• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Di antara orang-orang muda yang datang ke gubuk-gubuk di gunung ini, ada orang- orang yang badannya dan jiwanya lemah telah membuang segala harapan,

104

Fatih Gama Abisono N. Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Daerah vs Pasar Global. (Yogtakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.5 No.3 tahun 2002)

68

saya hanya seorang petani tua yang bersedih bahwa saya tidak dapat memberikan walaupun itu hanya sepasang sendal kepada mereka. ...tetapi masih ada sebuah benda yang dapat saya berikan kepada mereka ‘sebatang jerami’. ... saya memungut beberapa batang jerami dari depan gubuk dan berkata: “hanya

dari sebatang jerami ini sebuah revolusi dapat di mulai”105

Mengingat betapa tingginya biaya produksi yang di keluarkan oleh petani dalam mengelola pertanian padi, tentunya satu yang menjadi harapan bagi mereka

.

Demikianlah sepenggal kisah dan harapan seorang petani Jepang yang prihatin terhadap degenerasi dalam masyarakat Jepang, di mana orang-orang Jepang meniru secara langsung model pembangunan ekonomi dan industri Amerika. Masanobu Fukuoka bertekad untuk tidak meninggalkan sistem bertani secara tradisional. Dia memiliki keyakinan betatapun jerami itu tampak kecil dan ringan dan kebanyakan orang tidak mengerti sungguh-sungguh betapa pentingnya jerami itu. Karena jika orang tahu nilai jerami ini yang sesungguhnya, sebuah teologi kemanusiaan dapat terjadi, yang akan menjadi cukup kuat untuk menggerakkan negara bahkan dunia.

Namun masalahnya yakni persoalan sejauh mana program pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi beras selaras dengan pendapatan yang diperoleh petani sebagai produsen. Kemudian bagaimana dampak terhadap para petani melalui program pemerintah semakin tahan ditengahh daya beli petani di pedesaan yang makin lemah akibat inflasi? Bagaimana dengan masyarakat pinggiran kota maupun pegawai yang terkena imbas inflasi?

105

Masanubo Fukuoka. Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami. (Jakarta: YOI, 1991) hlm. 154-7

69

tidak lain adalah memperoleh penghasilan yang lebih baik. Perubahan pola pertanian membutuhkan modal dan perawatan yang tinggi pula, telah menjeremuskan petani kedalam lubang ketidakpastian akan perubahan keadaan sosial yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak hanya dibutuhkan dua hal di atas, kecekatan dan kematangan dalam perencanaan juga di butuhkan untuk menghindarkan dari kegagalan panen yang membuat kerugian lebih parah dari sebelumnya. Di sisi lain, akibat perubahan revolusi bidang teknologi pertanian membuat terjadinya pergeseran tenaga kerja manusia perempuan yang dulunya mendapat kesempatan kerja pada saat panen dengan menggunakan “ani-ani” kini diganti oleh pria yang menggunakan “sabit bergerigi.” Revolusi teknologi pasca panen juga terlihat dari kegiatan perontokan atau

“meng-iles”, yang biasa dilakukan oleh perempuan berganti menjadi sistem banting

yang dilakukan oleh laki-laki atau alat perontol seperti Therster sistem pedal maupun

mesin.

Dari pihak petani tentunya sudah pasti menginginkan produksi dan harga beras naik untuk memperoleh laba selisih dari sisa penjualan produksi dengan biaya produksi. Untuk itu, mereka di tuntut mengetahui berbagai masalah tentang proses produksi secara utuh, karena kegagalan dalam perencanaan dapat menyebabkan bencana yang besar bagi mereka. Belum lagi bencana kegagalan yang tejadi diluar perkiraan dan akal sehat mereka seperti hama wereng dan perubahan iklim yang sulit diprediksi.

70

Pertanyaannya, seberapa siapkah petani menghadapi semua perubahan dan perencanaan yang dicanangkan oleh pemerintah yang di gadang-gadang memberikan kesejahteraan tersebut? Salah satu tenaga kerja yang penting adalah petani, karena

secara nasional ± 75% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 115 juta bekerja di

sektor pertanian. Itu artinya peran petani menyumbang penghasilan nasional

Indonesia atau GNP menyumbang sebesar ±55%. Namun, nasib mereka banyak

mengalami tekanan dari pihak-pihak tengkulak-tengkulak, permainan petugas-petugas negara di bidang pupuk dan obat-obatan bahkan tindakan dari penguasa wilayah pedesaan atau kecamatan senang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan petani

dengan berbagai cara dan usaha metode.106

Terjadi sebuah dilema yang terjadi ketika terjadi kelangkaan beras yang menyebabkan melambungnya harga beras tentunya dapat meningkatkan pendapatan petani padi—kemudian mendorong para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Secara teoritis, jika produksi beras terus-menerus meningkat akan mengurangi ketergantungan beras import dari luar-negeri. Namun nyatanya, justru ketika terjadi kelangkaan beras (berdampak pada kenaikan harga beras), penduduk desa mengalami pukulan telak atas kebijakan ini. Bagi warga yang tidak memiliki lahan pertanian (sawah), kondisi ini menjadi malapetaka yang menjebak mereka ke dalam ruang kemiskinan yang semakin dalam lagi. Kesulitan mereka memperoleh sumber pangan

106

71

kian sulit bukan hanya karena harganya yang cukup mahal melainkan cara ketersediaannya sangat terbatas.

Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita tentunya, bagaimana kehidupan para petani padi apakah merasakan perubahan pendapatan yang memberikan kesejahteraan? Nyatanya, tidaklah sejalan dengan teori yang di pelajari secara matematis. Petani padi seharusnya merasakan manfaat dari kondisi ini justru mengalami tekanan yang membebani juga. Meningkatnya biaya produksi yang cukup signifikan menambahan rentetan permasalahan kemudian hari, dan di akhiri dengan besarnya areal padi yang mengalami kegagalan panen oleh karena musim kemarau panjang, serangan hama wereng, dan lain-lain.

Sumatera Utara dinilai sebagai provinsi yang berhasil meningkatkan dan mengembangkan program Bimas dan Inmas. Dari sisi produksi terlihat peningkatan

dari tahun ke tahun (lihat Tabel 7). Keberhasilan lain yang di klaim pemerintah yakni,

mampu mengerjakan sejumlah proyek besar yang sangat berpengaruh tentunya disertai dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, seberapa besar masyarakat desa merasakan perubahan kesejahteraan melalui program pemerintah semenjak Pelita I-VI? Sebandingkah anggaran yang di habiskan dengan hasil yang di harapkan?

Melihat pembangunan-pembangunan masa Orde Baru dengan sejumlah proyek dan program yang berhasil terlaksana Soejito mengatakan dalam pembangunan desa kita tidak dapat menjadikan anggaran dan program semata sebagai

72

indikator keberhasilan sebuah pembangunan desa. Persoalannya adalah, bagaimana mengembangkan masyarakat dengan menghimpun potensi desa secara mandiri

sehingga masyarakat desalah yang akhirnya menikmati hasil pembangunan.107

107

Soejito. Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987) hlm. 67

Bukan hanya menikmati tampilan fisik semata dengan banyaknya tiang-tiang bangunan yang terpancang kokoh namun tidak menyejahterakan.

73

BAB IV