahyadi, April 2012)

4. Organisasi Paguron Munggul Pawenang

Seperti sudah disampaikan dari awal bahwaPaguron merupakan

kependekan dari kata paguruan yang artinya adalah perguruan.Kata paguron

sering digunakan untuk menunjuk suatu lembaga non formal yang mengadakan

kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan suatu bidang, terutama

terkait dengan bidang kesenian.Disebut paguron dikarenakan pengelola kegiatan

yang dimaksud adalah individu seseorang yang bertindak sebagai pimpinan

(40)

56   

Oleh karena itu, sebelum kata sanggar atau padepokan, tempat pelatihan

kesenian tradisional menggunakan kata paguron, termasuk Paguron Munggul

Pawenang yang menjadi objek penelitian ini. Dengan demikian, kata paguron

setara dengan sanggar atau padepokan, yang akhir-akhir ini banyak digunakan

sebagai nama tempat pelatihan kesenian tradisional. Mengingat paguron sudah

merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal, maka sebaiknya dikelola

dengan menggunakan pengelolaan yang lebih teratur, terencana dan memiliki

visi-misi organisasi sebagai tujuan organisasi yang akan menjadi acuan bersama dalam

menempuh tujuan organisasi.

Dalang Dede Amung punya prinsip “embung ngagugulung bingung”

(artinya tidak mau direpotkan oleh hal-hal yang dipandang bisa dikerjakan orang

lain). Dede Amung dengan Munggul Pawenangnya tidak pernah menerapkan

pola manajemen organisasi modern. Karena para pendukungnya hampir semua

dari pihak keluarga, maka manajemen yang diterapkan adalah konsep

kekeluargaan.Terbukti dalam melaksanakan segala kegiatan, dengan didukung

oleh pihak keluarga besar, hasilnya cukup harmonis tanpa ada masalah yang

(41)

Foto : 3.3

Paguron Munggul Pawenang Jl. Padasuka No.54 – Kota Bandung

(Dokumen : Ojang Cahyadi 2012)

5. Aset Paguron Munggul Pawenang

Kesenian wayang golek tergolong tontonan ekslusif. Karena dalam

penyajiannya membutuhkan tempat atau halaman yang luas, panggung yang

besar, sound sistemnya harus bagus, gamelannya harus lengkap dengan multi laras

(gamelan selap), sehingga dari segi permodalan tentu dananya cukup besar. Faktor

lain dalam penyajian wayang golek, harus ditunjang oleh kerja kolektif didalam

team yang kompak dan solid.

Seorang dalang selain harus memenuhi kompetensi teknis sebagai seorang

dalang yang akan ditonton oleh masyarakat, juga harus ditunjang oleh modal yang

cukup kuat, karena dalang menurut sebuah pendapat harus ‘ranggaek memeh

tandukan’ artinya sebelum menjadi terkenal dan mendatangkan banyak panggilan,

(42)

58   

gamelan sendiri, wayang sendiri, bahkan alat transportasi dan sound system juga

sebaiknya milik sendiri.

Setelah mengamati dan melakukan pembicaraan mendalam terkait denga

kekayaan atau asset Paguron Munggul Pawenang dalam bentuk fisik alat

pendukung utama seperti gamelan, wayang golek dan pendukung dalam

pertunjukan lainnya, nampaknya asset Munggul Pawenang terbilang cukup

mewah sebagai sebuah Paguron Pedalangan. Asset perlengkapan yang dimiliki

Munggul Pawenang adalah : Gamelan perunggu selap dengan bentuk dan ukuran

khusus ada 5 set, dan wayang golek 4 kotak komplit

Kalau dihitung nominalnya tentu total kekayaan Paguron Munggul

Pawenang sangat besar sekali, dan ini merupakan modal yang sangat luar biasa

untuk meningkatkan dan mempertahankan eksistensi Paguron Munggul

Pawenang sebagai grup wayang golek yang melayani kebutuhan hiburan

masyarakat dan lembaga yang khusus mencetak calon-calon dalang yang

berprestasi, kreatif dan inovatif dengan tetap memegang pada aturan tetekon dan

pakem padalangan.

Putra-putra dari Munggul Pawenang yang sudah menjadi dalang, mereka

hanya punya tugas secara teknis mendalang.Karena kebutuhan lainnya sudah

difasilitasi oleh orang tuanya. Wawan Dede Amung, Asep Koswara Dede Amung

dan Dandan Dede Amung sudah memiliki gamelan masing-masing yang terhitung

(43)

Foto : 3.4

Salah satu Gamelan selap komplit milik Munggul Pawenang (Dokumentasi Ojang Cahyadi, 2012)

Foto : 3.5

(44)

60   

Foto: 3.6

Rumah kediaman dalang Dede Amung Sekaligus sebagai Paguron Munggul Pawenang

Jl. Padasuka No.54 Kota Bandung (Dokumen Ojang Cahyadi, 2012)

6. Eksistensi Paguron Munggul Pawenang

Eksistensi paguron Munggul Pawenang di tengah masyarakat sampai saat

ini masih tetap mendapat pengakuan.Pengakuan masyarakat yang dimaksud

terhadap kekhasan dan keunggulan Munggul Pawenang dalam hal penyajian sekar

dalangnya.Sedangkan kegiatan-kegiatan yang masih aktif dilakukan meliputi

beberapa kegiatan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Pertunjukan di Masyarakat

Berbicara soal selera masyarakat terhadap pedalangan, tentu menjadi

(45)

geografis serta struktur sosial dari masyarakat itu sendiri. Sehingga persoalannya

akan melihat sejauh mana kondisi minat masyarakat sekarang terhadap hiburan

wayang gelek pada sebuah perayaan atau pesta hajatan.

Kita sederhanakan yang dimaksud masyarakat adalah peminat pertunjukan

wayang golek sebagai pemanggil atau pemilik hajatan bukan penonton.Peminat

wayang golek berkaitan dengan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh karena

masyarakat kita masih tergolong masyarakat agraris, maka minat memanggil

wayang sebagai hiburan hajatan pun ditentukan oleh berhasil atau tidaknya panen

padi mereka atau hasil bumi yang lain. Itu berlaku pada masyarakat sekitar pantai

utara.Selain itu kemampuan untuk memanggil wayang golek sangat sulit, karena

wayang golek menjadi kesenian yang ekslusif, maksudnya memerlukan panggung

besar dan halaman rumah luas, serta didukung oleh personal pendukung yang

sangat banyak.Tapi tidak demikian ketika hasil panen sukses maka hal-hal tadi

tidak menjadi pertimbangan utama, yang penting mereka nanggap wayang.Itu

terjadi pada masyarakat petani dan pedesaan.Sedangkan di masyarakat perkotaan

hal seperti itu sudah sangat langka.

Pada tahun 1966, Dalang Dede Amung mulai belajar naik panggung untuk

mencoba keterampilannya mendalang sebagai dalang beurang (dalang disiang

hari) di daerah kelahirannya Parakansaat Kota Bandung, sejak saat itu mulai

dikenal oleh masyarakat di daerah Cikareumbi, kemudian dipanggil para kerabat

dan kenalan-kenalan, karena Dede sudah memperlihatkan kualitas dan

kompetensinya sebagai dalang yang sangat berbakat.

Pada tahun 1984-1985 setelah menjuarai Binojakrama Padalangan,

(46)

62   

masyarakat melebihi jumlah hari dalam sebulan, artinya di puncak ketenarannya

sangat sulit untuk istirahat. Bahkan menurut Dede walaupun di bulan suci

Ramadhan pada saat itu panggilan ngewayang masih tetap ada, sangat beda

dengan sekarang.

Dalam wawancara dengan Dalang Apep AS Hudaya, setiap dalang

memiliki segmen pasar yang berbeda, bahkan lebih dari itu ada kalanya

masyarakat memiliki fanatisme khusus kepada salah seorang tokoh dalang.

Sebagai contoh, segmen pasar dalang Dede Amung lebih banyak di daerah

Kuningan, Subang, Bandung, Ciamis, Tasik dan Sumedang. Hal ini terjadi karena

fanatisme atau merasa dekat dengan sosok sang dalang sebagai figure yang

diidolakan.

Foto :3.7

(47)

Menyikapi perkembangan padalangan khususnya di Jawa Barat, Dede

Amung kerap kali berdiskusi dengan dalang-dalang lain seperti dengan Asep

Sunandar Sunarya sebagai Ketua PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia)

Komisariat Jawa Barat. Sementara Dede Amung sendiri sebagai Ketua Yayasan

Pedalangan Jawa Barat sebagai penyelenggara Binojakrama Padalangan di Jawa

Barat.

Pelaksanaan program kegiatan pedalangan khususnya di Jawa Barat,

antara pengurus Yayasan Pedalangan Jawa Barat dengan pengurus PEPADI Jawa

Barat yang dipimpin Asep Sunandar Sunarya, selalu bekerja bersinergi. Karena

kedua organisasi pedalangan ini memiliki tugas yang sama yaitu memberikan

pembinaan dalam peningkatan prestasi serta kompetensi kepada para dalang di

Jawa Barat secara berkelanjutan dan terorganisir.

Baik dalang Dede maupun dalang Asep Sunandar telah berkomitmen

untuk tetap memberikan segala kemampuan yang bersifat materil maupun non

(48)

64   

Foto : 3.8

Dalang Dede Amung sedang berdiskusi dengan Dalang Asep Sunandar Sunarya membahas

perkembangan pedalangan di Jawa Barat disaksikan oleh Cahya Hedi, M.Hum sebagai pendamping dalam memberikan materi diskusi

(Dokumentasi: Ojang Cahyadi, April 2012)

b. Binojakrama/ Festival Pedalangan

Secara historis Binojakrama Pedalangan awalnya lahir dari kegiatan

pertemuan atau silaturahmi para dalang di wilayah Jawa Barat dan

Banten.Pertemuan tersebut bertujuan untuk bertukar pikiran dan mengetahui

perkembangan di wilayah masing-masing. Semakin lama muncul kejenuhan

sehingga lahirlah ide, dari pada hanya berdiskusi ada baiknya kita siapkan

tontonan yang bisa diapresiasi oleh seluruh peserta yang hadir. Dari gagasan

tersebut berkembang manjadi sebuah lomba sebagai wujud kegiatan bergengsi

dalam dunia padalangan yang disebut Binojakrama Padalang Jawa Barat dengan

(49)

Binojakrama pedalangan akhirnya menjadi sebuah ajang atau kegiatan

lomba untuk mencari dalang terbaik se Jawa Barat.Dede Amung pada tahun 1980

telah mendapatkan penghargaan tertinggi dalam Binojakrama Padalangan di Jawa

Barat sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan Bokor Emas.Binojakrama

dianggap sebuah parameter dan tolok ukur sebuah keberhasilan seorang dalang.

Dengan demikian kegiatan ini menjadi kegiatan sangat sakral dan menjadi

momentum yang sangat bersejarah bagi yang mendapatkan posisi juara pertama,

karena Binojakrama merupakan jembatan menuju popularitas dimasyarakat dan

legalitas sebagai dalang terbaik se Jawa Barat.

Fenomena tersebut saat ini sudah bergeser, karena seiring dengan

perkembangan global yang sangat deras dan bersentuhan dengan kesenian

tradisional, telah merubah nilai-nilai dan filosofi kegiatan Binojakrama.Menurut

beberapa pendapat para dalang muda, Binojakrama saat ini hanya sebagai

legalitas, bahwa penyajian pertunjukan yang baik yaitu yang mengacu pada dua

belas tetekon pedalangan. Akan tetapi tidak menjadi jaminan setelah menjadi

pemenang binojakrama secara otomatis akan laku dipasaran dengan banyak

panggilan pertunjukan.

Berikutnya kegiatan Festival Internasional yang pernah diikuti oleh

Dalang Dede adalah Festival Wayang International di Australia pada tahun 1994.

Dalang Dede mewakili Indonesia mengemban misi Negara untuk berlaga dan

bersaing dengan para peserta dari Jepang, Columbia, Viatnam, Korea, India, dan

Australia sebagai tuan rumah. Hasil Festival Internasional menempatkan dalang

(50)

66   

berharga bagi seorang dalang yang memiliki reputasi nasional dan Internasional,

karena dalam pandangan masyarakat bahkan di tengah-tengah seniman sunda,

Dede Amung sudah dianggap seorang tokoh inspiratif yang memberi kontribusi

terhadap pembangunan kesenian dan kebudayaan khususnya di Jawa Barat.

Festival Dalang Kondang yang diselenggarakan oleh Universitas

Padjajaran Bandung pada tahun 2010 yang mengusung tema “Geunjleung

Wayang” merupakan pertemuan ketiga tokoh dalang Jawa Barat sangat

fenomenal, karena merupakan peristiwa budaya yang langka dan sangat

bersejarah bagi perkembangan pedalangan khususnya di Jawa Barat. Bagi dalang

Dede Amung, kegiatan Geunjleung Wayang merupakan apresiasi dari masyarakat

akademis terhadap eksistensi ketiga dalang yang sudah menorehkan prestasi bagi

perkembangan padalangan di Jawa Barat. Bukti prestasi yang dimiliki ketiga

dalang ini, telah memiliki gaya yang berbeda yang khas didukung oleh

masyarakat pendukung yang fanatic, serta menjadi idola dan inspirasi bagi para

(51)

Foto : 3.9

Spanduk dan Banner Geunjleung Wayang Gambar Paling kiri Dalang Tjetjep Supriadi, Gambar tengah Dalang Dede Amung Sutarya, dan

Gambar kanan Dalang Asep Sunandar Sunarya (Dokumentasi : Website UNPAD 2010)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa interview guideyang disusun secara

sistematis, untuk mengungkapkan selengkap mungkin informasi pelatihan dalang

di Paguron Munggul Pawenang. Untuk memudahkan dalam pengumpulan data

maka peneliti menggunakan alat-alat bantu berupa: camera digital untuk merekam

audio dan video serta pengambilan gamabar (foto), alat bantu lain dalam

penelitian ini adalah; Handphone, dan alat tulis, yang digunakan peneliti dalam

(52)

68   

E. Teknik Pengumpulan Data

Proses mengumpulkan data di lapangan dilakukan dengan menggunakan

teknik pengamatan, observasi langsung dengan narasumber, dan studi literatur.

Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati langsung terhadap proses latihan

dalang wayang golek di paguron Munggul Pawenang, dan melakukan wawancara

dengan dalang-dalang mantan catrik di Munggul Pawenang. Teknik wawancara

digunakan untuk mengumpulkan keterangan baik dari Dede Amung Sutarya

sendiri, maupun dari keluarga dan atau murid-muridnya, berkaitan dengan proses

pembelajaran atau pelatihan yang dilakukan di paguron Munggul Pawenang.

Sedangkan studi literatur dilakukan terhadapbeberapa sumber buku, hasil

penelitian, dan makalah-makalah yang sudah diseminarkan. Tahapan-tahapan

yang dilakukan dalam pengumpulan datamenurut Nasution dalam Tuti Tarwiyah

(Tarwiyah,1999:52).dalah sebagai berikut :

1. Proses Getting In (Memasuki lokasi penelitian)

Proses memasuki lokasi penelitian ini diawali dengan datang ke lokasi

penelitian dan memperkenalkan diri kepada pihak-pihak yang berada di lokasi

penelitian, yakni dalang Dede Amung Sutarya dan keluarga besarnya.Penulis

mengadakan pendekatan-pendekatan agar bisa diterima dengan baik dilingkungan

tersebut. Sebagai pendekatan awal peneliti memberikan surat resmi bahwa peneliti

akan mengadakan penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan

komunikasi kepada sumber data dengan maksud dapatmemperoleh data yang

(53)

2. Proses Getting Along (Memasuki kegiatan penelitian)

Dalam tahap ini penulis sudah masuk dalam kegiatan penelitian, penulis

berusaha untuk melakukan hubungan lebih erat dengan subyek penelitian,

berusaha mencari informasi yang lengkap, baik yang berkaitan langsung dengan

kesejarahan, pola pelatihan dan teknis sekar dalang, mengorek keberadaan dan

kesuksesan murid-murid paguron Munggul Pawenangdi masyarakat, mengungkap

dan menjelaskan strategi pelatihan yang dilakukan di Munggul Pawenang, serta

selalu mencari data-data penunjang untuk melengkapidata-data yang diperlukan.

3. Proses Logging Data (Pencatatan dan penyimpanan informasi)

Proses logging data adalah proses pencatatan (logging) dan penyimpanan

informasi untuk menyediakan segala macam informasi yang dibutuhkan sebagai

data primer serta mampu menggambarkan seluruh mekanisme bagaimana data

diperoleh dan didisplay. Pada proses ini, penulis menggunakan empat teknik

pengumpulan data, di antaranya:

a.Wawancara

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara karena data yang didapat

diperoleh dari narasumber atau informan yang diberikan pertanyaan dan

menberikan tanggapan atas pertanyaan tersebut. Tanggapan-tanggapan yang

dilontarkan oleh narasumber atau informan tersebut menjadi data yang digunakan

ssebagai pacuan dari penelitian ini. Sedangkan wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu

(54)

70   

(interviewer) yang memberikan jawaban atas pernyataan itu (Lexi, J. Maleong,

1990: 135).

Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman

wawancara, yakni melalui pertanyaan-pertanyaan terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara yang sebelumnya sudahdibuat tornya(daftar

pertanyaan) yang akan diajukan. Pertanyaan yang diberikan dapat berkembang

lebih lanjut bilamana ada hal-hal yang dirasakan memerlukan informasi lebih

lanjut dan mendalam. Alat yang digunakan dalam wawancara ini berupa alat-alat

pencatatan lapangan dan digitalcamera untuk merekam audio dan video.Data

yang dikumpulkan melalui wawancara ini mencakup:

1) Latar belakang dan sejarah berdirinya Paguron Munggul Pawenang.

2) Minat masyarakat, pada pelatihan dalang khususnya peminat dari luar

keluarga.

3) Segenap kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran dan pelatihansekar

dalang di Paguron Munggul Pawenang.

4) Strategi pelatihan sekar dalangyang diterapkan dalam proses pelatihan dalang

di Paguron Munggul Pawenang.

5) Kendala/hambatan yang dihadapi para catrik dalam proses pelatihan.

Gambar

Gambar Paling kiri Dalang Tjetjep Supriadi,

Referensi

Dokumen terkait

Model Media Wayang Golek Cepak Tegal dalam Pembelajaran Sejarah dengan Sosiodrama untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa SMA Negeri 4 Kota Tegal. Pembimbing

Untuk mendeskripsikan mengenai pesan-pesan moral pada Pertunjukan wayang kulit dalam Lakon “Wahyu Makutharama” dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjowinangun,

Budaya Sunda pada masyarakat kota Bandung dirasakan sudah tidak kental lagi. Karena pola pikir masyarakat yang kurang akan budaya dan kurangnya aturan yang kuat

Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh organisasi sosial dalam melestarikan kesenian wayang kulit di kota Medan, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah, mengetahui

Gambaran efektivitas model pembelajaran dengan metode dongeng menggunakan media wayang golek untuk mengembangkan karakter persahabatan anak usia dini di TK

Kini, pembuatan wayang golek dengan kekhasannya lebih banyak diproduksi untuk bahan cen- deramata dari tanah Sunda bagi para turis, ketimbang sebagai alat seni

Di tengah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi keberadaan seni pertunjukan wayang golek, dunia pariwisata telah menciptakan peluang baru yang cukup prospektif

Berdasarkan hasil wawancara bersama Bapak Usup selaku Kepala Seksi Bina Seni menjelaskan bahwa: “Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melakukan upaya pelestarian kesenian wayang golek yang