• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI PANGAN DI SUMATERA UTARA

4.6 Masalah Krisis Beras 1967-1972 Di Sumatera Utara

Krisis beras berarti kosongnya pasokan yang membuat naiknnya harga beras secara tajam di pasaran, dan setiap krisis sudah pasti membawa berbagai dampak

terhadap ekonomi, sosial dan politik.108

“jikalau produksi beras Indonesia di tahun 1970 di banding dengan 1969, telah terjadi kenaikan produksi sebesar 30 persen. Ini kenaikan yang lumayan, tetapi masih kurang untuk mengejar meningkatnnya konsumsi berhubung kenaikan penduduk”.

Krisis beras bukan hanya karena diluar perkiraan manusia seperti kegagalan panen karena perubahan iklim atau serang hama wereng, melainkan perencanan yang kurang matang mengantisipasi pertambahan penduduk mendahului pertambahan produksi, sehingga terjadi ketidakseimbangan yang memunculkan krisis. Seperti dikutip laporan dari Departemen Pertanian;

109

Dikutip dari Harian Berita Yudha, yang menyinggung masalah beras versus pertambahan penduduk melihat cepatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Hal ini coba dimaklumkan mengingat suasana politis masih sangat rawan. Di tambah lagi tidak adanya data kependudukan yang valid, sehingga sulit meramalkan tingkat

108

Krisis beras terjadi secara berturut-turut tahun 1967,1968,1969,1970 dan 1973. Lihat, Arifin Hutabarat. Usaha Mengatasi Krisis Beras. (Jakarta: LPKP, 1974) hlm. 3

109

74

kebutuhan pangan. Umumnya masalah pertambahan penduduk versus beras baru banyak dijumpai di halaman surat kabar setelah tahun 1970.

Faktor lain yang mendorong kelangkaan beras adalah bertambahnya konsumsi per kapita per tahun yang terus meningkat. Sejak 1963 konsumsi per kapita per tahun diperkirakan 85 kg, sementara satu dasawarsa kemudian tahun 1973 mencapai 112,0 kg. Produksi beras di Sumatera Utara menyebabkan kekurangan sebesar ...? harus di import.

Dalam Sidang FAO ke-17 yang di selenggarakan pada bulan April 1973 di New Delhi, menyatakan produksi beras gobal turun secara drastis akibat fluktuasi cuaca yang menyebabkan kegagalan panen berada di titik terendah hampir di seluruh produsen padi. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena akan mengancam bahaya

kelaparan di dunia, terutama negara-negara pengimpor beras seperti Indonesia.110

Dampak daripada krisis beras menyebabkan kenaikan harga di pasaran bukan hanya bersifat inflasi—sebab perkembangan indeks biaya hidup sangat dipegaruhi oleh perkembangan harga beras, di mana beras merupakan 49,3% dari sektor makanan Sehubungan dengan ketidakjelasan kondisi cuaca serta kekhawatiran akan kekurangan beras, beberapa negara produsen beras melarang pengekspor beras hingga kondisi membaik untuk krisis pangan (beras) dalam negerinya. Muangthai sebagai produsen beras selama ini juga melakukan hal yang sama, sehingga menimbulkan kenaikan berantai atas harga-harga beras di Asia.

110

75

atau 31,3% dari seluruh indeks.111

Sesudah Perang Dunia II terjadi, harga beras bahkan di jadikan sebagai barometer terhadap harga kebutuhan lain, hingga berpengaruh terhadap tingginya upah—berdampak terhadap ongkos-ongkos produksi. Karena sebagian besar terutama di perkotaan maupun di pedesaan pendapatan rakyat digunakan untuk membeli bahan makanan pokok, dan jika sedikit saja naik maka terjadi perubahan penggunaan pendapatan mereka selanjutnya.

Kondisi ini memperlihatkan rentannya posisi beras dalam menjaga kenaikan harga barang-barang yang lain.

112

Menurut Arifin, krisis beras antara tahun 1967-1974 akibat adanya over

-optimisme dalam produksi dan supply beras oleh karena produksi beras tahun pertama, kedua dan ketiga dari Repelita I produksi beras di Indonesia melampaui target pemerintah

Implikasi terhadap tingginya harga pangan (beras) menyebabkan masyarkat pola konsumsi berubah. Sebagian besar akan mengurangi konsumsi beras dengan mengganti dengan bahan makanan lain yang nilainya lebih rendah. Hal ini jika terus berlanjut akan mengakibatkan menurunnya kesehatan masyarakat, oleh karena sebagian besar belum mengetahui sumber pangan pengganti yang sepadan dengan nilai beras. Sehingga dapat dikatakan jika kebutuhan pangan terganggu turut juga mempengaruhi produktivitas tenaga manusia.

113

111

Ibid., hlm, 12-13

112

Saroso Wirodihardjo, op.cit., hlm. 472

113

Arifin, op.cit., hlm. 14

76

Ketika terjadi krisis beras, toko-toko di Medan sibuk menukar harga barang-barangnya walaupun barang-barang itu dari persediaan lama. Dan penukarannya disesuaikan dengan harga emas. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi saat krisis beras seperti yang digambarkan berikut; dikemukakan mereka bahwa gula pasir sejam lalu dijual dengan Rp. 29/kg, tidak akan diperoleh dengan harga yang sama jika para

pedagang hendak membeli kembali.114

Kondisi inilah yang membuat munculnya aksi “Gerakan Anti Lapar” Kenaikan harga yang berlangsung setiap hari membuat para pedagang khawatir untuk menanamkan uangnya di pasar, sehingga mereka cenderung menyimpan uang mereka di rumah.

Krisis beras yang terjadi pada tahun 1973 tidak hanya terjadi di kota Medan melainkan hampir di seluruh kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, hingga Makassar. Sepertinya krisis kali ini menyebabkan keguncangan nasional bukan hanya karena naiknya harga beras, melainkan pengaruh psikologis dari media yang mengambil keuntungan kondisi melebih-lebihkan berita harga kenaikan beras.

115

114

Ibid., hlm. 23

115

Gerakan Anti Lapar ini merupakan aksi-aksi massa yang muncul sebagai salah satu akibat sosial politis dari menyusul terjadinya krisis beras. Aksi ini sebenarnya telah muncul pada tahun 1968 diberbagai tempat yang dipelopori oleh aksi massa dari pemuda, mahasiswa dan pelajar—kesuksesan menumbangkan Orde Lama masih melekat di dalam diri kelompok-kelompok pimpinan organisasi ataupun kesatuan Aksi, sehingga ketika terjadi krisis dapat menimbulkan aksi-aksi berakibat lebih luas lagi. Lihat, Arifin. Ibid., hlm.25-33

di sejumlah kota-kota besar. Mereka menuntut supaya pemerintah Daerah dan Pusat segera mengambil langkah kebijaka yang tepat untuk menurunkan harga bahan pangan, terutama beras. Tuntutan mereka juga terasa terhadap pejabat pembantu

77

Presiden, yang dianggap tidak becus mengendalikan harga kebutuhan pokok, dan menyerukan segera turun tangan menindak tegas pelaku penyeleweng tersebut.

Jika dilihat pergerakan aksi massa tersebut merupakan respon dari perkembangan keadaan ekonomi dan politik, karena aksi-aksi yang ada terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang memang menonjolkan reaksi spontanitas atas keadaan buruk yang insidentil. Untuk mencegah kekhawatiran aksi pemuda ini menjadi gerakan nasional, maka Pemerintah melalui Panglima Daerah Jakarta May.Jend. Poniman memanggil beberapa eksponen “Gerakan Anti Lapar”. Pihaknya hanya ingin mencegah jangan sampai ekses-ekses yang tidak di inginkan terjadi. Ia pun melanjutkan belum melihat (gerakan anti lapar) digunakan atau ditunggangi oleh golongan politik tertentu, dan menyarankan agar aksi-aksi itu sebaiknya disalurkan

melalui jalur konstitusional.116