25
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Secara garis besar, penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu penyiapan aditif dan analisa sifat-sifat fisik biodiesel tanpa dan dengan penambahan aditif.
IV.1 Penyiapan Aditif
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa jenis aditif penurun titik tuang. Aditif- aditif tersebut diperoleh dari aditif yang tersedia secara komersial dan aditif-aditif yang disintesis di dalam laboratorium. Aditif-aditif yang diperoleh secara komersial yaitu ZEUS ZCF 2454, JPN1, poli etilen glikol, dan vinil asetat.
Sedangkan aditif-aditif yang disintesis di laboratorium adalah butil asetil risinoleat, dietil heksil adipat (Laura dan Winny Wulandari, 2006), minyak nabati terozonisasi.
IV.1.1 Aditif-Aditif Komersial
Pada umumnya, aditif-aditif komersial dapat langsung ditambahkan ke dalam biodiesel sawit tanpa memerlukan pelarut tertentu, kecuali untuk aditif poli vinil asetat. Aditif poli vinil asetat tidak dapat larut dalam biodiesel sawit, tetapi membentuk agregat seperti getah (gum). Jumlah poli vinil asetat yang terlarut di dalam biodiesel tidak dapat diketahui secara pasti. Oleh karena itu, perlu ditambahkan pelarut yang dapat melarutkan poli vinil asetat dan sekaligus larut di dalam biodiesel sawit. Pelarut-pelarut yang digunakan yaitu metanol, etanol, isopropanol, butanol, etil asetat, heksana, toluen, aseton dan ester C +8 /C 10.
Dari semua pelarut yang digunakan, hanya toluen yang dapat melarutkan secara sempurna poli vinil asetat dengan perbandingan berat poli vinil asetat terhadap pelarut 1:20. Campuran toluen dan poli vinil asetat dipanaskan di dalam water bath pada temperatur 70°C sambil diaduk. Pelarut-pelarutnya lainnya hanya membentuk campuran seperti gel.
Pada saat poli vinil asetat yang terlarut di dalam toluen dicampur ke dalam
biodiesel sawit, poli vinil asetat kembali terpisah dari toluen membentuk agregat
26
seperti getah (gum) dan tetap tidak larut dalam biodiesel meskipun telah dilakukan pemanasan sampai temperatur 150°C. Dengan demikian, penambahan pelarut ke dalam poli vinil asetat tidak efektif, baik dari sisi jumlah pelarut yang digunakan maupun dari kefektifan sistem pelarut-poli vinil asetat di dalam biodiesel sawit.
Tanpa dan dengan penambahan pelarut, poli vinil asetat tetap berada dalam fasa padat yang terpisah dari biodiesel sawit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena gaya tarik-menarik antara molekul-molekul toluen dengan molekul-molekul biodiesel lebih besar dibandingkan dengan gaya tarik-menarik antara molekul- molekul toluen dengan molekul-molekul vinil asetat.
IV.1.2 Sintesis Butil Asetil Risinoleat
Reaksi asetilasi antara minyak jarak kaliki (castor oil) dan butil asetat dengan penambahan katalis kalium hidroksida di dalam butanol dilakukan dengan memvariasikan waktu ( 2 jam dan 4 jam) dan temperatur reaksi (60°C dan 117°C). Campuran reaksi yang diperoleh berupa cairan satu fasa. Pemurnian butil asetil risinoleat dari campuran reaksi dilakukan dengan memisahkan butanol dan butil asetat yang tersisa melalui distilasi. Pada campuran reaksi setelah dilakukan distilasi, terdapat butiran-butiran putih halus yang mengendap di fasa bagian bawah.
Menurut literatur, selain butil asetil risinoleat, reaksi ini juga menghasilkan produk samping berupa monorisinoleat triasetat dan triasetin. Baik butil asetil risinoleat maupun kedua produk samping tersebut larut di dalam butil asetat.
Pemisahan butil asetat dari campuran reaksi menyebabkan terpisahnya komponen- konponen dalam campuran reaksi tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya kelarutan masing-masing komponen tersebut.
Setelah pemisahan butanol dan butil asetat, dilakukan pencucian dengan air pada
temperatur 60°C untuk memisahkan gliserol. Pencucian dilakukan secara
berulang-ulang sampai sekitar 20 kali. Namun air pencucian masih bersifat asam
dengan pH sekitar 4. Hal ini terjadi untuk semua variasi percobaan yang
dilakukan. Nilai pH tersebut mirip dengan pH asam asetat yang mungkin terbebas
27
dari reaksi. Dengan demikian, ada kemungkinan asetilasi gugus OH pada asam risinoleat tidak terjadi. Hal ini mungkin diakibatkan oleh pemakaian katalis yang berbeda dari yang direkomendasikan oleh pustaka aslinya (U.K.Pat.590,386).
Katalis yang direkomendasikan adalah logam Natrium, sedangkan dalam penelitian digunakan katalis kalium hidroksida. Logam natrium bersifat sangat reakstif sehingga membutuhkan penanganan yang khusus. Kalium hidroksida dipilih sebagai katalis.
IV.I.3 Ozonisasi Minyak Nabati
Ozonisasi minyak nabati dengan penambahan ko-reaktan air dan peroksida menghasilkan produk yang memiliki pH sekitar 4. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran ko-reaktan tersebut mempercepat terjadinya ozonisasi lanjut ozonida menjadi asam-asam karboksilat. Sedangkan senyawa aktif penurun titik awan yang diinginkan merupakan senyawa antara ozonida. Oleh karena itu, oksidasi lanjut ozonida tidak diharapkan terjadi.
Ozonisasi langsung minyak nabati menghasilkan produk dengan tingkat keasaman
yang lebih rendah (pH sekitar 5 - 6) dibandingkan dengan ozonisasi dengan
penambahan ko-reaktan air dan peroksida. Karakteristik minyak nabati hasil
ozonisasi langsung disajikan dalam tabel berikut ini.
28
Tabel IV.1 Karakteristik Minyak-Minyak Nabati Terozonisasi
Jenis
Minyak Densitas
(g/mL) Viskositas
(cSt) CP ºC PP ºC
Canola I 0,898 28,374 -1 -8
Canola II 0,905 30,715 -1 -14
SBO I 0,890 28,164 3 -2
SBO II 0,901 29,206 3 -11
SFO I 0,911 30,478 2 -5
SFO II 0,912 32,771 2 -16
PO I 8,986 24,186 18 11
PO II 0,897 25,861 18 10
Catatan: I : reaksi dilaksanakan selama 1 jam CP : Titik Awan II : reaksi dilaksanakan selama 2 jam PP : titik Tuang
Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat diketahui bahwa lama waktu reaksi dan komponen-komponen minyak nabati mempengaruhi sifat-sifat produk ozonisasi.
Semakin lama waktu reaksi, semakin banyak ozon yang teradsorpsi di dalam minyak sehingga semakin banyak ikatan rangkap yang dipecah membentuk ozonida. Akibatnya, terjadi peningkatan viskositas dan massa jenis dan penurunan titik awan dan titik tuang.
Untuk waktu reaksi yang sama, produk ozonisasi dari minyak bunga matahari memiliki massa jenis dan viskositas yang lebih besar dibandingkan dengan produk ozonisasi dari minyak nabati lainnya. Hal ini disebabkan karena minyak matahari mengandung terutama asam linoleat dengan dua gugus ikatan rangkap (67 – 74%) dan asam oleat (17 – 22 %). Dengan demikian, ikatan rangkap yang dipecah oleh ozon lebih banyak dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Pada minyak kanola, kandungan linoleatnya (17 – 25%) lebih sedikit dibandingkan dengan minyak kedelai (48 – 58 %). Namun, total kandungan asam yang mengandung ikatan rangkap (asam oleat maupun asam linoleat) minyak canola (69 – 91%) lebih besar dibandingkan dengan minyak kedelai (68 – 88%).
Hasil ini mirip dengan hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh Diaz,
dkk. (2006). Tidak diketahui secara pasti ikatan rangkap mana yang lebih dulu
diserang oleh ozon.
29
Pada minyak kelapa sawit, ozonisasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sifat-sifat fisiknya. Hal ini disebabkan karena sawit mengandung komponen utama palmitat (30 – 48%) yang merupakan rantai hidrokarbon jenuh.
Oleh karena itu, jumlah ozon yang diserap jauh lebih rendah dibandingkan minyak nabati lainnya.
Analisa spektrum infra merah terhadap hasil ozonisasi minyak canola yang diozonisasi selama 2 jam disajikan pada Gambar IV.1.. Dari hasil analisa spektrum infra merah tersebut, dapat ditafsirkan bahwa sampel mengandung ester.
Adapun data yang mendukung interpretasi ini adalah sebagai berikut :
- Serapan kuat pada frekuensi 1690 – 1760 cm -1 yang menunjukkan adanya ikatan – C = O –C
- Serapan kuat pada frekuensi 1080 – 1300 cm -1 yang menunjukkan adanya ikatan – C – O –C
- Serapan lemah pada frekuensi 1640 – 1680 cm -1 yang menunjukkan adanya ikatan – C – C –
- Serapan kuat pada frekuensi 2850 – 3100 cm -1 yang menunjukkan ikatan – C – H –
- Serapan pada frekuensi diatas 3000 menunjukkan ikatan ganda –C = C- pada alkena. Adanya ikatan ganda ini ditegaskan lagi dengan adanya adanya serapan pada frekuensi 1640 – 1680.
- Serapan kuat pada frekuensi 720-750 menunjukkan ikatan –C-H-.
30
Gambar IV.1 Analisa Spektrum Infra Merah Minyak Nabati Terozonisasi
IV.2 Analisa Sifat-sifat Biodiesel Sawit dengan Penambahan Aditif
Biodiesel sawit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang disajikan pada Tabel IV.1. Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat diketahui bahwa biodiesel sawit memiliki titik awan dan titik tuang yang tinggi.
Massa jenis dan viskositas biodiesel sawit juga relatif tinggi. Namun, karakteristik-karakteristik tersebut masih memenuhi persyaratan biodiesel Indonesia.
Tabel IV.2. Karakteristik Biodiesel Sawit Parameter Nilai Massa jenis, g/mL, 40 ° C 0,864
Viskositas, cSt, 40 ° C 4,365
Titik Awan, ° C 18
Titik Tuang, ° C 12
500 750
1000 1250
1500 1750
2000 2500
3000 3500
4000 4500
1/cm 0
15 30 45 60 75 90 105
%T
4335.98 4258.83 3471.87 3007.02 2924.09 2854.65 1745.58 1653.00 1458.18 1371.39 1236.37 1163.08 1097.50 1029.99 970.19 914.26 869.90 723.31 460.99
Aliqot