• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat istiadat merupakan kebiasaan yang hidup dan berlangsung di kalangan satu masyarakat dalam waktu yang lama dan menjadi pola hidup yang ditaati sebagai satu kewajiban dalam berperilaku. Masyarakat DHL sampai sekarang dikenal sebagai masyarakat yang suka

14 Louis Berthe, penulis buku Bei Gua – Itinéraire des ancéstres, Mythes des Bunaq de Timor, Centre de la Recherche scintifique, Paris, 1972, adalah seorang peneliti dari Perancis atas beaya UNESCO yang mengadakan penelitian selama dua tahun, 1957-1959. Dia adalah peneliti satu-satunya yang meneliti

suku Buna’ dari segi Etnologi dan menulis buku Bei Gua, yaitu buku dalam

bahasa Perancis yang berisi silsilah leluhur orang-orang Suku Buna’. Sedangkan

isterinya, Claudine Berthe membuat penelitian tentang ilmu botani dan

menerbitkan buku A Gua – riwayat bahan pangan dan tumbuh-tumbuhan lain

91 bergaul dan suka menerima tamu. Kebiasaan menerima sesama ini dinyatakan dalam adat ’molo a’. Dalam bahasa Buna’, molo artinya sirih, a artinya makan. Sirih ( piper betle L atau chavica aurculata Miq ) yang lazim dipakai ialah daun sirih, sedangkan sejenis sirih yang berbuah, buahnya tidak dipakai dalam adat tetapi hanya untuk dimakan biasa saja. Molo a, artinya makan sirih.

Saling berkunjung di antara sesama warga di dalam kampung, selalu diawali dan diakhiri dengan adat molo a. Kunjungan resmi atau tidak resmi selalu diisi dengan acara molo a ini. Mengapa?

Gambar 17. Ibu Theresia Ili, asal kampung Lakmaras, menikah dengan Leo Mali, tetap berpegang pada adat

istiadat suku Buna’. (Sumber : Eustachius Mali TaE)

92

Seorang ibu asal DHL yang sudah lama menetap di kota Atambua, bernama Theresia Ili,15 umur 73 tahun mengatakan dalam

wawancara tanggal 4 Januari 2011 di Atambua:

Adat molo a itu satu ciri khas kita. Memang orang lain di Timor

ini masih ada adat itu juga. Kita hidup ini harus saling menyapa.

Tidak bisa saling menyapa dengan kata-kata kosong. Molo, pu,

hau, bako, (sirih, pinang, kapur, tembakau) empat barang ini berpasangan. Kita punya orang tua, biar tidak makan sepanjang

hari tidak apa, tapi kalau tidak ada molo pu, mereka rasa macam

mau mati. Kita punya orang sudah menjadi satu dengan molo pu.

Itu sudah menjadi kebutuhan pokok yang paling utama. Karena itulah, menyapa orang, berarti beri hati kepada orang lain, yah

dengan beri dari hal yang paling melekat pada dirinya, molo pu

itu. Sampai sekarang, biar saya ini dianggap sudah hidup sebagai orang ’kota’, sirih pinang tetap ada dalam rumah, dan siapa pun saja yang datang, saya suguhkan sirih pinang. Dia makan, terserah, tidak makan pun tidak apa. Tergantung dari kebiasaan tamu itu. Tidak bisa paksa. Tapi dari kita, itulah adat kebiasaan kita, menyapa orang.

Kalau kita bertandang ke rumah-rumah penduduk di DHL sekarang ini, kita langsung disapa beramai-ramai oleh tuan rumah mulai dari yang tua sampai yang termuda dengan sapaan, ”Man na baa oe? (Sudah datang?) Tuen helo na man? (Datang sejak kapan?).” Selanjutnya diberi suguhan sirih pinang dan dipersilahkan dengan sapaan, ”Molo a” (makan sirih).

Setiap orang Buna’ yang sudah dewasa dan sudah berumah tangga langsung dikenal dengan kebiasaan membawa ke mana-mana tempat sirih pinang. Untuk laki-laki disebut kaluk 16, untuk perempuan

disebut rene bako a 17. Kalau ditanya umur seseorang laki-laki pada masa

15 Ibu Theresia Ili Bere lahir tgl. 3 Mei, 1938, di Lakmaras, pernah menjalani

pendidikan pembantu perawat di RKZ Surabaya, tamat 1957. Kemudian menjadi pegawai negeri sipil di Atambua lalu pensiun dan menetap di Atambua

tetapi selalu ke kampung Lakmaras mengikuti setiap upacara adat.

16 Kaluk, kantung tempat sirih pinang dari kaum laki-laki, terbuat dari kain

tenun atau anyaman daun pandan/lontar, diberi tali dan digantung di bahu. Di dalamnya diisi berbagai perlengkapan kecil seperti opa , kuni, hau, turi’ gol

(pisau) dan biji-bijian seperti jagung dan kacang-kacangan.

17Rene bako a, bakul kecil tempat sirih pinang dari kaum perempuan, terbuat

93 lalu dan dia tidak mengingat dengan pasti maka sering dibuat penjelasan, ”Waktu itu saya sudah bawa kaluk”. Itu artinya dia sudah dewasa dan sudah kawin. Kaluk dan rene bako a ini menjadi simbol harga diri seseorang sehingga ke mana-mana selalu dibawa dan kalau beristirahat, selalu digantung di tempat yang layak. Kalau diletakkan di tanah, tidak boleh dilanggar, kalau diambil oleh anak, tidak boleh digoyang-goyang karena diyakini akan membuat pemiliknya pusing. Begitu eratnya kaluk dan rene bako a dengan si pemiliknya sampai saat tidur pun kaluk dan rene bako a ini selalu berada dekat pemiliknya di bahagian dekat kepala, entah diletakkan atau digantung. Tidak pernah boleh diletakkan di bahagian kaki pemilik waktu tidur karena hal itu dianggap menghina atau meremehkan diri pemilik. Kaluk dan rene bako a biasa disebut sebagai melo (nyawa) dari pemilik.

Adat molo a menjadi ciri khas pergaulan sehari-hari suku Buna’. Kalau kaum laki-laki dewasa berkumpul, yang pertama-tama dikeluarkan dan diletakkan di depan tamu ialah: kuni 18. Di dalam kuni

ini ada sirih dan pinang. Kelengkapan lain ialah hau 19 (kapur), tabung

bambu berukir, tempat untuk mengisi kapur. Kapus ini biasa dimakan bersama sirih dan pinang supaya sirih dan pinang menjadi satu dalam mulut dan menghasilkan warna merah. Warna merah dari sirih pinang diartikan sebagai lambang persatuan, keakraban, kehangatan dan kebahagiaan. Kalau seseorang sedang mengalami kesulitan, dia biasa perlengkapan kecil lain. Sering dianyam dengan tambahan hiasan berwarna- warni.

18 Kuni, tempat sirih pinang terbuat dari bambu, milik kaum lelaki, ukuran

tingginya satu jengkal, diberi tutupan dan di dalamnya diisi sirih dan pinang.

Pada waktu tertentu, dipakai untuk tempat minum sopi atau air. Tutupan kuni

ini menjadi tempat isi sopi dan dipertukarkan sopi itu dalam perjamuan adat sebagai tanda mempererat ikatan keluarga atau tanda kesepakatan dalam suatu perjanjian.

19 Hau, artinya kapur yang dibuat khusus untuk kelengkapan makan sirih

pinang. Juga dimengerti sebagai tabung tempat isi kapur, terbuat dari bambu berukir, panjangnya kira-kira satu setengah jengkal orang dewasa. Di bahagian

penutup dari hau ini digantungkan alat-alat: hau gero’ gie (alat mengambil

kapur dari tabung terbuat dari tanduk kerbau atau logam), sael got dewe use’

gie (sikat gigi yang terbuat dari bulu babi yang diikat menjadi satu) dan dewe

hota gie (alat tusuk gigi yang dibuat dari tanduk kerbau). Sesudah makan

makanan, alat-alat ini langsung dipakai, yaitu dewe hota gie dipakai untuk

membersihkan gigi, disusul dengan menyikat gigi memakai sael got dewe use’

gie, kemudian baru mulai makan sirih dan mengambil kapur memakai hau

94

mengungkapkan kesedihannya dengan ungkapan, ”Molo a nege mea ni’ ”. (Saya makan sirih tidak merah). Kalau dalam keadaan gelisah dan resah, ada ungkapan, ”Molo a giesa nimil no man ni’ ” . (Hati saya tidak tenang untuk makan sirih).

Untuk kaum perempuan dewasa yang sudah kawin, rene bako a merupakan kelengkapan yang dibawa ke mana-mana. Di dalam rene bako a ini ada opa (senipi), anyaman dari daun pandan atau daun lontar yang terdiri dari tiga lapis dan dibuat pasangan dengan dasar dan tutupan, di dalamnya diisi sirih dan pinang. Opa ini ada dua macam. Opa dalam bentuk kotak segi empat untuk kaum perempuan, dinamakan opa pana (senipi perempuan), dan opa mone (senipi laki- laki) terbuat dalam bentuk pipih untuk kaum laki-laki. Untuk laki-laki, tempat sirih pinang itu bisa berupa opa mone atau kuni, atau dua- duanya. Kaum perempuan tidak pernah memakai kuni.

Di depan tamu biasanya tersaji baik opa pana, opa mone dan kuni. Semuanya berisi sirih pinang. Kalau tamu sampai saatnya diberi hidangan minuman dan makanan, opa dan kuni ini disingkirkan dahulu. Sesudah makan dan minum, opa dan kuni dikeluarkan lagi sebagai sajian molo pu (pu = pinang) sampai pertemuan selesai. Dengan demikian adat molo a menjadi bahagian sangat penting dalam pertemuan harian orang suku Buna’. Mengapa adat molo a ini begitu sentral dalam pergaulan harian orang suku Buna’?

Adat molo a ini sarat dengan berbagai simbol. Pertama, simbol kehidupan, damai dan ketenangan. Tali kekeluargaan dan tali persahabatan ditandai dengan adat kebiasaan molo a (makan sirih). Kalau ada kerenggangan atau perselisihan, biasanya kedua belah pihak tidak saling menegur dan dengan sendirinya tidak saling menyuguhkan sirih pinang. Perseteruan pulih kembali sesudah ada upaya untuk bertemu dan saling menukar sirih pinang dan diadakan adat molo a. Kalau dua pihak saling berseteru, tetangga biasa mengungkapkan, ”Hala’i tie molo a ni nare oa”. (Mereka sudah lama tidak saling menerima untuk makan sirih). Saling menyapa ini biasa ditandai dengan pertukaran sirih pinang. Persaudaraan ditandai dengan adat molo a, perselisihan antara sesama pun diselesaikan dengan adat molo a.

Adat peminangan anak gadis juga diistilahkan dengan ’molo pu hatama’ (masukkan sirih pinang) dan ’molo pu lai’ (taruh sirih pinang). Istilah molo pu tomak (sirih pinang utuh) dipakai untuk menjelaskan

95 jumlah belis yaitu ’harga’ perawan dalam bentuk sejumlah uang dan hewan yang diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan yang dianggap masih perawan.

Kedua, sebagai tanda kekuatan magis. Molo (sirih) sendiri sudah dijadikan satu simbol kehidupan manusia. Sirih yang mudah hidup dan memanjat di pohon dengan akar yang kokoh baik di dalam tanah maupun yang melekat di batang pohon dijadikan simbol dari kehidupan orang suku Buna’ yang hidup dalam tantangan penuh kekerasan baik dari alam maupun dari musuh-musuh sekitar.

Seorang mako’an (ahli adat), Koli Uka (74 tahun, almarhum, meninggal dunia pada tgl. 4 Februari 2010) memberikan keterangan di kampung Abis, wilayah desa Lakmaras, Oktober 2008:

”Sirih itu lambang kehidupan kita. Kita manusia itu tumbuh, merangkak naik dan melekat di pohon. Seperti sirih, kita manusia juga melekat di kita punya tanah, kita punya adat. Kita harus pegang teguh kita punya adat seperti akar sirih yag melekat kuat di pohon. Karena itulah kita punya leluhur suka makan sirih dan sirih itu sendiri beri kekuatan untuk badan. Kami orang kampung ini biar tidak makan makanan tidak apa, tapi tidak bisa tahan kalau tidak makan sirih”.

Anak-anak suku Buna’ yang baru lahir, ubun-ubunnya yang masih lembut ditutup dengan sirih pinang bekas kunyahan (molo ipos) dari mamanya. Kalau terlepas, diganti terus menerus sampai saat anak itu berusia empat puluh hari menjelang acara aru’ koil (cukur rambut). Dengan gumpalan molo ipos (kunyahan sirih pinang) yang ditempelkan di ubun-ubun bayi ini masyarakat DHL yakin bel late (angin jahat) tidak akan masuk ke dalam diri anak bayi. Orang yang sakit keras, biasanya disembur dengan dozul (air ludah) bekas kunyahan sirih pinang atau dioles di dahi, perut dan dada dengan kunyahan sirih pinang oleh orang tua atau agan (dukun). Bekas semburan ludah yang merah ini diyakini sebagai sarana menarik ke luar segala penyakit dari dalam tubuh si sakit dan juga sebagai tanda penolakan terhadap marabahaya baru yang datang dari luar. Setiap upacara penyembuhan orang sakit oleh orang tua atau agan (dukun), sirih pinang selalu dipakai sebagai alat utama. Dalam upacara penyembuhan si sakit, agan selalu menyajikan sirih pinang kepada mugen (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh

96

penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) untuk dimintai kekuatan gaib supaya si sakit diberi kesembuhan.

Kalau seseorang mau mencelakakan sesamanya dari jarak jauh, molo ipos (kunyahan sirih pinang) dikeluarkan dari mulut, diletakkan di telapak tangan dan dilemparkan ke arah tempat tinggal orang yang dianggap musuhnya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa disakiti oleh seseorang, maka tindakan yang sama dibuat untuk menghilangkan kekuatan pihak lawan. Juga ada cara yang lain, sirih yang sudah dijadikan personifikasi dari orang yang dimusuhi diletakkan di tanah dan ditindis dengan batu. Cara ini dibuat dengan harapan orang yang namanya disebut dan dilambangkan dengan sirih itu mendapat tekanan berbagai malapetaka.

Koli Uka memberikan penjelasan:

”Untuk merusakkan kesehatan orang lain atau membalas dendam, orang biasa pakai daun sirih yang yang melambangkan orang yang dimusuhi itu. Cara ini disebut molo geze (tindis sirih). Kalau satu orang, disimbolkan dengan satu daun sirih. Kalau dua orang, dua daun sirih dan seterusnya. Sirih itu ditaruh dalam keadaan telungkup di tanah di persimpangan jalan supaya semua orang tahu bahwa ada orang yang dimusuhi dan ada orang yang sedang memusuhi. Sirih itu ditindis dengan batu ceper kecil. Setiap orang yang lewat dan melihat tanda ini langsung dalam hati turut mengutuk si jahat yang sedang ditindis itu. Dengan tindis sirih di perempatan jalan, kehidupan orang yang dimaksud itu akan susah sampai dia sadar dan datang minta ampun pada orang yang sudah dia celakakan.”

97 Ketiga, sebagai tanda berkat. Upacara kaba 20 diadakan dengan

urapan di dahi, dada dan kaki tangan seseorang dengan dozul (air ludah hasil kunyahan sirih pinang) dan molo ipos (kunyahan sirih pinang) dari makoan (ahli adat) atau en matas (orang tua) untuk mendapat kekuatan dengan tujuan tertentu. Sebelum bepergian jauh, upacara kaba ini dilaksanakan di bosok (tempat upacara rumah suku) atau di mot (tempat upacara umum). Seorang imam katolik, Romo Benyamin Mali, pada asal suku Buna’, sesudah ditahbiskan menjadi imam dan sebelum diutus ke Jawa (Surabaya) pada tahun 2007, menurut ungkapan tertulisnya di internet, masih diupacarakan dengan upacara kaba ini. 21

20Kaba adalah upacara pengolesan seseorang di dahi, dada dan anggota badan

seperti tangan dan kaki agar seseorang mendapat kekuatan gaib untuk memperoleh suatu hasil dalam perjuangan dan terluput dari berbagai malapetaka.

21 P. Benediktus Bere Mali, SVD., adalah seorang imam asal suku Buna’ yang

mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat suku Buna’. Dia menulis sebuah buku tentang suku Buna’ dengan judul ‘Kembali ke Akar’. Kutipan di atas ini diambil dari internet: Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB. (Selasa, 20 Juli 2010).

Gambar 18. Ketua Suku Gelaba’, Petrus Mau memberikan kaba kepada seorang warga sukunya, Kristoforus Amadeus Bele

98

Upacara kaba juga dibuat oleh pihak ketua suku malu (suku pemberi mempelai perempuan) kepada suku aibaa (suku laki-laki penerima mempelai perempuan). Tujuan upacara kaba ini adalah permohonan rahmat dari mugen (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) agar suku malu mendapat keturunan. Sirih pinang tetap menjadi sarana uama dalam upacara kaba ini. Sirih yang didoakan biasa juga dibawa oleh orang yang didoakan dan disisip di ikat pinggang atau ditaruh dalam tempat khusus. Sirih seperti inilah yang sering diisi di kaluk atau rene bako a.

Mako’an Koli Uka menjelaskan:

”Sirih untuk melindungi orang, biasa ditaruh di dalam opa,

tangan diletakkkan di atas lalu didoakan begini: Hot ligi o le esen, tata bei mil, opi o op gomo, nei nie en lotu bari, gere-gere mal, gua-gua gene, gini hani dai-rai, muk gebu gene, pan giri gene, gini hone hoon, gini u sagal, gini gon libu’, gini giri libu’. Hoeee, nei niol na ba’a, nei nie halon na ba’a. (Terjemahan bebas: Matahari yang selalu bersinar, para leluhur, roh-roh penghuni lembah dan bukit, kami punya orang ini, lindungi dia di mana- mana, hindarkan dia bahaya, di pelosok bumi di kaki langit,

berikan dia rezeki hasil kerajinan tangan dan kaki. Hoeee,

(seruan), inilah suara kami, inilah permohonan kami). Sesudah itu beberapa daun sirih diserahkan dan orang itu makan satu atau dua daun, sedangkan yang lain diisi di saku atau disisipkan di pinggang.”

Keempat, sebagai sajian. Daun sirih yang utuh, bagus dan segar diletakkan di dalam uhus (anyaman dari daun pandan atau lontar seperti caping orang Jawa). Uhus yang paling besar dan bagus menjadi tempat sirih untuk Hot Esen. Kepada mugen ( arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh), disiapkan sejumlah uhus yang lebih sederhana sebanyak leluhur dan roh-roh yang mau disapa. Sirih yang sudah diletakkan dalam uhus ini didoakan lalu diletakkan di tempat-tempat sakral tempat yang diyakini sebagai tempat hunian arwah dan roh-roh, atau kalau tempat yang dimaksud itu jauh, maka sirih itu dibawa ke sungai dan dibiarkan dibawa oleh aliran air.

Kalau berziarah ke kubur sebagai tanda persatuan dengan arwah keluarga yang sudah meninggal, sirih yang dibawa dari rumah

99 diletakkan di kubur-kubur. Untuk keluarga yang makamnya jauh, sirih diletakkan di persimpangan jalan atau diletakkan dalam air yang mengalir di sungai supaya dibawa ke tempat yang jauh itu malahan ke seberang lautan.

Jenazah dari orang tua yang sangat dihormati, entah laki-laki atau perempuan, biasanya disemayamkan berhari-hari dan dijaga oleh kerabat dan warga masyarakat sekitar dengan berbagai macam holon (ratapan), baito’an (tutur adat) dan kawen (lagu hiburan untuk berjaga). Pembantaian hewan terus diadakan. Saat yang paling dinantikan oleh segenap kaum keluarga ialah saat buih ke luar dari mulut jenazah. Waktu itu semua kaum keluarga berada sedekat mungkin dengan jenazah karena buih yang ke luar itu diyakini sebagai sapaan dari almarhum/almarhumah yang mau meninggalkan kesaktiannya kepada kaum keluarga. Daun sirih yang utuh dicelupkan pada buih ini dan dibagikan kepada segenap anggota keluarga mulai dari yang tertua sampai yang termuda. Sirih itu disebut molo mami (sirih yang harum) dan sesudah diterima, disimpan untuk dibawa ke mana-mana sebagai kenangan pada si mati.

Menurut penjelasan dari Kela Berek (78 tahun) seorang ketua suku dari Lakmaras (sudah almarhum, meninggal tahun 2009) dalam wawancara tahun 2008 di Atambua:

”Molo mami (sirih harum) itu lambang orang mati. Kalau ada orang yang hampir mati, ada tanda, kita biasa cium bau mayat,

dan itu kita bilang kita cium molo mami. Kalau orang mati itu

orang tua dan sayang kita anak-anak dan cucu-cucu, kita dekat dia punya mayat, kita minta dia bicara, dia jawab dengan keluarkan buih dari mulut. Kalau dia marah satu anak, biar anak itu minta setengah mati, buih tidak ke luar. Kalau dia suka anak atau cucu, waktu anak atau cucu itu dekat dia punya jenazah, pasti buih ke luar. Dan buih itu diambil dengan celupkan daun sirih supaya bisa disimpan. Dahulu waktu kami masih kecil, ada kebiasaan, sirih yang dicelupkan itu dimakan sebagai tanda terima roh dan kekuatan dari orang yang mati itu dalam kita punya badan. Tetapi kemudian sesudah banyak anak mulai sekolah, cara itu tidak dibuat lagi. Hanya celup saja daun sirih dan simpan, tidak makan lagi.”

100

Mola a dengan segala falsafah hidupnya ini merupakan salah satu ciri khas dari suku Buna’ di DHL yang masih dipraktekkan sampai sekarang. Namun pelaksanaannya sudah banyak diwarnai oleh berbagai tafsiran dan pengaruh dari ajaran kristen yang dibawa oleh misionaris Gereja Katolik. Mengapa masih bertahan dan sampai kapan akan bertahan merupakan bahan kajian lebih lanjut dalam penelitian ini.

Dokumen terkait