• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia

1. Definisi

a. Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding dinding alveoli dan rongga interstisium yang ditandai dengan batuk disertai nafas cepat dan atau nafas sesak pada anak usia balita (Ridha, 2014).

b. Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang mempengaruhi paru-paru, dimana alveoli paru-paru terisi idengan cairan sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk bernafas (WHO, 2014).

c. Pneumonia merupakan salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru yang biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan gejala batuk dan disertai sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi dan dapat dilihat melalui gambaran radiologi (Nurarif & Kusuma, 2015).

2. Epidemiologi

Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak balita). Pneumonia disebut sebagai pembunuh nomer satu di dunia

(2)

karena hampir satu dari lima anak balita meninggal dan lebih dari 2 juta anak di negara berkembang meninggal setiap tahunnya. Pneumonia di negara berkembang disebut penyakit yang terabaikan (the neglegted disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease) karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia (Said, 2010).

3. Etiologi

Penyebab utama pneumonia anak balita berdasarkan studi mikrobiologik adalah streptococcus pneumoniae/ pneumococcus (30-50%) dan hemophilus influenzae type b/Hib (10-30%), diikuti staphylococcus aureus dan klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti mycoplasma pneumonia, chlamydia spp, pseudomonas spp, escherichia coli. Pneumonia pada neonatus banyak disebabkan bakteri gram negatif seperti klebsiella spp dan bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae, S. Aureus. Penyebab pneumonia karena virus disebabkan respiratory syncytial virus (RSV), diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain misal bahan kimia (aspirasi makan/susu atau keracunan hidrokarbon pada minyak tanah atau bensin) (Said, 2010; Nurarif & Kusuma, 2015).

(3)

4. Tanda dan gejala

Gejala yang sering terlihat pada anak yang menderita pneumonia adalah demam, batuk, kesulitan bernafas, anoreksia, muntah, diare, terlihat adanya retraksi interkostal, nyeri dada, penurunan bunyi nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis, sakit tenggorokan, batuk kering kemudian berlanjut ke batuk produktif dengan adanya ronkhi basah, frekuensi nafas > 50 kali per menit (Marni, 2014; Nurarif & Kusuma, 2015). Pada pemeriksaan kardiovaskuler akan didapatkan gejala takikardi dan pada pemeriksaan neurologis terdapat nyeri kepala, gelisah, susah tidur.

5. Jenis pneumonia/ klasifikasi pneumonia

Jenis pneumonia menurut Hidayat, 2010; Nurarif & Kusuma, 2015, dibagi antara lain :

a. Pneumonia lobaris yaitu peradangan yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari lobus paru.

b. Pneumonia interstisial yaitu perdangan yang terjadi di dalam dinding alveolar dan jaringan peribronkhial dan interlobaris.

c. Bronkhopneumonia yaitu peradangan yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen dapat membentuk bercak konsolidasi dalam lobus.

Pneumonia menurut Tabrani (2010) dibagi atas 2 jenis, yaitu : a. Pneumonia Dapatan Pada Komunitas

Pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagai suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa dalam 48

(4)

jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tidak tinggal dalam fasilitas perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum gejala.

b. Pneumonia Nosokomial

Pneumonia Nosokomial adalah suatu penyakit yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit, Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator berkembang pada pasien-pasien dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam setelah intubasi.

Klasifikasi pneumonia menurut Depkes RI (2010) berdasarkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut :

a. Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya umum, atau terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan bunyi sridor.

b. Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak usia 2 bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih dan anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit atau lebih). c. Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke

pneumonia, atau pneumonia berat. 6. Pencegahan

Pencegahan pneumonia selain menghindarkan atau mengurangi faktor resiko, dapat juga dengan pendekatan di komunitas dengan meningkatkan pendidikan kesehatan, perbaikan gizi, pelatihan petugas

(5)

kesehatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan yang benar dan efektif. Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan nonimunisasi.

Strategi pencegahan spesifik untuk penderita pneumonia salah satunya dengan imunisasi (Kartasasmita, 2010). Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus konjungasi dapat mencegah penyakit dan kematian kasus pneumonia pneumokokus 20-35% dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian kasus pneumonia Hib 15-30%. Sekarang ini di negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugasi direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan (Said, 2010).

Pemberian zink dapat mencegah terjadinya pneumonia pada anak, meskipun apabila digunakan untuk terapi zink kurang bermanfaat. Pemberian zink 20 mg/hari pada anak pneumonia efektif terhadap pemulihan demam, sesak nafas dan laju pernafasan (Marni, 2014).

Pencegahan non imunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu anak balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih,

(6)

perbaikan gizi dengan pola maka nan sehat; penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah (Said, 2010).

7. Penanganan

Pemberian antibiotika segera pada anak yang terinfeksi pneumonia dapat mencegah kematian. Antibiotik yang dianjurkan untuk pneumonia adalah antibiotik sederhana, tidak mahal seperti kotrimoksazol atau amoksisilin yang diberikan secara oral. Dosis amoksisilin 25 mg/kg BB dan kotrimoksazol (4 mg trimetoprim: 20 mg sulfometoksazol) /kgBB. Penerapan Pedoman Tatalaksana Baku Pneumonia termasuk pemberian antibiotik oral sesegera mungkin dapat menurunkan 13-55% mortalitas pneumonia (20% mortalitas bayi dan 24% mortalitas anak balita).

B. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia

Dalam segitiga epidemiologi (Epidemiologi Triagle) menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu host, agen/agent dan lingkungan/environment (dibentuk segitiga). Sakit terjadi karena interaksi antara agent, host and environment (Maryani dan Muliani, 2010).

Kejadian penyakit pneumonia berdasarkan segitiga epidemiologi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor penyebab (Agent) merupakan penyakit penyebab pneumonia yaitu bakteri, virus, jamur protozoa. Penyebab tersering adalah bakteri

(7)

streptococcus pneumoniae/ pneumococcus dan hemophilus influenzae type b.

2. Faktor Manusia (Host) biasanya manusia atau pasien. Host dalam faktor resiko pneumonia pada balita meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, ASI Eksklusif, imunisasi, dan Berat Badan Lahir.

a. Umur

Umur juga dapat mempengaruhi status kesehatan, karena ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu. Pada usia balita dan usia lanjut rentan terhadap penyakit karena pada usia balita sistem pertahanan tubuhnya belum stabil, sedangkan pada usia lanjut sistem pertahanan tubuhnya sudah menurun (Maryani & Muliani, 2010). b. Status gizi pada balita

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Marmi, 2012).

Status gizi yang kurang dan buruk dapat menyebabkan gangguan sistem imun. Organ timus sangat sensitif terhadap malnutrisi karena kekurangan protein dapat menyebabkan atrofi timus. Hampir

(8)

semua mekanisme pertahanan tubuh memburuk dalam keadaan malnutrisi (Rigustia, 2019).

Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan rekomendasi National Canter of Health Statistics (NCHS) dan WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-score adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan Antara nilai individu dan nilai tengah (median) populasi referent untuk umur/tinggi yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan peredaan umur, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistic dari pengakuan antropometri.

Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur adalah penting dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan banyak masalah gizi buruk. Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang sesuai dengan nilai median, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) standar baku WHO-NCHS (WHO 2016). Berikut Kategori Status Gizi BB/U :

1) >+2 SD = Berat badan lebih (gizi lebih)

2) -2 s/d +2 SD = Berat badan normal (gizi normal) 3) -3 s/d <-2 SD = Berat badan rendah

(9)

4) < -3 SD = Berat badan sangat rendah

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2016) dimana status gizi dapat menentukan kerentanan seseorang untuk menderita sesuatu penyakit. Balita dengan asupan gizi yang kurang akan lebih berisiko terkena pneumonia dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik.

Penelitian Adawiyah dan Duarsa (2016) menemukan anak balita dengan gizi kurang besar kemungkinan berpotensi menderita pneumonia. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit pneumonia pada anak balita adalah kekurangan energi protein. Akibat gizi kurang pada proses pertumbuhan dapat mengakibatkan gangguan pada proses pertahanan tubuh, penurunan sistem imunitas dan antibody berkurang sehingga mudah terserang infeksi terutama pneumonia. Kekuatan hubungan status gizi adalah sebesar 2,283 kali (CI 95% : 1,411- 3,693) artinya anak balita dengan status gizi kurang lebih berisiko 2,2 kali menderita pneumonia dibandingkan anak balita dengan status gizi baik.

Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Adawiyah dan Duarsa, 2016). Oleh karena itu pemberian nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhandan perkembangan balita dapat mencegah anak terhindar dari penyakit

(10)

infeksi sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi optimal.

c. Pemberian ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan paling baik untuk bayi. ASI mengandung nutrient (zat gizi) yang sesuai untuk bayi seperti lemak, karbohidrat, protein, garam mineral, vitamin; mengandung zat protektif seperti laktobasilus bifidus, laktoferin, lisozim, komplemen C3 dan C4, antistreptokokus; antibodi seperti immunoglobulin seperti IgA, IgE, IgM, IgG; imunitas seluler berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis mikroorganisme membentuk C3 dan C4, lisozim dan laktoferin, serta zat anti alergi.

Mekanisme pembentukan antibodi pada ASI adalah apabila ibu mendapat infeksi, maka tubuh ibu akan membentuk antibodi dan akan disalurkan dengan bantuan limfosit. Antibodi pada payudara yang disebut Mammae Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (MALT). Kekebalan terhadap penyakit saluran pernafasan yang ditransfer disebut Bronchus Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (BALT) dan untuk saluran pernafasan ditransfer melalui Gut Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (GALT).

Berdasarkan UU kesehatan Nomor 36 tahun 2009 tentang ASI Eksklusif menjelaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan kecuali ada indikasi

(11)

medis. Bayi usia kurang dari 6 bulan yang tidak diberikan ASI Eksklusif mempunyai resiko 5 kali lebih besar mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan pertama kehidupannya (UNICEF-WHO, 2016).

d. Status imunisasi pada balita

Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan dapat terhindar dari penyakit campak dan pneumonia yang merupakan komplikasi paling sering terjadi pada anak yang mengalami campak (Rigustia, 2019). Menurut UNICEF–WHO pemberian imunisasi ini dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit pertusis ini.

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis (Adawiyah dan Duarsa, 2016). Oleh karena itu diharapkan agar kelengkapan status imunisasi perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan karena sangat berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Adawiyah dan Duarsa (2016) bahwa balita dengan status imunisasi tidak lengkap lebih berisiko 7,8 kali menderita pneumonia dibandingkan anak balita dengan status imunisasi lengkap.

(12)

Imunisasi mampu mengurangi kematian anak dari pneumonia dengan dua acara. Pertama vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang lansgusng yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haeophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi dapat mencegaah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyekait (misalnya, campak dan pertussis). Terdapat tiga vaksin yang memliki potensi mengurangi kematian anak dari pneumonia balita (Ratnaningtyas, 2018).

3. Faktor Lingkungan (Environment)

Lingkungan merupakan semua faktor di luar individu yang dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis, lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi. Faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko pneumonia antara lain faktor lingkungan fisik rumah dan sosial ekonomi orang tua.

a. Lingkungan fisik rumah

Lingkungan fisik rumah yang menjadi faktor risiko pneumonia antara lain :

1) Polusi udara dalam ruangan

Salah satu syarat rumah sehat adalah bebas dari polusi udara (polutan). Sumber-sumber polusi udara dalam rumah antara lain bahan bakar memasak, asap rokok, asap pembakaran. Menurut riskesdas 2013, penggunaan bahan bakar tidak aman (minyak tanah, kayu bakar, arang, batu bara) dan kebiasaan merokok di

(13)

dalam rumah proporsinya masih tinggi yaitu 64,2 % dan 76,6 %. Partikel udara dengan ukuran kurang dari 10µm dapat menembus paru paru dan menyebabkan infeksi. Menurut KepMenKes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 dapur harus memiliki sarana pembuangan asap tujuannya agar terhindar dari polusi dari pembakaran asap dapur.

Penelitian yang dilakukan Yuwono (2012) menunjukkan hasil anak balita yang tinggal di rumah dengan bahan bakar menggunakan kayu memiliki risiko terkena pneumonia 2,8 kali lebih besar. Penelitian Hugo (2010) menunjukkan balita yang terkena pajanan asap dalam rumah mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar terhadap kejadian ISPA non pneumonia dengan sumber pajanan asap 92 % dari obat nyamuk bakar, 72% dari asap rokok, dan 32 % dari penggunaan kayu bakar.

2) Kepadatan hunian

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, bahwa luas ruang tidur minimal 8m2,

tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam 1 ruangan kecuali anak di bawah 5 tahun. Penelitian yang dilakukan Yunihasto (2017), menunjukkan lingkungan fisik rumah dengan kepadatan penghuni rumah <10 m2 per orang merupakan faktor

resiko kejadian pneumonia dengan p=0,000 OR=2,2 CI 95% 1,4-3,6.

(14)

3) Ventilasi

Ventilasi adalah proses penyediaan udara dari ruangan baik secara alami atau mekanis. Menurut Menurut KepMenKes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 % dari luas lantai. Penelitian yang dilakukan Yunihasto (2017), menunjukkan faktor lingkungan yang menyebabkan resiko pneumonia adalah ventilasi < 10% luas lantai dengan p=0,000 OR=5,4 CI95% 2,8-10,6. Penelitian Anwar dan Dharmayanti (2014), menunjukkan hasil ventilasi merupakan faktor risiko kejadian pneumonia dengan nilai p=0,010 OR=1,16 CI 95% 1,04-1,30.

4) Jenis Lantai dan dinding

Salah satu syarat rumah yang baik yang harus dipersiapkan agar memenuhi syarat kesehatan antara lain jenis lantai kedap air dan mudah dibersihkan. Dinding mempunyai ventilasi, bahan kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang memenuhi syarat adalah yang terbuat dari ubin dan keramik, sedangkan yang terbuat dari tanah tidak memenuhi syarat kesehatan.

b. Status ekonomi keluarga balita

Faktor lain yang berpengaruh dalam kesehatan adalah kondisi sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi merupakan faktor sangat erat berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Semakin tinggi status sosial ekonomi keluarga antara lain antara lain pendidikan,

(15)

pekerjaan dan kondisi ekonomi secara keseluruhan maka semakin baik pula perilaku hidup sehat dan bersih. Menurut Friedman (2010) status sosial ekonomi tidak hanya dilihat dari tingkat ekonomi (penghasilan keluarga) tetapi juga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan sehingga saling berpengaruh satu sama lain.

Faktor sosial ekonomi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara pandang seseorang mengartikan dan bereaksi terhadap penyakit. Orang yang mempunyai status sosial ekonominya rendah biasanya kurang memahami mengenai kesehatan, tidak mampu membeli makanan yang bergizi, tidak mampu membeli obat dan tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan (Maryani, 2012).

c. Pendidikan orang tua

Menurut UU No.20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Hasbullah, 2010). Menurut Siswoyo (2011) pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan

(16)

budayanya yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan.

Menurut Tirtarahardja (2010) tingkat pendidikan tersebut meliputi : jenjang pendidikan dasar meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jenjang pendidikan menengah diselenggarakan di SMA (Sekolah Menengah Atas) atau pendidikan yang sederajat, sedangkan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan di perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

Tingkat pendidikan orang tua memiliki andil dalam kejadian pneumonia. Hal ini dikarenakan apabila tingkat pendidikan orang tua tinggi maka akan lebih dapat merawat atau mencegah agar balitanya tidak mengalami pneumonia. Wilayah dengan tingkat pendidikan orang tua yang rendah memiliki risiko balita lebih tinggi terkena pneumonia dibandingkan dengan orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (Meilawati, 2019). Tingkat pendidikan juga dapat membuat orang tua berperilaku sehat untuk rumahnya. Dalam hal ini tingkat pendidikan dapat mempengaruhi orang tua dalam membiasakan membuka jendela setiap hari, memiliki jendela yang berfungsi sehingga mendapatkan sinar matahari yang cukup dan tidak membuat kamar menjadi lembab.

Tingkat pendidikan ibu menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia anak balita. Tingkat pendidikan

(17)

ibu yang rendah menyebabkan tindakan perawatan kepada anak balitanya yang tidak begitu baik, maka anak balitanya mudah terpapar kuman penyakit melalui saluran pernapasan sehingga terkena ISPA berlanjut menjadi pneumonia. Kemungkinan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyakmembawa anaknya untuk berobat ke fasilitas kesehatan, tetapi ibu dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknyauntuk berobat ke dukun atau mengobati sendiri (Sukar dalam Lindawati, 2010).

Hasil penelitian Rasyid (2013) menunjukkan kekuatan hubungan pendidikan ibu adalah sebesar 3,504 kali (CI 95% : 1,981-6,198) artinya anak balita yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah lebih berisiko 3,5 kali menderita pneumonia dibandingkan anak balita yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi.

Tingkat pendidikan seseorang (ibu) tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian pneumonia, namun pendidikan tersebut dapat mempengaruhi jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mempersulit komunikasi seseorang dan juga berpengaruh terhadap penerimaaan ide-ide baru (Notoatmodjo, 2012).

e. Aktivitas merokok orang tua

Kegiatan merokok terutama dilakukan oleh kepala keluarga yaitu ayah balita itu sendiri, kakek, saudara ibu atau ayah. Asap rokok mengandung partikel seperti hidrokarbon polisiklik, karbon

(18)

monoksida, nikotin, nitrogen oksida dan akrolein yang dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar serta menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida sehingga mengganggu sistem pertahanan paru (Rigustia, 2019).

Faktor risiko yang dapat memperbesar kejadian pneumonia pada balita lainnya yaitu kebiasaan merokok anggota keluarga. Hal ini disebabkan pencemaran udara dalam rumah yang disebabkan oleh polusi dari asap rokok dapat mengganggu mekanisme pertahanan saluran pernapasan yang akan menyebabkan pneumonia pada balita (Meilawati, 2019). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratih & Susanna (2018) yang menyebutkan bahwa penduduk Asia memiliki persentase perokok pria lebih tinggi dibandingkan dengan perokok wanita.

Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Rigustia (2019) yang menunjukkan uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia pada balita, dimana besar resiko balita dari keluarga dengan aktivitas merokok untuk terkena pneumonia adalah 13,363. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa asap samping rokok mempunyai efek toksik lebih buruk daripada asap utama terutama dalammenimbulkan iritasi mukosa saluran napas danmeningkatkan kecenderungan untuk mendapatkan ISPA.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Secara rinci kegiatan PTK pada Siklus 1 adalah sebagai berikut; (1) Tahap perencanaan tindakan yaitu Merencanakan tanggal pelaksanaan pembelajaran, mencermati dan

Pada diagram di atas terlihat bahwa akronim Kaur merupakan bentuk kependekan dari Kepala urusan Proses pembentukannya terbentuk melalui pengekalan hurf

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

dalam berteman atau pun berelasi dengan orang lain. Hd sering bergabung dalam kebersamaan tanpa merasa minder karena tinggal dalam asuhan Suster PPYK. Dalam aspek ini,

Kapolres Purworejo AKBP satrio Wibowo, SIK melalui Kapolsek Banyuurip AKP Rahmad Efendi mengatakan, penangkap tersangka berawal sewaktu Unit Reskrim melakukan

Alat ini digunakan berdasarkan prinsip perubahan pH / potensial elektroda yang cukup besar antara suatu elektroda indicator dengan suatu elektroda indicator

kekuatan uap untuk mekanisasi sistem produksi. RI kedua yang dimulai tahun 1870 menggunakan daya listrik untuk melangsungkan produksi masal. Sedangkan RI ketiga yang dimulai tahun