• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelahiran seorang anak di kalangan suku Buna’ diterima dengan gembira dan diadakan upacara adat yang masih kuat berakar.

Tahap pertama, ialah upacara hoto sau (pemberkatan api). Si ibu yang melahirkan berada dekat perapian di dalam rumah adat dan tetap tinggal di situ selama empat puluh hari. Urusan mandi dan buang air besar pun dilaksanakan di tempat ini karena tempat melahirkan itu adalah tempat khusus, namanya dil.22 Struktur rumah adat itu adalah

rumah panggung sehingga semua kotoran jatuh ke bawah dan dibersihkan oleh hewan piaraan seperti babi dan anjing yang bebas berkeliaran di kolong rumah. Untuk api yang dinyalakan dekat ibu bersalin itu sudah disiapkan kayu khusus, yaitu kayu kesambi yang kuat dan dipotong dari batangnya oleh ayah si bayi. Kayu ini sudah dipotong beberapa bulan sebelum kelahiran bayi. Kalau bayi sudah lahir, ke dalam api yang menyala itu ditaruh bulu kambing, bulu ayam dan kulit kacang sayur (sejenis kacang yang bisa dimakan). Menurut Lal Gomo Koli Uka, tiga jenis barang yang dibakar ini dimaksudkan untuk menyucikan api itu supaya asapnya murni dan panasnya api itu berguna untuk kesehatan ibu dan anak. Tiga jenis barang yang dibakar itu juga melambangkan segala kotoran yang harus dihilangkan dan tidak lagi melekat pada tubuh ibu yang melahirkan. Pembakaran tiga macam benda ini merupakan pemberkatan api dan sekaligus sebagai lambang pembersihan diri si ibu dan si bayi.

Tahap kedua, ialah: ginil gin. Pemberian nama anak. Ke dalam api yang sudah disucikan itu dimasukkan mok luan (pisang mentah kulit

22 Dil adalah ruang seluas dua kali dua meter di dalam rumah adat sebagai

sambungan dari lor (tempat tidur umum yang luas di dalam rumah adat). dekat

101 hijau yang disebut dengan nama ’Luan’, nama leluhur yang pernah menjadi sejenis pisang itu). Sesudah matang, pisang ini dimakan oleh ibu yang bersalin dan sementara itu seorang wanita yang tertua dalam suku menyebut nama-nama leluhur. Penyebutan nama leluhur dengan harapan si-bayi menyusui ini, disebut, su ata ginil gin (penyebutan nama saat menyusui). Kalau bayi wanita, disebutlah nama-nama leluhur wanita. Kalau bayi laki-laki, disebutlah nama-nama leluhur laki-laki. Sewaktu salah satu nama yang cocok terdengar dan bayi itu mulai menngerakkan kepalanya untuk menyusu, maka nama itulah yang diberikan kepada si bayi itu. Sebagai contoh, kalau nama yang disebut untuk bayi perempuan itu ’Bete’, maka perempuan tua itu akan berkata, ”Bei Bete, eto man na baa oa, nei ege dapu’ sei, ege duhin sei.” (Nenek Bete, engkau sudah datang, kami terima di pangkuan kami, di gendongan kami). Semua yang hadir bergembira menerima leluhur mereka, Bete, yang telah datang dalam diri anak yang baru lahir sebagai anggota baru dalam suku.

Tahap ketiga: ukur sagal. Pada tahap ini sepasang suami isteri yang dianggap orang yang berwibawa dalam suku pergi ke ladang dan memetik sayuran atau memotong pisang muda untuk dibawa pulang dan direbus. Sesudah hasil petikan di ladang ini dibawa pulang, para ibu memasak makanan untuk dimakan bersama. Seekor ayam jantan dibunuh untuk diperiksa ususnya guna mencari tahu jalan hidup anak ini kelak. Hasil dari pencaharian nasib dan ramalan untuk masa depan ini dibicarakan dalam suku dan kepada ibu dan ayah dari anak itu diberi pesan-pesan untuk memelihara anak ini secara baik-baik sambil memperhatikan segala nasihat yang diberikan, terutama oleh kedua suami-isteri yang pergi ke ladang untuk memetik sayur yang selanjutnya bertindak sebagai bapa-mama angkat untuk anak yang baru lahir itu.

Tahap keempat: uor sait a (makan sayuran gatal). Hasil dari kebun yang dimasak dimakan oleh ibu sang bayi. Uor sait (sayuran gatal) maksudnya ibu dari bayi itu boleh memakan berbagai makanan yang tidak dilarang demi kesehatan itu sendiri dan demi kesehatan bayi. Diharapkan air susu ibu menjadi sehat untuk bayi dan cepat besar tanpa gangguan penyakit. Pada saat ini, di pergelangan tangan bayi digantungkan sebuah anyaman dari pandan, disebut kau’ (adik) sebesar kelingking anak kecil, panjangnya sekitar lima sentimeter, dengan

102

maksud kau’ (anyaman) itu menjadi tiruan manusia kecil yang menjadi penghalang segala macam serangan angin jahat. Kalau ada angin jahat, bayi tidak langsung terserang karena tertahan oleh kau’ (anyaman) yang terikat dan tergantung di pergelangan tangan. Kalau bayi sudah besar, kau’ ini diganti dengan hiasan perak berupa satu mata uang perak atau belak (mata uang perak yang ditempa menjadi kepingan tipis berbentuk bulatan bergaris tengah sekitar lima sentimeter) yang diberi lubang di pinggirnya dan digantungkan di leher. Kalau anak puteri, sesudah satu atau dua minggu, cuping telinganya dilubangkan dan hiasan perak atau emas yang disebut karobu atau kawata (anting-anting) digantungkan sebagai kelengkapan hiasan yang digantungkan pada leher. Semuanya ini mempunyai makna sebagai alat penolak bala.

Acara uor sait a (makan sayuran gatal) ini ditutup dengan pembahagian makanan kepada semua suku tetangga untuk memaklumkan kelahiran bayi, anggota baru dalam suku. Ada utusan khusus dari keluarga ditugaskan membawa lama’ (bahagian) berupa pisang rebus, nasi sedikit dengan irisan daging ayam yang diisi dalam taka (tanasak, anyaman dari daun pandan) dan oril (kuah daging) dalam tulak gol (tabung bambu kecil yang diberi tutupan) dan diantar kepada suku bein pana (raja perempuan) dan bein mone (raja laki-laki). Utusan ke dua suku ini diberi pesan untuk menyampaikan kata-kata berikut:

Bein pana o bein mone, Ie mila en, ie en lotu, laba ni oa, loren ni oa, Hoto tuka oa, il wi oa, Bei pana, bei Bete bi, Bai na taru dinil dele man.

Terjemahannya:

Bangsawan perempuan dan bangsawan laki-laki, Hamba dari baginda, rakyat dari baginda, Sudah di tempat terang, di tempat lapang, Sudah dekat api, sudah minum air, Nenek perempuan, nenek Bete itu, Dia yang datang memberi namanya.

Artinya:

Yang mulia, Ibu dan Bapa Raja, Seorang anak sudah lahir,

103

Sebagai rakyat dari Ibu dan Bapa Raja, Dan anak ini diberi nama Bete. (perempuan)

Tahap keempat: aru’ koil (cukur rambut). Upacara ini dilaksanakan pada waktu anak itu mencapai usia empat puluh hari. Seluruh kaum keluarga dikumpul dan dibunuh seekor babi besar. Darahnya dioles pada dahi anak yang diupacarakan lalu dagingnya dimasak tetapi kepala babi itu diberikan kepada saudara dan saudari kandung dari ayah dari si bayi. Mereka menerima kepala babi ini dan menggantinya dengan selembar kain tenun yang besar untuk menyelimuti bayi. Tiap-tiap ibu dari keluarga si ayah biasa memberikan selimut sehingga banyak selimut terkumpul saat itu untuk bayi tersebut. Di samping itu kaum keluarga ini memberikan seekor sapi atau kuda kepada bayi itu sebagai lambang harta untuk menjadi bekal hidup nanti.

Dengan rangkaian upacara ini seorang anak suku Buna’ bertumbuh dan menanti saatnya untuk berumah-tangga. Adat perkawinan menjadi saat didirikannya satu keluarga baru dalam suku. Di desa Henes dan Lakmaras adat ini masih dilaksanakan dengan beberapa penyederhanaan atas pertimbangan waktu dan tenaga. Inti dari tiap tahap tetap dilaksanakan dengan perpaduan beberapa tahap, misalnya aru’ koil (cukur rambut) sudah disatukan dengan saat syukuran sesudah anak diterima dalam Gereja Katolik melalui penerimaan Sakramen Baptis. Waktu itu sanak saudara diundang untuk melaksanakan acara cukur rambut sekaligus mengundang Guru Agama Katolik untuk berdoa secara katolik sambil tetap mengenangkan arwah para leluhur. Di sini ada perpaduan tetapi nampaknya masih terpaksa karena Guru Agama Katolik tetap tidak mau mengambil peranan dalam acara hidangan sirih-pinang dan daging ayam untuk leluhur, sedangkan orang tua tetap melaksanakan ini dengan alasan, adat leluhur harus dilaksanakan kalau tidak leluhur bisa marah.

Dokumen terkait