144
HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA
Novia Ariani
*dan Aditya Maulana
Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
Jl. Flamboyan III/7B Kayu Tangi Banjarmasin 70123
*Corresponding author email: [email protected]
Abstrak
Latar Belakang: Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Khususnya digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Kepatuhan dalam mengkonsumsi antibiotik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya resistensi. Dampak jika bakteri telah resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan meningkatnya biaya kesehatan. Pemberian informasi obat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum antibiotik untuk mencegah terjadinya resistensi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan dalam minum antibiotik dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat antibiotik.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cohort pada 91 pasien yang mendapat obat antibiotik di Puskesmas Remaja Samarinda. Responden dipilih secara concecutive sampling dan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi informasi obat lengkap yaitu jenis obat beserta kegunaan obat, aturan pakai obat beserta interval waktu dan lama penggunaan obat beserta alasan. Sedangkan kelompok kedua diberi informasi standar yaitu jenis obat, aturan pakai obat dan lama penggunaan obat. Data kepatuhan diperoleh melalui pengamatan langsung dengan menghitung sisa obat yang telah diterima pasien. Analisa data dilakukan dengan uji chi-square.
Hasil Penelitian: Responden yang mendapat informasi obat lengkap sebanyak 40,43% patuh dan 59,57% tidak patuh. Sedangkan responden yang mendapat informasi obat standar sebanyak 40,91% patuh dan 59,09% tidak patuh.
Hasil penelitian secara statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat dengan nilai p = 0,963 > 0,05.
Kesimpulan: Pemberian informasi obat oleh tenaga kefarmasian bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat. Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat antibiotik antara lain keyakinan, sikap dan kepribadian pasien, pemahaman instruksi dan kualitas interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan.
Kata kunci : informasi obat, antibiotik, kepatuhan, infeksi, resistensi.
1. PENDAHULUAN
Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan.
Khususnya digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri. Penggunaan antibiotik harus memperhatikan dosis, frekuensi dan lama pemberian sesuai regimen terapi dan kondisi pasien. Antibiotik harus di konsumsi atau di minum secara teratur sesuai cara penggunaannya. Jika pasien menggunakan antibiotik tidak tepat seperti tidak patuh pada regimen pengobatan dan aturan minum obat maka akan memicu terjadinya resisitensi.
Dampak jika bakteri telah resistensi terhadap
antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan meningkatnya biaya kesehatan.
Antibiotik harus di konsumsi atau di minum secara teratur sesuai cara penggunaannya. Jika pasien menggunakan antibiotik tidak tepat seperti tidak patuh pada regimen pengobatan dan aturan minum obat maka akan memicu terjadinya resisitensi. Dampak jika bakteri telah resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan meningkatnya biaya kesehatan (Kemenkes, 2011).
Resistensi dapat dicegah jika pasien minum antibiotik secara patuh. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Beberapa diantaranya kualitas interaksi antara profesional
145 dengan pasien dan sikap atau keyakinan dari
pasien itu sendiri untuk sembuh. Dukungan keluarga dan dukungan profesional kesehatan dapat membantu mengatasi ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat (Niven, 2012).
Pada saat ini pelayanan kefarmasian telah berubah yang dulunya berorientasi pada obat sekarang berorientasi kepada pasien yang mengacu kepada asuhan kefarmasian atau biasa disebut dengan istilah pharmaceutical care.
Pasien adalah prioritas utama dalam pelayanan kefarmasian sehingga kualitas hidup pasien menjadi meningkat. Pharmaceutical care dilaksanaan di semua fasilitas pelayanan kesehatan tidak terkecuali di fasilitas pelayanan tingkat pertama yaitu puskesmas. Pelayanan kefarmasian di puskesmas dilaksanakan oleh Apoteker dan dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian/asisten apoteker. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah bentuk dukungan dari profesional kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan minum obat (Depkes, 2006). Pemberian informasi obat kepada pasien adalah salah satu bentuk interaksi tenaga kesehatan dengan pasien. Informasi obat yang disampaikan kepada pasien harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat dan tidak bias.
Informasi obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien dalam mengkonsumsi obat secara teratur sehingga kesembuhan pasien dapat diperoleh (Kemenkes, 2004b).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti selama Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan tanggal 7 Juli sampai 16 Agustus 2014 di Puskesmas Remaja diperoleh data yaitu jumlah rata-rata penggunaan obat antibiotik dalam 1 bulannya mencapai angka kurang lebih 43% dari kunjungan resep dan khusus untuk antibiotik Amoksisilin 500 mg termasuk dalam 10 jenis obat dengan pemakaian obat terbanyak pada tahun 2013. Untuk pemberian informasi obat, khususnya obat antibiotik pasien hanya menerima informasi tentang jenis obat, aturan pakai tapi tanpa disertai interval waktu, dan lama penggunaan obat. Efek samping dan cara penyimpanan tidak pernah disampaikan kepada pasien.
Menurut penelitian Julaiha (2014) yaitu pemberian informasi obat yang disampaikan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian
meliputi waktu penggunaan sebanyak 100%, lama penggunaan sebanyak 98,10% cara penggunaan obat sebanyak 99,37%, efek yang dirasakan sebanyak 94,30% dan efek samping sebanyak 1,27%. Sedangkan dari penelitian Asih (2011) menyatakan komunikasi petugas pelayanan informasi obat mempunyai pengaruh signifikan tehadap kepatuhan minum obat.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang “hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat antibiotik pada pasien rawat jalan di Puskesmas Remaja Samarinda.”
2. BAHAN DAN METODE 2.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian analitik yaitu survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
2.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2014. Penelitian
dilaksanakan di Puskesmas Remaja Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.
2.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di Puskesmas Remaja dan mendapat terapi antibiotik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti adalah teknik concecutive sampling yaitu semua sampel yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi :
a. Usia pasien dari 20 – 65 tahun.
b. Pasien yang mendapat antibiotik sediaan tablet, kaplet dan kapsul.
c. Pasien yang datang berobat dan mendapat antibiotik di bulan Desember 2014 d. Bersedia menjadi responden dalam
penelitian.
Kriteria eksklusi :
a. Pasien yang tidak mendapat informasi langsung dari tenaga kefarmasian.
b. Pasien buta huruf.
c. Pasien tuli.
d. Pasien yang tidak dapat ditemui saat observasi kepatuhan.
146 3. HASIL
3.1.
Karakteristik RespondenBerdasarkan tabel 1. menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah perempuan yaitu terdiri dari 55 orang (60,44%) dan sisanya adalah laki-laki yang berjumlah 36 pasien (39,56%). Dari tingkat pendidikan menunjukkanbahwa pasien yang menjadi responden berasal dari beberapa tingkat
pendidikan, yaitu SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Responden dengan latar belakang pendidikan SLTA adalah yang paling banyak menjadi responden yaitu 40 orang (43,96%) dan yang paling sedikit adalah responden dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi yaitu 9 orang.
(9,89%).
Tabel 1. Data karakteristik responden
Karakteristik Pasien Sampel
(N= 91) %
Jenis Kelamin Laki – laki 36 39,56
Perempuan 55 60,44
Pendidikan SD 17 18,68
SLTP 25 27,47
SLTA 40 43,96
Perguruan Tinggi 9 9,89
Pekerjaan PNS 2 2,20
Swasta 15 16,48
Wiraswasta 17 18,68
Ibu Rumah Tangga Tidak Bekerja
Lain-lain
41 6 10
45,06 6,59 10,99
Lama Penggunaan 3 hari 50 54,95
5 hari 41 45,05
Jenis PIO PIO Lengkap 47 51,65
PIO Standar 44 48,35
Sedangkan dari jenis pekerjaan responden menunjukkan bahwa pasien yang menjadi responden mempunyai latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Responden paling banyak adalah ibu rumah tangga yaitu 41 orang (45,06%) dan paling sedikit adalah PNS yaitu 2 orang ( 2,20%). Dari lama penggunaan antibiotik menunjukkan bahwa responden yang mendapat antibiotik harus minum obat selama 3 hari dan 5
hari. Responden yang paling banyak adalah responden yang mendapat antibiotik selama 3 hari yaitu 54,95%. Dari jenis PIO yang diberikan menunjukkan bahwa responden yang mendapat PIO lengkap sebanyak 47 orang (51,65%) sedangkan responden yang mendapat PIO standar sebanyak 44 orang (48,35%). Responden yang mendapat PIO lengkap dan PIO standar terpilih secara acak.
3.2. Kepatuhan Minum Obat
3.2.1. Data Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan tabel 2. menunjukkan
bahwa dari 37 responden yang patuh minum obat antibiotik, laki-laki lebih banyak patuh (50%) daripada perempuan.Hasil penelitian tidak sesuai
dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa perempuan memliki tingkat ketelitian serta kepatuhan yang lebih tinggi daripada laki-laki.
147 Tabel 2. Data kepatuhan minum obat berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Patuh Tidak Patuh Total
n % n % n %
Laki-laki 18 50,00 18 50,00 36 100
Perempuan 19 34,55 36 65,45 55 100
Jumlah 37 40,66 54 59,34 91 100
Hasil penelitian ini pun berbeda dengan hasil penelitian Ramadona (2011) yang menyebutkan perempuan lebih memperhatikan
kesehatan dirinya sehingga akan lebih patuh minum obat dibandingkan laki-laki.
3.2.2. Data Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan tabel 3. menunjukkan bahwa dari 37 responden yang patuh minum antibiotik, responden dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi yang menunjukkan
lebih banyak yang patuh (77,78%). Dari data ini terlihat bahwa pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan seseorang.
Tabel 3. Data kepatuhan minum obat berdasarkan pendidikan
Pendidikan Patuh Tidak Patuh Total
N % n % n %
SD 7 41,18 10 58,82 17 100
SLTP 7 28 18 72 25 100
SLTA 16 40 24 60 40 100
Perguruan Tinggi 7 77,78 2 22,22 9 100
Jumlah 37 40,66 54 59,34 91 100
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya dan dengan pengetahuan yang mereka miliki selain tidak hanya untuk difahami juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi pengetahuan tidak hanya didapat dari pendidikan formal saja, pengetahuan bisa didapat
dari pendidikan non formal seperti membaca buku, mendengar ceramah, pengalaman dan lain- lain. Hal ini dapat diihat dari kepatuhan responden dengan latar belakang SD lebih banyak yang patuh daripada responden dengan latar belakang pendidikan SLTP.
3.2.3. Data Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Pekerjaan Berdasarkan tabel 4. menunjukkan
bahwa dari 54 responden yang tidak patuh minum obat antibiotik, paling banyak yang tidak patuh adalah ibu rumah tangga (65,85%). Dari
data ini dapat dilihat bahwa pekerjaan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang.
Tabel 4. Data kepatuhan minum obat berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan Patuh Tidak Patuh Total
N % n % n %
PNS 1 50 1 50 2 100
Pegawai Swasta 7 46,67 8 53,33 15 100
Wiraswasta 8 47,06 9 52,94 17 100
Ibu Rumah Tangga 14 34,15 27 65,85 41 100
Tidak Bekerja 3 50 3 50 6 100
Lain-lain 4 40 6 60 10 100
Jumlah 37 40,66 54 59,34 91 100
148 Pekerjaan berhubungan erat dengan
faktor interaksi sosial dan kebudayaan.Karena dengan bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang bisa terjadi pertukaran informasi.
Walaupun begitu responden yang tidak bekerja dalam penelitian ini adalah orang tua yang sudah tidak mampu bekerja lagi dan mahasiswa yang sedang kuliah termasuk dalam responden yang banyak patuh, hal ini mungkin disebabkan informasi yang mereka peroleh dari lingkungan
mereka yaitu pengalaman pernah bekerja dan tempat mahasiswa menuntut ilmu. Sedangkan untuk ibu rumah tangga menunjukkan data lebih banyak yang tidak patuh. Sebanyak 70%
responden ibu rumah tangga yang tidak patuh memberikan alasan lupa sehingga peneliti menyimpulkan karena kesibukan mereka dalam mengurus rumah sehingga mempengaruhi mereka dalam kepatuhan minum obat.
3.2.4. Data Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Lama Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan tabel 5. akan dilakukan uji Chi Square untuk mengetahui apakah lama penggunaan antibiotik juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat.
Tabel 5. Data kepatuhan minum obat berdasarkan lama penggunaan antibiotik
Lama Penggunaan
Patuh Tidak Patuh Total
N % n % n %
3 Hari 21 42 29 58 50 100
5 Hari 16 39,02 25 60,98 41 100
Jumlah 37 40,66 54 59,34 91 100
3.2.5. Data Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Jenis PIO
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan dari 37 responden yang patuh minum obat antibiotik yang mendapat PIO lengkap (40,43%) dan PIO standar (40,91%). Dari data tersebut
menunjukkan tidak ada perbedaan hasil kepatuhan antara pasien yang diberi PIO lengkap dengan pasien yang diberi PIO standar.
Tabel 6. Data kepatuhan minum obat berdasarkan jenis PIO
Jenis PIO Patuh Tidak Patuh Total
N % n % n %
PIO Lengkap 19 40,43 28 59,57 47 100
PIO Standar 18 40,91 26 59,09 44 100
Jumlah 37 40,66 54 59,34 91 100
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Insani tahun 2013 tentang “Pengaruh pelayanan informasi obat terhadap keberhasilan terapi pasien diabetes mellitus tipe 2”
menyatakan bahwa pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapat pelayanan informasi obat dan edukasi mengenai diabetes menujukkan keberhasilan dalam terapi diabetes dibandingkan pasien diabetes yang tidak mendapat pelayanan kefarmasian tersebut (pelayanan informasi obat dan edukasi mengenai diabetes). Jadi walaupun responden diberi informasi obat yang lengkap maupun standar tidak mempengaruhi kepatuhan
minum obat karena masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat.
3.3. Hubungan Lama Penggunaan Antibiotik dengan Kepatuhan Minum Obat
Dari hasil uji Chi Square didapatkan nilai Pearson Chi Square adalah 0,083 dan p- value = 0,774 (α = 0,05), dengan demikian p- value lebih besar dari alpha sehingga dinyatakan tidak ada hubungan lama penggunaan antibiotik dengan kepatuhan minum obat antibiotik.
3.4 Hubungan Pemberian Informasi Obat dengan Kepatuhan Minum Obat
149 Dari hasil uji uji Chi-Square didapatkan
nilai Pearson Chi Square adalah 0,02 dan p- value = 0,963 (α = 0,05), dengan demikian p- value lebih besar dari alpha sehingga dinyatakan tidak ada hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat antibiotik.
4. PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat (Brannon dan Feist, 2004) dalam Setiadi (2014) yaitu karakter individu (usia, gender, dukungan sosial, dukungan emosional kepribadian individu, keyakinan individu tentang penyakit yang diderita), norma budaya dan karakter hubungan antara pasien dengan petugas kesehatan. Peneliti memasukkan pemberian informasi obat ke dalam faktor karakter hubungan antara pasien dengan petugas kesehatan. Dalam hal ini yang dimaksud petugas kesehatan adalah tenaga kefarmasian yaitu apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
Dalam penelitian ini peneliti hanya meneliti faktor karakter hubungan antara pasien dengan petugas kesehatan yaitu pemberian informasi obat oleh tenaga kefarmasian. Sedangkan untuk faktor-faktor yang lain seperti usia, gender, pendidikan, dukungan sosial (keluarga), dukungan emosional dan norma budaya, peneliti memang tidak melakukan penelitian terhadap faktor-faktor tersebut.
Pada penelitian ini dilakukan analisa uji statistik Chi Square terhadap data pemberian informasi obat untuk mengetahui apakah ada hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat. Kemudian diperoleh hasil p value = 0,963 artinya bahwa tidak ada hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Asih tahun 2011 yang menyatakan bahwa komunikasi petugas pelayanan informasi obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan minum obat dengan nilai p < 0,05. Hal ini dikarenakan pemberian informasi obat bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu karakter individu dan norma budaya. Untuk mendukung hasil penelitian dilakukan analisa uji statistik uji Chi Square terhadap data lama penggunaan antibotik. Hasil analisa diperoleh p value = 0,774 artinya bahwa tidak ada hubungan lama penggunaan antibotik dengan kepatuhan minum obat.
Dari analisa tersebut diperoleh hasil bahwa pemberian informasi obat dan lama penggunaan antibiotik tidak mempengaruhi kepatuhan minum obat antibiotik pada pasien rawat jalan di Puskesmas Remaja. Hal ini diperkuat dengan jawaban yang diberikan responden saat ditanya alasan responden tidak menghabiskan obat antibiotik tepat waktu sesuai dengan jumlah obat antibiotik yang diterima.
Alasan yang diberikan 54 responden yang dinyatakan tidak patuh antara lain :
a. Lupa minum obat : 36 orang
b. Mengganti/membeli obat sendiri : 1 orang c. Merasa sudah sembuh : 8 orang
d. Pindah berobat ke dokter/puskesmas lain : 1 orang
e. Terjadi efek samping obat : 1 orang
f. Merasa tidak ada perubahan/sembuh : 2 orang
g. Minum obat hanya ketika sakit : 1 orang h. Merasa tidak cocok dengan obat yang
diterima : 1 orang
i. Bingung dengan banyak obat karena sakit lain : 2 orang
j. Stop minum obat karena obat yang lain sudah habis : 1 orang
Dari alasan-alasan diatas dapat dilihat bahwa lupa minum obat adalah alasan yang paling banyak diberikan responden. Dimana lupa minum obat adalah bagian dari sikap responden/pasien dalam menghadapi pengobatan yang sedang dijalani. Sehingga informasi obat yang diberikan oleh tenaga kefarmasian tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kepatuhan pasien minum obat jika bukan dari diri pasien itu sendiri yang mau memotivasi dirinya untuk minum obat secara patuh.
Berdasarkan alasan-alasan diatas peneliti mengelompokkan dalam beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan pasien minum obat antibiotik, yaitu :
a. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Peneliti menyimpulkan dari alasan responden yaitu lupa minum obat, merasa sudah sembuh, merasa tidak ada perubahan, bingung dengan banyak obat yang dimiliki, mengganti/membeli obat sendiri.
b. Pemahaman tentang instruksi
Peneliti menyimpulkan dari alasan responden yaitu minum obat antibiotik hanya saat sakit dan berhenti minum obat karena obat yang lain sudah habis berarti responden tidak mengerti informasi yang telah diberikan bahwa obat antibiotik harus
150 diminum secara teratur dan harus
dihabiskan.
c. Kualitas interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan
Peneliti menyimpulkan dari alasan responden yaitu responden merasa tidak cocok dengan obat yang diterima dan responden pindah atau beralih ke dokter di puskesmas lain berarti tenaga kesehatan/dokter tidak bisa meyakinkan pasien kalau pilihan obat tersebut telah cocok/sesuai dengan keadaan pasien. Alasan yang lain yaitu terjadi efek samping obat berarti informasi obat yang disampaikan kurang lengkap, hal ini karena informasi obat mengenai efek samping memang tidak diberikan karena tidak termasuk dalam jenis PIO saat penelitian.
5. KESIMPULAN
Tidak ada hubungan pemberian informasi obat dengan kepatuhan minum obat pada pasien rawat jalan di Puskesmas Remaja Samarinda dengan p-value sebesar 0,963.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien minum obat adalah keyakinan, sikap dan kepribadian dari pasien, pemahaman tentang instruksi yang diberikan tenaga kesehatan serta kualitas interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada responden yang sudah bersedia berpartisipasi mengikuti penelitian ini. Pihak Puskesmas Remaja Samarinda yang sudah memberikan izin untuk berjalannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asih, HAS, 2011, ‘Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Melitus Rawat Jalan di RSUD dr.
H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi’,Universitas Sumatera Utara, Medan, diakses tanggal 2 Februari 2015 2. Depkes, 2006, Pedoman Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
3. Insani, WN, 2013, ‘Pengaruh Pelayanan Informasi Obat Terhadap Keberhasilan Terapi Pasien Diabetes Melitus Tipe 2’,
Universitas Padjajaran, Bandung, diakses tanggal 2 Februari 2015
4. Julaiha, S., 2014, ‘Studi Deskriftif Pemberian Informasi Obat Antibiotik Kepada Pasien di Puskesmas Sungai Mesa Banjarmasin’, Karya Tulis Ilmiah, Akademi Farmasi ISFI, Banjarmasin
5. Kemenkes, 2004b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
6. Kemenkes, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
7. Niven, N. 2012, Psikologi Kesehatan, ed. 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 8. Setiadi, A., 2014, ‘Hubungan Keyakinan
Diri dengan Kepatuhan Minum Obat pada Lansia Penderita DM Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Ayah’, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, diakses pada 15 Agustus 2014