• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHUJJAHAN MAQASID AL-SYARI AH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEHUJJAHAN MAQASID AL-SYARI AH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KEHUJJAHAN MAQASID AL-SYARI’AH

Hj.A.Sukmawati Assaad*

Abstrak: Maqasid Syari‘ah berarti tujuan Allah Swt. dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah Rasu- lullah SAW. Sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada dua sudut pandang. Pertama, maqasid al syari‟ (tujuan Tuhan). Kedua, maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu a) Tujuan awal dari Syari‘ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, b) Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami c) Penetapan syariah sebagau hukum taklifi yang harus dilaksanakan, d) Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.

Kata Kunci, Maqashid Syariah

Pendahuluan

Suatu waktu Nabi Muhammad Saw.

melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah).

Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda,

―Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya‖.

Dari kasus tersebut terlihat adanya larangan menyimpan daging kurban diharap- kan tujuan syariat dapat dicapai, yakni mela- pangkan kaum miskin yang datang dari desa desa pinggiran Madinah. Setelah alasan pela rangan tersebut tidak ada lagi, maka laran gan itu pun dihapuskan oleh Nabi Saw.

Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad saw, Maqasid Al Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.

Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul fiqh, yang dikembang-

kan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah.

Kajian demikian terlihat dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al Musthafa karya Al Ghazali, Al- Mu‟tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikem- bangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1

Dalam kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang populer atau bahkan diabaikan dalam ban- yak buku referensi yang berbicara tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasa Maqasid Al Syariah menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah lebih banyak diidentifkkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.

Sedikitnya kita-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi‘i yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam pokok baha- san mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang diyakininya.

Sebagaimana dijelaskan Shatibi, dok- trin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu mash lahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat

*Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palopo

1Nasrun Rusli., Konsep Ijtihad Al Syaukani : Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Logos, 1999, h. 42-43.

Hj. A. Sukmawati Assaad, Kehujjahan Maqasid Al Syariah 183

(2)

manusia.2 Teologi Islam menerima penger- tian umum dan lahir dari mashlahah ini, tetapi mereka saling berbeda pendapat jika mashlahah dipahami dalam kerangka kausa- litas. Kaum Asy‘ariah menolak secara eks- plisit maupun implisit, kausalitas dalam hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, premis ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashalah, untuk bertindak dalam suatu cara tertentu.

Karena kewajiban semacam itu berarti mem- batasi kemahakuasaan Tuhan, maka kaum Asy‘ariah menolak ide bahwa mashlahah adalah ‗Illal Al Syar‘i. Kendatipun demi- kian, mereka menerima premis ini dengan menafsirkan mashlalah sebagai ―Rahmat‖

Tuhan, dibanding sebagai ―sebab‖ bagi tindakan-tindakanNya. Di sisi lain, kaum Mu‘tazilah walaupun juga mempertahankan kemahakuasaan Tuhan, tetapi meyakini bah- wa Tuhan berkewajiban melakukan kebaik- an. Sebagai konsekuensinya, mereka mene- rima premis di atas, mengenai mashlahah sebagai ‗Illat Al Syariah.

Argumen-argumen teologis yang me- rambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun demi- kian, ushul fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran yang berbeda dari metode kalam. Pemikiran hukum meng- haruskan bahwa kehendak bagi tindakan- tindakan sukarela manusia harus dihubung- kan dengan manusia itu sendiri jika ia secara hukum harus bertanggung jawab atas tinda- kannya. Karena ketaatan kepada perintah- perintah Tuhan tergantung pada kehendak manusia, maka perintah itu harus diperli- hatkan dimotivasi oleh perkembangan ke- pentingan-kepentingan manusia. Sebagai konsekuensinya, premis mashlahah harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.

Perdebatan mengenai Maqasid Al Syariah ini tidak saja terkait dengan teologi, tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqa-

2Muhammad Khalid Mas‘ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Terjemahan oleh Yudian W. Asmin. Surabaya : Al-Ikhlas, 1995, h. 225

3Ibid. h. 226

sid Al Syariah sebagai sumber pengem- bangan hukum. Metode-metode pengem- bangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah mursalah,4 adalah metode pengembangan yang dipersilisihkan keber- adaannya. Imam Syafi‘i contohnya, atas istihsan dia menyatakan : “Barang siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta syara”.5 Oleh karena itu dari penjelasan di atas, maka penulis akan membahas tentang kehujjahan maqasid syari‘ah.

Pengertian dan Cakupan Maqasid Al Syariah

Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam meru- muskan hukum Islam.6 Sementara menurut Wahbah Al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nlai dan sasaran syara‟ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasa- ran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari‟

dalam setiap ketentuan hukum.7 Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.8

Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut Al-Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, maqasid al Syari‟

(tujuan Tuhan). Kedua, maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu :9

4Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 h. 294

5Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy.

Damaskus : Dar al Fikr, 1986, juz 2 h. 748

6Taufik Abdullah. op.cit, h. 292.

Bandingkan dengan H. Satria Efendi, M. Zein.

Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2009, h. 233.

7Wahbah Zuhaili. op.cit, h. 225

8Muhammad Khalid Mas‘ud. op.cit, h.

225

9Nasrun Rusli. op.cit, h. 43

(3)

1. Tujuan awal dari Syari‟ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Penetapan syariah sebagau hukum taklifi yang harus dilaksanakan.

Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu :10

1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.

2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang meru- pakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguis- tik dan kultural. Al Syathibi mendis- kusikan problem ini dengan cara men- jelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa di- pahami orang awam).

3. Analisa pengertian taklif dalam hu- bungannya dengan kemampuan, kesu- litan dan lain-lain.

4. Penjelasan aspek huzuz dalam hu- bungannya dengan hawa dan ta‟abud.

Mayoritas ulama‘ ushul membagi ke- mashlahatan menjadi dua macam, kemash- lahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang di- jamin oleh muamalat. Tetapi dalam pem- bahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan pem- bagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.11 Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa/nafs, akal, ke- turunan, dan harta. Setiap hal yang mengan-

10Muhammad Khalid Mas‘ud. op.cit, h.

228. Baca juga Yusuf Qardhawi. Al-qur‘an dan sunnah referensi tinggi

11Muhammad Said Romadlon al Buthi.

Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut :Dar al Muttahidah, 1992. h. 71

dung penjagaan atas lima hal ini disebut mashlahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.12 Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat, dan al tahsiniyyat.13

1. Kebutuhan Dhoruriyat

Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatanan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan.

Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas, seperti kewajiban qisas Sebagaimana firman Allah dalam sura al-Baqarah (2); 179 yang berbunyi:

















 Terjemahnya :

―Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertaqwa‖14

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

2. Kebutuhan al Hajiyat

Al Syatibi mendefinisikan sebagai ke- butuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesu-

12Ibid, h. 10

13 Taufik Abdullah, op.cit, h. 292-294

14Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah al-Qur‘an), h. 44.

Hj. A. Sukmawati Assaad, Kehujjahan Maqasid Al Syariah 185

(4)

litan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya rhukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wah- hab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penang- guhan hukuman potong tangan atas sese- orang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3. Kebutuhan al Tahsiniyyat

Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menim- bulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi.

Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menu- rut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tah- sinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/muslah.

Al Syatibi juga membagi mashlalah dalam tiga hal :15

1. Mashlahah muktabar, yaitu kemash- lahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya di- haruskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancur- kan agama dan tanah air. Ditetap- kannya hukuman qisas untuk men- jamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.

15Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988.

h. 153

2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar se- hingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, Gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ra- madhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al Laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan ke- putusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin ter lalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikhawatirkan sang gubernur meremehkan. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.

3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashla hatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarang nya, contoh untuk mengatasi meraja lelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemal suan materi istri agar dapat bebas kum pul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut Al Syatibi memberikan gam baran tentang karakter mashlahah :16

1. Tujuan legislasi (tashri‟) adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.

2. Syari‟ menghendaki masalih harus mutlak.

Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).

Ketiga karakter di atas menuntut mashlalah harus mutlak dan universal. Ke

16 Muhammad Khalid Mas‘ud. Op.cit, h.

238

(5)

mutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasa nya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pe menuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas mem berikan konsep mashlahah akan makna rela tif dan subjektif, yang bukan merupakan per timbangan syari‟ dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.

Unsur universal dalam karakter di atas tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memper kecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan keten tuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat mena han diri melakukan suatu kejahatan. Keber adaan orang-orang tertentu ini tidak mem pengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.

Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma‟rifat billah.17 Dalam al-Qur‘an sura al-Qashash (28): 77, Allah Berfirman;













 









 Terjemahnya :

―Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (keba hagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (ke nikmatan) duniawi …‖.18

Al Buthi menandaskan bahwa mayo ritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhirat nya. Dalam memberikan batasan mashlahah,

17Muhammad Said Rhomadhon al Buthi.

Op.cit, h. 112

18Departemen Agama RI, al-Qur‘an dan Terjemahnya, op. cit., h. 627.

Al-Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:19

1. Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, meng inginkan kenikmatan berzina, melam paui batas penjagaan diri tanpa keten tuan yang dibenarkan syara‟ dan lain- lain.

2. Segala sesuatu yang tidak berten tangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasarkan hadits :

“innamal a‟malu binniyat”.

Kehujjahan Maqasid Al Syariah (Mashlahah)

Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang ber diri sendiri atas dalil-dalil syara‟ sebagai mana Al-Qur‘an, Al-Hadits, Ijma‘, dan Qiyas. Dengan demikian, tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz‟i/far‟i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesung guhnya mashlahah adalah makna yang uni versal yang mencakup keseluruhan bagian- bagian hukum far‟i yang diambil dari dalil- dalil atau dasar syariah.

Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashla- hah dalam masalah-masalah juz‟i. hal ini disebabkan dua hal :20

1. Kalau akal mampu menangkap Maqa- sid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datang nya syara‟. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.

2. Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah se- cara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi

19Muhammad Said Rhomadhon al Buthi.

Op.cit, h. 112

20 Ibid, h. 108

Hj. A. Sukmawati Assaad, Kehujjahan Maqasid Al Syariah 187

(6)

mashlahah bagi mayoritas akal manusia.

Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqa- sid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur‘an dan Al- Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang ber- tentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al- Qur‘an dan Al-Hadits.21 Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi meru- pakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Na- mun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.

Teori Maqasid Al-Syariah

Dari segi bahasa, Syari‟ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masa lah hikmat dan ilat ditetapkan suatu hukum.22 Kajian tentang tujuan ditetapkan- nya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Dan dikatakan bahwa istilah Maqasid Al Syariah identik dengan istilah filsafat hukum Islam.23

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur‘an dan Al- Hadits. Lebih dari itu, tujuan hukum harus

21Taufik Abdullah (ketua editor). Op.cit.

h. 294.

22Akhmad al-Raisuni. Nadhariyat al- Maqashid „Inda al-Syatibi, Rabath : Dar al- Aman, 1991 h. 67

23Shubhi Mashmashani. Falsafatu al- Tasyri fi al Islam, t.t. : Dar al-Kasy Yayaf, 1952.

Badningkan dengan pernyataan Khalid Mas‘ud dalam memberi judul bukunya mengenai pemikiran al-Syatibi sebagai berikut : Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishak Al- Syatibi‟s Life and Thaught. Delhi : International Islamic Publishers, 1989, h. 325

diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan ber- dasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian, pengetahuan tentang Maqashid Al-Syariah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.24 Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum di sini adalah hukumn yang menyangkut dengan mu‘amalah.

Tujuan Allah SWT mensyari‘atkan hukum adalah untuk memelihara kemashla- hatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat.

Tujuan tersebut hendak dicapai melalui tak- lif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al- Qur‘an dan Al-Hadits. Dalam rangka me- wujudkan kemashlahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokk tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemashlahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaiknya ia akan merasakan maf- sadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur dengan baik.25

Menurut Al-Syatibi, penerapan kelima pokok di atas didasarkan atas dalil-dalil Al- Qur‘an dan Al-Hadits. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al kuliyyat al- khams. Ayat-ayat Al-Qur‘an yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makiyat, yang tidak dinaskah dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makiyyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan memi- num-minuman yang memabukkan, larangan

24Satria Efendi. Maqashid al-Syari‟at dan Perubahan Sosial, Dimuat dalam dialog. Badan Litbang-Depag, No. 33 Tahun XV, Januari 1991) h. 29

25H. Faturrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h.

125

(7)

berbuat zina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara tidak benar.26

Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqashid Al-Syari‟at, berikut ini akan penulis jelaskan kelima pokok kemashlahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemashlahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian masing-masing dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan kepentingan dan kebu- tuhannya.

1. Memelihara Agama (Hifzd al-Din) Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibeda kan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melak- sanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melak- sanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan agama, dengan maksud menghindarkan kesuli- tan, seperti shalat jama‟ dan qashar bagi musafir. Kalau ketentuan ini tidak dilak- sanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melaku- kannya.

c. Memelihara agama dalam peringkat tah- sinat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manu- sia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat di dalam maupun di luar shalat. Kegitan ini erat dengan aklah yang terpuji. Kalau hal ini tidak dilaksa- nakan, maka hal ini tidak akan mengan- cam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melaku- kannya.27

26Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al- Ahkam. (t.t.: Dar al-Fikr, t.th), Jilid III, h. 62-64.

Bandingkan Al Fasi. 0, (t.t. : Maktabah al- Wihdat al-Arabiyyat, t.th), h. 51-52

27H. Faturrahman Djamil. Op.cit, h. 128

2. Memelihara Jiwa (Hifzd al-Nafs) Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara jiwa dalam peringkat daru- riyyat, seperti memenuhi kebutuhan be- rupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini di- abaikan, maka akan berakibat terancam- nya eksistensi jiwa manusia.

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiy- yat, seperti diperbolehkan berburu bina- tang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tah- siniyyat, seperti ditetapkannya ke tentuan tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan meng- ancam eksis tensi jiwa manusia.28

3. Memelihara Akal (Hifdz al-Aql) Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara akal dalam peringkat daru- riyyat, seperti diharamkan meminum mi- numan keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat ter- ancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat haji- yyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri sese- orang, dalam kaitannya dengan pengem- bangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akan dalam peringkat tahsi- niyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etikat, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.29

28Ibid, h. 129

29 Ibid, h. 130

Hj. A. Sukmawati Assaad, Kehujjahan Maqasid Al Syariah 189

(8)

4. Memelihara Keturunan (Hifdz al- Nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari‘atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditentukan menyebut- kan mahar bagi suami ketika akad nikah.

Jika mahar itu tidak disebutkan maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam pernikahan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak mempersulit melakukan perkawinan.30 5. Memelihara Harta (Hifdz al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara harta dalam peringkat daru- riyyat, seperti syari‘at tentang tata cara pemeliharaan harta dan larangan meng- ambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hajiy yat, seperti syari‘at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan meng- ancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsi niyyat, seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu‘

amalah atau etika bisnis.31 Hal ini juga akan berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli, sebab peringkat yang ketiga ini

30 Ibid

31 Ibid, h. 131

juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.

Dalam setiap peringkat, seperti telah dijelaskan di atas, terdapat hal-hal atau ke- giatan yang bersifat penyempurnaan terha- dap pelaksanaan tujuan syari‘at Islam.

Dalam peringkat daruriyyat, misalnya di- tentukan batas minimal minimum yang me- mabukkan dalam rangka memelihara akal, atau ditetapkan adanya perimbangan (tama- sul) dalam hukum qishas, untuk memelihara jiwa. Dalam peringkat hajiyyat, misalnya ditetapkan khiyar dalam jual-beli untuk memelihara harta, atau ditetapkan kafa‟ah dalam perkawinan, untuk memelihara ketu- runan. Sedangkan dalam peringkat tahsiniy- yat, misalnya ditetapkan tata cara thaharah dalam rangka pelaksanaan shalat, untuk memelihara agama.32

Simpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat dipahami bahwasanya diskursus tentang, Maqasid Syari‘ah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum- hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada dua sudut pandang. Pertama, maqa- sid al syari‟ (tujuan Tuhan). Kedua, maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu :

1. Tujuan awal dari Syari‘ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Penetapan syariah sebagau hukum taklifi yang harus dilaksanakan.

4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.

Mashlahah dalam bingkai penger-tian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara‟ sebagai mana Al-Qur‘an, Al-Hadits, Ijma‘, dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin

32 Lihat al Buthi. Dawabith al-Mashlahat fi al-Syari‟at al-Islamiyyat, Bairut : mu‘assasat, t.th, h. 250-251

(9)

menentukan hukum parsial (juz‟i/far‟i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Se- sungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagi an-bagian hukum far‟i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.

Tujuan Allah SWT mensyari‘atkan hukum adalah untuk memelihara kemashla- hatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat.

Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama Al- Qur‘an dan Hadits. Dalam rangka mewujud- kan kemashlahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, ke- turunan, dan harta.

Daftar Pustaka

Abdurrauf Saimina (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988.

Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. Mesir : Dar al- Fikr, 1958.

Akhmad al-Raizuni. Nadhariyat Al- Maqashid „Inda al-Saytibi. Rabath : Dar al-Aman, 1991.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al- Ahkam. (t.t. : Dar al Fikr, t.th). Jilid III

Al-Fasi. Maqasid al-Syari‟at al-Islamiyyat Wa Makarinuha. t.t. : Maktabah al- Ali Haidar. Durar al-Hukkam Syarh

Majjalah al-Ahkam Adliyah. Beirut : Dar Maktab Ilmiyah, t.t.

H. Faturrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Khalid Mas‘ud dalam al-Syatibi. Islamic Legal Philosophy : A Study of Abu

Ishak al-Syatib‟s Life and Thaught.

Delhi : International Islamic Publishers, 1989.

Muhammad Khalid Mas‘ud. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial.

Terjemahan oleh Yurdian W.

Asmin, Surabaya : Al-Ikhlas, 1995.

Muhammad Khalid Mas‘ud. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial.

Terjemahan oleh Yurdian W.

Asmin, Surabaya : Al-Ikhlas, 1995.

Muhammad Said Romadlon Al Buthi.

Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah. Beirut : Dar al Muttahidah, 1992.

Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad Al Syaukani : Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Logos, 1999.

Shubhi Mahmashani. Falsafatu Al-Tasyri Al Islam. t.t. : Dar Al-Kasy, Yayaf, 1952.

Satria Effendi. Maqashid Al-Syari‟at dan Perubahan Sosial. Dimuat dalam Dialog Badan Litbang-Depag No.

33 Tahun XV, Januari 1991.

M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2009.

Taufik Abdullah (ketua editor). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT.

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3.

Wahbah al-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Beirut : Dar al-Fikr, 1989. Juz V.

Yusuf Qardhawi. Al-Qur‟an dan Sunnah Referensi Tinggi Umat Islam.

terjemahan. Jakarta : Robbani Press, 1997.

Hj. A. Sukmawati Assaad, Kehujjahan Maqasid Al Syariah 191

Referensi

Dokumen terkait

Laba Kotor Perseroan untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 Sept 2011 telah mengalami kenaikan secara marjinal sebesar US$0,2juta dari US$27,7juta pada kuartal

Herkes, cephey bekrleyecek bir gürültü işitmek için kulak kabartı yor .Porta, onun artık Rusya'da değil, Ren nehri üze rinde olduğunu, çünkü Ren'in çok kez Almanya'mı

dilakukan pendeposisian atom-atom nitrogen pada baja perlakuan panas yang mengakibatkan peregangan atom-atom material dan mengalami kekosongan hingga diisi oleh atom

Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam tentang iklim kerja yang pada penelitian ini berhubungan dengan kinerja pegawai di Kantor Badan Pusat

Penulis juga menambahkan variabel Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia serta Jepang, Amerika dan Eropa yang menjadi mitra dagang utama Indonesia sebagai

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka ditetapkan diagnosa keperawatan gangguan pemenuhan istirahat tidur pada pasien dengan anemia. Dan tindakan-tindakan

Puji syukur Alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan

Beberapa sifat baik dari peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain : (1) mineralisasi bahan organik akan melepaskan unsur hara tanaman secara lengkap (N, P, K,