• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Randublatung, Blora

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menuju Randublatung, Blora"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Menuju Randublatung, Blora

Ditulis oleh Yance Arizona*

Malam itu bulan seperti tempurung yang diisi dengan air. Penuh dan datar. Pukul sepuluh malam (09/08/2008) saya tiba di Stasiun Randublatung, Blora. Di Kabupaten paling timur di Jawa Tengah ini awan jarang terlihat, baik siang maupun malam. Sudah empat bulan musim kemarau berlangsung menjadikan siang hari sangat terik dan malam hari bulan dan bintang terlihat benderang. Tanah-tanah menjadi pecah dan penduduk menyiasati menggali sumber air baru untuk dipompa.

Dari sisi perekonomian masyarakat, Blora tidak ada apa-apanya. Blora lebih dikenal sebagai tempat lahirnya penulis terbesar bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kemudian sesekali disebut sebagai daerah penghasil minyak bersama Bojonegoro dan Tuban. Itu pun karena ada Ladang minyak terbesar di Indonesia, Blok Cepu. Iya, Blok Cepu yang operatornya adalah Exxon Mobil, perusahaan milik AS. Masyarakat hanya menjadi penonton eksploitasi minyak dan panen hutan jati yang kaya.

Wilayah Blora terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kawasan hutan jati yang dikelola oleh Perhutani seluas 49.118% wilayah kabupaten. Selebihnya adalah wilayah administrasi Pemerintah Daerah. Wilayah administrasi Pemerintah Daerah pun terbagi-bagi atas wilayah pemukiman, infrastruktur pemerintah, tempat penggembalaan dan lahan pertanian masyarakat. Luas lahan pertanian di Blora tinggal 25.142% dari luas kabupaten. Ketimpangan struktur penguasaan lahan inilah yang menjadikan akar konflik antara masyarakat desa hutan dengan Perhutani. Konflik serta perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan modus atas kendali eksternal kepada masyarakat dari pihak Perhutani (Institusi kehutanan) yang membatasi hak masyarakat atas sumber-sumber produksi (lahan pertanian).

Pembatasan Akses Masyarakat terhadap Hutan

Sebelum kedatangan VOC alias Kompeni ke tanah Jawa, masyarakat Blora memanfaatkan hutan secara leluasa dan berpindah-pindah. Masyarakat berpindah ini dikenal dengan orang Kalang yang keahliannya adalah menebang kayu. Masuknya Kompeni mulai membatasi akses orang-orang Kalang untuk menebang hutan secara berpindah-pindah karena Kompeni ingin merebut penguasaan atas kayu hutan yang ada di Jawa, terutama jati untuk membangun kapal-kapal perang dan angkutan hasil bumi ke Eropa. Orang-orang Kalang ini kemudian dipekerjakan oleh VOC sebagai buruh penebang kayu. Buruh penebang kayu dengan upah rendah inilah yang disebut dengan Blandong. Istilah Blandong sekarang sudah mengalami perubahan makna dari "buruh penebang kayu" menjadi "pencuri kayu". Tentu perubahan ini berisi relasi kuasa yang ingin dibangun oleh penguasa hutan terhadap masyarakat desa hutan. Masyarakat di Blora sangat tergantung dengan hasil hutan berupa kayu dan ranting/rencek. Hampir setiap pagi dapat dilihat ratusan orang, laki-laki atau perempuan yang pulang dari hutan memungut rencek dengan menggunakan sepeda. Kepada orang-orang tersebutlah istilah Blandong dilancarkan hari ini.

Setelah Kompeni bangkrut, Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan memerintah langsung Hindia Belanda lewat Gubernur Jenderal. Pada tahun 1808-1811 Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Deandels sebenarnya lebih dikenal sebagai orang yang menjadi komandan pembangunan jalan yang membelah

* Bekerja pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)

©

(2)

Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Jalan tersebut juga dikenal dengan sebutan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Dalam masa kekuasaan yang singkat itu, Deandels membuat suatu instansi kehutanan yang disebut dengan Dinas Kehutanan Kolonial (Dients van het Boschwezen). Instansi tersebut merupakan birokrasi kehutanan yang mempekerjakan tenaga professional kehutanan yang berpendidikan ilmu kehutanan, mengambil keputusan, melakukan pemetaan dan mengukur potensi hutan, dan membentuk polisi hutan sebagai sarana melindungi “tanah milik” Negara (Peluso, 2006:78).

Selang empat tahun dibawah kendali Belanda melalui Deandels, Napoleon mencaplok Belanda dan Charles Stamford Raffles menyerang Jawa dan menjabat sebagai letnan jenderal di Jawa dari tahun 1811 hingga 1815. Raffles merombak reformasi kehutanan yang dilakukan Deandels dengan mengurangi monopoli pemerintahan kolonial dalam pengurusan hutan. Raffles memprakarsai kebijakan mencadangkan hutan jati yang paling luas dan paling baik bagi negara, dan mengizinkan wirausahawan menyewa, menebang dan membalak kayu di hutan sisanya. Liberalisasi Raffles untuk membuka konsesi dianggap menguntungkan, sebab pemerintah kolonial masih menaruh tabungan pada jati kualitas terbaik dalam skala luas.

Ketika Jepang berkuasa, hutan dipinggiran rel kereta api ditebangi. Banyak penduduk Randublatung dipekerjakan sebagai buruh penebang dan pengangkut hasil hutan dengan imbalan diberikan lahan garapan. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan 1945, pada tahun 1961 penguasaan hutan jati jatuh ke tangan Jawatan Kehutanan. Tetapi pada periode ini tidak diikuti dengan perombakan menuju demokratisasi pengelolaan hutan. Akses masyarakat terhadap hutan masih dibatasi. Masyarakat yang mengambil hasil hutan tanpa izin dikriminalisasi (Rahma Mary dkk, 2007: 64). Pola pengelolaan hutan jati warisan kolonial masih dipertahankan. Masyarakat dipekerjakan lahan Perhutani tanpa mendapatkan imbalan gaji, kecuali lahan garapan menjelang musim tanam jati. Untuk memperoleh garapan yang suburpun tidak jarang petani membayar sejumlah uang kepada Pejabat Kehutanan sebab garapan yang subur biasanya dinikmati oleh Pejabat Perhutani dan kerabatnya.

Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang sedang mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo. Setelah kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan bangunan Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan pembalasan dengan mengambil kayu di hutan jati. Aksi ini bisa disebut sebagai aksi reklaiming dari masyarakat atas kawasan hutan negara yang didahului dengan panen kayu secara masal selama satu tahun 1998-1999. Luas lahan reklaiming itu seluas sekitar 400 Ha. 150 Ha di selatan Desa Temulus dan 250 Ha di sebelah utara Desa Mendenrejo. Disamping memanfaatkan lahan tersebut untuk pertanian, ada juga lahan yang dijadikan sebagai lapangan sepak bola oleh warga.

Kemudian pada tahun 2000 kekerasan oleh Polisi Hutan kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang menewaskan Djani. Djani ditembak saat Polisi Hutan sedang melakukan operasi pengamanan hutan. Padahal Djani bukanlah pencuri kayu. Pagi itu dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan Polisi Hutan sedang mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, Polisi Hutan menembaknya sampai tewas. Atas kelalaian Polisi Hutan itu, Perhutani memberikan santunan kepada keluarga Djani sebesar Rp. 5.000.000 dan mengangkat dua orang anak Djani sebagai anak asuh Perhutani. Bantuan dan santunan itu diberikan agar keluarga korban tidak menuntut Perhutani. Setiap kali ada kekerasan terhadap warga masyarakat oleh Perhutani, masyarakat membalasnya dengan menebang kayu jati secara bersama-sama.

Kekerasan yang sama terus berulang di Blora, baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-luka. Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008 dijelaskan dibawah:

©

(3)

No Nama Modus KPH Waktu

1 Darsit Penembakan Randublatung 28 Juni 1998

2 Rebo Penembakan Randublatung 28 Juni 1998

3 Djani Penembakan Cepu 5 November 2000

4 Wiji Penganiayaan Cepu 14 Otober12002

5 Musri Penembakan Randublatung 16 Desember 2003

6 Nurhadi Penganiayaan Randublatung 13 Juni 2006

7 Pariyono Penganiayaan Randublatung 18 November 2006

Data diolah dari tabulasi dokumen kasus yang dikumpulkan LBH Semarang dan Lidah Tani

Perlawanan dari Temulus

Sekalian perlawanan masyarakat desa hutan di Blora dekat sekali dengan ajaran dari Samin Surosentiko (1859-1914). Gerakan Samin mengambil modul dengan melakukan pembangkangan sosial seperti tidak membayar pajak, mangkir dalam kerja bakti, menggunakan bahasa Jawa Ngoko (Bahasa Jawa “Kasar”) sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahkan dengan menolak sekalian institusi formal yang berbau negara seperti Sekolah dan Bahasa Nasional. Bahasa adalah senjata bagi mereka. Logika bahasa yang dimainkan seringkali membuat aparatur kehutanan kewalahan menjawabnya. Misalkan atas tuduhan bahwa masyarakat mencuri lahan. Bagi orang Samin, mereka tidak mencuri lahan, sebab lahan yang dituduh mereka curi itu masih ada ditempatnya, tidak berpindah. Mereka juga tidak mencaplok lahan. Bagi mereka tindakan yang mereka lakukan adalah menggarap lahan sebagai sumber penghidupan. Lahan garapan, tanah, adalah karunia Tuhan yang bisa dinikmati oleh siapapun. Ajaran Samin yang menjadi legitimasi masyarakat mengelola lahan adalah: Lemah pado duwe, Banyu pado duwe, dan Kayu pado duwe yang maksudnya adalah: Tanah, Air dan Kayu adalah milik semua orang.

Desa Temulus di dalam Peta adalah Desa yang berada di pinggir kawasan hutan Perhutani. Di Desa ini juga terdapat sumur minyak yang sudah dieksplorasi. Tinggal menunggu eksploitasi oleh Exxon Mobil, Perusahaan minyak yang berkantor di AS. Masyarakat desa ini, sebagaimana juga desa yang berada di Blora, pada musim kemarau memilih untuk menanam jagung dan tembakau. Masyarakat mengelola lahan secara tradisional, namun mereka sudah menggunakan pupuk untuk menjaga kesuburan tanah yang mereka beli secara berkelompok. Tidak ada padi yang ditemukan tumbuh di bulan agustus. Persediaan beras mereka peroleh dari panen pada musim hujan yang lalu.

Perlawanan dilakukan dengan mengorganisasikan diri ke dalam organisasi tani. Meskipun banyak petani yang menolak dominasi Perhutani, tetapi tidak semua dari mereka ikut dalam organisasi tani. Belum meratanya kesadaran berorganisasi bukan berarti masyarakat tidak melakukan perlawanan. Mereka melakukan perlawanan bahkan dengan cara yang agak simpel dan individual. Misalkan dengan tidak menyapa aparat Perhutani bila bertemu di jalan, mengambil jalan lain bila akan berpapasan dengan aparat Perhutani. Bahkan dengan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar guna melangsungkan kehidupan dan mempertaruhkan nasib.

©

(4)

Perlawanan masyarakat desa hutan di Blora terhadap kendali eksternal yang mendominasi mereka sudah berlangsung sejak lama, mulai dari nama Hario Panangsang, Naya Gimbal, Samin Surosentiko di masa Kolonial Belanda dan Suro Ngingil di masa Republik Indonesia. Sekarang, lewat organisasi tani di sana, mereka menyerukan Pembubaran Perhutani. Mereka menilai Perhutani tidak mampu mengelola lahan dengan baik tanpa bantuan masyarakat desa. Perhutani selama ini melakukan kekerasan dan menembak masyarakat yang mengambil kayu di hutan. Kekerasan dekat sekali dengan masyarakat desa hutan dimana kawasan hutan yang dikelola Perhutani adalah hutan produksi yang berisi kayu jati dengan nilai ekonomi tinggi.

Dalam dialog dengan belasan Petani tanggal 10 Agustus 2008 malam, para petani menyebutkan bahwa selama ini mereka merasa diintimidasi oleh Perhutani. Kata intimidasi berulangkali mereka sebutkan meskipun tidak tahu persis apa maksud kata intimidasi tersebut. Selain kata intimidasi, petani menyebutkan kata legitimasi. Bagi petani, Perhutani tidak lagi memiliki legitimasi, yang dipunyai hanyalah legalitas penguasaan hutan yang masyarakat tidak dilibatkan dalam penentuan legalitas penguasaan tersebut.

Kekerasan dalam bentuk penembakan petani selama ini dipandang sebagai pelanggaran HAM yang mesti diusut tuntas. Hal tersebut sebagai koreksi terhadap buruknya pendekatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perhutani. Dalam sepuluh tahun terakhir sudah 7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora. Bila dikalkulasikan untuk Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani), sebagaimana ditabulasikan oleh LBH Semarang dan Lidah Tani, dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008) sudah 31 orang tewas dan 69 orang luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Perhutani.

Menolak PHBM Skema Perhutani

Di Randublatung sudah pernah dilakukan upaya negosiasi untuk menyelesaikan konflik kehutanan yang terjadi. Sudah dilakukan dua kali negoasiasi. Negosiasi pertama berjalan lancar untuk menemukan komitmen kedua pihak menyelesaikan konflik dan melakukan pengelolaan hutan kolaboratif. Tetapi pada negosiasi kedua Perhutani menarik diri dari pertemuan dan upaya penyelesaian konflik mengalami kebuntuan. Masyarakat, organisasi Lidah Tani dengan dukungan Arupa menkonsep suatu pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan bagi hasil 75% untuk masyarakat dan 25% untuk Perhutani. Tetapi pola tersebut dibelokkan oleh Perhutani menjadi pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan skema bagi hasil 75% untuk Perhutani dan 25% untuk masyarakat.

Masyarakat Desa Temulus menolak PHBM Skema Perhutani yang landasi dengan SK Direksi Perhutani No. 1061/Kpts/Dir/2000, kemudian diganti dengan SK 136/Kpts/Dir/2001 dan terakhir dengan SK Direksi No. 001/Kpts/Dir/2002. Penolakan masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan PHBM dengan alasan berikut:

1. Skema bagi hasil 75% untuk Perhutani dan 25% untuk masyarakat dinilai tidak adil, sebab yang punya andil dalam menanami, menjaga dan memanen jati adalah masyarakat. Perhutani hanya ‘memiliki’ lahan yang dikuasakan negara kepadanya dan membayar murah tenaga masyarakat yang dipekerjakan. Dari sisi legitimasi, Perhutani hanya memiliki legitimasi hukum atau legalitas atas kawasan, tidak pada legitimasi sosial dan legitimasi moral.

2. Rumusan bagi hasil Pa = (D-Ut)/D x 25% dinilai sangat merugikan masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Sebab hitungan bagi hasil maksimal yang dapat dinikmati oleh masyarakat hanyalah 25% dari hasil penjualan maksimal. “D” adalah konstanta temporal yang dihitung sejak penandatanganan kerjasama PHBM.

©

(5)

3. Skema Perhutani tidak mencerminkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan hasil panen. Sehingga masyarakat tidak mengetahui mekanisme penentuan harga dan pengelolaan keuntungan panen kayu jati.

4. PHBM hanya dijadikan oleh Perhutani untuk menguasai kembali lahan yang selama ini sudah digarap oleh masyarakat dan menjinakkan organisasi tani yang selama ini berupaya melawan ketimpangan penguasaan kawasan hutan.

5. PHBM bukan merupakan jalan untuk melakukan reforma agraria

Bagi mereka PHBM dipelesetkan seba aan Hutan Biaya Murah. PHBM yang dijadikan senjata oleh Perhutani enjinakkan" organisasi tani yang memperjuangkan hak atas tanah. Bila lak di banyak tempat di Jawa, maka Perhutani akan kehilangan senjata legi lesaian konflik. Sehingga upaya untuk mewujudkan reforma agraria bisa terus .

gai Pengelol untuk "m PHBM dito timasi penye diwacanakan

&'

© http://www.huma.or.id

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang merupakan salah satu. persyaratan untuk menyelesaikan program studi strata satu (S1) pada

(1) Apabila cedera yang diuraikan dalam Pasal 2 merupakan sebab langsung dari kematian Tertanggung dalam jangka waktu 365 hari sejak tanggal terjadinya

o Bagaimana reaksi anak (kakak maupun adik) saat ibu berada dekat dengan?.

1) Kejadian osteoporosis meningkat postmenopause. 2) Wanita yang mengalami ooforektomi bilateral memperlihatkan gejala osteoporosis lebih dini dan hebat. 3) Penderita yang

Hasil penelitian menunjukan hasil tes akhir/pos tes dengan menggunakan model pembelajaran langsung berbasis proyek terhadap hasil belajar konsep perubahan wujud benda

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor tenaga kerja, bibit, pupuk Urea, pupuk NPK, dan pestisida terhadap produksi jagung dan menganalisis

Sedangkan untuk fleksibel dimaksudkan bahwa bangunan dapat digunakan oleh beragam jenis autisme, maka diberikan desain bangunan yang fleksibel berwujudkan dengan adanya