• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IV"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

61

BAB 4

ORANG

HENES

-

LAKMARAS

DALAM KESEHARIAN

Masyarakat desa Henes-Lakmaras masuk dalam kelompok suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor sampai sekarang masih tetap bertahan hidup sebagai satu kesatuan yang utuh terpadu. Padahal mereka sudah mengalami berbagai perubahan akibat pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Ternyata perubahan yang terjadi entah positif atau negatif, hanyalah perubahan dalam bentuk lahiriah. Jadi ada ketahanan bathiniah. Secara bathin, tetap bertahan. Apa yang terjadi dengan perubahan lahiriah? Adat istiadat dalam bentuk kekerabatan yang begitu kuat sudah luntur. Adat istiadat yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian, sudah banyak berubah. Bahasa daerah, bahasa Buna’ sedang mengalami kemerosotan, dicapur-adukkan dengan bahasa Indonesia. Pola perumahan dan pola makan berubah. Sistim matapencaharian pun berubah. Sistem pemerintahan tradisional, berubah. Hidup sehari-hari dalam bentuk hiburan rakyat pun berubah. Dan perubahan yang paling hebat ialah perubahan dalam kehidupan beragama, dari beragama secara agama asli, agama Hot Esen telah berubah ke agama Kristen Katolik.

ORANG HENES-LAKMARAS

TETAP BERTAHAN

(2)

62

kenyataan dasar dari manusia itu sendiri bahwa manusia mempunyai empat capital yang harus ditampilkan secara berimbang. Jadi yang tidak berubah dalam masyarakat suku Buna’ ini empat capital itu, sedangkan pengungkapannya berubah terus menerus sejalan dengan pengaruh yang muncul dari dalam atau yang datang dari luar.

Contoh yang paling jelas, agama Kristen Katolik datang dari luar dan diterima oleh masyarakat suku Buna’ sudah selama seratus tahun lebih. Mengapa ritus-ritus agama asli, agama Hot Esen masih diprkatekkan? Pasti ada suatu dasar yang sulit dirubah. Hal inilah yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pengungkapan kepercayaan masyarakat dalam agama itu muncul dari religious capital yang bukan spiritual capital. Pencampur-adukan spiritual capital dan relibious capital ini membuat pertentangan dalam kehidupan masyarakat suku Buna’ dibarengi dengan pertentangan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Semua seluk beluk persesuaian dan pertentangan inilah yang dikaji dalam tulisan ini.

EN BUNA’: ORANG BUNA’ DAN WILAYAHNYA

Suku Buna’ adalah sekelompok masyarakat yang menghuni daerah di pedalaman Pulau Timor, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut taksiran BPS Kabupaten Belu pada tahun 2009 populasi suku Buna’ berjumlahsekitar tiga puluh ribu orang di wilayah

(3)

63 Kabupaten Belu sedangkan di wilayah Negara Timor Leste diperkirakan tiga puluhan ribu orang dan itu berarti pada tahun 2009 suku Buna’ ini berjumlah sekitar enam puluh ribu orang.

Mereka yang menghunibahagian Timor Indonesia, terkonsentrasi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Lamaknen Selatan. Sebagian kecil lainnya tersebar di kecamatan lain dalam Kabupaten Belu, seperti di Kecamatan Malaka Timur dan Kota Atambua.

Suku Buna’ mempunyai keunikan, sebagaimana suku-suku lain di mana pun saja di dunia ini. Suku Buna’ dikenal sebagai orang-orang pekerja keras karena menghuni wilayah pegunungan yang tandus dan kurang subur. Suku Buna’ jugadikenal dan dianggap sebagai kelompok orang-orang yang kasar bahasanya dan kasar perilakunya karena mereka selalu hidup dalam tantangan perang dengan tetangga yang berada di Timor Leste. Tetapi seorang imam katolik, Pater Vincen Wun SVD, yang berasal dari luar suku ini yang lama bekerja di kalangan suku Buna’ memberikan kesaksian, bahwa ”Orang Buna’ itu saya kenal, nampaknya saja kasar, tapi hati mereka baik sekali dan suka menerima orang lain”.

Masyarakat suku Buna’ ini tidak termasuk dalam masyarakat suku terasing. Masyarakat suku Buna’ mengalami perubahan sosial karena adanya pengaruh dari dalam maupun dari luar komunitas mereka. Derasnya pengaruh dari luar menyebabkan masyarakat suku Buna’ sedang berubah drastis, dari yang dinyatakan kolot menjadi modern, dari yang dinyatakan kafir, percaya sia-sia, menjadi penganut Agama kristen katolik. Dari yang biasa makan ubi-ubian sebagai makanan pokokberalih keberas dan raskin (beras untuk otrang miskin) bahkan sampai ke roti.

Masyarakat DHL mengalami suatu gejala perubahan yang menurut pendapat penulis mencengangkan tetapi menegangkan, suatu perubahan yang membuat kelompok masyarakat ini bisa tenggelam dalam arus modernisasi yang menelanjangkan diri mereka dan kehilangan pakaian budaya asli mereka sambil mengenakan pakaian budaya asing yang semakin memiskinkan mereka secara jasmaniah maupun rohaniah.

(4)

64

masih berbahasa Buna’, sering mencampurkan dalam percakapan mereka dengan kata-kata bahasa Indonesia sebegitu banyak sampai tidak dapat dimengerti lagi, bahkan sampai sudah tidak jelas lagi apakah si pembicara berbicara dalam bahasa Buna’ atau bahasa Indonesia. Ada anggapan bahwa jika seseorang semakin banyak memakai kata-kata bahasa Indonesia, maka ia dianggap semakin modern. Kesan inilah yang menjadi salah satu kecemasan penulis yakni bahwa suku ini kemungkinan akan punah secara perlahan-lahan kalau harta budaya mereka mulai ditinggalkan secara cepat atau lambat, secara sadar atau tidak sadar. Contoh yang paling sederhana dari peralihan ini, seperti yang telah dikemukakan di atas yaitu bahwa masyarakat ini mulai meninggalkan ubi dan beralih ke roti.

Gambar 10. Ubi jenis ini yang ditinggalkan masyarakat Buna’ dan

beralih ke roti. Ubi ini bermacam-macam. sesuai penelitian dari Agrippina Agnes Bele (26 tahun), di daratan Timor ada 16 macam, tidak termasuk ubi kayu dan ubi jalar

(5)

65 Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka?

(6)

66

Kelompok suku Buna’ ini dikenal fanatik dalam agama yang dianut sekarang, Kristen Katolik. Rata-rata seratus persen suku Buna’ memeluk agama Kristen Katolik sejak datangnya kekatolikan pada tahun 1875 sebagaimana tercatat dalam sejarah Paroki Nualain (Anton Bele, 1992). Biar mereka sudah menganut agama Kristen Katolik tetapi sampai sekarang praktik agama asli mereka, Piar Hot Esen (Percaya pada Yang Maha Tinggi) tetap dilaksanakan berdampingan dengan praktik agama Kristen Katolik.

Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka?

(7)

67 saudara-saudarinya dan para ponakannya sebagai baba atau na’i (paman), mone paluk (duda) yang harus memulai hidup baru mulai dari nol. Dia pulang ke tengah kaum keluarga di suku rumahnya seperti orang yang kalah judi. Tidaklah mengherankan kalau dari kalangan orang suku Buna’ sendiri menyatakan bahwa untuk suku Buna’ perlu ada emansipasi laki-laki agar laki-laki juga ada hak, jangan hanya isteri saja yang mempunyai hak atas kepemilikantanah, harta dan anak-anak

Kebiasaan menghuni deu hoto (rumah adat yang terbuat dari papan berukir dan atap alang-alang) telah ditinggalkan dan mereka berdiam dalam deu balek, deu ewi, deu hol (rumah beratapkan seng, rumah tipe melayu, rumah tembok) yang dianggap sebagai perkembangan dari yang kolot ke yang maju. Masyarakat suku Buna’ menganggap diri masih kuno dan kolot kalau masih berdiam di dalam deu hut (rumah beratapkan ilalang) dan berdinding papan atau bambu.

Perubahan sosial selalu terjadi. Perubahan ibarat jarum jam, bergerak maju. Tidak pernah mundur. Masyarakat suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor juga demikian. Mereka mengalami perubahan. Hanya sayang, masyarakat sukSu Buna’, khususnya di desa Henes dan Lakmaras selanjutnya disingkat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai kelompok pilihan atau contoh yang mengalami perubahan ini mengungkapkan bahwa perubahan yang mereka alami ibarat orang yang berjalan telanjang. Pakaian budaya asli ditanggalkan dan pakaian budaya baru tidak cocok dengan keadaan mereka sehingga mereka merasa ada suatu kehilangan dan mereka sendiri tidak tahu kehilangan itu dalam hal apa. Masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan dan secara khusus di DHL mengalami perubahan secara total, perubahan dalam budaya dengan macam-macam sub-budaya seperti sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem religi (Peter Burke, 1992).

(8)

68

LOLO GONI’ON TAL :

TIGA KAMPUNG HANCUR

Masyarakat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai bahagian dari suku Buna’, merupakan satu rumpun yang berasal dari leluhur yang bersaudara, sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti terdahulu, Louis Berthe (1972: 25) seorang peneliti dari Perancis.

Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Oleh karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan bahwa kedua kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah pemerintahan, tetapi dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya adalah satu.

Timor Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang (A.D.M. Parera, 1971: 30).

Gambar 11 Bukit Lakmaras. Perkampungan ada di lereng dalembah. Puncaknya sudah kosong, tinggal bekas rumah yang terbakar

(9)

69 Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Timor Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang (A.D.M. Parera, 1971: 30).

Dalam tutur adat orang Buna’, kelompok orang-orang Melus ini masih sering disebut sebagai penghuni yang lebih dahulu menempati empat bukit yang sekarang dihuni oleh masyarakat DHL. Empat bukit itu adalah: Lakmaras, Henes, Abis, Si’arai. Penduduk DHL adalah kelompok suku yang mulai menetap di empat bukit ini sesudah terjadi perang antara suku Melus sebagai penduduk asli waktu itu dengan orang-orang Buna’ sebagai pendatang baru ke wilayah Lamaknen (A.A.Bere Tallo). Pada masa itu perang antar suku masih sering terjadi dan yang menang perang mengusir yang kalah perang lalu empat bukit dikuasai oleh leluhur masyarakat DHL dan didirikan tiga kampung di tiga bukit, Lakmaras, Henes, Abis, sedangkan bukit Si’arai tidak dihuni, tetap dibiarkan kosong. Dari saat itu dikenal tiga bukit sebagai tiga kampung dengan sebutan lolo goni’on, artinya, tiga bukit (Bahasa Buna’, lolo = bukit; goni’on = tiga).

(10)

70

Di sebelah Timur, sungai Atobauk dan di sebelah Barat, sungai Tabara. Aliran dua sungai ini, Atobauk ke sebelah Utara dan Tabara ke sebelah Selatan menjadi batas yang membentuk setengah lingkaran, dan dalam wilayah setengah lingkaran atau busur inilah terletak desa Henes dan Lakmaras.

Dua desa ini mempunyai tiga kampung di atas tiga bukit, kampung Lakmaras di atas bukit Lakmaras di sebelah Selatan, dan kampung Abis di atas bukit Abis di sebelah Utara, merupakan wilayah desa Lakmaras. Di tengah kedua bukit ini, ada bukit Henes tempat didirikan kampung Henes. Tiga bukit ini membentuk satu garis lurus dari Selatan ke Utara dengan urutan, Lakmaras, Henes dan Abis.

INDONESIA

TIMOR LESTE

Peta 2 Wilayah Suku Buna’ dan wilayah desa Henes dan Lakmaras

(11)

71 Sejak adanya pemisahan wilayah berdasarkan pembahagian wilayah penjajahan, dikenal dua kelompok orang Buna’ yaitu kelompok orang Buna’ yang berada di wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Portugal, wilayahnya disebut Timor Portugis dan orang-orangnya disebut Ewi Belis (orang asing berkulit putih) dan wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Belanda disebut wilayah Olandes (Holands) dan orang-orangnya juga disebut orang Olandes.

Jadi ada orang Buna’ kelompok Ewi Belis di Timor Timur sekarang dan orang Buna’ kelompok Olandes yang menghuni wilayah Indonesia sekarang ini. Sampai sekarang (tahun 2011) kedua kelompok ini tetap saling mengunjungi karena kesatuan asal-usul. Kalau ada pesta-pesta adat di kelompok Buna’ Ewi Belis (Timor Leste), kelompok Buna’ Olandes selalu dilibatkan dan sebaliknya, kalau ada pesta-pesta adat di kalangan orang Buna’ Olandes, kelompok Buna’ Ewi Belis selalu dilibatkan pula.

Saling mengunjung antara dua kelompok ini hal yang biasa tanpa ada prosedur administrasi pemerintahan sampai sekarang. Tanah yang berada di perbatasan antara Timor Leste dan Timor Indonesia merupakan tanah padang rumput dan di sana dilepaskan ternak seperti kerbau, sapi dan kuda milik kedua belah pihak.

Gambar 12. Hewan tidak kenal batas. Siang merumput di Timor Leste malam masuk kandang di Indonesia

(12)

72

Pada masa damai, sudah merupakan kebiasaan, ternak milik orang-orang Henes-Lakmaras biasa merumput di wilayah Timor Portugis atau sebaliknya, ternak milik orang Buna’ Ewi Belis (Timor Leste) merumput di Timor Indonesia dengan alasan, hewan tidak kenal batas. Hewan milik orang DHL, siang merumput di Timor Leste, malam dikandangkan di Indonesia. Sebaliknya, hewan milik orang Buna’ di Timor Leste, siang merumput di Indonesia, malam dikandangkan di Timor Leste. Situasi perbatasan ini selalu aman karena adanya tali kekeluargaan antara dua kelompok penghuni ini yang sama-sama anggota dari satu suku, Buna’.

Ada sejarah kelabu di masa lalu. Malapetaka datang pada tahun 1911. Lolo goni’on tal. Perkampungan di tiga bukit hancur. Rumah-rumah adat dari tiga kampung di atas tiga bukit itu dibumi-hanguskan oleh Ewi Belis (Orang asing putih), musuh yang datang dari Timor Portugis. Pertikaian antara dua bersaudara di Lakmaras, Bere Bau raja Lakmaras dibenci oleh saudaranya, Leto Loe yang juga mau menjadi raja, menyebabkan perpecahan. Leto Loe mengundang serdadu dari Timor Portugis dan Bere Bau mengundang serdadu Belanda, dan terjadilah pertempuran besar, tiga kampung direbut oleh Leto Loe dan sekutunya orang-orang Timor Portugis. Semua rumah adat dengan segala harta benda dihanguskan. Sesudah pertempuran reda, ada perundingan dan tiga kampung yang sudah hangus terbakar dipulihkan lagi. Perdamaian diadakan di perbatasan dengan perjanjian, kedua belah pihak tidak boleh saling menyerang lagi dan Bere Bau yang diberi gelar Bei Buis (Nenek yang ganas) tetap menjadi raja Lakmaras sampai tahun 1941. Sedangkan saudaranya, Leto Loe dibunuh atas perintah Bere Buis. Penduduk DHL hidup aman kembali tanpa ada gangguan musuh baik dari dalam maupun dari luar(Naskah Dinas P & K Propinsi NTT, 2004).

(13)

Rumah-73 rumah adat dibangun lagi tetapi warisan berupa harta pusaka dalam bentuk hiasan-hiasan emas dan perak sudah musnah.

Sesudah malapetaka tahun 1911, masyarakat DHL mulai membangun lagi dan rumah-rumah adat berdiri megah di lolo goni’on. Kebanggaan atas deu hoto (rumah adat) sebagai tempat kediaman yang sarat dengan kepercayaan akan leluhur, roh-roh dan Roh Maha Tinggi

Gambar 13. Rumah adat suku Buna’. Rumah milik bagsawan di kampung

(14)

74

ini tidak bertahan lama. Malapetaka baru muncul lagi. Terjadilah lolo goni’on tal ke-dua.

Tahun 1911 bisa dicatat sebagai lolo goni’on tal pertama. Kehancuran kedua terjadi pada tahun 1996. Tiga kampung ini hancur total lagi pada tanggal 11 April 1996, dibakar oleh kelompok perusuh dari Timor Timur yang dikenal dengan nama kelompok Fretelin. Menurut saksi mata, Yosef Mali (43), di kampung Henes, mereka terbangun pada pagi hari tanggal 11 April 1996 dalam keadaan panik. Bunyi tembakan terdengar di mana-mana. Penduduk berlarian dalam kegelapan malam sambil menyeret anak-anak kecil masuk ke dalam semak-semak lalu berlari meninggalkan kampung. Waktu matahari terbit, kampung sudah mereka tinggalkan dan dari jauh mereka melihat rumah-rumah terbakar satu demi satu sampai semuanya habis terbakar di tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis. Keesokan harinya, tanggal 12 April 1996, para pembakar kampung itu tidak ada lagi dan beberapa laki-laki dewasa kembali ke kampung dan mendapati jenazah sesama saudara yang mati tertembak dan tergeletak begitu saja di rerumputan. Jenazah mereka dikuburkan secara adat.

Orang-orang yang mati pada hari yang naas itu, berjumlah sepuluh orang. Dari kampung Lakmaras, empat orang: Bere Manuel, Tes Legul, Yosef MaliMau, Mali Rato. Dari kampung Henes, empat orang: Koi Mali, Mali Ari, Markus Mali Mau, Kornelis Bau. Dari kampung Abis, dua orang: Momen Mau Gulo’, Asa Uju.

Seluruh penduduk dari tiga kampung ini mengungsi ke Atambua, ibu kota Kabupaten Belu dan dua tahun kemudian baru kembali ke kampung, membangun rumah-rumah sederhana dengan susah payah. Pada tahun 2006 sewaktu penelitian ini mulai dilaksanakan, banyak rumah sudah dibangun tetapi dengan tipe ’melayu’ dan tidak ada satu rumah pun yang dibangun dengan arsitektur asli karena sulitnya memperoleh bahan bangunan berupa tiang-tiang yang harus berasal dari hutan. Sesudah kehancuran total pada tahun 1996 ini, tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis menjadi kampung yang secara fisik berubah sama sekali dengan wajah yang berbeda, dari kampung ’adat’ ke ’kampung melayu’.

(15)

75 umum) di puncak tiga bukit ini dirusak, susunan batu-batu dibongkar oleh tentara untuk kepentingan pembuatan tempat perlindungan dari musuh. Kerugian yang diderita oleh penduduk DHL meliputi kerugian material, kultural dan yang paling parah ialah kerugian religius, dalam arti kehilangan tempat dan sarana ibadah agama asli. Sebagai perbandingan, kerugian besar seperti ini dialami juga oleh desa tetangga, yaitu: Desa Nualain yang mengalami kebakaran seluruh rumah adat yang megah pada tanggal 21 Juni 2008 akibat kebakaran tidak disengaja yang berawal dari satu rumah lalu merambat dan menghanguskan rumah-rumah adat yang lain di puncak bukit Nualain.

Kebakaran rumah-rumah adat ini memang tak terhindarkan kalau ada kebakaran di salah satu rumah di dalam kampung karena seluruh atap terbuat dari alang-alang dan ramuan di dalamnya terdiri dari kayu-kayuan yang mudah dilalap api. Desa tetangga yang masih utuh rumah-rumah adat mereka ialah: Ekin dengan rumah adat utama dari suku Mone Goincet yang berdiri megah di samping mot (tempat upacara keagamaan) di tengah kampung dan tipe kampung seperti inilah yang menjadi tipe asli yang sudah hilang lenyap di DHL.

BAKAR AITOS :

PATUNG KAYU - LAMBANG LELUHUR

Aitos itu patung leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan biasanya ditempatkan di hutan keramat milik suku rumah tertentu yang seterusnya dijadikan hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga masyarakat desa di mana hutan keramat itu beradaAitos itu patung leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan biasanya ditempatkan di hutan keramat milik suku rumah tertentu yang seterusnya dijadikan hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga masyarakat desa di mana hutan keramat itu berada

(16)

76

Barth11 (sudah almarhum), mengambil kapak dan membelah aitos

(patung kayu) yang didirikan di Por Gol (tempat keramat) di atas puncak bukit Lakmaras. Seorang saksi mata yang masih hidup, Paulus Tes, (76) menceriterakan pengalamannya dalam wawancara di Atambua tanggal 2 Januari 2011:

“Saya masih kecil pada tahun 1957. Saya yang ambil kapak,

disuruh oleh Tuan Barth. Saya takut, jadi ikut saja. Tuan Barth

itu orang putih besar, suara keras. Dalam bahasa Buna’ yang

lancar, dia bilang, ‘Kamu di Lakmaras ini masih percaya sia-sia.

Kamu percaya aitos ini. (patung kayu setinggi manusia dewasa,

bahasa Buna’: aitos). Ini salah. Kafir. Kamu punya nenek moyang salah. Bodoh. Tuhan Yesus sudah datang. Harus percaya saja pada Tuhan Yesus. Kamu ikut Misa tiap hari minggu, lalu kamu juga masih potong ayam, lihat ayam punya usus, persembahkan

nasi dan daging dalam tenasak (cie goro’, hula ho’on, taka gol

inil) kepada roh-roh (pan muk gomo) dan sembah sujud pada

aitos ini’. Saya sebagai anak kecil, sama-sama dengan orang tua, diam saja. Kami takut. Hanya satu orang yang bersuara waktu

itu, nenek Koi Matas, dia yang bilang, ‘Tuan, kami tidak tahu,

tapi kami punya nenek moyang sudah tinggalkan itu untuk

kami’. Tuan Barth jawab, ‘Koi, engkau sudah serani toh. Mau

percaya kayu dan batu ini atau percaya Tuhan Yesus? Ini salah, percaya sia-sia pada pemali (por hege piar). Mari, kasih api. Saya

bakar kayu ini’. Bapak Koi Matas tidak berdaya dan diam saja.

Saya sebagai anak kecil, umur belasan tahun, lihat Bapak Koi

Matas teteskan air mata. Beberapa orang tua yang hadir, juga

ibu-ibu, menangis, menyesal dan takut. Tuan Barth belah patung

itu, ambil daun-daun kering dan bakar. Sesudah bakar, Tuan

Barth naik kuda dan pulang ke pusat Paroki di Nualain.

Kemudian saya dengar, Pak Bere Tallo, tokoh orang Buna’, Loro

(raja) Lamaknen, dari kampung Gewal, omong dengan Tuan

Barth sehingga aitos di kampung-kampung lain tidak dibakar

11 Tuan Barth, sapaan umat katolik di Lamaknen untuk Pastor mereka, nama

lengkapnya, Pater Ernestus Barth SVD.,(almarhum), seorang imam katolik asal

Jerman yang menjadi Pastor Paroki di Nualain, wilayah Lamaknen dari tahun

1949-1953 dan 1957-1985. Ia sangat fasih berbahasa Buna’ sehingga puluhan

tahun tetap dipertahankan menjadi Pastor di wilayah suku Buna’ ini.

(Informasi ini diperoleh dari P. Yustus Asa SVD, 69, seorang Imam asal desa

(17)

77 lagi. Kalau tidak, di seluruh Lamaknen ini semua aitos pasti

dibakar habis.”

Masyarakat DHL mengalami perubahan dalam sistem religi mereka sejak masuknya agama Kristen Katolik ke wilayah ini pada akhir abad 19. Masyarakat Suku Buna’ sudah mengenal Agama Kristen Katolik sejak tahun 1875.12 Pada tahun 1958, lima puluh tahun yang lalu

12 Keterangan ini berasal dari catatan dalam bahasa Belanda oleh Bruder Petrus

Laan SVD (Penghimpun), yang kemudian diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru, SVD (Penerjemah). Catatan itu dihimpun dalam buku sejarah Gereja di Timor, tiga jilid. Tentang katolikisasi masyarakat DHL, dicatat dalam buku,

Gambar 14 Paulus Tes (71 tahun), saksi mata yang membantu dalam

pembakaran aitos (patung leluhur) oleh Pater Barth (seorang misionaris

(18)

78

(dihitung dari tahun dimulainya penelitian ini, 2008) masyarakat Desa Henes dan Lakmaras, kebanyakan sudah menjadi Katolik, terutama anak-anak dan orang muda. Hanya orang-orang usia lanjut saja yang belum dibaptis menjadi katolik.

Sesuai ingatan dan pengalaman penulis (waktu itu penulis berumur sebelas tahun; lahir tahun 1947), pada tahun-tahun itu semua anak kecil sudah dibaptis menjadi katolik dan kalau sudah masuk Sekolah Rakyat, pada tingkat kelas dua SR (Sekolah Rakyat) waktu anak-anak berusia delapan tahun, anak-anak diterima untuk menerima komuni pertama atau sambut baru.

Sampai tahun 2008, waktu penelitian ini dilakukan, dua desa ini seluruh penduduknya sudah memeluk Agama Kristen Katolik. Penduduk dua desa ini seratus persen katolik, paling tidak secara statistik. Biarpun begitu, ritus-ritus Agama Asli yang percaya kepada

Sejarah Gereja Katolik di Timor, Jilid I, hal.29-31. Dilaporkan bahwa pada tanggal 19 Juli 1875, Pater Dijkman, seorang misionaris dari Belanda, mengunjungi Desa Kewar di wilayah Lamaknen dan membaptis 3 orang anak di Desa itu. Selanjutnya desa-desa lain pun ikut dikunjungi dan di-katolik-kan.

Gambar 15 . Bosok (susunan batu) tempat meletakkan

(19)

79 Hot Esen (Matahari Yang berada di Ketinggian), sebutan untuk Yang Mahatinggi dan kepercayaan akan kekuatan arwah leluhur atau yang oleh teolog Asia, Aloysius Pieris, S.J., (1988: 54-5) disebut ’cosmic religion’ atau ’agama kosmis’ masih tetap dijalankan di samping ritus-ritus Agama Kristen Katolik.

Perubahan itu ditandai dengan upaya ‘penghapusan’ kepercayaan agama asli mereka, agama Hot Esen 13 dan diganti dengan

agama baru, Kristen Katolik yang dibawa oleh misionaris asing dari Jerman dan Belanda. Salah satu upaya penggantian kepercayaan agama asli dengan agama Kristen Katolik adalah dengan kekerasan seperti yang diceriterakan oleh Paulus Tes dalam peristiwa pembakaran aitos (patung leluhur) sebagai sarana ibadat kepercayaan kepada Hot Esen (agama suku atau kepercayaan asli suku Buna’).

Ada juga upaya yang halus yaitu dengan mengajarkan inti ajaran Kristen Katolik melalui guru agama asal suku Buna’ sendiri yang menerjemahkan ajaran itu dari bahasa Melayu (Indonesia) ke dalam bahasa Buna’. Perubahan dalam sistem kepercayaan ini berhasil secara lahiriah tetapi tetap tidak berhasil secara bathiniah. Hal ini terbukti dari mayarakat DHL yang sampai sekarang masih tetap berpegang pada unsur-unsur kepercayaan agama asli di samping unsur-unsur kepercayaan dalam agama baru, Kristen katolik.

13 Dalam seluruh tulisan ini penulis memakai istilah agama Hot Esen untuk

menamakan kepercayaan agama asli suku Buna’. Ada berbagai nama untuk

kepercayaan agama asli sebagaimana ditulis oleh Rachmat Subagya (Romo

W.J.M. Bakker, SJ) dalam bukunya Agama Asli Indoneia 1981, maka untuk

agama asli suku Buna’ di Timor ini nama yang terselubung ialah Hot Esen.

Maka nama yang paling tepat menuru penulis adalah agama Hot Esen. Asalannya ialah orang-orang Buna’ mengarahkan seluruh kepercayaan mereka

kepada Hot Esen dengan arwah leluhur (bahasa Buna’:mugen tata bei mil) dan

roh-roh (pan muk gomo) sebagai perantara. Setiap doa asli suku Buna’ selalu

diawali dan diakhiri dengan sapaan kepada Hot Esen, yang secara lengkap ada

ungkapan, Hot ligi o le esen, artinya, “Matahari, yang terbuka matanya dan

bersinar di tempat yang tinggi”. Sebagai perbandingan, penamaan agama Kristen, berawal di Antiokhia (Kis 11:26) karena Barnabas dan Saulus (Paulus) berbicara tentang kepercayaan mereka akan Kristus Tuhan. Maka suku Buna’ yang percaya kepada Yang Mahatinggi dengan ungkapan Hot Esen, wajar dan

(20)

80

MANEPOU : ANAK MANTU

LAKI-LAKI YANG MALANG

Laki-laki dari suku Buna’, termasuk di DHL bernasib malang seumur hidup. Waktu hidup sebagai seorang suami, laki-laki suku Buna’ berada di bawah kuasa perempuan, si-isteri. Kalau ia kematian isteri dan menjadi duda, maka laki-laki ini akan kembali ke suku rumahnya sendiri dan di sana menjadi orang asing lagi karena para ponakannya belum tentu akrab dengan dirinya.

Pengalaman pria suku Buna’, termasuk di DHL umumnya sama. Adat perkawinan dengan sistem yang mudah dan murah ialah: ton terel. Laki-laki datang dan tinggal di suku rumah isteri. Di kalangan anggota suku rumah isteri ini laki-laki itu disapa oleh saudara-saudari dari isteri dengan sapaan ’kela’ artinya ipar. Orang tua si-isteri menyapa anak mantu ini dengan sapaan ’manepou’ artinya laki-laki baru. Dia datang dan tinggal sebagai orang baru yang statusnya hanya sebagai penumpang karena tidak ada hak atas tanah garapan dan tidak ada hak pula atas anak-anak kandungnya. Tentang nama anak ini ada keterangan dari seorang warga desa Lakmaras, Eustachius Mali Tae yang tinggal di luar desanya dan menetap di Atambua. Ia mempersunting seorang puteri dari Belu Selatan, Maria Ancila Abuki (34) yang berasal dari luar suku Buna’.

Anak-anak yang mengikui garis keturunan ibu, diberi nama sesuai dengan nama leluhur dari suku ibu. Ada nama yang khas untuk perempuan dan ada nama yang khas untuk laki-laki. Jadi nama ayah kandung tidak pernah boleh dipakai oleh anak kandungnya sebab si ayah ini dari suku yang berbeda dengan suku si isteri dan anak-anak yang dilahirkan. Ada hal yang ganjil terjadi kalau keluarga yang ’modern’ dari suku

Buna’ memberikan nama ayah kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, seorang bapa keluarga bernama Yosef Bere. Nama Bere ini adalah nama khas untuk laki-laki dan tidak ada satu

pun kaum perempuan asli suku Buna’ yang bernama Bere.

Bere itu nama laki-laki. Bukan nama perempuan. Dalam kasus keluarga ’modern’ ini sang ayah memberikan nama kepada anak perempuannya, misalnya, Maria Bere. Nama ini menjadi

lucu. Perempuan Buna’ bernama Bere. Aneh. Tetapi itulah

perubahan yang diterima sebagai perubahan baru. Tetapi di

(21)

81 perempuan dan nama laki-laki untuk laki-laki. Pemberian nama tidak boleh dari nama ayah ini karena ada alasan mendasar yaitu anak itu anggota suku ibu dan bukan suku ayah.

Kalau ada pertemuan keluarga, si manepou ini hanya menjadi pendengar dan penonton, tidak ada hak suara. Ada ungkapan, manepou itu di rumah isteri hanya berfungsi sebagai tasu hotol gomo (penjaga kuali) yang bertugas untuk masak daging bagi anggota suku rumah yang sedang berkumpul.

Kalau isteri meninggal dunia, laki-laki yang sudah menjadi duda ini kembali ke suku rumah sendiri tanpa membawa apa-apa. Dia berangkat dengan pakaian di badan, maksudnya tidak lagi menjadi penggarap kebun milik suku isteri dan anak-anak kandungpun ditinggalkan. Manepou yang malang. Dia memulai hidup baru dan kalau kawin lagi, maka nasib yang sama seperti yang dialami dengan isteri pertama akan dialami lagi. Dia menjadi kela (ipar) bagi orang-orang baru dan menjadi manepou untuk bapa dan mama mantu baru. Kebiasaan ini menyebabkan banyak laki-laki suku Buna’ cukup banyak yang mengambil isteri dari luar suku sendiri.

(22)

82

Seorang suami atau bapa keluarga di kalangan suku Buna’ mempunyai tanggung-jawab untuk memperhatikan anak-anak dari saudari-saudarinya. Dia menjadi baba atau na’i (paman) yang mempunyai kewajiban memberikan jaminan untuk pendidikan para

Gambar 16. Pasangan isteri dan suami: Bernadeta Ili dan Yosef Mali. Isteri

dari Lakmaras, suku Gelaba’, suami dari Henes suku Maubesi. Suami berpindah

(23)

83 ponakannya. Sedangkan anak kandungnya sendiri menjadi tanggungan baba atau na’i mereka.

Ada suami atau bapak keluarga yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh tanggungjawab sambil menanggung pula beban pendidikan para ponakannya. Ini dianggap berlebihan. Kalau si bapak ini membesarkan dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya sambil melupakan para ponakannya, maka laki-laki ini dianggap tidak bertanggung-jawab. Karena anak-anak kandungnya itu bukan warga sukunya, sehingga membesarkan dan mendidik anak kandung sama arti membuat baik suku orang lain dan membiarkan sukunya sendiri terlantar.

Kenyataan ini masih berlangsung sampai sekarang dengan alasan, suku itu warisan leluhur, sedangkan isteri dan anak-anak itu hasil usaha sendiri dalam mencari jodoh. Leluhur menuntut dari setiap laki-laki dalam suku untuk menjaga nama baik dari suku sebagai warisan leluhur. Laki-laki yang dianggap berhasil dan bertanggung-jawab adalah laki-laki yang dalam status manepou atau kela di suku rumah isterinya, tetap membesarkan anak-anak dari saudari-saudarinya atau anak-anak dari para ponakan puterinya yang adalah anggota suku sendiri.

Setiap laki-laki suku Buna’ dalam tradisi asli tidak terlalu mengaharapkan para kela (ipar) untuk bertanggung-jawab penuh bagi anak-anak mereka karena seorang pria suku Buna’ yakin bahwa para iparnya itu mempunyai tanggung-jawab untuk ponakan-ponakan mereka. Syukur kalau ada kela (ipar) yang memperhatikan juga anak-anak kandungnya yang adalah ponakan dari laki-laki deu gomo (tuan rumah). Mata rantai tanggung-jawab yang berat sebelah ini belum bisa diputuskan sampai sekarang biarpun ada intervensi dari pihak pemimpin Gereja Katolik dan Pemerintah. Masyarakat suku Buna’ masih merasa aman dengan sistem ini, hanya ada kecualian bagi para pria suku Buna’ yang sudah berpendidikan. Mereka mulai merobah sistem in dengan cara bertanggung-jawab penuh untuk membersarkan dan mendidik anak-anak kandungnya sambil tidak melupakan kewajiban untuk membantu para ponakan di suku rumah sendiri.

(24)

84

suku rumahnya tanpa kehilangan apa pun, karena tanah garapan dan anak-anak tetap berada di tangannya. Hubungan dengan keluarga suku mendiang suami hanya sebatas kerabat biasa. Sedangkan para saudara atau saudari dari mendiang suami mengganggap anak-anak dari almarhum ini hanya sebatas gowo (anak) tanpa ada kewajiban untuk menanggung biaya hidup mereka.

MA’AS : PACEKLIK RUTIN

Masyarakat DHL yang sekarang ini selalu mengeluh karena mengalami paceklik atau rawan pangan secara rutin setiap tahun. Sewaktu ditanya mengapa mereka mengalami kelaparan setiap tahun, seorang warga dari desa Henes, Yohanes Mau (65 tahun) yang menjabat pamong desa memberikan penjelasan pada Oktober 2010:

”Kami alami kelaparan terus menerus setiap tahun itu bukan karena kami malas. Lihat kami punya tangan ini, kasar karena pegang tofa. Kebun yang kami garap yah, itu-itu saja dari tahun ke tahun. Kami tidak bisa perluas kebun karena kebun itu milik suku, warisan leluhur. Tanah yang kami garap ini tidak subur lagi. Hasil jagung tidak seberapa. Padi lebih tidak subur lagi. Kami bergantung pada ubi-ubian dan kacang-kacangan. Untuk makan sendiri tidak cukup apa lagi untuk jual. Yah, kalau kami panen sekitar bulan April, kami makan dan sekitr Oktober atau Nopember, makanan sudah habis. Jagung sisa untuk bibit dan padi juga hanya untuk bibit saja. Untuk makan, tidak ada lagi. Untung ada raskin (beras untuk orang miskin). Kalau tidak, kami sudah mati semua”.

(25)

85 panjang), tir (turis), pau (sejenis kacang) ada macam-macam mulai dari yang beracun, pau lelo sampai kepada jenis yang tidak beracun, seperti pau uor, pau loi. Semua jenis kacang-kacangan ini ditanam sebagai tanaman sela di ladang tetapi hasilnya tidak seberapa. Lebih banyak hanya sebagai penghias ladang seturut tradisi bercocok tanam yang belum diperbaharui sampai sekarang. Ubi-ubian yang begitu banyak macamnya selain ubi kayu dan ubi jalar, tidak ditanam tetapi dibiarkan begitu saja tumbuh di ladang dan masyarakat sudah puas dengan hasil yang ada. Ubi-ubian yang mudah tumbuh dan dapat menjadi kebutuhan akan pangan tradisional ini sudah ditinggalkan secara perlahan-lahan karena sudah digeser dengan pola konsumsi baru, yaitu beras padi yang didatangkan dari luar pulau Timor.

Wilayah dua desa ini sebenarnya cukup luas untuk dijadikan lahan pertanian yang ditanami segala macam tanaman tradisional untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi arus modernisasi yang mengalihkan perhatian penduduk dari ubi ke beras malah ke roti membuat masyarakat DHL semakin tergantung pada dunia luar dalam hal pangan dan juga dalam hal-hal yang lain seperti sandang dan papan. Kain tenun asli sudah diganti dengan kain sarung buatan Jawa. Piring dari kayu sudah diganti dengan piring porselin. Periuk tanah yang biasa mereka buat dari tanah liat sudah diganti dengan periuk besi. Atap rumah alang-alang sudah diganti dengan atap seng. Uang yang mereka peroleh dari hasil ternak seperti kambing, babi, sapi dan kerbau, habis dibelanjakan untuk membeli bahan makanan. Ubi-ubian yang mereka dapat hasilkan sendiri sudah ditinggalkan. Jajan anak-anak sudah beralih dari ubi ke roti yang didatangkan dari kota Atambua yang berjarak 56 km dari Henes dan Lakmaras. Roti yang dibakar di Atambua pada pagi hari sudah tiba di dua desa ini karena pada musim kemarau arus transportasi cukup lancar dengan sarana bis, bemo atau sepeda motor. Masyarakat mempunyai anggapan kalau makan ubi dianggap kolot, miskin. Makan nasi dan roti baru dianggap maju, modern, ikut zaman.

(26)

86

permasalahan, mengapa sampai perubahan itu terjadi yang nampaknya ke arah negatif lebih banya daripada ke arah yang positif.

Watak dan perilaku satu kelompok masyarakat dapat dikenal dengan baik melalui pengamatan kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat desa Henes dan Lakmaras (DHL = Desa Henes dan Lakmaras) hidup di pegunungan di pedalaman Pulau Timor yang sehari-hari bekerja sebagai petani sederhana ditunjang dengan kegiatan sebagai peternak tradisional. Kelompok masyarakat ini sedang mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Kelompok masyarakat DHL ini merupakan bahagian dari suku Buna’ yang menghuni wilayah Timor Barat milik Indonesia dan Timor Leste bahagian Timur.

Perubahan kehidupan masyarakat di pedalaman yang terkesan kolot dan statis inilah yang akan dilihat melalui kebiasaan, perangai dan watak dalam kehidupan sehari-hari, untuk diketahui sejauh mana mereka berubah sambil menjaga tradisi leluhur mereka dan sejauh mana mereka meninggalkan tradisi yang mereka warisi sejak turun-temurun.

EN BUNA’ : SUKU BUNA’

Masyarakat Suku Buna’ ini berbahasa Buna’ sebagai salah satu bahasa yang unik karena kesederhanaan kata-katanya dan kesederhanaan tata-bahasanya. Menurut James Fox (2009) bahasa Buna’ ini termasuk dalam rumpun Trans New Guinea yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bahasa-bahasa di Papua Barat.

(27)

87 Suku Buna’ ini secara umum mempunyai kekhasan dalam hidup berkelompok. Pemimpin Suku Buna’ sekarang ini dikenal sebagai Loro yaitu gelar setingkat di atas Na’i atau raja. Namanya Ignatius Kali. Di kediamannya di Atambua, Bapak Ignatius Kali yang disapa oleh masyarakat dengan sapaan Ama Loro ( bapa loro) didampingi isterinya yang biasa disapa Eme Loro (mama Loro) memberikan keterangan tentang suku Buna’ sebagai berikut:

Kami orang Buna’ ini dikenal pekerja keras. Kami hidup di

tanah yang tandus, di pegunungan. Kami kerja. Kami tidak banyak bicara. Kami suka terus terang. Musuh ya musuh, kawan yah kawan. Kami terkenal sebagai orang yang berani karena lama hidup di perbatasan antara Timor Portugis dan Timor Belanda. Kalau kami penakut, kami habis. Punah. Kami punya leluhur bertahan karena berani. Kami perang ya perang.

Kami punya leluhur usir orang Melus dan tetap bertahan

sampai sekarang. Kami punya keluarga yang di Timor Timur

(sesama suku Buna’) selalu ada hubungan dan saling berkunjung

untuk urusan adat istiadat. Satu-satu kali ada gangguan, tapi itu politik kotor dari orang-orang yang mau cari untung di perbatasan. Ada pencuri yang suka ganggu keamanan di perbatasan. Kalau orang biasa, tidak pernah ribut. Jadi kalau ada pertumpahan darah di perbatasan, bukan permusuhan antara

sesama kami orang Buna’. Kami diperintah oleh adat istiadat

untuk tidak boleh saling mengganggu apalagi membunuh

sesama orang Buna’. Kami semua terikat oleh ikatan darah.

Orang lain juga kami tidak boleh ganggu sembarang. Itu ajaran

leluhur. Dan kami percaya Hot Esen (’Matahari yang Tinggi’,

gelar untuk Tuhan Allah) tidak setuju dengan perbuatan yang menyusahkan orang lain. Kami buat susah orang, nanti orang

lain juga buat susah kami. (Wawancara langsung di Atambua,

tgl. 2 Januari 2011 ).

(28)

88

ini terus berpindah ke pedalaman dan akhirnya menetap di wilayah pedalaman Timor yang ada sekarang.

Dari masyarakat Suku Buna’ ini diambil kelompok masyarakat desa Henes dan desa Lakmaras sebagai sampel dengan alasan, dua desa ini merupakan satu kesatuan yang erat tali kekerabatannya dan menggambarkan ciri masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan. Dua desa ini dipilih sebagai sasaran penelitian karena sebagai satu kesatuan adat, dua desa ini sama-sama mengalami perubahan-perubahan (Soerjono Soekamto, 2007, p. 299-300) dari tahun ke tahun. Masyarakat di dua desa ini, Henes dan Lakmaras, selanjutnya disebut masyarakat DHL diyakini sebagai satu rumpun yang berasal dari leluhur yang bersaudara. Oleh karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan bahwa kedua kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah pemerintahan, tetapi dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya adalah satu.

Di wilayah Kabupaten Belu, masyarakat suku Buna’ ini merupakan salah satu dari empat kelompok masyarakat yang menghuni Kabupaten Belu. Dari segi besarnya jumlah anggota suku-suku ini dapat dikemukakan berturut-turut: Suku Tetun merupakan suku yang terbanyak anggotanya. Suku kedua adalah suku Buna’, suku ketiga adalah suku Dawan (Manlea) dan suku keempat adalah suku Kemak.

Empat suku inilah yang menghuni wilayah Kabupaten Belu yang mempunyai Ibukota Atambua dan Kabupaten Belu ini menjadi Kabupaten terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Garis batas antara Kabupaten Belu sebagai wilayah Indonesia dengan wilayah Timor Leste ditentukan oleh bangsa penjajah Portugal dan Belanda, sedangkan secara tradisi baik dari segi etnis, budaya dan bahasa, tiga suku di Kabupaten Belu yang masih mempunyai kekerabatan yang sangat dekat sesamanya di Timor Leste, yaitu: Suku Tetun, Suku Buna’ dan Suku Kemak.

(29)

89 Kelompok masyarakat DHL dalam kesatuan dengan sesama anggota suku Buna’ berpindah pada pertengahan abad 19 dari sebelah Timur (wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Timor Leste) ke arah Barat, ke wilayah yang sekarang merupakan bahagian dari Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni

Peta 3 Peta Kabupaten Belu

(30)

90

wilayah Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan serta Kabupaten Kupang. Dalam tutur adat, kelompok orang-orang Melus (Louis Berthe, 1972) 14 ini masih sering disebut sebagai penghuni yang

lebih dahulu menempati tiga bukit yang sekarang dihuni oleh masyarakat DHL dengan sebutan lolo goni’on (tiga bukit). Tiga bukit itu adalah: Lakmaras, Henes, Abis. Ada satu bukit yang lain bernama Siarai tetapi tidak dimasukkan sebagai kesatuan bukit sesuai tutur adat karena bukit Siarai tetap tidak pernah dikuasai sewaktu leluhur masyarakat DHL pertama kali menduduki wilayah ini. Jadi penduduk DHL adalah kelompok suku yang mulai menetap pada pertengahan abad 19, yaitu pada tahun 1859 saat terjadi perang antara suku Melus dengan orang-orang Buna’ sebagai pendatang baru ke wilayah Lamaknen.

Sejak saat itu kelompok suku Buna’ menjadi penghuni tetap wilayah Kecamatan Lamaknen sampai saat ini, termasuk kelompok yang menjadi subyek penelitian, masyarakat DHL.

Dalam Bab ini kelompok masyarakat DHL akan dilihat dari sudut adat istiadat mereka yang terdiri dari unsur-unsur: adat pergaulan, inisiasi (kelahiran, remaja, perkawinan) dan kematian. Dari unsur-unsur adat ini masyarakat DHL akan dilihat kehidupannya, hal yang mana warisan leluhur yang masih bertahan dan mana yang sudah menjadi campuran dari pengaruh modernisasi.

MOLO A – TEGE REZEL:

MAKAN SIRIH - TANDA SALING MENERIMA

Adat istiadat merupakan kebiasaan yang hidup dan berlangsung di kalangan satu masyarakat dalam waktu yang lama dan menjadi pola hidup yang ditaati sebagai satu kewajiban dalam berperilaku. Masyarakat DHL sampai sekarang dikenal sebagai masyarakat yang suka

14 Louis Berthe, penulis buku Bei Gua – Itinéraire des ancéstres, Mythes des Bunaq de Timor, Centre de la Recherche scintifique, Paris, 1972, adalah seorang peneliti dari Perancis atas beaya UNESCO yang mengadakan penelitian selama dua tahun, 1957-1959. Dia adalah peneliti satu-satunya yang meneliti

suku Buna’ dari segi Etnologi dan menulis buku Bei Gua, yaitu buku dalam

bahasa Perancis yang berisi silsilah leluhur orang-orang Suku Buna’. Sedangkan

isterinya, Claudine Berthe membuat penelitian tentang ilmu botani dan

menerbitkan buku A Gua – riwayat bahan pangan dan tumbuh-tumbuhan lain

(31)

91 bergaul dan suka menerima tamu. Kebiasaan menerima sesama ini dinyatakan dalam adat ’molo a’. Dalam bahasa Buna’, molo artinya sirih, a artinya makan. Sirih ( piper betle L atau chavica aurculata Miq ) yang lazim dipakai ialah daun sirih, sedangkan sejenis sirih yang berbuah, buahnya tidak dipakai dalam adat tetapi hanya untuk dimakan biasa saja. Molo a, artinya makan sirih.

Saling berkunjung di antara sesama warga di dalam kampung, selalu diawali dan diakhiri dengan adat molo a. Kunjungan resmi atau tidak resmi selalu diisi dengan acara molo a ini. Mengapa?

Gambar 17. Ibu Theresia Ili, asal kampung Lakmaras, menikah dengan Leo Mali, tetap berpegang pada adat

(32)

92

Seorang ibu asal DHL yang sudah lama menetap di kota Atambua, bernama Theresia Ili,15 umur 73 tahun mengatakan dalam

wawancara tanggal 4 Januari 2011 di Atambua:

Adat molo a itu satu ciri khas kita. Memang orang lain di Timor

ini masih ada adat itu juga. Kita hidup ini harus saling menyapa.

Tidak bisa saling menyapa dengan kata-kata kosong. Molo, pu,

hau, bako, (sirih, pinang, kapur, tembakau) empat barang ini berpasangan. Kita punya orang tua, biar tidak makan sepanjang

hari tidak apa, tapi kalau tidak ada molo pu, mereka rasa macam

mau mati. Kita punya orang sudah menjadi satu dengan molo pu.

Itu sudah menjadi kebutuhan pokok yang paling utama. Karena itulah, menyapa orang, berarti beri hati kepada orang lain, yah

dengan beri dari hal yang paling melekat pada dirinya, molo pu

itu. Sampai sekarang, biar saya ini dianggap sudah hidup sebagai orang ’kota’, sirih pinang tetap ada dalam rumah, dan siapa pun saja yang datang, saya suguhkan sirih pinang. Dia makan, terserah, tidak makan pun tidak apa. Tergantung dari kebiasaan tamu itu. Tidak bisa paksa. Tapi dari kita, itulah adat kebiasaan kita, menyapa orang.

Kalau kita bertandang ke rumah-rumah penduduk di DHL sekarang ini, kita langsung disapa beramai-ramai oleh tuan rumah mulai dari yang tua sampai yang termuda dengan sapaan, ”Man na baa oe? (Sudah datang?) Tuen helo na man? (Datang sejak kapan?).” Selanjutnya diberi suguhan sirih pinang dan dipersilahkan dengan sapaan, ”Molo a” (makan sirih).

Setiap orang Buna’ yang sudah dewasa dan sudah berumah tangga langsung dikenal dengan kebiasaan membawa ke mana-mana tempat sirih pinang. Untuk laki-laki disebut kaluk 16, untuk perempuan

disebut rene bako a 17. Kalau ditanya umur seseorang laki-laki pada masa

15 Ibu Theresia Ili Bere lahir tgl. 3 Mei, 1938, di Lakmaras, pernah menjalani

pendidikan pembantu perawat di RKZ Surabaya, tamat 1957. Kemudian menjadi pegawai negeri sipil di Atambua lalu pensiun dan menetap di Atambua

tetapi selalu ke kampung Lakmaras mengikuti setiap upacara adat.

16 Kaluk, kantung tempat sirih pinang dari kaum laki-laki, terbuat dari kain

tenun atau anyaman daun pandan/lontar, diberi tali dan digantung di bahu. Di dalamnya diisi berbagai perlengkapan kecil seperti opa , kuni, hau, turi’ gol

(pisau) dan biji-bijian seperti jagung dan kacang-kacangan.

17Rene bako a, bakul kecil tempat sirih pinang dari kaum perempuan, terbuat

(33)

93 lalu dan dia tidak mengingat dengan pasti maka sering dibuat penjelasan, ”Waktu itu saya sudah bawa kaluk”. Itu artinya dia sudah dewasa dan sudah kawin. Kaluk dan rene bako a ini menjadi simbol harga diri seseorang sehingga ke mana-mana selalu dibawa dan kalau beristirahat, selalu digantung di tempat yang layak. Kalau diletakkan di tanah, tidak boleh dilanggar, kalau diambil oleh anak, tidak boleh digoyang-goyang karena diyakini akan membuat pemiliknya pusing. Begitu eratnya kaluk dan rene bako a dengan si pemiliknya sampai saat tidur pun kaluk dan rene bako a ini selalu berada dekat pemiliknya di bahagian dekat kepala, entah diletakkan atau digantung. Tidak pernah boleh diletakkan di bahagian kaki pemilik waktu tidur karena hal itu dianggap menghina atau meremehkan diri pemilik. Kaluk dan rene bako a biasa disebut sebagai melo (nyawa) dari pemilik.

Adat molo a menjadi ciri khas pergaulan sehari-hari suku Buna’. Kalau kaum laki-laki dewasa berkumpul, yang pertama-tama dikeluarkan dan diletakkan di depan tamu ialah: kuni 18. Di dalam kuni

ini ada sirih dan pinang. Kelengkapan lain ialah hau 19 (kapur), tabung

bambu berukir, tempat untuk mengisi kapur. Kapus ini biasa dimakan bersama sirih dan pinang supaya sirih dan pinang menjadi satu dalam mulut dan menghasilkan warna merah. Warna merah dari sirih pinang diartikan sebagai lambang persatuan, keakraban, kehangatan dan kebahagiaan. Kalau seseorang sedang mengalami kesulitan, dia biasa perlengkapan kecil lain. Sering dianyam dengan tambahan hiasan berwarna-warni.

18 Kuni, tempat sirih pinang terbuat dari bambu, milik kaum lelaki, ukuran

tingginya satu jengkal, diberi tutupan dan di dalamnya diisi sirih dan pinang.

Pada waktu tertentu, dipakai untuk tempat minum sopi atau air. Tutupan kuni

ini menjadi tempat isi sopi dan dipertukarkan sopi itu dalam perjamuan adat sebagai tanda mempererat ikatan keluarga atau tanda kesepakatan dalam suatu perjanjian.

19 Hau, artinya kapur yang dibuat khusus untuk kelengkapan makan sirih

pinang. Juga dimengerti sebagai tabung tempat isi kapur, terbuat dari bambu berukir, panjangnya kira-kira satu setengah jengkal orang dewasa. Di bahagian

penutup dari hau ini digantungkan alat-alat: hau gero’ gie (alat mengambil

kapur dari tabung terbuat dari tanduk kerbau atau logam), sael got dewe use’

gie (sikat gigi yang terbuat dari bulu babi yang diikat menjadi satu) dan dewe

hota gie (alat tusuk gigi yang dibuat dari tanduk kerbau). Sesudah makan

makanan, alat-alat ini langsung dipakai, yaitu dewe hota gie dipakai untuk

membersihkan gigi, disusul dengan menyikat gigi memakai sael got dewe use’

gie, kemudian baru mulai makan sirih dan mengambil kapur memakai hau

(34)

94

mengungkapkan kesedihannya dengan ungkapan, ”Molo a nege mea ni’ ”. (Saya makan sirih tidak merah). Kalau dalam keadaan gelisah dan resah, ada ungkapan, ”Molo a giesa nimil no man ni’ ” . (Hati saya tidak tenang untuk makan sirih).

Untuk kaum perempuan dewasa yang sudah kawin, rene bako a merupakan kelengkapan yang dibawa ke mana-mana. Di dalam rene bako a ini ada opa (senipi), anyaman dari daun pandan atau daun lontar yang terdiri dari tiga lapis dan dibuat pasangan dengan dasar dan tutupan, di dalamnya diisi sirih dan pinang. Opa ini ada dua macam. Opa dalam bentuk kotak segi empat untuk kaum perempuan, dinamakan opa pana (senipi perempuan), dan opa mone (senipi laki-laki) terbuat dalam bentuk pipih untuk kaum laki-laki. Untuk laki-laki, tempat sirih pinang itu bisa berupa opa mone atau kuni, atau dua-duanya. Kaum perempuan tidak pernah memakai kuni.

Di depan tamu biasanya tersaji baik opa pana, opa mone dan kuni. Semuanya berisi sirih pinang. Kalau tamu sampai saatnya diberi hidangan minuman dan makanan, opa dan kuni ini disingkirkan dahulu. Sesudah makan dan minum, opa dan kuni dikeluarkan lagi sebagai sajian molo pu (pu = pinang) sampai pertemuan selesai. Dengan demikian adat molo a menjadi bahagian sangat penting dalam pertemuan harian orang suku Buna’. Mengapa adat molo a ini begitu sentral dalam pergaulan harian orang suku Buna’?

Adat molo a ini sarat dengan berbagai simbol. Pertama, simbol kehidupan, damai dan ketenangan. Tali kekeluargaan dan tali persahabatan ditandai dengan adat kebiasaan molo a (makan sirih). Kalau ada kerenggangan atau perselisihan, biasanya kedua belah pihak tidak saling menegur dan dengan sendirinya tidak saling menyuguhkan sirih pinang. Perseteruan pulih kembali sesudah ada upaya untuk bertemu dan saling menukar sirih pinang dan diadakan adat molo a. Kalau dua pihak saling berseteru, tetangga biasa mengungkapkan, ”Hala’i tie molo a ni nare oa”. (Mereka sudah lama tidak saling menerima untuk makan sirih). Saling menyapa ini biasa ditandai dengan pertukaran sirih pinang. Persaudaraan ditandai dengan adat molo a, perselisihan antara sesama pun diselesaikan dengan adat molo a.

(35)

95 jumlah belis yaitu ’harga’ perawan dalam bentuk sejumlah uang dan hewan yang diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan yang dianggap masih perawan.

Kedua, sebagai tanda kekuatan magis. Molo (sirih) sendiri sudah dijadikan satu simbol kehidupan manusia. Sirih yang mudah hidup dan memanjat di pohon dengan akar yang kokoh baik di dalam tanah maupun yang melekat di batang pohon dijadikan simbol dari kehidupan orang suku Buna’ yang hidup dalam tantangan penuh kekerasan baik dari alam maupun dari musuh-musuh sekitar.

Seorang mako’an (ahli adat), Koli Uka (74 tahun, almarhum, meninggal dunia pada tgl. 4 Februari 2010) memberikan keterangan di kampung Abis, wilayah desa Lakmaras, Oktober 2008:

”Sirih itu lambang kehidupan kita. Kita manusia itu tumbuh, merangkak naik dan melekat di pohon. Seperti sirih, kita manusia juga melekat di kita punya tanah, kita punya adat. Kita harus pegang teguh kita punya adat seperti akar sirih yag melekat kuat di pohon. Karena itulah kita punya leluhur suka makan sirih dan sirih itu sendiri beri kekuatan untuk badan. Kami orang kampung ini biar tidak makan makanan tidak apa, tapi tidak bisa tahan kalau tidak makan sirih”.

(36)

96

penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) untuk dimintai kekuatan gaib supaya si sakit diberi kesembuhan.

Kalau seseorang mau mencelakakan sesamanya dari jarak jauh, molo ipos (kunyahan sirih pinang) dikeluarkan dari mulut, diletakkan di telapak tangan dan dilemparkan ke arah tempat tinggal orang yang dianggap musuhnya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa disakiti oleh seseorang, maka tindakan yang sama dibuat untuk menghilangkan kekuatan pihak lawan. Juga ada cara yang lain, sirih yang sudah dijadikan personifikasi dari orang yang dimusuhi diletakkan di tanah dan ditindis dengan batu. Cara ini dibuat dengan harapan orang yang namanya disebut dan dilambangkan dengan sirih itu mendapat tekanan berbagai malapetaka.

Koli Uka memberikan penjelasan:

(37)

97 Ketiga, sebagai tanda berkat. Upacara kaba 20 diadakan dengan

urapan di dahi, dada dan kaki tangan seseorang dengan dozul (air ludah hasil kunyahan sirih pinang) dan molo ipos (kunyahan sirih pinang) dari makoan (ahli adat) atau en matas (orang tua) untuk mendapat kekuatan dengan tujuan tertentu. Sebelum bepergian jauh, upacara kaba ini dilaksanakan di bosok (tempat upacara rumah suku) atau di mot (tempat upacara umum). Seorang imam katolik, Romo Benyamin Mali, pada asal suku Buna’, sesudah ditahbiskan menjadi imam dan sebelum diutus ke Jawa (Surabaya) pada tahun 2007, menurut ungkapan tertulisnya di internet, masih diupacarakan dengan upacara kaba ini. 21

20Kaba adalah upacara pengolesan seseorang di dahi, dada dan anggota badan

seperti tangan dan kaki agar seseorang mendapat kekuatan gaib untuk memperoleh suatu hasil dalam perjuangan dan terluput dari berbagai malapetaka.

21 P. Benediktus Bere Mali, SVD., adalah seorang imam asal suku Buna’ yang

mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat suku Buna’. Dia menulis sebuah buku tentang suku Buna’ dengan judul ‘Kembali ke Akar’. Kutipan di atas ini diambil dari internet: Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB. (Selasa, 20 Juli 2010).

Gambar 18. Ketua Suku Gelaba’, Petrus Mau memberikan kaba kepada seorang warga sukunya, Kristoforus Amadeus Bele

(38)

98

Upacara kaba juga dibuat oleh pihak ketua suku malu (suku pemberi mempelai perempuan) kepada suku aibaa (suku laki-laki penerima mempelai perempuan). Tujuan upacara kaba ini adalah permohonan rahmat dari mugen (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) agar suku malu mendapat keturunan. Sirih pinang tetap menjadi sarana uama dalam upacara kaba ini. Sirih yang didoakan biasa juga dibawa oleh orang yang didoakan dan disisip di ikat pinggang atau ditaruh dalam tempat khusus. Sirih seperti inilah yang sering diisi di kaluk atau rene bako a.

Mako’an Koli Uka menjelaskan:

”Sirih untuk melindungi orang, biasa ditaruh di dalam opa,

tangan diletakkkan di atas lalu didoakan begini: Hot ligi o le esen, tata bei mil, opi o op gomo, nei nie en lotu bari, gere-gere mal, gua-gua gene, gini hani dai-rai, muk gebu gene, pan giri gene, gini hone hoon, gini u sagal, gini gon libu’, gini giri libu’. Hoeee, nei niol na ba’a, nei nie halon na ba’a. (Terjemahan bebas: Matahari yang selalu bersinar, para leluhur, roh-roh penghuni lembah dan bukit, kami punya orang ini, lindungi dia di mana-mana, hindarkan dia bahaya, di pelosok bumi di kaki langit,

berikan dia rezeki hasil kerajinan tangan dan kaki. Hoeee,

(seruan), inilah suara kami, inilah permohonan kami). Sesudah itu beberapa daun sirih diserahkan dan orang itu makan satu atau dua daun, sedangkan yang lain diisi di saku atau disisipkan di pinggang.”

Keempat, sebagai sajian. Daun sirih yang utuh, bagus dan segar diletakkan di dalam uhus (anyaman dari daun pandan atau lontar seperti caping orang Jawa). Uhus yang paling besar dan bagus menjadi tempat sirih untuk Hot Esen. Kepada mugen ( arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh), disiapkan sejumlah uhus yang lebih sederhana sebanyak leluhur dan roh-roh yang mau disapa. Sirih yang sudah diletakkan dalam uhus ini didoakan lalu diletakkan di tempat-tempat sakral tempat yang diyakini sebagai tempat hunian arwah dan roh-roh, atau kalau tempat yang dimaksud itu jauh, maka sirih itu dibawa ke sungai dan dibiarkan dibawa oleh aliran air.

(39)

99 diletakkan di kubur-kubur. Untuk keluarga yang makamnya jauh, sirih diletakkan di persimpangan jalan atau diletakkan dalam air yang mengalir di sungai supaya dibawa ke tempat yang jauh itu malahan ke seberang lautan.

Jenazah dari orang tua yang sangat dihormati, entah laki-laki atau perempuan, biasanya disemayamkan berhari-hari dan dijaga oleh kerabat dan warga masyarakat sekitar dengan berbagai macam holon (ratapan), baito’an (tutur adat) dan kawen (lagu hiburan untuk berjaga). Pembantaian hewan terus diadakan. Saat yang paling dinantikan oleh segenap kaum keluarga ialah saat buih ke luar dari mulut jenazah. Waktu itu semua kaum keluarga berada sedekat mungkin dengan jenazah karena buih yang ke luar itu diyakini sebagai sapaan dari almarhum/almarhumah yang mau meninggalkan kesaktiannya kepada kaum keluarga. Daun sirih yang utuh dicelupkan pada buih ini dan dibagikan kepada segenap anggota keluarga mulai dari yang tertua sampai yang termuda. Sirih itu disebut molo mami (sirih yang harum) dan sesudah diterima, disimpan untuk dibawa ke mana-mana sebagai kenangan pada si mati.

Menurut penjelasan dari Kela Berek (78 tahun) seorang ketua suku dari Lakmaras (sudah almarhum, meninggal tahun 2009) dalam wawancara tahun 2008 di Atambua:

”Molo mami (sirih harum) itu lambang orang mati. Kalau ada orang yang hampir mati, ada tanda, kita biasa cium bau mayat,

dan itu kita bilang kita cium molo mami. Kalau orang mati itu

(40)

100

Mola a dengan segala falsafah hidupnya ini merupakan salah satu ciri khas dari suku Buna’ di DHL yang masih dipraktekkan sampai sekarang. Namun pelaksanaannya sudah banyak diwarnai oleh berbagai tafsiran dan pengaruh dari ajaran kristen yang dibawa oleh misionaris Gereja Katolik. Mengapa masih bertahan dan sampai kapan akan bertahan merupakan bahan kajian lebih lanjut dalam penelitian ini.

HOTO TUKA : KELAHIRAN ANAK

Kelahiran seorang anak di kalangan suku Buna’ diterima dengan gembira dan diadakan upacara adat yang masih kuat berakar.

Tahap pertama, ialah upacara hoto sau (pemberkatan api). Si ibu yang melahirkan berada dekat perapian di dalam rumah adat dan tetap tinggal di situ selama empat puluh hari. Urusan mandi dan buang air besar pun dilaksanakan di tempat ini karena tempat melahirkan itu adalah tempat khusus, namanya dil.22 Struktur rumah adat itu adalah

rumah panggung sehingga semua kotoran jatuh ke bawah dan dibersihkan oleh hewan piaraan seperti babi dan anjing yang bebas berkeliaran di kolong rumah. Untuk api yang dinyalakan dekat ibu bersalin itu sudah disiapkan kayu khusus, yaitu kayu kesambi yang kuat dan dipotong dari batangnya oleh ayah si bayi. Kayu ini sudah dipotong beberapa bulan sebelum kelahiran bayi. Kalau bayi sudah lahir, ke dalam api yang menyala itu ditaruh bulu kambing, bulu ayam dan kulit kacang sayur (sejenis kacang yang bisa dimakan). Menurut Lal Gomo Koli Uka, tiga jenis barang yang dibakar ini dimaksudkan untuk menyucikan api itu supaya asapnya murni dan panasnya api itu berguna untuk kesehatan ibu dan anak. Tiga jenis barang yang dibakar itu juga melambangkan segala kotoran yang harus dihilangkan dan tidak lagi melekat pada tubuh ibu yang melahirkan. Pembakaran tiga macam benda ini merupakan pemberkatan api dan sekaligus sebagai lambang pembersihan diri si ibu dan si bayi.

Tahap kedua, ialah: ginil gin. Pemberian nama anak. Ke dalam api yang sudah disucikan itu dimasukkan mok luan (pisang mentah kulit

22 Dil adalah ruang seluas dua kali dua meter di dalam rumah adat sebagai

sambungan dari lor (tempat tidur umum yang luas di dalam rumah adat). dekat

(41)

101 hijau yang disebut dengan nama ’Luan’, nama leluhur yang pernah menjadi sejenis pisang itu). Sesudah matang, pisang ini dimakan oleh ibu yang bersalin dan sementara itu seorang wanita yang tertua dalam suku menyebut nama-nama leluhur. Penyebutan nama leluhur dengan harapan si-bayi menyusui ini, disebut, su ata ginil gin (penyebutan nama saat menyusui). Kalau bayi wanita, disebutlah nama-nama leluhur wanita. Kalau bayi laki-laki, disebutlah nama-nama leluhur laki-laki. Sewaktu salah satu nama yang cocok terdengar dan bayi itu mulai menngerakkan kepalanya untuk menyusu, maka nama itulah yang diberikan kepada si bayi itu. Sebagai contoh, kalau nama yang disebut untuk bayi perempuan itu ’Bete’, maka perempuan tua itu akan berkata, ”Bei Bete, eto man na baa oa, nei ege dapu’ sei, ege duhin sei.” (Nenek Bete, engkau sudah datang, kami terima di pangkuan kami, di gendongan kami). Semua yang hadir bergembira menerima leluhur mereka, Bete, yang telah datang dalam diri anak yang baru lahir sebagai anggota baru dalam suku.

Tahap ketiga: ukur sagal. Pada tahap ini sepasang suami isteri yang dianggap orang yang berwibawa dalam suku pergi ke ladang dan memetik sayuran atau memotong pisang muda untuk dibawa pulang dan direbus. Sesudah hasil petikan di ladang ini dibawa pulang, para ibu memasak makanan untuk dimakan bersama. Seekor ayam jantan dibunuh untuk diperiksa ususnya guna mencari tahu jalan hidup anak ini kelak. Hasil dari pencaharian nasib dan ramalan untuk masa depan ini dibicarakan dalam suku dan kepada ibu dan ayah dari anak itu diberi pesan-pesan untuk memelihara anak ini secara baik-baik sambil memperhatikan segala nasihat yang diberikan, terutama oleh kedua suami-isteri yang pergi ke ladang untuk memetik sayur yang selanjutnya bertindak sebagai bapa-mama angkat untuk anak yang baru lahir itu.

(42)

102

maksud kau’ (anyaman) itu menjadi tiruan manusia kecil yang menjadi penghalang segala macam serangan angin jahat. Kalau ada angin jahat, bayi tidak langsung terserang karena tertahan oleh kau’ (anyaman) yang terikat dan tergantung di pergelangan tangan. Kalau bayi sudah besar, kau’ ini diganti dengan hiasan perak berupa satu mata uang perak atau belak (mata uang perak yang ditempa menjadi kepingan tipis berbentuk bulatan bergaris tengah sekitar lima sentimeter) yang diberi lubang di pinggirnya dan digantungkan di leher. Kalau anak puteri, sesudah satu atau dua minggu, cuping telinganya dilubangkan dan hiasan perak atau emas yang disebut karobu atau kawata (anting-anting) digantungkan sebagai kelengkapan hiasan yang digantungkan pada leher. Semuanya ini mempunyai makna sebagai alat penolak bala.

Acara uor sait a (makan sayuran gatal) ini ditutup dengan pembahagian makanan kepada semua suku tetangga untuk memaklumkan kelahiran bayi, anggota baru dalam suku. Ada utusan khusus dari keluarga ditugaskan membawa lama’ (bahagian) berupa pisang rebus, nasi sedikit dengan irisan daging ayam yang diisi dalam taka (tanasak, anyaman dari daun pandan) dan oril (kuah daging) dalam tulak gol (tabung bambu kecil yang diberi tutupan) dan diantar kepada suku bein pana (raja perempuan) dan bein mone (raja laki-laki). Utusan ke dua suku ini diberi pesan untuk menyampaikan kata-kata berikut:

Bein pana o bein mone, Ie mila en, ie en lotu, laba ni oa, loren ni oa, Hoto tuka oa, il wi oa, Bei pana, bei Bete bi, Bai na taru dinil dele man.

Terjemahannya:

Bangsawan perempuan dan bangsawan laki-laki, Hamba dari baginda, rakyat dari baginda, Sudah di tempat terang, di tempat lapang, Sudah dekat api, sudah minum air, Nenek perempuan, nenek Bete itu, Dia yang datang memberi namanya.

Artinya:

(43)

103

Sebagai rakyat dari Ibu dan Bapa Raja, Dan anak ini diberi nama Bete. (perempuan)

Tahap keempat: aru’ koil (cukur rambut). Upacara ini dilaksanakan pada waktu anak itu mencapai usia empat puluh hari. Seluruh kaum keluarga dikumpul dan dibunuh seekor babi besar. Darahnya dioles pada dahi anak yang diupacarakan lalu dagingnya dimasak tetapi kepala babi itu diberikan kepada saudara dan saudari kandung dari ayah dari si bayi. Mereka menerima kepala babi ini dan menggantinya dengan selembar kain tenun yang besar untuk menyelimuti bayi. Tiap-tiap ibu dari keluarga si ayah biasa memberikan selimut sehingga banyak selimut terkumpul saat itu untuk bayi tersebut. Di samping itu kaum keluarga ini memberikan seekor sapi atau kuda kepada bayi itu sebagai lambang harta untuk menjadi bekal hidup nanti.

Dengan rangkaian upacara ini seorang anak suku Buna’ bertumbuh dan menanti saatnya untuk berumah-tangga. Adat perkawinan menjadi saat didirikannya satu keluarga baru dalam suku. Di desa Henes dan Lakmaras adat ini masih dilaksanakan dengan beberapa penyederhanaan atas pertimbangan waktu dan tenaga. Inti dari tiap tahap tetap dilaksanakan dengan perpaduan beberapa tahap, misalnya aru’ koil (cukur rambut) sudah disatukan dengan saat syukuran sesudah anak diterima dalam Gereja Katolik melalui penerimaan Sakramen Baptis. Waktu itu sanak saudara diundang untuk melaksanakan acara cukur rambut sekaligus mengundang Guru Agama Katolik untuk berdoa secara katolik sambil tetap mengenangkan arwah para leluhur. Di sini ada perpaduan tetapi nampaknya masih terpaksa karena Guru Agama Katolik tetap tidak mau mengambil peranan dalam acara hidangan sirih-pinang dan daging ayam untuk leluhur, sedangkan orang tua tetap melaksanakan ini dengan alasan, adat leluhur harus dilaksanakan kalau tidak leluhur bisa marah.

TON: PERKAWINAN

(44)

104

sul suli’ dara (tegakkan tombak dan kelewang) dan yang disederhanakan ialah ton terel (kawin biasa)23.

Menurut Makoan Koli Uka dan dikuatkan keterangan dari Loro Lamaknen, Ignatius Kali, upacara perkawinan sul suli’ dara itu merupakan upacara adat perkawinan yang asli, dalam arti mereka sendiri masih menyaksikan upacara ini sewaktu mereka masih kecil sekitar tahun 1950-an.

Perkawinan sul suli’ dara pada dasarnya dilangsungkan antara pemuda dari suku Aiba’a (suku pemberi laki-laki) dan pemudi dari suku Malu (suku pemberi perempuan). Sul suli’ dara sendiri mempunyai makna: laki-laki mentancapkan tombaknya dan menggantungkan kelewang di depan rumah sebagai tanda kehadiran dan tanda perlindungan terhadap isi rumah, isteri dan anak-anak. Kalau perkawinan terjadi di luar hubungan ini, hubungan malu – ai (suku malu dan suku ai) maka hubungan itu disebut hubungan antara dua pihak yang berasal dari leo legul (pekarangan yang jauh) artinya, kedua calon mempelai itu kaum keluarganya tidak mempunyai hubungan adat istiadat atas dasar malu-ai. Dan kalau dua suku ini tidak ada hubungan malu-ai, maka dengan adanya perkawinan dengan sistim sul suli’ dara, maka terjalinlah satu hubungan malu-ai baru.

Dalam adat perkawinan sul suli’ dara ini keluarga calon mempelai laki-laki dan keluarga calon mempelai perempuan berada di tingkat yang sama, tidak ada bangsawan tidak ada rakyat jelata. Hubungan bangsawan dan rakyat itu dikenal hanya dalam urusan nigi – bokal (pemerintahan )secara adat. Dalam perkawinan sul suli’ dara ini ada persamaan derajat, dengan catatan, suku perempuan dianggap lebih tinggi karena mereka dilihat sebagai pihak yang akan memberikan keturunan, melahirkan anak. Adat perkawinan sul suli’ dara mempunyai tahap-tahap yang harus dilalui satu demi satu. Semuanya ada dua puluh empat tahap.

23 Keterangan ini diperoleh dari catatan Bpk. A.A. Bere Tallo bersama Bpk.

Lorens Bere (penjaga rumah adat di Kewar) tgl. 22 Januari 1987 di Weluli,

dibandingkan dengan informasi dari Makoan Koli Uka di Abis dan Bpk. Anis

Gambar

Gambar 10.  Ubi jenis ini yang  ditinggalkan masyarakat  Agrippina Agnes Bele (26 tahun), di daratan Timor ada 16 macam, tidak  beralih ke roti
Gambar 11 Bukit Lakmaras. Perkampungan ada di lereng dalembah.
Gambar 12.  Hewan tidak kenal batas. Siang merumput di Timor
Gambar  13.  Rumah adat suku     Buna’.   Rumah milik bagsawan di kampung Ekin – Lamaknen Selatan, tetangga desa Henes dan Lakmaras
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara mengenai kendala yang dihadapi taruna tersebut, dapat disimpulkan bahwa kendala yang sering dihadapi taruna Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang

Untuk dapat menghubungkan antara koleksi – koleksi atau sumber informasi tersebut kepada pemustaka yang membutuhkan informasi, maka perlu adanya seorang yang tidak

yang ada di Kabupaten Grobogan maka PT RNI kemu- dian mendirikan sebuah pabrik pengolahan jarak pagar yang berlokasi di Desa Tanjungharjo Kecamatan Ngaringan

Semua kegiatan kepustakawanan yang dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pustakawan adalah semata-mata ditujukkan untuk pelayanan kepada masyarakat luas umumnya dan

Tipe masyarakat (apakah mandiri atau tergantung) sangat ditentukan oleh kelas yang mendominasi, kalau birokrasi yang menguasai / mendominasi tidak berorientasi ke publik, maka

Sehubungan dengan Paket Pekerjaan PENYUSUNAN DED GEDUNG CRITICAL CARE DAN VIP RUMAH SAKIT(Lelang Ulang) dan sesuai dengan hasil evaluasi Kelompok Kerja IV Unit Layanan

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara