• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN KEAMANAN MANUSIA KASUS DOWRY MURDER DI INDIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN KEAMANAN MANUSIA KASUS DOWRY MURDER DI INDIA."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN KEAMANAN MANUSIA ( STUDI KASUS : DOWRY MURDER DI INDIA )

Putu Titah Kawitri Resen

Program Studi Hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana E-mail : kawitriresen@yahoo.com

ABSTRACT

This article attempts to explain dowry murder as one example violence against

women. By relating this issue with the concept of violence and human security,

this article shows that dowry, as a gift given by the bride’s family to the

groom’s family has become source of violence against women, both direct

violence and also cultural violence. These forms of violence lead to the

absence of peace. Dowry in India has also become the threaths to women as a

vurnerable group in society. In human security concept, dowry murder has

threathened personal security and community security, two among seven

components of human security.

Keywords :dowry murder, women, violence, human security

1. Pendahuluan

Dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer, konsep-konsep dasar seperti keamanan, kekerasan, dan perdamaian tidak lagi semata-mata didominasi oleh

(2)

domestik. Oleh karena itu, isu kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu isu yang tercakup di dalam kajian Hubungan Internasional. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga menjadi sebuah fenomena global karena dapat terjadi dimana saja di seluruh belahan dunia. Di ranah internasional isu kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perempuan, dalam masyarakat modern dan masyarakat tradisional, rentan terhadap kekerasan baik yang bersifat kriminal maupun yang bersumber dari tradisi. Menurut data WHO diperkirakan bahwa secara global satu dari lima perempuan

dalam hidupnya pernah menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan. Data lainnya yang terkait dengan kasus perkosaan menyebutkan bahwa di beberapa negara seperti Kanada, Selandia baru, Inggris, dan Amerika Serikat perbandingannya adalah satu dari enam perempuan. Di Afrika Selatan, kondisinya jauh lebih parah karena 40 persen dari gadis-gadis yang berusia 17 tahun atau dibawah itu telah menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan. Sayangnya, kekerasan yang dialami oleh perempuan juga kerapkali terjadi di rumah mereka sendiri. Sebagai contoh, pemerintah Rusia memperkirakan bahwa 14.000 perempuan dibunuh oleh pasangan ataupun kerabat mereka di tahun 1999. Namun sayangnya, pemerintah Rusia belum memiliki undang-undang khusus untuk menangani kasus kekerasan domestik (Vlachovà dan Biason,2005 : 9).

Melihat pada bentuk kekerasan dan jumlah perempuan yang mengalami kekerasan membawa kita pada konsep perdamaian dalam arti yang lebih luas. Maksudnya ialah ketiadaan perang, tidak lantas meniadakan kekerasan dalam segala bentuknya. Hal ini disebabkan karena resiko kematian perempuan akibat kekerasan domestik hampir sama atau bahkan lebih besar dengan resiko kematian yang disebabkan oleh penyakit maupun perang. Seperti yang dikutip oleh Vlachovà dan Biason( 2005 ) bahwa kaum perempuan yang berada pada rentang usia 15 tahun

hingga 44 tahun cenderung terluka atau meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki daripada akibat penyakit kanker, kecelakaan lalulintas, malaria dan

perang.

(3)

pernikahan yang mensyaratkan keluarga pengantin perempuan untuk menyediakan

dowry (maskawin) untuk keluarga pengantin laki-laki menjadi pendorong bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dapat berujung pada kematian perempuan tersebut. Dowry murder yang muncul sebagai sebuah fenomena baru di tahun 1980-an justru terjadi ketika pemerintah India telah mengeluarkan undang-undang larangan memberi dan menerima dowry dalam pernikahan yang disebut dengan Dowry Prohibiton Act 1961. Dowry Prohibiton Act 1961 ini kemudian di amandemen di tahun 1984 dan 1986 (Oldenburg, 2002:viii). Dowry Prohibiton Act ini

dimaksudkan untuk menghapuskan menghapuskan satu-satunya sistem pernikahan yang disahkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Bahkan jauh sebelumnya, Mahatma Gandhi gencar melakukan kampanye anti sistem dowry dalam pernikahan melalui tulisan-tulisannya di majalah Harijan dan Young India (Gandhi,2002:129). Dalam kampanye-kampanyenya, Gandhi yang terkenal sebagai pecinta damai menyerukan agar masyarakat India menikah didasarkan atas dasar saling cinta dan kasih sayang. Pemberian hadiah sebagai syarat dalam pernikahan menurut Gandhi adalah sebuah kebiasaan yang kejam karena sangat bertentangan dengan prinsip kasih sayang. Dalam setiap kampanye yang dipimpinnya, Gandhi menghimbau golongan kasta tinggi sampai golongan harijan, mulai dari Bombay sampai desa-desa terpencil di Gujarat, Maharashtra dan Bengal untuk saling mendekati dan melakukan kawin silang serta menikah atas dasar kasih sayang dan sukarela ( Wolpert,2001:274).

Meskipun telah ada usaha oleh pemerintah India untuk menghapus praktik

dowry dalam pernikahan, sayangnya usaha–usaha tersebut belum membuahkan hasil yang positif. Jumlah kematian perempuan di India yang disebabkan oleh maskawin justru terus menunjukkan peningkatan hingga saat ini. Tradisi dowry dalam pernikahan di India telah jelas menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan yang mengancam kehidupan mereka baik secara individu maupun secara kolektif. India

sendiri adalah sebuah negara demokrasi besar yang telah lama merasakan perdamaian, kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan, namun demikian kemerdekaan dan

(4)

perempuan kehilangan hak asasinya sebagai manusia yang menjadi salah satu syarat bagi terciptanya perdamaian.

2.Kerangka Pemikiran

Untuk menjelaskan pokok permasalahan diatas, penulis menggunakan dua konsep yaitu konsep kekerasan dan perdamaian serta konsep keamanan manusia.

Konsep Kekerasan

Kekerasan memiliki definisi yang sangat luas dan memiliki keterkaitan erat

dengan perdamaian. Dalam satu pandangan, kekerasan bisa jadi merupakan akibat dari tindakan atau serangkaian tindakan dari seorang aktor atau pelaku. Di lain pihak, kekerasan bisa jadi merupakan hasil dari serangkaian aktivitas sebuah institusi atau struktur, yang mana salah satunya dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan ( Roberts, 2008;17).

Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural ( Susan, 2009;118). Kekerasan langsung ialah kekerasan yang melibatkan aktor pelaku yang mengharapkan akibat dari terjadinya kekerasan tersebut. Kekerasan ini dilakukan denngan sengaja oleh individu atau secara kolektif. Kekerasan langsung dapat dibedakan menjadi kekerasan verbal dan fisik. Penganiayaan dan pembunuhan dapat dikategorikan sebagai kekerasan langsung. Kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural merupakan kekerasan yang datang dari struktur sosial yang ada antara manusia, diantara kelompok-kelompok manusia ( masyarakat ), antara kelompok-kelompok masyarakat ( aliansi-aliansi regional ) di dunia. Kekerasan struktural tidak selalu disengaja. Bentuk kekerasan struktural yang utama muncul dari bidang ekonomi dan politik yaitu represi dan eksploitasi. Bisa dikatakan kekerasan ini terlaksana melalui proses. Sistem patriarki misalnya adalah kekerasan struktural dimana superioritas laki-laki atas perempuan menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan kultural atau kekerasan

(5)

(Galtung,1996;9). Kekerasan kultural menjadikan kekerasan langsung dan kekerasan struktural tampak terasa benar atau setidak-tidaknya dipandang sebagai sesuatu yang tidak salah (Galtung,1990;291).

Tiga tipologi kekerasan yang dikemukakan Galtung diatas terkait erat dengan konsep perdamaian. Galtung membedakan perdamaian kedalam perdamaian negatif dan perdamaian positif. Secara singkat, perdamaian negatif dapat dijelaskan sebagai ketiadaan kekerasan langsung, sedangkan perdamaian positif ialah ketiadaan kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural ( Webel dan Galtung,2007;31).

Dalam tulisan ini, konsep kekerasan yang dikemukakan oleh Johan Galtung digunakan untuk menjelaskan ketiadaan perdamaian positif akibat tradisi dowry yang melahirkan kekerasan langsung dan kekerasan kultural terhadap perempuan.

Konsep Keamanan Manusia

Konsep keamanan manusia hadir sebagai sebuah konsep keamanan yang tidak hanya fokus terhadap keamanan negara, tetapi juga menjadikan tiap individu manusia yang ada didalamnya sebagai obyek keamanan yang sama pentingnya dengan negara. Hal ini disebabkan karena berakhirnya Perang Dingin ternyata tidak menghadirkan perdamaian dalam arti yang positif. Justru era paska Perang Dingin bentuk hubungan antar negara terbentuk karena adanya ancaman baru dan permasalahan yang menembus batas negara dan sulit ditangani atau bahkan tidak terselesaikan (Tadjbakhsh dan Chenoy,2007;1 ). Ancaman yang dimaksud merupakan ancaman-ancaman yang dapat menyebabkan manusia mendapatkan kesulitan, atau bahkan menyebabkan kematian, seperti kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, atau bencana alam. Menurut MacLean, Black & Shaw ( 2006) keamanan yang dimaksud oleh konsep ini adalah keamanan yang akan dapat dicapai bila manusia memiliki freedom from want dan

(6)

Keamanan manusia dapat dikatakan memiliki dua aspek, pertama,

keamanan dari ancaman ancaman yang bersifat kronis seperti

kelaparan, penyakit, dan penindasan. Selain itu, keamanan manusia

juga berarti perlindungan dari gangguan yang berbahaya dalam

kehidupan sehari-hari apakah itu di rumah, di kantor maupun dalam

komunitas. (UNDP,1994).

Definisi keamanan manusia yang lainnya di berikan oleh Sharbanaou Tadjbakhsh dan Anuradha M. Chenoy ( 2007 ) sebagai berikut:

Keamanan manusia merupakan perlindungan bagi individu-individu

dari resiko-resiko yang mengancam kemanan fisik dan psikologis,

martabat dan kesejahteran mereka.

Apa yang menjadi penting dalam definisi ini ialah ketika obyek yang dituju adalah individu, maka keamanan yang dimaksud itu bukan hanya sekedar kondisi bertahan hidup, namun juga mencakup kesejahteraan dan martabat manusia. Oleh karena itu lingkungan yang dikategorikan mampu menyediakan keamanan manusia bagi penduduknya adalah lingkungan yang memungkinkan individu-individu didalamnya untuk menjalani kehidupan yang stabil dan mampu menentukan kehidupan mereka sendiri ( Tadjbaksh dan Chenoy, 2007 ).

Laporan UNDP tahun 1994 juga menyatakan bahwa terdapat tujuh kategori keamanan manusia, yakni keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas, dan politik ( UNDP, 1994). Berikut akan dijelaskan secara singkat mengenai ketujuh kategori tersebut:

a. Keamanan ekonomi; ancamannya antara lain berupa kemiskinan, pendapatan yang tidak memadai, dan pengangguran.

b. Keamanan makanan; yang dapat mengancam keamanan ini antara lain kelaparan, kekurangan gizi, kekurangan makanan, dan kurangnya akses untuk mendapatkan

makanan.

c. Keamanan kesehatan; ancaman yang dapat mengganggu keamanan kesehatan

(7)

d. Keamanan lingkungan; ancamannya antara lain polusi, penebangan hutan, ketiadaan sumber daya alam, dan bencana alam.

e. Keamanan personal; yang menjadi ancaman antara lain perasaan takut, dalam hal ini takut akan terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan dari berbagai ancaman, kemudian ancaman berupa serangan dari negara lain seperti peperangan, ancaman dari terorisme internasional ataupun dari kelompok lain sepertipada konflik etnis dan konflik relijius, ancaman dari individu atau sekelompok orang, kejahatan di jalan, penyanderaan, ancaman terhadap

perempuan berupa kekerasan domestik, penyiksaan dan perkosaan, kekerasan terhadap anak-anak seperti penyiksaan terhadap anak, perburuhan anak, pelacuran anakserta ancaman seperti bunuh diri hingga ancaman dari narkoba.

f. Keamanan komunitas; ancamannya antara lain kegiatan atau aktifitas-aktifitas tradisional yang memaksa, perlakuan kasar terhadap kaum perempuan, diskriminasi terhadap kelompok etnis, agama atau kelompok masyarakat tertentu, pemberontak, dan konflik bersenjata. Keamanan komunitas bukan hanya dipandang dari bagaimana satu kelompok masyarakat bersosialisasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lain, melainkan juga terkait dengan keamanan tiap individu anggota dalam satu kelompok dari ancaman kelompok yang diikutinya.

g. Keamanan politik, yang dapat dicapai jika dapat mengatasi ancaman berupa tekanan politik, pelanggaran hak asasi manusia, kediktatoran militer, penyiksaan, dan juga ketidakadilan.

Konsep keamanan manusia menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab utama atas keamanan setiap individu masyarakatnya yang sesuai dengan prinsip the

Responsibility to Protect (RtoP) ( Tadjbakhsh & Chenoy, 2007;191).Dengan prinsip RtoP konsep keamanan manusia tidak menggantikan keamanan negara, melainkan

melengkapinya. Akan tetapi, permasalahan dalam satu negara yang semakin kompleks menyebabkan negara seringkali tidak mampu atau mungkin tidak mau menjamin

(8)

Dengan demikian, konsep keamanan manusia membantu memasukkan permasalahan dalam suatu negara ke dalam agenda keamanan internasional. Konsep keamanan manusia dalam tulisan ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dalam kasus dowry murder menjadi ancaman bagi keamanan manusia.

3. Dowry, Kekerasan Langsung dan Kekerasan Kultural

Secara tradisional dowry yang dalam bahasa tradisional dowry yang lebih

dikenal dengan nama dejjah, daaj, atau sthridhanam dalam bahasa Hindi secara tradisional merupakan hadiah atau warisan yang diberikan kepada calon pengantin perempuan dalam sistem perkawinan yang dianut oleh kasta atas India. Hadiah yang biasanya berupa pakaian, perhiasan, dan alat – alat rumah tangga tersebut diberikan oleh keluarganya sebelum meninggalkan orangtuanya untuk hidup dengan keluarga sang suami (Caplan, 1984:217). Dalam konteks budaya India, dejjah atau daaj ini merupakan cerminan atas kepemilikan harta benda oleh anak perempuan dan bukan semata-mata sebagai hadiah pernikahan kepada keluarga suami. Dejjah atau daaj tersebut lebih merupakan bentuk kasih sayang orangtua kepada anak perempuan mereka yang akan menempuh kehidupan yang baru.

Saat ini pemberian dowry telah menjadi bagian yang umum dari kebiasaan pernikahan dari berbagai kasta dan berbagai komunitas di India (Gangoli, 2007:3). Ini berarti bahwa, praktik pemberian dowry tidak hanya dapat ditemukan pada golongan kasta Brahmana dan Kshatrya, namun praktik ini juga dapat ditemukan pada pernikahan golongan Sudra dan Dalit yang bahkan pada awalnya tidak mengenal praktik dowry dalam pernikahannya. Bahkan menurut Umar ( 1998) Praktek dowry juga dapat ditemukan pada pernikahan golongan Muslim dan Kristen di India. (Umar,1998:140).

Seiring dengan perkembangan jaman dan modernisasi, dowry kini hadir dalam berbagai bentuk sesuai permintaan keluarga suami. Dalam beberapa penelitian

(9)

motor, dan mobil mewah ( AIDWA,2003). Selain itu, pihak keluarga laki-lakilah yang menentukan jumlah dan jenis dowry yang harus disediakan oleh keluarga perempuan. Menurut Sev’er (2008) permintaan akan dowry bisa terus berlanjut hingga setelah pernikahan yang biasanya diulang lagi pada hari raya, hari ulang tahun, dan kelahiran seorang anak, dan pada perayaan-perayaan lainnya.

Dalam kebanyakan kasus, dowry tambahan inilah yang sulit untuk dipenuhi oleh keluarga calon istri karena untuk menyediakan dowry sebelum pernikahan keluarga tersebut sudah mengeluarkan biaya yang sangat banyak. Bayangkan jika

dalam keluarga terdapat lebih dari satu anak perempuan yang harus dinikahkan, maka keluarga istri tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi tuntutan dowry tambahan yang diminta oleh keluarga suami.

Kegagalan untuk memenuhi permintaan tambahan dowry tersebutlah yang menjadi awal dari berbagai tindakan yang oleh Galtung didefinisikan sebagai kekerasan langsung. Kekerasan yang langsung melibatkan pelaku yaitu suami dan keluarga suami dan korban yang selalu perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dimulai dari ancaman, penganiayaan fisik dan mental hingga terjadinya tindakan pembunuhan yang disebut sebagai dowry murder. Bentuk umum tindakan kekerasan ini adalah dengan menyiramkan minyak tanah ke tubuh sang istri kemudian menyulutnya dengan api hingga terbakar dan tewas ( bride burning ). Praktek bride

burning lebih dipilih untuk melenyapkan nyawa pengantin perempuan tersebut karena beberapa alasan. Pertama, minyak tanah sangat mudah didapat dan selalu tersedia sebagai bahan bakar memasak bagi keluarga kelas menengah ke bawah di India. Kedua, penyiksaan tersebut dilakukan di rumah, tepatnya di dapur sehingga seringkali tidak mencurigakan. Sari yang dikenakan oleh perempuan India terbuat dari bahan yang mudah terbakar sehingga api dengan cepat dapat menjalar dan melalap tubuh perempuan tersebut dan membunuhnya dengan sedikit bukti atau bahkan tidak ada bukti pembunuhan. Pembakaran juga dapat menutupi tindakan penganiayaan fisik yang ditujukan kepada perempuan tersebut oleh suami atau mertua dan ipar-iparnya

(10)

bisa ditutupi dengan mengakuinya sebagai sebuah kecelakaan biasa ( Oldenburg, 2002; xi).

Kasus kematian perempuan akibat dowry yang seringkali dianggap sebagai sebuah hal biasa ini tentunya menyiratkan sebuah bukti akan lemah dan rendahnya status perempuan dalam masyarakat India. Status yang lemah karena struktur sosial masyarakat membuat kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan atau bahkan membela diri dalam tindakan kekerasan yang ditujukan padanya. Status yang rendah karena dowry membuat nyawa seorang perempuan menjadi tidak

berharga dan kematiannya menjadi sia-sia, terlebih lagi setelah kematiannya sang suami bisa dengan mudah menikah kembali dan mendapatkan dowry lagi ( Teays,1991).

Kekerasan langsung yang dialami perempuan akibat dari tradisi dowry tentu saja berkaitan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat India. Nilai-nilai inilah yang oleh Galtung disebut sebagai kekerasan kultural, yaitu nilai-nilai yang dapat menjadi pembenaran bagi kekerasan langsung. Rendahnya posisi perempuan dalam masyarakat patriarki India membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan yang terutama dilakukan oleh suami mereka sendiri. Sejak kelahirannya, seorang perempuan dianggap sebagai beban. Lakhani (2004) menjelaskan posisi perempuan sebagai ”an extra mouth to feed. Anak laki-laki sebaliknya dipandang sebagai aset bagi keluarga karena mereka bisa melakukan pekerjaan di ladang, meneruskan nama keluarga, sebagai perawat orangtua mereka di hari tua, dan menjamin keamanan bagi keluarga. Sedangkan perempuan diposisikan sebagai mahluk yang harus patuh kepada suami. Bagi perempuan India, pernikahan hanya sekali seumur hidup dimana perceraian dianggap sangat tabu dengan demikian betapapun beratnya penderitaan mereka akibat penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya mereka.

Salah satu nilai yang masih dipegang teguh berkenaan dengan posisi perempuan dalam keluarga adalah prinsip pativrata. Prinsip ini masih dipegang teguh dan menjadi pedoman bagi seorang istri dalam membina hubungan dengan sang suami. Prinsip

(11)

Wanda Teays (1991 ) sebagai bentuk ketaatan seorang perempuan terhadap suaminya baik ketika sang suami hidup ataupun mati dan ini merupakan sebuah kewajiban relijius ( Dharma ) yang tertinggi. Pahalanya datang dalam wujud kepuasan batin serta akan diterima di kehidupan selanjutnya. Bagi perempuan, mereka telah dibesarkan dengan prinsip ini sejak kelahirannya sehingga nilai-nilai ini tertanam begitu kuat. Meskipun telah banyak terjadi perubahan-perubahan sosial, pativrata tetap menjadi pedoman perilaku perempuan dalam pernikahannya khususnya dalam sebagian besar masyarakat Hindu.

Penafsiran dari prinsip pativrata diataslah yang dapat menyebabkan perempuan tidak memiliki daya untuk melawan kekerasan yang ditujukan padanya selama dalam ikatan pernikahan. Melawan kehendak suami berarti menentang keyakinan relijius. Selain itu, prinsip pativrata menyebutkan bahwa seorang istri tidak dapat membicarakan suami apalagi membuka aib suami di depan publik. Adanya tekanan sosial untuk dipandang sebagai istri yang baik serta untuk menjaga kehormatan suami dan keluarga membuat kaum perempuan yang mengalami kekerasan akibat dowry memilih diam dan menerima keadaan mereka. Dalam kasus dowry murder, nilai-nilai inilah yang bekerja untuk melegitimasi kekerasan langsung yang ditujukan kepada perempuan di India.

4. Hubungan Dowry Murder dan Keamanan Manusia

Keamanan manusia, meskipun memberi perhatian kepada manusia secara umum, tetapi juga memberikan perhatian kepada kelompok-kelompok yang rentan, khususnya perempuan. Alasannya, di masyarakat manapun ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dapat terjadi. Ketidakamanan personal membayangi kaum perempuan mulai dari kelahiran dan kematian. Di rumah, mereka menjadi anggota rumah yang paling terakhir makan. Menjadi yang paling terakhir untuk mendapatkan pendidikan. Di tempat kerja, perempuan menjadi yang paling terakhir dipekerjakan dan paling pertama dipecat. Dan dari masa kanak-kanak hingga masa dewasa, perempuan mengalami kekerasan karena jendernya ( MacFarlane dan Khong, 2006

(12)

Dari tujuh komponen keamanan manusia yang telah dijabarkan diatas, kasus

dowry murder dapat menjadi ancaman bagi keamanan personal dan keamanan komunitas perempuan. Menjadi ancaman bagi keamanan personal karena perempuan secara individu mengalami kekerasan dan penindasan ketika tidak mampu memberikan dowry tambahan seperti permintaan keluarga suami. Menjadi ancaman komunitas karena kekerasan ini tidak hanya dialami segelintir individu, namun menjadi ancaman bagi ribuan perempuan India.

a. Dowry Murder Sebagai Ancaman Bagi Keamanan Personal

Keamanan personal mensyaratkan bahwa setiap individu harus terbebas dari perasaan takut akan ancaman, baik itu ancaman kekerasan fisik maupun beragam kekerasan lainnya yang ditujukan padanya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa keamanan dalam konsep ini tidak hanya diterjemahkan sebagai kondisi yang sekedar kondisi bertahan hidup namun juga mencakup kesejahteraan dan martabat sebagai manusia (Tadjbakshs & Chenoy,2007;), dengan demikian dowry murder sebagai ancaman personal dapat menjelaskan bagaimana kekerasan ini telah menimbulkan rasa takut serta merendahkan martabat perempuan sebagai individu.

Tradisi dowry di era modern dilabeli sebagai sebuah tradisi yang berbahaya ( Uyl,2005;143). Selain karena jumlah dowry yang dapat terus meningkat, tradisi ini menyebabkan setiap harinya 16 perempuan menjadi korban pembunuhan ( Lakhani,2004) .

Salah satu contoh kekerasan akibat dowry adalah kasus Sudha Goel di tahun 1995. Hanya sebulan setelah pernikahannya, Sudha mulai mendapatkan kekerasan fisik oleh ibu mertua, suami dan adik iparnya karena ia dianggap tidak membawa

dowry yang cukup. Ibu mertuanya kerap menghukumnya sembari meminta dowry dengan cara memaksanya melakukan pekerjaan rumah diluar batas kemampuannya. Jenis hukuman ini merupakan tipikal hukuman yang diberikan oleh ibu mertua kepada

(13)

kejadian bahwa ibu mertuanya yang telah menuang minyak tanah dan membakarnya ( Greenberg, 2003)

Kasus serupa diberitakan oleh majalah Times of India yang memberitakan bahwa seorang dokter yang bernama Ajay Sharma dengan tega telah menyuntikkan virus AIDS pada istri dan anak perempuannya karena tidak terpenuhinya permintaan dowry yang dimintanya. Ketika berita ini diturunkan, istri dan anak perempuan yang terinfeksi AIDS tersebut tengah bersembunyi di sebuah tempat yang dirahasiakan karena menghindari prasangka dan cemoohan para tetangga yang menganggap AIDS

sebagai sebuah kutukan ( Times of India, 2004, Se’ver 2008).

Kedua kasus diatas hanya mewakili beberapa gambaran tragis yang harus dihadapi seorang perempuan sebagai individu di keluarga sang suami. Dalam kebanyakan kasus disebutkan bahwa perempuan harus menghadapi kekerasan tersebut sendirian tanpa mendapat bantuan pertolongan dari siapapun, bahkan dari keluarganya sendiri. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai seorang perempuan di mata keluarganya sendiri menyebabkan seringkali kedatangan mereka untuk meminta pertolongan diabaikan. Dengan demikian,banyak yang berpendapat bahwa keluarga perempuanpun tidak hanya menjadi korban dowry, tetapi turut melakukan kejahatan tersebut dengan menanamkan pada anak perempuannya untuk tetap menikah apapun resiko yang dihadapi ( Kiswar,1989). Pendapat ini didukung oleh Aysan Se’ver ( 2008) yang menyebutkan bahwa sekali menikah, seorang perempuan diharuskan untuk tetap menikah. Tidak peduli kekerasan apapun yang dialaminya dalam kehidupan pernikahan. Secara umum, karanteristik kematian akibat dowry digambarkan oleh seorang aktivis perempuan India Lotika Sarkar (1991 ) sebagai berikut :

(i) Korban kematian akibat dowry selalu perempuan

(ii) Korban kematian akibat dowry kebanyakan berada pada usia pertengahan 20 tahun

(iii) Perempuan yang menikah , yang secara penuh tergantung kepada suami atau keluarganya. Dalam banyak kasus, para perempuan tersebut telah

(14)

(iv) Dalam mayoritas kasus, kematian terjadi akibat terbakar api-meskipun beberapa kasus menunjukkan pembunuhan dilakukan dengan penganiayaan atau karena diracun

(v) Perempuan dalam keadaan sangat tidak berbahagia karena alasan tuntutan dowry

(vi) Kasus kematian akibat dowry dilaporkan dan bahkan dicatat sebagai kasus kecelakaan atau bunuh diri

(vii) Kematian kebanyakan terjadi di dalam rumah; korban “kecelakaan”

tersebut biasanya ditutup-tutupi ketika meninggal

(viii) Kasus kematian, ketika dilaporkan pada polisi oleh suami atau keluarga suami akan dilaporkan sebagai tindakan bunuh diri. Namun ketika laporan datang dari keluarga perempuan, barulah disampaikan oleh mereka adanya kecurigaan akan tindakan pembunuhan.

Dari gambaran karakteristik diatas, melalui kecamata konsep keamanan manusia, kasus kekerasan dowry murder selain menjadi ancaman bagi perempuan secara personal, juga telah merendahkan martabat perempuan sebagai manusia. Kematian perempuan akibat kekerasan yang seharusnya mendapat penanganan sebagai tindakan kriminal, justru diakui hanya sebagai kasus kecelakaan biasa atau kasus bunuh diri. Kasus ini menunjukkan inferioritas perempuan dalam masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai kehidupan seorang perempuan dalam keluarga.

b. Dowry Murder Sebagai Ancaman Bagi Keamanan Komunitas

Dowry murder sebagai ancaman komunitas bisa dianggap sebagai femicide yaitu pembunuhan terhadap perempuan akibat gendernya ( United Nations, 2006;48). Sejak kemunculan kasus dowry murder sebagai sebuah fenomena baru, ribuan perempuan telah menjadi korbannya dan kasus ini terus menunjukkan

peningkatan. Jumlah kekerasan dalam kasus dowry murder dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Kasus Dowry Murder

(15)

Jumlah 5157 4962 5817 4935 4811 6006 6000 6975 6699 6995

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jumlah 6851 6822 6208 7026 6989 7618 8093 8172 8383 8391

Sumber : National Crime Record Bureau, India

Berdasarkan data statistik diatas, sejak tahun 1991 sampai tahun 2000 sudah lebih dari 58.357 perempuan mengalami kematian akibat dowry, dengan rata-rata

6000 kasus pertahun. Sedangkan UNDP Report di tahun 1994 mengungkapkan bahwa kematian perempuan akibat dowry rata-rata berjumlah 9000 kasus pertahun (UNDP,1994).

Tidak hanya pada kasus kekerasan yang berujung pada pembunuhan, dowry juga menjadi penyebab tingginya tingkat bunuh diri kaum perempuan. Laporan tahunan National Crime Record Bureau India menyebutkan rata-rata setiap harinya terjadi 8 kasus bunuh diri yang disebabkan oleh dowry ( NCBR, 2011).

Tabel 2. Kasus Bunuh Diri Akibat Dowry

Tahun Kasus Bunuh Diri

2008 3038

2009 2921

2010 3093

Sumber : NCRB 2011

Dari 3039 kasus bunuh diri akibat dowry di tahun 2010, kasus tersebut menimpa paling banyak perempuan yang berusia 15-29 tahun yaitu sebanyak 2122 kasus.Selain menyebabkan tindakan kekerasan langsung yang berujung pada pembunuhan, tradisi dowry sebagai ancaman terhadap keamanan komunitas juga menyebabkan penolakan terhadap kehadiran anak perempuan dalam keluarga. Hal ini ditunjukan oleh tingginya tingkat aborsi terhadap janin perempuan serta pembunuhan bayi perempuan yang telah lahir. Ada beberapa metode yang biasanya digunakan untuk membunuh bayi perempuan misalnya dengan

meminumkan getah beracun dari sejenis tumbuhan tertentu, menjejalkan sekam pada tenggorokan bayi yang bau lahir, memasukkan cairan tembakau,

(16)

menemui kematiannya ( Roberts, 2008; 34). Dari 12 juta bayi perempuan yang dilahirkan di India, 1,5 juta bayi tersebut tidak akan bertahan hidup sampai usia setahun. 850 ribu lainnya tidak akan mencapai usia 5 tahun dan hanya akan tersisa 9 juta anak perempuan yang bertahan hingga usia 15 tahun ( Lakhani,2004 ). Bahkan saat ini, India sendiri telah kelebihan kurang lebih 31 juta laki-laki akibat tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap kaum perempuan, yang salah satu bentuknya muncul dalam bentuk kekerasan dowry murder.

c. Tanggung Jawab Nasional dan Internasional

Melihat ancaman keamanan personal dan komunitas yang dihadapi kaum perempuan India, negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan bagi warganya. Usaha penghapusan tradisi dowry sendiri sudah dilakukan di tahun 1961 yaitu dengan membuat undang-undang yang diberi nama Dowry Prohibition Act 1961 yang intinya adalah adalah melarang sistem pernikahan dengan dowry dan mengajak masyarakat India untuk menikah berdasarkan cinta ( gandava wiwaha ).

Komponen utama Dowry Prohibiton Act 1961 adalah larangan untuk memberikan dan menerima dowry dalam pernikahan serta hukuman penjarayang tidak kurang dari 5 tahun bagi mereka yang memberi dan menerima dowry (S.V,1984 ). Dalam implementasinya, justru pasal ini menjadi kelemahan undang-undang tersebut. Oleh karena pemberi dan penerima dapat dikenai hukuman yang sama, tidak ada satu pihakpun yang mengajukan gugatan atas tradisi ini dan oleh banyak pihak, undang-undang dianggap sebagai toothless bill karena tidak benar-benar mampu menghanetikan praktek dowry di masyarakat.

Di tahun 1980-an, kasus dowry murder merebak dimasyarakat. Berdasarkan hasil penelitian beberapa organisasi perempuan seperti Mahila Dakshata Samiti

dan Stri Sanghars di Delhi,ditemukan bahwa beberapa kasus pembakaran perempuan yang terjadi saat itu sama sekali tidak berkaitan dengan praktik sati ,

(17)

antara tahun 1982-1986 yang menghasilkan dua amandemen. Amandemen pertama pada tahun 1983 bertujuan untuk mengkriminalisasikan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap seorang istri ( Gangoli,2007;.)Dalam amandemen ini, pelaku kekerasan yang terbukti bersalah akan dikenai hukuman denda dan penjara sampai dengan 3 tahun. Amandemen kedua pada tahun 1986 dikenal sebagai Dowry Death Statute yang mewajibkan adanya invetigasi terhadap kasus kematian permepuan yang mencurigakan dalam jangka waktu 7 tahun perkawinannya. Di tahun 2005, pemerintah India mengeluarkan sebuah

undang-undang baru yang disebut dengan Domestic Violence Avct 2005.

Undang-undang ini tidak hanya bertujuan melindungi perempuan dari kekerasan akibat dowry, namun juga melindungi perempuan dari kekerasan domestic lainnya seperti fisik, mental, emosional, ekonomi dan seksual.Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa jika seorang perempuan mendapatkan kekerasan, maka ia atau seorang yang mewakilinya dapat melaporkan kasus tersebut pada petugas-petugas pemerintah diantaranya polisi dan hakim.

Meskipun pemerintah India terlihat cukup serius dalam menangani isu kekerasan akibat dowry , undang-undang tersebut tidak cukup berhasil untuk menghenatikan bentuk kekerasan tersebut. Terdapat banyak kelemahan dalam penerapannya dilapangan yang masih bisa ditemui hingga kini. Pertama, investigasi yang dilakukan oleh pertugas kepolisian sebagaimana yang disyaratkan undang-undang seringkali tidak berhasil membawa pelaku kekerasan ke dalam penjara. Kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai sebuah pemandangan sehari-hari dan bukanlah sebuah “kasus”khusus yang memerlukan penyelidikan mendalam. Pen dan Nardos seperti yang dikuti oleh David Roberts ( 2008 ) menyebutkan bahwa penolakan untuk menangani kasus

dowry bisa jadi disebabkan karena tradisi ini juga dipraktekkan oleh aparat yang justru bertugas untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, M.N Srinivas ( 1993 ) mengatakan bahwa korupsi di India telah diterima sebagai fact of life dan tidak

(18)

Teays,1991;43). Kedua, nilai pativrata seringkali menyebabkan perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dilakukukan oleh sang suami dan keluarganya. Dengan menceritakan kekerasan yang dialaminya , itu berarti bahwa perempan tersebut telah menceritakan aib sang suami di depan publik dan menceritakan aib suami berarti pelanggaran terhadap nilai-nilai pativrta.

Selain menjadi tanggung jawab nasional, konsep keamanan manusia telah menempatkan penindasan terhadap kaum yang lemah menjadi salah satu agenda dalam keamanan internasional. Dowry murder sendiri telah lama mendapat

perhatian dunia internasional. Pada Konferensi Perempuan Internasional yang keempat di Beijing Cina tahun 1995, Hillary Clinton menyebutkan bahwa kasus pembakaran perempuan akibat mas kawin yang dianggap terlalu sedikit merupakan sebuah pelanggaran hak asasi ( Mansbach dan Raferty, 2008;482).

Terdapat beberapa instrumen internasional berupa customary international law yang berfungsi melindungi kaum perempuan dari penindasan dan tindakan diskriminasi yang diantaranya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights ( UDHR ) dan The Declaration for The Elimination of Violence Against Women (CEDAW). India sebagai salah satu negara demokrasi yang besar, secara otomatis terikat kepada hokum kebiasaan internasional tersebut dan pada tanggal 9 Juli 1993 India telah meratifikasi CEDAW. Sayangnya, instrument internasional ini kurang meiliki kekuatan yang mengikat akibat diperbolehkannya negara untuk mereservasi pasal yang dianggap akan menganggu kedaulatan negaranya. Reservasi pasal yang dilaukan oleh pemerintah India adalah pada protocol tambahan yang memberikan peluang bagi individu dan organisasi non pemerintah sebuah hak untuk mengajukan tuntutan dan meminta ganti rugi atas pelanggaran hak asasi manusia yang ditujukan padanya pada tingkat internasional ( Lakhani,2004).

Simpulan

Konsep perdamaian positif mensyaratkan suatu kondisi yang bebas dari

(19)

tidak lantas menghentikan sebagala bentuk kekerasan, dalam hal ini khususnya kekerasan terhadap kaum perempuan. Dowry murder hadir sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan berupa kekerasan langsung dan kekerasan kultural.

Dalam kacamata konsep keamanan manusia, dowry murder telah menjadi ancaman bagi keamanan personal dan keamanan komunitas perempuan. Konsep ini juga menawarkan bahwa dalam keamanan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan tanggung jawab internasional, serta menjadikan individu

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Galtung, Johan. 1996. Peace by Peaceful Means : Peace and Conflict, Development andCivilization, Oslo : Sage Publication

Gandhi, Mahatma , 2002 Women and Social Injustice, diterjemahkan oleh Siti Farida dengan judul Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial , Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Gangoli, Geetanjali, 2007 Indian Feminisms , Law, Patriarchies and Violence in India, Burlington : Ashgate Publishing Company

MacFarlane, S.Neil.,&Khong, Yuen Foong, 2006, Human Security and the UN,Indiana : Indiana University Press

MacLean, S. J., Black D.R., and Shaw, T.M.,2006, A Decade of Human Security: Global Governance and New Multilateralisms, Ashgate Publishing, Hempshire

Mansbach, Richard W. dan Kirsten L. Rafferty, 2008 Introduction to Global Politics, London : Routledge Press

Oldenburg, Veena Talwar ,2002, Dowry Murder : The Imperial Origins of a Cultural Crime, New York : Oxford University Press

Roberts, David , 2008, Human Insecurity Global Structures of Violence , New York : Zed Book

Susan,M.A.,Novri,2009,Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer,Jakarta : Prenada Media Group

Study of the Secretary General, 2006, Ending Violence Against Women : From Words to Action,United Nations Publications

Tadjbakhsh, S. & Chenoy, A.M.,2007, Human Security Concept and Implications, Routledge, New York

Umar,Mohd., 1998, Bride Burning in India : A Socio Legal Study, New Delhi : APH Publishing Coorporation

Uyl, den Marion , 2005, “Dowry in India : Respected Tradition and Modern Monstrosity, “dalam Tine Davids and Francien van Driel ( ed. ) , The Gender Question inGlobalization, Burlington : Ashgate Publishing Company

(21)

Webel, Charles & Galtung,Johan, 2007, Handbook of Peace and Conflict Studies, New York : Routldge

Wolpert, Stanley ,2001, Mahatma Gandhi Sang Penakluk Kekerasan Hidupnya dan Ajarannya, : PT. Rajagrafindo Persada

ARTIKEL INTERNET :

All India Democratic Women’s Association ( AIDWA), 2003, Resisting Dowry in India, dapat diakses di www.sabrang.com/cc/archive/2003/febr03/gender.html

Caplan, Lionel. 1984. “Bridegroom Price in Urban India: Class, Caste and Dowry Evil Among Christians in Madras”, Jurnal Man, New Series, Vol.19 (2), Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland http://www.jstor.org/stable/2802278

Galtung, Johan. 1990, Cultural Violence,Journal of Peace Research,Vol.27,No.3 ( Aug.,1990) dapat diakses di http://www.jstor.org/stable/423472

Greenberg, Judith G. , 1999, Criminalizing Dowry Deaths : The Indian Experience , Journal of Gender, Social Policy & The Law, Vol. 11 : 2 ( 13 Mei 2003 ) dapat

diakses di

www.iiaav.nl/ezines/web/AmericanUniversityJournal/1999/greenberg.pdf

Human Development Report,United Nations Development Program, 1994, New York : Oxord University Press dapat diakses di http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1994_en_contents.pdf

Kelkar Govind,1995, Women and Structural Violence in India, Women’s Studies Quarterly, Vol. 13, No.3/4, Teaching about Women and Violence ( Fall-Winter,1995) diakses di http://www.jstor.org/stable/25164242

Kiswar,Madhu.,1989 Continuing the Dowry Debate, Economic and Political Weekly, Vol. 24, No. 49 ( Dec, 1989) dapat diakses di http://www.jstor.org/stable/4395689

Lakhani, Avnita , 2004, The Elephant In The Room is Out of Control, dapat diakses di www.Pegasus.rutgers.edu/~rcrlj/articles.pdf/lakhani.pdf

National Crime Records Bureau, Ministry of Home Affairs India, 2011, Accidental Deaths and Suicides in India, dapat diakses di http://ncrb.nic.in/ADSI2010/ADSI2010-full-report.pdf

(22)

Pratap, Anita ,1995, Killed by Greed and Oppresion, TIME, Sept. 11, 1995, Vol.146,

No.11 dapat diakses di

http://www.time.com/time/international/1995/950911/women.india.html

Sarkar, Lotika , 1991, Report on Dowry Deaths and Law Reforms : Amending the Hindu Marriage Act of 1955, the Indian Penal Code, 1860, and the Indian Evidence Act, 1872. New Delhi : Law Commission of India dapat diakses di http://lawcommisisonofindia.nic.in/51- 100/Report91.pdf

Sev’er, Aysan, 2008, Discarded Daughters : The Patriarchal Grip, Dowry Deaths, Sex Ratio Imbalances &Feoticide in India, Social Sciences & Humanities Research

Council of Canada, diakses di

https://tspace.library.utoronto.ca/.../1/sever_discarded _daughter.pdf

Srinivas, M.N.,1993, Changing Values in Indian Today, Economic and Political Weekly, Vol.28,No.19 ( may 8, 1993) diakses di http://www.jstor.org/stable/4399700

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian di bab IV, dapat ditarik kesimpulan, (1) Pengaruh sikap belajar siswa kelas eksperimen yang mendapat perlakuan

Hizbut Tahrir selanjutnya disingkat HT adalah sebuah partai politik Islam yang da’wahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khilafah Islamiyyahdengan

Menurut Saunders et al (2007), Interpretivism adalah pendekatan dalam epistemologi yang membolehkan pengkaji memahami perbezaan antara manusia sebagai ‘pelaku sosial’

Jika pernyataan “Persamaan matematika tersebut dibuat dengan kurang dari atau sama dengan 15 batang tusuk gigi.” diubah menjadi “Persamaan matematika terseb ut dibuat

Dalam praktek pembiayaan murabahah dana tambahan pembelian rumah di BPR Syari'ah Artha Surya Barokah nasabah datang untuk mengajukan permohonan pembiayaan

Organisasi jalur/lini dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam semua bidang

Seorang wanita 28 tahun G3P2A0 hamil 42 minggu mengeluh keluar cairan dari jalan lahir 12 jam yang lalu, pasien tidak mengeluh keluar lendir darah ataupun nyeri perut yang

- Jangan sekali-kali menggunakan aksesori atau komponen apa pun dari produsen lain atau yang tidak secara khusus direkomendasikan oleh Philips.. Jika Anda menggunakan aksesori