• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI GEREJA GANJURAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI GEREJA GANJURAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI KOMPLEK GEREJA

GANJURAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Yonas Arya Kurnianto 11206241023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Where there`s a will, there`s a way”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan tugas akhir ini untuk kedua orang tua saya, Andreas Aris Purwanto danYani Tri Artiningsih.

Terimakasih telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan cinta kasih yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas bertuliskan kata

cinta dan persembahan ini.

Terimakasih juga untuk kedua kakak saya, Dhaniel Andhika Haris Saptono, Agnesia Bingar Utari,

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas segala rahmat dan kasih-Nya yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.

Penulisan laporan ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu saya menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dr. Widyastuti Purbani, M.A. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Dwi Retno Sri Ambarwati, M.Sn. selaku Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Drs. Kuncoro Wulan Dewojati, M.Sn. selaku Ketua Prodi Pendidikan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

5. Drs. Bambang Prihadi, M.pd. selaku dosen pembimbing yang tidak pernah lelah dan sabar memberikan bimbingan dan arahan.

6. Segenap dosen dan karyawan jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berguna.

7. Kedua orang tua saya, ayah dan ibu atas segala dukungan dan kasih sayang yang telah mereka berikan selama ini.

8. Kakak dan adik atas doa dan bantuannya.

9. Para sahabat, dan teman-teman mahasiswa Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam mengerjakan Tugas Akhir Skripsi ini.

(8)

viii

Semoga segala kebaikan dan upaya yang telah mereka berikan kepada penulis dibalas oleh Tuhan Yang Mahaesa, Amin.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tugas Akhir Skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Tugas Akhir Skripsi ini.Akhir kata, semoga Tugas Akhir Skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 18Januari 2016

(9)
(10)

x

1. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi di Dalam Gereja Ganjuran... 72

a. Makna Simbolis Bangunan Gereja Ganjuran... 72

b. Makna Simbolis Dekorasi di Dalam Gereja Ganjuran... 74

(11)

xi

2) Makna Simbolis Dekorasi Ukiran Motif Tumbuhan... 77

3) Makna Simbolis Ukiran Motif Burung Merpati di Dalam Bangunan Gereja... 78

4) Makna Simbolis Ukiran Motif Anggur dan Tangkai Gandum... 80

2. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi Candi... 81

3. Makna Simbolis Patung Yesus di Dalam Candi... 84

4. Makna Simbolis Berkat Tirta Perwitasari... 86

5. Makna Simbolis Gapura dan Relief... 87

6. Makna Simbolis Patung Bunda Maria... 94

BAB VSIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 96

B. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA……….……….. 100

(12)
(13)

xiii

Gambar 29 :Bentuk awal Gereja Ganjuran pada masa kolonial Belanda... 52

Gambar 30 :Pengambilan air dari Berkat Tirta Perwitasari oleh umat... 55

Gambar 31:Ukiran di dalam bangunan Gereja... 56

Gambar 32:Perbandingansoko guru di dalam bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... . 57

Gambar 33:Keterbukaan ruang yang dominan di dalam bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... 58

Gambar 34:Perbandingan bentuk bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... 59

Gambar 35 : Altar di dalam Gereja Ganjuran... 60

Gambar 36 : Tabernakel di dalam Gereja Ganjuran... 61

Gambar37 : Prasasti pendirian Gereja Mandala Hati Kudus Yesus... 61

Gambar 38 : Bangunan Candi Hati Kudus Yesus... 62

Gambar 39 : Pembagian bagian candi bercorak Hindu pada candi Hati Kudus Yesus... 63

Gambar 40 : Patung Yesus di dalam candi... 65

Gambar 41 : Ukiran aksara Jawa di atas patung Yesus... 66

Gambar 42: Langit-langit candi dan ukiran pada pintu masuk candi... 66

Gambar 43 :Langit-langit candi dan ukiran pada pintu masuk candi... 66

Gambar 44 :Berkat Tirta Perwitasari yang berada di sekeliling candi... 67

Gambar 45 :Berkat Tirta Perwita Sari saat ini... 68

Gambar 46 : Berkat Tirta Perwita Sari saat ini... 68

Gambar 47: Gapura sebagai gerbang masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran... 70

Gambar 48: Jalan Salib di halaman candi... 71

Gambar 49 : Patung Bunda Maria sebelum terjadi gempa pada tahun 2006... 72

Gambar 50 :Soko guru di dalam bangunan Gereja Ganjuran... 73

Gambar 51: Salib dan lilin di altar Gereja... 74

Gambar 52: Dekorasi ukiran berbentuk lidah api di atas tabernakel... 76

Gambar 53 : Simbol X dan P di dekat altar Gereja……… 77

(14)

xiv

Gambar 55 : Salah satu dekorasi ukiran anggur dan tangkai gandum... 80

Gambar 56: Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran... 82

Gambar 57:Dekorasi ukiran symbol Trinitas di langit-langit candi... 83

Gambar 58: Patung Yesus di dalam Candi... 85

Gambar 59: Relief di atas gapura dan setelah memasuki gapura... 88

Gambar 60: Relief di atas gapura dan setelah memasuki gapura... 88

Gambar 61: Dekorasi relief kepala manusia, simbol Santo Matius... 89

Gambar 62: Dekorasi relief kepala rajawali, simbol Santo Yohanes... 90

Gambar 63 : Dekorasi relief kepala lembu, simbol Santo Lukas... 91

Gambar 64: Dekorasi relief kepala singa, simbol Santo Markus... 92

Gambar 65 :Salah satu panel jalan salib di halaman candi... 94

Gambar 66 : Salah satu panel jalan salib di halaman candi... 94

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(16)

xvi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui;(1) latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran, (2) latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006, (3)jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran, (4) bagaimana bentuk dekorasi yang ada di gereja Ganjuran, (5) makna simbolik dekorasi di Gereja Ganjuran.

Metode Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif deskriptif,dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan kepustakaan.Validitas data menggunakan triangulasi data ataumultiple source of evidence.Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data mengalir atau flow modelof analysis yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Karena bentuk penelitian ini adalah studi kasus tunggal, maka studi ini berusaha menerangkan, dan membahas simbol–simbol yang ada pada dekorasi Gereja Ganjuran, kaitannya sebagai sumber belajar mahasiswa seni rupa.Pengumpulan datanya terarah pada berbagai aspek fokus / variabel.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Gereja Ganjuran Pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19, tepatnya tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer karena rasa syukur atas perkembangan pabrik Gondanglipuro dan prakarsa seorang Pastur bernama Pastur Van Driessche. SJ, gereja didirikan dengan menerapkan ajaran sosial Gereja (rerun novarum), (2) Gereja Ganjuran rusak setelah gempa tahun 2006 dan dibangun serta diresmikan kembali pada tahun 2009, (3) setiap bangunan di komplek Gereja Ganjuran memiliki fungsinya masing-masing, (4) bentuk dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran memiliki corak Hinduistik dan Jawa tradisional, meliputi ukiran, perlengkapan ibadah, patung, serta relief yang terdapat di dalam bangunan Gereja, dan candi, (5) makna simbolis dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran terdapat di dalam bangunan Gereja terkait dengan ajaran Katolik, candi, Berkat Tirta Perwitasari, relief jalan salib dan gapura gerbang masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik diharapkan mampu menyesuaikan dengan kebudayaan setempat melalui proses inkulturasi, memperkaya diri dengan nilai-nilai kebudayaan setempat, tidak hanya mengikuti kebudayaan barat. Dalam konsili Vatikan II, dibentuk undang-undang gereja yang baru, agar gereja melibatkan peran aktif umat melalui liturgi yang dimengerti dan dihayati umat dengan mengangkat kebudayaan setempat. Dengan semangat inkulturasi ini Gereja Ganjuran dibangun pada tahun 2009. Berawal dari sebuah gereja kecil yang dibangun pada tahun 1924 oleh pemilik pabrik gula Gondanglipuro, keluarga Schmutzer. Bentuk awal gereja berarsitektur Eropa, menyesuaikan aturan dari Roma dengan bentuk serba simetris dan letak pintu yang berada di sebelah barat, sehingga Imam menghadap ke barat, sedangkan umat menghadap ke timur. Gereja dibangun sebagai ungkapan rasa syukur atas perkembangan pesat pabrik dan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran sosial gereja (rerum novarum) dengan memperlakukan pekerja pabrik gula dengan baik, dan menyediakan fasilitas bagi mereka.

(18)

yang berpusat di pantai selatan. Gempa tersebut merobohkan bangunan utama gereja, namun candi, pasturan, pendopo dan bangunan pendukung lainnya tetap tegak berdiri. Dengan bantuan yang diterima dari berbagai pihak, umat Katolik Paroki Ganjuran bersama masyarakat mulai memperbaiki rumah tinggal yang rusak akibat gempa. Setelah umat dan masyarakat mulai berbenah, kapel-ka pel wilayah juga diperbaiki dan dibangun kembali. Bersamaan dengan itu, persiapan pembangunan kembali Gereja Ganjuran juga telah disiapkan, dan akan dilaksanakan setelah kondisi sosial ekonomi masyarakat mulai pulih. Pada tahun 2008, Rencana pembangunan kembali Gerja Ganjuran mendapat persetujuan dari Keuskupan Agung Semarang, dan pada tanggal 22 Juni 2008, bersamaan dengan Prosesi 2008 Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo berkenan meletakkan batu pertama pembangunan kembali Gereja Ganjuran. Pembangunan kembali Gereja Ganjuran ini dilaksanakan oleh umat paroki Gereja Ganjuran. Pada tanggal 29 Agustus 2009, Gereja Ganjuran yang baru telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Paduka Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan ditandai perayaan Misa Ekaristi Agung oleh Rm Prof. Mgr. Ign. Suharyo, Pr.

(19)

mencapai 600 meter persegi. Gereja Ganjuran ini mampu menampung hingga lebih dari 900 umat. Dekorasi ukiran yang terdapat di dalam gereja merupakan perpaduan dari ukiran tradisional Jawa dengan beberapa simbol liturgial dalam gereja seperti burung merpati, salib, anggur, dan tangkai gandum, meliputi dekorasi bangunan gereja serta dekorasi pada interior gereja seperti altar dan tabernakel. Di antara tabernakel juga terdapat 2 buah patung malaikat penjaga

“Keraf dan Kerafin” yang merupakan representasi kinara dan kinari dalam

budaya Hindu Budha. Bangunan gereja yang memiliki bentuk dekorasi tradisional Jawa bukan satu-satunya keunikan yang dimiliki oleh komplek Gereja Ganjuran, terdapat sebuah candi bercorak Hindu Jawa di sebelah timur bangunan gereja dengan patung Yesus dengan pakaian kebesaran raja Jawa di dalamnya. Candi tersebut dibangun pada tahun 1927 dengan nama Candi Hati Kudus Yesus. Di halaman candi terdapat relief jalan salib yang membujur dari selatan sampai utara sisi timur gereja, selain itu terdapat Berkat Tirta Perwitasari yang merupakan sumber air di komplek Gereja Ganjuran. Berkat Tirta Perwitasari ini berada di sisi timur dan barat bangunan candi. Gapura pintu masuk menuju komplek Gereja Ganjuran juga memiliki keunikan dari segi visualnya, dengan mengadopsi bentuk gapura bercorak Hindu. gapura tersebut mentransformasikan bentuk kala menjadi simbol trinitas dalam Katolik, selain itu penjaga gerbang direpresentasikan dalam wujud relief kepala manusia, lembu, singa, dan rajawali yang merupakan simbol dari ke empat penginjil.

(20)

masyarakat setempat, menjadi dasar bentuk perancangan bangunan Gereja Ganjuran yang baru. Selain menerapkan dan mengadopsi arsitektur setempat, seni musik, lagu dan tarian setempat juga dikembangkan dan digunakan dalam kegiatan liturgial gereja. Sebagai salah satu unsur kebudayaan Jawa, Yogyakarta memiliki bangunan tradisional Jawa yang berfungsi sebagai tempat kediaman sultan Yogyakarta atau dikenal sebagai keraton Yogya. Bangunan keraton dengan bentuk pendopo joglo inilah yang menjadi dasar dalam perancangan bangunan Gereja Ganjuran. Secara visual sangat terlihat bentuk dan dekorasi dari arsitektur tradisional Jawa yang dominan.

Dengan arsitektur dan dekorasi gereja yang sedemikian rupa, Gereja Ganjuran memiliki banyak sekali makna simbolis dibaliknya. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol biasa dianggap sebagai gambaran dari realitas transenden atau realitas yang berada di luar kesanggupan manusia. Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara. Namun simbol bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti salib yang sudah menjadi simbol agama Kristen. Berkaitan dengan berbagai keunikan, keberagaman arsitektur dan dekorasi yang terdapat di dalam komplek Gereja Ganjuran serta kaitannya yang erat dengan budaya liturgial gereja dan inkulturasi yang ada, tentunya terdapat berbagai hal menarik dari keomplek Gereja Ganjuran untuk diteliti. Terutama dalam makna simbolis berbagai dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran.

(21)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dapat diambil beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Inkulturasi bangunan gereja yang mengadopsi bentuk joglo tumpangsari 2. Bentuk gerbang Gapura masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran. 3. Empat bejana air di sisi kiri dan kanan sebagai simbol empat penginjil. 4. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada soko guru. 5. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada molo. 6. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada blandar. 7. Patung malaikat penjaga tabernakel, “Keraf dan Kerafin”.

8. Tabernakel sebagai tempat sakramen Maha Kudus lambang Kristus.

9. Altar tempat persembahan dengan ukiran anggur dan tangkai gandum, lambang penyerahan hidup abadi.

10. Altar yang dibuat lebih tinggi dari tempat umat.

11. Patung Bunda Maria inkulturasi Hindu Jawa sebagai tempat devosi jalan perantara berkah Tuhan.

12. Bentuk Patung Bunda Maria di luar bangunan gereja sebelum gempa tahun 2006.

13. Bentuk Patung Bunda Maria di luar bangunan gereja pasca gempa tahun 2006. 14. Relief jalan salib sebagai tempat devosi mengenang sengsara dan wafat

Kristus, lambang perjalanan hidup Kristiani.

(22)

16. Candi Hati Kudus Yesus tempat bertahta patung Yesus dengan busana kebesaran seorang Raja Jawa.

17. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari di sekeliling candi 18. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari pasca gempa tahun 2006 19. Berkat Tirta Perwitasari di barat dan timur bangunan candi. 20. Dekorasi ukiran motif tumbuhan.

21. Dekorasi ukiran motif burung merpati. 22. Dekorasi relief pada gapura dan jalan salib.

23. Patung Yesus di dalam candi yang dibuat dari batu yang diambil dari Gunung Merapi.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah terkait dengan makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran, maka batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk awal Gereja Ganjuran pada tahun 1924? 2. Bagaimana bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006?

3. Apa saja jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran? 4. Bagaimana bentuk dekorasi di komplek Gereja Ganjuran?

5. Apa makna simbolis dekorasi di komplek Gereja Ganjuran?

(23)

Berdasarkan uraian batasan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut:

1. Latar belakang sejarah dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran pada tahun 1924.

2. Bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

3. Jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran. 4. Bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran.

5. Makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pengetahuan seni rupa pada umumnya dan dekorasi seni bangun religius khususnya.

(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

Dalam kajian teori akan dibahas mengenai teori-teori yang akan digunakan sebagai acuan ilmiah dalam penelitian.

1. Pengertian Gereja

Kata gereja berasal bahasa Portugis igreja dan bahasa Yunani ε ησία (ekklêsia)). Istilah Yunani ἐ ησία, yang muncul dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen diterjemahkan sebagai "jemaat". Istilah ini muncul dalam 2 ayat dari Injil Matius, 24 ayat dari Kisah Para Rasul, 58 ayat dari surat Rasul Paulus, 2 ayat dari Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat dari Surat Yakobus, 3 ayat dari Surat Yohanes yang Ketiga, dan 19 ayat dari Kitab Wahyu. Gereja bagi umat Kristen bukanlah semata-mata merujuk pada bangunan tempat beribadah, gereja dimaknai sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus.

(25)

iman kepada Yesus Kristus untuk keselamatannya (Yohanes 3: 16; 1 Korintus 12: 13).

Gereja dapat dipandang dari berbagai macam sudut pandang dan pengertian, selain secara historis seperti dijelaskan sebelumnya, secara sosiologis gereja dapat dilihat sebagai persekutuan keagamaan umat Kristiani yang terorganisasi, berkembang, dan berperan dalam masyarakat. Gereja dipandang dari sudut pengertian dirinya yaitu dari sudut ajaran gereja sebagai sarana mengembangkan Kerajaan Allah. Gereja harus selalu memperbaharui diri, supaya dapat menjalankan peranannya dalam situasi yang selamanya berubah (Heuken, 1991: 344). Berkaitan dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan gereja adalah rumah ibadat untuk umat Kristen Katolik yang mempunyai aturan, struktur, dan symbol-simbol universal di seluruh dunia.

2. Pengertian Joglo

(26)

ruangan seperti ini juga diterapkan di dalam bangunan utama gereja yang mengadopsi bentuk joglo. Senthong kanan digunakan sebagai ruang pengampunan dosa, senthong tengah merupakan sisi dalam gereja yang lebih tinggi sebagai tempat altar, sedangkan senthong kiri di dalam gereja digunakan sebagai tempat gamelan sebagai instrumen pengiring ibadat.

3. Struktur dan Tata Letak Perlengkapan Gereja Ganjuran

(27)
(28)

Dalam pertemuan para uskup, Sinode, di Vatikan Roma pada tahun 1977 tentang katakese telah dikeluarkan naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah”

yang intinya menekankan pada kebudayaan setempat. Dalam konstitusi tentang konstitusi mengenai liturgi sendiri menegaskan bahwa gereja tidak ingin memasukkan satu bentuk sama atau seragam. Gereja memajukan dan mengembangkan keindahan kekayaan serta keindahan jiwa bangsa. Apa saja yang terdapat dalam adat istiadat bangsa yang tidak terikat erat dengan takhayul atau kesesatan, dapat dipertimbangkan dengan seutuh–utuhnya. Oleh karena itu, istilah-istilah dipakai oleh teolog misiolog maupun para liturgis untuk menjelaskan bahwa terjalinnya kontak antara gereja Katolik khususnya dengan budaya-budaya bangsa-bangsa di dunia. Misalnya: istilah indigesation, yang bersal dari kata indigenous, yaitu menunjuk pada proses yang memperhatikan suatu liturgi budaya yang asli atau pribumi dari komunitas lokal (Jacobs, dalam Sumandiyo, 2000: 244-245). Sehingga arsitektur seni bangunan gereja tidak monoton dan tidak harus seragam, melainkan boleh dengan inkulturasi budaya setempat asal tidak meninggalkan semangat, cirri, kehidupan, dan liturgi gerejawi. Selain seni arsitektur, gereja tidak tertutup untuk cabang seni yang lain, seperti seni rupa, tari maupun musik.

(29)

kekuasaan atas struktur sosial maupun arsitektur. Namun, dalam perkembangannya, gereja Katolik melalui proses inkulturasi, dituntut untuk tidak hanya berkontribusi pada kebudayaan setempat, melainkan belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Inkulturasi dalam konteks agama Kristen dan budaya setempat kemudian menjadi perhatian utama gereja Katolik, seperti tercantum pada dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, 1962-1965 (Schineller, 1990).

Ciri arsitektur Gotik semakin ditinggalkan dan arsitektur gereja Katolik semakin bernafaskan arsitektur setempat. Gereja ditujukan untuk mengantarkan kebenaran, keyakinan dan membawa para penganutnya kepada tindakan yang diharapkan sesuai ajaran agama Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu menjadi simbol kesakralan, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen. Makna-makna ini tertuang baik dalam wujud arsitekturnya secara keseluruhan, maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya (Sutrisno, 1983).

(30)

perilakunya dalam ruang sakral, membentuk respon emosionalnya (Thomas, 1994).

5. Interior Gereja

Mikke Susanto (2012: 102) menjelaskan bahwa interior merupakan desain, dekorasi dan penyelenggara alat-alat atau perlengkapan sebuah ruang dari sebuah ruang. Seperti halnya bangunan pada umumnya, interior gereja juga menjadi dekorasi, alat, maupun perlengkapan yang bersifat fungsional maupun simbolik. Setiap gereja memiliki sebuah meja bernama altar yang ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan kudus atau altar) dan firman (khotbah atau mimbar). Altar gereja mengingatkan baik pada tempat persembahan kurban dalam Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridnya pada malam sebelum ia disalibkan. Penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus maupun sebagai tempat persembahan (kolekte) masih mencerminkan makna ganda tersebut. Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti salib, alkitab, lilin, dan bunga (Heuken, 1995).

(31)

suci (Heuken, 1995). Selain altar dan tabernakel, dekorasi interior yang paling nampak dalam bangunan gereja adalah adanya salib, baik itu dua dimensi yang dapat berupa lukisan dan mozaik pada kaca, maupun tiga dimensi yang berupa dekorasi eksterior ataupun interior gereja.

Pada masa awal kekristenan, umat sering menggunakan ayam jago (Matius 26: 74-75) dan ikan sebagai simbol. Ada dua hal yang dilambangkan dengan ikan. Pertama, dalam bahasa Yunani kata “ikan” ditulis dengan huruf-huruf: I-KH-TH-U-S. huruf tersebut ditafsirkan oleh umat Kristen sebagai akronim dari Iesous (Yesus), Khristos (Kristus), Theou (Allah), huios (Anak), Soter (Juru selamat), yang artinya: Yesus Kristus Anak Allah Juru selamat. Kedua, ikan juga melambangkan kisah Yunus, yang selama tiga hari berada di dalam perut ikan.Peristiwa ini dianggap menunjuk pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (Matius 12: 40) (Kelompok Kerja PAK-PGI, 2009).

6. Dekorasi Pada Bangunan Tradisional Jawa

Dekorasi berkaitan dengan banyak istilah, antara lain ornamen dan ragam hias. Masing-masing memiliki arti yang hampir sama. Dekorasi berasal dari kata benda decoration yang berarti “sesuatu yang digunakan untuk menghias” (Hornby, dalam Sunarmi, Guntur, dan Tri, 2007: 129).

(32)

diterapkan untuk menghias atau memperindah suatu objek disebut elemen dekorasi. Ornamen tidak terbatas pada penggambaran elemen-elemen hias yang bersifat dua dimensi, tetapi juga mencakup penerapannya pada benda-benda yang bersifat tiga dimensi.

Menurut Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982), dekorasi atau hiasan pada bangunan rumah jawa tradisional pada dasarnya ada dua macam, yaitu dekorasi konstruksional dan dekorasi yang tidak konstruksional. Maksud dari dekorasi konstruksional adalah dekorasi yang menjadi satu dengan bangunan, jadi tidak dapat dilepaskan dari bangunannya, sedangkan dekorasi yang tidak konstruksional ialah dekorasi bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap konstruksi bangunannya. Dekorasi yang terdapat pada bangunan rumah Jawa tradisional pada umumnya bersifat konstruksional.

(33)

7. Unsur-Unsur Dekorasi Candi Hinduisme di Jawa

Di Jawa, banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah pada masa kerajaan Hindu Buddha, yang tentunya memiliki unsur-unsur Budhisme dan Hinduisme khususnya dalam arsitektur bangunan dan elemen hias atau dekorasinya. Candi merupakan salah satu karya arsitektur Hinduistik dan Budhistik yang sampai sekarang masih banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Istilah candi merujuk pada bangunan suci peninggalan zaman Hindu Buddha di Indonesia. Candi merupakan bangunan kuno yang tersusun dari batu. Di India candi disebut dewa graha yang berarti rumah dewa dimana menurut kepercayaan bangsa India pada waktu dulu gunung kosmis adalah Mahameru, dan candi merupakan semacam pencerminan dari tempat tinggal para dewa, oleh karena itu candi juga berfungsi sebagai tempat pemujaan (Arifin, 1986: 52).

(34)

Relief menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya; gambar timbul (pada candi). Bentuk ukiran tersebut biasanya dijumpai pada bangunan candi, kuil, monumen dan tempat bersejarah kuno. Di Indonesia, relief pada dinding Candi Borobudur merupakan salah satu contoh yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan sang Buddha dan ajaran-ajarannya. Di Eropa, ukiran pada kuil kuno Parthenon juga masih bisa dilihat sampai sekarang sebagai peninggalan sejarah Yunani Kuno.

Relief ini bisa merupakan ukiran yang berdiri sendiri, maupun sebagai bagian dari panel relief yang lain, membentuk suatu seri cerita atau ajaran. Pada Candi Borobudur misalkan, ada lebih dari 1400 buah panel relief yang dipakai untuk menceritakan semua ajaran sang Buddha Gautama. Selain relief, banyak juga ditemui patung dewa dan dewi maupun figur penting lain dalam agama Hindu dan Budha. Patung sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tiruan bentuk orang, hewan, yang dibuat dari batu, kayu, dan sebagainya. Patung tidak dapat lepas dari perlengkapan ataupun hiasan pada bangunan gereja. Karena patung pada gereja digunakan untuk simbolisasi pemujaan.

(35)

Jenis-jenis patung yang telah dihasilkan memiliki berbagai macam rupa dan wujud. Jenis-jenis patung yang ada di dalam komplek Ganjuran adalah free-standing sculpture, portrait sculpture, relief sculpture. Free-standing sculpture bisa disebut juga dengan patung berdiri yang sangat umum menggambarkan manusia atau objek lainnya. Portrait sculpture disebut juga dengan patung dada atau potret yang hanya memunculkan figur kepala manusia atau penjelmaan dewa. Relief sculpture secara sederhana disebut relief yang memiliki background flat.

8. Bentuk dan Makna Dekorasi Ragam Hias Jawa

Bentuk dan makna dekorasi Jawa sebelumnya sudah sedikit disinggung dalam kajian dekorasi bangunan tradisional Jawa, dimana dijelaskan oleh Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982) bahwa fungsi dekorasi pada suatu bangunan tradisional Jawa adalah untuk memberi keindahan pada bangunan dan keindahan yang terdapat pada bangunan itu diharapkan dapat memberikan ketentraman dan kesejukan, dan ketentraman abadi hanya terdapat di surga, maka dekorasi yang dipakai juga menggunakan dekorasi yang dapat menggambarkan surga, yang pada umumnya bersifat fantasi atau benda dunia yang diperindah dari bentuk aslinya. Kiblat dekorasi yang menggambarkan surga bagi masyarakat Jawa adalah dekorasi yang terdapat pada bangunan candi, yang merupakan bangunan yang dipergunakan untuk menempatkan patung-patung para dewa.

(36)

tradisional, sering kali terdapat makna spiritual yang dituangkan dalam stilisasi ragam hias. Ragam hias Nusantara biasanya merupakan stilisasi dari bentuk alam atau makhluk hidup (termasuk manusia), dan ada pula ragam hias adaptasi pengaruh budaya luar, seperti dari Tiongkok, India, dan Persia.

Motif dalam ragam hias diambil dari bentuk-bentuk flora, fauna, figuratif, dan bentuk geometris. Ragam hias tersebut dapat diterapkan pada media dua dan tiga dimensi. Motif ragam hias daerah di Indonesia banyak menggunakan tumbuhan dan hewan sebagai objek ragam hias. Motif ragam hias tersebut dapat dijumpai pada hasil karya batik, ukiran, anyaman, dan tenun. Selain motif flora dan fauna, terdapat motif ragam hias geometris. Motif hias geometris dikembangkan dari bentuk-bentuk geometris dan kemudian digayakan sesuai dengan selera dan imajinasi pembuatnya. Gaya ragam hias geometris dapat dibuat dengan menggabungkan bentuk-bentuk geometris ke dalam satu motif ragam hias. Bentuk ragam hias umumnya memiliki pola atau susunan yang diulang-ulang. Pada bentuk ragam hias yang lain, pola yang ditampilkan dapat berupa pola ragam hias yang teratur, terukur, dan memiliki keseimbangan. Pola ragam hias geometris dapat ditandai dari bentuknya seperti persegi empat, zigzag, garis

silang, segitiga, dan lingkaran. Pola bidang tersebut merupakan pola geometris yang bentuknya teratur. Bentuk lain dari pola geometris adalah dengan mengubah susunan pola ragam hias tak beraturan dan tetap memperhatikan segi keindahan (Purnomo, 2013: 14-17).

(37)

kepercayaan, dan kelompok lain-lain. Kelompok flora yang banyak didapati pada dekorasi bangunan tradisional Jawa adalah macam flora yang memiliki makna suci, berwarna indah, berbentuk simetris, dan serba estetis meliputi batang, daun, bunga, buah, dan ujung pohon-pohonan. Contoh ragam hias flora yang sering dijumpai adalah lung-lungan, saton, tlacapan, dan wajikan.

Pada gambar 2, digambarkan ragam hias lung-lungan yang berwujud pohon atau tumbuhan yang biasanya kita jumpai, seperti teratai, melati, daun markisa, atau tanaman yang bersifat melata, berfungsi untuk memberikan keindahan dan kesan ketentraman pada suatu bangunan.

Gambar 2: Lung-lungan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 126)

(38)

Gambar 3: Saton

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 129)

Tlacapan pada gambar 4 berbentuk segi tiga sama kaki yang dapat diisi dengan lung lungan, dedaunan, maupun bunga yang distilisasikan. Tlacapan memiliki maksud kecerahan atau keagungan, sehingga digambarkan sebagai cahaya sorot atau menggambarkan sinar matahari.

Gambar 4: Tlacapan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 135)

(39)

Gambar 5: Wajikan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 131)

Macam ragam hias fauna yang didapati pada bangunan tradisioanl Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora. Macam fauna yang berupa dekorasi selalu dalam bentuk yang telah distilisasi, seperti yang banyak ditemukan dalam candi dan pewayangan, misalkan garuda, kala, makara, ular, harimau, gajah, dan sebagainya. Dalam penggambaran dan perwujudannya pun ada yang utuh, hanya sebagian, dan ada pula yang hanya karakteristiknya saja, misalkan pada bentuk burung hanya sayapnya saja yang diwujudkan. Sayap tersebut biasa dikenal dengan istilah :lar. Bentuk ragam hias fauna yang biasa dijumpai antara lain Peksi garudha dan jago.

(40)

Gambar 6: peksi garudha

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 147-148)

(41)

Gambar 7: jago

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 152)

Macam ragam hias alam yang didapati pada bangunan tradisional Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora dan fauna. Perwujudan dekorasi alam inipun juga secara stilisasi. Kelompok alam ini perwujudannya antara lain berupa gunung, matahari, bulan, hujan petir, air, api, dan lain sebagainya. Contoh ragam hias yang biasa dijumpai antara lain gunungan, praba, dan mega mendung.

Gambar 8 menunjukkan bentuk dekorasi gunungan atau yang juga disebut dengan kayon. Gunungan atau kayon ini merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan keagungan dan keesaan. Sehingga diharapkan penghuni mendapatkan ketentraman dan keselamatan dari Tuhan Yang Mahaesa.

(42)

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 157-158)

Praba dalam bahasa sansekerta memiliki arti cahaya atau sinar, dimaksudkan agar dapat memberi cahaya atau sinar pada tiang bangunan karena memang penempatan praba terdapat pada tiang bangunan baik saka guru, saka pananggap, maupun saka panitih. Contoh pengaplikasian praba dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9: praba

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 163)

Gambar 10 menunjukkan ragam hias dekorasi mega mendhung yang memiliki bentuk menyerupai awan berbentuk bolak balik dan bersifat gelap terang, melambangkan sifat saling bertolak belakang seperti hidup mati, siang malam, laki-laki perempuan, baik buruk yang merupakan sifat hakiki dunia.

(43)

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 169)

Macam ragam hias yang mengandung unsur agama dan kepercayaan pada bangunan rumah Jawa tradisional, kita dasarkan pada bangunan rumah sejak jaman mataram islam hingga sekarang, yang memiliki unsur kepercayaan peradaban Hindu dan Buddha maupun unsur kepercayaan masyarakat Jawa jaman prasejarah. Perwujudannya dapat berupa tulisan seperti kaligrafi pada gambar 11 sebagai contohnya, lambang ataupun gambar lain yang mengandung makna keagamaan atau kepercayaan.

Gambar 11: kaligrafi pada dekorasi ragam hias Jawa

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 177)

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran?

(44)

c. Bagaimana karakteristik arsitektur joglo tumpangsari beralih fungsi menjadi tempat ibadah?

d. Apa jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran? e. Bagaimana bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran?

(45)

BAB III

CARA PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif deskriptif, artinya pendekatan ini mampu mengungkap berbagai informasi kuantitatif, menjelaskan sesuatu yang ada lebih terinci. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Prastowo Andi, 2012: 186). Ditegaskan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa

adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan (Suharsimi Arikunto, 2003: 310, dalam Prastowo Andi, 2012: 186).

Karena bentuk penelitian ini adalah studi kasus tunggal, maka studi ini akan berusaha melakukan evaluasi, menerangkan, dan membahas simbol–simbol yang ada pada dekorasi Gereja Ganjuran. Pengumpulan datanya terarah pada berbagai aspek fokus atau variabel.

B.Sumber Data

(46)

C.Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara secara umum adalah proses memperoleh keterangan dan data yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, teknik wawancara ini dilakukan dengan cara luwes, akrab, dan terbuka. Dengan cara ini diharapkan dapat menangkap informasi secara lengkap, detail, dan menyeluruh. Teknik ini digunakan untuk menjaring data tentang sejarah berdirinya gereja, termasuk pendiri dan latar belakangnya, bagaimana dekorasi yang ada di gereja, dan pandangan–pandangan informan tentang simbolisme dekorasi yang ada di gereja serta makna yang berkaitan dengan ajaran Nasrani khususnya Katolik. Narasumber wawancara dalam penelitian ini adalah Romo FX Wiyono Pr, yang dulunya merupakan Romo Paroki Ganjuran ketika pembangunan gereja pasca gempa tahun 2006.

2. Observasi

(47)

pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian, maka pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap berbagai dekorasi yang ada di Gereja Ganjuran, meliputi gapura, bangunan gereja, candi, Berkat Tirta Perwitasari, relief, dan patung. Pengamatan dan pencatatan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk setiap dekorasi yang ada di Gereja Ganjuran dan makna simbolisnya.

3. Kepustakaan

Berkaitan dengan sejarah komplek Gereja Ganjuran, maka selain wawancara dan observasi teknik kepustakaan ini juga dibutuhkan, terlebih untuk mengetahui kronologis perkembangan gereja dari awal berdiri hingga saat ini. Metode ini merupakan metode penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan melalui tempat–tempat penyimpanan hasil penelitian, yaitu perpustakaan. (Kutha Ratna, 2010: 196, dalam Prastowo Andi, 2012: 190). Teknik ini disamping untuk mencatat semua data yang terdapat dalam arsip dan dokumen, juga untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang kondisi dokumen dan arsip tersebut, termasuk di dalamnya hal–hal yang tersirat.

D.Validitas Data

(48)

dokumen yang berada di sekertariat Gereja. Langkah triangulasi data disebut dengan multiple source of evidence yaitu semua data yang sudah diperoleh kemudian diperiksa kembali, apakah sudah sesuai dengan keadaan di lapangan.

E.Teknik Analisis Data

Setelah data dari berbagai sumber terkumpul, selanjutnya adalah analisis data, analisis data sendiri merupakan proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan, dengan kata lain pengorganisasian, dan pengurutan data ke dalam kategori satuan uraian dasar sehingga dapat diketemukan kesimpulan.

Adapun teknik yang digunakan, menggunakan teknik analisis data mengalir atau flow model of analysis yang diadaptasi dari model Miles dan Huberman (Prastowo Andi, 2012: 241-242). Dalam teknik analisis ini, harus diketahui tiga komponen pokok sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dan berlangsung sejak menetapkan pokok masalah, menyusun masalah, dan juga teknik pengumpulan data yang digunakan.

2. Penyajian Data

(49)

latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran, latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006, jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran, bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran dan makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran. 3. Penarikan Simpulan atau Verifikasi

(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Deskripsi Lokasi Gereja Ganjuran

Gereja Ganjuran berada di desa Ganjuran, Sumbermulyo, kecamatan Bambanglipuro, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gereja Ganjuran terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta, dan berjarak kurang lebih 20 kilometer ke arah selatan dari kota Yogyakarta. Gereja Ganjuran dapat ditempuh melalui rute jalan menuju obyek wisata Pantai Parangtritis, melalui Jalan Parangtritis dan jalan ke arah barat menuju kecamatan Bambanglipuro atau dapat ditempuh melalui Kota Bantul melalui jalan Samas ke arah selatan sampai papan penunjuk arah ke Gereja Ganjuran di timur jalan (lihat gambar 13). Gereja Ganjuran seperti layaknya gereja lain pada umumnya berfungsi sebagai tempat berdoa dan ritual keagamaan bagi umat Katolik. Pengunjung dan umat yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya saja, namun datang dari kota-kota lain, luar Jawa, dan bahkan turis mancanegara. Selain bangunan Gereja Ganjuran itu sendiri terdapat pula candi yang diberi nama Candi Hati Kudus Yesus dan mata air Berkat Tirta Perwitasari yang menjadi cirri khas Gereja Ganjuran dan membedakannya dari gereja-gereja lain yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

(51)

Hindu-Jawa, juga nampak dari corak bangunan utama Gereja yang merupakan inkulturasi dari budaya Jawa. Inkulturasi dalam Katolik sendiri merupakan istilah yang digunakan gereja Katolik Roma yang merujuk pada adaptasi ajaran gereja dengan kebudayaan non-Kristiani. Secara umum inkulturasi adalah penyesuaian dan adaptasi terhadap kelompok, umat, kebiasaan, bahasa maupun perilaku di suatu tempat. Inkulturasi dengan kebudayaan Jawa dalam Gereja Ganjuran diwujudkan dalam bentuk pendopo joglo, dekorasi ukiran dan patung Yesus mengenakan pakaian raja Jawa yang terdapat di dalam candi serta huruf Jawa yang terdapat pada relief di sekitar candi.

(52)

Gambar 13: Denah Komplek Gereja Ganjuran Keterangan :

1. Papan nama Gereja Ganjuran 2. Pendopo Paseban

3. Sekertariat Gereja 4. Pendopo utama

5. Toilet dan pemandian Siloam 6. Biara Carrolus Borromeus 7. Panti asuhan Santa Maria 8. Rumah sakit Santa Elisabeth 9. Gereja Mandala Hati Kudus Yesus 10. Candi Hati Kudus Yesus

11. Patung Bunda Maria

12. Gapura gerbang masuk komplek Gereja 13. Pasturan

(53)

Gambar 14: Papan nama Gereja Ganjuran

(54)

Gambar 15: Pendopo Paseban

(55)

Gambar 16: Sekertariat Gereja Ganjuran

Sekertariat gereja yang ditunjukkan oleh gambar 16 ini berada di sebelah barat bangunan utama Gereja. Pada denah di gambar 13, letak sekertariat gereja ditandai dengan angka 3. Memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan administratif gereja, serta mengelola kearsipan dan kepustakaan serta dokumentasi Gereja. Terdapat unsur dekorasi banyu netes pada bagian bawah atap bangunan sekertariat.

(56)

bermalam di komplek gereja. Tidak ada unsur dekorasi pada pendopo utama gereja.

Gambar 17: Pendopo utama di komplek Gereja Ganjuran

(57)

(58)

Gambar 19: Biara Carolus Borromeu

Gambar 20 menunjukkan biara yang ada di komplek Gereja Ganjuran, berada di sebelah utara bangunan utama gereja, tepatnya dibelakang bangunan utama gereja. Pada denah di gambar 13, lokasi biara ini ditandai dengan angka 6. Biara sendiri merupakan tempat bagi para suster dan frater yang memberikan pelayanan bagi suatu paroki atau lingkungan gereja, dalam hal ini khususnya bagi lingkungan Gereja Ganjuran. Nama Carolus Borromeus diambil dari nama seorang santo dari Arona, Lombardia yang terkenal dengan kepeduliannya terhadap para korban wabah pes pada tahun 1576. Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan Biara Carolus Borromeus.

(59)

Panti asuhan yang ada di komplek Gereja Ganjuran dapat dilihat pada gambar 20. Letaknya berada di sebelah timur biara Carolus Borromeus, dan memanjang hingga ke belakang Candi Hati Kudus Yesus di sisi utara komplek gereja, pada denah di gambar 13, ditandai dengan angka 7. Panti asuhan ini berdiri sejak 1 Januari 1936 dan dikelola langsung oleh para suster Carolus Borromeus. Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan panti asuhan Santa Maria.

(60)

Gambar 21: Rumah sakit Santa Elisabeth

(61)

Bangunan Gereja Mandala Hati Kudus Yesus pada gambar 22 bisa dikatakan berada di pusat komplek Gereja Ganjuran. Bangunan gereja ini berada di sebelah barat candi Hati Kudus Yesus tepat di selatan biara Carollus Borromeus. Pada denah di gambar 13, Gereja Mandala Hati Kudus Yesus ditandai dengan angka 9. Unsur dekorasi yang terdapat pada bangunan Gereja Mandala Hati kudus Yesus sangat beragam, khususnya di dalam bangunan gereja. Untuk penjelasan lebih lanjut ada dalam sub bab bentuk dekorasi bangunan gereja.

Gambar 23: Candi Hati Kudus Yesus

(62)

dari Gereja Ganjuran yang tidak dimiliki oleh gereja lain. Candi bercorak Hindu ini mengalami beberapa penyesuaian bentuk terkait dengan inkulturasi gereja dengan kebudayaan setempat, diantaranya adanya bentuk salib di atas atap candi. Terdapat beberapa unsur dekorasi pada bangunan candi, di dalam dan di luar bangunan candi. Untuk penjelasan lebih lanjut ada dalam sub bab bentuk dekorasi bangunan candi.

Gambar 24: Patung Bunda Maria

(63)

Mei dan Oktober, banyak pengunjung maupun umat yang datang untuk berdoa Rosario karena bulan tersebut merupakan bulan yang secara khusus diberikan gereja untuk menghormati Bunda Maria. Dekorasi yang terdapat pada tempat ini adalah patung Bunda Maria itu sendiri. Pembahasan lebih lanjut ada pada sub bab bentuk patung Bunda Maria.

Gambar 25: Gapura komplek Gereja Ganjuran

(64)

manusia, singa, rajawali dan lembu. Keseluruhan bentuk gapura selain memiliki fungsi estetis juga terdapat makna-makna simbolis yang secara lengkap dibahas pada sub bab bentuk gapura dan makna simbolis gapura.

Gambar 26: Gedung Pasturan

(65)

Gambar 27: Ruang adorasi

(66)

Gambar 28: Area parkir

Area parkir komplek Gereja Ganjuran yang ditunjukkan oleh gambar 28 ini berada di sebelah barat gapura, di sisi selatan area parkir ini juga terdapat lapak-lapak para pedagang souvenir dan pernak-pernik rohani. Pada denah di gambar 13, lokasi area parkir ini ditandai dengan angka 15. Di area parkir tidak terdapat unsur dekorasi apapun.

B.Latar Belakang Sejarah Dibangunnya Komplek Gereja Ganjuran

(67)

Pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19, keluarga Schmutzer yang berawal dari pasangan Stefanus Barends dan Ellise Fransisca Wihelmia Kathaus datang ke Ganjuran untuk membeli perkebunan tebu pada tanggal 1 September 1862. Barends meninggal pada tahun 1876 dan Elisse menjanda selama empat tahun hingga pada akhirnya bertemu dengan Gottried Schmutzer dan memiliki empat orang anak, yaitu Elisse Anna Maria Antonia Schmutzer, Josef Ignas Julius Schmutzer, Julius Anton Maria Schmutzer, dan Eduard Milheim. Keluarga Schmutzer mendirikan pabrik gula yang diberi nama Gondanglipuro karena lokasinya yang berada di desa Kaligondang, dusun Lipuro. Pabrik Gondanglipuro pun berkembang pesat hingga meluas fungsinya menjadi sebuah kawasan pusat berbagai kegiatan di daerah Ganjuran.

2. Awal Berdirinya Gereja Ganjuran

(68)

kesejahteraan buruh dan dan menjaga hubungan baik antara buruh dan pemilik pabrik.

Ditambahkan oleh Romo FX Wiyono Pr, bahwa Josef membangun gereja karena rasa syukur atas perkembangan pabrik Gondanglipuro. Sebelum dibangunnya Gereja Ganjuran, kegiatan perayaan Misa Ekaristi biasa diadakan dengan menumpang di salah satu rumah keluarga Schmutzer. Seiring berjalannya waktu, umat yang mengikuti perayaan Misa Ekaristi semakin bertambah banyak maka dibangunlah Gereja Ganjuran pada tanggal 16 April 1924.

Gambar 29: Bentuk awal Gereja Ganjuran pada masa kolonial Belanda

3. Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006

(69)

Ganjuran runtuh dan lebih dari 80 umat Katolik menjadi korban, mereka adalah para umat yang mengikuti misa pagi yang berlangsung pada saat itu dan lima orang meninggal atas insiden tersebut. Meskipun bangunan utama runtuh, namun candi, pasturan, dan pendopo tetap tegak berdiri. Posko Karina sebagai respon kepada para korban dibuka di Gereja Ganjuran. Melalui posko ini seluruh bantuan sosial dari mereka yang menyalurkan kepeduliannya ditampung dan diteruskan kepada masyarakat yang membutuhkan. Romo Jarot Kusnopriono Pr, menjadi koordinator langsung pengelolaan Posko Karina ini.

(70)

4. Dibangunnya Candi dan Berkat Tirta Perwitasari

Setelah pembangunan gereja, untuk memvisualkan penyertaan dan kehadiran Tuhan Yesus, keluarga Schmutzer ingin membangun sebuah monumen yang diharapkan dapat menarik perhatian umat untuk berbakti kepada Kristus yang selalu mengasihi dengan hati kudusnya. Berkenaan dengan kebudayaan Jawa pada saat itu yang masih banyak didominasi kebudayaan Hindu menggunakan candi sebagai tempat pemujaan, maka dipilihlah bentuk candi yang akrab dengan masyarakat pada saat itu. Di dalam candi terdapat sebuah patung yang memvisualisasikan Yesus dalam busana kebesaran seorang raja Jawa. Patung tersebut memiliki tinggi sekitar 75cm.

(71)

Gambar 30: Pengambilan air dari Berkat Tirta Perwitasari oleh umat C.Bentuk Dekorasi di Komplek Gereja Ganjuran

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai berbagai macam bentuk dekorasi yang berada di komplek Gereja Ganjuran.

1. Bentuk Dekorasi pada Bangunan Gereja Ganjuran

Bangunan Gereja Ganjuran yang memiliki nama Gereja Mandala Hati Kudus Yesus merupakan gereja yang terdapat di dalam komplek Gereja Ganjuran. Gereja Mandala Hati Kudus Yesus memiliki fungsi layaknya tempat ibadat pada umumnya, layaknya gereja bagi para umat Katolik untuk perayaan Misa Ekaristi dan perayaan lain dalam tradisi umat Katolik, namun bentuk fisik bangunan dan arsitektur bangunan Gereja Ganjuran sangat unik dan estetis serta berbeda dengan gereja-gereja lain pada umumnya.

(72)

Gambar 31: ukiran di dalam bangunan gereja

(73)

Gambar 32: Perbandingan soko guru di dalam bangunan utama Gereja (kiri) dengan Kraton Yogyakarta (kanan)

(74)

Gambar 33: keterbukaan ruang yang dominan di dalam bangunan utama Gereja (kiri) dengan Kraton Yogyakarta (kanan)

(75)

Gambar 34: Perbandingan bentuk bangunan utama Gereja (atas) dengan Kraton Yogyakarta (bawah)

Bentuk bangunan utama yang mengadaptasi bentuk joglo tumpangsari yang merupakan bentuk joglo dengan sistem konstruksi atap menerus dapat dilihat pada gambar 34. Bentuk ini paling banyak di pakai pada bangunan tradisional jawa. Bentuk bangunan memiliki keterbukaan ruang yang dominan dan tidak memiliki pintu masuk secara fisik.

(76)

lemari kecil, tempat menyimpan Sakramen Maha kudus. Letak tabernakel berada di bagian gereja yang layak dan mencolok, selalu dihias dan dibuat dari bahan yang kuat. Di samping kanan dan kiri tabernakel terdapat dua buah patung malaikat dengan pakaian adat Jawa lengkap dengan sayapnya. Selain itu di sayap kanan dan kiri bangunan gereja terdapat patung Bunda Maria yang sedang memangku Yesus, di sayap kiri bangunan gereja juga terdapat prasasti pendirian Gereja Mandala Hati Kudus Yesus Ganjuran yang berisi tanggal, tahun, dan pendiri gereja. Prasasti tersebut dipahat di atas batu marmer yang ditulis dalam bahasa Belanda (lihat gambar 38).

(77)

Gambar 36: Tabernakel di dalam Gereja Ganjuran

(78)

2. Bentuk Dekorasi pada Candi bagian luar

Gambar 38: Bangunan Candi Hati Kudus Yesus

(79)

ini memiliki dekorasi dengan aksen simetris di setiap sudut candi. Bentuk candi yang ramping juga merupakan salah satu ciri candi Hati Kudus Yesus ini bercorak Hinduistik.

Gambar 39: Pembagian bagian candi bercorak Hindu pada candi Hati Kudus Yesus.

(80)

3. Bentuk Dekorasi pada Candi Bagian Dalam

Di dalam candi, pada gambar 41 ditunjukkan hiasan ukiran aksara Jawa di atas patung Yesus yang dalam bahasa Jawa berbunyi “Sampeyan Dalem Maha

Prabu Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa” yang memiliki arti Tuhan Yesus Kristus Raja Segala Bangsa. Pada kedua sisi pintu masuk candi juga terdapat ukiran, bagian atap candi dibuat bertingkat dan terdapat pula ukiran pada tingkat teratas atap. Selain itu, terdapat patung Yesus yang diwujudkan dengan pakaian kebesaran raja Jawa sebagai bentuk inkulturasi budaya yang ada di Gereja Ganjuran. Patung tersebut menjadi sarana pengantar doa para pengunjung dan umat yang datang untuk berdoa di Gereja Ganjuran.

a. Bentuk Patung Yesus di Dalam Candi

(81)

Gambar 40: Patung Yesus di dalam candi ( Sumber : hidupkatolik.com )

b. Bentuk Ukiran di Dalam Candi

(82)

Jawa yaitu tumpangsari yang merupakan salah satu wujud inkulturasi yang ada di dalam candi.

Gambar 41: ukiran aksara Jawa di atas patung Yesus ( Sumber : hidupkatolik.com, dengan proses editing )

Gambar 42 dan 43: Langit-langit candi dan ukiran pada pintu masuk candi 4. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari

(83)
(84)
(85)

5. Bentuk gapura dan relief di komplek Gereja Ganjuran

(86)

Selain relief yang terdapat pada gapura atau gerbang masuk komplek gereja, terdapat pula relief jalan salib di dalam komplek Gereja Ganjuran yang ditunjukkan oleh gambar 48. Jalan salib sendiri merupakan sarana para pengunjung dan umat untuk melaksanakan ritual jalan salib guna mengenang sengsara dan wafat Yesus di kayu salib. Relief jalan salib berjumlah 14 panel relief terpisah. Relief tersebut terbuat dari batu marmer putih dengan bingkai yang juga terbuat dari batu namun berwarna hitam serta diberi pelindung berupa kaca di tiap panel jalan salib. Terdapat tulisan dalam aksara Jawa yang ditulis di atas logam kuningan di bawah setiap panel jalan salib yang menerangkan tentang peristiwa pada setiap relief jalan salib. Pada bingkai relief terdapat pula ukiran dengan tekstur kasar alami dari batu alam yang digunakan.

(87)

Gambar 48: Jalan Salib di halaman candi 6. Bentuk patung Bunda Maria

(88)

Gambar 49: Patung Bunda Maria sebelum terjadi gempa pada tahun 2006 D.Makna Simbolis Dekorasi di Komplek Gereja Ganjuran

Pada sub bab ini akan dibahas makna simbolis dekorasi yang berada di komplek Gereja Ganjuran.

1. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi pada Gereja Ganjuran

a. Makna Simbolis Bangunan Gereja Ganjuran

(89)

hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, demikian juga dalam kehidupan menggereja yang membutuhkan peran setiap umat dan pelayan gereja dalam kegiatan liturgial gereja.

Gambar 50: Soko guru di dalam bangunan Gereja Ganjuran

(90)

b. Makna Simbolis Dekorasi di Dalam Gereja Ganjuran

1) Makna Simbolis Dekorasi Altar

Penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus maupun sebagai tempat persembahan (kolekte) mencerminkan makna simbolis pada tempat persembahan korban dalam Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan malam terakhir Yesus dengan murid-muridnya pada malam sebelum ia disalibkan. Dalam tata ruang gereja, altar ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan kudus) dan firman (khotbah atau mimbar). Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti salib, dan lilin. Pada gambar 51 juga ditunjukkan 2 patung malaikat di samping kanan dan kiri altar yang merupakan representasi kinara dan kinari dalam mitologi Hindu.

Gambar 51: Salib dan lilin di altar Gereja

(91)

salib atau silang telah dikenal dalam banyak budaya dan agama pra-Kristen dengan berbagai makna, antara lain kekekalan, kesempurnaan atau hubungan kosmis antara dunia dengan hal transenden, tetapi juga sebagai tanda perpisahan. Salib dalam tradisi Kristen terutama Katolik menjadi simbol kematian dan kehidupan. Salib mencerminkan solidaritas Allah dengan manusia dalam penderitaan dan merupakan puncak Kasih Allah dalam diri Yesus.

Sedangkan lilin biasanya dinyalakan dalam setiap ibadah sebagai simbol Kristus yang hidup dan menjadi “terang dunia” (Yohanes 8: 12). Lilin juga

(92)

Gambar 52: Dekorasi ukiran berbentuk lidah api di atas tabernakel

Ukiran api ini menggunakan pewarnaan dengan teknik sungging, yaitu dengan membuat tingkatan warna dari warna tua ke warna muda maupun sebaliknya. Api sendiri adalah Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Hal tersebut ditunjukkan ketika Roh Kudus turun atas para rasul dengan wujud lidah-lidah api. “dan tampaklah pada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang

(93)

Gambar 53: Simbol X dan P di dekat altar Gereja

Simbol X dan P pada gambar 53 merupakan simbol lama untuk Kristus yang dibentuk dari dua huruf pertama nama “Kristus” dalam bahasa Yunani

Kuno: Χ ι ό , Khristós, berarti 'yang diurapi'. Simbol ini dalam beberapa variasi kemudian sering disebut “salib atau silang Kristus” (“cross of Christ”).

2) Makna Simbolis Dekorasi Ukiran Motif Tumbuhan

(94)

iman. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Ukiran dengan dominasi motif tumbuhan secara umum adalah simbol kehidupan dan dalam Alkitab sering dihubungkan dengan kehidupan seseorang yang diberkati, sesuai dengan kehendak Allah dan memberi buah. Mendekorasi gereja dengan tumbuhan-tumbuhan hijau sebagai tanda kehidupan dan pujian atas keindahan ciptaan Allah adalah suatu hal yang sangat wajar. Daun palem misalnya sebagai simbol penyembahan, syukur dan penghormatan kepada Tuhan mengingatkan kita pada Yesus yang dielu-elukan di Yerusalem. “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yohanes 12: 13).

3) Makna Simbolis Ukiran Motif Burung Merpati di Dalam Bangunan

Gereja

(95)

Gambar 54: Salah satu dekorasi ukiran burung merpati di dalam Gereja Seekor burung merpati dengan sebuah ranting zaitun telah menjadi simbol universal untuk perdamaian dan mengingatkan pada kisah Nabi Nuh (Kejadian 8: 11), di mana sehelai daun zaitun menjadi tanda bahwa air bah telah surut dan simbol untuk perjanjian Allah dengan umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Selain itu, terkadang sepasang burung merpati juga digunakan sebagai simbol cinta kasih.

(96)

Di dalam gereja juga banyak terdapat dekorasi ukiran berbentuk anggur dan tangkai gandum dengan pewarnaan yang menggunakan teknik sungging (gambar 55). Secara simbolis, anggur dan tangkai gandum menjadi lambang Ekaristi. Dua hasil bumi ini menjadi bahan persembahan pokok yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam perayaan Ekaristi. Tubuh dan Darah Kristus disimbolkan sebagai roti dan anggur. Roti dalam hal ini terbuat dari bahan gandum.

(97)

Yesus bersama murid-murid-Nya sebelum Yesus tertangkap dan disalibkan. Dalam perjamuan malam terakhir, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya, lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: ”Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Yesus mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah

perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam kerajaan Bapa-Ku.” (Matius 26: 17-29,

Markus 14: 12-25, Lukas 22: 7-38, dan Yohanes 13: 1-38).

2. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi Candi

(98)

Kudus Yesus di Ganjuran sebagai simbol dari Tuhan Allah yang hadir di dunia dalam diri Tuhan Yesus./

Gambar 56: Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran

Selain bangunan candi itu sendiri, arah hadap candi juga memiliki makna simbolis. Arah hadap candi yang mengarah ke arah selatan dimaksudkan menghadap pada laut selatan, dalam kebudayaan Jawa laut selatan dimitoskan sebagai kerajaan Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul. Nyi Roro Kidul disimbolkan sebagai sosok ibu, sedangkan ibu merupakan simbol kasih sepanjang masa. Kasih sepanjang masa yang abadi dan kekal adalah kasih Allah Bapa di Surga. Selain itu warna laut yang biru juga menjadi warna yang memiliki makna kasih yang abadi.

(99)

simbol yang melambangkan Trinitas, atau Tritunggal yang berarti satu Tuhan dalam tiga pribadi, yaitu Tuhan dalam Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Gambar 57: Dekorasi ukiran simbol Trinitas di langit-langit candi Trinitas dalam agama katolik sudah menjadi kepercayaan dan dasar iman bahwa Tuhan itu satu dan satu-satunya, namun ada dalam tiga pribadi yaitu Allah Bapa di Surga, Yesus sebagai Allah yang datang di dunia dan Roh Kudus, Allah yang ada dalam diri sebagai penuntun hidup agar sesuai dengan kehendak Allah. Trinitas tersebut ditunjukkan dalam berbagai perikop di dalam Alkitab, diantaranya Yesus yang menunjukkan persatuan yang tidak terpisahkan dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10: 30). Di dalam Injil

Yohanes 15 ayat 26 Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh Kudus, “Jikalau penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran

(100)

[di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.” (1 Yohanes 5: 7).

Sedangkan pada pintu masuk candi, ukiran yang nampak adalah ukiran berbentuk malaikat yang sedang menyembah salib. Ukiran tersebut berada di kedua sisi pintu masuk dengan ukuran dan bentuk yang sama. Secara simbolis ukiran malaikat tersebut melambangkan penjaga dalam candi, sebagai malaikat yang menjaga di kedua sisi pintu masuk candi.

3. Makna Simbolis Patung Yesus di Dalam Candi

(101)

Patung Yesus yang sedang duduk di atas tahta-Nya dengan tangan menunjuk hati-Nya merupakan simbol Hati Kudus Yesus yang suci dan selalu menunjukkan kemurahan hati serta terbuka untuk siapa saja sesuai dengan ajaran Yesus tentang kasih. Selain itu patung Yesus dibuat tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan menjadi simbol kesederhanaan dalam hidup.

Gambar 58: Patung Yesus di dalam Candi

( Sumber: tanagekeo.wordpress.com, dengan proses editing )

4. Makna Simbolis Berkat Tirta Perwitasari

(102)

sebagai sumber mata air, kesegaran atau sumber kehidupan dan keadilan, bahwa Yesus memberi air yang hidup, “tetapi barang siapa minum air yang akan

Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yohanes 4: 14). Yesus juga membasuh kaki murid-murid-Nya dengan air sebagai tanda pelayanan dan pembersihan dari dosa (Yohanes 13: 1-20). Murid-murid-Nya dipanggil untuk berbuat hal yang sama (Yohanes 13: 15).

Air merupakan salah satu sarana ataupun media dalam beberapa tradisi atau kegiatan liturgial gereja Katolik, diantaranya untuk pemberkatan umat dan untuk pembaptisan, pembaptisan merupakan upacara pemberkatan seseorang yang akan menjadi Katolik dengan cara diurapi menggunakan air. Air sebagai media membaptis sudah dilakukan sejak dulu oleh Yohanes Pembaptis untuk membaptis Yesus di Sungai Yordan (Matius 3: 13-17) dan menjadi ritual wajib untuk menjadi seorang Katolik hingga sekarang. Nama Berkat Tirta Perwitasari dipopulerkan oleh seorang Romo dari Gereja Ganjuran yang bernama Romo Utomo. Secara simbolis, mata air Berkat Tirta Perwitasari ini menunjukkan sumber kehidupan, air merupakan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup. Nama Perwitasari memiliki arti inti kehidupan, dalam bahasa Jawa perwita berarti kehidupan sedangkan sari adalah inti.

Gambar

Gambar 13: Denah Komplek Gereja Ganjuran
Gambar 14: Papan nama Gereja Ganjuran
Gambar 16: Sekertariat Gereja Ganjuran
Gambar 17: Pendopo utama di komplek Gereja Ganjuran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat 4 saluran pemasaran emping melinjo di Kabupaten Bantul yaitu satu saluran tidak ada pedagang perantara (pengrajin – konsumen) dan tiga saluran melibatkan pedagang

berkarya pada saat pembangunan gereja dan para umat. Dokumentasi dengan tape recorder, buku catatan, handycam,.. Sumber data – data sekunder diperoleh dengan

Sistem mitigasi pasca gempabumi 27 Mei 2006 di kecamatan Bantul belum efektif dalam upaya pengurangan bahaya bencana gempa, yang disebabkan karena sistem informasi terjadinya

Untuk memperkokoh ketahanan pangan wilayah, Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan penataan ruang, penegakkan hukum regulasi penataan

(2) Ketentuan mengenai seleksi bakal calon anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berlaku bagi pengangkatan kembali anggota Dewan Pengawas

Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan model kerentanan airtanah bebas sebagai upaya dalam mengetahui potensi pencemaran berdasarkan kondisi fisik lahan yang dibandingkan

Permasalahan yang terdapat di kelompok tani Madya tersebut menyebabkan petani kelompok tani Madya digolongkan sebagai petani yang menerapkan sistem usaha tani terpadu dengan

59 Pengolahan Kripik Tortilla Jagung di Desa Bantul, Kapanewon Bantul, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Peter Lee, Yosia Dyas Kurniawan, Kevin Hendrawan, Vincensius