Adat istiadat yang berkaitan dengan orang mati merupakan satu rentetan upacara yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya. Ini ditinjau dari kacamata sekarang. Tetapi upacara kematian yang asli di di kalangan suku Buna’ sendiri mempunyai arti yang sangat dalam. Upacara yang dilaksanakan untuk menguburkan orang mati ini dilaksanakan dalam sembilan tahap.
119 Tahap pertama, ialah: pengumuman tentang peristiwa kematian. Kon we (bunyikan gong). Seorang laki-laki naik ke bubungan atap rumah tempat si sakit dibaringkan dan duduk di atas rumah itu lalu memukul gong dengan pukulan berulang-ulang dalam irama satu-satu. Bunyi gong ini menandakan bahwa seorang anggota keluarga sudah meninggal. Alat kon (gong) dalam ukuran kecil, sedang dan besar diyakini sebagai alat pembangkit bunyi yang khusus untuk memanggil orang hidup dan memanggil mugen (arwah), memanggil pan-muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan memanggil Hot Esen ( Matahari Yang Tinggi - Tuhan). Pemukulan gong, kon we, menimbulkan bunyi, kon tol (bunyi gong) yang bergaung ke segala arah mata angin menimbulkan perasaan getar di dada para pendengar dan setiap nada kon tol (bunyi gong) mempunyai arti tersendiri. Kon (gong) tidak boleh dibunyikan sembarang. Telinga masyarakat akan terpasang untuk mengartikan bunyi gong itu: ada irama untuk memanggil orang supaya berkumpul, ada irama untuk memaklumkan pelarangan hasil kebun atau hasil hutan (ukon) dan ada irama untuk memaklumkan kematian seseorang.
Kalau si sakit belum putus nafas , masih gelisah maut, dan terdengar suara-suara kaum keluarga memanggil nama si sakit sambil mendekatkan mulut pada telinganya, disebut apa pesa ( memanggil nama untuk menyadarkan) dan orang sekitar akan berkata, ’gita apa pesa’ (namanya dipanggil). Waktu itu pemukul gong yang duduk di atas bubungan atap rumah akan memukul gong dengan irama cepat. Orang yang mendengar akan berkata, ’kon tol makor ta’ (bunyi gong masih panjang). Kalau dari dalam rumah terdengar tangisan yang menandakan bahwa si sakit sudah putus nafas (gosil tun), si pemukul gong menurunkan iramanya dan membunyikan gong dengan bunyi antara, satu – satu. Semua yang mendengar baik dekat maupun yang jauh akan berkata, gosil tun oa (nafasnya sudah habis). Pemukul gong duduk di atas bubungan atap rumah karena ada keyakinan bahwa arwah orang yang meninggal dunia itu ke luar dari badan manusia dan tembus ke luar rumah melalui bubungan rumah. Karena itulah bunyi gong itu menghantar arwah orang yang meninggal ke luar dari rumah, berkeliaran di alam bebas sambil menanti diupacarakan dengan upacara lal ho’on untuk disatukan dengan arwah leluhur di Masel. Tempat berkumpulnya para arwah leluhur ini, Masel, adalah satu tempat
120
keramat yang sunyi, di puncak gunung, melewati air terjun besar sampai sekarang berada di wilayah Timor Leste, dekat perbatasan antara Timor Indonesia dan Timor Leste. Di Masel ini ada hutan dan di tebingnya ada air terjun besar yang menyeramkan. Dekat air terjun ini ada sebuah aliran air dari mata air yang warnanya biru tua dan sangat berbau. Air yang berbau ini diyakini sebagai sisa air dari semua arwah yang membasuh diri, membersihkan diri dari segala kekotoran sebelum masuk ke tempat suci di puncak gunung Masel. Bunyi gong di atas bubungan rumah itu juga menjadi isyarat kepada arwah untuk berjalan menuju Masel dan tersesat ke tempat lain. Dalam pergaulan harian, kalau seorang marah kepada sesamanya, sering terungkap kata sumpah serapah, ”Masal ata mal wa” (bahasa Buna’, artinya: pergilah ke Masel, maksunya, ’mati’).
Tahap kedua, ialah: gon tolo (memasukkan tangan jenazah). Acara ini dilakukan oleh salah seorang dari suku malu, yaitu suku asal dari yang meninggal sebagai tanda kesaksian dan pengakuan bahwa salah seorang anggota suku ai-ba’a sudah meninggal dunia.
Tahap ketiga, role (peletakan). Jenazah disemayamkan di rumah suku asalnya. Sebagai contoh, seorang bapa keluarga meninggal dunia di rumah isterinya, maka jenazah itu dipindahkan ke rumah sukunya dan disemayamkan di sana untuk diratapi.
Tahap keempat, aibalu pak (pembuatan peti jenazah). Acara ini ditanggung oleh keluarga dibantu oleh pihak anak-anak. Seekor hewan, biasanya seekor kerbau atau sapi dibunuh untuk memohon pada mugen (leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh) serta Hot Esen (Tuhan) agar pohon yang ditebang untuk dibuat menjadi peti jenazah itu menjadi ’perahu’ yang aman bagi orang yang meninggal. Peti jenazah (aibalu) orang Buna’ biasa dibuat dari pohon lawal (dadap), gela (kroti) atau barut (kemiri). Pohon kemiri boleh ditebang hanya untuk aibalu (peti jenazah) bagi para bangsawan. Peti dibuat dari batang tunggal, tidak boleh disambung. Peti itu dibuat dengan cara memahat bahagian dalam sehingga lubangnya memanjang sesuai ukuran jenazah dan bentuk luarnya dibuat seperti sampan. Untuk kaum bangsawan, peti jenazah itu diukir dengan umbi kunyit yang dicampur dengan kapur sehingga ukiran itu berwarna kuning dan bertahan lama. Pembuatan hiasan di peti ini disebut kirun galai (menaruh kunyit). Pembuatan ukiran di peti ini diawali dengan pembunuhan seekor babi kecil agar darahnya
121 dipercikkan pada peti yang baru selesai dan merecikkan darah itu juga pada kapur dan kunyit yang akan dipakai mewarnai peti. Bentuk peti jenazah yang dibuat seperti sampan ini menampilkan isi penuturan lisan yang meriwayatkan asal usul orang Buna’ bahwa mereka berasal dari seberang lautan, siawa mugi wa, dan dengan kematian ini, arwah orang yang meninggal itu berlayar kembali menuju tanah leluhur. Ceritera itu berlanjut dengan pemakaman orang mati bagi kaum bangsawan disebut dengan istilah do duru (menolak sampan) dengan pengertian jenazah dalam sampan itu ditolak ke dalam laut untuk berlayar menuju tanah leluhur. Di sana dia akan berkumpul dengan orang-orang mati yang lain sambil menanti saat diupacarakan dalam lal ho’on (kenduri) untuk menghantar arwah itu masuk ke tempat tinggal abadi untuk orang- orang mati di kukun hitu (tempat gelap berlapis tujuh). Atas kepercayaan tentang berdiamnya arwah orang yang meninggal di kukun hitu (tempat gelap berlapis tujuh) inilah maka selalu ada ungkapan dalam sumpah, kukun o tara (kukun = gelap, tara = tahu; yang gelap juga tahu) artinya, arwah para leluhur juga tahu sebagai saksi.
Kebiasaan membuat peti mayat dari pohon kemiri (barut) bagi orang-orang bangsawan menimbulkan kepercayaan dalam masyarakat bahwa kemiri itu pohon sakral dan tidak boleh ditanam, hanya boleh dibiarkan tumbuh sendiri. Siapa berani menanam kemiri dia akan mati. Dengan sendirinya masyarakat takut menanam kemiri. Sebagai catatan, waktu ada instruksi dari pemerintah Kabupaten untuk menanam kemiri di halaman rumah dan kebun-kebun, pada awalnya masyarakat suku Buna’ di Kecamatan Lamaknen menolak program itu dan baru mulai menanam pada tahun tujuh-puluhan sesudah diberikan penyuluhan dan penyadaran secara terpadu oleh pejabat dari dinas pekebunan dibantu oleh para pemuka Gereja Katolik bahwa menanam kemiri itu tidak akan membawa kematian.
Tahap kelima, tel gol gene golo (memasukkan dalam kuburan kecil = peti jenazah). Jenazah dimasukkan ke dalam peti sesudah semua kaum kerabat berhimpun di rumah duka. Orang-orang dari suku malu yang berhak memasukkan jenazah ke dalam peti.
Tahap keenam, holon (meratap). Jenazah yang disemayamkan di rumah duka diratapi bergantian oleh anggota dari suku-suku malu (suku asal dari si mati). Waktu meratap ini para peratap, semuanya kaum ibu,
122
menyerahkan kain tenun untuk menyatakan tanda duka. Kain tenun ini diberi istilah dino, artinya air mata. Tidak semua kain tenun itu dipakai untuk menutup jenazah tetapi dihimpun dan akan dibagikan kepada para ai ba’a sebagai tanda kenangan akan orang yang meninggal dan setiap kain yang dibagikan kemudian sesudah si mati dikuburkan, ai ba’a akan menggantinya dengan kepingan mata uang. Selanjutnya mata uang ini akan dibagikan kepada para anggota suku-suku malu sebagai tanda bahwa orang yang meninggal yang berasal dari suku malu itu, sudah meninggal dan silahkan bawa pulang keping uang logam itu untuk mengenang almarhum atau almarhumah. Pada saat seperti itu hubungan dipererat kembali antara semua suku malu dan aiba’a, dan diadakan pemulihan hubungan kalau pernah ada keretakan antara kedua pihak, malu dan ai ba’a. Pada saat itu juga diadakan pemulihan hubungan dengan si mati kalau yang meninggal itu semasa hidupnya pernah menyakiti hati salah seorang anggota suku malu atau aiba’a maka yang disakiti hatinya itu datang ke tempat duka dengan pernyataan, dobon (gantungkan diri) maksudnya menahan diri untuk tidak masuk ke dalam rumah duka. Keluarga dari orang yang meninggal akan ke luar dari rumah dan menanyakan apa alasan dobon atau pernyataan marah terhadap yang meninggal atau keluarga yang masih hidup. Sesudah dibahas alasan dan diterima sebagai kesalahan baik dari si mati maupun dari salah satu anggota keluarga si mati, maka kepada yang disakiti itu ditawarkan pemberian berupa kain tenun kalau yang disakiti itu berasal dari suku ai ba’a, atau diberikan uang kalau yang disakiti itu berasal dari suku malu. Dengan adanya pemberian ini, hubungan dipulihkan dan yang disakiti itu memberikan maaf dengan membalas pemberian itu dengan pemberian yang seimbang. Misalnya kalau barang pemulihan dari yang bersalah dalam bentuk kain, maka akan dibalas dengan uang, sebaliknya kalau pemulhan itu dalam bentuk uang, maka yang memberi maaf itu akan membalasnya dengan kain. Dengan pelaksanaan acara pemulihan dobon ini kedua belah pihak merasa yakin bahwa orang yang meninggal itu akan ’berlayar’ dengan damai kembali ke negeri leluhur.
Tahap ketujuh, tel wil (menggali kubur). Tahap ini merupakan pekerjaan menggali kubur yang diawali dengan tel taba’ (mentancapkan alat gali di tanah tempat kubur akan digali). Seluruh pekerjaan penggalian kubur ini harus dilakukan oleh anggota suku malu. Ini
123 termasuk unsur tanggungjawab dari suku asal si mati bahwa orang mereka yang menjadi anggota suku ai ba’a itu telah meninggal dan jenazahnya dikuburkan di tempat yang ditentukan dan diketahui oleh suku malu. Sesuai kebiasaan, kubur digali pada kuburan lama dari anggota suku yang sudah lama dikuburkan. Tulang-belulang dikeluarkan dan dibungkus lagi dengan kain tenun baru dan dikuburkan kembali dengan jenazah yang baru. Dalam kubur itu biasanya ada uang logam atau hiasan emas atau perak yang pernah dititipkan pada jenazah yang lama, dan semua uang atau hiasan itu boleh diambil oleh para penggali kubur yang adalah anggota suku malu.
Tahap kedelapan, gawak (memikul peti jenazah). Peti jenazah dikeluarkan dari rumah duka dan di halaman rumah, diadakan acara gawae dan taiduru (mengayun dan maju-mundur). Orang-orang pemikul peti jenazah bergerak maju dan mundur tiga kali ke arah mata hari terbit dan saling tarik menarik antara pemikul dengan orang-orang yang berdiri di depan rumah. Acara ini mempunai makna sebagai tanda permohonan izin dari si mati kepada suku yang ditinggalkan dan pernyataan kepada mugen (leluhur), pan muk gomo (roh-roh) dan Hot Esen (Tuhan) bahwa si mati meninggalkan dunia orang hidup dan menuju dunia orang mati. Sesudah acara gawae dan taiduru ini jenazah diusung ke pemakaman.
Tahap kesembilan, golo. Acara yang terakhir ialah pemakaman. Peti jenazah diturunkan ke liang lahat dan ditutup, ditimbun dengan tanah dan di atasnya disusun batu-batu ceper. Sesudah itu para pengusung peti jenazah dan para pelayat kembali ke rumah duka dan di sana semua dijamu dalam makan bersama secara adat.
Sesudah pemakaman, keluarga dari semua suku baik malu maupun ai ba’a berunding untuk mengadakan lal ho’on (kenduri) dengan acara inti menuturkan riwayat leluhur sampai kepada riwayat orang yang dikendurikan agar masuk dan menetap di dunia orang mati. Kalau belum dibuat acara lal ho’on, masyarakat suku Buna’ yakin bahwa arwah si mati masih berada di sekitar kediamannya dan bisa mengganggu orang yang masih hidup. Oleh karena itulah orang yang sudah meninggal dunia harus segera diselamatkan melalui upacara lal ho’on.
124
KESIMPULAN
Dalam Bab IV tentang ”Orang Henes-Lakmaras Dalam Keseharian” di DHL ini ditemukan adanya kebiasaan yang sudah tidak dipraktekkan lagi dan ada kebiasaan yang tetap bertahan dalam masyarakat sampai sekarang. Di sinilah letak dinamika kehidupan dari suatu masyarakat yang terus berubah.
Adat kebiasan molo a dalam pergaulan harian tetap bertahan dan masih berlaku sampai sekarang. Ada kelompok anak-anak muda di DHL yang melihat kebiasaan molo a merupakan kebiasaan yang kuno, mengotorkan gigi dan menampilkan ciri kekolotan. Tetapi ada juga kelompok yang biarpun sudah bersekolah, malah ada pegawai negeri sipil di kantor atau guru di sekolah yang masih turut mengambil bahagian dari adat molo a ini. Contohnya ialah Ibu Theresia Ili, salah seorang wanita terdidik generasi pertama dari masyarakat DHL yang hidup di kota dan tetap mempertahankan adat istiadat molo a.
Dalam adat molo a ini masih tertinggal kepercayaan yang kuat tentang sirih (molo) sebagai sarana sosial dan sarana penghubung manusia dengan dunia roh. Sirih merupakan sarana penghubung antara manusia dengan dunia roh yang terdiri dari tiga tingkatan: tingkat pertama, mugen (arwah leluhur), tingkat kedua yang lebih tinggi, pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi), tingkat tertinggi adalah Hot Esen (Matahari Yang Tinggi).
Hal yang unik ialah kaum terdidik di kalangan masyarakat DHL masih berpegang teguh pada kebiasaan ini sampai sekarang yaitu memakai sirih sebagai penghubung antara manusia dengan dunia roh. Adat ini masih bertahan dengan kuat sampai sekarang dan muncul pertentangan yang cukup tajam antara praktek ’molo gone’ (pegang sirih) dengan ajaran Kristen Katolik yang menganggap kebiasaan ini penuh dengan unsur tahyul, percaya sia-sia, percaya kepada roh-roh (animisme) dan percaya kepada kekuatan-kekuatan gaib (dinamisme).
Dalam adat yang dipraktekkan waktu kelahiran (hoto tuka), tahap awal dalam siklus kehidupan manusia, ada hal-hal yang dipertahankan terus, membawa nama leluhur (ginil gin) dan hal-hal yang sudah ditinggalkan seperti kebiasaan memanggang diri si ibu yang melahirkan selama empat puluh hari. Hal unik yang ditemukan dalam hoto tuka (melahirkan ) ini ialah penyerahan kehidupan anak kepada penyelenggaraan dan perlindungan mugen (arwah leluhur), pan muk
125 gomo (roh-roh) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Kepercayaan kepada Hot Esen ini diambil alih oleh Gereja Katolik dan memasukkan dalam ajaran tentang Tuhan Allah dengan memakai istilah Hot Esen untuk memberi Nama kepada Allah. Doa-doa secara katolik yang ditujukan kepada Allah, tetap memakai ungkapan Hot Esen. Dalam gereja katolik dipakai istilah Hot Esen untuk Tri-Tunggal: Hot Esen Ama (Allah Bapa), Hot Esen Gol Mone (Allah Putera) dan Hot Esen Roh Kudus (Allah Roh Kudus). Tetapi kepercayaan leluhur dihilangkan dengan mengatakan bahwa leluhur belum tentu sudah masuk surga oleh karena itu leluhur diganti dengan kepercayaan akan adanya orang kudus (Santu dan Santa) dan roh-roh diganti dengan ajaran tentang Malaekat yang baik sebagai roh yang baik dan Iblis sebagai roh yang jahat.
Dalam adat ton (kawin) masyarakat DHL masih kuat berpegang pada penyelenggaraan yang didasarkan pada kepercayaan pada arwah leluhur, roh-roh dan Tuhan. Pendasaran adat perkawinan atas kepercayaan kepada dunia roh ini memberikan satu dasar yang sangat kuat dan positif untuk mensejajarkan perkawinan dalam Gereja Katolik yang menyatakan bahwa perkawinan itu satu Sakramen, suatu tindakan kudus yang diberkati Allah. Dalam adat ton ini pun ditemukan kepercayaan masyarakat tentang campur tangan dunia roh: mugen, pan muk gomo dan Hot Esen.
Dalam adat yang berkaitan dengan kematian (en heser) kepercayaan akan adanya kekuatan roh semakin jelas. Orang mati diyakini kembali ke dunia leluhur, dihantar oleh roh-roh dan berada dalam penyelenggaraan Hot Esen. Pandangan tentang kepercayaan masyarakat mengenai surga dalam ajaran Gereja Katolik sebagai tempat istirahat kekal masih bertentangan dengan pandangan suku Buna’ yang menganggap orang mati itu berada di tempat yang gelap, kukun hitu (kegelapan lapis tujuh).
Kesimpulan umum untuk uraian tentang ”Orang Henes- Lakmaras Dalam Keseharian” di DHL ini ialah adanya pandangan hidup yang positif tentang hidup bersama (sosial) itu sebagai suatu keharusan yang harus dijaga sebagaipendorong (motivator) sekaligus penyemangat (inspirator) dan penarik (aspirator) masyarakat untuk berubah. Ini masuk dalam pemahaman mutakhir tentang pembangunan masyarakat yang dikelompokkan sebagai modal dengan istilah social capital. Masyarakat juga memakai berbagai pertimbangan logis untuk
126
melaksanakan adat istiadat itu dan ini merupakan kearifan lokal yang masuk dalam pemahaman tentang intellectual capital sebagai modal pengetahuan dalam pembangunan masyarakat. Berbagai sarana berupa benda-benda sepeti sirih, mata uang logam, kain tenun yang digunakan dalam adat istiadat merupakan pemahaman tentang adanya material capital sebagai modal dalam pembangunan. Semua ini dibakukan sebagai adat istiadat dalam pergaulan harian. Ketiga modal yang dikategorikan sebagai modal pembangunan masyarakat: social capital, intellectual capital dan material capital, oleh masyarakat DHL diletakkan dasarnya pada kepercayaan pada dunia roh yaitu mugen (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi), dan Hot Esen (Matahari Yang Tinggi). Dasar keyakinan tentang adanya social capital, intellectual capital dan material capital atas adanya (eksistensi) dan kehadiran (imanensi) dari dunia roh inilah yang dinamakan spiritual capital. Keberlanjutan pembangunan secara menyeluruh yang menyata dalam pandangan hidup, perilaku dan kegiatan harian dari masyarakat DHL untuk bertahan hidup merupakan perpaduan pendaya-gunaan empat capital: social capital, intellectual capital, material capital dan spiritual capital. Ternyata capital yang keempat, spiritual capital, biar tidak kelihatan secara kasat mata, tetapi tetap mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam keseharian hidup masyarakat DHL karena menyatu-padu dengan tiga capital yang lain, social capital, intellectual capital, material capital. Pemerosotan spiritual capital dalam hidup sehari-hari satu kelompok masyarakat seperti masyarakat DHL ini berarti pemerosotan seluruh keberadaan (eksistensi) masyarakat itu sendiri.