• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN MODERN. Dyah Aji Jaya Hidayat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN MODERN. Dyah Aji Jaya Hidayat"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DAN MODERN

Dyah Aji Jaya Hidayat

Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta

Abstract

Living in borading school disciplin and strict activity schedules, demanding that students should be able to adapt to survive in the environment. In while, the student are also required to be independent living separately from parents Dhofier (1985) divided into two types of boarding schools: traditional (salafi) and modern (khalafi). The differences in the two lies in how to teach, the pattern relations between student and teachers, as well as learning level.

The aimed of this study was to determine whether there are difference in adjustments to the traditional boarding school students and modern.

Subjects in this study are a members of boarding school students amount 96 persons.

Purposive Random Sampling was used to measuring a scale of adjustment and then analyzed by ANAVA 2 ways.

The data analysis showed that F score between A said 42,082 (p = 0,000 or p <

0,01). Mean that there is a significantly differences in adjustments to the traditional boarding school students shows better adjustment than the modern ones. It showed from the adjustments average level for traditional boarding school students (A1) = 138,413 and the modern ones average level (A2) = 116,860.

The empirical mean for adjustments variabel is 127,188 and hypothetical mean is 115. It is also showed that both traditional or modern ways are in medium adjusments level.

Keywords : Adjusment, Type of Boarding School, Education

(2)

Abstrak

Pola kehidupan pondok pesantren yang serba disiplin serta padatnya jadwal kegiatan, menuntut santri harus bisa menyesuaikan diri agar bisa bertahan di lingkungan tersebut. Sementara itu santri juga dituntut untuk hidup mandiri terpisah dari orang tua.

Secara garis besar, Dhofier (1985) membagi pondok pesantren menjadi dua macam yakni pondok pesantren tradisional (salafi) dan modern (khalafi). Perbedaan keduanya terletak pada cara pengajaran, pola hubungan santri-kiai, serta penjenjangan belajar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern. Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan penyesuaian diri antara santri di pondok pesantren tradisional dan modern.

Subjek dalam penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren An-Naim Ajisoko Sragen, Salamah Wa Barokah Sragen dan Al-Muayyad Surakarta dengan jumlah 96 orang. Pengambilan sampel yakni purposive random sampling dengan alat ukur skala penyesuaian diri, lalu dianalisis dengan anava 2 jalur.

Hasil analisis data menunjukkan nilai F antar A sebesar 42,082 dengan p = 0,000 atau p < 0,01. Artinya, ada perbedaan penyesuaian diri yang sangat signifikan antara santri di pondok pesantren tradisional dan modern. Penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional lebih baik dibandingkan santri di pondok pesantren modern. Hal ini dapat dilihat dari nilai rerata penyesuaian diri pada santri pondok pesantren tradisional (A1) sebesar 138,413 dan nilai rerata penyesuaian diri pada santri pondok pesantren modern (A2) sebesar 116,860.

Mean empirik penyesuaian diri sebesar 127,188 dan mean hipotetik penyesuaian diri sebesar 115. Hal ini menunjukkan bahwa penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional maupun modern tergolong sedang.

Kata kunci: Penyesuaian diri, Tipe Pondok Pesantren, Pendidikan.

(3)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berlangsung seumur hidup sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa sistem pendidikan dibagi ke dalam jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal dan informal. Jenjang pendidikan meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan jenis pendidikan meliputi pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan pendidikan khusus.

Pendidikan formal dibagi ke dalam jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Namun, sistem pendidikan di sekolah formal belum mampu sepenuhnya mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasalnya, pendidikan konvensional lebih fokus pada pendidikan akademis, sementara pendidikan keagamaan yang berpengaruh terhadap budi pekerti dan pembinaan karakter hanya diberikan sebagai mata pelajaran tambahan saja.

Alhasil, banyak terjadi kerusakan moral di masyarakat akibat kurangnya pendidikan keagamaan baik di rumah maupun di sekolah.

Melihat hal tersebut, tumbuh kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka pada lembaga pendidikan keagamaan, salah satunya pondok pesantren.

Pesantren yaitu suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Qomar, 2006). Pondok pesantren dikenal sebagai suatu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta

(4)

mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.

Keberadaan pondok pesantren dengan segala aspek kehidupan dan perjuangannya memiliki nilai strategis dalam membina insan yang memiliki kualitas iman, ilmu dan amal. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah bangsa Indonesia dimana darinya bermunculan para ilmuwan, politikus dan cendekiawan yang memasuki berbagai kancah percaturan di segala bidang sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki, baik dalam taraf lokal, regional maupun nasional bahkan sampai ke taraf internasional (Nasir, 2005).

Kedudukan pondok pesantren dalam sistem pendidikan Indonesia telah diatur dalam UU Sisdiknas No.

20 Tahun 2003 tentang pendidikan keagamaan pasal 30. Bahwa pondok pesantren merupakan salah satu

bentuk dari pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang- undangan (ayat 1), serta dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal (ayat 3).

Sedangkan perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan yang lainnya yaitu di pondok pesantren selama 24 jam para siswa/santri wajib tinggal di asrama.

Dalam pesantren, santri hidup dalam suatu komunitas khas, dengan kyai, ustadz, santri dan pengurus pesantren, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma- norma dan kebiasannya tersendiri, yang tidak jarang berbeda dengan

masyarakat umum yang

mengitarinya (Bashori, 2003).

Kehidupan di pondok pesantren yang sangat berbeda dengan kehidupan anak sebelumnya membuat ia harus melakukan penyesuaian diri agar bisa bertahan

hingga menyelesaikan

pendidikannya di pondok pesantren tersebut. Padatnya jadwal yang

(5)

diterima para santri kemudian memberi dampak lain pada kehidupannya. Setiap hari santri dibebani oleh kegiatan-kegiatan yang tidak ringan, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya santri yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan sistem asrama tersebut. Tak jarang pula santri keluar dari pondok pesantren sebelum lulus atau bahkan tahun pertama di pondok pesantren.

Ada peribahasa ”tal kenal maka tak sayang”, hal itu mencerminkan kemampuan penyesuaian diri. Jika seseorang ingin pergi ke suatu tempat baru harusnya sudah mencari informasi tentang keadaan lingkungan baru itu, keadaan masyarakat yang tinggal disana. Saat orang tersebut berada di lingkungan baru diharapkan tidak merasa terlalu kaget dan terlalu asing, karena sudah mempelajari lingkungan tersebut. Seseorang perlu memahami bahwa di sepanjang hidupnya akan banyak mengalami

perubahan-perubahan situasi, sehingga sudah memiliki kesiapan mental untuk menghadapi hal tersebut. Perubahan-perubahan situasi yang akan dihadapi individu antara lain: bertambahnya usia, perpindahan tempat tinggal, perubahan iklim, perubahan pelajar menjadi mahasiswa, perubahan tempat tinggal semula di rumah menjadi tinggal di asrama dan sebagainya.

Penyesuaian diri diartikan sebagai proses individu menuju keseimbangan antara keinginan- keinginan diri, stimulus-stimulus yang ada dan kesempatan- kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan (Gilmer, 1984). Untuk mencapai keseimbangan tersebut ada faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain: (a) kondisi dan konstitusi fisik, (b) kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan, (c) determinan psikologis, (d) kondisi lingkungan sekitar, dan (e) faktor adat istiadat, norma-norma sosial, religi dan kebudayaan (Kartono, 1989).

(6)

Hasil penelitian Yuniar dkk (2005) menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya.

Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun sosial.

Kondisi lingkungan yang berbeda dalam masing-masing tipe pesantren bisa memunculkan permasalahan penyesuaian diri yang berbeda pula.

Menurut Dhofier (1985), secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi).

Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya, tanpa

mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Metode pengajaran di pondok pesantren tradisional menggunakan sistem bandongan (kelompok) dan sorogan (individual). Sedangkan pesantren modern telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe- tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, dengan metode pembelajaran menggunakan sistem klasikal.

Dalam pondok pesantren tradisional tidak mengenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat dari kelas berapa, tapi dilihat dari kitab apa yang ia baca. Tidak ada aturan penjenjangan dalam belajar. Mana santri yang lama dan baru tidak jelas, mereka hanya ditandai oleh waktu (Qomar, 2006).

Selain itu, di pondok pesantren tradisional kiai memiliki otoritas yang sangat besar dalam menentukan kebijakan, sistem pendidikan tergantung selera kiai serta tidak adanya sebuah aturan baik menyangkut manajerial,

(7)

administrasi, birokrasi, struktur, budaya dan kurikulum (Wahid, 2001).

Dalam kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional kharisma dan kepribadian kiai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen, 1994).

Sedangkan di pondok pesantren modern, hubungan antara santri dengan kiai lebih bersifat fungsional.

Pengelolaan pesantren diserahkan kepada pengurus dan para santrinya lebih terbuka terhadap dunia luar.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern serta menggunakan faktor jenis kelamin sebagai variabel moderator. Dari hal tersebut dapat ditarik rumusan permasalahan “apakah ada perbedaan perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern?“ Maka dalam penelitian ini

penulis mengambil judul “Perbedaan Penyesuaian Diri Santri di Pondok Pesantren Tradisional dan Modern“.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern

2. Perbedaan penyesuaian diri antara santri putra dan putri C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi Pimpinan dan Pengelola Pondok Pesantren

Memberikan informasi tentang permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi para santri di pondok pesantren serta faktor yang terkait yang mempengaruhinya.

2. Bagi Santri Di Pondok Pesantren Memberikan pandangan baru

bagi santri untuk

(8)

mengembangkan pola penyesuaian diri yang tepat di pondok pesantren

3. Bagi Departemen Agama (Depag)

Dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan formulasi yang tepat mengenai pengembangan kualitas pondok pesantren

4. Bagi Bidang Psikologi

Dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi pendidikan dan psikologi islami khususnya mengenai perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern

5. Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan referensi untuk mengadakan penelitian sejenis atau mengembangkan lagi penelitian ini sehingga menambah wacana yang sudah ada sebelumnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Dalam ilmu jiwa, penyesuaian diri diartikan sebagai proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah kelakuannya agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara dirinya dan lingkungan.

Penyesuaian diri dalam pengertian ini disebut sebagai penyelarasan (adjustment) agar individu dapat diterima di dalam lingkungan tertentu (Fahmy, 1999).

Gilmer (1984)

mendefinisikan penyesuaian diri sebagai proses individu menuju keseimbangan antara keinginan- keinginan diri, stimulus-stimulus yang ada dan kesempatan- kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan. Demi mencapai keseimbangan, individu berusaha untuk memenuhi keinginan- keinginannya dengan cara mengatasi hambatan-hambatan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar individu dan mencocokkan diri dengan keadaan yang ada. Pengertian

(9)

penyesuaian diri ini berarti menganalisis dua hal yaitu faktor dari dalam diri individu dan hubungan interpersonal individu yang merupakan hasil dari interaksi dengan orang lain. Penyesuaian diri ini dapat dilihat dari dua cara: (a) proses yang mendekati keseimbangan antar inividu dengan lingkungannya, (b) individu tetap berusaha memenuhi keinginan- keinginan yang dimiliki.

Piaget (dalam Santrock, 2003) menyatakan ada dua cara untuk menyesuaikan diri, yaitu:

a. Asimilasi. Hal ini terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah dimilikinya. Individu menggabungkan perilakunya ke dalam suatu kerangka konseptual yang sudah ia miliki sebelumnya.

b. Akomodasi. Hal ini terjadi ketika individu menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru. Individu menunjukkan kesadaran akan adanya kebutuhan untuk

mengubah konsep yang dimilikinya.

Menurut Kartono (1983) aspek-aspek penyesuaian diri terdiri dari:

a. Keaharmonisan diri pribadi, yaitu kemampuan individu untuk menyesuaikan dengan diri pribadi

b. Keharmonisan dengan lingkungan, yaitu kemampuan individu untuk menyesuaikan dengan lingkungan tempat individu tersebut tinggal, baik lingkungan fisik mupun lingkungan sosial, konformitas positif dengan lingkungan sosial, mampu membuat hubungan dengan orang lain dan menerima orang lain apa adanya

c. Kemampuan menghadapi ketegangan dan frustasi, termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk

melakukan mekanisme

pertahanan diri, kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisir respon sehingga bisa mengatasi konflik dengan

(10)

cara yang efisien, kemampuan untuk menurunkan dorongan dan tekanan batin dan kemampuan mengontrol emosi negatif

B. Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah gabungan dari kata pondok dan pesantren. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab yaitu kata funduk yang berarti penginapan atau hotel. Akan tetapi di dalam pesantren Indonesia, khususnya pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak- petakkan dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.

Sedangkan istilah pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti tempat santri. Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam (Nasir, 2005).

Qomar (2006)

mendefinisikan pesantren sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan

pelajaran agama islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.

Menurut Dhofier (1985), tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.

Dalam skala nasional belum ada penyeragaman tentang bentuk pesantren. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya (Qomar, 2006).

Dhofier (1985) memandang dari perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, lalu membagi pesantren menjadi dua kategori yaitu pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi). Pesantren tradisional (salafi) mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya, tanpa

(11)

mengajarkan pengetahuan umum.

Sistem pendidikannya dijalankan melalui: (a) sistem sorogan, pengajaran dilakukan secara individual dari kyai kepada santri, diberikan kepada santri yang telah menguasai pembacaan Al-qur’an; (b) sistem bandongan atau weton, sekelompok santri mendengarkan seorang kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap santri membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata- kata atau buah pikiran yang sulit.

Selain itu, menurut Bashori (2003) dalam kebanyakan pesantren tradisional tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar, melainkan ditandai oleh prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat, kemudian direstui oleh kyai

Dalam pondok pesantren tradisional tidak mengenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat dari kelas berapa, tapi dilihat dari kitab apa yang ia baca (Qomar, 2006). Menurut Wahid (2001) di pondok pesantren tradisional tidak

ada aturan baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya dan kurikulum.

Selain itu, kiai merupakan pemimpin yang kharismatik sehingga santri akan selalu memandang kiai sebagai orang yang mutlak ditaati dan dihormati (Zakiah, 2004).

Jika di pondok pesantren tradisional pengajaran kitab kuning adalah hal yang wajib, di pesantren modern kitab kuning tidak lagi menjadi referensi utama. Sehingga peranan kiai menjadi berkurang.

Hubungan antara santri dengan kiai lebih bersifat fungsional.

Pengelolaan pesantren diserahkan kepada pengurus dan para santrinya lebih terbuka terhadap dunia luar.

Dalam pondok pesantren modern (khalafi) telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe- tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Pengajaran diberikan secara klasikal (dibagi ke dalam kelas) seperti halnya di sekolah umum (Bashori, 2003).

(12)

Ali (2006) mengatakan bahwa saat ini banyak pengembangan pendidikan lama (sekolah umum) menjadi model pendidikan baru yang merupakan hasil perkawinan antara sekolah/madrasah dengan tradisi pesantren. Sebagaimana sekolah umum, pada siang hari anak-anak bersekolah. Selepas itu, mereka melakukan kegiatan sebagaimana kehidupan di dunia pesantren.

Pesantren model baru tersebut tentu saja berbeda dengan model pesantren tradisional yang secara ideologis lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren tradisional, menurut Dhofier (1985), digunakan untuk memelihara dan mengembangkan ideologi Islam tradisional.

Sedangkan pesantren model baru ini digunakan untuk mendorong dan menyemarakkan tradisi ijtihad (pembaharuan) Islam.

C. Perbedaan Penyesuaian Diri Santri di Pondok Pesantren Tradisional dan Modern

Di sepanjang hidupnya individu akan banyak mengalami perubahan-perubahan situasi,

sehingga sudah memiliki kesiapan mental untuk menghadapi hal tersebut. Perubahan-perubahan situasi yang akan dihadapi individu antara lain: bertambahnya usia, perpindahan tempat tinggal, perubahan iklim, perubahan pelajar menjadi mahasiswa, perubahan tempat tinggal semula di rumah menjadi tinggal di asrama dan sebagainya. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi berbagai perubahan tersebut.

Penyesuaian diri adalah proses individu menuju keseimbangan antara keinginan- keinginan diri, stimulus-stimulus yang ada dan kesempatan- kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan. Demi mencapai keseimbangan, individu berusaha untuk memenuhi keinginan- keinginannya dengan cara mengatasi hambatan-hambatan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar individu dan mencocokkan diri dengan keadaan yang ada. Pengertian penyesuaian diri ini berarti menganalisis dua hal yaitu faktor

(13)

dari dalam diri individu dan hubungan interpersonal individu yang merupakan hasil dari interaksi dengan orang lain. Penyesuaian diri ini dapat dilihat dari dua cara: (a) proses yang mendekati keseimbangan antar individu dengan lingkungannya, (b) individu tetap berusaha memenuhi keinginan- keinginan yang dimiliki (Gilmer, 1984).

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu, antara lain: (a) kondisi dan konstitusi fisik, (b) kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan, (c) determinan psikologis, (d) kondisi lingkungan sekitar, dan (e) faktor adat istiadat, norma-norma sosial, religi dan kebudayaan (Kartono, 2003).

Ketika individu masuk ke dalam lingkungan baru, ada sejumlah norma atau aturan yang harus ia taati.

Seperti halnya di pondok pesantren, pada tahun pertama santri akan mengalami proses penyesuaian diri dengan kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupannya di rumah. Setiap hari santri wajib

mengikuti kegiatan-kegiatan di pondok pesantren, mulai bangun tidur hingga tidur kembali diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya santri yang tidak mampu menyesuaikn diri di pondok pesantren.

Permasalahan penyesuaian diri santri di pondok pesantren pernah diteliti oleh Yuniar (2005) di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta. Bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di PPMI Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya.

Dari hasil penelitian Yuniar tersebut faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri santri antara lain: (1) motif yang melandasi masuknya santri ke

(14)

pesantren; (2) persiapan; (3) pengetahuan dan pengalaman; (4) latar belakang budaya; (5) pengaruh lingkungan pesantren: (a) fasilitas, (b) peran ustadz ustadzah, (c) kontrol terhadap pelaksanaan peraturan, (d) pemahaman dan penguasaan pelajaran, (e) kegiatan, dan (f) pergaulan dengan teman-teman.

Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun sosial.

Kondisi lingkungan yang berbeda dalam masing-masing tipe pesantren bisa memunculkan permasalahan penyesuaian diri yang berbeda pula.

Menurut Dhofier (1985), secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi).

Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya dan tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Metode pengajaran di pondok pesantren tradisional menggunakan sistem bandongan (kelompok) dan sorogan

(individual). Sedangkan pesantren modern telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe- tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, dengan metode pembelajaran menggunakan sistem klasikal.

Dalam kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional kharisma dan kepribadian kiai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen, 1994).

Sedangkan di pondok pesantren modern, hubungan antara santri dengan kiai lebih bersifat fungsional.

Pengelolaan pesantren diserahkan kepada pengurus dan para santrinya lebih terbuka terhadap dunia luar.

Secara kodrat laki-laki dan perempuan berbeda dari fisik maupun psikologis. Hal ini bisa

menyebabkan perbedaan

kemampuan penyesuaian diri pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hawari (1997), perempuan

(15)

mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang lebih baik daripada laki-laki. Hal senada juga diungkapkan Kartono (1992), bahwa pada hakikatnya perempuan lebih bersifat heterosentris dan lebih sosial, karena itu lebih ditonjolkan sifat sosialnya. Perempuan lebih tertarik pada kehidupan orang lain terutama pada penderitaan orang lain. Sedangkan laki-laki lebih tertarik pada segi-segi kejiwaan yang bersifat abstrak, lebih egosentris atau self oriented, lebih suka berpikir objektif dan esensial.

Dalam menghadapi masalah laki-laki berpegang pada prinsip- prinsip yang lebih rasional daripada emosional. Sedangkan perempuan lebih sering menggunakan penyaluran emosi dan cenderung cara-cara tidak langsung dalam penyelesaian masalah dengan cara menghindarinya (Hawari, 1997).

D. Hipotesis

Berdasarkan pembahasan kerangka teori yang telah dikemukakan di atas, maka dalam

penelitian ini penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut:

1. Ada perbedaan penyesuaian diri santri pada pondok pesantren tradisional dan modern

2. Ada perbedaan penyesuaian diri antara santri putra dan putri METODE

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe pondok pesantren (tradisional dan modern) sebagai variabel bebas, penyesuaian diri sebagai variabel tergantung serta jenis kelamin sebagai variabel moderator.

Subjek dalam penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren Al- Muayyad Surakarta, Pondok Pesantren An-Na’im Ajisoko Sragen dan Pondok Pesantren Salamah Wa Barakah Sragen.

Penelitian ini menggunakan metode angket yakni berupa skala penyesuaian diri yang disusun dan diujicobakan oleh Ulfah (2006).

Skala tersebut berdasarkan pada teori aspek-aspek penyesuaian diri yang

(16)

dikemukakan oleh Kartono (1983), yaitu:

a. Penyesuaian pribadi b. Penyesuaian sosial

c. Kemampuan menghadapi ketegangan

Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik dengan analisis varian (anava) dua jalur.

Adapun rancangannya dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Rancangan Anava Dua Jalur

Variabel (Y) A

A1 A2

B B1

B2

Keterangan:

Y : Penyesuaian diri

A : Tipe pondok pesantren

1. Pondok pesantren tradisional

2. Pondok pesantren modern

B : Jenis kelamin

1. Laki-laki

2. Perempuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil anava dua jalur diperoleh nilai FA= 42,082 dengan p

= 0,001 atau p < 0,01. Hal ini berarti ada perbedaan yang sangat signifikan pada penyesuaian diri antara santri di pondok pesantren tradisional dan modern. Nilai rerata penyesuaian diri pada tipe pondok pesantren tradisional (A1) sebesar 138,413 (tinggi) dan nilai rerata pada tipe pondok pesantren modern (A2) sebesar 116,860 (sedang). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri pada santri di pondok pesantren tradisional lebih baik daripada santri di pondok modern.

Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah adat istiadat dan norma sosial (Kartono, 1983). Berdasarkan teori tersebut, ada perbedaan yang cukup tajam antara pondok pesantren tradisional dan modern. Perbedaan

(17)

tersebut dapat dilihat dari hubungan antara kiai dengan santri. Di pondok pesantren tradisional, kharisma dan kepribadian kiai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen, 1994). Hal itu juga diperkuat oleh Zakiah (2004), bahwa kiai merupakan pemimpin yang kharismatik sehingga santri akan selalu memandang kiai sebagai orang yang mutlak ditaati dan dihormati.

Oleh karena itu, penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dilandasi oleh internalisasi nilai yang cukup kuat dari kiai, sehingga muncul kesadaran yang besar pula dalam diri santri untuk mematuhi aturan pondok pesantren. Sedangkan di pondok pesantren modern hubungan antara santri dengan kiai lebih bersifat fungsional dan para santrinya lebih terbuka terhadap dunia luar.

Peran ustadz/ustadzah serta kontrol terhadap pelaksanaan peraturan dapat mempengaruhi penyesuaian diri santri (Yuniar,

2005). Kedua hal tersebut dapat dilihat pada metode pembelajaran yang berbeda antara pondok pesantren tradisional dan modern. Di pondok pesantren tradisional, jumlah santri yang sedikit serta metode pembelajaran individual yakni sorogan dan bandongan semakin memudahkan kiai untuk mengontrol santri satu persatu, baik pengontrolan dalam hal peningkatan belajar maupun perilaku santri. Sedangkan di pondok pesantren modern jumlah santri terlalu banyak dengan sistem klasikal menyulitkan pengontrolan terhadap masing-masing santri.

Pengontrolan terhadap santri di pondok pesantren modern diserahkan kepada pengurus pondok pesantren.

Banyaknya santri di pondok pesantren tradisional yang berasal dari daerah sekitar pondok, menyebabkan santri lebih mudah menyesuaikan diri di pondok pesantren. Hal itu karena sebelum masuk pondok pesantren santri sudah mengenal daerah lingkungan pondok yang tidak terlalu jauh dengan rumahnya, baik lingkungan fisik, sosial serta adat istiadat masyarakat

(18)

sekitar pondok yang tidak jauh berbeda dengan latar belakang santri.

Dengan kata lain, penyesuaian diri mereka menggunakan cara asimilasi yakni individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Individu menggabungkan perilakunya ke dalam suatu kerangka konseptual yang sudah ia miliki sebelumnya (Piaget dalam Santrock, 2003).

Santri di pondok pesantren modern yang kebanyakan dari luar Surakarta harus belajar menyesuaikan diri dengan daerah sekitar pondok pesantren, baik penyesuaian dalam hal lingkungan fisik, lingkungan sosial serta adat istiadat masyarakat sekitar yang belum mereka kenal. Dalam hal ini, mereka menggunakan cara akomodasi yakni individu menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru. Individu menunjukkan kesadaran akan adanya kebutuhan untuk mengubah konsep yang dimilikinya (Piaget dalam Santrock, 2003).

Hasil selanjutnya diperoleh nilai FB = 12,252 dengan p = 0,001 atau p < 0,01. Hal ini berarti ada perbedaan penyesuaian diri yang sangat signifikan antara santri putra dan putri. Nilai rerata penyesuaian diri pada santri putra (B1) sebesar 132,876 dan nilai rerata penyesuaian diri pada santri putri (B2) sebesar 121,255. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri pada santri putra lebih baik daripada santri putri.

Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa kemampuan penyesuaian diri santri putra lebih tinggi daripada santri putri. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan Hawari (1997) bahwa perempuan mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang lebih baik daripada laki-laki. Selain itu, pada hakikatnya perempuan lebih bersifat heterosentris dan lebih sosial, karena itu lebih ditonjolkan sifat sosialnya (Kartono, 1992).

Adanya ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan teori karena faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lebih dipengaruhi

(19)

oleh diri santri sendiri yang meliputi:

(1) motif yang melandasi masuknya santri ke pesantren; (2) persiapan; (3) pengetahuan dan pengalaman; (4) latar belakang budaya. Selain itu dari faktor lingkungan pondok pesantren yang meliputi (1) fasilitas, (2) peran ustadz ustadzah, (3) kontrol terhadap pelaksanaan peraturan, (4) pemahaman dan penguasaan pelajaran, (5) kegiatan, dan (6) pergaulan dengan teman-teman (Yuniar, 2005).

Hasil analisis uji-t antar A1B

1-A1B2 sebesar 3,022 dengan p = 0,004 atau p < 0,01. Hal ini berarti ada perbedaan penyesuaian diri yang sangat signifikan antara santri putra dan putri di pondok pesantren tradisional. Dalam penelitian ini penyesuaian diri santri putra lebih baik daripada santri putri. Hal ini dapat dilihat dari mean empirik santri putra sebesar 145,208 dan mean empirik santri putri sebesar 131,000.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, adanya perbedaan penyesuaian diri antara santri putra dan putri karena di pondok pesantren

tradisional dikarenakan tidak aturan yang jelas tentang administrasi dan birokrasi (Wahid, 2001). Artinya, pihak pondok pesantren tidak menyediakan waktu khusus dalam hal pendaftaran santri baru, melainkan setiap saat pondok pesantren menerima santri baru.

Dalam penelitian ini, santri tinggal di pondok pesantren berkisar antara 1 bulan hingga 1 tahun. Santri putra yang sudah 1 tahun tinggal di pondok pesantren sebanyak 66,7%, lebih banyak dibandingkan santri putri sebanyak 45,5%. Sedangkan yang tinggal 10 bulan dan yang lainnya lebih banyak santri putri.

Hasil analisis uji-t antar A2B

1-A2B2 sebesar 1,778 dengan p = 0,075 atau p > 0,05. Hal ini berarti tidak ada perbedaan penyesuaian diri antara santri putra dan putri di pondok pesantren modern. Mean empirik santri putra sebesar 121,040 dan mean empirik santri putri sebesar 112,680.

Di pondok pesantren modern, sudah ada kejelasan mengenai administrasi dan birokrasi. Jika di pondok pesantren tradisional setiap

(20)

saat santri bisa mendaftar, di pondok pesantren modern ada waktu tertentu penerimaan santri baru, yakni saat pergantian tahun pelajaran. Oleh karena itu, tidak adanya perbedaan penyesuaian diri antara santri putra dan putri di pondok pesantren modern, disebabkan adanya keseragaman waktu saat masuk pondok pesantren antara santri putra dan putri. Di samping itu, semua santri baik putra maupun putri bersekolah di SMP maupun SMA yang sama sehingga semua santri berada pada lingkungan yang sama dan dengan peraturan yang sama pula.

Mean empirik penyesuaian diri sebesar 127,188 dan mean hipotetik sebesar 115. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional maupun modern tergolong sedang.

Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa santri sudah merasa cukup nyaman tinggal di pondok pesantren tanpa ada permasalahan yang berarti. Hal itu karena dari awal masuk pondok

pesantren mereka sudah punya motivasi yang cukup kuat bahwa mereka ingin mendalami agama dan tanpa ada paksaan dari orang lain.

Selain itu, adanya upaya dari pihak pondok pesantren dalam menciptakan suasana lingkungan yang kondusif bagi para santrinya.

SIMPULAN

Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis data dapat disimpulkan: (1) Ada perbedaan penyesuaian diri yang sangat signifikan antara santri di pondok pesantren tradisional dan modern. Penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional lebih baik daripada santri di pondok pesantren modern. (2) Ada perbedaan penyesuaian diri yang snagat signifikan ditinjau dari jenis kelamin. Penyesuaian diri pada santri putra lebih baik daripada santri putri.

DAFTAR RUJUKAN

Ali, Muhammad. Juni 2006. Ketika Muhammadiyah Melirik

Pesantren. Suara

Muhammadiyah.

Bashori, Khoirudin. 2003. Problem Psikologis Kaum Santri:

(21)

Resiko Insekuritas Kelekatan.

Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama.

Bruinessen, Martin Van. 1994. NU:

Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru.

Yogyakarta: LKIS.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai.

Jakarta: LP3ES.

Gilmer. 1984. Applied Psychology:

Adjusment in Living and Work (2nd edition). New Delhi: Tata Mc Braw Hill Publishing Company Ltd.

Kartono, K. 1983. Psikologi Umum.

Jakarta: Mandar Maju.

Nasir, Ridlwan. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qomar, Mujamil. 2006. Pesantren:

Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.

Jakarta: Erlangga.

Santrock, John W. 2003.

Adollescence: Perkembangan Remaja (diterjemahkan oleh Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih). Jakarta: Erlangga.

Ulfah, Nurtika. 2006. Kemampuan Adaptasi Santri Ditinjau dari Pola Attachment. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta:

Fakultas Psikologi UMS.

Wahid, 2001. Menggerakkan Tradisi Pesantren. Yogyakarta: LkiS.

Yuniar, Mizar, Zaenal Abidin dan Tri Puji A. 2005. Penyesuaian Diri Santri Putri Terhadap Kehidupan Pesantren (Studi Kualitatif pada Madrasah Takhasusiyah Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta). Jurnal Psikologi UNDIP vol.2, no.1, hal.10-17.

Zakiah, Loubna dan Faturochman.

2004. Kepercayaan Santri pada Kiai. Buletin Psikologi Tahun XII, No. 1, Hal. 33-43.

Gambar

Tabel 1. Rancangan Anava Dua  Jalur  Variabel (Y)  A  A1  A2  B  B1  B2  Keterangan:  Y : Penyesuaian diri

Referensi

Dokumen terkait

6.3 Perbandingan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Santri Mukim Pada Pondok Pesantren modern dan

Solusi dalam menghadapi gaya hidup konsumtif pada santri pondok pesantren modern berasal dari tiga pihak yang saling terkait, yaitu diri santri sendiri,

Kehidupan di pondok pesantren yang sangat berbeda dengan kehidupan anak sebelumnya membuat santri harus melakukan penyesuaian diri agar dapat bertahan hingga

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan kuesioner, latar belakang santri yang mampu mengatur diri masuk ke pondok pesantren karena keinginan dari diri sendiri dan

Para santri MTS di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Sukoharjo dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak

Fajar Suryo Saputro, PEMANFAATAN INTERNET SEBAGAI SARANA DAKWAH SANTRI (Studi di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta), Skripsi, Jurusan Sosiologi,

Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren modern raden paku trenggalek, dengan tujuan (1) untuk mengetahui tingkat harga diri pada santri remaja tahun pertama

Mengenai latar belakang gaya hidup konsumtif pada santri pondok pesantren modern, dapat disimpulkan bahwa keluarga sudah memberikan peran yang penting dalam mengajarkan