• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Penelitan Terdahulu

Penelitian mengenai dialektologi semakin jarang dilakukan khususnya mengenai isolek. Berikut ini beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan para peneliti Indonesia yang mendorong penulis melakukan penelitian terhadap isoglos dialek bahasa Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku.

Disertasi Diana Rozelin Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (2014) yang berjudul Dialek Melayu Orang Rimba di Provinsi Jambi: Kajian

Dialektologi. Penelitian ini menghubungkan kekerabatan isolek Orang Rimba di

Provinsi Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Hasilnya status isolek Orang Rimba Provinsi Jambi memiliki dua dialek, empat subdialek, dan empat beda wicara.

Tesis Ngumarno Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (2010) yang berjudul Isolek Jawa di Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen: Kajian

Dialektologis. Ngumarno memilih enam daerah pengamatan untuk menentukan isolek

di Kecamatan Ambal yaitu enam desa dari Kecamatan Ambal dan tiga daerah pengamatan dari luar Kecamatan Ambal sebagai bahan perbandingan. Penelitian ini menghasilkan simpulan adanya empat dialek yakni dialek Ambal (dengan tiga subdialek), dialek Ambarwinangun, dialek Buluspesantren, dan dialek Mirit. Berdasarkan deskripsi bentuk-bentuk linguistik terlihat bahwa bentuk bahasa Jawa Kuna masih dipelihara dan digunakan. Kekhasan lain yaitu mengenai jumlah vokal dan kekhasan bunyi, dialek Ambal memiliki sembilan vokal, dialek Mirit dan Ambarwinangun memiliki delapan vokal, dan dialek Buluspesantren memiliki enam vokal.

(2)

commit to user

Skripsi Wido Hartanto Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (2013) yang berjudul Perbedaan Geografi Dialek Jogja-Solo Studi Kasus Isolek Bahasa

Jawa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Data penelitian diperoleh dari lima

wilayah yang terbagi menjadi 15 daerah. Berdasarkan penghitungan permutasi leksikal dan permutasi fonologis, serta penghitungan dialektometri leksikal dan dialektometri fonologis penelitian itu menghasilkan 6 beda kosakata, 44 beda wicara, 51 beda subdialek, dan 4 beda dialek sedangkan berdasarkan deskripsi perbedaan leksikal ditemukan 32 perbedaan leksikal di setiap daerah pengamatan.

Hasil penelitian di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai isoglos dialek bahasa Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan-kemiripan baik dalam hal geografis, sosial, maupun kebahasaan yang bervariasi.

B. Kajian Pustaka

Bahasa merupakan hal yang vital dalam sejarah perkembangan hidup manusia. Seiring dengan itu, manusia secara tidak langsung dituntut memiliki pemahaman mengenai kebahasaan. Verhaar menyatakan “Ilmu yang secara khusus mempelajari mengenai kebahasaan adalah ilmu linguistik atau yang sering disebut “linguistik umum”. Artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya” (1996: 4). Ilmu bahasa itu (dialektologi) melihat bahasa, sebagai wahana pikiran dan perasaan manusia, memiliki varian-varian, baik dalam bidang struktur maupun leksikonnya (Bawa, 1995: 61).

Berkaitan dengan kajian dialektologi, berikut ini disajikan beberapa teori yang berhubungan.

(3)

commit to user 1. Disiplin Dalektologi

Dialek berasal dari kata Yunani dialektos (logat) dan dialektologi berasal dari kata dialek yang berarti “variasi bahasa” dan logi yang berarti “ilmu”. Dialektologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang dialek. Berikut ini pernyataan beberapa pakar linguistik mengenai dialek dan dialektologi.

Chambers dan Trudgill (1998: 3) mengatakan bahwa “dialectology is

the study of dialect and dialects. In common usage, a dialect is a substandard, low-status, often rustic form of language, generally associated with the peasantry, the working class, or other groups lacking in prestige. Dialect is also term which is often applied to forms of language, particularly those spoken in more isolated parts of the world, which have no written form”.

Chambers dan Trudgill menerangkan bahwa dialektologi adalah studi mengenai dialek dan dialek-dialek. Dalam pemakaian umum, dialek adalah substandard, status rendah, acapkali bentuk kasar dari bahasa, biasanya dihubungkan dengan kaum petani, kelas pekerja, atau kelompok kurang berwibawa yang lainnya. Dialek juga merupakan istilah yang sering digunakan untuk bentuk-bentuk bahasa, terutama bahasa yang tidak memiliki bentuk tulis.

Dialektologi adalah cabang dari linguistik yang menyajikan analisis dan pemerian variasi-variasi bahasa, baik secara sosial maupun temporal, dan memperlihatkan perbedaan-perbedaan pengucapan, tata bahasa dan kosakata serta distribusi geografisnya (Alwasilah, 1993: 119). Dialektologi atau linguistik geografi ini mempelajari variasi bentuk-bentuk ujaran dan menekuni keadaan mutakhir dari bahasa (bahasa ujaran).

Kridalaksana (2001) menyatakan bahwa dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai, variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu (=dialek regional), atau oleh golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan (=dialek sosial), atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam waktu tertentu (=dialek temporal). Sementara itu dialektologi diartikan

(4)

commit to user

sebagai cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh.

Parera mengatakan bahwa keseluruhan persamaan dan kesamaan yang terbesar dan terbanyak antara idiolek-idiolek dalam satu kelompok masyarakat membentuk satu calon bahasa atau calon dialek. Dengan demikian dialek merupakan bentuk eksistensi idiolek yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Parera membedakan dialek menjadi dialek yang bersifat horizontal dan yang bersifat vertikal. Dialek yang bersifat horizontal menunjukkan variasi bahasa yang bersifat geografis, perbedaan antara satu daerah bahasa dengan daerah bahasa yang lain dalam lingkungan satu masyarakat bahasa (1991: 27).

a. Sejarah Perkembangan Dialek

Perkembangan dialek terbagi menjadi dua masa yaitu masa sebelum 1875 dan sesudah 1875. Sebelum 1875 dialek sempat ditentang pada pertengahan awal abad ke-16. Metode yang digunakan sebelum 1875 adalah metode pupuan sinurat yang mulai digunakan tahun 1751 oleh para ahli botani dan metode pupuan lapangan yang mulai digunakan tahun 1730 oleh Martin Sarmiento. Sementara itu penelitian kaidah fonetik mulai dikembangkan awal abad ke-19 oleh Franz Bopp.

Perkembangan dialek sesudah 1875 terpecah menjadi dua aliran yaitu aliran Jerman dan aliran Perancis. Aliran Jerman diprakarsai oleh Gustav Wenker tahun 1876 dengan menggunakan 40 daftar tanyaan berupa kalimat sederhana. Setelah meninggalnya Gustav Wenker (1911) penelitian geografi dialek dilanjutkan oleh Wrede hingga berhasil mendirikan pusat atlas dan penelitian dialek Jerman serta menerbitkan buku pertama atlas bahasa Jerman. Aliran Perancis diprakarsai Jules Louis Gilieron tahun 1880 dengan penelitian di daerah Vionnaz yang akhirnya dijadikan landasan penelitian gejala-gejala fonetik. Agar penelitian menjadi lebih

(5)

commit to user

terarah Albert Dauzat pada tahun 1939 menyarankan penggunaan daftar tanyaan umum dalam ALF dan pertanyaan mengenai daerah penelitian.

b. Macam-Macam Dialek

Dialek 1 yaitu dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut dipergunakan sepanjang perkembangannya. Dialek ini dihasilkan karena adanya dua faktor yang saling melengkapi yaitu faktor waktu dan faktor tempat.

Dialek 2 atau yang disebut regiolek (dialek regional) yaitu bahasa yang digunakan di luar daerah pakainya.

Dialek sosial atau sosiolek ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu yang dengan demikian membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya.

Untuk menentukan seperangkat tuturan merupakan dialek atau bukan merupakan hal yang tidak mudah karena itu Ayatrohaedi (1979: 3-5) dan Zulaeha (2010: 31-34) memberikan lima macam perbedaan sebagai ciri pembeda dialek. 1) Bedaan fonetis yaitu bedaan pada tataran fonologis. Bedaan ini sangat jarang

disadari oleh para pemakai bahasa atau dialek. Contoh [c|ndelO] dan [j|ndelO] yang sama-sama memiliki makna “jendela”.

2) Bedaan semantis, terjadi sebagai akibat terciptanya kata baru, berdasarkan perubahan fonologis dan geseran bentuk. Dalam hal ini terjadi pergeseran makna yang dapat meliputi sinonimi dan homonimi. Contoh pergeseran makna sinonimi yaitu [c|mple] dan [c|mpe] yang berarti “anak kambing”. Contoh pergeseran

makna homonimi yaitu [gETE?] sebagai bekas luka yang sudah mengering dan [gETE?] sebagai alat transportasi air yang berbentuk datar yang dapat mengapung dan biasa untuk menyeberang sungai.

(6)

commit to user

3) Bedaan onomasiologis menunjukkan pelambang yang berbeda berdasarkan satu konsep yang dikenal di beberapa tempat yang berbeda. Contoh, untuk menyebut suatu benda yang jatuh dengan [tibO] dan di tempat lain dengan [jiglO?].

4) Bedaan semasiologis merupakan kebalikan dari bedaan onomasiologis, yaitu berian pelambang yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Contoh, [gaTOt] yang oleh masyarakat Wonogiri merupakan bentuk penganan dari singkong kering yang berwarna kehitaman dimasak dengan cara dikukus kemudian disajikan dengan parutan kelapa, sementara oleh masyarakat Solo diartikan sebagai penganan dari pati yang digoreng dan berbentuk seperti jari atau kipas.

5) Bedaan morfologis dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan, oleh frekuensi morfem yang berbeda, oleh wujud fonetisnya, dan lain sebagainya. Contoh, [t|Gkur|p] dan [m|Gkur|p] yang tidak mengalami perubahan kelas kata

maupun maknanya meskipun wujud fonetisnya berbeda.

Sementara itu Robins (1992: 69) menegaskan kriteria dialek sebagai:

1) Bentuk-bentuk bahasa yang berbeda tetapi yang dapat saling dimengerti oleh penutur-penuturnya tanpa latihan khusus.

2) Bentuk-bentuk bahasa yang dipakai di wilayah yang bersatu secara politis.

3) Bentuk-bentuk bahasa yang digunakan para penutur yang memiliki sistem tulisan yang sama dan seperangkat sastra tertulis yang sama.

c. Geografi Dialek

Geografi dialek ialah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Ayatrohaedi, 1979: 28).

(7)

commit to user

Hudson (1990: 39) mendefinisikan geografi dialek sebagai berikut:

If we consider the most straightforward variety differences based on geography, it should be possible, if the family tree model is right, to identify what are called regional dialects within any larger variety such as English. Fortunately, there is a vast amount of evidence bearing on this question, produced by the discipline called dialectology, particularly by its branch called dialect geography.

Definisi Hudson di atas menerangkan bahwa perbedaan variasi sebagian besar disebabkan oleh faktor geografi dan untuk variasi dengan melibatkan faktor geografi yang lebih luas disebut dialek regional. Menurutnya terdapat banyak kenyataan yang mempertanyakan tentang disiplin dialektologi terutama mengenai cabangnya yang disebut geografi dialek. Hal ini memperlihatkan pendapat Hudson bahwa geografi dialek merupakan cabang dari disiplin dialektologi yang didasarkan pada geografi dengan variasi yang lebih luas.

Keraf memberikan penjelasan lain yaitu geografi dialek merupakan bagian dari linguistik historis yang secara khusus berbicara mengenai dialek-dialek atau perbedaan-perbedaan lokal suatu bahasa. Geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Geografi dialek mengungkapkan fakta-fakta tentang perluasan ciri-ciri linguistis yang sekarang tercatat sebagai ciri-ciri dialek (1984: 143).

2. Variasi Bahasa

Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa yang antara lain ialah faktor-faktor sosial dan faktor-faktor situasional (Suwito, 1996: 28). Selain itu bahasa memiliki ciri kearbitreran sehingga memiliki banyak variasi dalam pemakaiannya. Variasi dapat didefinisikan sebagai suatu ujud perubahan atau

(8)

commit to user

perbedaan dari pelbagai manifestasi kebahasaan, namun tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan (Ohoiwutun, 2007: 46).

Nababan membagi variasi bahasa berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu variasi internal dan variasi eksternal. Variasi internal adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam bahasa itu sendiri. Variasi eksternal adalah variasi yang berhubungan dengan faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri. Variasi eksternal dibedakan berdasarkan pemakai dan pemakaiannya. Berdasarkan pemakainya dibedakan menjadi idiolek dan dialek yang mencakup dialek geografis dan dialek sosial. Berdasarkan pemakaiannya variasi bahasa dikenal dengan istilah ragam atau register (1993: 15).

Hudson (1990: 24) menjelaskan mengenai variasi bahasa sebagai berikut:

If one thinks of ‘language’ as a phenomenon including all the languages of the world, the term variety of language (or just variety for short) can be used to refer to different manifestations of it, in just the same way as one might take ‘music’ as a general phenomenon and then distinguish different ‘varieties of music’. What makes one variety of language different from another is the linguistic items that it includes, so we may define a variety of language as a set of linguistic items with similar distribution.

Menurut Hudson, jika seseorang berpikir bahwa bahasa merupakan sebuah gejala yang mencakup semua bahasa di dunia, maka istilah variasi bahasa dapat digunakan untuk mengacu pada wujud yang berbeda. Misalnya, „musik‟ sebagai bahasa dan „jenis-jenis musik‟ sebagai variasinya. Hal yang membuat satu variasi bahasa berbeda dengan yang lain adalah aspek linguistik yang melingkupinya sehingga dapat dikatakan sebuah variasi bahasa merupakan seperangkat aspek linguistik dengan distribusi yang sama.

(9)

commit to user 3. Lek dan Isolek

Kridalaksana (2001) memberi pengertian lek dan isolek sebagai berikut: lek adalah segala fenomen bahasa yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat bahasa, yang menyangkut variasi regional dan sosial sedangkan isolek adalah isoglos pada peta bahasa yang digambarkan melingkari satu unsur morfologis tertentu.

Pengertian isolek menurut kajian dialektologi adalah istilah netral untuk menyebutkan suatu bahasa atau variasi dialek yang belum ditetapkan statusnya dalam suatu penelitian (Sumarlam dkk, 2012: 1). Isolek yang bermacam-macam bisa menjadi perbedaan bahasa, perbedaan dialek, perbedaan subdialek, atau hanya perbedaan wicara. Perbedaan itu bisa disebabkan karena kondisi geografis yang tidak sama, kondisi alam, dan jauh dekatnya wilayah itu dengan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan. Semakin jauh suatu wilayah akan semakin besar persentase perbedaannya.

Tuturan masyarakat di wilayah Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku merupakan fenomena kebahasaan yang belum ditetapkan sebagai bahasa, dialek, atau subdialek. Penelitian ini menjadikan isolek yang belum diketahui statusnya menjadi berstatus jelas dalam bentuk peta isoglos.

4. Peta Bahasa

Peta bahasa merupakan gambaran mengenai gejala kebahasaan dalam suatu wilayah. Gambaran itu dapat mencakup persamaan maupun perbedaan dari satu titik dengan titik lainnya yang diperoleh dari bahan-bahan yang terkumpul selama penelitian.

(10)

commit to user

Ayatrohaedi menyatakan bahwa terdapat tiga jenis peta yang harus disiapkan untuk memuat berian atau data yang diperoleh. Ketiga peta itu adalah peta dasar, peta mandiri, dan peta rekonstruksi. Peta dasar adalah peta daerah penelitian dan merupakan “peta buta”. Peta mandiri dibuat sebanyak data mandiri yang akan dimasukkan ke dalam peta. Peta rekonstruksi adalah peta “gabungan” yang sengaja dibuat berdasarkan rekonstruksi sejumlah berian yang diperoleh. Peta rekonstruksi digunakan sebagai gambaran akhir hasil penelitian. Peta rekonstruksi terdiri atas peta berkas isoglos (heteroglos), peta gejala kebahasaan yang sama, dan peta matrabahasa (2002: 47—51).

Peta berkas isoglos (heteroglos) adalah peta yang di dalamnya memuat garis isoglos dan garis heteroglos. Garis isoglos berfungsi untuk menyatukan titik pengamatan yang menunjukkan persamaan. Garis heteroglos berfungsi untuk memisahkan titik pengamatan yang menunjukkan adanya perbedaan. Peta gejala kebahasaan yang sama adalah peta yang berdasarkan pada gejala kebahasaan, misalnya, gejala fonologis, morfologis, maupun leksikal. Peta matrabahasa adalah peta seperti halnya segitiga dialektometri untuk keperluan matrabahasa.

Pengisian berian ke dalam peta dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Mencantumkan berian secara langsung

b. Menggunakan lambang

Lambang-lambang dibuat dengan sederhana untuk melambangkan berian unsur-unsur bahasa yang diperoleh. Lambang yang sama dapat digunakan untuk berian lain pada peta yang berbeda. Keterangan mengenai lambang dicantumkan dalam ruang legenda. Sementara itu penulisan lambang harus taat asas atau seragam.

(11)

commit to user c. Menggunakan petak atau blok

Penggunaan petak atau blok ini memperlihatkan secara langsung persamaan maupun perbedaan dari setiap daerah pengamatan. Petak atau blok ini dapat dilakukan dengan menggunakan garis atau arsir dapat pula dengan isian langsung.

5. Isoglos

Isoglos merupakan garis yang terdapat dalam peta bahasa. Istilah isoglos pertama kali digunakan pada tahun 1892 oleh J. G. A. Bielenstein.

He apparently modeled his new word on the meteorological term isotherm, a line drawn between two locations with the same average temperature. Isogloss literally means ‘equal language’ (greek iso+gloss). Presumably, the word is intended to convey the fact that a line drawn across a region will show two areas on either side which share some aspect of linguistic usage but which disagree which each other. Such double lines are sometimes called heteroglosses (Trudgill, 1998: 89).

Bielenstein menggunakan kosakata baru seperti halnya isotherm dalam istilah meteorologi yaitu sebuah garis yang ditarik antara dua tempat dengan temperatur yang rata-rata sama. Isoglos sebagai kosakata baru dari bahasa Yunani „iso+glos’ secara harafiah berarti „bahasa yang sama‟. Kata itu digunakan untuk memperlihatkan bahwa sebuah garis yang ditarik melintasi suatu wilayah akan membagi menjadi dua wilayah dengan beberapa aspek pemakaian linguistik yang berbeda. Sedangkan untuk beberapa garis lain disebut sebagai heteroglos.

Lebih sederhana Hudson (1990: 39) memberi pengertian isoglos sebagai berikut: “The dialect geographer may than draw a line between the area where one

item was found and areas where others were found, showing a boundary for each area called an isogloss (from Greek iso- ‘same’ and gloss- ‘tongue’)” yang artinya

(12)

commit to user

dengan satu aspek ditemukan dan wilayah dengan berbeda aspek ditemukan, untuk menunjukkan batas, yang disebut dengan isoglos (dari bahasa Yunani iso- „sama‟ dan

gloss- „bahasa‟.

Robins (1992: 64) menyatakan isoglos sebagai suatu istilah yang ditiru dari istilah geografi seperti isoterm (garis yang menghubungkan daerah-daerah bersuhu sama) dan isobar (garis yang menghubungkan daerah-daerah bertekanan udara sama).

Isoglos berfungsi untuk menunjukkan adanya ketidaksamaan atau perbedaan dalam menggunakan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan. Selanjutnya, kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas disebut dengan berkas isoglos (bundle of isoglosses) (Mahsun 2011: 184—185).

Menurut Nababan (1993: 19) isoglos adalah garis yang menghubungkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisahkan dua tempat yang menunjukkan ciri/unsur yang berbeda.

C. Kerangka Pikir

Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku merupakan kecamatan yang berada di perbatasan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Pacitan. Mengenai sisi kebahasaan masyarakat Giriwoyo adalah masyarakat penutur dialek Jogja-Solo, berbeda dengan masyarakat Punung dan Pringkuku, namun tuturan mereka memperlihatkan adanya variasi.

Ketidaksamaan isolek di ketiga kecamatan itu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, politik, dan geografis. Letaknya yang jauh dari pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan menjadikan perkembangan kebahasaan masyarakat Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku sedikit berbeda.

(13)

commit to user

Keburaman isolek yang ada kiranya perlu untuk diperjelas karena memang pada dasarnya tidaklah seratus persen sama dengan dialek Jogja-solo. Karenanya, diperlukan kajian dialektologi guna menentukan statusnya sebagai dialek, subdialek, atau hanya sekedar perbedaan wicara dari sebuah dialek yang sama. Identifikasi, pendeskripsian, dan pemetaan sebagai visualisasi diperlukan untuk menunjukkan kesamaan dan ketidaksamaan serta untuk menunjukkan inovasi dan kekhasannya.

Kerangka pikir yang berkaitan dengan penelitian ini secara garis besar digambarkan dengan bagan berikut ini.

Bagan 01 Kerangka Pikir Konteks Sosial, Budaya,

Politik, dan Geografi

Isolek Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan

Pringkuku

Karakteristik Isolek Jawa di Kecamatan Giriwoyo,

Punung, dan Pringkuku

Identifikasi Isolek Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung,

dan Pringkuku

Deskripsi Bentuk Linguistik Isolek Jawa di Kecamatan

Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku

Pemetaan Isolek Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku Status dan Keberadaan Isolek

Jawa di Kecamatan Giriwoyo, Punung, dan Pringkuku

Masyarakat Penutur Isolek Jawa di Kecamatan Giriwoyo,

Punung, dan Pringkuku

Penghitungan Dialektometri dan Permutasi

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian usaha kedua yaitu merencanakan kampanye diawali dengan menyusun tujuan dari kampanye Counting Down ini yaitu: untuk menberikan informasi kepada

Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan pemilihan arah 0 o dan arah rotasi pada korelasi linier sirkular dan regresi linier sirkular dapat dilakukan secara

a) Diawali dengan input image yang telah dinormalisasi ukuran menjadi sama untuk seluruh dataset yang digunakan. b) Histogram dilakukan untuk mengambil data kurva

Pendekatan kasus digunakan karena meneliti kaidah dan norma dasar yang digunakan dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa..

agar terhindar dari kecenderungan overcapacity (berlebihnya input produksi). Penelitian ini dilaksanakan di Pekalongan, salah satu sentra perikanan di Indonesia. Dewasa

19 (2) Orang itu berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidak-absahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk

Memuat tentang semua sumber kepustakaan yang dipergunakan untuk keperluan penelitian. Pada halaman ini perlu dituliskan sumber tersebut dengan maksud aga para pembaca dapat