• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi Politik Pangan Di Sumatera Utara Tahun 1969-1997 (Suatu Tinjauan Historis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi Politik Pangan Di Sumatera Utara Tahun 1969-1997 (Suatu Tinjauan Historis)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

107

Daftar Pustaka

a. Buku

Ali, Fachry. dkk. (1996). Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: sebuah biografi

Bustanil Arifin 70 tahun. Jakarta: Sinar Harapan

Amang, Beddu (1995). Sistem Pangan Nasional.Jakarta: Dharma Karsa Utama

Arifin, Bustanul (2005). Pembangunan pertanian: paradigma kebijakan dan strategi

revitaslisasi. Jakarta: Grasinda

Booth, Anne dan Peter McCawley (1990). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES

Burger, D.H (1970). Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia JilidII, (Terj). Jakarta

Devi, T. Keizerina (2004). Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan

Perubahan Hukum Di Sumatera Timur 1870-1950. Medan: Pascasarjana

USU

Fauzi, Noer (1999). Petani dan Penguasa: dinamika perjalanan Politik Agraria

Indonesia. Yogyakarta: INSIST

Fukuoka, Masanubo (1991). Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju

Pertanian Alami. Jakarta: YOI

Gottschalk, Louis (2006). Mengerti Sejarah. (Terj. Nugroho Notosusanto) Jakarta: UI

Press

Hardjowigeno, Sarwono & M.Lufti Rayes (2005). Tanah Sawah: karakteristik,

Kondisi, dan Permasalah Tanah Sawah di Indonesia. Malang: Bayumedia

(2)

108

Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. (2012) Ekonomi Indonesia 1800-2000:

antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas

Kasryno, Faisal. (peny) (1984). Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.

Jakarta: YOI

Koentjaraningrat (1990). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Kuntowijoyo (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Marsedan, William (2013). Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu

Millikan, Max F. dan David Hafgood (1967). Tiada Panen yang Gampang: Dilema

Pertanian di Negara-negara Terbelakang. (terj. Sitanala Arsjad dkk.).

Jakarta: Dirjend Depdikbud

Oudejans, Jan H.M (2006). Perkembangan Pertanian di Indonesia (terj.Edhi

Martono). Yogyakarta: UGMpress

Rahardjo, M. Dawam (1986). Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan

Kesempatan Kerja. Jakarta: UIPress

Reid, Anthony (1987). Perjuanga Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di

Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan

______________(2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1.

Jakarta: YOI

Ricklef, M. C (2007). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGMPress

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Keempat Jilid I) Republik Indonesia.

Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (1989-1994), Pemerintah Provinsi

(3)

109

Repelita pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid IIB)

Robinson, Richard (2012). Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta:

Komunitas Bambu

Simanjuntak, Bungaran Antonius. dkk(2015). Arti dan Fungsi Tanah: Bagi

Masyarakat Batak Toba, Karo dan Simalungun. Jakarta: YOI

Sinuhaji, Wara (2004). Aktivitas Ekonomi dan Enterprenuership: Masyarakat Karo

Pasca Revolusi. Medan: USUPress

Soetrisno, Loekman (1999). Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan

Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius

Setiana, Luci (2005). Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor:

Ghalia Indonesia

Soesilowidagdo, Soebakti (1969). Melaksanakan Repelita. Yogyakarta: BPA-UGM

Sumodiningrat, Gunawan (2001). Menuju Swasembada Pangan Revolusi Hijau:

Introduksi Manajeman dalam Pertanian. Yogyakarta: RBI

Sutopo (1993). Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali Press

Sejarah Daerah Sumatera Utara. (Proyek Pemerintah dan Pencatatan Kebudayaan

Daerah, 1976/1977)

Soetrisno, Leokman (1991). Pertanian Pada Abad Ke 21. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi DEPDIKBUD,

________________,(1999) Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan

Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius

Soejito (1987). Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta:

(4)

110

Stoler, Ann Laura (2005). Kapitalisme dan Konfrontasi: di Sabuk Perkebunan

Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: KARSA

Sumatera Utara membangun II. Diterbitkan oleh Pemda Sumut 1978

Yuwono, Tribowo dkk. (2011). Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan

Pangan. Yogyakarta: UGM Press

Suryana, Achmad & Sudia Mardianto (penyunting)(2001). Bunga Rampai Ekonomi

Beras. Jakarta: LPEM-FEUI

Wolf, Eric R (1983). Petani: suau Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Press

Widya Karya Nasional pangan dan gizi. (1979) Jilid 2. LIPI.

b. Skripsi/Tesis/Laporan Penelitian/Jurnal

Aman Pinem (1980). “Masalah-Masalah dan Prospek Pengembangan Teknologi Baru

Di Stabat”. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Pascasarjana USU

Anthon Siallagan (1986). “Dampak Rehabilitasi Irigasi Terhadap Penggunaan Tenaga

Kerja dan Pendapatan Petani Kasus Panei, Kabupaten Simalungun”. Tesis

Tidak Diterbitkan. Medan: Fak.Pertanian USU

Budi Agustono (1993). “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM

Edi Sumarno (1998). “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur tahun 1863-1943”.

Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM

Elisnawati Ginting (1994). “Peranan irigasi desa Bandes dalam Peningkatan Produksi

Petani di Kecamatan Siborong-borong Taput”. Skripsi tidak diterbitkan.

(5)

111

Fatih Gama Abisono N. (2002) Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi

Daerah vs Pasar Global. Yogtakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Vol.5 No.3

Hasan Basri Serio Lago (1998). “Analisis Keterkaitan Produksi dan Pendapatan

petani dengan Koperasi Usaha Tani di Kabupaten Deli Serdang”. Laporan

Penelitian. Medan: Pascasarjana USU

Nurhamidah (1997). “Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok,

Simalungun tahun 1960-1978”. Laporan Penelitian. Medan: Jurusan Sejarah

USU

Jannes Silitonga (1984). “Faktor-Faktor yang Mendorong Petani Meningkatkan

Intensifikasi Penggunaan Lahan Sawah Di Wilayah Kerja Siarang-Arang

Kab. Taput. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Fak.Pertanian USU

Satia Negara Lubis dkk. (2008). “Analisis Harga Pokok dan Kebijakan Tataniaga

Komoditi Pangan Strategis dalam Rangka Swasembada Pangan di Sumatera

Utara”. Laporan Penelitian. Medan: Pascasarjana USU

Tavi Supriana dkk (2009). “Analisis Alih Fungsi Lahan dan Dampaknya terhadap

Ketahanan Pangan di Sumatera Utara”. Laporan Penelitian. Medan:

Pascasrjana USU

___________(2009). “Alih Fungsi Lahan Dan Strategi Keseimbangan Keberlanjutan

Pangan Di Sumatera Utara”. Jurnal Ilmiah. Medan: Pascasrjana USU

Surat Kabar

Harian Waspada, 25 Juli 1975

(6)

36

BAB III

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

DI SUMATERA UTARA TAHUN 1969-1997

3.1 Pembangunan Ketahanan Pangan

Telah terjadi sebuah dilema maupun perdebatan yang cukup sengit tentang

prioritas utama maju dan berkembangnya suatu negara. Tentunya menjadi cita-cita

memiliki negara kuat, berdaulat, dengan masyarakat yang sejahtera hidup di

dalamnya. Jika kita perhatikan terdapat dua bagian (kalau tidak mau di sebut dua

belah pihak) fokus perhatian pembangun di negara berkembang yaitu Industri dan

Pertanian.

Satu bagian menyarankan bahwa industrialisasi memiliki hubungan yang

terhadap peningkatan Pendapatan Nasional atau Gross National Product (GNP).

Melihat begitu banyaknya negara yang telah mengalami proses ini lebih dulu seperti;

Uni Soviet, Asia Timur, dll. keberhasilan mereka membangun bangsanya menjadi

negara industri membenarkan pandang tersebut yakni, bahwa pertumbuhan di bidang

pertanian relatif kurang penting. Meskipun pada kenyataan bahwa negara industri

sekalipun yang memiliki pendapatan tinggi membutuhkan permintaan bidang

(7)

37

sedikit negara berkembang di dunia tertarik pada gagasan industrialisasi seperti

membangun pabrik-pabrik besar dan modern.50

Di pihak lain yang menganut paham sebaliknya menamakan diri sebagai

kelompok pedesaan romantik. Kelompok ini menekankan bahwa unsur utama prestise

nasional dan simbol modernisasi; bahkan sejarah juga telah mencatat negara-negara

yang maju semuanya tumbuh secara serentak dibidang pertanian dan industrinya.

Amerika Serikat, Inggris, Eropa Barat dan Jepang, semuanya mengalami perubahan

pertanian yang serentak dengan industri.51

Masalah utama yang akan terus terjadi adalah pertambahan penduduk, bahkan

seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat tentu harus diimbangi oleh

tersedianya sumber pangan yang cukup karena elastisitas pendapatan berhubungan

dengan persentase kebutuhan pangan yang meningkat juga. Idealnya, bahwa rata-rata

negara-negara berkembang memerlukan kenaikan hasil pertanian terutama pangan

paling sedikit 5% setiap tahunnya untuk mengimbangi kecepatan pertumbuhan

penduduk, tentu saja tidak berarti bahwa hasil pertanian disetiap negara yang sedang

berkembang atau dituntut lebih daripada itu.

52

Melihat keberhasilan negara-negara maju yang tidak hanya sukses dalam

bidang industrialisasi, melainkan kesuksesannya membangun ketahanan pangan

50

Pemilihan prioritas yang mengarah kepada industrialisasi mengandung pengandaian adanya pelemahan di sektor pertanian. Lihat, M. Dawam Rahardjo. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. (Jakarta: UIPress, 1986), hlm. 3-4

51

Max F. Millikan dan David Hafgood. Tiada Panen yang Gampang: Dilema Pertanian di Negara-negara Terbelakang. (terj. Sitanala Arsjad dkk.) (Jakarta: Dirjend Depdikbud, 1967), hlm. 16

52

(8)

38

hingga menghasilkan surplus produk pertanian (terutama pangan) seperti yang dialami

oleh Jepang, Amerika Serikat, Taiwan dll.

Komposisi pekerja dalam negara berkembang (seperti Indonesia) berada di

bidang sektor pertanian, dan cenderung mengandalkan kehidupan pertaniannya untuk

dapat bertahan hidup. Melihat arah potensial pembangunan di Indonesia yang cukup

bernafsu untuk mengejar ketertinggalan bidang industri dengan negara-negara

tetangga (Asia Pasifik khususnya), tidaklah dapat merombak total kearah

industrialisasi. Sektor pertanian justru memiliki arah pengembangan potensil yang

menjanjikan melihat kondisi alam dan geografis seperti, sumber daya alam dan

sumber daya manusia sebagai komponen utama (petani) telah di tersedia. Rahardjo

menilai pembangunan pertanian haruslah mendapat prioritas perhatian terlebih dahulu

jika industrialisasi dilakukan, karena menciptakan landasan bagi pertumbuhan

ekonomi.53

Pandangan lain coba mengoreksi paradigma yang menganggap sektor pertanian

khusunya pangan sebagai sektor inferior yang berfungsi sebagai stabilisator pada

kebijakan harga pangan murah dan sektor industri sebagai sektor superior yang

menjamin kesejahteraan masyarakat perlu dikoreksi. Pangan yang menjadi kebutuhan

53

(9)

39

esensial memiliki peran strategis dan dapat menimbulkan ekses yang negatif bagi

pembangunan nasional.54

Menurut Mocthar Mas`oed untuk memahami analisa ekonomi-politik Orde

Baru dalam proses penciptaan dan redistribusi kekuasaan dan kekayaan; oleh karena

kelangkaan sumber daya, maka tidak akan ada kebijakan politik yang dapat

memuaskan semua pihak secara optimal. Konflik kepentingan dalam ekonomi-politik

antara kebijakan yang menekankan efisiensi (misalnya, untuk percepatan

pertumbuhan ekonomi) dan menekankan pemerataan (misalnya, demi perubahan

tertib sosial-ekonomi untuk memperbaiki nasib lapisan bawah).

55

54

Satia Negara Lubis dkk. Analisis Harga Pokok dan Kebijakan Tataniaga Komoditi Pangan Strategis dalam Rangka Swasembada Pangan di Sumatera Utara. (Medan: Laporan Penelitian USU, 2008)

55

Mohtar Mas`oed. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. (

Jakarta:LP3ES,1989), hlm.xvii. Beliau membatasi penjelasannya pada pokok kemunculan struktur politik Orde Baru dengan mengamati variabel-variabel ketika krisis politik dan ekonomi pada pertengahan tahun 1960-an, serta terbukanya sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru. Namun kita tidak dapat melihat korelasi kebijakan ekonomi-politik antara pusat dengan daerah. Daerah merupakan punggung pembangunan nasional yang paling menentukan bagi sukses tidaknya program pemerintah pusat.

Menariknya sejak

runtuhnya rezim Orde Lama, penguasa baru berusaha memperlihatkan sebuah

pengharapan baru atas kekecewaan dari kegagalan krisis ekonomi orde sebelumnya

yang mencanangkan slogan “politik sebagai panglima” di gantikan menjadi “ekonomi

sebagai panglima” yang menekankan pada reformasi struktur sosial ekonomi secara

radikal sekaligus untuk mencari legitimasi rakyat melalui program pembangunan

(10)

40

Tidaklah mudah bagi pemimpin baru ini untuk mengembalikan kepercayaan

rakyat khususnya pengalaman masa kepemimpinan Sukarno yang mengakibatkan

terjadinya ketidakstabilan hampir di seluruh bidang. Pertama sekali pemimpin Orde

Baru haruslah menunjukkan komitmen pada pemecahan masalah ekonomi seperti

masalah inflasi yang tinggi, defisit neraca pembayaran, hutang luar negeri, rehabilitasi

infrastuktur ekonomi, rasionalitas ekonomi yang rendah, stabilitas jangka pendek dan

rehabilitas ekonomi. Pokok kebijakan ekonomi di bawah pimpinan Dr. Widjojo

Nitisastro kemudian di rumuskan dalam sidang MPRS 1966 No.XXIII yang

dirincikan dalam tiga tahap program ekonomi, yaitu:56

a. Tahap penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak

menjadi lebih buruk lagi;

b. Tahap stabilitas dan rehabilitas ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan

memperbaiki infrastruktur ekonomi;

c. Tahap pembangunan ekonomi

Pada dekade awal 1970-an para ahli dan perumus kebijakan pembangunan mulai lebih

memfokuskan misi dan tujuan pemerataan dalam pembangunan pertanian, agar

mampu berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan,

disamping tentunya pada pertumbuhan pertanian. Adapun strategi pemerataan dalam

56

(11)

41

pembangunan pertanian dicapai dengan melakukan promosi pembangunan pertanian

berspektrum luas, melakukan land-reform, melakukan investasi sumber daya manusia

(SDM) di pedesaan, meningkatkan peranan wanita dalam kegiataan pertanian,

meningkatkan partisipasi masyarakat pedesaan dalam pengambilan keputusan, dan

pengembangan secara aktif perekonomian pedesaan.57

Sesuai dengan dikeluarkannnya surat Keputusan Presiden No. 319 tahun

1968, maka garisnya program pembangunan dengan ruang lingkup nasional yang

meliputi seluruh segi-segi pembangunan di seluruh daerah-daerah di Indonesia

dengan berlandaskan kepentingan nasional. Oleh sebab itu landasan pemikiran

penyusunan program pembangunan daerah, selalu di ikat oleh struktur negara.

Kemudian daerah dengan kondisi sosial dan ekonomi di arahkan dan dikembangkan

se-maksimal mungkin sesuai dengan kondisi dan potensi lokal, tetapi selalu

ber-orientasi dan bertumpu pada manfaat pembangunan ekonomi secara nasional.58

Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila dapat memberikan

jaminan semua penduduk memperoleh akses pangan yang cukup sesuai dengan

norma gizi yang cukup. Ketahanan pangan nasional mengisyaratkan adanya

ketersediaan (swasemada) pangan yang tersedia hingga ke daerah dan rumah tangga

sepanjang waktu secara berkelanjutan. Hal ini merupakan syarat yang harus di penuhi

untuk membentuk ketahanan pangan nasional yang merupakan prasyarat utama

57

Bustanul Arifin. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan Dan Strategi Revitaslisasi. (Jakarta: Grasinda, 2005), hlm.14-15

58

(12)

42

tejadinya kestabilan sosial dan politik, sebagai bagian dari ketahanan nasional.59

Indikator ketahanan pangan nasional di atas mencakup sejumlah rangkaian kegiatan

yang terintegrasi mulai dari penyediaan, pengolah, pemasaran dan konsumsi rumah

tangga. Berdasarkan Lembaga Pangan Dunia (FAO 1996), ketahanan pangan harus

memiliki lima karakteristik yaitu60

1. Kapasitas (capacity). Adanya kemampuan untuk menghasilkan, mengimpor

dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan semua penduduk :

2. Pemerataan (equity). Adanya kemampuan untuk mendistribusikan makanan

pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga

3. Kemandirian (self-reliance). Adanya kemampuan untuk menjamin kecukupan

makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman

fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimal

mungkin

4. Keandalan (reliability). Adanya kemampuan untuk meredam dampak variasi

musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupan pangan dapat dijamin

setiap saat.

5. Keberlanjutan (sustainability). Mampu menjaga keberlanjutan kecukupan

pangan dalam jangka panjang tanpa merusak kualitas lingkungan hidup

59

Chairil A Rasahan. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mencapai Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Dalam Buku Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. (Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000), hlm. 2-3

60

(13)

43

Kelima karakteristik inilah yang menjadi acuan bagi seluruh negara termasuk negara

dalam mengevaluasi kondisi ketahanan pangan nasional sekaligus merumuskan

kebijakan serta kompas kinerja pembangunan pertanian dalam mencapai

swasembada pangan.

Sumatera Utara memiliki potensi yang besar dalam arah pembangunan

nasional. Dengan penduduk sekitar 6 juta jiwa pada tahun 1969, sekitar 85% adalah

hidup dalam usaha pertanian.61

3.2 Program Bimbingan Massa (BIMAS) dan Insentifikasi Massa (INMAS) Oleh sebab itu sasaran di bidang pertanian di letakkan

pada peningkatan hasil produksi bahan pangan (food crops).

3.2.1 Pengenalan Bibit Baru

Sebelum tahun 1969, petani di Sumatera Utara masih menggunakan jenis padi

Lokal seperti, Ramos, Jongkok dll. usia tanaman tersebut sejak di tanam hingga di

panen ±180 hari. Keunggulan jenis ini lebih tahan terhadap hama dan rasanya yang

enak. Pola pertanian padi awalnya seperti yang telah di jelaskan di atas baik di dataran

tinggi maupun rendah masih sama yaitu sekali panen dalam setahun, sisa waktu

berikutnya mereka menanam palawija seperti: jagung, kacang tanah, kedele dll.62

Siklus ini menyimpan potensi untuk di kembangkan melalui program

intensifikasi terhadap produksi padi. Untuk meningkatkan produktivitas padi, maka

61

Rencana Pebangunan lima Tahun. op.cit., hlm 3

62

(14)

44

diperlukan perubahan secara mendasar termasuk penggunaan bibit (benih) yang

produktif.

Benih merupakan simbol dari suatu permulaan; ia merupakan inti dari

kehidupan di alam semesta sebagai penyambung kehidupan tanaman. Oleh sebab itu,

benih di tuntut bermutu tinggi, sehingga mampu menghasilkan tanaman yang

berproduksi maksimum dengan sarana teknologi yang maju.63

Penerapan benih unggul sebenarnya telah di mulai sejak didirikannya

Departemen Pertanian tahun 1905, usaha pemerintah untuk mempertinggi produksi

tanaman rakyat lebih di intensifkan melalui penyebaran benih unggul khususnya

padii, namun orientasi cakupan hanya beberapa wilayah di Jawa saja. Sejak tahun

1969 mulailah dirintis adanya proyek benih oleh direktorat pengembangan Produksi

Padi Direktorat Jenderal Pertanian Departemen Pertanian dengan tujuan untuk

meningkatkan benih yang bermutu tinggi secara kontiniu—kemudian tahun 1971

dibentuklah Badan Benih Nasional.

Kualitas benih adalah

suatu kebutuhan untuk mencapai target produksi maksimal. Benih yang berkualitas

memiliki kemampuan pada faktor-faktor seperti kebenaran varitas, persentase

perkecambahan, persentase biji rumput-rumputan, kekuatan tumbuh, bebas dari hama

dan penyakit serta kontaminan-kontaminan lainnya.

64

63

Sutopo. Teknologi Benih. (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm.1-2

64

Ibid., hlm. 6

(15)

45

Pemerintah pun secara bertahap mengadakan berbagai program kegiatan dan

sosialisasi produk yang dianggap lebih baik dari segi efisiensi waktu, biaya maupun

tenaga. Dalam tahun pertama 1968 pemerintah menargetkan kenaikan produksi beras

5 % yakni 9,3 juta ton. Pemerintah menyadari sekalipun produksi seharusnya jauh

melebihi daripada target tersebut, perlu waktu untuk menerapkannya dalam

menggerakan petani secara nasional. Untuk mengejar target produksi tersebut,

pemerintah melakukan usaha intensifikasi pertanian melalui Bimas dan Imnas yang

meliputi perbaikan irigasi, prasarana irigasi, termasuk pembuatan bibit unggul PB-5

dan PB-865

Namun pada tahun 1968-1969 pemerintah menganjurkan kepada para petani

menanam padi jenis unggul seperti PB-5 dan PB-8 sebagai salah upaya untuk

meningkatkan produktivitas tanaman pangan karena memungkinan menanam padi 2

kali setahun. Namun oleh karena kurangnya pengetahuan petani terhadap jenis unggul

ini menimbulkan masalah baru hingga berujung terjadinya gagal panen di sejumlah , penyediaan pupuk dan obat-obatan hama yang cukup serta penyuluhan

penanaman padi secara teknis. Pemerintah menerapkan kebijakan harga beras bagi

petani untuk menggairahkan kerja bagi mereka; yaitu sebesar minimal harga 1 kg

pupuk untuk 1 kg beras (rumus tani).

65

(16)

46

daerah.66 Penyebab utama gagal panen adalah meluasnya hama wereng oleh karena

perubahan penanaman menjadi 2 kali setahun. Berdasarkan keterangan penyuluhan,

hama wereng sebenarnya sudah ada sebelumnya, namun oleh karena masa penanaman

palawija siklus kehidupan populasi wereng terputus—setelah panen dilakukan 2 kali

dalam tahun perkembangannya sangat cepat.67 Pada tahun 1972, pemerintah

memperkenalkan varietas baru padi C-4 dan Pelita yang di distribusikan ke

daerah-daerah khusus bagi daerah-daerah yang dilanda kemarau panjang, sebagai bagian dari skema

untuk mempertahankan produksi beras. Hal yang sama juga dilakukan ketika terjadi

kemarau panjang tahun 1977 di mana pemerintah mengintroduksikan varietas padi

IR-26 dan IR-36.68

Pada tahun 1974, hama wereng pernah menyerang padi yang ada di Sumatera

Utara dengan hebat. Peristiwa tersebut menjadi musibah petani yang masih dalam

rangka menguji coba sejumlah bibit unggul yang di berikan oleh pemerintah dan

menjadi pukulan bagi pemerintah yang sedang berusaha untuk meyakinkan

masyarakat petani untuk menggunakan bibit unggul. Setelah dilakukan penelitian oleh

tim ahli, pemerintah akhirnya menarik bibit C-4 dan menggantinya dengan padi Varietas terakhir ini lebih di sukai oleh masyarakat karena daya

tahannya lebih kuat terhadap hama wereng dan cuaca di banding varietas C-4.

66

Kegagalan panen terjadi di Simalungun oleh karena padi di serang hama wereng secara menyeluruh. Ketidaksiapan petani juga terlihat sikap petani tidak mengetahui penggunaan pestisida dengan baik seperti yang di anjurkan oleh penyuluh. Nurhamidah, op.cit.,hlm. 17

67

Ibid., hlm 23

68

(17)

47

unggul IR-26.69

Pemerintah melalui Dinas Pertanian menyediakan 30 ton bibit padi IR-26 yang

di distribusikan ke beberapa daerah Bimas yaitu: Simalungun, Deli Serdang, Langkat,

dan Asahan. Melalui sejumlah eksperimen yang telah dilakukan, pemerintah mencoba

meyakinkan kembali para petani untuk tidak ragu menggunakan bibit unggul IR-26

karena di nilai jauh lebih baik dari daya tahan terhadap hama maupun perubahan

iklim. Namun tetap saja beberapa wilayah daerah menolaknya.

Awalnya petani enggan untuk menggunakan bibit unggul tersebut

karena trauma akan peristiwa sebelumnya.

70

Tujuan utama pemerintah menganjurkan tanaman jenis unggul adalah untuk

meningkatkan produksi pangan, khususnya beras. Berubahnya siklus panen menjadi 2

kali setahun mampu menambah produksi padi melalui program pemerintah. Namun

jika kita hitung, peningkatan produksi sebenarnya tidak banyak berarti oleh karena

pola baru ini memerlukan biaya pengeluaran produksi lebih besar jika dibandingkan

dengan sebelumnya. Seperti yang di alami petani padi di daerah Simalungun yang

69

Semenjak 1973, kultivar IR yang produksinya tinggi dan memiliki resistensi terhadap wereng yang diperkenalkan secara bertahap yang dimulai dari IR-26, dilanjutkan IR-28, IR-34, IR-36, IR-38, IR-54, IR-64 dan IMV. Introduksi varietas unggul di atas pertama kali di Kabupaten-kabupaten wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Lihat, Jan H.M. Oudejans.

Perkembangan Pertanian di Indonesia (terj.Edhi Martono) (Yogyakarta: UGMpress, 2006), hlm. 63

70

(18)

48

berhasil di panen, sekitar 60% dari total di gunakan untuk biaya produksi, sementara

40% yang menjadi pemasukan.71

3.2.2 Inovasi Teknik

Pertanyaannya, tentu bagaimana jika terjadi gagal

panen? Apakah telah di siapkan skema dalam mengantisipasi hal ini jika terjadi?

Adakah jaminan bagi petani untuk menanggung semua beban biaya produksi yang

telah dipakai? Seberapa siapkah petani menghadapi perubahan yang terjadi untuk

mengikuti instruksi dari para penyuluh pertanian? Mengingat kurangnya kesiapan dari

pemerintah maupun pengetahuan petani terhadap barang baru seperti penggunaan

teknologi ini telah memperdaya petani padi dengan menjerumuskan ke dalam resiko

menciptakan kemiskinan struktural bukan menyejahterakan. Sekiranya di sini kita

cukup melihat strategi pemerintah terlebih dahulu, untuk melihat keberhasilan

daripada program ini akan di jelaskan di dalam Bab 4.

Perubahan teknik juga dilakukan untuk menunjang proses produksi. Perubahan

teknik yang dimaksud adalah teknik menanam dan panen. Teknik panen dengan

memperkenalkan alat panen yang membutuhkan tenaga baru dari ani-ani menjadi

sabit bergerigi. Pergeseran ini dikarenakan varietas padi unggul PB dan IR yang

diadopsi memiliki postur batang relatif jauh lebih pendek dari varietas lokal. Inovasi

lain yang berubah di bidang perontokan pasca panen, biasanya petani ‘meng-iles

71

(19)

49

dengan kaki yang biasa dilakukan perempuan di pedesaan berganti dengan sistem

‘banting’dan alat perontok (Thresher) baik sistem pedal maupun mesin.72

3.2.3 Gerakan Supra Insus

Untuk memperoleh produksi maksimal juga di lakukan inovasi bidang

penanamam. Petani yang biasa menanam padi lokal memiliki postur tubuh yang

tinggi tidak memerlukan aturan tanam yang kaku antara satu pohon dengan yang lain.

Sebelumnya tanaman padi lokal dilakukan dengan jarak dengan cukup dekat karena

memandang semakin banyak batang pohon yang di tanam akan pararel dengan buah

yang dihasilkan. Bukan hanya pengetahuan petani yang kurang di bidang penaman

melainkan juga di bidang perawatan. Terlihat bagaimana padi itu tumbuh menurut

tingkat kesuburan tanah.

Setelah diperkenalkannya padi varietas unggul, tentu akan berubah pula

kebutuhan perawatan dan pola tanam padi. Hal ini menjadi masalah baru bagi petani

untuk menyesuaikan pola teknik baru untuk menghasilkan produksi yang maksimal.

Program Supra Insus pada perinsipnya merupakan program peningkatan

produksi padi sawah pada sawah berpengairan dengan pendekatan pengelolaan yang

lebih baik. Dalam pelaksaan program tersebut menerapkan unsur teknologi, sehingga

keberhasilannya sangat tergantung pada pemahaman petani sebagai pengguna.

Konsep program Supra Insus adalah rekayasa sosial dan sekaligus dalam

72

(20)

50

penyelenggara intensifikasi pertanian yang dilaksanakan atas dasar kerja antar

kelompok tani pelaksanaan Insus yang luas wilayahnya sekitar 600-1000 Hektar sejak

awalnya tahun 1987 dan terus di kembangkan antara 15.000- 35.000 Ha.73

Program Supra Insus merupakan salah satu pembinaan usahatani yang tidak

terpisahkan dan program nasional untuk swasembada pangan, peningkatan devisa,

pelestarian lingkungan hidup dan penyerapan kerja. Dalam konsep program Supra

Insus, karakteristik utamanya adalah kerja sama kelompok tani dalam melaksanakan

program yang mencakup 1). Penataan tertib pola tanam tahunan, 2)pengendalian

hama secara terpadu, 3) pergiliran verietas padi antara kelompok tani pada tiap-tiap

WKPP dan antar musim tanam, 4) jalur benih antar lapangan (Jabal), 5) tata guna air

di tingkat usaha tani, 6) pemilikan, penyewaan dan penggunaan alat pertanian, 7)

pinjam-meminjam modal kelompok tani di dalam maupun antar kelompok tani, 8)

penerapan 10 unsur (paket) teknologi produksi Supra Insus menurut rekomendasi

mutakhir, 9) tabungan kelompok tani pada Simpedes dan 10) iuran anggota kelompok

tani untuk membiayai kegiatan dan kepentingan bersama pada tiap kelompok.

74

Adapun peserta program Supra Insus adalah petani yang menjadi anggota

kelompok tani dengan kelas tertentu. Adapun Gerakan Supra Insus melaksanakan

beberapa kegiatan, yakni: 1. Penerapan 10 unsur teknologi, 2. Menyelengarakan

penyuluhan pertanian dan penerangan terkait 10 unsur tersebut. 3. Pemupukan modal

73

Muhammad Asaad. “Analisis Sosial-Ekonomi Pelaksanaan Program Supra Insus Pada Petani Padi Sawah di Kabupaten Deli Serdang”. Tesis tidak diterbitkan (Medan: Pascasarjana USU, 1999), hlm.20

74

(21)

51

kelompok tani yakni sikap mental dan perilaku petani/kelompok tani yang positif

terhadap perkreditan dan meningkatkan kemampuan petani anggota, 4. Pengadaan

dan penyaluran Saprodi (sarana produksi) merupakan pembagian tanggung-jawab

kepada para penyalur KUD, 5. Penyaluran KUT oleh KUD atau BRI dan

pengembalianny, 6. Jaminan pemasaran mencakup penetapa harga dasar gabah, dan

kegiatan pemasaran bersama yang dilakukan petani.

Muhammad Asaad dalam penelitiannya pengaruh Program Supra Insus di

salah satu lumbung produksi padi terbesar di Sumatera utara yaitu Kabupaten Deli

Serdang, mengatakan bahwa:

“penerapan 10 unsur teknologi Supra Insus belum terlaksana dengan baik karena petani responden tidak menggunakan dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan, hal ini di pengaruhi oleh terikatnya petnani pada pola budaya tanam lama. Demikian pula petani kurang memahami tentang keberadaan program Supra Insus termasuk arti, tujuan dan sasaran programnya”.

Tabel.1

(22)

52

3.2.4 Pembangunan Dan Rehabilitasi Sarana Dan Prasarana

Berdasarkan arahan pembangunan dari pemerintah pusat, untuk mencapai target

produksi yang telah ditetapkan maka pemerintah mengambil sejumlah langkah

kebijakan termasuk perbaikan-perbaikan dan pembangunan proyek-proyek pengairan

yang cukup besar yang dilaksanakan di daerah pertanian, provinsi Sumatera Utara

mendapat sejumlah proyek tersebut. Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan pra

sarana sangatlah penting sebagai langkah awal mendemonstrasikan megaproyek

secara kolektif. Pemerintah memahami arti pentingnya pembangunan ini sebagai

penunjang terlaksananya program Bimas dan Inmas. Bahkan masalah yang kerap

terjadi adalah konektivitas yang terjadi antar-daerah kabupaten maupun provinsi

dalam penyaluran beras saat mengalami krisis.75

Salah satu strategi ekstensifikasi produksi padi adalah dengan melakukan

perbaikan irigasi saluran air. Vitalnya kebutuhan air akan padi sawah membuat

pemerintah memberikan program Bantuan Pembangunan Desa (Bandes), di harapkan

dapat mendorong setiap desa mengatasi masalah irigasi. Arah tujuan dana Bandes di

tujukan kepada perbaikan pra-sarana perhubungan dan fasilitas desa dalam rangka

menyukseskan program swasembada beras di Indonesia.76

75

. Butasnul, op.cit.,hlm. 362-363

76

Untuk beberapa kasus daerah di Siborong-borong, dengan perbaikan irigasi mampu meningkatkan produksi sebesar 4 kali lipat dalam tempo 5 tahun. Lihat, Elisnawati Ginting. “Peranan irigasi desa Bandes dalam Peningkatan Produksi Petani di kecamatan Siborong-borong Taput”. Skripsi

(23)

53

Selama Pelita I dan II, pembangunan pra sarana di fokuskan ke daerah yang

memiliki akses yang sulit baik berupa pembangunan jalan negara, provinsi maupun

Kabupaten. Pembangunan sarana pertanian seperti pembangunan dan perbaikan

saluran irigasi, percetakan sawah baru, dll. Khusus di Sumatera Utara, kabupaten

Tapanuli Utara mendapatkan pagu anggaran terbesar yakni 4,1 Miliar yang terdiri dari

8.824 proyek selama Pelita I- II (1968-1978). Penetapan sejumlah megaproyek

tersebut dikarena kabupaten ini daerah surplus beras setiap tahun, sehingga dinilai

perlu dikembangkan melalui program ekstensifikasi sawah dan intensifikasi sawah.

Gubernur Sumatera Utara Marah Halim bersama Dinas Pertanian Sumut, mendatangi

sejumlah daerah pengembangan Bimas/Inmas serta mendorong para petani untuk

memanfaatkan fasilitas yang telah disedikan seperti: pupuk subsidi, bibit unggul, dan

pembangunan irigasi yang baik.77

3.2.5 Penyaluran Kredit Petani

Pemberian Kredit Usaha Tani (KUT) oleh Bank dimaksudkan untuk

membantu mengatasi keterbatasan modal kerja petani. Modal merupakan faktor utama

dalam peningkatan produksi. Seperti dijelasakan Hassan basri dikutip dari Sumitro

Djojohadikusumo, kredit yang realisasinya dipakai untuk kegiatan produktif akan

meningkatkan kesejahteraan krediturnya. Pertama kali penyaluran kredit ini saat di

mulainya program Bimas 1964. Tujuan penyaluran perkreditan adalah mempercepat

irigasi terhadap peningkatan produktivitas padi setelah adanya rehabilitasi sebesar 31,91 % atau 15,12 kw/ha, sementara dalam hal pendapatan terjadi peningkatan pendapatan sebesar 50,28%, sementara untuk keuntungan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 15,95%.

77

(24)

54

laju peningkatan hasil produksi padi melalui penerapan teknologi baru, dengan kredit

Bimas, Insus, dan Operasi Khusus serta membuka pasar uang di pedesaan agar suku

bunga dapat terkendali terutama mencegah terjadinya monopoli pasar uang.78

Untuk menyalurkan kredit tersebut Bank Indonesia menunjuk Bank Rakyat

Indonesia (BRI) untuk menyalurkan yang ditugaskan khusus, berdasarkan UU No.21

tahun 1968 adalah memperhatikan koperasi, usaha tani, dan nelayan serta perusahaan

kecil disektor industri perdagangan dan jasa.

Kredit Usaha Tani secara prosedur disalurkan dananya 100% dari Bank

Indonesia kepada petani dengan suku bunga rendah. Petani yang dapat memperoleh

kredit tersebut adalah petani yang kegiatannya mengolah tanaman padi, palawija, dan

holtikultura.

79

Kegiatan Bank ini dalam rangka peningkatan produksi pangan terutama beras

melalui program Bimbingan massal atau BIMAS dan Internsifikasi Massal atau

INMAS. Adapun penyediaan dana melalui BRI sebesar 100% dengan bunga 3%

setiap tahun. Program ini di mulai pada tahun 1965/1966 yang isi paketnya disalurkan

pemerintah secara kredit seperti pupuk dan obat-obatan dan alat-alat produksi

lainnya.80

78

Faisal Kasryno. op.cit., hlm. 307

79

Hasan Basri Serio Lago. “Analisis Keterkaitan Produksi dan Pendapatan petani dengan Koperasi Usaha Tani di Kabupaten Deli Serdang”. Laporan Penelitian. (Medan: Pascasarjana USU, 1998), hlm.14

80

Ibid., hlm.29

Besarnya pinjaman berkaitan dengan kebutuhan modal dan kesanggupan

(25)

55

disesuaikan dengan likuiditas dan risiko pengembaliannya, namun tidak melupakan

azas pemerataan penyaluran kredit dengan mempertimbangkan debitor dan krditor.

Kesungguhan Bank Indonesia mendukung program ini tercermin dari

kesediaan untuk ikut menanggung resiko kegagalan. Apabila terjadi kegagalan, maka

pemerintah akan menanggung sebanyak 50% dengan rincian, Bank penyalur dana

menanggung 25%, sedangkan Bank Indonesia menanggung 25%.81

Namun dalam pelaksanan dilapangan dihadapi masalah yaitu macetnya

saluran kredit melalui Bank seperti yang dirasakan oleh petani di Kabupaten Deli

Serdang yang dengan sendirinya mengganggu proses produksi padi yang dikelola oleh

petani tersebut.

Kebijakan ini

menjadi solusi atas kekhawatiran petani untuk menggunakan kredit dari pemerintah

jika terjadi kegagalan panen.

Dalam perkembangan mendukung pelestarian swasembada pangan khususnya

padi yang telah dicapai pada tahun 1984 dan pengembangan koperasi, pada tahun

1985 skim kredit Bimas yanng telah diberikan kepada masyarakat disempurnakan

oleh KUT disalurkan melalui Koperasi Usaha Desa (KUD).

82

81

Ibid., hlm.31.

82

Ibid., hlm.32-3

Masalah lain yang muncul adalah pemberian kredit tidak terawasi

dengan baik, baik penyaluran melalui BRI, BulOG, dan PN Pertani sama-sama

(26)

56

koperasi desa biasanya pengelolaan organisasi, keuangan dan pendidikan rendah,

ditugasi menagih pembayaran kredit.83

Tab el.2

Perluasan Padi Sawah Bimas Di Sumatera Utara Pengembangan luas tanaman padi sawah di Sumatera Utara

Tahun baku areal (Ha) luas Panen (Ha) Kenaikan%

1969 360.870 351.594 +2,6

1970 371.512 383.363 +9.0

1971 382.200 414.584 +9.2

1972 392.557 443.645 +7,0

1973 408.409 447.301 +0,8

1974 409.353 432.130 -3,4

1975 421.228 397.116 -8,28

1976 427.300 430.013 +8,12

Sumber: Sumut Membangun

Kelihatan bahwa panen padi sawah setiap tahun bertambah, walaupun pada

tahun 1974-1975 terjadi penurunan. Penurunan luas panenan adalah akibat serangan

hama wereng yang sudah terjadi sejak tahun sebelumnya. Bertambahnya luas areal

panenan selain akibat bertambahnya sarana pengairan, juga karena berkembangnya

varitas-varitas unggul yang relatif berumur pendek.

Kenaikan yang terjadi menyatakan bahwa keinginan para petani sebagai

peserta bertambah banyak, akibatnya hasil yang diperoleh juga bertambah. Laporan

Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara mengklaim jika program Bimas/Inmas

83

(27)

57

tersebut memberatkan kepada masyarakat tani, luas areal tidak akan bertamabah.84

Selanjutnya, kelihatan penurunan luas areal Bimas/Inmas tanaman padi padi tahun

1974-1975, sebagai pengaruh serangan hama wereng yang menyebabkan merosotnya

produksi. Namun musim tanam tahun 1976-1977 areal Bimas/Inmas kembali

bertambah karena serangan hama wereng sudah dapat ditekan terutama dengan

penyebaran bibit padi tahan wereng.85

3.2.6 Penyuluhan

Penyuluhan adalah suatu usaha atau cara untuk mendidik masyarakat untuk

meningkatkan kepribadian, keterampilan, dan pengetahuan agar dapat diserap atau

dipraktikkan oleh masyarakat tersebut. Jadi, penyuluhan pertanian adalah suatu

aktivitas pendidikan non-formal bagi petani yang berhubungan dengan masalah

pertanian di pedesaan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan tertentu, cara atau

metode tertentu.86 Penyuluhan berfungsi sebagai jembatan atas kesenjangan antara

praktik yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi

yang selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani.87

Untuk memperkenalkan program intensifikasi produksi, pemerintah pusat

menugaskan pemerintah kabupaten melalui Dinas Pertaniannya untuk membantu para

84

Lihat, Sumatera Utara membangun (Medan: Provinsi Sumatera Utara,1984), hlm.58

85

Ibid., hlm.59.

86

Luci Setiana. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.2

87

(28)

58

petani dalam memecahkan masalah mereka. Salah satunya adalah dengan mengirim

petugas penyuluhan lapangan (PPL) ke desa-desa. Seorang PPL di tugaskan di 1-3

desa, dan ia akan mengunjungi setiap desa secara bergantian. Peran para PPL memang

cukup membantu memberikan informasi baru mengenai teknik bertani dan

pengolahan padi maupun menanggapi kesulitan di lapangan. Untuk memaksimalkan

pelaksanaan penyuluhan ke desa-desa yang sangat sulit terjangkau di tambah

kesulitan tingginya biaya yang dikeluarkan dalam merangkul semua petani desa di

seluruh Sumatera Utara, maka pemerintah membuat kerja sama dengan perguruan

tinggi (hal ini fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara) dengan melibatkan

mahasiswa senior melakukan Kuliah Kerja Nyata.88

Sejak di mulainya paket program Bimas, masyarakat secara umum terlibat

dalam kredit mulai muncul sejumlah masalah, terkait dengan bimbingan teknis untuk

menggunakan dan memanfaatkan sebaik mungkin fasilitas yang tersedia untuk

meningkatkan produksi. Petani Bimas sangat membutuhkan dampingan teknis dari Tugas utama para mahasiswa

KKN adalah memperkenalkan “Proyek Mahasiswa Terpadu” dengan memberikan

contoh nyata untuk mendorong para petani memanfaatkan lahan mereka yang sempit

secara efektif sehingga menambah pendapatan selama krisis. Meskipun di lapangan

jumlah mereka tidaklah mencukupi untuk melakukan bimbingan terhadap petani.

88

(29)

59

penyuluh pertanian. Seiring berjalannya program Bimas, pemerintah juga

meluncurkan program Inmas sebagai program pendamping.

3.3 Impelementasi Pemerintah Daerah Dalam Mencapai Target Produksi

Pangan

3.3.1 Kebijakan Dalam Upaya Mencapai Target Produksi Pangan

Kebijakan pemerintah dalam mencapai swasembada pangan telah tersusun

dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita oleh pemerintah pusat dan

proyek tersebut di implementasikan ke setiap daerah. Repelita adalah suatu rencana;

yaitu rencana tentang pembangunan berjangka waktu lima tahun. Dengan membuat

rencana ini berarti negara mempunyai landasan dan pedoman bagi apa yang akan di

lakukan: landasan dan pedoman tersebut menghindarkan negara dari

pemborosan-pemborosan dan penyelewengan tenaga, uang, barang, ruang dan waktu, sekaligus

alat kontrol.89

Pemerintah daerah juga ikut bertanggung-jawab dengan mengawasi

kelancaran pelaksanan proyek-proyek pembangunan nasional yang diselenggarakan di

daerahnya yang mewajibkan mengikuti arahan setiap proyek pembangunan beserta

89

(30)

60

pedoman dan penunjuk teknis melalui departemen terkait. Oleh sebab itu landasan

pembangunan daerah sama dengan pembangunan nasional.90

Dalam usaha pencukupan kebutuhan pangan, pemerinah Orde Baru

merencanakan peningkatan produksi beras melalui bimbingan massal (Bimas) yang

terus di selenggarakan melalui penyediaan pupuk, bahan obat-obatan (insektisida)

dan perbaikan saluran irigasi yang di harapkan lebih menguntungkan dan

meningkatkan produksi pangan secara pesat.

91

Di samping itu, pemerintah juga terus

mencari ikhtiar-ikhtiar agar masyarakat disediakan pangan pengganti beras yang

kadar dan rasanya tidak kalah dengan beras. Penelitian dan pencobaan terus

dilakukan untuk memprodusir bahan pengganti beras, karena kebutuhan beras terus

meningkat, sedangkan produksi beras belum dapat mengimbangi peningkatan

kebutuhan.92

90

Ibid., hlm. 14-7

91

Pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 1967, lihat. Presiden Soeharto. Amanat Kenegaraan. Jilid I 1967-1971. (Jakarta:Yayasan Idayu.1985), hlm. 38-39

92

Ibid., hlm. 39

Usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian di bagi dalam sub sektor

di mulai dari:

1. penyebaran penggunaan benih unggul dalam daerah pertanian serta

(31)

61

2. Pendistribusian pupuk dan obat hama ke daerah-daerah dengan

ketentuan-ketentuan pengadaan yang tepat dan selanjutnya menggunakan

pengadaan pupuk dan obat hama asal produksi sendiri,

3. Peningkatan cara-cara pengolahan dengan alat-alat secara massal dari

luar-negeri,

4. Peningkatan proses pengeringan dan penggilingan padi,

5. Penyuluhan serta bimbingan terhadap peningkatan efisiensi usaha dan

pertanian.

Serta di sediakan sub lembaga untuk membantu melalui Pusat Penelitian

Pertanian di Perguruan Tinggi di daerah Sumatera Utara, memberikan kredit kepada

petani melalui Bank Pemerintah dan Swasta, intensifikasi lahan dan produksi melalui

irigasi seluruh inventarisasi daerah-daerah pertanian dan mengadakan modal

cadangan dari pemerintah untuk menjaga kestabilan harga beras.93

3.3.2 Pelaksanaan Kebijakan di Daerah

Berdasarkan hasil dari pelaksanaan pembangunan dari Repelita I, II dan III,

pemerintah bertekad untuk memacu pertumbuhan pembangunan jangka panjang dan

cita-cita bangsa Indonesia. Sasaran pembangunan di bidang ekonomi masih di titik

beratkan pada sektor pertanian yang semakin memantapkan swasembada pangan

93

(32)

62

melalui peningkatan intensifikasi, diversifikasi dan ekstensifikasi baik lahan basah

maupun lahan kering. Adapun usaha intensifikasi melalui langkah-langkah:94

Untuk itu Pemerintah melalui Dinas Pertanian memberikan tanggungjawab

penerapan program diberikan kepada pejabat daerah untuk menangani Bimas dan

Inmas. Bupati diangkat sebagai koordinator dan pejabat Dinas Pertanian Provinsi

menyeleksi wilayah terapan, menyediakan benih dan menghubungi petugas-petugas

lokal.

a)

memperluas dan meningkatkan mutu dan intensifiksi khusus (INSUS), b)

melaksanakan intensifikasi diversifikasi, dan rehabilitasi dengan operasi Khusus

(OPSUS) pada lahan-lahan marjinal dan daerah-daerah minus.

95

Sementara itu, berdasarkan analisis salah satu faktor pendorong petani

meningkatakan intensifikasi penggunaan lahan sawah adalah faktor bibit unggul,

sarana produksi modal, tenaga kerja, pemasaran hasil produksi dan peningkatan

program penyuluhan.

96

Keberadaan teknologi dipercaya mampu membantu petani meningkatkan

produktivitasnya secara signifikan, masihlah memiliki sejumlah persoalan mendasar.

Pemakaian teknologi seperti yang telah di perkenalkan kepada petani belum mampu

mendorong produktivitasnya. Pemakaian teknologi terkendala oleh tingkat adopsi

94

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Keempat Jilid I) Republik Indonesia. hlm. 422

95

Lihat Jan Oudejans, op.cit.,hlm.56

96

(33)

63

oleh petani desa sangatlah rendah. Bukan hanya itu, petani juga masih sulit dalam

memanfaatkan obat-obatan pemberantas hama dan penyakit dikarenakan terbatasnya

fasilitas yang disediakan pemerintah serta minimnya arahan dari penyuluhan.97

3.3.3 Target Produksi Pangan

Di harapkan melalui program peningkatan bahan pangan mencapai

swa-sembada ditargetkan tercapai hingga tahun 1971 dengan peningkatan produksi

sebesar 25% dari produksi tahun 1968 khusus untuk Sumatera Utara. Jika di hitung

secara kebutuhan dan produksi, maka dengan jumlah penduduk kisaran ±6 juta jiwa

dengan angka kebutuhan 220 kg/jiwa dengan produksi 1,2 jt ton , menjadi 1,5 juta ton

tahun 1971, dan pada akhir pelaksaan Pelita 1974 angka produksi padi di targetnya

mencapai 1,9 juta ton.98

Repelita ke lima tahun 1989/1990 – 1993/1994 di bidang pembangunan

pertanian di tujukan pada peningkatan produksi dan memantapkan swasembada

pangan dan memperbaiki mutu gizi serta peningkatan pendapatan petani. Laju

pertumbuhan tanaman pangan di perkirakan naik rata-rata 2,60% melalui

ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan.

99

97

Aman Pinem. “Masalah-Masalah Dan Prospek Pengembangan Teknologi Baru Di Stabat”.

Tesis tidak diterbitkan (Medan: PascasarjanaUSU, 1980)

98

Ibid.

99

Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (1989-1994), Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid I). hlm. 90. Untuk tingkat konsumsi kalori dan protein rata-rata penduduk Sumatera Utara melampaui tingkat konsumsi nasional di sebabkan oleh semakin tingginya tingkat kemampuan masyarakat membuat bertambahnya kebutuhan pangan. Lihat Repelita pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid IIB) hlm 142-4

Dari segi

(34)

64

2% pertahun (di atas rata-rata nasional), yaitu 1980 (8.350.9500), 1985 (9.442.137),

1988 (10.330.090), 1989 (10.330.090), 1993 (11.156.550).

3.4 Evaluasi Atas Program

Meskipun Revolusi Hijau di Indonesia berjalan dengan cukup baik. Namun

menurut Loekman bahwa sesungguhnya Revolusi Hijau hanya mampu mencapai

tujuan makro-nya, dengan swasembada pangan secara nasional. Pada tingkat mikro

Revolusi Hijau telah menimbulkan masalah uniformitas, yaitu penggunaan bibit

unggul secara massal sementara bibit lokal di larang100

100

Loekman Soetrisno. Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan Sosiologis.

(Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 10

. Menurutnya, meskipun

produktivitas tinggi justru menimbulkan masalah lain yaitu, bibit unggul tidak

memiliki ketahanan hidup dari hama yang mengancam kegagalan panen. Selanjutnya

revolusi Hijau membuat para petani rentan terhadap permainan harga terhadap

paket-paket teknologi industri karena ketergantungan.

Sesampai pada awal tahun 1970-an terlihat kesan bahwa perkembangan

ekonomi-pertanian masih kurang begitu menarik, bahkan pesimis. Hal ini dikarenakan

arahan pembangunan seperti hanya meneruskan kebijakan dari rezim sebelumnya

dengan sedikit polesan anggaran saja. Sehingga David Penny dikutip oleh Jan Luiten

(35)

65

“keengganan para petani untuk membeli pupuk, peralatan modern, dsb., adalah sangat besar sehingga sepertinya tidak tampak modernisasi substansial petani

pertanian Indonesia akan terjadi pada satu atau dua dekade yang akan datang.”101

Kebijakan yang demikian praktis telah mengabaikan kesejahteraan petani—

yang hanya dijadikan instrumen esensi dalam rangka ketahanan pangan.

Terjangkaunya dan stabilnya harga pangan tidak menjamin semua konsumen

memperoleh makanan karena daya beli tidak hanya ditentukan ole harga, tetapi juga

pendapatan. Tidak benar juga jika ketersediaan pangan pararel dengan perubahan

harga pasaran (krisis 1998 ketika harga meningkat namun pasokan melimpah).

Sejak awal Orde baru (Orba), kebijakan ketahanan pangan di dasarkan pada

pendekatan penyediaan pangan (food availability approach = FAA), yang memandang

ketahanan pangan nasional ditentukan kemampuan menyediakan makanan pokok

dalam jumlah cukup. FAA tidak memperhatikan aspek dsitribusi dan akses

masyarakat terhadap pangan, karena menganggap bahwa pedagang akan menyalurkan

pangan tersebut ke seluruh wilayah, dan harga pangan akan tetap stabil pada tingkat

yang wajar jika pangan tersedia sehingga dapat di jangkau oleh seluruh penduduk.

Pembangunan pertanian dengan mengarahkan kebijakan untuk memacu pertumbuhan

produksi beras dan pangan agar kecukupan pangan nasional terjadi setiap saat, di

mana harga beras di tingkat petani harus di tekan serendah mungkin agar harga di

(36)

66

Dari sebuah penelitian Nurhamidah terhadap dampak daripada Program

Bimas dan Inmas di Kabupaten Simalungun menunjukkan bahwa introduksi padi

unggul terhadap petani justru menimbulkan lapisan masyarakat petani baru yaitu

lapisan petani kuat yang timbul dengan cara membeli sawah-sawah para petani kecil.

Kemudian sejalan dengan itu juga muncul lapisan masyarakat petani lemah, yaitu

lapisan buruh tani dan penyakap yang hidupnya sangat tergantung pada lapisan petani

kuat.103

103

Lihat Nurhamidah. “Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978”. Laporan Penelitian. (Medan: Jurusan Sejarah USU,1997)

Sementara kredit Inmas/Bimas hanya menolong para petani kuat sedangkan

petani lemah semakin tersudutkan akibat beban utang, sementara bagi petani kuat

kredit Inmas/Bimas menstimulasi mereka untuk melakukan ekspansi lahan dengan

membeli sawah dan lahan milik petani kecil dan tuan-tuan tanah desa.

Perubahan akibat sistem pertanian ladang ke sawah dengan introduksi bibit

padi unggul telah menyisihkan sebagian besar tenaga kerja dan menimbulkan

pengangguran secara terbuka dan tersembunyi, di tambah penggunaan jasa tenaga

kerja lebih banyak menggunakan upah. Perubahan lain yang terjadi adalah semakin

lunturnya kehidupan tradisional masyarakat desa seperti gotong-royong,

menimbulkan persaingan usaha dan kelas yang kemudian tidak program pemerintah

(37)

67

Jika lebih teliti, mengapa Indonesia secara umum maupun Sumatera Utara

secara khusus hanya terjadi beberapa kali swasembada beras? Bukankah pemerintah

telah berhasil mendirikan tiang pancang yang kokoh untuk lebih memaksimalkan

produksi pangan? Namun, kenapa Indonesia kembali gagal dan tidak pernah lagi

mengalami swasembada beras?

Menarik kita mengamati analisis ekonomi-politis dari Fatih Gama Adisono,

setidaknya terdapat setidaknya 2 penyebabnya yakni: pertama, tuntutan struktural

pembangunan melalui jalan modernisasi, mendorong pemerintah Orde Baru untuk

merancang suatu strategi pertumbuhan ekonomi. Tahap-tahap Repelita merupakan

desain untuk mentransformasi struktural dari negara agraris menuju negara industri.

Untuk menopang pembangunan industrialisasi yang kuat maka sektor pertanian

dipersiapkan sebagai tiangnya. Kedua, tahap pembangunan lima tahun pertama

pemerintahan Orde Baru adalah mempersiapkan sektor pertanian sebagai penopang

industrialisasi. Dari kacamata ekonomis, pangan kemudian di letakkan sebagai upaya

negara untuk mendongkrak pertumbuhan industri melalui lingkungan bisnis yang

kondusif dengan menurunnya ongkos produksi yang banyak di sumbangkan harga

pangan.104

3.5 Perubahan Sosial Petani

“Di antara orang-orang muda yang datang ke gubuk-gubuk di gunung ini, ada orang- orang yang badannya dan jiwanya lemah telah membuang segala harapan,

104

(38)

68

saya hanya seorang petani tua yang bersedih bahwa saya tidak dapat memberikan walaupun itu hanya sepasang sendal kepada mereka. ...tetapi masih ada sebuah benda yang dapat saya berikan kepada mereka ‘sebatang jerami’. ... saya memungut beberapa batang jerami dari depan gubuk dan berkata: “hanya

dari sebatang jerami ini sebuah revolusi dapat di mulai”105

Mengingat betapa tingginya biaya produksi yang di keluarkan oleh petani

dalam mengelola pertanian padi, tentunya satu yang menjadi harapan bagi mereka .

Demikianlah sepenggal kisah dan harapan seorang petani Jepang yang prihatin

terhadap degenerasi dalam masyarakat Jepang, di mana orang-orang Jepang meniru

secara langsung model pembangunan ekonomi dan industri Amerika. Masanobu

Fukuoka bertekad untuk tidak meninggalkan sistem bertani secara tradisional. Dia

memiliki keyakinan betatapun jerami itu tampak kecil dan ringan dan kebanyakan

orang tidak mengerti sungguh-sungguh betapa pentingnya jerami itu. Karena jika

orang tahu nilai jerami ini yang sesungguhnya, sebuah teologi kemanusiaan dapat

terjadi, yang akan menjadi cukup kuat untuk menggerakkan negara bahkan dunia.

Namun masalahnya yakni persoalan sejauh mana program pemerintah dalam

usaha meningkatkan produksi beras selaras dengan pendapatan yang diperoleh petani

sebagai produsen. Kemudian bagaimana dampak terhadap para petani melalui

program pemerintah semakin tahan ditengahh daya beli petani di pedesaan yang

makin lemah akibat inflasi? Bagaimana dengan masyarakat pinggiran kota maupun

pegawai yang terkena imbas inflasi?

105

(39)

69

tidak lain adalah memperoleh penghasilan yang lebih baik. Perubahan pola pertanian

membutuhkan modal dan perawatan yang tinggi pula, telah menjeremuskan petani

kedalam lubang ketidakpastian akan perubahan keadaan sosial yang lebih baik dari

sebelumnya. Tidak hanya dibutuhkan dua hal di atas, kecekatan dan kematangan

dalam perencanaan juga di butuhkan untuk menghindarkan dari kegagalan panen yang

membuat kerugian lebih parah dari sebelumnya. Di sisi lain, akibat perubahan

revolusi bidang teknologi pertanian membuat terjadinya pergeseran tenaga kerja

manusia perempuan yang dulunya mendapat kesempatan kerja pada saat panen

dengan menggunakan “ani-ani” kini diganti oleh pria yang menggunakan “sabit

bergerigi.” Revolusi teknologi pasca panen juga terlihat dari kegiatan perontokan atau

“meng-iles”, yang biasa dilakukan oleh perempuan berganti menjadi sistem banting

yang dilakukan oleh laki-laki atau alat perontol seperti Therster sistem pedal maupun

mesin.

Dari pihak petani tentunya sudah pasti menginginkan produksi dan harga beras

naik untuk memperoleh laba selisih dari sisa penjualan produksi dengan biaya

produksi. Untuk itu, mereka di tuntut mengetahui berbagai masalah tentang proses

produksi secara utuh, karena kegagalan dalam perencanaan dapat menyebabkan

bencana yang besar bagi mereka. Belum lagi bencana kegagalan yang tejadi diluar

perkiraan dan akal sehat mereka seperti hama wereng dan perubahan iklim yang sulit

(40)

70

Pertanyaannya, seberapa siapkah petani menghadapi semua perubahan dan

perencanaan yang dicanangkan oleh pemerintah yang di gadang-gadang memberikan

kesejahteraan tersebut? Salah satu tenaga kerja yang penting adalah petani, karena

secara nasional ± 75% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 115 juta bekerja di

sektor pertanian. Itu artinya peran petani menyumbang penghasilan nasional

Indonesia atau GNP menyumbang sebesar ±55%. Namun, nasib mereka banyak

mengalami tekanan dari pihak-pihak tengkulak-tengkulak, permainan petugas-petugas

negara di bidang pupuk dan obat-obatan bahkan tindakan dari penguasa wilayah

pedesaan atau kecamatan senang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan petani

dengan berbagai cara dan usaha metode.106

Terjadi sebuah dilema yang terjadi ketika terjadi kelangkaan beras yang

menyebabkan melambungnya harga beras tentunya dapat meningkatkan pendapatan

petani padi—kemudian mendorong para petani untuk meningkatkan produktivitasnya.

Secara teoritis, jika produksi beras terus-menerus meningkat akan mengurangi

ketergantungan beras import dari luar-negeri. Namun nyatanya, justru ketika terjadi

kelangkaan beras (berdampak pada kenaikan harga beras), penduduk desa mengalami

pukulan telak atas kebijakan ini. Bagi warga yang tidak memiliki lahan pertanian

(sawah), kondisi ini menjadi malapetaka yang menjebak mereka ke dalam ruang

kemiskinan yang semakin dalam lagi. Kesulitan mereka memperoleh sumber pangan

106

(41)

71

kian sulit bukan hanya karena harganya yang cukup mahal melainkan cara

ketersediaannya sangat terbatas.

Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita tentunya, bagaimana kehidupan

para petani padi apakah merasakan perubahan pendapatan yang memberikan

kesejahteraan? Nyatanya, tidaklah sejalan dengan teori yang di pelajari secara

matematis. Petani padi seharusnya merasakan manfaat dari kondisi ini justru

mengalami tekanan yang membebani juga. Meningkatnya biaya produksi yang cukup

signifikan menambahan rentetan permasalahan kemudian hari, dan di akhiri dengan

besarnya areal padi yang mengalami kegagalan panen oleh karena musim kemarau

panjang, serangan hama wereng, dan lain-lain.

Sumatera Utara dinilai sebagai provinsi yang berhasil meningkatkan dan

mengembangkan program Bimas dan Inmas. Dari sisi produksi terlihat peningkatan

dari tahun ke tahun (lihat Tabel 7). Keberhasilan lain yang di klaim pemerintah yakni,

mampu mengerjakan sejumlah proyek besar yang sangat berpengaruh tentunya

disertai dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, seberapa besar

masyarakat desa merasakan perubahan kesejahteraan melalui program pemerintah

semenjak Pelita I-VI? Sebandingkah anggaran yang di habiskan dengan hasil yang di

harapkan?

Melihat pembangunan-pembangunan masa Orde Baru dengan sejumlah

proyek dan program yang berhasil terlaksana Soejito mengatakan dalam

(42)

72

indikator keberhasilan sebuah pembangunan desa. Persoalannya adalah, bagaimana

mengembangkan masyarakat dengan menghimpun potensi desa secara mandiri

sehingga masyarakat desalah yang akhirnya menikmati hasil pembangunan.107

107

Soejito. Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987) hlm. 67

Bukan

hanya menikmati tampilan fisik semata dengan banyaknya tiang-tiang bangunan yang

(43)

73

BAB IV

KONDISI PANGAN DI SUMATERA UTARA

TAHUN 1969-1997

4.6 Masalah Krisis Beras 1967-1972 Di Sumatera Utara

Krisis beras berarti kosongnya pasokan yang membuat naiknnya harga beras

secara tajam di pasaran, dan setiap krisis sudah pasti membawa berbagai dampak

terhadap ekonomi, sosial dan politik.108

“jikalau produksi beras Indonesia di tahun 1970 di banding dengan 1969, telah terjadi kenaikan produksi sebesar 30 persen. Ini kenaikan yang lumayan, tetapi masih kurang untuk mengejar meningkatnnya konsumsi berhubung kenaikan penduduk”.

Krisis beras bukan hanya karena diluar

perkiraan manusia seperti kegagalan panen karena perubahan iklim atau serang hama

wereng, melainkan perencanan yang kurang matang mengantisipasi pertambahan

penduduk mendahului pertambahan produksi, sehingga terjadi ketidakseimbangan

yang memunculkan krisis. Seperti dikutip laporan dari Departemen Pertanian;

109

Dikutip dari Harian Berita Yudha, yang menyinggung masalah beras versus

pertambahan penduduk melihat cepatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Hal ini

coba dimaklumkan mengingat suasana politis masih sangat rawan. Di tambah lagi

tidak adanya data kependudukan yang valid, sehingga sulit meramalkan tingkat

108

Krisis beras terjadi secara berturut-turut tahun 1967,1968,1969,1970 dan 1973. Lihat, Arifin Hutabarat. Usaha Mengatasi Krisis Beras. (Jakarta: LPKP, 1974) hlm. 3

109

(44)

74

kebutuhan pangan. Umumnya masalah pertambahan penduduk versus beras baru

banyak dijumpai di halaman surat kabar setelah tahun 1970.

Faktor lain yang mendorong kelangkaan beras adalah bertambahnya konsumsi

per kapita per tahun yang terus meningkat. Sejak 1963 konsumsi per kapita per tahun

diperkirakan 85 kg, sementara satu dasawarsa kemudian tahun 1973 mencapai 112,0

kg. Produksi beras di Sumatera Utara menyebabkan kekurangan sebesar ...? harus di

import.

Dalam Sidang FAO ke-17 yang di selenggarakan pada bulan April 1973 di

New Delhi, menyatakan produksi beras gobal turun secara drastis akibat fluktuasi

cuaca yang menyebabkan kegagalan panen berada di titik terendah hampir di seluruh

produsen padi. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena akan mengancam bahaya

kelaparan di dunia, terutama negara-negara pengimpor beras seperti Indonesia.110

Dampak daripada krisis beras menyebabkan kenaikan harga di pasaran bukan

hanya bersifat inflasi—sebab perkembangan indeks biaya hidup sangat dipegaruhi

oleh perkembangan harga beras, di mana beras merupakan 49,3% dari sektor makanan Sehubungan dengan ketidakjelasan kondisi cuaca serta kekhawatiran akan kekurangan

beras, beberapa negara produsen beras melarang pengekspor beras hingga kondisi

membaik untuk krisis pangan (beras) dalam negerinya. Muangthai sebagai produsen

beras selama ini juga melakukan hal yang sama, sehingga menimbulkan kenaikan

berantai atas harga-harga beras di Asia.

110

(45)

75

atau 31,3% dari seluruh indeks.111

Sesudah Perang Dunia II terjadi, harga beras bahkan di jadikan sebagai

barometer terhadap harga kebutuhan lain, hingga berpengaruh terhadap tingginya

upah—berdampak terhadap ongkos-ongkos produksi. Karena sebagian besar terutama

di perkotaan maupun di pedesaan pendapatan rakyat digunakan untuk membeli bahan

makanan pokok, dan jika sedikit saja naik maka terjadi perubahan penggunaan

pendapatan mereka selanjutnya.

Kondisi ini memperlihatkan rentannya posisi beras

dalam menjaga kenaikan harga barang-barang yang lain.

112

Menurut Arifin, krisis beras antara tahun 1967-1974 akibat adanya over

-optimisme dalam produksi dan supply beras oleh karena produksi beras tahun

pertama, kedua dan ketiga dari Repelita I produksi beras di Indonesia melampaui

target pemerintah

Implikasi terhadap tingginya harga pangan (beras)

menyebabkan masyarkat pola konsumsi berubah. Sebagian besar akan mengurangi

konsumsi beras dengan mengganti dengan bahan makanan lain yang nilainya lebih

rendah. Hal ini jika terus berlanjut akan mengakibatkan menurunnya kesehatan

masyarakat, oleh karena sebagian besar belum mengetahui sumber pangan pengganti

yang sepadan dengan nilai beras. Sehingga dapat dikatakan jika kebutuhan pangan

terganggu turut juga mempengaruhi produktivitas tenaga manusia.

(46)

76

Ketika terjadi krisis beras, toko-toko di Medan sibuk menukar harga

barang-barangnya walaupun barang-barang itu dari persediaan lama. Dan penukarannya

disesuaikan dengan harga emas. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi saat krisis beras

seperti yang digambarkan berikut; dikemukakan mereka bahwa gula pasir sejam lalu

dijual dengan Rp. 29/kg, tidak akan diperoleh dengan harga yang sama jika para

pedagang hendak membeli kembali.114

Kondisi inilah yang membuat munculnya aksi “Gerakan Anti Lapar” Kenaikan harga yang berlangsung setiap hari

membuat para pedagang khawatir untuk menanamkan uangnya di pasar, sehingga

mereka cenderung menyimpan uang mereka di rumah.

Krisis beras yang terjadi pada tahun 1973 tidak hanya terjadi di kota Medan

melainkan hampir di seluruh kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya,

Yogyakarta, Semarang, hingga Makassar. Sepertinya krisis kali ini menyebabkan

keguncangan nasional bukan hanya karena naiknya harga beras, melainkan pengaruh

psikologis dari media yang mengambil keuntungan kondisi melebih-lebihkan berita

harga kenaikan beras.

Gerakan Anti Lapar ini merupakan aksi-aksi massa yang muncul sebagai salah satu akibat sosial politis dari menyusul terjadinya krisis beras. Aksi ini sebenarnya telah muncul pada tahun 1968 diberbagai tempat yang dipelopori oleh aksi massa dari pemuda, mahasiswa dan pelajar—kesuksesan menumbangkan Orde Lama masih melekat di dalam diri kelompok-kelompok pimpinan organisasi ataupun kesatuan Aksi, sehingga ketika terjadi krisis dapat menimbulkan aksi-aksi berakibat lebih luas lagi. Lihat, Arifin. Ibid., hlm.25-33

di

sejumlah kota-kota besar. Mereka menuntut supaya pemerintah Daerah dan Pusat

segera mengambil langkah kebijaka yang tepat untuk menurunkan harga bahan

(47)

77

Presiden, yang dianggap tidak becus mengendalikan harga kebutuhan pokok, dan

menyerukan segera turun tangan menindak tegas pelaku penyeleweng tersebut.

Jika dilihat pergerakan aksi massa tersebut merupakan respon dari

perkembangan keadaan ekonomi dan politik, karena aksi-aksi yang ada terdiri dari

kelompok-kelompok kecil yang memang menonjolkan reaksi spontanitas atas keadaan

buruk yang insidentil. Untuk mencegah kekhawatiran aksi pemuda ini menjadi

gerakan nasional, maka Pemerintah melalui Panglima Daerah Jakarta May.Jend.

Poniman memanggil beberapa eksponen “Gerakan Anti Lapar”. Pihaknya hanya ingin

mencegah jangan sampai ekses-ekses yang tidak di inginkan terjadi. Ia pun

melanjutkan belum melihat (gerakan anti lapar) digunakan atau ditunggangi oleh

golongan politik tertentu, dan menyarankan agar aksi-aksi itu sebaiknya disalurkan

melalui jalur konstitusional.116

4.7 Mengatasi Kelangkaan Beras

4.7.1 Mekanisme Pasar Untuk Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Sejak Orde lama hingga Orde Baru sekalipun tidak pernah terlepas dengan

masalah ketersediaan pangan. Diperlukan berbagai usaha dan strategi untuk dapat

menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup bagi masyarakat. Jika kita

merujuk pada krisis Orde Lama tahun 1965—indonesia mengalami inflasi yang begitu

116

Gambar

Tabel.1   Luas Pengairan Sawah
Tabel.2   Perluasan Padi Sawah Bimas Di Sumatera Utara
Tabel.3
Tabel. 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rapat Paripurna Dewan dengan agenda Pengambilan Keputusan / Persetujuan Bersama antara DPRD Provinsi Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara terhadap Rancangan

prestasi kerja pegawai pada Bagian Tanaman Pangan Dinas Pertanian Provinsi.

JUDUL TUGAS AKHIR : SISTEM INFORMASI AKUNTANSI ASET TETAP PADA DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI SUMATERA UTARA..

Sebagaimana yang tertera pada bagan struktur organisasi Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, dalam melaksanakan tugas membantu gubernur dalam menyelenggarakan

Jenis data yang dikumpulkan antara lain Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) Provinsi Sumatera Utara, indeks harga yang diterima petani padi, indeks harga yang dibayar petani

BAB III PENERAPAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PADA DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI SUMATERA UTARA ... Sistem informasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara, untuk mengetahui akses pangan di Sumatera Utara, untuk mengetahui pengaruh

KONTRIBUSI PRODUKSI PADI, JAGUNG DAN KEDELAI TERHADAP INDEKS KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi