• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PLASMAFERESIS PADA KELAINAN NEUROLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PLASMAFERESIS PADA KELAINAN NEUROLOGI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PLASMAFERESIS PADA KELAINAN

NEUROLOGI

ROLE OF PLASMAPHARESIS IN NEUROLOGY DISORDER

Meiti Frida*, Hendra Permana*

ABSTRACT

Abnormalities of neuro-immunological diseases are subjects that require further understanding, mainly from the pathophysiology and management aspects. These are very rare cases, but they tend to increase the disabilities and result in emergency conditions in neurology. Various strategies have been developed for management based on the concepts of autoimmunity and the mechanisms of neuromuscular transmission, so the chance for better prognosis can be achieved. One of the treatment is plasmapheresis which many clinical studies have examined its benefit in neurologic disorders. Moreover, there were some published clinical guidelines about the use of plasmapheresis in autoimmune neurological diseases, such as Guillain Barre syndrome, myasthenia gravis, and multiple sclerosis.

Keywords: immunology, plasmapheresis    

ABSTRAK

Kelainan sistem imunologi pada penyakit neurologi merupakan subjek yang membutuhkan pemahaman lebih lanjut, baik dari aspek patofisiologi maupun manajemennya. Kelompok penyakit ini sangat jarang, namun cenderung mengakibatkan kecacatan bahkan kegawatan di bidang neurologi. Berbagai strategi pengobatan terbaru telah dikembangkan berdasarkan konsep autoimunitas dan mekanisme transmisi neuromuskuler, sehingga diharapkan prognosis penyakit menjadi lebih baik. Salah satu pengobatan yang telah dikenal adalah plasmaferesis dan diteliti manfaatnya pada kelainan neuroimunologi. Selain itu juga telah diterbitkan panduan klinis (clinical guidelines) penggunaan plasmaferesis pada penyakit neurologi autoimun, seperti sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, dan sklerosis multipel.

Kata kunci : imunologi, plasmaferesis

* Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Andalas/RS. Dr. M. Djamil, Padang. Korespondensi: [email protected]

PENDAHULUAN

Keterlibatan sistem imun pada kelainan neurologi telah menjadi salah satu subjek yang membutuhkan pemahaman lebih lanjut, baik dari aspek patofisiologi maupun manajemen. Walaupun kelompok penyakit ini sangat jarang, namun cenderung mengakibatkan kecacatan bahkan kegawatan di bidang neurologi.1 Penyakit neurologi

dengan gangguan autoimun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penderita dirawat di intensive care unit (ICU).2 Diperkirakan sepertiga pasien neurologi dengan

etiologi non vaskuler yang dirawat di ICU mengalami gangguan autoimun (sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, sklerosis multipel, ensefalomielitis demielinisasi akut).3,4

Meningkatnya pemahaman mengenai dasar mekanisme transmisi neuromuskuler dan autoimunitas telah mendorong berkembangnya strategi pengobatan yang baru. Penyakit autoimun saat ini dapat diterapi dengan prognosis yang baik.5 Salah satu

pengobatan yang diperkenalkan adalah plasmaferesis, yang pertama kali dilaporkan oleh Dau dan kawan-kawan lebih kurang tiga dekade lalu. Selanjutnya, cukup banyak penelitian yang dilakukan dalam bentuk uji klinik terkontrol pada penyakit neurologi

(2)

panduan klinis (clinical guidelines) penggunaan plasmaferesis pada penyakit neurologi autoimun.4,5,6

MEKANISME KERJA PLASMAFERESIS

Plasmaferesis merupakan teknik pemurnian darah ekstrakorporal untuk mengeluarkan partikel dengan berat molekul besar dari plasma. Pengeluaran autoantibodi sirkulasi, kompleks imun, sitokin, dan mediator inflamasi lainnya dianggap sebagai dasar mekanisme kerja proses ini. Sitokin merupakan salah satu molekul yang potensial menyebabkan kerusakan, dan dapat dikeluarkan melalui plasmaferesis.7,8,9

Prinsip plasmaferesis adalah pemisahan plasma dari komponen selular darah. Proses ini dapat dicapai dengan memakai alat sentrifugasi atau filter darah permeabel. Selama sentrifugasi kontinu atau intermiten, komponen darah akan terpisah karena perbedaan densitas. Sedangkan pada ultrafiltrasi membran, pemisahan dilakukan tergantung berat molekul. Pori membran filter plasma yang dipergunakan berdiameter sampai 0,2 µm (sekitar 30 kali diameter pori membran hemofilter high flux), sehingga memungkinkan pengeluaran substansi dengan berat molekul 3×106 Da, yang terdiri dari imunoglobulin, kompleks imun, faktor komplemen, lipoprotein, dan endotoksin. Laju produksi filtrat yang besar, akan mengakibatkan hemokonsentrasi yang memicu pembentukan bekuan pada filter, sehingga prosedur ini membutuhkan akses vena sentral. Selain itu, pemberian antikoagulan juga dibutuhkan untuk mencegah bekuan dengan dosis yang lebih tinggi dari prosedur hemodialisis. Seringkali perlu dilakukan heparinisasi sistemik untuk mencegah koagulasi.8

Sewaktu menggunakan teknik sentrifugasi, aliran darah sistemik minimal secara umum menurun, dan kondisi ini membutuhkan akses vena perifer untuk melancarkan aliran darah sistemik. Pada teknik sentrifugasi, antikoagulan sitrat lebih sering digunakan dibandingkan heparin. Selain itu antikoagulan sitrat biasanya merupakan bagian terintegrasi pada kebanyakan alat sentrifugasi. Plasmaferesis sentrifugal mengeluarkan elemen non solid dari darah. Bagaimanapun, dibanding filtrasi membran, potensi kehilangan elemen selular jauh lebih besar, terutama platelet. Efek bersihan murni substansi dengan sentrifugasi sebanding dengan volume plasma yang dikeluarkan pada waktu itu. Dengan teknik filtrasi, diperlukan peningkatan volume dengan koefisien penyaringan membran untuk protein yang berbeda (rasio antara konsentrasi filtrat protein dan plasma).7,8

Pada sebagian besar kondisi patologis yang membutuhkan pergantian plasma, volume plasma diganti 1 sampai 1,5 per prosedur per hari. Durasi pengobatan rutin mungkin diperpanjang, tergantung diagnosis dan kondisi pasien sendiri. Tidak ada konsensus mengenai kriteria ideal jumlah plasma yang dikeluarkan selama plasmaferesis. Kecuali pada sejumlah kasus seperti hemolytic uremic syndrome atau thrombotic thrombocytic purpura dimana substitusi dilakukan dengan fresh frozen plasma (FFP), penggantian koloid dapat dilakukan dengan FFP, albumin, albumin dan saline, atau albumin dan larutan plasma expander. Dalam kegiatan rutin, tekanan onkotik pada pasien dihitung dengan slide normogram, dan penggantian cairan iso onkotik yang dipakai terdiri dari albumin manusia dan larutan elektrolit normal.7

Selain teknik filtrasi, teknik imunoadsorpsi merupakan metode baru yang memungkinkan pengeluaran antibodi sirkulasi yang lebih selektif. Dengan ikatan pada ligand, pengeluaran fraksi imunoglobulin dapat dilakukan. Setelah adsorpsi, komponen selular darah dan plasma selanjutnya digabungkan dan dialirkan kembali. Teknik ini telah dipakai pada beberapa penyakit neurologi, seperti sklerosis multipel dan miastenia gravis.7,8

(3)

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI PLASMAFERESIS

Efek samping yang terjadi akibat plasmaferesis berkaitan dengan akses intravena, pemakaian antikoagulan, atau cairan pengganti yang dipakai. Infus sitrat untuk antikoagulasi atau bagian dari FFP dapat menyebabkan hipokalsemia atau gangguan keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik akibat pemecahan bikarbonat). Gejala hipokalsemia mencakup parestesia, kram otot, dan aritmia jantung. Insiden hipokalsemia bervariasi antara 1,5-9%. Plasmaferesis berulang dengan penggantian albumin dapat menyebabkan penurunan faktor koagulasi dan imunoglobulin, serta meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi. Efek samping yang berkaitan dengan akses intravena adalah infeksi dan septikemia, trombosis, serta pneumotoraks. Pada teknik filtrasi, bisa terjadi hemolisis dan hipotensi. Selain itu, juga bisa terjadi transmisi viral pada penggantian FFP, walaupun kasus ini sangat jarang.3,8

Kontraindikasi yang mutlak belum pernah dilaporkan dari berbagai studi. Meskipun demikian, plasmaferesis dapat menyebabkan penurunan faktor koagulasi, sehingga pasien yang berisiko tinggi untuk terjadi perdarahan tidak dianjurkan untuk melakukan prosedur ini.3

PENGGUNAAN PLASMAFERESIS PADA PENYAKIT NEUROLOGI Sindrom Guillain Barre

Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan gangguan saraf perifer berupa polineuropati demielinisasi inflamasi, dengan manifestasi motorik dan sensorik (neuropati motorik dan sensorik aksonal akut, serta neuropati motorik aksonal akut). Pada penyakit ini terjadi proses imun yang menyerang sistem saraf berupa respon imun humoral dan seluler. Etiologi SGB tersering adalah agen mikrobial Campylobacter jejuni. Sel T teraktivasi akan bergerak sepanjang sawar darah otak dan mengalami reaktivasi in situ sewaktu autoantigennya dipresentasikan oleh makrofag bersama dengan molekul major histocompatibility complex II dan molekul ko-stimulasi lainnya. Autoantibodi akan melintasi sawar darah otak dan menyerang struktur target secara langsung pada segmen proksimal atau distal sel saraf dan menyebabkan inflamasi melalui sitotoksisitas dan aktivasi komplemen (Gambar 1).8,10,11

Indikasi plasmaferesis pada kasus SGB adalah paralisis asenden yang ikut mengenai ekstremitas atas atau paralisis dengan derajat yang berat, penurunan parameter

fungsional pulmoner atau sekitar 80% dari nilai normal, dan pemakaian respirator. 5

Mekanisme dasar plasmaferesis pada SGB terletak pada proses pengeluaran autoantibodi sirkulasi, kompleks imun, sitokin, dan mediator inflamasi lainnya dari tubuh. Beberapa efek lain dari plasmaferesis terhadap sistem imun adalah aktivitas imunomodulator untuk mengubah rasio antibodi terhadap antigen sehingga dapat mengubah kompleks imun menjadi lebih larut (soluble) dan mudah disingkirkan dari tubuh. Selain itu plasmaferesis juga berperan mengeluarkan substansi patogen dengan berat molekul besar dari ruang ekstravaskuler ke intravaskuler untuk selanjutnya dieliminasi dari tubuh.12

Plasmaferesis dapat diberikan 1 sesi setiap hari selama 5 hari, dilanjutkan 5 kali sesi setiap hari. Untuk penggantian plasma yang dibuang diberikan albumin 5% selama 3-4 sesi awal, selanjutnya setengah volume plasma yang terbuang diganti dengan FFP. Prosedur dapat dilanjutkan bila pasien masih tergantung dengan respirator. Pemberian infus IgG (40 g) pada akhir plasmaferesis dapat membantu penyempurnaan pengobatan.5,7,10,11

(4)

Gambar 1. Respon imun humoral terhadap proses inflamasi pada neuropati10

Plasmaferesis telah diuji pada SGB dan terbukti bermanfaat. Terdapat dua studi multisenter besar acak terkontrol tidak tersamar mengenai terapi plasmaferesi pada SGB. Kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa plasmaferesis dapat memperbaiki klinis dan memperpendek masa rawatan pasien. Selain itu plasmaferesis juga bermanfaat jangka panjang memperbaiki fungsi kekuatan otot setelah 1 tahun. Plasmaferesis dapat diberikan pada SGB dengan derajat disabilitas yang bervariasi (ringan sampai berat). Terapi ini paling bermanfaat bila dimulai dalam 7 hari onset, walaupun setelah 30 hari juga masih memiliki manfaat memperbaiki klinis.5,7,10,11

Miastenia Gravis

Miastenia gravis (MG) merupakan kelainan autoimun yang menyerang neuromuscular junction, yang ditandai dengan kelemahan motorik yang fluktuatif dan progresif. Patogenesis penyakit ini adalah adanya autoantibodi sirkulasi yang menyerang reseptor asetilkolin (Acetylcholine receptor=AchR). Mekanisme yang terjadi adalah gangguan transmisi neuromuskuler akibat degradasi AchR dan gangguan pada muscle specific tyrosine kinase (MuSK), dan gangguan ikatan neurotransmiter (Gambar 2). Gangguan yang progresif tidak hanya akan mengenai otot-otot volunter, tetapi juga menyerang otot polos saluran nafas dan jantung.3,5,10,12,13

Indikasi plasmaferesis pada MG adalah kelemahan motorik berat yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, pasien MG yang memerlukan terapi pembedahan (timektomi), krisis miastenik. 4,5,12

Pemakaian plasmaferesis pada MG telah dipelajari, dan diperkirakan bermanfaat pada krisis miastenik serta pada perioperatif dan post operatif timektomi pada MG. Eliminasi antibodi terhadap AchR dan faktor humoral patologis lainnya merupakan dasar penggunaan terapi ini.3,5,10,12

Mekanisme peranan plasmaferesis pada MG antara lain menyingkirkan antibodi yang menyerang reseptor asetilkolin nikotinik. Diperkirakan eliminasi antibodi sirkulasi AchR dan faktor humoral lain dapat memperbaiki kembali proses transmisi neuromuskuler. Besarnya tingkat eliminasi antibodi patogen tergantung pada fraksi

(5)

imunoglobulin di serum. Selain itu, proses penyingkiran secara komplet tidak bisa dicapai. Hal ini menyebabkan perlunya prosedur yang berulang pada pasien.10,12

Plasmaferesis dapat diberikan sebesar 1,5 sesi per hari selama 5 hari. Untuk plasma yang terbuang diganti dengan albumin 5%. Parameter penilaian pengobatan antara lain kekuatan motorik pasien dan perubahan titer antibodi reseptor asetilkolin. Meskipun demikian, titer antibodi reseptor asetilkolin tidak berkorelasi dengan derajat penyakit, namun perubahan relatifnya dapat menggambarkan perbaikan klinis.3,5,10,13

Gambar 2. Proses reaksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin dan muscle specific tyrosine

kinase (MuSK) pada miastenia gravis, yang mengakibatkan gangguan transmisi

neuromuskuler.12

Beberapa uji klinis plasmaferesis pada MG menunjukkan manfaat klinis untuk jangka pendek maupun jangka panjang pada krisis miastenik. Namun tingkat rekomendasi yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan terapi plasmaferesis untuk penyakit neurologi lainnya. Suatu studi acak tersamar yang dilakukan pada 87 pasien MG eksaserbasi akut menyimpulkan terjadi perbaikan skor muskuler dan titer antibodi anti AchR. Walaupun demikian, hasil yang didapatkan ini tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan terapi imunoglobulin intravena (IVIG).3,5,7,10,12,13

Sklerosis Multipel

Pada sklerosis multipel terjadi inflamasi kronik, demielinisasi, kerusakan aksonal, dan gliosis. Konsep patogenesis terbaru menyatakan bahwa terjadi aktivasi sistem imun yang menyerang sistem saraf pusat yang merusak jaringan melalui sitokin inflamasi, simulasi sel B dan makrofag, serta aktivasi komplemen. Terbentuknya antibodi yang menyerang myelin basic protein dan oligodendrosit myelin selanjutnya merusak saraf melalui fiksasi komplemen atau ikatan dengan makrofag.6,10 Berger dkk menemukan

bahwa antibodi pada sampel serum merupakan prediktor klinis sklerosis multipel.5,10

Terapi plasmaferesis untuk sklerosis multipel masih belum memuaskan, terutama pada kasus progresif kronik. Uji klinis acak tersamar ganda pertama kali dilakukan oleh Khatri dan kawan-kawan, yang menyimpulkan bahwa plasmaferesis memiliki keuntungan klinis setelah 5 bulan dibanding kelompok kontrol. Canadian Corporative Multiple Sclerosis Study group melakukan uji pada 168 pasien sklerosis multipel kronik progresif, dan menyimpulkan bahwa terapi ini tidak bermanfaat pada kasus progresif kronik, sehingga tidak direkomendasikan. The Therapeutics and Technology Assessment Subcomittee of the American Academy of Neurology dan the MS Council for Clinical Practice Guidelines menyimpulkan bahwa plasmaferesis hanya sedikit atau tidak memiliki manfaat bermakna sebagai terapi sklerosis multipel progresif.3,5,10,12

(6)

REKOMENDASI

American Academy of Neurology (AAN) telah membuat rekomendasi yang berbasis bukti (Evidence Based Guideline) mengenai terapi plasmaferesis pada kelainan neurologi dengan rekomendasi terbaru yang dikeluarkan pada tahun 2011. Beberapa kesimpulan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 1.14 Namun terdapat beberapa perbedaan rekomendasi yang diberikan antara AAN dengan rekomendasi oleh European Federation of Neurological Society (EFNS) tahun 2010 dan American Society for Apheresis (ASFA) tahun 2010 (Tabel 2).4,12

Tabel 1. Kesimpulan Dan Rekomendasi AAN (2011) Mengenai Penggunaan Plasmaferesis pada Kelainan Neurologi14

Penyakit Kesimpulan Tingkat

Polineuropati demielinisasi inflamasi akut/ Sindrom Guillain Barre

Terbukti efektif Kelas I Polineuropati demielinisasi inflamasi kronik, pengobatan

jangka pendek

Terbukti efektif KelasI Polineuropati dengan gammopati monoklononal oleh

penyebab yang tidak jelas

- Imunoglobulin A/Imunoglobulin B - Imunoglobulin M

Mungkin efektif Mungkin tidak efektif

Kelas I Kelas I Miastenia gravis

- Persiapan preoperatif - Krisis miastenik

Bukti tidak cukup Bukti tidak cukup

Kelas III Kelas III

Penyakit SSP demielinisasi fulminan Mungkin efektif Kelas II

Sklerosis multipel kronik atau progresif sekunder Terbukti tidak efektif Kelas I

Sklerosis multipel relaps Mungkin efektif Kelas I

Chorea sydenham Bukti tidak cukup Kelas III

Gangguan obsesif kompulsif akut dan tics pada PANDAS (Pediatrics autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infection)

Bukti tidak cukup Kelas III

Tabel 2. Kategori indikasi neurologik untuk plasmaferesis (ASFA, 2010)12

Penyakit Kategori Tingkat rekomendasi

Polineuropati demielinisasi inflamasi akut/Sindrom Guillain Barre I 1A

Poliradikuloneuropati demielinisasi inflamasi kronik I 1B

Miastenia gravis I 1A

Polineuropati paraproteinemik I 1B atau 1C

Ensefalomielitis demielinisasi akut II 2C

Ensefalitis Rasmussen II 2C

Sindrom miastenik Lambert Eaton II 2B

Sklerosis multipel II 1B

Neuromielitis optik (Devic’s disease) II 1C

Sindrom Guillain Barre

Berdasarkan manfaat klinis yang didapatkan dari studi kelas I, plasmaferesis terbukti efektif sebagai terapi SGB yang berat (terjadi gangguan motorik berat dan membutuhkan ventilasi mekanik). Untuk SGB yang lebih ringan dengan kecacatan yang tidak mengganggu, plasmaferesis mungkin cukup efektif berdasarkan studi kelas I tersebut. AAN merekomendasikan penggunaan plasmaferesis pada SGB yang berat

(7)

Chronic Inflammatory Demyelinating Neuropathy (CIDP)

Dari uji klinis acak, tersamar ganda, pada 18 pasien, plasmaferesis terbukti memperbaiki klinis dan gambaran elektrofisiologi (kelas I). Plasmaferesis efektif sebagai terapi CIDP dalam jangka pendek meskipun setelah 1-5 minggu terapi dapat ditemukan perburukan. ASFA memberikan rekomendasi dengan level 1B.12 Sedangkan AAN

merekomendasikan plasmaferesis sebagai terapi efektif jangka pendek untuk CIDP (Level A).14

Miastenia Gravis

Sampai saat ini masih belum terdapat data yang mendukung pemakaian plasmaferesis pada MG. Suatu studi kelas III mendapatkan hasil plasmaferesis dapat mengurangi angka kekambuhan krisis miastenik dan remisi setelah 5-7 tahun. AAN tidak merekomendasikan pemakaian plasmaferesis pada krisis miastenik (Level U) maupun pada MG pre-timektomi (Level U)13 Rekomendasi serupa juga diberikan oleh EFNS, yang menyatakan tidak terdapat manfaat plasmaferesis jangka panjang pada MG (bukti kelas I).4 Sedangkan ASFA memberikan rekomendasi dengan level 1A.12

Sklerosis Multipel

Studi kelas I mengenai manfaat plasmaferesis pada MS tidak memperlihatkan perbaikan klinis pada kasus eksaserbasi sklerosis multipel kronik progresif. Namun pada analisis sub-grup didapatkan perbaikan yang cepat dan bertahan dalam 1 bulan. Plasmaferesis mungkin bermanfaat sebagai terapi tambahan pada kasus sklerosis multipel progresif kronik untuk mengurangi relaps. AAN merekomendasikan plasmaferesis dipakai sebagai terapi tambahan untuk sklerosis multipel relaps (Level B). Sedangkan untuk terapi sklerosis multipel kronik progresif, plasmaferesis tidak diberikan (Level A).14 Rekomendasi dari ASFA mengenai plasmaferesis untuk sklerosis multipel adalah

level 1B.12

KESIMPULAN

Saat ini plasmaferesis telah menjadi salah satu pilihan terapi di bidang neurologi, terutama pada kasus penyakit neurologi yang melibatkan sistem imun. Perkembangan teknologi di bidang kedokteran juga ikut menetukan pilihan prosedur plasmaferesis, dengan beberapa pertimbangan klinis. Komplikasi dan efek samping yang ditemukan akibat plasmaferesis sebagian besar disebabkan prosedur, dan kondisi ini memerlukan perhatian khusus. Untuk penyakit neurologi seperti sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, dan sklerosis multipel, telah dikeluarkan panduan klinis oleh American Academy of Neurology, European Federation of Neurological Society dan American Society for Apheresis bagi para klinisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rammohan KW. Overview of immune therapies in neurological diseases. Journal of Immunology. 2002;2:11-31.

2. Mix E, Goertsches R, Zettl UK. Immunology and neurology. J Neurol. 2007;254(Suppl 2):II/2-II/7.

3. McDaneld LM, Fields JD, Bourdette DN, Bhardwaj A. Immunomodulatory therapies in neurologic critical care. Neurocrit Care. 2009;12(1):132-143.

4. Skeie GO, Apostolski S, Evoli A, Gilhus NE, Illa I, Harms L, dkk. Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular transmission disorders. Eur J Neurol. 2010;17:893-902. 5. Kes P, Basic V. Plasmapheresis in neurologic disorders. Acta Clin Croat. 2000;39:237-245.

(8)

6. Bunyan RF, Tang J, Weinshenker B. Acute demyelinating disorders: emergencies and management. Neurol Clin. 2012;30:285-307.

7. The Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Assessment of plasmapheresis. Neurology. 1996;47:840-843.

8. Lehmann HC, Hartung H, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma exchange in neuroimmunological disorders. Part 1: Rationale and treatment of inflammatory central nervous system disorders. Arch Neurol. 2006;63:930-935.

9. Ujjan I, Shaikh IA, Memon SH, Memon R, Nizamani GS. Plasmapheresis technique, complications and indications at the Isra University Hospital Hyderabad. Quartery Medical Channel. 2011;17(3): 57-59.

10. Lehmann HC, Hartung H, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma exchange in neuroimmunological disorders. Part 2: treatment of neuromuscular disorders. Arch Neurol. 2006;63:1066-1071.

11. Harm M. Inpatient management of Guillain Barre Syndrome. The Neurohospitalist. 2011;1(2):78-84.

12. Kes P, Basic V, Basic-Jukic N, Demarin V. Therapeutic plasma exchange in the neurologic intensive care setting recommendation for clinical practice. Acta Clin Croat. 2012;51:137-153.

13. Mandawat A, Kaminski HJ, Cutter G, Katirji B, Alsheklee A. Comparative analysis of therapeutic options used for myasthenia gravis. Ann Neurol. 2010;68:797-805.

14. Cortese I, Chaudhry V, So YT, Cantor F, Cornblath DR, Rae-Grant A. Evidence-based guideline update: plasmapheresis in neurologic disorders. Neurology. 2011;76:294-300.

Gambar

Gambar 1. Respon imun humoral terhadap proses inflamasi pada neuropati 10
Gambar 2. Proses reaksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin dan muscle specific tyrosine  kinase (MuSK) pada miastenia gravis, yang mengakibatkan gangguan transmisi
Tabel 1. Kesimpulan Dan Rekomendasi AAN (2011) Mengenai Penggunaan Plasmaferesis  pada Kelainan Neurologi 14

Referensi

Dokumen terkait

Assessment: tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif untuk pasien ini, terbukti dari kondisi klinis pasien yang menunjukkan perbaikan klinis, seperti asfiksia

Disfagia pada stroke terjadi karena hilangnya konektivitas di dalam jaringan saraf yang mengotrol proses menelan, gangguan ini tidak saja terjadl pada hemisfer

Infeksi fungi patogen dan opportunistik dengan manifestasi klinis yang berat diderita oleh penderita AIDS, pasien yang mendapat terapi sitostatika dan imunosupresi, terapi

Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik

Pada pasien dengan perdarahan intrakranial didapatkan adanya mekanisme autoregulasi yang terganggu sehingga gangguan perfusi otak dapat terjadi, hipoperfusi otak terbukti

Pada kasus ke 2 : AVM pada pasien ini sebelumnya dilakukan modalitas terapi sebanyak dua kali, namun tidak didapatkan hasil yang memuaskan dengan parameter

Fransiska B 2008 studi deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional Manifestasi klinis gangguan perdarahan yang paling banyak terjadi pada leptospirosis

Penurunan kekuatan otot dapat terjadi karena pada kasus stroke terjadi kerusakan pada otak yang menyebabkan gangguan motorik sehingga terjadi gangguan gerak pada