• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara periodik setiap tiga tahun, empat tahun atau lima tahun. Krisis Merapi yang berlangsung lebih dari satu bulan semenjak erupsi pertama pada tanggal 26 Oktober 2010 merupakan krisis terbesar selama lebih dari 100 tahun terakhir.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menyatakan bahwa erupsi Gunung Merapi mencapai level 4 MVI dan mengeluarkan material vulkanik yang volumenya diperkirakan mencapai 150 juta meter kubik selama kurang lebih 24 hari. Tingkat erupsi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan erupsi Gunung Merapi tahun 2006 yang mengeluarkan sekitar 3,5 juta meter kubik material selama kurang lebih 4 hari.

Erupsi Merapi pada tahun 2010 telah memberikan dampak langsung yang luar biasa bagi masyarakat yang bermukim di lereng G. Merapi dan dampak tak langsung bagi masyarakat yang bermukim jauh dari Gunung Merapi.

Sebagaimana disampaikan oleh DR. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dalam acara konferensi pers terbaru Relokasi Merapi, bencana erupsi Gunung Merapi akhir tahun 2010 lalu, telah menimbulkan berbagai kerugian yang tidak kecil nilanya. Total kerusakan dan

(2)

kerugian dampak erupsi Gunung Merapi di Provinsi DIY dan Jawa Tengah mencapai Rp 3,56 Triliun.

Dampak ini meliputi di lima sektor yaitu sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial dan lintas sektor. Kerusakan di lima sektor mencapai Rp 1,69 trilyun sedangkan kerugian sekitar Rp 1,87 trilyun. Total kerusakan dan kerugian di masing-masing sektor berturut-turut adalah sebagai berikut:

permukiman senilai Rp 626,65 milyar, infrastruktur senilai Rp 707,47 milyar, ekonomi produktif senilai Rp 1,69 trilyun, sosial senilai Rp 122,47 milyar, dan lintas sektor senilai Rp 408,76 milyar.

Pasca erupsi bulan November 2010, Gunung Merapi masih memiliki bahaya sekunder yaitu banjir lahar hujan. Banjir lahar hujan dapat diartikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh gugurnya atau hanyutnya lahar hujan yang mengendap di kubah gunung, sebagai akibat dari hujan yang terjadi di wilayah gunung tersebut. Endapan lahar yang masih ada di sekitar gunung akan hanyut dan mengalir melalui sungai dan berdampak pada lingkungan yang berada di sepanjang bantaran sungai, meliputi areal pertanian, infrastruktur berupa dam, saluran irigasi, jembatan, jalan, dan perumahan. Banyak rumah yang rusak atau hanyut terkena terjangan banjir lahar hujan tersebut.

Banjir lahar hujan diperkirakan masih mengancam wilayah tersebut hingga tiga tahun ke depan. Hal ini disebabkan material vulkanis yang tertahan di puncak Gunung Merapi masih mencapai 75 juta meter kubik. Kepala BPPTK Yogyakarta Subandrio memprediksi, material vulkanis yang terbawa banjir pascaerupsi sejak

(3)

tahun 2010 itu hanya 25 persen. Sisanya masih 75 persen dari total muntahan yang mencapai 100 juta meter kubik saat erupsi.

Berdasarkan pengamatan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011). Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi tahun 2010 dominan mengarah ke daerah selatan sampai barat Gunung Merapi yang meliputi Kabupaten Klaten, Sleman dan Magelang. Kabupaten Magelang merupakan daerah yang mempunyai tingkat ancaman bencana pasca erupsi tinggi dengan ancaman berupa lahar hujan. Dampak banjir lahan hujan yang paling parah terjadi di wilayah Kabupaten Magelang. Tidak hanya menyebabkan rusaknya perumahan penduduk tetapi juga menyebabkan ditutupnya akses utama Yogyakarta - Semarang sehingga mengganggu distribusi barang dan jasa.

Wilayah terparah yang terdampak banjir lahan hujan di Kabupaten Magelang termasuk dalam KRB I, terutama di bantaran Kali Putih dan Kali Pabelan. Terdapat 14 desa yang terdampak langsung banjir lahar hujan tersebut.

Hal ini tertuang dalam peta lokasi desa terdampak banjir lahar dingin merapi berikut:

(4)

Gambar 1.1

Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Hujan Merapi

Sumber: BPNPB Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, 2011

(5)

DR. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dalam acara Konferensi pers Terbaru Relokasi Merapi, menyatakan bahwa jumlah kepala keluarga (KK) yang terdampak langsung banjir lahar hujan Merapi adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1

Jumlah KK Terdampak Langsung Banjir Lahar Dingin Merapi

No. Provinsi Jumlah KK Terdampak

Langsung

1. Daerah Istimewa Yogyakarta 46

2. Jawa Tengah 443*

*Data jumlah KK dampak lahar dingin per 14 April 2011.

Berdasarkan Tabel 1 tersebut, Provinsi Jawa Tengah khususnya di kawasan Magelang (bantaran Kali Putih dan Pabelan) merupakan kawasan terdampak langsung dengan jumlah KK terbanyak yaitu sekitar 443 KK. Senada dengan hal tersebut, berdasarkan data Posko Induk Kabupaten Magelang, jumlah pengungsi mencapai 2.640 jiwa, tersebar di 11 lokasi sebagaimana dapat digambarkan dalam Tabel 1.2 berikut ini:

(6)

Tabel 1.2

Jumlah Pengungsi Korban Banjir Lahar Hujan Merapi Kabupaten Magelang Tahun 2011

No. Kecamatan

Jumlah Lokasi Pengungsian

Jumlah Pengungsi

(jiwa)

1. Muntilan 4 787

2. Salam 3 1468

3. Mungkid, Ngluwar, Srumbung dan Sawangan

1 (setiap kecamatan)

375

Sumber: BNPB Kabupaten Magelang, Tahun 2011

Sebagian besar pengungsi berasal dari Desa Jumoyo dan Desa Sirahan yang berada di Kecamatan Salam. Sektor perumahan di kedua desa tersebut mengalami kerusakan paling parah yaitu 315 rumah rusak berat, 63 rusak sedang dan 101 rusak ringan. Upaya pemulihan awal di sektor ini dilakukan dengan pembangunan hunian sementara (huntara) di beberapa lokasi, antara lain huntara Jumoyo, huntara Larangan dan huntara Mancasan. Sedangkan upaya pemulihan untuk sektor perumahan adalah dengan penataan permukiman dengan cara relokasi ke hunian tetap (huntap) di daerah yang aman karena untuk mengembalikan masyarakat terdampak bencana lahar hujan kembali ke daerah asal sangat beresiko mengingat kemungkinan besar bencana lahar hujan masih sangat mungkin terjadi pada kurun waktu 3 tahun berikutnya.

Daerah asal yang terdampak banjir lahar hujan, terletak di sempadan sungai yang merupakan kawasan yang memiliki resiko ancaman rawan bencana.

Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan kawasan yang terletak didi

(7)

sempadan sungai termasuk dalam kawasan rawan bencana. Pentingnya pemahaman tentang banjir lahar hujan dan kawasan rawan bencana, tentunya dapat mempengaruhi proses relokasi masyarakat yang terdampak banjir lahar hujan.

Pemerintah menawarkan program relokasi dengan tiga cara yaitu mandiri perorangan, mandiri berkelompok dan menggunakan tanah kas desa. Di samping itu, masyarakat memerlukan kejelasan mengenai status hak milik tanah di daerah asal dan lokasi baru serta kejelasan pelayanan administrasi kependudukan.

Berbagai tanggapan muncul pada masyarakat terhadap program relokasi tersebut, ada yang setuju, ragu dan ada yang menolak program relokasi permukiman.

Proses relokasi tidak hanya semata-mata memindahkan hunian tetapi juga memindahkan penghidupan masyarakat. Budaya masyarakat yang enggan berpisah dari kelompoknya terlebih meninggalkan daerah asalnya, memerlukan penanganan tersendiri dalam proses relokasi. Pemilihan dan penetapan lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat relokasi harus berpedoman pada peraturan tata ruang wilayah yang telah mengintegrasikan tentang kawasan rawan bencana, begitu pula dengan prinsip pengurangan resiko bencana. Relokasi permukiman untuk masyarakat Desa Jumoyo dan Desa Sirahan sudah dimulai sejak tahun 2012 dan hingga saat ini belum terselesaikan.

Mengacu pada latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, diduga terdapat potensi masalah dalam proses relokasi penduduk terdampak bencana lahar hujan maka penulis bermaksud untuk meneliti tentang bagaimana persepsi

(8)

masyarakat terhadap bencana banjir lahar hujan di Desa Jumoyo dan Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, juga persepsi masyarakat yang berkaitan dengan kawasan rawan bencana, pengurangan resiko bencana dan persepsi tentang relokasi permukiman

Penelitian ini dilakukan di Desa Jumoyo dan Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang karena kedua desa tersebut merupakan desa yang mengalami kerusakan paling parah akibat banjir lahar hujan. Selain itu, lokasi kedua desa ini terletak di wilayah KRB I dan memiliki resiko terkena banjir lahan hujan kembali akibat dampak erupsi Merapi yang terjadi secara periodik setiap 3 - 4 tahun sekali.

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap banjir lahar hujan, kawasan rawan bencana dan pengurangan resiko bencana terkait relokasi permukiman di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, studi kasus di Desa Jumoyo dan Desa Sirahan.

(9)

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.3.1. Manfaat Secara Teoritis

Bagi peneliti, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa sebuah konsep relokasi kawasan permukiman pasca bencana yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.

1.3.2. Manfaat Secara Praktis

Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk lebih memudahkan pendekatan ke masyarakat dalam pelaksanaan program relokasi kawasan permukiman pasca bencana.

Bagi masyarakat, dalam pelaksanaan relokasi dapat berpartisipasi dan memahami arti penting konsep bencana, kawasan rawan bencana, pengurangan resiko bencana dan relokasi permukiman.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Problem Atau Masalah Yang Muncul dan Cara Penyelesaiannya Dalam Pelaksanaan Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang…… 85.

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban penulis dalam melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas

Students may, equally, be given a number of examples of a particular genre and asked to identify the generic structure and associated text type/s on the basis of their examination

Pembelajaran diharapkan meningkatkan hasil belajar dan tujuan pembelajaran tercapai Dirancang e-book yang bisa digunakan dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas yang

Implementasi Nilai Demokrasi dalam Kegiatan OSIS di Sekolah (Studi pada SMPN 5 Kota Malang). Manusia Indonesia Individu Keluarga dan

Karena dalam penelitian ini jenis data berupa data kuantitatif dan juga menggunakan skala pengukuran rasio, maka peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif

[r]