• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Pembelajaran konstruktivisme merupakan pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan lama itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-banar memahami dan dapat menerapkan pengetahu- an, maka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin,1994).

Menurut pembelajaran ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya (Slavin,1994).

(2)

Esensi dari konstruktivisme adalah ide bahwa siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila menginginkan in- formasi itu menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang me- nyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak akan secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka (Slavin,1994).

Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran koo- peratif secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendis- kusikan masalah-masalah itu dengan temannya (Slavin, 1994). Contoh aplikasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas di- susun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, campuran siswa berke- mampuan tinggi, sedang, dan rendah. Mereka diajarkan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, selama kerja dalam kelom- pok, tugas kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang ditugaskan guru dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan belajar. Pada saat siswa sedang bekerja dengan baik, dan memberikan bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan (Trianto, 2010).

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut (Suparno, 1997), antara lain:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;

2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa;

3. Mengajar adalah membantu siswa belajar;

4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir;

5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa;

6. Guru adalah fasilitator.

(3)

Menurut Von Glasersfeld, agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:

1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga- laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga- laman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding- kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaan- nya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengeta- huannya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.

B. Model Problem based learning

Problem Based Learning (PBL) akan membantu peserta didik untuk mengem-

bangkan keterampilan berpikir dan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa, dan menjadi pembelajar mandiri. PBL membahas situasi kehidu- pan yang ada disekitar dengan penyelesaian masalah yang tidak sederhana. Peran guru dalam PBL adalah menyodorkan berbagai masalah autentik atau

(4)

memfasilitasi siswa untuk mengidentifikasi permasalahan autentik, memfasilitasi penyelidikan, dan mendukung pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.

Gambar 1. Hasil belajar dari PBL (Arends, 2007).

Sintaks suatu pembelajaran berisi langkah-langkah praktis yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam suatu kegiatan. Dalam PBL terdapat 5 (lima) langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa (Arends, 2007).

Adapun kelima langkah tersebut dijelaskan dalam Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Sintaks PBL (Amri, 2013)

Tahap Kegiatan guru

Tahap-1

Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

PBL

Keterampilan penyelidikan dan mengatasi masalah

Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang dewasa

Keterampilan untuk belajar secara mandiri

(5)

Tahap Kegiatan guru

Tahap-2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengor- ganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masa- lah tersebut.

Tahap-3 Membimbing

penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap-4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiap- kan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model ser- ta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Tahap-5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Lebih lanjut (Arends, 2007) merinci langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan PBL dalam pembelajaran sebagai berikut:

Tahap 1. Mengorientasikan siswa pada masalah.

Dalam hal ini pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Tahapan ini guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa dan guru sendiri. Di samping proses yang akan berlangsung, penting juga untuk menjelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini penting untuk memberikan mo- tivasi agar siswa dapat terlibat dalam pembelajaran yang dilakukan.

(6)

Empat hal penting pada proses ini, yaitu:

a. tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajarai sejumlah informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri;

b. permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan;

c. selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertin- dak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun siswa harus berusa- ha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya; dan

d. selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyata- kan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan.

Dalam pembelajaran ini, tidak ada ide yang akan ditawarkan oleh guru atau teman sekelas. Semua siswa diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.

Tahap 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar.

Pemecahan suatu masalah yang membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota mendorong siswa untuk belajar berkolaborasi. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif

(7)

dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan seba- gainya. Hal penting yang dilakukan guru adalah memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.

Tahap 3. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.

Pada fase ini guru membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, siswa diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu ma- salah dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Siswa diajarkan untuk menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan me- tode yang sesuai untuk masalah yang dihadapinya, siswa juga perlu diajarkan apa dan bagaimana etika penyelidikan yang benar.

Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Hasil karya yang dimaksud lebih dari sekedar laporan tertulis, termasuk hal-hal seperti rekaman video yang memperlihatkan situasi yang bermasalah dan solusi yang diusulkan, model-model yang mencakup representasi fisik dari situasi ma- salah atau solusinya, dan program komputer serta presentasi multimedia.

Tahap 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.

Fase terakhir PBL melibatkan kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mem- bantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun keterampilan menginvestigasi dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan.

(8)

Selama fase ini, guru meminta siswa untuk merekonstruksikan pikiran dan kegiat- an mereka selama berbagai fase pelajaran.

PBL merupakan model pembelajaran yang tepat digunaka pada kelas yang kreatif, siswa yang berpotensi akademik tinggi, namun kurang cocok pada siswa yang berpotensi yang perlu bimbingan tutorial. Model ini sangat berpotensi untuk mengembangkan kemandirian siswa melalui pemecahan masalah yang bermakna bagi kehidupan siswa (Sani, 2013).

Aktivitas PBL pada umumnya mengikuti pola seperti pada Gambar 2 berikut:

Proses yang dialami siswa Peran guru

Gambar 2. Peran guru dan siswa dalam PBL C. Kemampuan Berpikir Kreatif

Berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental yang menyelesaikan persoalan, mengajukan metode, gagasan atau memberikan pandangan baru terhadap suatu persoalan atau gagasan lama. Rogers (Munandar, 1992) mendefinisikan kreativi- tas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru dalam tindakan. Hasil-hasil baru itu muncul dari sifat-sifat individu yang unik yang berinteraksi dengan individu lain,

Berhadapan dengan masalah

Menelaah informasi yang diketahui dan tidak diketahui

Memilih solusi yang paling efisien dan efektif Mengembangkan solusi yang

mungkin

Menayakan pengalaman siswa dan menggali permasalahan kontekstual yang terkait dengan materi pembelajaran Mengelompokkan siswa

Membantu siswa memahami permaslahan Memfasilitas siswa dalam mengakses informasi dan sumber daya yang dibutuhkan

Menekankan bahwa kemungkinan jawaban lebih dari satu

Mengobservasi siswa dan memberikan dukungan yang dibutuhkan

memberikan umpan balik

(9)

pengalaman maupun keadaan hidupnya. Demikian juga Drevhal (Hurlock, 1978) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan baru yang dapat berwujud kretivitas imajenatif atau sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang.

Pendekatan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi 2 jenis (Torrence, 1981; Supriadi, 1989) yaitu :

1. Pendekatan psikologis

Pendekatan psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri individu sebagai faktor-faktor yang menetukan kreativitas. Salah satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk menjelaskan kreativitas adalah pendekatan holistik. Clark (1988) dalam Ngalimun menggunakan pen- dekatan holistik untuk menjelaska konsep kreativitas dengan berdasarka pada fungsi-fungsi berfikir, merasa, mengindra, dan intuisi. Clark menganggap bahwa kreativitas itu mencakup sintesis dari fungsi-fungsi thingking, feeling, sensing, dan intuiting.

2. Pendekatan sosiologis

Pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan dis- posisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan keluarga.

(10)

Empat tahapan proses kreatif, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verfikasi:

1. Persiapan (preparation).

Pada tahap ini, individu berusaha mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan bekal ilmu penge- tahuan dan pengalaman yang dimiliki, individu berusaha menjajaki ber- bagai kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk memecahkan masa- lah itu. Namun pada tahap ini belum ada arah yang tetap meskipun su- dah mampu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan masalah.

2. Inkubasi (incubation).

Pada tahap ini individu seolah-olah melepaskan diri untuk sementara waktu dari masalah yang dihadapinya, dalam pengertian tidak memikirkannya secara sadar melainkan “menghadapinya” dalam alam prasadar.

3. Iluminasi (illumanation).

Pada tahap ini individu sudah dapat timbul inspirasi atau gagasan- gagasan baru serta proses-proses psikologis yang mengawali dan meng- ikuti munculnya inspirasi atau gagasan baru.

4. Verifikasi (verivication).

Pada tahap ini, gagasan yang telah muncul dievaluasi secara kritis dan konvergen serta menghadapkannya kepada realitas. Pemikiran divergen harus diikuti dengan pemikiran konvergen. Pemikiran dan sikap spontan harus diikuti oleh pemikiran selektif dan sengaja. Penerimaan secara total harus diikuti oleh kritik. Filsafat harus diikuti oleh pemikiran logis.

(11)

Keberanian harus diikuti oleh sikap hati-hati. Imajinasi harus diikuti oleh pengujian terhadap realitas.

Piers dalam Ngalimun mengemukakan bahwa karakteristik kreativitas adalah sebagai berikut:

1. Memiliki dorongan (drive) yang tinggi 2. Memiliki keterlibatan yang tinggi 3. Memiliki rasa ingin tahu yang besar 4. Memiliki ketekunan yang tinggi

5. Cenderung tidak puas terhadap kemapanan 6. Penuh percaya diri

7. Memiliki kemandirian yang tinggi 8. Bebas dalam mengambil keputusan 9. Menerima diri sendiri

10. Senang humor

11. Memiliki intuisi yang tinggi

12. Cenderung tertarik kapada hal-hal yang kompleks 13. Toleran terhadap ambiguitas

14. Bersifat sensitif

Supriadi mengemukakan sejumlah bantuan yang dapat digunakan untuk membim- bing perkembangan kreatif, yaitu:

1. Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitas- nya;

2. Mengakui dan meghargai gagasan-gagasan anak;

3. Menjadikan pendorong bagi anak untuk mengomunikasikan dan mewujud- kan gagasan-gagasannya;

4. Membantu anak memahami dalam berfikir dan bersikap, dan bukan malah menghukumnya;

5. Memberikan peluang untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya 6. Memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia.

Untuk lebih menjelaskan pengertian kreativitas, akan dikemukakan beberapa perumusan yang merupakan kesimpulan para ahli mengenai kreativias.

a. “Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada”.

(12)

b. “Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak ke- mungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya ada- lah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban”.

c. Jadi, secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai “kemam- puan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan”.

Kemampuan memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi juga mencerminkan kreativitas, jika dalam penilaiannya seseorang mampu melihat obyek, situasi, atau masalahnya dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Ciri-ciri berpikir kreatif (aptitude) (Munandar, 2008) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri-ciri berpikir kreatif (aptitude)

Pengertian Perilaku

Berpikir Lancar (Fluency)

1. Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau jawaban.

2. Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal.

3. Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

a. Mengajukan banyak pertanyaan.

b. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada.

c. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah.

d. Lancar mengungkapkan gagasan- gagasannya.

e. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak dari orang lain.

f. Dapat dengan cepat melihat kesalahan dan kelemahan dari suatu objek atau situasi.

Berpikir Luwes (Flexibility)

1. Menghasilkan gagasan, jawab- an, atau pertanyaan yang bervariasi.

a. Memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita atau masalah.

b. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-

(13)

Pengertian Perilaku 2. Dapat melihat suatu masalah

dari sudut pandang yang berbeda.

3. Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda.

4. Mampu mengubah cara pende- katan atau pemikiran.

beda.

c. Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan bermacam- macam cara untuk menyelesai- kannya.

Berpikir Orisinil (Originality)

1. Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik.

2. Memikirkan cara-cara yang tak lazim untuk mengungkapkan diri.

3. Mampu membuat kombinasi- kombinasi yang tak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

a. Memikirkan masalah-masalah atau hal yang tidak terpikirkan orang lain.

b. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan cara-cara yang baru.

c. Memilih cara berpikir lain dari pada yang lain.

Berpikir Elaboratif (Elaboration) 1. Mampu memperkaya dan me-

ngembangkan suatu gagasan atau produk.

2. Menambah atau merinci detail- detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

a. Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan lang- kah-langkah yang terperinci.

b. Mengembangkan atau memper- kaya gagasan orang lain.

c. Menambah garis-garis, warna- warna, dan detail-detail (bagian- bagian) terhadap gambaranya sen- diri atau gambar orang lain.

Berpikir Evaluatif (Evaluation) 1. Menentukan kebenaran suatu

pertanyaan atau kebenaran suatu penyelesaian masalah.

2. Mampu mengambil keputusan terhadap situasi terbuka.

3. Tidak hanya mencetuskan gagasan tetapi juga melaksana- kannya.

a. Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandang sendiri.

b. Mencetuskan pandangan sendiri mengenai suatu hal.

c. Mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

d. Menentukan pendapat dan berta- han terhadapnya.

Pemikiran kreatif akan membantu seseorang untuk meningkatkan kualitas dan keefektifan pemecahan masalah dan hasil pengambilan keputusan yang dibuat (Evans, 1991).

Pada penelitian ini yang akan dijadikan tolak ukur keterampilan berpikir kreatif adalah kemampuan mengevaluasi.

(14)

D. Kerangka Pemikiran

Model PBL ini membiasakan kita untuk tidak terjebak pada solusi atas pikiran yang sempit melainkan membiasakan kita untuk melihat opsi-opsi yang terbuka luas. Dengan memiliki lebih banyak opsi solusi kemungkinan untuk berhasil me- ngatasi masalah juga akan semakin besar. Dalam proses pembelajaran yang menggunakan model ini, siswa dapat menyeimbangkan pemanfaatan otak kanan dan otak kirinya.

Dalam usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa dituntut untuk menjadi pelajar yang mandiri yang mampu menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah dikenalnya serta berbagai ke- terampilan yang mereka miliki. Dengan demikian, model pembelajaran ini mem- berikan kesempatan untuk mengembangkan berbagai kemampuan siswa, diantara- nya kemampuan menyelesaikan persoalan, mengajukan metode, gagasan atau memberikan pandangan baru terhadap suatu persoalan atau gagasan lama. Ke- mampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan aspek-aspek yang ada dalam kemampuan mengevaluasi. Dengan kata lain, pembelajaran ini sekaligus mampu meningkatkan kemampuan mengevaluasi siswa.

E. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan kemampuan

mengevaluasi materi pokok asam-basa siswa kelas XI IPA semester genap SMA N 16 Bandar Lampung T.A. 2013/2014 diabaikan.

(15)

2. Perbedaan n-Gain kemampuan mengevaluasi siswa pada materi asam-basa semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

F. Hipotesis

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah:

PBL pada materi pokok asam-basa efektif dalam meningkatkan kemampuan mengevaluasi dibandingkan pembelajaran konvensional.

Gambar

Gambar 1. Hasil belajar dari PBL (Arends, 2007).
Gambar 2. Peran guru dan siswa dalam PBL C. Kemampuan Berpikir Kreatif
Tabel 2.  Ciri-ciri berpikir kreatif (aptitude)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini mekanisme corporate governance yang digunakan untuk menunjukkan pengaruh manajemen laba yaitu: kepemilikan manajerial, kepemilikan

Ekuitas merek memiliki pengaruh yang sangat besar untuk meningkatkan minat dan keputusan memilih universitas trunojoyo madura dengan demikian diharapkan mampu meningkatkan

Kondisi padat 2 : siklus optimum atau cycle time yang diperoleh pada phase I dan II sebesar 39 detik dan besar nilai nyala lampu hijaunya yaitu 9 detik untuk phase I dan 20

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan Dokumen Kualifikasi (BAB III, huruf E, poin 18.1-18.5), maka Pokja Bidang

[r]

[r]

manajemen dan pemakai dalam proses pengembangan – Tinjauan atas spesifikasi pengujian, data uji, dan hasil.

Pengalaman baru ini diantaranya adalah pengguna akan merasakan secara langsung dalam berinteraksi dengan obyek virtual, sehingga tidak ada batasan lagi antara dunia