KEKERASAN DAN PELECEHAN PEREMPUAN DI MEDIA
Dewi KurniawatiAbstract
The violence and insulting to the women is information we gotten from mass media. For almost of reader, listener, and audience, the information about violence and insulting to the women is the very interesting news. Beside that, information about violence and insulting to the women is crated very well, so there are large number of people who interested to know. The kinds of information about violence and insulting to the women are carried, as news, fact report, and study. The mainly goal of presentation the several forms about violence and insulting to the women information is how the information interest, so that program get high rate and get support of advertises This case means, to get much profit is the mainly goal of presentation information about violence and insulting to the women. In the other mean, information about violence and insulting to the women is crated not to prevent the worse act to the women in the future, and also not to help the victims, but only to get money more and more.
Keywords: violent, insulting, news
Pendahuluan
Berita kekerasan sepertinya tidak pernah luput dari pemberitaan media massa apalagi kasus kekerasan terhadap perempuan yang tampaknya tidak akan pernah berakhir meski kini yang namanya emansipasi tengah ramai diteriakkan tetap saja tidak mengurangi tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Peristiwa yang kerap menjadi bahan pemberitaan di suratkabar antara lain tindak kekerasan berupa berita pembunuhan, pelecehan seksual, perkosaan anak-anak maupun dewasa, dan lain sebagainya, yang umumnya menimpa kaum perempuan.
Kasus-kasus perkosaan meski dianggap sebuah peristiwa biasa, ternyata sangat menarik untuk diungkapkan, dibuktikan dengan maraknya pemberitaan-pemberitaan perkosaan di berbagai media massa. Menurut Hanim Ilyas, “meskipun belum terdata dengan baik, sangat seringnya pemberitaan perkosaan diberbagai media (mass media), menunjukkan di Indonesia kejahatan itu banyak terjadi” (Katjasungkana, 2001 : 140).
Dalam menulis beita kriminal, para wartawan karena ingin mengungkapkan fakta, maka kerap suatu peristiwa diceritakan secara detil. Tetapi sayangnya terkadang pengungkapan secara detil itu malah menimbulkan sensasi. Hal ini khususnya terjadi pada berita-berita yang
mengungkap peristiwa pelecehan seksual atau perkosaan terhadap perempuan (Jurnal KUPAS, 2001)
Hanim Ilyas mengatakan, “Perempuan korban perkosaan tidak hanya menderita secara fisik dan psikis, tetapi dia masih akan mengalami trauma dan penderitaan panjang yang mungkin hanya akan berakhir dengan kematiannya” (Katjasungkana, 2001 : 143)
Deskriptif detil yang dalam beberapa kasus menjadi perlengkapan sebuah berita, bisa menjadi bumerang bila dimunculkan dalam pemberitaan kasus-kasus yang menyangkut perempuan (seperti misalnya kasus perkosaan), sehingga terjadilah apa yang disebut dengan “second rape”, yaitu dimana ketika peristiwa kekerasan tersebut diberitakan kembali, ia akan mengalami hal itu untuk yang kedua kalinya. Hal ini disebabkan berita-berita yang
mainstream-nya bersifat maskulin karena
memakai nilai laki-laki yang mungkin salah satunya pengaruh dari lingkungan tempat bekerjanya (organisasi media) didominasi oleh laki-laki. Sehingga apa yang dialami, permasalahan, dan penderitanya, tidak dapat terwakilkan dengan bahasa, kata-kata, atau dengan apapun juga.
Bahkan terkadang media seperti memberi sebuah langkah yang cenderung mempolakan peniruan model kejahatan (imitation of crime
melakukan kekerasan terhadap perempuan (Jurnal KUPAS, 2001 : 16). Dengan kata lain, sebaiknya penulisan berita tentang tindak kriminal (termasuk didalamnya, berita kekerasan terhadap perempuan) diorientasikan kepada usaha penyelamatan korban, serta mengurangi dan mencegah tindakan yang sejenisnya.
Berita Kekerasan
Surat kabar umumnya setiap hari selalu menyajikan berbagai macam berita mengenai segala peristiwa dunia kepada khalayaknya. Dan dari sekian peristiwa yang terjadi, suarat kabar juga menyajikan berita kekerasan yang merupakan suatu tindak kejahatan dan termasuk dalam kriminalitas. Dalam hal ini adalah berita kekerasan terhadap perempuan.
Isi media massa yang mengandung kekerasan dapat dikelompokkan dalam dua jenis: berupa fiksi, yaitu bentuk kekerasan yang disiarkan/dimuat media massa berupa bentuk cerita, kisah dan lain sebagainya, dan berupa fakta, yaitu berita laporan, ulasan, dan lain sebagainya mengenai hal-hal tertentu yang di dalamnya tergambar perbuatan kekerasan dan diyakini kebenarannya.
Pola pemberitaan dalam surat kabar juga mendukung keberhasilan suatu berita, apakah berita tersebut menarik atau kurang menarik. Jurnal KUPAS (2001: 1), untuk bisa menulis sebuah berita pelecehan dan kekerasan, maka wartawan harus melakukan empat langkah, yaitu
1. Mengumpulkan fakta untuk men-jawab 5W + 1H tentang peristiwa yang diliput. 2. Menghubungkan fakta dengan
prinsip-prinsip penyelamatan korban.
3. Menilai fakta tersebut dengan kriteria nilai berita
4. Dan harus memandang fakta tersebut lebih dari satu sudut pandang.
Kategori narasumber berita juga dianggap paling penting dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Narasumber berita, adalah orang yang memberikan pernyataan tentang hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa yang diberitakan. Dalam hal ini kategori narasumber berita dibagi kepada :
1. Korban, yaitu orang yang menjadi, atau yang mendapat tindakan kekerasan. Dalam hal ini informasi diperoleh dari korban.
2. Pelaku, yaitu orang yang melakukan tinadakan kejahatan/kriminal. Dalam hal ini informasi diperoleh dari pelaku. 3. Polisi, yaitu aparat pemerintah yang
berwenang/yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan menangani keamanan masyarakat dari berbagai tindak kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini informasi diperoleh dari pihak kepolisian.
4. Wartawan dalam hal ini yang menjadi narasumber dominannya adalah wartawan itut sendiri.
Dengan kata lain, wartawan ketika menuliskan beritanya menjadi narator tunggal tanpa melibatkan pihak lain seakan-akan ia melihat langsung kejadian tersebut. Ataupun jika ia menyebutkan narasumber beritanya, dilakukan secara tidak jelas, dengan menyebutkan antara lain dengan kata-kata seperti: “berdasarkan informasi yang diperoleh di tempat kejadian…..”, “menurut keterangan”, “informasi yang dihimpun di tempat kejadian”, dan lain sebagainya.
Untuk dapat mengetahui gambaran umum mengenai penting atau tidak pentingnya suatu berita kekerasan, khususnya berita kekerasan terhadap perempuan di surat kabar dapat dilihat dari halaman yang digunakan untuk memuat berita apakah halaman depan, halaman dalam atau halaman belakang.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kata kekerasan mengingatkan kita pada situasi dan bentuk perilaku yang kasar, menyakitkan dan menimbulkan dampak negatif. Dengan adanya kekerasan, manusia seperti dibungkam dan tidak mempunyai kebebasan yang lebih leluasa dalam mengungkapkan dan merealisasikan diri.
Kekerasan diterjemahkan dalam violence, yang berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Poerwadarminta, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan pakasaan. Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya (nyata) berada di bawah realisasi potensialnya (mungkin), dibiarkan, serta diatasi, atau disingkirkan (Windhu, 1992 : 62 – 64).
Menurut Hanim Ilyas dalam Muladi (1997: 136), secara umum, akar kausa terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah budaya dominasi laki-laki (male domination culture). Dalam struktur dominasi, kekerasan sering kali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, menyatakan tidak puas, mencegah perbuatan dimasa yang akan datang dan kadang kala hanya untuk menunjukkan dominasi semata-mata (Katjasungkana, 2001 : 154).
Kaitan antara kekerasan perempuan dan media massa adalah, bahwa media massa juga kerap melakukan kekerasan terhadap perempuan, dengan menampilkan perempuan sebagai alat jual, dimana perempuan umumnya tampil dalam iklan dan promosi pemasaran, dan menampilkan perempuan sebagai objek jual, dimana perempuan tampil dalam, materi pornografi, dan korban kriminal.
Perempuan sebagai korban kriminal, seperti kasus pelecehan dan perkosaan, serta potret wanita yang lemah, gampang ditipu, serta bentuk-bentuk stereotype lainnya sering muncul dalam teks-teks media massa, merupakan contoh bagaimana perempuan menjadi komoditi menarik dalam berita yang disajikan media massa. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah:
1. Pelecehan seksual, yaitu segala bentuk perilaku seseorang baik ungkapan verbal, yaitu berupa siulan, kata-kata komentar, dan bisikan, atau ungkapan nonverbal seperti memegang, meraba, memeluk, atau mencium bagian-bagian tubuh tertentu yang keseluruhannya mengarah pada keinginan untuk melakukan perbuatan seksual/ hubungan seksual.
2. Pemerkosaan, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pemerkosaan merupakan perbuatan menundukkan dengan kehendak, memaksa dengan kekerasan, menggagahi. Dalam KUHP pasal 289 “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”. Kata cabul termasuk diartikan
sebagai “perkosaan” (Marpaung, 1996 : 64).
3. Pembunuhan, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pembunuhan merupakan proses perbuatan atau cara membunuh yang pada teknisnya dinamakan delik materil, dimana kejahatan baru dianggap selesai apabila akibatnya tidak terjadi, tidak dirumuskan cara bagaimana pembunuhan itu dilakukan.
Pengertian Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan (Hayati, 2001 : 32).
Menurut Kelompok Kerja “Convention Wacth” Pusat Kajian dan Jender Universitas Indonesia (2000 : 19) bentuk kekerasan yang sering terjadi adalah pelecehan seksual dalam bentuk gurauan-gurauan porno, komentar-komentar tentang bentuk tubuh perempuan mengobjekkan, merendahkan dan mengarah pada pemikiran seksual, sentuhan-sentuhan yang tidak dikehendaki, sampai pada pemaksaan melakukan tindakan seksual. Tindakan kekerasan dapat secara langsung dikaitkan dengan ancaman terhadap posisi kerja perempuan (misalnya atasan yang memaksa hubungan seksual, bila tidak korban dipecat), dapat pula tidak langsung dikaitkan dengan posisi formal, tetapi memunculkan ketakutan dan dampak-dampak psikologis, fisik sosial bagi korban.
Dalam brosur yang diterbitkan oleh LBH APIK (1999) pelecehan seksual diartikan sebagai setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak diinginkan. Pada dasarnya perbuatan itu dirasakan atau dipahami sebagai hal yang merendahkan dan menghinakan pihak yang dilecehkan sebagai manusia. Termasuk dalam hal ini ialah gangguan yang tidak dikehendaki dalam hubungan kekuasaan yang tidak seimbang seperti hubungan antara atasan dan bawahan di tempat kerja.
Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, sejak dari ungkapan verbal (komentar, gurauaan, dan sebagainya) yang jorok/tidak senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/ jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh
(indecent assault), seperti memaksa untuk
mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan (Hayati, 2000 : 33).
Menurut Mansour Fakih (2001: 19) tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual
emotional harassment. Ada banyak bentuk
pelecehan, dan yang umum terjadi adalah
unwanted attention from men. Banyak orang
membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan.
Ada beberapa bentuk yang biasa dikategorikan pelecehan seksual, di antaranya:
1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.
2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.
3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya.
4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya.
5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.
Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, “kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak, dan lain sebagainya.
Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi: main mata, siulan nakal, komentar
yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual sampai perkosaan.
Menurut Anna Nadhya Abrar (1997: 47) pada penelitian tentang Analisis Isi Surat Kabar Indonesia kasus pelecehan seksual kedua terbanyak yang diberitakan Pos Kota adalah remasan dan rabaan yang tidak diinginkan. Banyak teori yang bisa digunakan untuk melihat mengapa laki-laki suka meremas dan meraba bagian tubuh peremppuan tanpa permisi, misalnya teori peran. Dengan struktur sosial yang mensahkan laki-laki sebagai pengatur dan pemegang kekuasaan, lahirlah dikotomi peran. Tanpa sadar timbul kesan bahwa laki-laki harus dominan, agresif, dan kompetitif, sedangkan perempuan harus lemah, pasif dan penurut. Tidak berlebihan bila ada ahli yang mengatakan bahwa kaum perempuan menjadi objek seksual karena dibentuk oleh lingkungan sosial, meeka menerima peran sebagai penolong, istri, ibu, dan pembantu laki-laki (Backhaouse dan Cohen, 1980 : 24).
Menurut J. M. D Kremer dan J. Marks, yang menyebutkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terdiri atas godaan verbal dan gangguan fisik, yang selanjutnya merinci kedua hal ini menjadi 12 isu (1992 : 5). Dari usaha mendapatkan ke-12 isu ini ke kondisi Indonesia, akhirnya diperoleh isu pelecehan dan kekerasan seksual sebagai berikut:
1. Komentar seksual yang merendahkan. 2. Gurauan seksual yang terus menerus. 3. Rayuan seksual yang tidak diha-rapkan. 4. Ajakan kencan terus menerus, walau
sudah ditolak.
5. Permintaan layanan seksual yang tidak dikehendaki.
6. Tatapan negatif terhadap bagian tubuh tertentu.
7. Remasan dan rabaan yang tidak diinginkan.
8. Permintaan pelayanan seksual disertai ancaman.
9. Percobaan perkoaan. 10. Perkosaan.
11. Perkosaan dan penganiayaan, dan 12. Perkosaan dan pembunuhan.
Lingkungan Terjadinya Pelecehan Seksual
Seperti juga perkotaan dan penga-niayaan umum, pelecehan seksual pada perempuan di tempat kerja, lembaga pendidikan dan lingkungan lain juga lebih sedikit yang terlaporkan daripada kejadian yang sebenarnya. Meskipun dapat dianggap yang lebih ringan intensitas kekerasannya, pelecehan seksual jelas merendahkan, eksploitatif dan mengintimidasi perempuan. Kasus tipikal pelecehan seksual adalah yang dilakukan laki-laki dalam otoritas tertentu pada perempuan yang berada di posisi bawahnya. Ia membujuk akan menaikkan posisi si perempuan, atau sebaliknya, mengancam akan merugikan posisi si perempuan bila perempuan tersebut menolak permintaannya. Pelecehan seksual merupakan hal yang sangat umum dialami oleh sebagian besar perempuan.
Berdasarkan penelitian Glass (1998), pelecehan seksual paling banyak terjadi di tempat kerja. Pelaku pelecehan seksual biasanya adalah laki-laki perempuan, dan atmosfir pekerjaan memungkinkan adanya perbedaan posisi tawar antar satu orang dengan yang lainnya, karena ada struktur dan hirarki. Dengan demikian, kemungkinan tumbuh suburnya praktek pelecehan seksual juga banyak terjadi di luar setting (lingkup) tempat kerja, dan bahkan sangat dengan posisi jabatan lebih tinggi (manager, supervisi, mandor dan sebagainya) ataupun rekan sejawat. Hal itu disebabkan adanya hubungan intens antara laki-laki dan umum ditemukn bahwa, pelakunya adalah laki-laki yang dikenal oleh korban, seperti pelecehan seksual di dalam bis kota, kampus, di jalanan, di pasar, bahkan di dalam rumah tangga sekalipun.
Pelecehan seksual di tempat kerja sering kali disertai dengan janji imbalan pekerjaan atas kenaikan jabatan. Bahkan bisa disertai dengan ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak. Kalau janji atau ajakan tidak diterima bisa kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, dimutasikan, dan lain sebagainya. Pelecehan seksual bisa juga terjadi tanpa janji atau ancaman, namun dapat membuat tempat kerja menjadi tidak tenang, ada permusuhan, penuh tekanan, dan lain sebagainya.
Pelecehan sekual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di bus, pabrik, supermarket, bioskop, kantor, hotel, trotoar, dan lain sebagainya baik siang maupun malam.
Hampir semua korban pelecehan seksual adalah peempuan tidak memandang status sosial ekonomi, usia, ras, pendidikan, penampilan fisik, agama, dan lain sebagainya. Korban pelecehan akan merasa malu, marah terhina, tersinggung, benci kepada pelaku, dendam kepada pelaku, shock, trauma berat, kerusakan organ fisik, dan lain-lain.
Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual:
1. Pencabulan pasal 289-296.
2. Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506.
3. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur pasal 286-288.
Ketika perempuan masuk dunia kerja, sering mendapat pekerjaan yang paling susah di pabrik atau kantor, dengan upah yang paling rendah, sekaligus terus dibebani dengan kebanyakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak-anak.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Dalam berita-berita seputar kasus kekerasan terhadap perempuan yang dimuat di media masih terdapat penguatan stereotif bahwa perempuan lemah, mudah diperdaya dan sangat tergantung kepada laki-laki. Dan media kebanyakan meliput perempuan jika berkaitan dengan persoalan seputar perselingkuhan masalah rumah tangga, pelecehan seksual, perkosaan, kecantikan, dan lain-lain yang lebih mengarah pengeksploitasi tubuh perempuan.
2. Diperlukan tindakan nyata peme-rintah dalam membuat kebijakan yang mengangkat martabat dan harkat perempuan berupa hukum dan undang-undang yang jelas dan tegas sehingga dapat mengurangi terjadinya pelecehan seksual dan dapat menjerat pelaku pelecehan sebagai tindakan melangar hukum.
3. Agar media masa (cetak dan elek-tronik) menempatkan diri sebagai
institusi sosial karena media massa memiliki tanggung jawab sosial. Artinya agar pemberitan tentang perempuan lebih berorientasi pada kalimat-kalimat dan mendorong ke arah apresiasi pada hakekat dan martabat perempuan.
Daftar Pustaka
Abrar, Ana, Nadhya, 1997, Pelecehan dan
Kekerasan Seksual, Pusat Pelecehan dan
Kependudukan UGM, Yogyakarta.
Diarsi, Myra, 1996, Perkosaan Tidak
Seder-hana Yang Kita Duga, Seminar Nasional
Perlindungan Perempuan Yogyakarta, UGM, Fund Foundation.
Hayati, Nur, Ellly, 2000, Panduan untuk
Pendamping Perempuan Korban Keke-rasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kalyanamitra, 2002, Kekerasan Terhadap
Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogya-karta.
Katjasungkana, Nursyahbani, Lukman Soetisno, 2001, Potret Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ladden, Marpaung, 1996, Kejahatan Ter-hadap Kesusilaan dan Masalah Pre-vensinya, Sinar Grafik Jakarta
Mansour, Fakih, 2002, Analisis Jender dan
Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Rifka, Annisa, 2000, Wanita Korban
Pele-cehan, Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Windhu I. Marsina, 1992, Kekuasaan Menurut
Johan Galtung, Kanisius, Yogyakarta.