• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH UNTUK BANGUNAN RUMAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH UNTUK BANGUNAN RUMAH"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH UNTUK BANGUNAN RUMAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

WENDY NIM : 150200391

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH UNTUK BANGUNAN RUMAH

(Dr. Agusmidah,SH., M.Hum) Nip. 197608162002122002

DOSEN PEMBIMBING I

(Prof. Dr. M. Yamin, SH.,MS.,CN) Nip. 196112311987031023

DOSEN PEMBIMBING II

(Affan Mukti,SH.,M.Hum) Nip. 195711201986011002 SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

WENDY NIM : 150200391

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Wendy

NIM 150200391

Departemen : Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Agraria Judul Skripsi : Tanggung Jawab Notaris/PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli

Tanah Untuk Bangunan Rumah Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 19 November 2018

Wendy

NIM : 150200391

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan berkat yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat memulai, menjalani dan mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Adapun skripsi ini berjudul “Tanggung Jawab Notaris/PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Untuk Bangunan Rumah” yang merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan dan bimbingan serta dorongan semangat dari beberapa pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan kepada:

1. Bapak Prof Dr Runtung Sitepu, SH, M. Hum sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak Membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada

(5)

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, SH, MS.CN, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Affan Mukti, SH., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan Skripsi ini.

8. Ibu Dr. Agusmidah, SH, M. Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara.

9. Ibu Mariati Zendrato, S.H.,M.Hum., dan Ibu Zaidar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen dalam Program Peminatan Hukum Agraria di Departemen Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara.

10. Bapak Boy Laksamana, S.H.,M.Hum., Ibu Erna Herlinda, S.H.,M.Hum., dan Ibu Suria Ningsih, S.H.,M.Hum., sebagai Dosen dalam Departemen Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam

ii

(6)

menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Orang tua saya, papa (Rianto) dan mama (Ng Li Hua) serta abang saya (Arifin) yang saya cintai, yang selalu mendoakan dan mendukung saya dalam keadaan apapun serta menjadi motivasi yang sangat besar bagi penulis untuk bisa meraih kesuksesan.

13. Rekan-rekan seperjuangan yang bersama-sama memulai perjuangan dalam menempuh pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu Dosen dan semua rekan-rekan atas segala kesilapan yang telah diperbuat penulis selama ini, dan penulis berharap semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya. Amin…….

Medan, Desember 2018 Penulis,

(WENDY)

NIM : 150200391

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 8

G. Metode Penelitian ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LEGALITAS TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN DENGAN BANGUNAN RUMAH ... 17

A. Pengertian Rumah dan Perumahan Serta Fungsinya ... 17

B. Jenis-Jenis Perumahan ... 22

C. Asas-asas Pembangunan Perumahan dan Pemukiman ... 29

D. Transaksi Atas Tanah dan/atau Bangunan Rumah ... 32

iv

(8)

BAB III NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH ... 38

A. Pengertian Notaris/PPAT dan Dasar Hukumnya ... 38 B. Jenis-Jenis dan Syarat-Syarat Notaris/PPAT ... 48 C. Wewenang dan Larangan Notaris/PPAT dalam Pembuatan

Akta Jual Beli ... 56 a. Wewenang Notaris/PPAT ... 56 b. Larangan Notaris/PPAT ... 65 D. Akibat Hukum dalam Pembuatan Akta Jual Beli Yang Tidak

Sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-undangan ... 68

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI BANGUNAN ... 77

A. Pengertian Akta Jual Beli dan Fungsi Akta Jual Beli ... 77 B. Syarat Pembuatan Akta Jual Beli ... 78 C. Pembuatan Akta Jual Beli Bangunan Rumah Sesuai Dengan

Dengan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah... 84 D. Hambatan-Hambatan dan Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam

Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Bangunan Rumah ... 89

v

(9)

a. Hambatan-Hambatan dalam Pembuatan Akta Jual Beli

Bangunan Rumah ... 89

b. Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Bangunan Rumah... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN

vi

(10)

ABSTRAK

*Wendy

**Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

***Affan Mukti, SH., M.Hum

Dewasa ini, peran Notaris/PPAT sangat penting dalam pembuatan akta jual beli tanah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang telah mengalami perubahan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Pejabat Pembuatan Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Perumusan masalah dalam skripsi ini yaitu bagaimana peran Notaris/PPAT di Indonesia dalam transaksi yang berkaitan dengan bangunan rumah, bagaimana Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli, serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli bangunan rumah.

Metode yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Teknik analisa data menggunakan metode kualitatif.

Setelah dilakukan pembahasan diketahui bahwa adanya kewenangan umum Notaris yang terdapat dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Jabatan Notaris dan kewenangan khusus yang terdapat dalam Pasal 15 Ayat (2) UU Jabatan Notaris. Kewenangan PPAT sendiri tercantum dalam Pasal 3 PP 37 Tahun 1998, PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Serta dijumpainya hambatan-hambatan Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah untuk bangunan rumah. Hambatan-Hambatan tersebut timbul dari anggota masyarakat itu sendiri dan juga faktor biaya. Dari hambatan- hambatan ini muncul upaya-upaya Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli bangunan rumah, seperti bersosialisasi keberadaan Notaris/PPAT di kalangan masyarakat.

Kata Kunci : Notaris/PPAT, Akta Jual Beli, Bangunan Rumah

*Mahasiswa/I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berkembang saat ini, karena banyak melakukan pembangunan di bidang fisik maupun non fisik dan struktur perekonomiannya bercorak agraris. Hal ini ditandai dengan sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian di bidang agraria (pertanian), baik petani yang memiliki tanah ataupun (buruh tani) yang tidak mempunyai tanah. Sejak dahulu tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan manusia sehari-hari.

Manusia hidup dan melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Saat ini kebutuhan akan tanah mengalami banyak peningkatan, karena tanah tidak hanya dijadikan untuk tempat tinggal dan usaha, tapi pada saat manusia meninggal, tanah juga sangat penting guna penguburan. Pada kehidupan ekonomi di Indonesia, tanah menjadi komoditas dan faktor produksi yang sangat dicari oleh manusia pada masa pembangunan saat ini.

Saat ini semakin meluasnya aktifitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah, maka tanah menjadi sangat penting akan penguasaannya, penggunaan dan pemilikannya.

Manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai serta menggunakan tanah, karena sangat penting bagi kehidupan. Upaya untuk mendapatkan tanah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah jual beli tanah. Dengan jual beli, kepemilikan tanah beralih dari satu pihak ke pihak lain.

1

(12)

Jual beli dapat mengakibatkan beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada pembeli maka hal tersebut termasuk dalam hukum agraria yang terdapat dalam pasal 20 UUPA.

Sesuai dengan ketentuan UUPA, jual beli tanah tidak lagi dibuat di hadapan Kepala Desa atau Kepala Adat secara dibawah tangan, tetapi harus di hadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, berdasarkan beberapa syarat sesuai dengan Pasal 6 PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat Akta-akta Otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun.

Menurut A.P Parlindungan, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta otentik.1

PPAT sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu PPAT Umum, PPAT Khusus, dan PPAT Sementara. PPAT khusus adalah PPAT yang di tunjuk karena PPAT yang bersangkutan sedang dalam program pemerintah atau mengerjakan tugas pemerintahan. PPAT Sementara merupakan PPAT yang melaksanakan tugas untuk membuat PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

Ada beberapa tugas yang dilakukan oleh PPAT yaitu melakukan kegiatan seperti pendaftaran tanah dengan membuat akta yang menjadi bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas

1 A.P Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bandung, 1989, Bagian I, hal. 131

2

(13)

satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum yang ada, seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan juga pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Fungsi PPAT adalah menjamin kebenaran materiil dan kebenaran formil dalam setiap akta peralihan hak atas tanah dan bangunan serta berperan juga untuk memeriksa kewajiban-kewajiban para pihak yang harus dipenuhi berkaitan dengan peralihan hak tersebut. Tanggung jawab PPAT terhadap akta otentik hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak/penghadap ke dalam akta.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka jual beli juga harus dilakukan para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat akta. Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut, pihak yang memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak tersebut, sedangkan pihak yang menerima harus memenuhi syarat subyek dari tanah yang akan dibelinya itu. Serta harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.2

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut Notaris/PPAT) adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah yang memperoleh kewenangan

2 Penjelasan dan Fungsi PPAT, diakses dari www. notarisdanppat. com, diakses pada tanggal 20 September 2018, pukul 18:30 WIB.

3

(14)

secara atributif dari Negara. Notaris/PPAT bertindak untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam hubungan hukum. Dalam pelayanannya Notaris/PPAT terikat pada peraturan jabatan dan kode etik profesi sebagai Notaris/PPAT. Dengan adanya kode etik dan peraturan jabatan, maka Notaris/PPAT terikat dalam satu peraturan yang memuat kaidah moral dan sanksi-sanksi yang akan diberikan bila Notaris/PPAT melakukan pelanggaran.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Keberadaan Notaris sangat penting artinya dalam pembuatan alat-alat bukti yang bersifat otentik, yang mungkin dipergunakan kelak oleh para pihak dalam suatu persidangan di pengadilan. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledijg bewijs), artinya terhadap bukti tersebut dalam pengadilan dianggap benar, tanpa diperlukan lagi pengakuan dari para pihak.

Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan Nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris. Pemerintah (sebagai yang memberikan sebagian wewenangnya kepada Notaris) dan masyarakat banyak tentunya mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.

4

(15)

Kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN, bahwa notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Profesi Notaris pada saat ini menjadi sangat penting karena Notaris oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu alat pembuktian berupa akta otentik. Hal ini sangat penting untuk semua orang yang membutuhkan suatu alat pembuktian untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan usaha.

Pembuatan akta otentik bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan serta masyarakat secara keseluruhan.

Masyarakat telah menganggap bahwa seorang Notaris adalah pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.3

Secara terpisah Notaris dan PPAT memiliki kewenangan yang berbeda. Di dalam konsiderans menimbang huruf c, Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris merupakan

3 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal. 7.

5

(16)

jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat.4 Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai topik yang telah diuraikan dan oleh karena itu, mengangkat topik tersebut menjadi sebuah penelitian yang berjudul “Tanggung Jawab Notaris/PPAT dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Untuk Bangunan Rumah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan dalam karya tulis ini adalah :

1. Bagaimana legalitas transaksi yang berkaitan dengan bangunan rumah?

2. Bagaimana Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli?

3. Bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli bangunan rumah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam karya tulis ini adalah :

4 Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 7.

6

(17)

1. Untuk mengetahui legalitas transaksi yang berkaitan dengan bangunan rumah;

2. Untuk mengetahui Peran Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli;

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli bangunan rumah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Karya tulis ini diharapkan dapat memberi masukan secara akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum kenotariatan dan PPAT, terutama tentang Tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli untuk bangunan rumah.

b. Karya tulis ini diharapkan menambah pengetahuan mengenai tanggung jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli untuk bangunan rumah, yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk didalami dan juga sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan Hukum Agraria pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

a. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran- pemikiran baru bagi kalangan Notaris serta PPAT dalam menjalankan profesinya serta tugasnya.

7

(18)

b. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat dalam hal pembuatan akta jual beli untuk bangunan rumah.

E. Keaslian Penulisan

Karya tulis yang berjudul, “Tanggung Jawab Notaris/PPAT dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah untuk Bangunan Rumah”. Telah diperiksa di Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan hasilnya tidak ada yang sama atau belum pernah ada karya tulis yang ditulis dengan judul maupun pembahasan yang sama. Oleh karenanya, keaslian penelitian dalam skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh penulis.

F. Tinjauan Pustaka

Nama “Notariat” sebenarnya telah dikenal jauh sebelum diadakannya lembaga notariat. Notariat itu sendiri berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama Notarius. Akan Tetapi, apa yang dimaksudkan dengan nama Notarius ialah nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Dalam buku hukum dan tulisan Romawi klasik telah berulang kali ditemukan nama atau title Notarius untuk menandakan suatu golongan orang- orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu.5

Notaris berasal dari kata “nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris

5 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia. Suatu Penjelasan, Cetakan 2, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 13

8

(19)

hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.6

Pengertian PPAT lebih ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.

Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak pembeli untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Akta Jual Beli adalah salah satu akta otentik atau dokumen yang menjadi bukti sah peralihan hak atas tanah dan bangunan. Akta Jual Beli dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang diangkat oleh kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) RI.

6 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 41.

9

(20)

G. Metode Penelitian

Agar dapat mempertanggungjawabkan data dari suatu penelitian secara ilmiah, perlu adanya ketepatan dalam memilih metode penelitian supaya sesuai dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah, dan menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum, dan sistem hukum yang berkaitan.7

Penelitian yuridis normatif (penelitian hukum normatif) menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge trough judicial process)”8

2. Pendekatan Penelitian

7 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013, Hal 163

8 Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003, hal. 1.

10

(21)

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis (historical approach).

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan( statute approach). pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.9 Skripsi ini berisi penelaahan terhadap semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu peran notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah untuk bangunan rumah.

3. Data Penelitian

Pada dasarnya di dalam penelitian, terdapat sumber data yang menjadi bahan hukum darimana data itu diperoleh. Yang pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data), dan data yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data).10 Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan. 11

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Jakarta, Kencana, 2011, hal 13

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 1986, Hal 12

11 Zainuddin Ali, Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 106

11

(22)

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif dan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi yang terdapat dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.

Adapun bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi dan sifatnya tidak mengikat yang dapat berupa buku teks, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan12. Bahan hukum tertier merupakan bahan yang member petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.13 Dalam penelitian ini, maka sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini yaitu Undang- undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuatan Akta Tanah, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam skripsi ini yaitu berupa buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berupa laporan, dan lainnya.

12 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal 181

13 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal 117 12

(23)

c. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kamus yang berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serta ensiklopedia dan lainnya yang berkitan dengan Hukum, khususnya Hukum Agraria.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan penelitian.

Alat pengumpul data (instrumen) menentukan kualitas data dan kualitas data menentukan kualitas penelitian, karena itu alat pengumpul data harus mendapat penggarapan yang cermat. Agar data penelitian mempunyai kualitas yang cukup tinggi, alat pengumpul datanya harus dapat mengukur yang hendak diukur, dan harus dapat memberikan kesesuaian hasil pada pengulangan pengukuran.14

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum dapat berupa studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research).15 Studi lapangan (field research) merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data primer yang diperoleh langsung dari lapangan yang dapat berupa wawancara atau pengamatan (observasi) terhadap perilaku. Sedangkan studi kepustakaan (library research) merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data sekunder.

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah Studi Kepustakaan (Library Research), serta pustaka yang menjadi

14 Amiruddin, Op.Cit, Hal 82

15 Zainuddin Ali, Op.Cit, hal 107

13

(24)

acuan, antara lain mencakup buku-buku, berita, internet, kamus-kamus hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dan penulisan skripsi ini.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.16

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yakni apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.17 Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan18.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara garis besar mengenai penyusunan skripsi ini, maka penulis menyertakan sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini terbagi menjadi 5 (lima) bab, dimana dalam setiap bab itu terbagi lagi ke dalam

16 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002, hal 101

17 Soerjono Soekanto, Op.cit., Hal 250

18 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 2006, Hal 25

(25)

beberapa sub bab yang disusun secara berurutan. Sistematikan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan uraian umum penelitian pada umumnya yaitu latar belakang yang membahas mengenai alasan diangkatnya judul skripsi ini, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitan, dan sistematika penulisan.

BAB II LEGALITAS TRANSAKSI YANG BERKAITAN

DENGAN BANGUNAN RUMAH

Bab ini berisikan pembahasan yang berkaitan dengan sub bab yaitu : Pengertian rumah dan perumahan, jenis-jenis perumahan, asas-asas pembangunan perumahan dan pemukiman dan transaksi atas tanah dan/atau bangunan rumah.

BAB III NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL

BELI TANAH

Bab ini berisikan pembahasan yang berkaitan dengan sub bab yaitu : Pengertian notaris/PPAT serta dasar hukumnya, jenis-jenis dan syarat-syarat notaris/PPAT, wewenang dan

15

(26)

larangan Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual dan akibat hukum atas jual beli tanah/rumah.

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM

PEMBUATAN AKTA JUAL BELI BANGUNAN RUMAH

Bab ini berisikan pembahasan yang berkaitan dengan sub bab yaitu : Pengertian, Fungsi, syarat, dan Hambatan- hambatan serta upaya-upaya yang dilakukan dalam pembuatan akta jual beli tanah bangunan rumah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran.

16

(27)

BAB II

LEGALITAS TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN BANGUNAN RUMAH

A. Pengertian Rumah dan Perumahan Serta Fungsinya

Pengertian rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta asset pemiliknya.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menetapkan bahwa perumahan dapat dibangun diatas tanah :

1. Hak milik;

2. Hak guna bangunan atas tanah negara;

3. Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;

4. Hak pakai atas tanah negara

Perumahan dapat dibangun oleh penyelenggara pembangunan perumahan yaitu:

1. Warga Negara Indonesia;

2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

3. Lembaga negara;

4. Kementerian

5. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian 6. Pemerintah Provinsi

(28)

18

7. Pemerintah Kabupaten/Kota 8. Badan Otorita

9. Badan Usaha Milik Negara 10. Badana Usaha Milik Daerah

11. Badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas 12. Yayasan

Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dimaksud Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

Perumahan yang status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan atas tanah negara adalah perumahan yang dibangun oleh badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Pengertian rumah secara umum dapat diartikan sebagai tempat untuk berlindung atau bernaung dari pengaruh keadaan alam sekitarnya (Hujan, Matahari, dan lain-lain) serta merupakan tempat beristirahat setelah bertugas untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Namun, pengertian rumah juga dapat ditinjau lebih jauh secara fisik dan psikologis.

Dari segi fisik rumah berarti suatu bangunan tempat kembali dari berpergian, bekerja, tempat tidur dan beristirahat memulihkan kondisi fisik dan mental yang letih dari melaksanakan tugas sehari-hari.

Ditinjau dari segi psikologis rumah berarti suatu tempat untuk tinggal dan untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, yang tentram, damai, menyenangkan

(29)

19

bagi penghuninya. rumah dalam pengertian psikologis ini lebih mengutamakan situasi dan suasana daripada kondisi dan keadaan fisik rumah itu sendiri.

Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat.

Rumah dapat diartikan sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992, pengertian rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.19

Menurut Budiharjo, rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat.Jadi setiap perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi

19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992

(30)

20

warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat. 20

Fungsi rumah bagi manusia adalah sebagai berikut :

1. Sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari.

2. Sebagai tempat untuk bergaul dengan keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.

3. Sebagai tempat untuk melindungi diri dari bahaya yang datang mengancam.

4. Sebagai lambing status sosial yang dimiliki yang masih dirasakan hingga saat ini.

5. Sebagai tempat untuk meletakkan atau menyimpan barang-barang berharga yang dimiliki, yang terutama masih ditemui pada masyarakat pedesaan.

Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang terkandung dalam rumah:

1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan dalam kualitas hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai tempat tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga dari iklim setempat.

2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengembangan

20 Budiharjo, Eko. 1998. Sejumlah Masalah Pemukiman Kota. P.T Alumni. Bandung. Hal. 6

(31)

21

keluarga. Fungsi ini diwudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan.

Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.

Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, perwujudannya bervariasi menurut siapa penghuni atau pemiliknya. Berdasarkan hierarchy of need (Maslow, 1954:10), kebutuhan akan rumah dapat didekati sebagai:

1. Physiological needs (kebutuhan akan makan dan minum), merupakan kebutuhan biologis yang hampir sama untuk setiap orang, yang juga merupakan kebuthan terpenting selain rumah, sandang, dan pangan juga termasuk dalam tahap ini.

2. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan),merupakan tempat berlindung bagi penghuni dari gangguan manusia dan lingkungan yang tidak diinginkan.

3. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman.

4. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.

Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah,

(32)

22

tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya.

Perumahan merupakan salah satu bentuk sarana hunian yang memiliki kaitan yang sangat erat dengan masyarakatnya. Hal ini berarti perumahan di suatu lokasi sedikit banyak mencerminkan karakteristik masyarakat yang tinggal di perumahan tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan, terdapat beberapa pengertian dasar, yaitu

1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga

2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawansan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat tinggal kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

B. Jenis-Jenis Perumahan

Rumah merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan hidup manusia. Selain berfungsi sebagai tempat berlindung, rumah juga berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul bersama keluarga. Berikut ini jenis-jenis rumah yang dikenal secara umum di Inonesia :

1. Perumahan Biasa (Perkampungan)

(33)

23

Perumahan biasa merupakan perumahan yang berada di perkampungan, bukan di kompleks. Perumahan biasa umumnya dimiliki secara perorangan. Oleh karena itu, bangunannya pun terdiri dari berbagai model. Besar dan ukurannya disesuaikan dengan luas tanah yang tersedia. Ada yang menyisakan lahan di muka rumah, ada juga yang menyisakan lahan di belakang rumah. Bahkan, ada yang menghabiskan lahan untuk bangunan karena berbagai alasan. Di perumahan biasa, ada beberapa warga yang membangun rumah untuk dikontrakkan atau disewakan kepada orang lain. Rumah ini dinamakan rumah kontrak atau rumah sewa.

2. Perumahan Nasional (Perumnas)

Perumahan Nasional (Perumnas) merupakan jenis perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang (developer). Umumnya, jenis perumahan ini dibangun dengan menggunakan bahan yang sama (sejenis), terencana, dan dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu perumahan tersebut umumnya tertata rapi, baij bentuk rumah, jalan-jalan, maupun pembangan air limbah rumah tangga, dan sarana umum lainnya.

Masyarakat diberi kesempatan untuk memiliki rumah tersebut, biasanya melalui pembayaran secara angsura. Besaranya angsuran disesuaikan dengan kemampuan. Makin panjang masa angsuran, maka makin kecil uang angsurannya. Bila angsurannya telah lunas, rumah akan menjadi milik penghuni.

Perumnas (Perumahan Nasional) sebagai perintis rumah murah di Indonesia telah melalui perjalanan panjang hingga hari ini. Tonggak awal lahirnya

(34)

24

perumnas di Indonesia diawali dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada Agustus 1950 di Bandung. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada tanggal 25 April 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tugas pokoknya antara lain membuat konsep kebijakan perumahan dan mengatur penyelenggaraan pembiayaan pembangunan perumahan. Sebelumnya, pada tanggal 20 Maret 1951 dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Rakyat.

Kemudian, dibentuklah Yayasan Kas Pembangunan (YKP). Hingga tahun 1961, yayasan ini mampu membangun 12.460 unit rumah. Namun karena kesulitan keuangan akhirnya lahirlah Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC). Karena kebutuhan rumah yang semakin besar, kemudian disepakati adanya pembentukan badan lain yang bertugas memberi pengarahan secara menyeluruh, agar program perumahan segera tercapai. Pada tahun 1974 kemudian dibentuklah Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Badan ini berfungsi merumuskan garis-garis kebijkasanaan dan petujnuk pelaksanaan bidang pengembangan dan pembinaan perumahan di samping koordinasi dan pengawasan. Bank Tabungan Negara (BTN) kemudian ditunjuk sebagai Bank Hipotik Perumahan. Dengan posisinya itu, BTN bisa memberikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada para peminat rumah dengan suku bunga yang disubsidi.

Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) baru

(35)

25

berdiri tanggal 18 Juli 1974, dengan Ir Radinal Moochtar sebagai Direktur Utamanya. Pembiayaan bersumber dari Penyertaan Modal Pemerintah. Pada waktu itu, pembangunan masih dipusatkan di sekitar Jabotabek.

Kegiataan pembangunan Perum Perumnas baru dimulai pada tahun kedua Pelita II. Sasarannya adalah masyarakat kota, dengan presentasi 80 persen keluarga berpenghasilan rendah, 15 persen keluarga menengah, dan 5 persen yang berpenghasilan tinggi. Untuk memenuhi pemerataan pembangunan, Perumnas kemudian menetapkan kebijaksanaan untuk membangun di 77 kota.

Ke-77 kota tersebut terdiri dari 27 ibu kota provinsi, 33 pusat pengembangan wilayah, dan 17 ibu kota kabupaten yang bukan pusat pengembangan wilayah namun berpenduduk 10 ribu orang. Selain kegiatan utama, Perum perumnas juga mengadakan beberapa usaha yang bersifat semi-komersial seperti gedung serba guna dan lapangan tenis. Perumnas kemudian mulai merintis pembangunan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana dalam skala bersar. Lokasi-lokasi yang dibangun pun pada awalnya merupakan tempat yang sama sekali tidak menarik dan cenderung sepi. Kehadiran Perum Perumnas juga meningkatkan gaya hidup penghuninya. Jika tadinya banyak penghuni yang tak tahu cara membuang sampah, maka dengan adanya perumahan yang lingkungannya tertata baik, gaya hidup penghuninya juga semakin meningkat.

3. Perumahan Rumah Susun

Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah susun dinyatakan, “Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun

(36)

26

dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama”. Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa konsep penting terkait rumah susun :

1) Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum (Pasal 1 angka 3 UU Rusun).

2) Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan (Pasal 1 angka 4 UU Rusun).

3) Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan- satuan rumah susun (Pasal 1 angka 5 UU Rusun).

4) Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama (Pasal 1 angka 6 UU Rusun).

Untuk menunjang dan memperkuat kebijaksanaan pembangunan rumah susun, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.16 Tahun 1985 tentang rumah susun. Undang- undang rumah susun tersebut untuk mengatur dan

(37)

27

menegaskan mengenai tujuan, pengelolaan, penghunian, status hukum dan kepemilikan rumah susun. Adapun tujuan pembangunan rumah susun adalah meningkatkan kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya, meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestariaan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang, memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat.

Pemerintah Indonesia lebih memberlakukan rumah sebagai barang atau kebutuhan sosial. Hal ini dapat dilihat dari besarnya peran pemerintah dalam membantu pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi ini dapat dimengerti karena sebagian besar penduduk Indonesia merupakan golongan yang kurang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak. Dalam kaitan ini, pemerintah memutuskan untuk melaksanakan pembangunan rumah susun di kota besar sebagai usaha peremajaan kota dan untuk memenuhi kebutuhan perumahan dengan pola yang vertikal. Proses lahirnya kebijakan untuk melaksanakan pembangunan rumah susun di kota-kota besar di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pengalaman negara lain (seperti Singapura, Hongkong dan lain-lain) dalam mengatasi masalah perkotaan yang diakibatkan urbanisasi, khususnya dalam bidang perumaan kota. Konsep pembangunan rumah susun pada hakekatnya

(38)

28

dimaksudkan untuk mengatasi masalah kualitas lingkungan yang semakin menurun maupun untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan dalam kota.

4. Kondominium/Apartement

Kondominium adalah sebuah kata yang berasal dari Bahasa Inggris, yaitu condominium, memiliki arti sebagai bentuk lain dari hak guna bangunan.

Sedangkan pengertian kondominium adalah bentuh hak guna perumahan yang letaknya terdapat pada bagian real estate tertentu (biasanya berupa kamar apartement) yang dimiliki pribadi, naum terkait dengan segala bentuk penggunaan berbagai macam fasilitas di dalam pengaksesannya, seperti lorong, sistem pemanas, elevator, eksterior dan yang lainnya tetap berada di bawah wilayah hukum yang dihubungkan dengan kepemilikan pribadi dan dikontrol oleh asosiasi pemilik yang merupakan badan kepemilikan keseluruhan bangunan tersebut.

Dapat dikatakan bahwa pengertian kondominium merujuk kepada unit atau digunakan sebagai kata pengganti “Apartment”. Namun kondominium berbeda dengan apartement, dimana arti kondominium itu sendiri ditujukan sebagai sebuah hunian/unit yang statusnya berada di bawah kepemilikan pribadi dan bukan sebagai hak pakai/sewa sebagaimana apartement pada umumnya.

Kondominium juga menjadi sebuah istilah hukum yang banyak dipakai di negara-negara yang berada di wilayah Amerika dan kemudian berkembang e negara di wilayah Inggris dan beberapa wilayah di Australia.

(39)

29

Di Indonesia sendiri, kata kondominium lebih banyak digunakan oleh mereka yang bergelut di dalam bisnis properti, dimana sejak beberapa tahun terakhir kondominium telah diperkenalkan sebagai produk hunian baru bagi mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Para pebisnis properti juga memiliki sebuah pandangan tersendiri dalam membedakan arti kata kondominium dengan apartement. Dalam hal ini mereka menggunakan istilah kondominium sebagai kata yang merujuk kepada sebuah unit apartemen yang dijual dan akan dimiliki secara pribadi oleh para penghuninya, sedangkan penggunaan kata apartement sendiri digunakan untuk menunjukkan unit/hunian apartement yang disewakan.

C. Asas-Asas Pembangunan Perumahan dan Pemukiman

Dalam Keputusan Presiden (KePres) No. 63 Tahun 2000 Tentang Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional tertulis bahwa pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat lintas sektoral, yang pelaksanaannya perlu memperhatikan aspek- aspek prasarana dan sarana lingkungan, rencana tata ruang, pertanahan, industri bahan, jasa kontruksi dan rancang bangun, pembiayaan, sumber daya manusia, kemitraan antar pelaku, peraturan perundang-undangan, dan aspek penunjang lainnya.

Menurut Syahrin dalam bukunya “Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan” menguraikan

(40)

30

beberapa asas selain asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perumahan dan Permukiman21, yaitu :

1. Asas Demokrasi, artinya pembangunan perumahan dan permukiman harus memperhatikan pengelolaan sumber daya alam serta adanya adanya pengakomodasian kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola antara pusat dan daerah, transparan dalam pengambilan keputusan, meningkatkan partisipasi semua pihak yang terkait, tidak dikriminasi dalam perbuatan dan implementasi kebijakan, bertanggung jawab kepada publik, penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan secara bijaksana, dan menghargai hak-hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.

2. Asas Transpansi, artinya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan publik dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan perumahan permukiman, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

3. Asas Koordinasi dan Keterpaduan antar sektor, artinya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman dilakukan secara terintegrasi dengan saling memperhatikan kepentingan antar sektor, sehingga dapat dibina hubungan yang saling mendukung dan kerja sama, yang menempatkan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan dan berkelanjutan fungsi perumahan dan permukiman diatas kepentingan masing-masing sektor.

21 Syahrin, Alvi. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa, Medan. Hal. 7.

(41)

31

4. Asas Efisiensi, artinya pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dan permukiman di dasarkan pada pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan sifat dapat diperbaharukan (renewable) dan tidak terbaharukan (unrenewable), dengan selalu memperhitungkan keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam bagi kepentingan generasi kini dan mendatang.

5. Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang tanggung jawab pengelolaan perumahan dan permukiman serta keterkaitannya dengan lingkungan hidup oleh pemerintah kepada daerah otonom, atau Mentei kepada tingkat birokrasi dibawahnya, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing daerah.

6. Asas Partisipasi Publik, artinya pengelolaan perumahan dan permukiman dalam kaitannya dengan kelestarian fungsi lingkungan, membuka kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak yang terkait (stakeholders), untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan perumahan dan permukiman serta pelestarian lingkungan, mulai dari kegiatan identifikasi dan inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.

7. Asas Pengawasan Publik, artinya mekanisme dan prosedur pengawasan masyarakat dan semua pihak yang terkait (stakeholder) dalam pengelolaan perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, dengan mengambil bagian aktif dalam melakukan pengawasan yang efektif.

(42)

32

8. Asas Akuntabilitas Publik, artinya upaya yang harus direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak pengelola pembangunan perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, khususnya mengenai halhal yang berkaitan dengan kebijakan public dan kepentingan masyarakat, sebagai bentuk pertanggung jawabannya kepada rakyat atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan secara trasparan.

9. Asas Informasi dan Persetujuan, artinya memberikan informasi yang benar dan meminta persetujuan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman serta pelstarian fungsi lingkungan, dengan persetujuan tersebut didasarkan pada prinsip kebebasan dari pihak yang memberi persetujuan (free and prior informed consent).

D. Transaksi atas Tanah dan/atau Bangunan Rumah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah : a. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

b. Keadaan bumi yang diberi batas;

c. Permukaan bumi yang diberi batas;

d. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,cadas, kapal dan seagainya).

Dalam hukum Agraria, kata “tanah” dipakai dalam arti Yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 ayat (1) berbunyi sebagai berikut atas dasar hak dan menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam- macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

(43)

33

kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang kali lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaanya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.

Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga peggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut :”Sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

(44)

34

penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh bumi sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungannya langsung dengan gedung yang dibangun diatas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan keperluan lain yang berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun.

Dalam Hukum Agraria terdapat Asas Pelekatan yang berarti bangunan dan tanaman yang ada diatas dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Maka hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut : “Segala sesuatu yang termasuk dalam suatu barang karena hukum perlekatan, begitu pula segala hasilnya, baik hasil alam, maupun hasil usaha kerajinan, selama melekat pada dahan atau akarnya, atau terpaut pada tanah, adalah bagian dan barang itu”. Di lihat dari ketentuan Pasal ini maka

(45)

35

bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.

Kemudian dalam Pasal 571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berbunyi sebagai berikut : “Hak Milik atas sebidang tanah mengadung di dalamnya, kepemilikan atas segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah”.

Jadi, perbuatan hukum mengenai tanah dan sendirinya karena hukum meliputi juga bangunan dan tanaman yang berada diatasnya.

Umumnya bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah adalah milik yang empunya tanah. Tetapi hukum Tanah Indonesia menggunakan asas Hukum adat yang disebut asas pemisahan horizontal. Menurut asas ini bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Dalam asas pemisahan horizontal, hukum tentang tanah berbeda (terpisah) dari hukum bangunan, berlainan dengan asas perlekatan, yang dianut oleh hukum barat dahulu, yang menyatakan bahwa hukum atas tanah sama (melekat) dengan hukum bangunan.22

Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang empunya tanah yang ada diatasnya. Tetapi biarpun demikian, dalam praktik dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputu juga bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah tersebut, asal bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan

22 Efendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, PT radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 11

(46)

36

tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfundasi dan tanaman merupakan tanaman keras.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, maka berakhirlah pluralisme di bidang hukum Tanah Indonesia, UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum Agraria yang didasarkan pada Hukum Adat.

Hal ini berarti bahwa hukum Agraria Indonesia menggunakan konsepsi, asas, lembaga-lembaga hukum dan sistem hukum Adat. Dalam UUPA Pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa “jual beli, penukaran, pengibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”, berarti hak milik dapat beralih kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud untuk memindahkan hak milik . Meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli, dapat ditafsirkan bahwa pengertian jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah menurut pengertian hukum adat.

Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, jual beli tanah harus dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang. Jual beli ini dapat disertai dengan bangunan yang ada diatas tanah hak yang bersangkutan, asalkan memenuhi persyaratan :

a. Bangunan milik pemegang hak atas tanah;

b. Bangunan merupakan bangunan permanen;

(47)

37

c. Harus disebut secara tegas dalam akta jual beli.

Dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut pada Pejabat Pembuat Akta Tanah, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum “gelap” yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil”, perbuatan hukum jual beli yang dilakukan.

Dengan demikian ketiga sifat jual beli, yaitu tunai, terang dan teliti, telah dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan terjadinya pemindahan hak juga secara implicit membuktikan bahwa penerimaan hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru.

Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya, pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan, yaitu dalam hal ini akan dilakukan balik nama atas sertifikat tanah tersebut. Dengan dicatatnya balik nama tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh surat bukti yang kuat. Karena administrasi pendaftaran tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak dan ahli warisnya, tetapi pihak ketigapun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.

(48)

38

BAB III

NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH

A. Pengertian Notaris/PPAT dan Dasar Hukumnya

Munculnya lembaga notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks.

Istilah notaris pada dasarnya berasal dari kata “notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu. Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In Nederlandsch No. 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun waktu itu, Peraturan Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan.

Pada saat ini, notaris telah memiliki undang-undang tersendiri dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Pengertian notaris dalam sistem Civil Law yang diatur dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860 nomor 3 tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860 yang kemudian diterjemahkan oleh R. Soegondo disebutkan pengertian Notaris adalah pejabat umum, khususnya (satu-satunya) yang berwenang untuk membuat akta-

Referensi

Dokumen terkait

Dasar hukum pejabat pembuat akta tanah (PPAT) berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

Asuransi merupakan perusahaan yang bergerak dalam usaha pertanggungan setiap nasabah dikenakan polis asuransi yang harus dibayar sesuai perjanjian dan perusahaan asuransi

Email: Ferarichlisi02@gmail.com , Fielmannlisi@gmail.com , Sartje.silimang@unsrat.ac.id.. dalam setiap perencanaanya. Dimana sistem transmisi memiliki parameter-parameter

v) tokoh teladan yang menimba ilmu sepanjang hayat demi meningkatkan mutu karya dan ketukangannya dalam bidang persuratan. * Anumerta Tun Seri Lanang yang bernilai

Abstrak: Pengembangan Perpustakaan Digital Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Literasi Informasi Siswa SMA di Bandarlampung. Penelitian ini bertujuan untuk 1)

[r]

Fokus pada penelitian inj menggunakan teori dari jufrizen, (2013) mengenai Intensifikasi yang meliputi, memperluas basis penerimaan, memperkuat proses pemungutan,

Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu adanya tindak lanjut terhadap hasil potensi daur ulang sampah kering dari fasilitas komersial dengan perencanaan sistem