• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat kebiasaan lain yang masih kuat berakar dan masih dipraktekkan beberapa bahagiannya, ialah adat ton (kawin). Perkawinan di kalangan suku Buna’ ada dua macam, satu yang asli dan satu yang merupakan penyederhanaan dari yang asli itu. Yang asli ialah

104

sul suli’ dara (tegakkan tombak dan kelewang) dan yang disederhanakan ialah ton terel (kawin biasa)23.

Menurut Makoan Koli Uka dan dikuatkan keterangan dari Loro Lamaknen, Ignatius Kali, upacara perkawinan sul suli’ dara itu merupakan upacara adat perkawinan yang asli, dalam arti mereka sendiri masih menyaksikan upacara ini sewaktu mereka masih kecil sekitar tahun 1950-an.

Perkawinan sul suli’ dara pada dasarnya dilangsungkan antara pemuda dari suku Aiba’a (suku pemberi laki-laki) dan pemudi dari suku Malu (suku pemberi perempuan). Sul suli’ dara sendiri mempunyai makna: laki-laki mentancapkan tombaknya dan menggantungkan kelewang di depan rumah sebagai tanda kehadiran dan tanda perlindungan terhadap isi rumah, isteri dan anak-anak. Kalau perkawinan terjadi di luar hubungan ini, hubungan malu – ai (suku malu dan suku ai) maka hubungan itu disebut hubungan antara dua pihak yang berasal dari leo legul (pekarangan yang jauh) artinya, kedua calon mempelai itu kaum keluarganya tidak mempunyai hubungan adat istiadat atas dasar malu-ai. Dan kalau dua suku ini tidak ada hubungan malu-ai, maka dengan adanya perkawinan dengan sistim sul suli’ dara, maka terjalinlah satu hubungan malu-ai baru.

Dalam adat perkawinan sul suli’ dara ini keluarga calon mempelai laki-laki dan keluarga calon mempelai perempuan berada di tingkat yang sama, tidak ada bangsawan tidak ada rakyat jelata. Hubungan bangsawan dan rakyat itu dikenal hanya dalam urusan nigi – bokal (pemerintahan )secara adat. Dalam perkawinan sul suli’ dara ini ada persamaan derajat, dengan catatan, suku perempuan dianggap lebih tinggi karena mereka dilihat sebagai pihak yang akan memberikan keturunan, melahirkan anak. Adat perkawinan sul suli’ dara mempunyai tahap-tahap yang harus dilalui satu demi satu. Semuanya ada dua puluh empat tahap.

23 Keterangan ini diperoleh dari catatan Bpk. A.A. Bere Tallo bersama Bpk.

Lorens Bere (penjaga rumah adat di Kewar) tgl. 22 Januari 1987 di Weluli,

dibandingkan dengan informasi dari Makoan Koli Uka di Abis dan Bpk. Anis

105 Pertama: Sigal saen. (Menggantungkan tanda). Acara ini dapat dikatakan sebagai acara melamar atau memasukkan lamaran. Pihak keluarga laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menyatakan maksud mereka sambil membawa satu keping uang emas dan satu keping uang perak. Istilah adatnya, buleen uen, belis uen (satu merah/emas dan satu putih/perak). Kalau lamaran ini diterima, maka pihak keluarga calon mempelai perempuan akan membalas dengan dua lembar kain tenun asli.

Kedua: bora pil zewen. (Membentangkan tikar). Pada hari yang ditentukan, keluarga laki-laki datang lagi dan membawa buleen uen, belis uen sebagai tanda siap untuk memasukkan ‘molo pu tomak’ (sirih pinang utuh). Pemberian uang ini dibalas lagi oleh pihak wanita dengan satu lembar selimut.

Ketiga: ta’ o turi’. (kapak dan parang). Upacara bora pil zewen kalau disepakati, langsung disusul dengan upacara ta’ o turi’, sebagai suatu pernyataan bahwa calon mempelai laki-laki sudah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengambil calon mempelai perempuan dan menjamin hidupnya di dalam suku laki-laki. Ta’ o turi’ itu lambing kemampuan laki-laki untuk mencari nafkah dengan bertani. Pernyataan kesediaan menjamin si calon mempelai perempuan ini ditandakan dengan pemberian buleen uen, belis uen yang dibalas lagi dengan satu lembar kain tenun. Biasanya dituntut kain tenun hasil karya tangan si calon mempelai perempuan sendiri sebagai jawaban bahwa sang calon mempelai perempuan juga sudah mampu untuk menenun dan menganyam yang merupakan tanda kedewasaan seorang puteri dan siap untuk dikawinkan.

Keempat: bei gotin. (Membangunkan leluhur). Dalam upacara ini pihak keluarga laki-laki memberikan 7 keping perak dan pihak perempuan membalasnya dengan satu lembar kain tenun. Dengan upacara ini persetujuan kedua keluarga besar dilaporkan kepada leluhur agar para leluhur memberikan doa restu. Seorang tua adat mengucapkan doa ini:

Hoee, tata o bei mil, ubuk hilo’on, alel hilo’on bari, Gita don lai, gita dimil uku. Gege hegil koen, gege huruk o bulas; gua-gua gene, gere-gere mal; gini deu kae’, gini hoto kae’.

106

(Artinya: O, para leluhur, inilah kedua turunan kamu, kedua cucu kamu ini; taruh tangan atas mereka, tiarap di atas mereka; beri naungan yang rindang, beri restu dan rahmat; ikuti mereka terus, dampingi mereka terus; jadikan mereka berketurunan yang penuhi rumah dan penuhi suku).

Kelima: mapo tesi, watan lotu’. (potong bambu untuk perian tempat isi air dan potong batang kayu). Upacara ini mempunyai makna penghargaan pihak laki-laki terhadap kecapaian ayah dari calon mempelai perempuan yang telah membesarkan puterinya. Penghargaan itu dinyatakan dengan pemberian seekor hewan jantan besar, entah kerbau atau kuda yang diberikan kepada ayah si perempuan. Pembalasannya dalam bentuk satu helai kain tenun.

Keenam: bokan o nalas. (periuk belanga dan bejana tempat memandikan bayi). Istilah ini melambangkan kecapaian ibu dari anak perempuan sewaktu melahirkan. Penghargaan diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk satu untaian pe’ (muti atau morten, untaian manik-manik yang sangat berharga) kepada ibu dari anak perempuan dan dibalas dengan satu helai kain tenun.

Ketujuh: Su mamal, su soat (susu yang lembut dan susu yang kental). Upacara ini melambangkan kecapaian ibu dalam membesarkan anak puterinya dari kecil sampai mencapai usia dewasa. Kepada sang ibu diberikan oleh pihak laki-laki satu belak buleen (pelat emas). Pemberian ini pun dibalas dengan satu helai kain tenun.

Kedelapan: gubul o gewe’el (kepala dan dagu). Upacara ini mempunyai arti penghargaan terhadap diri si gadis, calon mempelai wanita. Anak gadis ini dihargai dengan satu pe’ (untaian manik-manik) atau satu belak buleen (pelat emas) dan sepuluh keping mata uang perak dan dibalas dengan satu helai kain tenun.

Kesembilan: lor wa, lor bul. (ruang atas dan ruang bawah dalam rumah). Upacara ini melambangkan tempat persembahan kepada leluhur dalam rumah adat yang akan segera ditinggalkan oleh calon mempelai perempuan. Pemberian dalam bentuk bule’en uen, belis uen, bataka sogo (satu keping emas dan satu keping perak, sepuluh keping uang perak) diberikan kepada suku rumah yang diwakili oleh perempuan tertua dalam rumah dan keeping-keping uang ini akan disimpan di dalam tubis (keranjang anyaman dari daun pandan) sebagai

107 persembahan diri anak perempuan yang akan segera meninggalkan rumah adatnya berpindah ke rumah adat yang baru. Keping emas dan keeping perak dengan mata uang logam ini disimpan terus dan tidak pernah boleh dikeluarkan untuk urusan apa pun, karena dinilai sebagai pana gobol (alat kelamin perempuan).

Kesepuluh: tazu’ lor, tazu’ hoto (pintu depan dan pintu belakang dalam rumah adat. Rumah adat suku Buna’ sebagai rumah panggung hanya mempunyai dua pintu). Upacara ini melambangkan rumah suku, dan pemberian oleh pihak laki-laki berupa satu emas dan satu perak yang akan diberikan kepada suku malu dari suku anak perempuan. Pemberian ini dibalas dengan sehelai kain tenun. Mata uang ini akan diserahkan kepada pihak malu (suku pemberi wanita) untuk memberitakan bahwa salah seorang anak perempuan mereka akan dipindahkan ke suku yang baru.

Kesebelas: sul o suli’ (tombak dan kelewang).

Gambar 19. Sul atau Bat (Tombak) Panjang : 160 cm

108

Upacara ini diartikan sebagai lambang harta pusaka berupa senjata tombak, kelewang milik leluhur yang dipakai untuk membela keamanan suku yang akan segera ditinggalkan oleh sip uteri dengan harapan dia tetap aman di rumah suku yang baru. Pemberian pihak laki- laki dalam bentuk satu keping emas dan satu keping perak dibeikan kepada suku si anak perempuan sebagai tanda bahwa anak perempuan ini akan terus dijaga keamanannya di suku yang baru. Pemberian ini pun dibalas dengan sehela kain tenun.

Keduabelas: mar kintal (ladang dan taman). Upacara untuk melambangkan perpisahan sang pemudi dengan lading dan taman yang akan segera ditinggalkan. Pemberian pihak laki-laki dalam bentuk buleen uen belis uen. (satu keping pelat mas dan satu keping pelat perak) diberikan kepada suku perempuan dan dibalas dengan satu helai kain.

Ketigabelas: tel wese (berbagi kuburan). Upacara ini melambangkan perpisahan mempelai wanita dengan kuburan para lelihurnya dan siap untuk dikuburkan di pekuburan suku suami. Mempelai perempuan dihantar oleh para wanita tua dalam suku ke kuburan yang biasa ada di halaman rumah. Ratap tangis pilu terdengar

Gambar 20. Suli / Sore (Kelewang) Panjang : 120 cm

109 pada waktu ini. Upacara tel wese ini dapat berlangsung berjam-jam sampai ada tua adat datang menghentikan ratapan para ibu yang seolah- oleh meratapi jenazah sungguhan. Pihak laki-laki memberikan dua keping perak sebagai tanda dino (air mata) dibalas oleh pihak perempuan dengan satu helai kain tenun dan satu ekor babi. Nanti babi ini akan dibawa oleh pihak mempelai laki-laki untuk dibunuh dan darahnya disiram di pekuburan dari suku laki-laki sebagai tanda permohonan restu dari leluhur.

Keempatbelas: saki o zi’. (belah dan garis). Upacara ini diadakan di depan rumah di mana seorang laki-laki tua membuat garis di tanah dengan ujung tombaknya sebagai tanda peletakan garis batas antara kedua suku yang meskipun berjauhan tetapi tetap erat bersatu dan saling membantu setiap saat dibutuhkan. Anak perempuan mereka diserahkan ke suku yang baru, terpisah dari sukunya sendiri dan dia diaykinkan bahwa tetap akan dilindungi oleh suku asalnya kalau terjadi sesuatu yang akan mecelakakan dirinya di kalangan suku yang baru. Dalam upacara ini pihak laki-laki memberikan satu pelat perak dan dibalas dengan satu kain tenun dan seekor babi oleh pihak keluaga perempuan.

Kelimabelas: piral no’ topol (beras dijatuhkan). Sumbangan dari pihak laki-laki berupa beras secukupnya dan seekor hewan untuk ditambahkan pada persediaan dari pihak perempuan guna menjamu semua kerabat dari suku malu yang datang. Pembahagian antara keluarga laki-laki dan perempuan dibuat seimbang.

Keenambelas: ope ganal tol. (tangkai labu putus). Upacara ini dilambangkan dengan istilah ope ganal tol artinya ‘tangkai labu diputuskan’, hubungan antara sip uteri dilambangkan dengan ope (labu) yang dipetik dan dipindahkan ke suru baru. Pihak laki-laki memberikan dua pelat emas kepada pihak suku perempuan sebagai ganti diri si gadis.

Ketujuhbelas: sael ope. (babi dan labu). Ini lambang barang- barang yang dikumpulkan untuk menjamu para tamu dari kedua belah pihak dan dari pihak laki-laki menyumbangkan seekor kerbau dan pihak perempuan menyumbangkan seekor babi. Dua hewan ini dibantai untuk perjamuan pesta kawin di rumah mempelai wanita sebelum dia dibawa ke rumah mempelai laki-laki.

Kedelapanbelas: pe’ naran, pe’ tilu’. (kalung manik-manik sebagai hiasan di leher mempelai wanita). Pihak suku malu dari suku

110

perempuan mengalungkan dua utas pe’ (kalung manik-manik) di leher mempelai perempuan dan ditampilkan di depan keluarga yang akan ditinggalkan dengan tujuan untuk memamerkan kekuatan harta suku- suku keluarga perempuan bahwa puteri mereka tidak dibiarkan han minak mele (jalan kosong) agar laki-laki tidak meremehkan anak perempuan ini sekaligus untuk menjadikan mempelai wanita sebagai wanita yang gerhormat di suku yang baru dan di masyarakat.

Atas dasar isi dari upacara yang satu inilah seorang mempelai perempuan disebut momen pana (perempuan yang dituakan) dengan gelar liurai lotu (ratu kecil) di kalangan suku yang baru. Sebaliknya, mempelai laki-laki disebut momen mone (laki-laki yang dituakan) dengan gelar sul suli gomo (pemilik tombak dan kelewang) yang berarti pelindung bagi isteri dan anak-anak.

Kesembilanbelas: depal gie naran, depal gie tilu’. (anting-anting di telinga). Keluarga perempuan dari suku malu mengenakan anting- anting mas di telinga mempelai perempuan. Ini sebagai tanda anak perempuan ini biarpun sudah di tempat baru yang jauh, tetap dikenal dan dikenang sebagai puteri mereka yang menjadi pengerat tali kekeluargaan. Waktu wanita yang dituakan dalam suku mengenakan anting-anting di telingan mempelai wanita, dia berkata, “bari hani gepal hini tol, giral hini bulu’ (dia ini jangan dibiarkan telinganya putus, matanya buta), artinya: kesehatan badan dan keselamatan hidup dari anak ini harus tetap dijaga. Atas dasar inilah kalau terjadi pemukulan atau penganiayaan si-isteri sampai ada bengkak atau darah mengalir, maka seluruh suku asal dari keluarga perempuan akan tetap bertindak dengan mengenakan denda yang sangat berat kepada laki-laki dan keluarga mereka. Denda adat ini disebut ‘gepal tutan, pe hinal kabun’ ( sambung telinga kembali dan membalut bengkak dan luka). Dengan demikian mempelai perempuan sangat dihormati dan disegani di keluarga baru dan jarang terjadi ada penganiayaan terhadap si-isteri yang diambil secara adat sul suli’ dara.

Keduapuluh: kira o bian (alat pemintal benang: kayu penggulung kapas dan piring kecil tempat kayu itu diputar sewaktu kapas dipilin menjadi benang). Pihak suku malu dari pihak perempuan menghadiahkan belak bule’en hilo’on (dua pelat emas ) kepada mempelai perempuan sebagai tanda perlengkapan alat tenun untuk mencari rezeki bersama suaminya di tempat yang baru.

111 Kedua puluh satu: sawe sepak (sisir piñata rambut). Keluarga malu dari suku perempuan memberikan sebuah sisir terbuat dari emas dan ditaruh di rambut mempelai perempuan sebagai lambang untuk tetap berdandan mengikuti pesta-pesta dan tanda bahwa diri perempuan itu adalah perempuan yang terhormat dana bermartabat.

Kedua puluh dua: zap nokar, cie nokar (anjing dan ayam penjaga pintu masuk). Keluarga perempuan memberikan sungguh-sungguh seekor anjing dan seekor ayam sebagai lambang untuk menjadi perempuan yang rajin dan tetap berjaga untuk kepentingan keluarga baru.

Kedua puluh tiga: pau pa’e golo’ (tempat memetik kacang tali). Keluarga perempuan menyerahkan sebidang ladang untuk diolah oleh mempelai perempuan bersama suaminya. Ladang seperti ini menjadi milik suku yang baru dan suku yang lama melepaskan dari kepemilikan awal. Upacara ini ditandakan dengan pemberian segumpal tanah dan diberikan kepada mempelai laki-laki disaksikan oleh mempelai perempuan.

Kedua puluh empat: opa tutul gie, rene pin gie. Upacara ini merupakan simbol ditentukannya seorang pengiring, entah seorang anak atau seorang dewasa (adakalanya seorang hamba) untuk menemani mempelai wanita pergi ke rumah laki-laki dan tinggal menjadi anggota suku laki-laki. Pihak laki-laki membalasnya dengan pemberian seekor hewan, entah kerbau atau kuda.

Tahap kedua puluh empat ini merupakan tahap yang terakhir. Proses pengurusan perkawinan ini memang sungguh berbelit dan melelahkan tetapi sudah ditetapkan demikian sehingga proses ini sangat mengeratkan hubungan kedua suami-isteri dan dengan sendirinya hubungan kedua suku menjadi semakin akrab.

Sesudah semua tahap ini diupacarakan di rumah suku mempelai perempuan, maka resmilah kedua insan itu disatukan sebagai suami isteri dan para anggota suku dari pihak laki-laki mempunyai hak untuk mengarak pengantin perempuan yang berhias meriah ke rumah suku mereka dengan lagu-lagu dan tari-tarian sepanjang jalan. Warga yang lain dalam kampung dari mempelai perempuan berusaha menghalang perjalanan dengan berdiri di jalan untuk tidak membiarkan salah seorang tetangga mereka dibawa pergi. Pada saat itu pihak keluarga laki-laki sudah menyiapkan uang perak recehan dibawa dalam kain

112

yang disandang untuk dihambur-hamburkan kepada khalayak ramai. Warga yang ditinggalkan baik yang anggota suku perempuan maupun yang tidak termasuk dalam anggota suku mempelai perempuan meraung dan meratapi kepergian anak puteri mereka. Pihak laki-laki dengan gembira terus berjalan menuju rumah adat mereka. Di rumah adat si lelaki ini bunyi-bunyian gong dan genderang bertalu-talu tanda pesta pernikahan dimulai. Tamu-tamu jauh dan dekat sudah berhimpun menerima kedatangan kedua mempelai. Perjamuan besar diadakan di rumah adat mempelai laki-laki. Semua suku-suku kerabat jauh dan dekat dari suku laki-laki berdatangan membawa bahagian mereka masing-masing berupa beras dan hewan untuk keperluan jamuan makan bersama. Kegembiraan bersama dirayakan oleh suku laki-laki karena adanya anggota suku yang baru sudah datang dan akan tinggal menetap bersama mereka.

Adat perkawinan sul suli’ dara ini masih dilaksanakan dengan banyak perubahan terutama dalam jumlah uang dan kain yang dipertukarkan. Menurut Anis Mau (66 tahun), mempunyai jabatan sebagai Fetor di Henes dalam wawancara di Henes, Oktober 2008, adat ini sudah sangat disederhanakan baik dalam materi dan waktu. Anis Mau menjelaskan:

Sul suli’ dara itu adat kita yang asli. Waktu saya masih kecil, tahun lima puluhan, adat ini masih dilaksanakan seperti aslinya. Pesta besar, hampir satu minggu lamanya. Siang malam ramai terus. Hewan dibanti untuk orang-orang yang ada, baik tuan rumah maupun tamu. Adat ini begitu bagus, terutama arti yang ada dalam setiap tahap. Kami masih mengalami bahwa perkawinan sul suli’ dara itu membuat suami-isteri tidak berkelahi. Suami takut pan muk gomo dan leluhur marah. Juga karena takut denda. Perkawinan yang sekarang ini sudah kebanyakan ton terel, kawin dengan cara suami datang ke rumah perempuan dan bersama-sama kerja kebun. Karena bersama-sama tidak buat adat itulah maka namanya ‘ton terel’, kawin secara bersama-sama tinggal saja, tidak ada yang pindah suku rumah.

Perkawinan dengan cara adat sul suli’ dara ini membawa pengaruh yang sangat positif dalam masyarakat di waktu dahulu, sampai tahun lima puluhan. Ada beberapa hal positif yang merupakan pengaruh dari adat ini:

113 Pertama, ada persamaan derajat antara suami dan isteri. Anak- anak menjadi anggota dari suku si ayah. Dengan demikian ayah bertanggungjawab penuh atas kelangsungan hidup anak-anak.

Kedua, hidup perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh yaitu atas dasar kesepakatan keluarga dan atas kepercayaan akan lindungan leluhur, roh-roh dan Tuhan.

Di samping dua hal yang positif ini memang ada segi-segi negatifnya, yaitu:

Pertama, terkadang kedua calon suami-isteri tidak membangun rumah tangga atas dasar kasih pribadi, tetapi dipaksa oleh kedua suku sehingga perkawinan berlangsung dalam keterpaksaan.

Kedua, rumah tangga tidak mandiri karena selalu dipengaruhi oleh keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan.

Ketiga, perselingkuhan atau poligami dihindari oleh kedua pihak karena terkungkung oleh kerasnya tuntutan adat. Dituturkan oleh orang yang lebih tua bahwa kalau salah satu dari pasangan itu kedapatan berzinah (beselingkuh), hukumannya ialah si bersalah itu dibunuh. Hukuman mati dilaksanakan dengan cara si bersalah itu dibawa ke rumpun bambu, dua batang bambu yang agak berjauhan, ditarik ujungnya sampai ke tanah lalu kaki dan tangan si bersalah yang sebelah kiri diikat pada ujung bambu yang satu dan kaki tangan sebelah kanan diikat pada ujung bambu yang lain. Sesudah diikat, dua bambu yang ujung-unjungnya bertemu itu dilepaskan dan tubuh si korban terpental ke langit dan mati lemas tergantung dalam keadaan terabik menja dua di ujung kedua bambu. Ceritera ini sudah termasuk ceritera sadis yang rupanya diceritakan untuk menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat zinah. Tidak ada satu informan pun yang menyatakan bahwa dirinya pernah menyaksikan hukuman seperti ini.

Perkawinan dengan cara yang lebih sederhana dikenal dengan istilah: ton terel (kawin dan tinggal bersama).

Upacara kawin ton terel ini dilaksanakan dalam empat tahap.

Upacara tahap pertama, ialah: Sigal saen (gantungkan tanda). Upacara ini diadakan waktu keluarga laki-laki dan ke rumah calon memperlai perempuan dan memberikan bule’n uen, tahin uen, bataka sogo (satu pelat emas, satu pelat perak dan sepuluh keeping mata uang perak).

114

Pemberian ini dibalas oleh pihak perempuan dengan satu helai kain tenun.

Upacara tahap kedua, ialah: keluarga calon mempelai laki-laki menghantar molo pu tomak (sirih pinang utuh) dalam bentuk pelat emas, pelat perak dan kepingan uang perak. Jumlah pelat dan kepingan uang itu disesuaikan dengan status suku perempuan. Kalau suku perempuan itu rakyat biasa, maka jumlahnya: goni’on – goni’on (tiga- tiga) artinya tiga pelat emas, tiga pelat perak dan tiga puluh keping mata uang perak. Kalau bangsaswan menengah, maka jumlahnya goincet- goincet (lima-lima) artinya lima pelat emas, lima pelat perak dan lima puluh keping mata uang perak. Kalau suku keluarga perempuan itu berasal dari bangsawan tinggi, maka jumlah uang hitu-hitu (tujuh- tujuh), tujuh pelat emas, tujuh pelat perak dan tujuh puluh keping mata uang perak.

Pada waktu akhir-akhir ini jumlah itu tetap disebut tetapi nilainya sudah diganti dengan uang kertas dan tergantung pada kesepakatan dua belah pihak, berapa juta rupiah yang mau diserahkan sambil memisah-misahkan dengan ungkapan gonion-gonion, goincet-

Dokumen terkait