• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki masyarakat multi-etnis. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan variasi bahasa yang dipakai (Liem, 2000). Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) tersebut, secara garis besar bangsa Indonesia dapat dibagi ke dalam dua golongan yakni golongan etnis Pribumi seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Minang dan golongan etnis pendatang seperti etnis India, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta etnis Cina (Sanjatmiko, 1999).

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi Tionghoa (sesuai ucapanya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina (Liem, 2000). Meskipun demikian, beberapa buku dan literatur masih banyak menggunakan kata “Cina” untuk etnis tersebut. Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih akrab dengan kata “Cina” merujuk kepada etnis Tionghoa dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat

Indonesia menggunakan kata “Tionghoa” hanya pada media formal. Lubis (1995) menyatakan bahwa keadaan negara Indonesia yang

memiliki masyarakat majemuk adalah suatu hal potensial yang memicu sumber-sumber ketidakharmonisan dan pertentangan antar-etnik. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan dan disintegrasi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Konflik etnis yang sering terjadi secara nasional di Indonesia

(2)

selama bertahun-tahun khususnya terjadi pada etnis Tionghoa dalam kaitannya dengan pendikotomian Pribumi dan non-Pribumi.

Sejarah sosial negara Indonesia menuliskan bahwa etnik Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Diantara berbagai peristiwa menyakitkan yang dialami oleh etnik Tionghoa, tercatat dua peristiwa yang paling menyakitkan, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998 (Susetyo dalam Susetyo 2002).

Menurut Lan (dalam Susetyo 2002), peristiwa tahun 1965 merupakan trauma paling berat bagi orang Tionghoa di Indonesia. Sementara tahun 1998, merupakan peristiwa yang dikatakan sebagai titik terendah sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia. Sentimen anti-Tionghoa yang telah bertahun-tahun dipupuk dan sengaja dikembangkan diantara masyarakat berpuncak pada kerusuhan rasial 14-15 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, banyak keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran perusakan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan. Hal ini cukup menjadi bukti adanya suatu bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan orang-orang keturunan Tionghoa traumatik. Dalam kerusuhan itu, seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia adalah keturunan Tionghoa (Liem, 2000).

Abu Ahmadi (1999), menyatakan bahwa kesan menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami etnis Tionghoa bisa menjadi faktor yang mempengaruhi timbulnya prasangka. Peristiwa-peristiwa yang terjadi

(3)

hampir setiap dekade yang merupakan pengalaman tidak menyenangkan pada etnis Tionghoa, akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa etnis Tionghoa merupakan etnis minoritas yang terancam untuk selalu dijadikan kambing hitam dan sasaran perusakan etnis Pribumi. Sears et al. (1991) menyatakan bahwa individu yang paling merasa terancam adalah individu yang akan memiliki prasangka yang paling tinggi. Ancaman-ancaman yang datang terhadap etnis minoritas, seperti halnya etnis Tonghoa, menyebabkan etnis Tionghoa memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan menjadi lebih tertutup dalam pergaulan sosial (Brehm dan Kassim, 1993).

Baron dan Byrne (2000), menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dan proses belajar merupakan salah satu sumber adanya prasangka. Menurut pandangan Social Learning, anak mendapat sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena belajar dari pandangan yang diekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Kemudian, hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak bila meniru pandangan (sikap negatif) tersebut (Baron dan Byrne 2000).

Demikian pula yang terjadi pada kelompok etnis Tionghoa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Budi Susetyo (1999), yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan Pribumi sejak lama memang sudah tidak baik. Generasi-generasi berikutnya dari kedua kelompok ini (etnis Tionghoa dan etnis Pribumi), mewarisi perasaan tidak sukanya melalui proses sosialisasi dalam kelompok. Kemudian, perasaan tidak suka ini mengalami penguatan lewat beberapa peristiwa yang dilihat ataupun yang dialaminya sendiri.

(4)

Kondisi di atas juga tercermin dalam wawancara prapenelitian dengan salah satu mahasiswa etnis Tionghoa di Medan, Jo (20), pada tanggal 25 Agustus 2007.

“Aku rasa ya, orang Cina lebih berprasangka daripada Pribumi. Temen- temen Cina aku aja pada kaget ngeliat aku foto dengan rombongan ‘X’. “lho kok kamu bisa foto dengan orang Pribumi??? ”Ya aku bilang aja, “ini kan temen aku!!!” Ya bisa dimengerti sih, biasanya dulu masih kecil aja orang itu suka dimarahi orangtuanya kalo betemen dengan orang Pribumi... Kata orang tua mereka orang Pribumi itu tukang meres, mau untungnya sendiri, perampok, pokoknya macem-macem. Apalagi kejadian 13 Mei kemaren, wuah makin ngebuat mereka percaya dengan omongan orang tua mereka. Apalagi orang Cinakan sering dimintai duit lebih sama polisi, petugas-petugas apa aja deh, Cuma karena mereka Cina. Mungkin karena mereka kira Cina pasti banyak duitnya kali ya.... Ya karena itu juga mereka jadi males sama orang Pribumi!! ”(Komunikasi Personal, Agustus 2007).

Menurut Baron dan Byrne (1997), prasangka dapat menimbulkan stereotip dan stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu. Stereotip sendiri diartikan Baron dan Byrne (1991) sebagai suatu kepercayaan tentang anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Warnaen (dalam Soeboer, 1990) menyatakan bahwa stereotip terhadap kelompok tertentu merupakan indikator dari adanya prasangka.

Dahana (dalam Susetyo, 1999) mengungkapkan bahwa sterotip orang Tionghoa terhadap etnis Pribumi masih hadir sampai sekarang ini. Etnis Pribumi dikatakan sebagai pemalas, hidup hanya untuk mencari kesenangan, mau cari untung tanpa keluar keringat, bodoh, pemeras, dan seterusnya. Adanya stereotip mengenai etnis Pribumi yang ada pada etnis Tionghoa merupakan indkator adanya prasangka. Wawancara pra-penelitian dengan Jo (20) salah seorang etnis

(5)

Tionghoa di kota Medan di atas dengan jelas mencerminkan adanya stereotipe etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi.

“Kata orang tua mereka orang Pribumi itu tukang meres, mau untungnya sendiri, perampok, pokoknya macem-macem”

Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) mengemukakan bahwa adanya norma sosial berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa saja yang pantas dilakukan, merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma sosial ini.

Sebagai contoh, prasangka mengakibatkan orangtua etnis Tionghoa melarang anaknya untuk menikah dengan seseorang dari etnis Pribumi. Hal ini merupakan cermin adanya prasangka pada etnis Tionghoa (Mendatu, 2007). Ekspresi prasangka yang berupa larangan untuk menikah di luar etnis Tionghoa terungkap dari wawancara prapenelitian dengan salah satu etnis Tionghoa, Jo (20), pada tanggal 25 Agustus 2007.

“Wah kalo di keluarga aku, oke-oke aja kalo betemen dengan orang Pribumi, tapi kalo untuk pacaran apalagi menikah... wah, ngga banget. Soalnya orang-orang Cina yang punya pasangan orang Pribumi cuma dipandang sebelah mata, bahkan ga dipandang sama sekali. Mereka ga bakal diundang di acara-acara kumpul orang Tionghoa...”(Komunikasi Personal, Agustus 2007).

Adanya indikasi prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi merupakan masalah serius yang harus segera mendapatkan solusi yang cerdas dan nyata dari Pemerintah dengan dukungan seluruh elemen masyarakat Indonesia.

(6)

Prasangka adalah salah satu faktor yang menghambat terjadinya akulturasi dalam kebhinekaan Indonesia. Kehancuran dari suatu bangsa dimulai dari adanya prasangka (Mendatu, 2007).

Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia juga menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda. Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Keadaan ini menyebabkan terjadinya suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnis. Masing-masing etnis mengembangkan gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu dengan yang lain (Lubis 1999)

Kondisi masyarakat kota Medan yang heterogen dan mempunyai pola pemukiman segretif dapat menjadi ladang subur tumbuh kembangnya prasangka. Pola pemukiman kota Medan yang segretif akan menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999).

Hal ini senada dengan pernyataan Brigham (1986) bahwa pada level kognitif membuat perbandingan ingroup (mereka) dan outgroup (kita) dapat meningkatkan prasangka. Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dapat timbul karena adanya rasa perbedaan antar kelompok Kategori ingroup (etnis

(7)

Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan.

Dampak yang terlihat dari penguatan rasa kesatuan etnis ini adalah kurangnya interaksi etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Interaksi etnik Tionghoa di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995). Hal tersebut mengakibatkan etnis Tionghoa di kota Medan tampak berbeda dari etnis Tionghoa di kota lain. Etnis Tionghoa di kota Medan akhirnya di beri label berbeda dengan sebutan “Cina Medan”. Media masa pun juga tak jarang memberi pelabellan tersebut (Pemillianna, 2007).

Menurut Brewer & Miller (1996) selain berprasangka, golongan minoritas biasanya juga memiliki ketidakpercayaan yang tinggi (distrustful) terhadap golongan mayoritas. Golongan minoritas memandang mayoritas sebagai berprasangka dan kurang komunikatif. Kelompok minoritas biasanya enggan untuk sungguh-sunggguh memiliki kerjasama yang mengharuskan mereka terikat erat (intim dan intens) dengan kelompok mayoritas. Kerjasama yang terjadi antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas umumnya hanya kerjasama yang bersifat terbuka dan tidak menyebabkan diperlukannya suatu komitmen untuk menjaga rahasia tertentu.

(8)

Hal ini senada dengan profil etnis Tionghoa di kota Medan yang dikemukakan oleh Lubis (1995) bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan, itu hanya dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Tionghoa sendiri.

Fazio dan Towles-Schewen (dalam Baron dan Byrne 2004) mengemukakan ekspresi dari prasangka dapat dilihat dari bagaimana individu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi (menghindari interaksi) dengan orang yang berasal dari luar kelompok (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa prasangka menyebabkan seseorang enggan bertemu dan menghindari interaksi dengan yang diprasangkai. Penghindaran itu beraneka macam, misalnya menghindari jalan-jalan yang banyak digunakan oleh etnis lain, tidak mau bekerja sama dengan etnis lain, selalu menutup pintu rumah, tidak mau berbicara dengan etnis lain, menghindari terjadinya pernikahan dengan etnis lain, dan sebagainya.

Di kota Medan penghindaran etnis Tionghoa untuk bergaul dengan etnis Pribumi mudah terlihat. Hal ini terungkap antara lain dari wawancara dengan etnis Tionghoa di kota Medan Jo (20), tanggal 25 Agustus 2007

“Asal tau aja temen-temen aku banyak lho yang pinter-pinter kalo dia mau, dia bisa aja masuk sini (USU). Tapi dia gak mau, dia malah milih universitas swasta. Tau alasannya apa? katanya di sana banyak Pribumi...”(Komunikasi personal, Agustus 2007).

Penghindaran ini menyebabkan komunikasi yang tidak lancar antara kedua etnik. Hal ini mengakibatkan keakraban sosial di dalam interaksi

(9)

antara-etnik tidak akan pernah terjalin. Bila hal ini terus berlangsung, maka selanjutnya antara etnis yang berbeda akan kehilangan kesempatan untuk bergaul secara akrab hal mana yang menurut Pettigrew & Tropp (dalam Fraser & Burchell, 2004) merupakan faktor penting dalam mengurangi prasangka. Hal senada diungkapkan oleh Rimmerman (dalam Akrami, 2005) yang menyatakan bahwa kontak antar kelompok merupakan faktor utama dalam mengembangkan sikap yang lebih positif dan toleran terhadap kelompok tertentu. Penghindaran terhadap obyek prasangka akan semakin meneguhkan prasangka yang ada.

Prasangka sendiri menurut Baron dan Byrne (2000), adalah suatu tipe khusus dari sikap (yang biasanya negatif) terhadap anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003).

Prasangka dikategorikan ke dalam tiga tipe oleh Geartner, Jones dan Kovel (dalam Soeboer, 1990). Pertama, tipe dominative dimana individu dalam tipe ini akan secara terbuka mengekspresikan prasangkanya dan melakukan tindakan berupa penyerangan dan sikap agresivitas terhadap target prasangka. Kedua, tipe ambivalent dimana individu dalam tipe ini akan mengekpresikan perasaan tidak sukanya, namun disaat bersamaan individu dalam tipe ini juga merasa bersimpati kepada target prasangka. Ketiga, tipe aversive dimana individu dalam tipe ini bersikap positif, ramah dan sopan dalam berinteraksi dengan target prasangka. Namun, sebenarnya individu dalam tipe ini berusaha sedapat mungkin untuk tidak berinteraksi dengan target prasangka.

(10)

Berbagai tinjauan dan problematika diatas merupakan alasan diadakannya penelitian ini. Peneliti ingin mendapatkan gambaran mengenai tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif .

B. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran Tipe prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan dilihat dari berbagai tipe yang kemukakan oleh Geartner, Jones dan Kovel (dalam Soeboer, 1990).

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yakni manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Sosial dalam rangka perluasan teori, terutama yang berkaitan dengan interaksi antara etnis.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Sosial, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

(11)

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi sehingga nantinya dapat dijadikan wacana untuk memperkecil jurang pemisah dan mencegah bahkan mengurangi prasangka yang berkembang antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi.

b. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi gambaran pada pemerintah, khususnya kota Medan, bagaimana proses sosial yang terjadi antar etnis di kota Medan. Prasangka adalah salah satu hambatan terjadinya akulturasi antar etnis dan hambatan interaksi antar etnis. Prasangka adalah awal dari kehancuran suatu negara. Dengan hasil dari penelitian ini, diharapkan pemerintah cepat mengambil solusi yang cerdas dan nyata tentang masalah ini.

D Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari empat sub bab meliputi latar belakang, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah Landasan Teori. Bab ini meliputi pembahasan tentang prasangka, etnis Tionghoa, etnis Pribumi dan prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi di kota Medan.

Bab III adalah Metode Penelitian yang terdiri atas identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengambilan

(12)

sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data.

Bab IV terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut , (10a) dengan , , (10b) , , , (10c) , , , (10d) melambangkan present value yang diharapkan dari penerimaan dalam Periode-1

Dengan cara mempertautkan atau menghubungkan satu dengan yang lain untuk memberi arti pada phenomena-penomena atau data yang telah dilambangkan ke dalam fikiran baik

Data yang disajikan selain data primer yang berasal dari instansi-instansi yang berada dalam wilayah Kecamatan Banda Mulia, juga yang dikumpulkan dari tiap-tiap

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan

Pendugaan Cadangan Karbon dalam Rangka Pemanfaatan Fungsi Hutan Sebagai Penyerap Karbon..

Pengumpulan data untuk suatu peneliti di dapat dari sumber data yang disebut dengan populasi. Populasi dapat berupa seluruh benda, peristiwa dan individu yang dapat

1) Arus kas dari bunga dan dividen yang diterima dan dibayarkan, masing- masing harus diungkapkan tersendiri. Bunga dan dividen harus diklasifikasikan secara konsisten antar

Selanjutnya kegiatan eksperimen dilakukan sebagai berikut: (a) melaksanakan pretes untuk mengetahui kemampuan awal pemahaman dan penalaran matematis sebelum diberikan