• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Dalam teori agensi, Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Dalam teori agensi, Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2014)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Agency theory

Dalam teori agensi, Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2014) mendefinisikan hubungan agensi sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (principal) menyewa orang lain untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Hal tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemilik perusahaan (principal) dan agen yang diberi kewenangan, dimana agen akan cenderung untuk memaksimalkan keuntungan pribadi daripada memaksimalkan keuntungan principal.

Konflik kepentingan antara principal dan agen menyebabkan munculnya masalah agensi. Menurut Eisenhardt (1989) dalam Sudarsana (2013) teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest) dengan mengabaikan kepentingan orang lain, (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) bahwa manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan hal tersebut, seorang manajer akan cenderung mengambil tindakan yang lebih menguntungkan diri sendiri (opportunistic) dibandingkan dengan kepentingan perusahaan sehingga dapat menimbulkan konflik. Dalam hal ini, principal (pemilik) menuntut akuntabilitas manajemen tetapi ada kemungkinan manajemen takut untuk mengungkapkan informasi yang tidak diharapkan oleh

(2)

11 pemilik sehingga terdapat kecenderungan untuk memanipulasi laporan keuangan (Januarti, 2009).

Dalam kaitannya dengan sektor pemerintahan, teori agensi dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan yang kompleks antara berbagai instansi pemerintah, hubungan antara masyarakat sebagai pemilih dengan pemerintah (eksekutif), hubungan antara legislatif dan eksekutif, dan hubungan antara atasan dengan bawahan dalam pemerintahan (Sudarsana, 2013). Menurut Mardiasmo (2004) akuntabilitas dalam konteks sektor publik sebagai kewajiban pemegang amanah (pemerintah) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (masyarakat) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pernyataan ini mengandung arti bahwa dalam pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan (teori keagenan) antara masyarakat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agent.

Teori keagenan memandang bahwa pemerintah daerah sebagai agent bagi masyarakat (principal) akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingan mereka sendiri serta memandang bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan masyarakat. Agency theory beranggapan bahwa banyak terjadi information asymmetry antara pihak agent (pemerintah) yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dengan pihak principal (masyarakat). Adanya information asymmetry inilah yang memungkinkan terjadinya penyelewengan atau korupsi oleh agen. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah harus dapat meningkatkan akuntabilitas atas

(3)

12 kinerjanya sebagai mekanisme checks and balances agar dapat mengurangi information asymmetry.

2.1.2. Otonomi daerah dan desentralisasi

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka melaksanakan otonomi tersebut dilakukan penyerahan urusan pemerintah pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom yang disebut sebagai desentralisasi. Tata cara dan pelaksanaan otonomi daerah telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi dilaksanakan guna meningkatkan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan aspek hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta potensi daerah yang ada.

Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pemerintah melaksanakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa terdapat masalah perilaku pada agent (pemerintah daerah) yang bertindak untuk kepentingan agent yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau principal. Oleh karena itu, adanya pengendalian dalam bentuk pengawasan oleh

(4)

13 masyarakat (social control) maupun legislatif (DPRD) dan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan dilaksanakannya otonomi daerah. Sebagai mekanisme Check and balance dalam rangka pengawasan tersebut, pemerintah daerah wajib membuat mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah dan hasil dari kegiatan/program yang dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran melalui laporan keuangan dan laporan kinerja sesuai yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 2006.

2.1.3. Kinerja instansi pemerintah daerah

Azhar (2008) dalam Sumarjo (2010) mendefinisikan kinerja sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Dalam lingkup pemerintahan, menurut PP No. 8 Tahun 2006 kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Sedangkan menurut Permenpan RB No. 20 Tahun 2013, kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.

Pencapaian kinerja yang tinggi tentu membutuhkan suatu sistem manajemen kinerja yang baik. Penerapan manajemen kinerja merupakan kebutuhan mutlak bagi organisasi untuk mencapai tujuan dengan mengatur kerja sama secara harmonis dan terintegrasi antara pemimpin dan bawahannya (Irfan, 2010 dalam Asmoko, 2014). Dalam lingkup sektor publik, pemerintah menerapkan sistem

(5)

14 akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai bentuk manajemen kinerja di sektor pemerintahan. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah mendefinisikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. Selanjutnya dalam pasal 5 peraturan tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan SAKIP meliputi: perencanaan strategis, perjanjian kinerja, pengukuran kinerja, pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja, dan review dan evaluasi kinerja. Berdasarkan uraian tersebut SAKIP merupakan bentuk sistem manajemen kinerja pemerintah yang komprehensif mulai dari perencanaan, pelaporan, hingga evaluasi kinerja.

Menurut Susilo, Djoko (2005) SAKIP pada dasarnya harus dapat menggambarkan kinerja instansi pemerintah yang sebenarnya dan disajikan secara jelas (berdasar data yang tepat dan akurat) dan transparan kepada publik (pemberi amanah) serta pihak-pihak yang berkepentingan/stakeholder mengenai kemampuan (keberhasilan atau kegagalan) setiap pimpinan instansi pemerintah/unit kerja dalam melaksanakan misi, tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya. Semuanya itu diarahkan pada upaya untuk mendorong:

(6)

15 2) penerapan prinsip-prinsip good govemance dan fungsi-fungsi manajemen

kinerja secara taat asas; 3) pencegahan terjadinya KKN;

4) pengelolaan dana dan sumber daya lainnya menjadi efisien dan efektif; 5) pengukuran tingkat keberhasilan dan atau kegagalan setiap pimpinan

instansi pemerintah/unit kerja dalam menjalankan misi, tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan;

6) penyempurnaan struktur organisasi, kebijakan publik, sistem perencanaan dan penganggaran, ketatalaksanaan, metode dan prosedur pelayanan masyarakat;

7) kreativitas, produktivitas, sensitivitas, disiplin dan tanggung jawab aparatur negara.

Kemudian, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 18 Perpres No. 29 Tahun 2014, bahwa setiap instansi pemerintah wajib menyusun dan menyajikan laporan kinerja atas prestasi kerja yang dicapai berdasarkan penggunaan anggaran yang telah dialokasikan yang terdiri dari laporan kinerja interim dan tahunan. Untuk instansi pemerintah kabupaten/kota, bupati/walikota menyusun laporan kinerja tahunan pemerintah kabupaten/kota dan menyampaikannya kepada Gubernur, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan tersebut sebelum disampaikan kepada gubernur dan Kemenpan RB terlebih dahulu direview oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah

(7)

16 (APIP) untuk meyakinkan keandalan informasi yang akan disampaikan. Langkah akhir dari SAKIP adalah dilakukannya evaluasi atas implementasi SAKIP pada Kementerian Negara/Lembaga/ pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).

2.1.4. Evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah daerah

Menurut Permenpan RB No.20 Tahun 2013, evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah terdiri atas evaluasi penerapan komponen manajemen kinerja (Sistem AKIP) yang meliputi: perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja internal, dan pencapaian kinerja. Evaluasi atas pencapaian kinerja organisasi tidak hanya difokuskan pada pencapaian kinerja yang tertuang dalam dokumen LAKIP semata, tetapi juga dari sumber lain yang akurat dan relevan dengan kinerja instansi pemerintah. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi AKIP dilakukan untuk memberikan informasi kepada publik mengenai kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan. Dalam pelaksanaannya, Kementerian PAN dan RB dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri, bpkp dan inspektorat provinsi yang dipilih.

Untuk mengetahui sejauh mana instansi pemerintah melaksanakan dan memperlihatkan kinerjanya, serta sekaligus untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah, maka perlu dilakukan suatu pemeringkatan atas hasil evaluasi akuntabilitas kinerja tersebut. Pemeringkatan ini diharapkan dapat mendorong instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk secara konsisten meningkatkan akuntabilitas kinerjanya dan mewujudkan capaian kinerja (hasil)

(8)

17 organisasinya sesuai yang diamanahkan dalam RPJM Nasional/RPJMD. Ruang lingkup evaluasi meliputi: evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah melalui evaluasi atas penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (sistem AKIP) dan pencapaian kinerja organisasi, Evaluasi terhadap penerapan Sistem AKIP dilakukan dengan mempertimbangkan upaya yang telah dilakukan evaluatan sampai dengan saat terakhir pembahasan hasil evaluasi, dan pemeringkatan hasil evaluasi instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) dan pemerintah daerah.

Pelaksanaan evaluasi akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah difokuskan untuk peningkatan mutu penerapan manajemen berbasis kinerja (Sistem AKIP) dan peningkatan kinerja instansi pemerintah pusat dan daerah dalam rangka mewujudkan instansi pemerintah yang berorientasi pada hasil (result oriented goverment). Metodologi yang digunakan untuk melakukan evaluasi akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah dengan menggunakan teknik criteria referenced survey, dengan cara menilai secara bertahap langkah demi langkah (step by step assessment) setiap komponen dan selanjutnya menilai secara keseluruhan (overall assessment) dengan kriteria evaluasi dari masing-masing komponen yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pelaksanaan evaluasi kinerja instansi pemerintah memfokuskan pada hal-hal sebagai berikut:

1) Instansi pemerintah dalam menyusun, mereview dan menyempurnakan perencanaan kinerja berfokus pada hasil.

(9)

18 3) Pengungkapan informasi pencapaian kinerja Instansi Pemerintah dalam

LAKIP.

4) Monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian kinerja pelaksanaan program, khususnya program strategis.

5) Keterkaitan antar seluruh komponen perencanaan kinerja dengan penganggaran, kebijakan pelaksanaan dan pengendalian serta pelaporannya. 6) Capaian kinerja utama dari masing-masing instansi pemerintah.

7) Tingkat akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

8) Memastikan disusunnya rencana aksi terhadap rekomendasi hasil evaluasi yang belum ditindaklanjuti.

Pemeringkatan hasil evaluasi SAKIP dilakukan dengan memperhatikan komponen dan sub-komponen sebagai berikut:

Tabel 2.1

Komponen Penilaian SAKIP No. Aspek Bobot Komponen dan Sub-Komponen

1 Perencanaan 35 % a. Rencana Strategis 12,5%, meliputi: Pemenuhan Renstra, Kualitas Renstra, dan Implementasi Renstra

b. Perencanaan Kinerja Tahunan 22,5%, meliputi: Pemenuhan Perencanaan Kinerja Tahunan (4,5%), Kualitas Perencanaan Kinerja Tahunan (11,25%), dan

Implementasi Perencanaan Kinerja Tahunan (6,75%)

2 Pengukuran Kinerja

20% a. Pemenuhan pengukuran 4%, b. Kualitas pengukuran 10%, Sumber: Permenpan RB No.20 Tahun 2013

(10)

19 Tabel 2.1 (lanjutan)

Komponen Penilaian SAKIP No. Aspek Bobot Komponen dan Sub-Komponen

c. Implementasi pengukuran 6%. 3 Pelaporan

Kinerja

15 % a. Pemenuhan pelaporan 3%, b. Penyajian informasi kinerja 8%, c. Pemanfaatan informasi kinerja 4%. 4 Evaluasi

Kinerja 10 % a. Pemenuhan evaluasi 2%, b. Kualitas evaluasi 5%, c. Pemanfaatan hasil evaluasi 3%. 5 Capaian

Kinerja 20% a. Kinerja yang dilaporkan (output) 5%; b. Kinerja yang dilaporkan (outcome) 5%; d. Kinerja tahun berjalan (benchmark) 5%; c. Kinerja Lainnya 5%

Total 100%

Sumber: Permenpan RB No.20 Tahun 2013

Hasil penilaian tersebut kemudian disimpulkan dengan menjumlahkan angka tertimbang dari masing-masing komponen. Nilai akhir dari penilaian tersebut berupa angka dari 0 sampai dengan 100 yang kemudian diberi peringkat dalam kategori sebagai berikut:

Tabel 2.2

Pemeringkatan Hasil Evaluasi SAKIP No. Predikat Nilai Angka Interpretasi

1. AA >85-100 Memuaskan

2. A >75-85 Sangat Baik

3. B >65-75 Baik, dan perlu sedikit perbaikan 4. CC >50-65 Cukup baik (memadai), perlu banyak

perbaikan yang tidak mendasar 5. C >30-50 Agak kurang, perlu banyak perbaikan,

termasuk perubahan yang mendasar 6. D 0-30 Kurang, dan perlu banyak sekali perbaikan

& perubahan yang sangat mendasar. Sumber: Permenpan RB No. 20 Tahun 2013

(11)

20 2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai kinerja pemerintah daerah adalah sebagai berikut.

1) Budianto (2012) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Opini, Temuan Audit dan Gender terhadap Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2008-2010. Penelitian tersebut membuktikan bahwa opini auditor dan gender berpengaruh terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota, sedangkan variabel temuan audit berpengaruh negatif terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota. Selain itu, variabel kontrol berapa tingkat kemandirian pemda dan ukuran pemda berpengaruh positif terhadap skor kinerja pemda kabupaten kota di Indonesia tahun anggaran 2008 – 2010.

2) Mustikarini dan Fitriasari (2012) meneliti mengenai Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Temuan Audit BPK terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun Anggaran 2007. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa variabel ukuran daerah, kekayaan daerah dan tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat berpengaruh positif terhadap skor kinerja pemda sedangkan variabel belanja daerah dan temuan audit BPK berpengaruh negatif terhadap skor kinerja pemda.

3) Nurdin, Fandy (2015) meneliti mengenai Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Temuan Audit BPK RI terhadap Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah di Indonesia Tahun Anggaran 2012. Penelitian

(12)

21 tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat belanja daerah dan temuan audit BPK RI tidak berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten/kota, tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat berpengaruh negatif terhadap akuntabilitas kinerja, dan tingkat kekayaan pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah kabupaten/kota.

4) Puspitasari, Adiputra, dan Sulindawati (2015) meneliti mengenai Pengaruh Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Kinerja Keuangan Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah sebagai Variabel Intervening di Kabupaten Buleleng. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa belanja modal secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan kinerja keuangan dan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa belanja modal dapat berpengaruh langsung ke kinerja (PDRB) dan dapat juga berpengaruh tidak langsung yaitu dari belanja modal ke Pendapatan Asli Daerah (sebagai variabel intervening) lalu ke kinerja (PDRB).

5) Riantiarno dan Azlina (2011) meneliti mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Rokan Hulu. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa variabel penerapan akuntabilitas keuangan tidak berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dan variabel ketaatan pada peraturan perundangan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

(13)

22 6) Simanullang (2013) meneliti mengenai Pengaruh Belanja Modal, Intergovernmental Revenue dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Daerah Kota dan Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008 – 2012. Penelitian tersebut membuktikan bahwa variabel belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan daerah kota dan kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, sedangkan variabel Intergovernmental Revenue dan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan daerah kota dan kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau.

7) Sudarsana dan Rahardjo (2013) meneliti mengenai Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Temuan Audit BPK terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa variabel ukuran pemerintah daerah, tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, dan variabel belanja modal terbukti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota. Sedangkan, variabel temuan audit BPK dan tingkat kekayaan daerah berpengaruh secara signifikan terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota di Indonesia.

8) Sumarjo (2010) meneliti mengenai Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ukuran (size) pemda, leverage, dan Intergovernmental Revenue berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemda.

(14)

23 Sedangkan kemakmuran (wealth) dan ukuran legislatif tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemda.

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:

: Pengaruh secara parsial : Pengaruh secara simultan 2.4. Pengembangan Hipotesis

Tugas dan fungsi utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Dalam hal ini, ukuran pemerintah daerah yang tercermin dari besarnya total aset memegang peranan penting sebagai sarana yang digunakan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang tercermin dari pelaksanaan program kerja pemerintah daerah. Pelaksanaan program kerja pemerintah daerah yang terselenggara dengan baik akan mendorong

Ukuran Pemda (X1)

Tingkat Kekayaan (X2)

Tingkat Ketergantungan pada Pusat (X3) Kinerja Instansi Pemerintah Daerah (Y) H1 + H2 + H3 +

Opini Audit BPK Terhadap LKPD (X4)

(15)

24 tercapainya sasaran kinerja yang telah ditetapkan sehingga akan meningkatkan kinerja instansi pemerintah daerah yang bersangkutan.

Penelitian Sumarjo (2010) membuktikan bahwa ukuran pemerintah yang diwakili dengan total aset mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja keuangan kabupaten/kota di Indonesia. Hal tersebut dipertegas dengan penelitian Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang membuktikan bahwa ukuran pemerintah daerah yang diwakili dengan total aset mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap skor kinerja pemerintah daerah. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah:

Hipotesis 1: Ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja instansi pemda.

Jumlah dan kenaikan kontribusi PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah (Florida, 2007 dalam Nugroho, Fajar, dan Rohman, 2012). Sumarjo (2010) juga menjelaskan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan faktor pendukung dari kinerja ekonomi makro. Pertumbuhan yang positif mendorong adanya investasi sehingga secara bersamaan investasi tersebut akan mendorong adanya perbaikan infrastruktur daerah. Infrastruktur daerah yang baik serta investasi yang tinggi di suatu daerah akan meningkatkan PAD pemda tersebut. Adi (2006) dalam Sumarjo (2010) menyebutkan bahwa peningkatan PAD seharusnya didukung dengan peningkatan kualitas layanan publik. Dimana kualitas layanan publik yang baik akan mencerminkan kinerja yang baik suatu pemda.

(16)

25 Penelitian Sudarsana dan Rahardjo (2013) membuktikan bahwa kekayaan pemerintah yang diwakili dengan PAD mempunyai pengaruh positif terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota di Indonesia. Hal tersebut dipertegas dengan penelitian Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang membuktikan bahwa kekayaan pemerintah daerah yang diwakili dengan PAD mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap skor kinerja pemerintah daerah. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah:

Hipotesis 2: Tingkat kekayaan daerah berpengaruh positif terhadap kinerja instansi pemda.

Tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat diwujudkan dari besarnya dana perimbangan yang diterima, diantaranya Dana Alokasi Umum (DAU). Semakin besarnya penerimaan DAU oleh satu daerah maka Pemerintah akan lebih memantau pelaksanaan dari alokasi DAU dibanding dengan daerah yang lebih sedikit penerimaannya. Hal ini memotivasi pemda untuk berkinerja lebih baik karena pengawasan dari Pemerintah Pusat lebih besar. Dengan demikian, semakin tinggi DAU dari Pemerintah Pusat maka diharapkan semakin baik pelayanan pemda kepada masyarakatnya sehingga kinerja pemda juga semakin meningkat.

Hal tersebut didukung oleh penelitian Sumarjo (2010) membuktikan bahwa DAU mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja keuangan kabupaten/kota di Indonesia. Hal tersebut dipertegas dengan penelitian Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang membuktikan bahwa DAU mempunyai pengaruh signifikan dan positif

(17)

26 terhadap skor kinerja pemerintah daerah. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah:

Hipotesis 3: Tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat berpengaruh positif terhadap kinerja instansi pemda.

Dalam laporan keuangan auditan, pendapat auditor tentang laporan keuangan yang telah diauditnya akan berpengaruh terhadap pandangan investor yang akan melihat pendapat auditor tersebut sebagai good news atau bad news. Untuk mewujudkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian diperlukan komitmen dan motivasi dari semua jenjang pegawai mulai dari tingkat bawah sampai pada kepala biro untuk mengacu pada standar, sistem dan prosedur yang telah ada, serta peraturan perundangan yang berlaku, sehingga tidak ada hal-hal yang secara material menyimpang dari standar dan peraturan perundangan yang ada. Dengan demikian, semakin baik opini yang diberikan oleh auditor (BPK) kepada pemda, maka diharapkan akan semakin baik pula kinerja pemda tersebut.

Penelitian Budianto (2012) menguatkan hal tersebut dengan membuktikan bahwa opini auditor berpengaruh signifikan dan positif terhadap skor kinerja kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis pada penelitian ini adalah:

Hipotesis 4: Opini audit BPK terhadap LKPD berpengaruh positif terhadap kinerja instansi pemda.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis digunakan untuk menjelaskan perbandingan perhitungan harga pokok produksi oleh perusahaan dengan perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode full costing

Usaha PPN Perlis menyediakan khidmat pemasaran bukan sahaja untuk membantu ahli-ahli peladang memasar atau meluaskan pasaran bagi hasil dan produk keluaran mereka

Dimanfaatkannya bantuan Excavator secara optimal untuk mendukung pembangunan /pengembangan/ rehabilitasi insfrastruktur pertanian (jaringan irigasi pertanian,

Berdasarkan perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan metode alokasi biaya bersama pada produk sampingan, maka terdapat kesimpulan yang berguna bagi pabrik Tahu

Sedangkan pada sikloalkana dengan jumlah atom C penyusun cincin lebih dari 3 memiliki bentuk yang tidak planar dan melekuk, membentuk suatu konformasi

Penulisan Tugas Akhir ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai jenjang Strata (S-1) dan mencapai derajat Sarjana Teknik pada

Metode analitik korelasi pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara perawatan kaki dengan risiko ulkus kaki diabetes di Ruang Rawat Inap