• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAT LEARO DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT BUSISINGO. Pembimbing : Drs. H. Darwin Une, M.Pd*, Hj. Yusni Pakaya, S.Pd M.Pd** WINDA DAENG MASENGE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADAT LEARO DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT BUSISINGO. Pembimbing : Drs. H. Darwin Une, M.Pd*, Hj. Yusni Pakaya, S.Pd M.Pd** WINDA DAENG MASENGE"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ADAT LEARO DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT BUSISINGO

Pembimbing : Drs. H. Darwin Une, M.Pd*, Hj. Yusni Pakaya, S.Pd M.Pd**

WINDA DAENG MASENGE

Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK

Winda Daeng Masenge, Nim : 231 409 026, 2014 : Adat Learo Dalam Pernikahan Masyarakat Busisingo. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pelaksanaan adat learo dalam pernikahan masyarakat Busisingo dan, (2) pandangan masyarakat Busisingo terhadap kelangsungan adat learo di Desa Busisingo Kecamatan Sangkub Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu menggambarkan tentang pelaksanaan adat learo dalam upacara pernikahan dan pandangan masyarakat terhadap kelangsungan adat learo di Desa Busisingo Kecamatan Sangkub Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Dalam pengambilan data-data yang berkaitan dengan judul penelitian tersebut, penulis melakukan suatu observasi dan wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui pelaksanaan adat learo dalam pernikahan masyarakat Busisingo serta menggunakan literatur-literatur atau dokumen yang berkaitan dengan judul yang diteliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa Adat learo adalah prosesi adat yang biasa digunakan masyarakat Busisingo sebelum berlangsungnya pernikahan. Adat learo masih bersifat fleksibel, dalam artian bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan dalam acara perkawinan tergantung hasil musyawarah dari keluarga kedua belah pihak, namun tetap berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Adat learo ini merupakan pelengkap dalam tata cara pernikahan adat pada masyarakat Busisingo dan biasanya dengan dilangsungkannya adat learo ini acara pernikahan akan terasa lebih meriah. Bagi pengantin yang sudah pernah menikah atau hamil diluar nikah, berdasarkan ketentuan adat yang berlaku tidak diperkenankan memakai prosesi adat learo dalam perkawinannya, namun tetap membayar uang pengganti pelaksanaan adat learo tersebut berdasarkan ketentuan adat. Pelaksanaan adat learo dalam kepercayaan masyarakat Busisingo dan Bintauna secara umum, bisa menjustifikasi kesucian calon pengantin. Dimana dengan tanda-tanda tertentup pada saat pelaksanaan adat laero dapat diketahui apakah calon pengantin tersebut masih suci atau tidak.

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnis) yang tersebar di seluruh penjuru wilayahnya. Banyaknya suku bangsa dengan adat istiadat berbeda-beda menjadikan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk (plural). Masyarakat majemuk ialah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang beraneka ragam. Setiap suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat yang khas dan berbeda pada setiap sukunya yang meliputi perbedaan bahasa, pakaian, rumah adat, tata cara perkawinan, serta perbedaan pada adat lainnya yang berlaku.

Salah satu bentuk keberagaman adat yang ada di Indonesia, yang gampang ditemui adalah dalam prosesi perkawinan atau pernikahan. Bisa dikatakan hampir setiap subetnis atau suku yang mendiami Negara ini memiliki cara dan adat perkawinannyamasing-masing. Meskipun pada daerah atau pulau tersebut penduduknya termasuk homogeni dalam berkeyakinan, atau memeluk satu agama. Learo ini merupakan salah satu tata cara ada tistiadat yang dilaksanakan sebelum acara akad nikah dan walimah pada perkawinan adat digelar. Biasanya learo dilaksanakan sehari sebelum upacara akad nikah dilaksanakan. Tata cara adat ini biasanya dilaksanakan oleh seorang tokoh adat yang disebut “mololearo”, biasanya sudah diminta atau dihubungi oleh keluarga pria yang telah diberi kepercayaan oleh keluarga kedua belah pihak, dan dalam pelaksanaannya harus juga disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak.

Memang dalam beberapa kasus, adat ini juga sering menimbulkan pergunjingan atau fitnah terutama bagi calon mempelai wanita, karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, dengan tata cara adat learo dalam perkawinan ini, bisa diketahui masih suci atau tidaknya calon pengantin. Dimana tata cara pelaksanaannya: calon pengantin dibaringkan dengan kepalah diletakkan pada bunga pinang yang mash terbungkus dengan pelepahnya (luapo/pingku) sebagai tumpuan. Kemudian gigi calon pengantin tersebut digosok atau dipepat dengan sebuah batu yang memang sudah dipersiapkan khusus digunakan pada prosesi

(3)

adat learo ini agar gigi kelihatan rapi dan teratur. Batu learo ini bukan sembarang batu, melainkan batu keramat yang digunakan turun temurun.

Suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging di masyarakat Busisingo, bahwa apabila dalam pelaksanaan learo tersebut calon pengantin terutama mempelai wanita merasakan sakit atau ngilu maka itu menandakan sang wanita melakukan pelanggaran sebelumnya atau sudah tidak suci lagi, sebaliknya jika tidak terasa apa-apa maka sang wanita masih suci.

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep, yakni konsep tentang, mengenal adat istiadat, pengertian masyarakat, definisi Perkawinan atau Pernikahan, Adapun deskripsi teori yang telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut.

Konsep adat istiadat, dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.

Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.

Menurut JC. Mokoginta (1996:77), “adat istiadat adalah bagian dari tradisi yang sudah mencakup dalam pengertian kebudayaan. Karena itu, adat atau tradisi ini dapat dipahami sebagai pewarisan atau penerimaan norma-norma adat istiadat”.

Berdasarkan pandangan para pendapat para ahli tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa adat istiadat adalah sebuah aturan yang ada dalam suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat aturan-aturan kehidupan manusia serta tingkah laku manusia didalam masyarakat tersebut, tetapi bukan merupakan aturan hukum.

Konsep masyarakat, masyarakat sebagai makhluk social budaya membuat terciptanya berbagai wujud kolektif manusia yang berbeda cirinya, sehingga

(4)

penyebutan terhadap kesatuan-kesatuan tersebut juga berbeda-beda. Istilah yang paling sering digunakan untuk menyebut sekelompok manusia adalah masyarakat, meskipun sebenarnya tidak semua kelompok masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat. Diperlukan adanya karakteristik tertentu sehingga kelompok manusia dapat disebut sebagai masyarakat.

Koentjaraningrat (2002:143-144) menjelaskan cukup detail tentang pengertian masyarakat ini, sebagai berikut:

Istilah yang paling lazin dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat.Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab yang berbunyi syaraka yang berarti “ikut serta atau berpartisipasi”. Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.

Sedangkan Soepomo (dalam Soekanto, 1983: 153), mengambarkan masyarakat ini sebagai:

“… individu adalah suatu mahluk, dalam mana masyarakat mengkhususkan diri. Masyarakat ialah keseluruhan dari sekalian dari anggota seorang-seorang. Karena itu keinsafan kemasyarakatan dan keinsafan individu bercampur baur. Itulah sebabnya hukum adat bersifat komunal (untuk bersama).

Berdasarkan padangan para ahli tersebut, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa masyarakat sebagai suatu system selalu bersifat kontinyu, karena memiliki suatu rasa identitas yang sama. Dalam artian masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup bersama, dalam suatu bentuk interaksi.Masyarakat merupakan wadah dan wahana majemuk (plural suku, agama, istiadat dan lain-lain). Di mana didalamnya terdapat ikatan-ikatan berupa interaksi kegiatan tujuan keyakinan dan tindakan yang cenderung memiliki kesamaan dalam pelaksanaanya.

Konsep perkawinan atau Pernikahan, merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai

(5)

ajal menjemput.Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya.Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.” (http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-dan-hukumnya/,diakses 29 Juni 2013).

Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya. Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan

baginya untuk melakukan hubungan seksual”

.(http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-dan-hukumnya/,diakses 29 Juni 2013).

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.” (http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-dan-hukumnya/,diakses 29 Juni 2013).

METODE PENULISAN

Dalam penelitian ini di gunakan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian akan mendapatkan data deskriptif yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai objek yang diamati atau diteliti, atau suatu tipe penelitian yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada dilapangan.

(6)

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005: 4), mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).

Selanjutnya Lexy J. Moleong (2005:11), menyebutkan dalam penelitian deskriftif ini data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan karena adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Naskah tersebut bisa berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Adat Learo Dalam Pernikahan Masyarakat Busisingo

Kegiatan perkawinan adat di Bolaang Mongondow Utara khususnya di Desa Busisingo, Kecamatan Sangkub juga mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Terdapat beberapa ketentuan yang berdasarkan adat yang berlaku ditengah masyarakat, bahwa adat learo dapat dilaksanakan dalam pesta perkawinan.

Proses perkawinan pinang dalam masyarakat etnis Bintauna sangat diikat oleh berbagai ketentuan adat istiadat. Salah satu tata cara adat yang paling menonjol yang masih dipelihara oleh masyarakat saat ini adalah pelaksanaan adat “learo”, dimana jika adat istiadat ini konon jika tidak dilaksanakan maka pesta perkawinan akan terasa kurang meriah. Berikut ini prosesi perkawinan pada masyarakat Busisingo dan masyarakat etnis Bintauna umumnya.

Setelah kembali salah satu orang tua yang menyampaikan amanat, orang tua perempuan pun pergi untuk mengundang orang tua kampung untuk datang ke rumahnya. Di waktu yang bersamaan juga orang tua laki-laki sudah dalam perjalanan mau berkunjung ke rumah pihak perempuan.

(7)

Mekanisme pelaksanaan adat learo sudah dijelaskan pada hasil penelitian ini. Perlu diperhatikan adalah adat Learo merupakan salah satu prosesi adat yang diharuskan dilaksanakan pada pernikahan adat masyarakat Desa Busisingo. Karena adat ini sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat Busisingo. Dimana pelaksanaan adat learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar. Bahkan ada cerita yang beredar di masyarkat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan.

Pelaksanaan adat learo tidak hanya dilakukan pada masyarakat Busisingo atau bekas kerajaan Bintauna lainnya, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Utara seluruhnya, termasuk bagi masyarakat bekas kerajaan Kaidipang dan Kerajaan Bolang Itang, dimana adat learo bagi mereka dikenal dengan molelearu yang secara garis besar tatacaranya tidak jauh berbeda.

Pelaksanaan adat learo dalam pernikahan adat masyarakat Busisingo pun mempunyai aturan atau ketentuan-ketentuan adat yang mengikat, yang mau tidak mau harus dipenuhi. Salah satu syarat tersebut misalnya, adanya ketentuan pelaksanaan adat learo bagi si pengantin wanita yang tidak melakukan pelanggaran atau hamil diluar nikah, atau pelaksanaan adat learo tidak dilaksanakan lagi bagi pernikahan si calon mempelai wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya atau sudah pernah menjanda.

Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak, beserta pemerintah desa, para pemangku adat dan pegawai syar’I. Selain itu, setelah disepakati keluarga kedua bela pihak bahwa adat learo akan dilaksanakan, maka pelaksanaan adat learo ini pula harus disaksikan oleh pemerintah Desa, para tetua adat dan kelurga dari kedua bela pihak.

Seperti juga yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Learo atau learu sama dengan padanan kata “pepat” atau “memepat” yang berarti membuat rata (dikerat, dipangkas, didabung dengan gigi, dipenggal puncaknya dan sebagainya). Sedangkan menurut istilah adat, learo adalah suatu kebiasaan atau

(8)

adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat turun temurun sebagai pelengkap dalam setiap pelaksanaan perkawinan adat, dengan jalan menggosok atau memepat, mengerat dan memangkas puncak gigi kedua calon pengantin hingga rata dan teratur.Yang dimaksud memepat gigi dalam adat learo bukan memepat sampai habis, melainkan hanya merapihkan, sehingga learo ini juga sering dikenal dengan istilah adat menyikat gigi juga. Selain itu, pelaksanaan learo dalam acara pernikahan, menurut kepercayaan masyarakat, adat learo ini bisa menunjukkan si calon pengantin masih suci atau tidak lagi. Sehingga tidak heran terkadang pelaksanaan adat ini juga berdampak pada pergunjingan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu ada juga pandangan ini demi kebersihan.

Menurut S.K. Datunsolang (1996: 138), “agar gigi setiap wanita tampak rapi dan bersih, dilakukan acara learo (memepat/menyikat gigi). Hal ini dilakukan sebagai tanda kasih sayang orang tua kepada anak gadisnya. Namun, hingga sang gadis dilamar dan menikah, tata cara learo ini bisa dilaksanakan oleh suaminya”.

Pelaksanaan learo ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah dan walimah digelar. Penentuan pelaksanaan adat learo inipun juga diputuskan melalui musyawarah keluarga kedua bela pihak.Menurut tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat bahwa apabila adat learo ini tidak dilaksanakan maka biasanya situasi pesta perkawinan tidak semeriah sebagaimana yang diharapkan. Karena adat learo ini pada pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan acara penyerahan dan penerimaan calon pengantin laki-laki beserta mas kawinnya dan perlengkapan lain yang ada sangkut pautnya dengan acara perkawinan adat tersebut.

Bahkan ada juga pandangan yang sudah mengakar dan menjadi kepercayaan masyarakat bahwa, pada gelar adat learo bisa diketahui apakah si wanita tersebut masih suci atau tidak. Hal ini dapat dilihat ketika saat pelaksanaan adat learo, jika si wanita merasakan sakit atau ngilu berarti wanita tersebut sudah tidak suci lagi, sedangkan jika tidak merasakan apa-apa berarti wanita tersebut masih terjaga kesuciannya.Dalam pelaksanaan learo disediakan beberapa ramuan yang terdiri dari srey, bawang merah dan bunga pohon pinang. Buah pinang

(9)

sendiri kerap digunakan untuk meramal jenis kelamin bakal bayi yang akan lahir. Buah pinang itu biasanya dibela di atas perut wanita yang bakal melahirkan.

Pada pelaksanaan adat learo, mengunanakan batu untuk menggosok gigi yang digunakan dalam pelaksanaan adat learo dan batu learo bukan batu sembarang. Batu tersebut adalah batu khusus yang dipergunakan untuk pelaksanaan adat learo yang merupakan peninggalan para leluhur. Disamping itu, orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga batu learo tersebut merupakan orang terpilih, atau berdasarkan kesepakatan para tetua adat, dan biasanya mengenal betul seluk beluk pelaksanaan learo beserta doanya.

Bagi masyarakat pelaksanaan adat learo memiliki makna tersendiri. Dimana secara khusus adat learo ini merupakan salah satu kelengkapan acara adat pada pesta pernikahan, sehingganya ketika acara ini tidak dilaksanakan maka acara pernikahan dianggap tidak lengkap. Meski begitu, jika ada keluarga yang mempunyai hajatan pernikahan tersebut tidak ingin melaksanakan acara adat learo ini, atau tidak bisa melaksanakan learo ini karena alasan-alasan yang tidak membolehkan dilaksanakananya learo, maka tetap harus membanyar denda, atau uang pengganti berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Terkait besaran uang pengganti ketentuan adat ini biasanya sebesar Rp300.000,-. Biasanya uang pengganti ini dibayarkan oleh pihak perempuan.

B. Pandangan Masyarakat Busisingo Terhadap Kelangsungan Adat Busisingo

Di Bolaang Mongondow Utara umumnya pasca masuknya agama Islam telah mempengaruhi banyak segi dan aspek kehidupan, terutama pada tatanan adat masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan diterimanya syariat Islam sebagai landasan adat yang sekaligus merupakan landasan dan dasar bagi pelaksanaan perkawinan secara adat. Atau dalam istilahnya “adat bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah”, dimana ini dapat mengindikasikan bahwa antara hukum agama dan hukum adat saling bekerjasama atau saling melengkapi. Meski begitu apabila adat ketentuan adat yang bertentangan biasanya yang lebih diutamakan adalah ketentuan agama.

(10)

Sehubungan dengan itu maksud dari pelaksanaan adat learo adalah merujuk pada masalah kebersihan dan kesucian diri yang pada hakekatnya adalah untuk membudayakan hidup senantiasa bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-Baqorah ayat 222, yang artinya: “ Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucihkan diri”.

Berdasarkan pandangan masyarakat Busisingo dapat dikatakan pelaksanaan adat learo tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru pelaksanaan adat learo merupakan perwujudan pelaksanaan atau praktek ajaran Islam di dalam pelaksanaan perkawinan adat di Busisingo. Menyadari bahwa learo mempunyai maksud dan tujuan yang baik, maka masyarakat Busisingo menerima adat ini dalam perkawinan adat mereka bahkan hingga kini masih terus dipelihara.

Tidak hanya itu pelaksanaan adat learo juga secara tidak langsung turut serta berpengaruh sebagai legitimasi budaya pada pelaksanaan perkawinan adat pada masyarakat Busisingo. Sehingga sifatnya bisa juga disamakan sebagai formalitas atau melambangkan suatu budaya daerah dan tidak menentukan berlangsung tidaknya pernikahan. Sebab meskipun tidak dilaksanakan learo pernikahan tetap bisa dilanjutkan.

Hakekat dari adat laero berdasarkan pengertian tersebut menyeruhkan agar para calon pengantin baik laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesuciannya. Tidak hanya itu dituntut juga kesucian dan kebersihan lahir dan batin dari si calon mepelai yang akan melansungkan perkawinan. Karena persoalan menjaga kesucian ini merupakan anjuran dalam ajaran Islam.

Dengan demikian pelaksanaan adat learo sejatihnya dapat membantu mencegah terjadi pelanggaran dari apa yang disyariatkan oleh ajaran Islam seperti larang berzina, menjagai kesucian diri dan lain sebagainya. Sebab tak disangkal lagi zaman yang semakin bebas ini, pergaulan anak muda belakangan sudah menjurus kepada pergaulan bebas, menyalahgunakan obat-obatan terlarang, hingga sex bebas.

Diharapkan dengan adanya adat learo ini akan memberikan sanksi moral kepada pemuda-pemudi agar berhati-hati, karena suci tidaknya mereka dapat

(11)

diketahui pada saat akan dilangsungkannya adat learo berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat. Justru dengan diterapkannya konsep Islam ini sudah menjadi keterpautan rumah tangga baru agar melalui dengan kebersihan dan kesucian. Dengan demikian bisa dikatakan calon suami istri ini telah menjalankan perintah Allah diambang pernikahan yang diawali dengan penyucian diri.

Lebih dari itu apabila adat ini benar-benar diterapkan dalam masyarakat dalam arti bahwa maksud dan tujuannya dijelaskna pada masyarakat setiap akan dilaksanakannya adat tersebut. Agar supaya masyarakat terutama generasi muda dapat memahami dan mengetahui maksud dan tujuan diadakannya adat learo. Bahkan lebih dari itu adat learo kalau ditelisik lebih jauh lagi juga dapat mengajak pada masyarakat untuk menghindari perbuatan yang mungkar dan mengajak kepada kebaikan atau makruf. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 164 yang artinya: “ Hendaklah diantara kamu suatu bangsa yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh yang baik dan melarang kepada segala yang mungkar dan mereka yang demikian merupakan orang-orang yang menang”.

Meski begitu, dalam perjalanan sejarahnya pelaksanaan adat learo selain merupakan adat kebiasaan turun temurun, pelaksanaannya dewasa ini hanya dilaksanakan pada perkawinan yang masih dianggap baik. Dalam penelitian ini juga peneliti menemukan bahwa jika adat learo tidak dilaksanakan maka kemungkinan akan menimbulkan fitnah yang terutama fitnah gunjingan ini tertujuh pada keluarga mempelai wanita. Sebab secara umum masyarakat akan dengan sendirinya curiga, jika tanpa alasan yang jelas-jelas berdasarkan ketentuan adat tidak bisa dilaksanakan adat learo, maka akan dicurigai pihak perempuan tidak melaksanakan learo karena sudah tidak suci lagi.

Berdasakan bahasan penelitian yang telah dijelaskan bahwa, adat learo selain berfungsi sebagai pelengkap perkawinan adat di desa Busisingo, juga mempunyai maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya. Adapun maksud dan tujuan dari pelaksanaan adat learo ini secara umum yakni untuk menjaga kebersihan dan kesucian dari kedua calon pengantin sebelum membangun rumah tangga.

(12)

Sedangkan tujuan pelaksanaan adat learo pada acara pernikahan masyarakat Busisingo antara lain:

1) Demi menjaga dan terpeliharanya kehormatan dari calon mempelai wanita, dan juga anak-anak remaja yang belum menikah. Agar terhindar dari seks pra nikah, karena adanya sangsi moral pada pelaksanaan adat learo tersebut. Tidak hanya wanita, bahkan ada juga pelaksanaan learo yang mengikut sertakan pria. 2) Selain itu, adat learo ini juga berfungsi untuk kebersihan dan kesucian kedua calon pengantin sebelum mereka melakukan hak dan kewajibannya sebagai suami istri dalam sebuah mahligai rumah tangga.

(13)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Melihat uraian yang telah peneliti paparkan dimuka, dapat disimpulkan beberapa poinpenting tentang adat learo dalam pernikahan masyarakat Busisingo diantaranya:

a. Adat learo adalah prosesi adat yang biasa digunakan masyarakat Busisingo sebelum berlangsungnya pernikahan.

b. Adat learo masih bersifat fleksibel, dalam artian bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan dalam acara perkawinan tergantung hasil musyawarah dari keluarga kedua belah pihak, namun tetap berdasarkan ketentuan adat yang berlaku.

c. Adat learo ini merupakan pelengkap dalam tata cara pernikahan adat pada masyarakat Busisingo dan biasanya dengan dilangsungkannya adat learo ini acara pernikahan akan terasa lebih meriah.

d. Bagi pengantin yang sudah pernah menikah atau hamil diluar nikah, berdasarkan ketentuan adat yang berlaku tidak diperkenankan memakai prosesi adat learo dalam perkawinannya, namun tetap membayar uang pengganti pelaksanaan adat learo tersebut berdasarkan ketentuan adat.

e. Pelaksanaan adat learo dalam kepercayaan masyarakat Busisingo dan Bintauna secara umum, bisa menjustifikasi kesucian calon pengantin. Dimana dengan tanda-tanda tertentup pada saat pelaksanaan adat laero dapat diketahui apakah calon pengantin tersebut masih suci atau tidak.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, peneliti merasa perlu mengemukakan beberapa diantaranya.

a. Adat learo merupakan tradisi turun yang ditinggalkan leluhur, sehingganya perlu untuk dilestarikan sebagai salah satu kebudayaan dan kekayaan bangsa. b. Sebagaimana kepercayaan masyarakat Busisingo, bahwa pelaksanaan adat

learo dapat diketahui suci tidaknya calon pengantin, terkadang adat learo ini justru bisa menimbulkan gunjingan dan fitnah di tengah masyarakat. Sehingga

(14)

disarankan, hal-hal serperti ini diupayakan sedemikian rupa agar tidak terjadi lagi.

c. Diharapakan pula kepada pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh adat dan seluruh masyarakat desa Busisingo, dapat terus menjaga adat learo ini dari segalah bentuk faktor-faktor yang dapat memusnakannya.

(15)

DAFTAR RUJUKAN

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Mokoginta, J.C. 1996. Bolaang Mongondow, Etnik, Budaya dan

Perubahah.(editor Reiner

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya..

Soekanto, Soerjono. 1983.Pribadidan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung : Alumni.

Zain, Ahmad. 2012. http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-dan-hukumnya/,diakses 29 Juni 2013

Referensi

Dokumen terkait

menurut kalian apakah bentuk benda tersebut sama dengan kubus tegak atau balok tegak ternyata bentuknya tidak sama. dengan kubus tegak atau balok tegak jadi bentuk benda tersebut

Alasan lainnya adalah karena deret konsonan dalam BT tidak dijumpai pada posisi awal maupun posisi akhir sebagai kata dasar... Namun, di dalam pelafalan tersebut ada 2

Menampung dan menyimpan air hujan merupakan solusi menjaga kualitas air permukaan (danau dan sungai), selama musim hujan, sebagaimana sering terjadi di

2. Orang dari golongan apapun boleh datang kepada Kristus. Bandingkan dengan Yoh 6:37b yang berbunyi: “barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan Kubuang”. Apakah ini berarti

Unsur merupakan zat tunggal yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi zat-zat lain yang lebih sederhana dengan reaksi kimia biasa (bukan reaksi nuklir).. Beberapa jenis unsur

Dari hasil itu dapat diketahui bahwa pemain belakang tim sepakbola peserta turnamen pekan olahraga daerah di Bandung raya 2010 masih banyak yang mengandalkan kemampuan

Untuk mencapai ketepatan pengertian yang lebih baik memilih kata khusus daripada kata umum harus dibedakan dari kata denotatif dan konotatif. Kata konotatif dibedakan

38.2 Dalam hal kontrak dihentikan, maka PPK wajib membayar kepada penyedia sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah dicapai, termasuk:.. biaya langsung pengadaan