• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada pemegang saham didasarkan kepada teori keagenan. Teori Agensi. mengakibatkan dua permasalahan yaitu sebagai berikut :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada pemegang saham didasarkan kepada teori keagenan. Teori Agensi. mengakibatkan dua permasalahan yaitu sebagai berikut :"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

8

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Pentingnya praktek pengungkapan laporan tahunan oleh manajemen kepada pemegang saham didasarkan kepada teori keagenan. Teori Agensi merupakan suatu teori yang menjelaskan tentang hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi agen dan pihak lain bertindak sebagai prinsipal (Hendriksen, 2002:221). Menurut Meisser et al (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dan posisi operasi entitas dari pemilik. 2. Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan

tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Artinya disini terdapat dorongan kepentingan ekonomis yang sama-sama kuat dari kedua pihak dalam hubungan tersebut, maka dapat dimungkinkan manajer tidak dapat selalu mengambil keputusan yang sesuai dengan keinginan pemilik modal.

Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi:

(2)

1. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent.

2. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal.

3. Residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.

Selain itu, untuk mengurangi biaya agensi tersebut maka diperlukan suatu alat kontrol yang dapat mengurangi risiko terjadinya asimetri informasi. Alat kontrol yang dapat digunakan oleh para stakeholders ialah laporan tahunan. Laporan tahunan pada dasarnya merupakan sarana transparansi dari akuntabilitas manajer kepada pemilik modal (Bernadi,dkk, 2009). Dengan pengungkapan yang luas (extent disclosure), asimetri informasi antara manajer dan pemilik modal dapat berkurang (Bernadi dkk, 2009).

2.1.2 Manajemen Laba (Earnings Mangement)

2.1.2.1 Pengertian Manajemen Laba (Earnings Mangement)

Menurut Sulistyanto (2008:6) menyebutkan bahwa manajemen laba adalah sebagai berikut :

"Manajemen laba adalah upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan."

(3)

Menurut Scott (2009:403) menyebutkan bahwa manajemen laba adalah sebagai berikut :

"Earning management is the choice by manager of accounting policies so as to achieve some specific objective. Artinya bahwa bahwa manajemen

laba adalah suatu tindakan manajer yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu."

Menurut Kieso (2014:145) menyebutkan bahwa manajemen laba adalah sebagai berikut :

"Earning management is often defined as the planned timing of revenues, expense, gains and losses to smooth out bumps in earnings. Artinya bahwa

manajemen laba sering didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba."

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa manajemen laba adalah suatu penyusunan laporan keuangan yang sengaja dilakukan oleh manajemen yang ditunjukan pada pihak eksternal dengan cara meratakan, menaikan dan menurunkan laporan laba dengan tujuan menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya dan untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi.

2.1.2.2 Motivasi Manajemen Laba

Menurut Sulistyanto (2008:45) menyebutkan bahwa terdapat tiga motivasi yang mendasari tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut :

1. Bonus Plan Hypothesis

Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa managers of firms with bonus plans are more likely to use accounting methods that increase current period reported income. Ada bukti empiris yang menyetakan bahwa

(4)

perjanjian (kontrak) bisnis manajer dengan pihak lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Dalam bonus atau kompensasi manajerial, pemilik perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah bonus jika kinerja perusahaan mencapai jumlah tertentu. Janji bonus inilah yang merupakan alasan bagi manajer untuk mengelola dan mengatur labanya pada tingkat tertentu sesuai yang di syaratkan agar dapat menerima bonus.

2. Debt (Equity) Hypothesis

Debt (equity) hypothesis menyatakan bahwa the larger the firms debt to euity ratio, the more likely managers use accounting methods that increase income. Dalam konteks perjanjian utang, manajer akan mengelola

dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Hal ini merupakan upaya manajer untuk mengelola dan mengatur jumlah laba yang merupakan indikator kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban hutangnya. Manajer akan melakukan pengelolaan dan pengaturan jumlah laba untuk menunda bebannya pada periode bersangkutan dan akan diselesaikannya pada periode -periode mendatang. 3. Political Cost Hypothesis

Political cost hypothesis menyatakan bahwa larger firms rather than small firms are more likely to use accounting choices that reduce reported profits. Alasan terkahir adalah masalah pelanggaran regulasi pemerintah.

(5)

berkaitan dengan dunia usaha, misalkan undang-undang perpajakan. Udnang-undang mengatur jumlah pajak yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Besar kecilnya pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Perusahaan yang memperoleh laba lebih besar akan akan ditarik pajak yang lebih besar pula dan perusahaan yang memperoleh laba lebih kecil akan ditarik pada yang lebih kecil pula. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan tidak menjadi tidak terlalu tinggi, karena manajer sebagai pengelola, tentu tidak ingin kewajiban yang harus diselesaikannya terlalu membebaninya. Hal ini sangat mudah dilakukan perusahaan yaitu dengan menarik biaya periode yang akan datang menjadi biaya periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang.

Menurut Scott (2009:287) menyebutkan bahwa terdapat tiga hipotesis yang mendasari tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut :

1. The Bonus Plan Hypothesis

Managers of firms with bonus plans are more likely to choose accounting procedures that shift reported earnings from future periods to the current period. Artinya hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan

(6)

yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode berjalan.

2. The Debt Covenant Hypothesis

All other things being equal, the closer a firm is to violation of accounting based debt covenants, the more likely the firm manager is to select accounting procedures that shift reported earnings from future periods to the current period. Artinya hipotesis ini menyatakan bahwa semua hal

yang lain tetap sama dan semakin dekat perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian hutang tersebut, maka semakin mungkin manajer menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode mendatang ke periode sekarang.

3. The Political Cost Hypothesis

All other things being equal, the greater the political costs faced by a firm, the more likely the manager is to choose accounting procedures that defer reported earnings from current to future periods. Artinya hipotesis ini

menyatakan bahwa jika pada perusahaan yang besar memiliki biaya politik tinggi, maka manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari regulasi atau keputusan pemerintah, misalnya pemerintah menaikkan pajak penghasilan perusahaan.

(7)

Menurut Sastradipraja (2010:34) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat memotivasi tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut :

1. Meningkatkan kompensasi manajer yang terkait dengan laba yang dilaporkan (bonus plans)

Banyak perjanjian yang menggunakan angka laba akuntansi, misalnya perjanjian kompensasi manajer yang mencakup bonus berdasarkan laba akuntansi. Perjanjian bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak mendapat bonus tambahan saat laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti manajer memiliki intensif untuk meningkatkan atau mengurangi laba berdasarkan tingkat laba yang belum diubah

(unmanaged earnings level). Jika laba yang belum diubah berada diantara

batas bawah dan atas, manajer memiliki insentif untuk meningkatkan laba, saat laba lebih tinggi dari batas atas atau lebih rendah dari batas bawah, manajer memiliki insentif untuk menurunkan laba dan membuat cadangan untuk bonus masa depan.

2. Debt Contract

Many lenders require borrowers to enter into debt contracts, also called debt covenants, that specify financial statement target amounts or ratios that the borrower must maintain. Violation of the terms of the debt contracts can result is cosly renegosiation of the debt, with a possible increase in the interest rate or an acceleration of payment terms. Artinya

banyak pemberi pinjaman mengharuskan peminjam untuk masuk ke dalam kontrak utang juga disebut perjanjian utang, yang menentukan jumlah atau

(8)

rasio pernyataan laporan keuangan yang harus dipelihara peminjam. Pelanggaran terhadap ketentuan kontrak utang dapat menghasilkan renegosiasi utang, dengan kemungkinan peningkatan suku bunga atau percepatan pembayaran.

3. Penggantian CEO

Penggantian CEO perusahaan akan menentukan laba yang diperoleh perusahaan.

4. Politis/Ukuran

Penggabungan beberapa perusahaan memperbesar ukuran perusahaan atau memiliki alasan politis yang strategis.

5. Dampak harga saham

Manajer dapat meningkatkan laba untuk menaikan harga saham perusahaan sementara sepanjang suatu kejadian seperti marjer atau penawaran surat berharga atau rencana menjual saham. Manajer melakukan income smoothing untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan menurunkan biaya modal.

6. Insentif lainnya seperti subsidi pemerintah atau proteksi

Laba seringkali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang sering dilakukan pemerintah misalnya untuk ketaatan undang-undang antimonopoli, perusahaan juga menurunkan laba untuk megelak permintaan serikat pekerja dan perubahan manajemen. Perubahan manajemen menyebabkan big bath karena pertama, melemparkan kesalahan pada manajer yang berwenang; kedua, sinyal pada manajer baru

(9)

untuk melakukan perubahan; ketiga, untuk peningkatan laba di masa depan.

2.1.2.3 Klasifikasi Manajemen Laba

Menurut Sastradipraja (2010:33) menyebutkan bahwa manajemen laba diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Cosmetic Earnings Management

Manajemen laba kosmetik terjadi jika manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Teknik ini merupakan hasil dari kebebasan yang diterapkan dalam sistem akuntansi akrual. Akuntansi akrual membutuhkan estimasi dan pertimbangan yang mengakibatkan manajer memiliki kebebasan dalam menetapkan kebijakan akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan kesempatan bagi manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha perusahaan yang lebih informatif, namun terkadang kebebasan ini juga memungkinkan manajer mempercantik laporan keuangan (window-dress financial statement) dan mengelola pendapatan.

2. Real Earnings Management

Real earning management terjadi jika manajer melakukan aktivitas dengan

konsekuensi cash flow. Real earnings management lebih bermasalah dibandingkan dengan cosmetic earnings management, karena mencerminkan keputusan usaha yang sering kali mengurangi kekayaan pemegang saham.

(10)

2.1.2.4 Bentuk-Bentuk Manajemen Laba

Menurut Sulistyanto (2008:83) menyebutkan bahwa ada beberapa bentuk rekayasa laba yang sering dilakukan pihak manajemen agar laba yang dilaporkan sesuai dengan yang dikehendaki yaitu sebagai berikut :

1. Taking a Bath

Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya pergantian direksi. Bila teknik ini digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang akan datang diakui pada periode berjalan. Ini dilakukan bila kondisi tidak menguntungkan tidak bisa dihindari. Akibatnya laba pada periode yang akan datang menjadi tinggi meski kondisi sedang tidak menguntungkan. 2. Income Minimization

Cara ini hampir sama dengan taking a bath namun tidak ekstrim. Cara ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi degan maksud mengurangi kemungkinan munculnya biaya politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan barang modal dan aktiva tidak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, serta pembebanan biaya riset. 3. Income Maximization

Maksimalisasi laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar.Selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap kontrak hutang jangka panjang.

(11)

4. Income Smoothing

Perusahaan cenderung lebih memilih untuk melaporkan trend pertumbuhan laba yang stabil dari pada perubahan laba yang meningkat atau menurun secara drastis. Perataan laba dapat dicapai dengan suatu ketentuan yang tinggi untuk hutang dan bertentangan dengan nilai asset pada tahun yang baik sehingga ketentuan itu dapat dikurangi.Hal ini dapat mempengaruhi laba yang dilaporkan pada masa yang buruk.

5. Timing Revenue and Expense Recognition

Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi. Misalnya pengakuan premature atas pendapatan.

2.1.2.5 Pendekatan Manajemen Laba

Pada umunya pendeteksian manajemen laba dilakukan dengan menggunakan pendekatan accrual. Pendekatan ini akan menggunakan pengukuran berbasis akual (accrual based measures) dalam mendeteksi ada tidaknya manipulasi. Menurut Sulistyanto (2008:211) menyebutkan bahwa ada tiga pendekatan untuk mendeteksi manajemen laba yaitu sebagai berikut :

1. Model Berbasis Aggregate Accrual

Model pertama merupakan model yang berbasis aggregate accrual yaitu model yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas rekayasa ini dengan menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba.

(12)

2. Model Berbasis Spesific Accruals

Model kedua merupakan model yang berbasis akrual khusus (specific

accruals), yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi

manajemen laba dengan menggunakan item atau komponen laporan keuangan tertentu dari industri tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri asuransi.

3. Model Berbasis Distribution Of Earning After Management

Pendekatan ini dikembangkan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba.

2.1.2.6 Tindakan Dalam Manajemen Laba

Menurut Badruzzaman (2013:34) menyebutkan bahwa beberapa teknik untuk melakukan manajemen laba adalah sebagai berikut:

1. Manajemen Penghasilan Dalam Batas GAAP (Earnings Management

Within Boundary of GAAP)

a. Perubahan metode penyusutan.

b. Perubahan masa manfaat aset yang akan disusutkan. c. Perubahan estimasi nilai sisa aset yang disusutkan. d. Penentuan penyisihan piutang tak tertagih.

e. Penentuan penyisihan kewajiban garansi.

f. Penilaian penyisihan untuk deffered tax assets.

g. Penentuan keberadaan impaired assets.

(13)

i. Estimasi kemungkinan terjadinya klaim atas kontrak. j. Estimasi penurunan nilai investasi.

k. Estimasi jumlah beban akrual atas restrukturisasi. l. Menentukan perlunya penurunan nilai persediaan. m. Estimasi beban akrual lingkungan.

n. Membuat asumsi aktuarial untuk pension plan.

o. Menentukan nilai research and development cost yang boleh diakui. p. Mengubah periode amortisasi ingtangible asset.

q. Memutuskan kapitalisasi biaya-biaya tertentu.

r. Menentukan apakah investasi mengakibatkan adanya pengaruh signifikan terhadap investee.

s. Menentukan permanen atau tidaknya sesuatu penurunan nilai investasi jangka panjang.

2. Manajemen Penghasilan Berbahaya (Abusive Earnings Management) a. Mempercepat pengakuan pendapatan (revenue recognition) yang

seharusnya menjadi pendapatan periode berikutnya. b. Mencatat biaya yang rendah (understated expense).

2.1.2.7 Pengukuran Manajemen Laba

Manajemen laba dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan model Jones dimodifikasi (modified jones model). Modified jones model merupakan modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminiasi kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones untuk menentukan discretionary accrual ketika discretion melebihi penepatan. Model

(14)

ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian akuntansi karena dinilai merupakan model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba dan memberikan hasil paling robust (Sulistyanto, 2008:225). Discretionary accrual merupakan komponen akrual hasil rekayasa manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan keluasaan dalam estimasi dan pemakaian standar akuntansi (Sulistyanto, 2008:164). Menurut Sulistyanto (2008:225), rumus menghitung manajamen laba berdasarkan modified jones model (Sulistyanto, 2008:225) yaitu sebagai berikut :

Tahap 1 :

TACt = NITt- CFOt Keterangan:

TACt : Total accruals pada periode t.

NIt : Laba bersih operasi (operating income) periode t.

CFOt : Aliran kas dari aktivitas operasi (cash flowfrom operating activities) pada

akhir tahun t. Tahap 2 : 𝑇𝐴𝐶𝑡 𝑇𝐴𝑡−1 = 𝑎1[ 1 𝑇𝐴𝑡−1] + 𝑎2[ ∆𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑇𝐴𝑖,𝑡−1] + 𝑎3[ 𝑃𝑃𝐸𝑡 𝑇𝐴𝑡−1] TACt : Total accruals pada periode t.

TA t-1 : Total aktiva periode t-1.

∆Sales : Perubahan penjualan perusahaan dari priode t-1 ke periode t . PPEt : Gross property, plant and equipment periode t

Tahap 3 : 𝑁𝐷𝑇𝐴𝐶𝑖𝑡 = 𝑎1( 1 𝑇𝐴𝑖,𝑡−1) + 𝑎2 ( ∆𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠𝑖𝑡− ∆𝑇𝑅𝑖𝑡 𝑇𝐴𝑖,𝑡−1 ) + 𝑎3 ( 𝑃𝑃𝐸𝑖𝑡 𝑇𝐴𝑖,𝑡−1)

(15)

Keterangan:

∆TR : Perubahan piutang dari priode t-1 ke periode t . Tahap 4 :

𝐷𝐴𝐶𝑖,𝑡 = 𝑇𝐴𝐶𝑡

𝑇𝐴𝑡−1 − 𝑁𝐷𝑇𝐴𝐶𝑖,𝑡

Secara empiris nilai discretionary accrual bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan selalu melakukan manajamen laba dalam mencatat dan menyusun informasi keuangannya. Nilai nol menunjukan manajemen laba dilakukan dengan pola perataan laba (income

smoothing), sedangkan nilai positif menunjukan bahwa manajemen laba dilakukan dengan pola penaikan laba (income increasing), dan nilai negatif menunjukan bahwa manajemen laba dilakukan dengan pola penurunan laba (income

decreasing) (Sulistyanto, 2008:1655).

2.1.3 Perencanaan Pajak

2.1.3.1 Pengertian Pajak

Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan salahs atu penerimaan negara terbesar selai dari penerimaan bukan pajak dan hibah. Pajak memiliki fungsi fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (reguler). Pajak digunakan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pengertian pajak adalah sebagai berikut :

"Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

(16)

Menurut Diana Sari (2013:34) menyebutkan bahwa pengertian pajak adalah sebagai berikut :

"Pajak adalah prestasi-prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui normanorma umum yang ditetapkannya dan dapat juga dipaksakan tanpa adanya berbagai kontraprestasi terhadapnya, yang dapat ditunjukkan dalam hal-hal khusus (individual), dimaksudkan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran negara."

Menurut Mardiasmo (2016:3) menyebutkan bahwa pengertian pajak adalah sebagai berikut :

"Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum."

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa administrasi pajak adalah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan perpajakan, pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayaran pajak, baik penatausahaan dan pelayanan yang dilakukan di kantor pajak maupun ditempat wajib pajak. Pemahaman tentang pajak selalu tidak proporsional akibatnya pajak lebih dimaknai sebagai beban dan kewajiban, sehingga siapapun berusaha untuk tidak koperatif bahkan menghindar dari beban dan kewajiban pajak dengan salah satunya melalui perencaaan pajak (tax planning).

2.1.3.2 Pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas dari tax

manajemen tergantung instrumen yang dipakai. Menurut Zain (2007:67)

(17)

"Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion)."

Menurut Harnanto (2013:19) menyebutkan bahwa perencanaan pajak (tax

planning) adalah sebagai berikut :

"Perencanaan pajak yaitu minimalisasi penghasilan kena pajak dalam tahun berjalan dapat diinterpretasi sebagai maksimasi penghasilan kena pajak di kemudian hari. Proses minimasi penghasilan kena pajak atau pajak penghasilan yang terhutang dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan memanfaatkan tarif pajak yang relevan dalam membuat keputusan-keputusan menyangkut aktivitas operasi, investasi dan pendanaan."

Menurut Hidayat (2013:309) menyebutkan bahwa perencanaan pajak (tax

planning) adalah sebagai berikut :

"Tax planning (perencanaan pajak), suatu proses sistematis untuk

meminimalkan pajak pendapatan dengan memperhatikan konsekuensi dari bisnis alternatif atau aksi investasi. Faktor utama dalam memilih bentuk organisasi bisnis dan struktur modal, membuat keputusan dan menentukan waktu yang tepat dalam bertransaksi."

Menurut Anwar (2013:18) menyebutkan bahwa perencanaan pajak (tax

planning) adalah sebagai berikut :

"Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan (loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum."

(18)

Menurut Pohan (2013:18) menyebutkan bahwa perencanaan pajak (tax

planning) adalah sebagai berikut :

"Perencanaan pajak merupakan proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan (loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum."

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa perencanaan pajak (tax planning) merupakan bagian dari manajemen perpajakan yang merupakan tahap awal melakukan analisis secara sistematis yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh. Bertujuan untuk mengefesiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui penghindaran pajak, bukan penyelundupan pajak.

2.1.3.2 Tujuan Perencanaan Pajak

Menurut Anwar (2013:21) menyebutkan bahwa secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai perencanaan pajak yaitu sebagai berikut :

1. Meminimalisasi beban pajak yang terutang. Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usaha-usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalan ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar peraturan perpajakan.

2. Memaksimalkan laba setelah pajak.

3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan pajak oleh fiskus.

(19)

4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif, sesuai dengan ketentuan perpajakan, yang antara lain meliputi: a.Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi, baik sanksi administratif maupun pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum kurungan dan penjara. b.Melaksanakan secara efektif segala ketentuan, undangundang perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian, dan fungsi keuanganm seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22. Dan pasal 23).

2.1.3.3 Manfaat Perencanaan Pajak

Tindakan perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan secara legal dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan akan membeirkan manfaat bagi perusahaan dengan memnimalisir beban pajak yang harus dikeluarkannya. Menurut Pohan (2013:20) menyebutkan bahwa manfaat yang bisa diperoleh dari dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) yaitu sebagai

berikut:

1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biasa dapat dikurangi.

2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat diperkirakan kebutuhan kas untuk pajak, dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas lebih akurat.

(20)

Menurut Pohan (2013:21) menyebutkan bahwa perencanaan pajak (tax planning) yang baik mensyaratkan beberapa hal yaitu sebagai berikut :

1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan

Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan tax evasion.

2. Secara bisnis masuk akal (reasonable)

Kewajaran melakukan transaksi bisnis harus berpegang kepada praktik perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arm’s length price atau harga pasar yang wajar, yakni tingkat harga pasar antara pembeli dan penjual yang independen, bebas melakukan transaksi.

3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya kontrak,

invoice, faktur pajak, PO, dan DO)

Kebenaran formal dan materil suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau

purchase order (PO) dari pelanggan, bukti penyerahan barang/ jasa

(delivery order), invoice, faktur pajak sebagai bukti penagihan serta pembukuannya (general ledger).

2.1.3.5 Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak

Tujuan dari perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax

burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang

ada untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return), karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia, baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali. Menurut Pohan

(21)

(2013:18) menyebutkan bahwa motivasi yang mendasari dilakukannya

perencanaan pajak (tax planning) yaitu sebagai berikut :

1. Tingkat kerumitan suatu peraturan (Complexity of rule)

Makin rumit peraturan perpajakan, muncul kecenderungan wajib pajak untuk menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya (compliance cost) menjadi tinggi.

2. Besarnya pajak yang dibayar (Tax required to pay)

Makin besar jumlah pajak yang harus dibayar, akan makin besar pula kecenderungan wajib pajak untuk melakukan kecurangan dengan cara memperkecil jumlah pembayaran pajaknya.

3. Biaya untuk negosiasi (Cost of bribe)

Disengaja atau tidak, kadang-kadang wajib pajak melakukan negosisasi dan memberikan uang sogokan kepada fiskus dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Makin tinggi uang sogokan yang dibayarkan, semakin kecil pula kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran.

4. Risiko deteksi (Probability of detection)

Risiko deteksi ini berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah pelanggaran ketentuan perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin rendah resiko terdeteksi, wajib pajak cenderung untuk melakukan pelanggaran. Sebaliknya, bila suatu pelanggaran mudah diketahui, wajib pajak akan memilih posisi konservatif dengan tidak melanggar aturan.

(22)

5. Besarnya denda (Size of penalty)

Makin berat sanksi perpajakan yang bisa dikenakan, maka wajib pajak akan cenderung mengambil posisi konservatif dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan. Sebaliknya makin ringan sanksi atau bahkan ketiadaan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan wajib pajak, maka kecenderungan untuk melanggar akan lebih besar.

6. Moral masyarakat

Moral masyarakat akan memberi warna tersendiri dalam menentukan kepatuhan dan kesadaran mereka dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

2.1.3.6 Jenis Perencanaan Pajak

Tindakan perencanaan pajak yang dilakukan dengan berbagai cara baik seacar legal maupun ilegal merupakan bentuk tindakan agresivitas pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi beban pajak atau menghindari kewajiban pajaknya. Menurut Pohan (2013:23) menyebutkan bahwa ada 3 macam cara yang dapat dilakukan wajib pajak untuk menekan jumlah beban pajaknya yaitu sebagai berikut :

1. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Penghindaran pajak adalah upaya penghindaran pajak dilakukan secara legal dan aman bagi Wajib Pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku (not contrary to the law) di mana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatan kelemahan-kelemahan

(23)

(grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan

itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. 2. Penggelapan Atau Penyelundupun Pajak (Tax Evasion)

Penggelapan pajak merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan seperti memberi data-data palsu atau menyembunyikan data. Dengan demikian, penggelapan pajak dapat dikenakan sanksi pidana.

3. Penghematan Pajak (Tax Saving)

Penghematan pajak adalah suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak dalam mengelakkan utang pajaknya, dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi terlihat lebih kecil.

2.1.3.7 Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak

Menurut Suryarini dan Tarmudji (2012:84) menyebutkan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam perencanaan pajak yaitu sebagai berikut :

1. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base) 2. Membuat satu model atau lebih model kemungkinan jumlah pajak

(evaluating tax plan)

3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak (evaluating tax plan)

4. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging

the tax plans)

(24)

2.1.3.8 Pengukuran Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak merupakan langkah awal yang ditempuh oleh wajib pajak untuk meminimumkan beban pajak tahun berjalan maupun tahun yang akan datang, agar pajak yang dibayar dapat ditekan seefesien mungkin dan dengan berbagai cara untuk memenuhi ketentuan perpajakan (Astuti dan Mildawati, 2016). Perencanaan pajak dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan tingkat retensi pajak (tax retention rate). Menurut Wild et al (2004) dalam Astutik dan Mildawati (2016) menyebutkan rumus tax retention rate yaitu sebagai berikut:

𝑇𝑅𝑅 = Net Income it Pretax Income (EBIT)𝑖𝑡 Keterangan :

Tax Retention Rate : Tingkat retensi pajak perusahaan i pada tahun t. Net Income : Laba bersih perusahaan i pada tahun t.

Pretax Income : Laba sebelum pajak perusahaan i pada tahun t.

2.1.4 Review Penelitian Terdahulu

Di bawah ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

(25)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan dan Perbedaan

1. Syanthi

(2013)

Dampak manajemen

laba terhadap

perencanaan pajak

dan persistensi laba

Hasil penelitian menunjukan bahwa manajemen laba tidak

berpengaruh terhadap

perencanaan pajak.

Sementara manajemen laba

berpengaruh terhadap

persistensi laba.

Persamaan dalam penelitian yaitu menggunakan variabel independen

manajemen laba, variabel

dependen perencanaan pajak.

Perbedaaan pada penelitian

sebelumnya menggunakan variabel dependen lainnya yaitu persistensi laba, sedangkan dalam penelitian ini tidak. 2. Silvia (2017) Pengaruh manajemen laba, umur perusahaan, ukuran perusahaan dan pertumbuhan penjualan terhadap tax avoidance

Hasil penelitian menunjukan

bahwa manajemen laba,

umur perusahaan, ukuran

perusahaan dan

pertumbuhan penjualan

berpengaruh terhadap

penghindaran pajak.

Persamaan dalam penelitian yaitu menggunakan variabel independen manajemen laba.

Perbedaaan pada penelitian

sebelumnya menggunakan variabel independen lainnya yaitu umur perusahaan, ukuran perusahaan dan pertumbuhan penjualan, serta variabel dependen tax avoidance. Sementara dalam penelitian ini

tidak menggunakan variabel

independen lainnya, serta variabel depeden yaitu perencanaan pajak.

3. Septiadi dkk (2017) Pengaruh manajemen laba, corporate governance, dan corporate social responsibility terhadap tax avoidance

Hasil penelitian menunjukan bahwa manajemen laba dan

pengungkapan corporate

social responsibitlity

berpengaruh terhadap tax

avoidance. Sedangkan,

kepemilikan institusional,

kepemilikan manajerial,

komite audit, dan kualitas

audit tidak berpengaruh

terhadap tax avoidance.

Persamaan dalam penelitian yaitu menggunakan variabel independen manajemen laba.

Perbedaaan pada penelitian

sebelumnya menggunakan variabel

independen lainnya yaitu

corporate governance, dan

corporate social responsibility,

serta variabel dependen tax

avoidance. Sementara dalam

penelitian ini tidak menggunakan variabel independen lainnya, serta

variabel depeden yaitu

perencanaan pajak.

4. Kartikasari

(2018)

Pengaruh manajemen laba, return on asset,

current ratio, dan

komisaris independen terhadap agresivitas pajak

Hasil penelitian menunjukan bahwa return on asset dan

komisaris independen

berpengaruh terhadap

agresivitas pajak, sedangkan manajemen laba, dan current

ratio tidak berpengaruh

terhadap agresivitas pajak.

Persamaan dalam penelitian yaitu menggunakan variabel independen manajemen laba.

Perbedaaan pada penelitian

sebelumnya menggunakan variabel independen lainnya yaitu return on

asset, current ratio, dan komisaris

independen, serta variabel

dependen agresivitas pajak.

Sementara dalam penelitian ini

(26)

independen lainnya, serta variabel depeden yaitu perencanaan pajak.

5. Andrfan (2018) Pengaruh manajemen laba, corporate governance, dan financial leverage terhadap agresivitas pajak

Hasil penelitian menunjukan bahwa manajemen laba dan

financial leverage

berpengaruh terhadap

agresivitas pajak. Sedangkan

kepemilikan institusional,

kualitas audit, dan dewan komisaris independen tidak

berpengaruh terhadap

agresivitas pajak.

Persamaan dalam penelitian yaitu menggunakan variabel independen manajemen laba.

Perbedaaan pada penelitian

sebelumnya menggunakan variabel

independen lainnya yaitu

corporate governance, dan

financial leverage, serta variabel

dependen agresivitas pajak.

Sementara dalam penelitian ini

tidak menggunakan variabel

independen lainnya, serta variabel depeden yaitu perencanaan pajak.

2.2 KerangkaPemikiran

Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel yang diteliti. Jadi secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antar variabel independen dan dependen (Sugiyono, 2017:60). Di bawah ini akan disajikan kerangka hubungan antar variabel yaitu sebagai berikut :

2.2.1 Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax

avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) (Zain, 2007:67).

Motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba adalah motivasi pajak. Perusahaan dengan melakukan income decreasing untuk mengurangi beban

(27)

pajaknya (Silvia, 2017). The political cost hypothesis dalam Positive Accounting

Theory menyebutkan bahwa jika pada perusahaan yang besar memiliki biaya

politik tinggi, maka manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari regulasi atau keputusan pemerintah, misalnya pemerintah menaikkan pajak penghasilan perusahaan (Scott, 2009:287).

Besar kecilnya pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Perusahaan yang memperoleh laba lebih besar akan akan ditarik pajak yang lebih besar pula dan perusahaan yang memperoleh laba lebih kecil akan ditarik pada yang lebih kecil pula. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan tidak menjadi tidak terlalu tinggi, karena manajer sebagai pengelola, tentu tidak ingin kewajiban yang harus diselesaikannya terlalu membebaninya. Hal ini sangat mudah dilakukan perusahaan yaitu dengan menarik biaya periode yang akan datang menjadi biaya periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang (Sulistyanto, 2008:45).

Manajemen laba dapat mempengaruhi perencanaan pajak karena atas manajemen laba akan mengubah pendapatan kena pajak yang nantinya mengubah beban pajak. tax avoidance dan manajemen laba, hasilnya menjelaskan perusahaan akan me-manage laba akuntansi untuk meminimalkan besarnya laba

(28)

kena pajak (Septiadi, 2017). Jadi semakin tinggi praktik manajemen laba, maka semakin tinggi perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud menggambarkannya dalam sebuah bagan kerangka pemikiran sebagai bentuk alur pemikiran peneliti yaitu sebagai berikut (Gambar 2.1) :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2017:64). Di bawah ini akan disajikan uraian hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

Ha1 : Manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap perencanaan pajak.

Manajemen Laba (X)

Perencanaan Pajak (Y)

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

membutuhkan sebuah pulsa. Menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau yang disingkat BRTI pulsa adalah media penghubung untuk komunikasi,baik komunikasi

Dalam ensiklik itu Paus dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruk bagi kaum buruh dalam masyarakat industri.. Paus menyatakan 3

Sinonim yang sering digunakan adalah moksha (Sanskerta; Indonesia: kebebasan), yang menerangkan kondisi citta dimana semua karma negatif, klesha dan tilasan-tilasannya

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala

Menurut Elvinia (2006), terdapat perbedaan yang bermakna pada domain fisik, psikologis, dan lingkungan pada lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga dengan yang

kisah-kisah peristiwa perjuangan rakyat di Jawa Barat. Museum Perjuangan Rakyat Jawa Barat merupakan objek wisata dan daya tarik wisata yang ada di kota

Penelitian dengan topik “Pengaruh Produk Domestik Bruto, Kurs, Cadangan Devisa, Tingkat Suku Bunga Riil, Dan Volatilitas Kurs Terhadap Permintaan Impor di Indonesia tahun 1990-2008