SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Oleh
Andi Sosila Kamaruddin 105331113916
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Passokku Resomu, Pegau‟i Malempu,e Nennia Tettokko Ritotomu, Namutajeng Pamasena Dewatae.
Artinya : Bulatkan Tekad, Kerjakan dengan Kejujuran dan Berdiri di atas takdir, dan Mengharap Ridhonya Allah
( A S K )
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas Rahmat dan Hidayah-Nya, Saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karya sederhana ini saya persembahkan untuk :
1. Ibu dan Bapakku, yang telah mendukungku, memberiku motivasi dalam segala hal serta memberikan kasih sayang teramat besar yang tak mungkin bisa ku balas dengan apapun.
2. Kakakku yang selama ini memberiku semangat, serta motivasi hidup 3. Bapak Zainuddin dan ibu Nurhaena yang telah banyak membantu, dan
tiada hentinya membimbing saya.
4. Untuk semua keluarga yang selalu sayang dan mendoakan agar cepat sarjana.
ABSTRAK
Sosila, 2020. Penggunaan Bentuk Kebahasaan Disfemia Pada Berita Politik dalam Surat Kabar Fajar. Skripsi. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Munirah dan Pembimbing II Rosdiana.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar edisi Maret 2020 dan Nilai rasa yang terkandung dalam penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar edisi Maret 2020. Metode penelitian ini penelitian deskriptif kualitatif yang memberikan data yang akurat tentang penggunaan kebahasan disfemia dan nilai rasa disfemia. Sumber data diperoleh dari proses pelaksanaan teknik pengumpulan data, dengan teknik membaca secara berulang – ulang dengan mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang dilakukan agar data yang telah diperoleh dapat di analisis dengan reduksi data, interpertasi data dan verifikasi data.
Hasil penelitian ini berupa Bentuk pemakaian disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar edisi Maret 2020, ditemukan klasifikasi disfemia menjadi tiga, yaitu ; (1) berupa kata seperti kata menjegal, mengantongi, sengketa, merebut, disusupi, bermain, genjot, segel, tantang, tuding, godok, anjlok, dan ancam, (2) berupa frase seperti frase masuk meja, scenario bubar dan panaskan mesin, dan (3) berupa ungkapan seperti ungkapan gigit jari. Nilai rasa yang terkandung dalam bentuk disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar edisi Maret 2020, ada lima nilai rasa yaitu ; (1) Menyeramkan, seperti disusupi, genjot godok, liar, dikecilkan, digantungnya, mengerucut, panaskan mesin, (2) mengerikan seperti kata mengantongi, bermain, segel, ancam, cuek, dan digaet. (3) Menakutkan, seperti kata menjegal, sengketa, goyah, skenario bubar, dan masuk meja. (4) Menjijikan seperti kata ; Gigit jari, (5) Menguatkan seperti kata merebut, dituding dan tantang.
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan kebahasaan disfemia dalam surat kabar Fajar edisi Maret 2020. Banyak kata yang termasuk dalam disfemia dan mempunyai nilai rasa yang berbeda.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Sebagai manusia ciptaan Allah Subhanahuwata’ala sudah sepatutnya penulis memanjatkan kehadirat-Nya karena atas segala limpahan rahmat dan karunia serta kenikmatan yang diberikan kepada penulis. Nikmat Allah itu sangat banyak dan melimpah. Bahkan jika penulis ingin melukiskan nikmat Allah Subhanahuwata’ala menggunakan semua ranting pohon yang ada di dunia sebagai penanya dan seluruh air laut sebagai tintanya, maka ranting – ranting pohon dan air laut akan habis dan belum cukup untuk menuliskan nikmat-Nya tersebut. Semoga nikmat Sang Pencipta Selalu dilimpahkan kepada hamba-Nya yang senantiasa berbuat baik dan bermanfaat.
Salawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Rasullulah Sallallahualaihiwasalam. Manusia yang menjadi revolusioner Islam yang telah menggulung tikar – tikar kebatilan dan membentangkan permadani – permadani Islam hingga saat ini. Nabi yang telah membawa misi risalah Islam sehingga penulis dapat membedakanantara haq dan yang batil. Sehingga, kejahilannya tidak dirasakan lagi oleh umat manusia di zaman yang digital ini.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana (S-1), Proposal ini bersifat penelitian. Skripsi ini juga dibuat agar dapat memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai “Penggunanaan Bentuk Kebahasaan Disfemia Pada Berita Politik dalam Surat Kabar Fajar”.
iii
Teristimewah ucapan terima kasih tidak terhingga kepada orang tua saya tercinta yakni Andi Kamaruddin dan Murniati yang telah melahirkan, mengasuh, memelihara, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kasih sayang serta pengorbanan yang tak terhitung sejak dalam kandungan hingga saat ini. Terima kasih juga kepada kakak saya yakni Andi Mattanete Kamaruddin yang selalu memberikan perhatian, doa, semangat dan motivasi baik moral maupun material yang diberikan kepada penulis.
Ucapan terima kasih pula kepada dosen pembimbing I dan II yakni Dr. Munirah, M.Pd dan Rosdiana, S.Pd., M.Pd. yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi sejak awal penyusunan proposal hingga selesainya. Tak lupa pula juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, M.M., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib.,M. Pd., Ph. D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar dan Dr. Munirah, M. Pd., ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan para staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Ucapan terima Kasih penulis haturkan kepada teman-teman saya yang telah meluangkan dan kesempatannya untuk memberikan saran dan masukan serta semangat dalam penyusunan Skripsi ini.. Kata sempurna tidak pantas penulis sandang karena tidak ada gading yang tak retak. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih
iv
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan setitik ilmu dan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Makassar, Maret 2020
v DAFTAR ISI
SAMPUL
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 4 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7
A. Kajian Pustaka ... 7 1. Peneletian Relevan ... 7 2. Pengertian Bahasa ... 11 3. Semantik ... 13 4. Hakikat Makna... ... ... 16 5. Perubahan Makna ... 17 6. Disfemia ... 22 7. BeritaPolitik... 33 B. Kerangka Pikir ... 36
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
vi
B. Definisi Istilah ... 37
C. Data dan Sumber Data ... 38
D. Teknik Pengumpulan Data ... 39
E. Teknik Analisis Data ... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Wacana Berita Politik dalam Surat Kabar Fajar 43 2. Bentuk – Bentuk Pemakaian Disfemia ... 44
3. Bentuk Nilai Rasa Disfemia ... 57
B. Pembahasan ... 71 BAB V PENUTUP ... 75 A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN ... 79 RIWAYAT HIDUP
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surat kabar adalah salah satu ragam dari ruang lingkup jurnalisme cetak. Surat kabar juga merupakan salah satu sumber informasi tertulis yang memuat berbagai peristiwa. Berita dalam surat kabar diperuntukkan untuk umum yang menyangkut kepentingan umum dan informasi yang menyangkut mengenai kejadian di masyarakat pada khalayak sehingga khalayak dapat menerima informasi atau berita dari berbagai peristiwa yang terjadi. Ciri – ciri surat kabar menurut Sumadiria (2017:138) yaitu publisitas yang menyangkut penyebaran kepada publik, perioditas menyangkut keteraturan terbitnya surat kabar, universalitas yakni surat kabar harus memuat berita mengenai kejadian – kejadian di seluruh dunia dengan aspek kehidupan manusia, aktualisasi yaitu menyangkut kecepatan penyampaian laporan mengenai kejadian yang terjadi dalam masyarakat.
Pada zaman moderen ini jurnalistik tidak hanya mengelola berita tetapi bersifat menghibur, mendidik, dan memengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan tertentu. Dalam penyampaian sebuah berita surat kabar menggunakan berbagai bentuk kebahasaan. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar biasanya mengutamakan kemenarikan bahasa agar pembaca atau khalayak tertarik untuk membacanya. Wartawan dapat menampilkan berita yang memiliki nilai kebahasaan yang menarik seperti
menggunakan ungkapan- ungkapan yang maknanya halus maupun makna kasar ataupun memberikan makna penegasan pada kata yang bersifat biasa.
Pengemasan bahasa dalam menginterpretasikan berita sangat berpengaruh pada kenyamanan masyarakat dalam membaca atau mendengar berita. Keingintahuan masyarakat untuk terus menyimak berita dan membentuk persepsi, akan tercipta sesuai dengan tata bahasa dalam berita. “Pandangan kita dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa berbeda pandangan kita tentang dunia pun berbeda “ Sumadiria (2017:6). Kararteristik penulisan berita inilah yang harus dipenuhi oleh setiap media, khususnya media cetak yang memiliki kekuatan dan pemberitaan melalui bahasa dalam tulisan saja di lengkapi gambar, tanpa adanya keterangan berita berupa gambar bergrak ataupun audio..
Pemakaian bahasa dalam berita pada media cetak baik majalah ataupun surat kabar, sudah selayaknya dikemas dengan pemilihan bahasa yang menarik dan berkarakter. Penulisan berita pada media massa umumnya memiliki kekhasan bahasa dalam menyampaikan informasi. Salah satu kekhasan tersebut karena seringkali dijumpai pemakaian disfemia dalam berita politik pada surat kabar.
Menurut Chaer (2014:50) gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan dari pada yang akan digantikkannya disebut penghalusan (eufemia). Kebalikan dari eufemia adalah disfemia yang biasa disebut pengasaran,
yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau berrmaka biasa dengan kata yang maknanya kasar. Disfemia biasanya banyak ditemukan dalam berita kasus, hukum, kriminal, dan politik. Salah satu kekhasan wacana politik dalam surat kabar adalah seringnya muncul bentuk pengasaran bahasa atau disebut dengan disfemia
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa tertarik meneliti permasalahan ini. Penelitian ini menganalisis Penggunaan Bentuk Kebahasaan Disfemia pada Berita Politik dalam Surat Kabar Fajar. Alasan peneliti memilih Surat Kabar karena surat kabar pada tahun 2019 menjadi polemik di masyarakat Sulawesi Selatan karena adanya pemilihan calon anggota Legislatif. Calon anggota Legislatif pada Tahun 2019 khususnya di Kabupaten Bone saya menilai banyak bahasa Calon anggota menjajikan kesejahteraan rakyat. Dari bahasa tersebut saya menilai bahasa dan janji yang di lontarkan oleh calon anggota legislatif tersebut mengandung bahasa – bahasa politik. Maka dari itu saya mengangkat Surat Kabar dalam kolom Berita Politik.
Surat Kabar Fajar merupakan salah satu Penerbit media Cetak yaitu surat kabar yang ada di Makassar. Fajar adalah surat kabar harian yang terbit di Sulawesi Selatan. Surat kabar ini termasuk salam grup Jawa Pos. Kantor Pusatnya terletak di Kota Makassar. Berkat kepedulian harian Fajar terhadap tata ruang disulawesi selatan, Harian Fajar mendapat Penghargaan Media Cetak terbaik Advokasi Tata Ruang. Harian Fajar juga pernah mendapat penghargaan penghargaan media cetak yang baik di
Makassar. Fajar juga sering melakukan Pelatihan Jurnalistik terhadap Masyarakat. Jadi, peneliti mengambil Surat Kabar Fajar karena Sudah banyak mendapat penghargaan baik dari tata ruang maupun percetakan. Surat kabar ini juga sangat dikenal dalam masyarakat.
Alasan peneliti mengambil bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik karena dalam berita politik biasanya banyak didapatkan penggunaan kata yang bentuk kebahasaanya mengandung disfemia atau pengasaran. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian disfemia ditengah masyarakat menjadikan sesuatu yang diberitakan terdengar lebih buruk. Selain itu, penggunaan bentuk disfemia dapat mengubah pola pikir masyarakat, sedangkan kaitannya dengan kesantunan berbahasa, efek pemakaiannya membuat pola berbahasa masyarakat menjadi kasar. Oleh karena itu, penggunaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar ini menarik penulis untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan disfemia yang digunakan, dan nilai rasa yang ditimbulkan.
Hasil Penelitian ini diharapkan membantu Pendidikan dan masyarakat, untuk memahami pola berbahasa yang santun, dan memahami mana kata yang maknanya halus tanpa terpengaruh dengan penggunaan kebahasaan disfemia pada surat kabar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, ada dua rumusan masalah yang dibahas :
1. Bagaimana bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar ?
2. Nilai rasa yang terkandung dalam penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini berupa :
1. Mengindentifikasi penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar.
2. Mendeskripsikan nilai rasa yang terkandung dalam penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan kontribusi kepada pembaca tentang ilmu bahasa (linguistik) dan pengembangan ilmu semantik khususnya dalam penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai pemakaian disfemia dan nilai rasa yang terkandung di dalamnya. Membantu pembaca menafsirkan makna yang terkandung dalam pemakaian disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar. b. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini juga bisa menjadi acuan bagi mahasiswa memiliki sikap kritis dan kreatif terhadap pemakaian disfemia dan penggunaan bahasa. Selanjutnya penelitian ini juga mampu menjadi gambaran bagi mahasiswa untuk mempelajari lebih dalam ilmu semantik khususnya disfemia yang terdapat pada surat kabar.
c. Bagi Pendidikan
Penelitian ini dapat digunakan oleh guru bahasa indonesia sebagai bahan ajar dalam menjelaskan nilai rasa yang terkandung dalam bentuk pemakaian disfemia kepada peserta didik.
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Relevan
Kajian penelitian yang relevan sebagai pebanding dan sekaligus sebagai referensi yang autentik dari sebuah penelitian . suatu penelitian dapat diketahui keasliannya dengan melihat hasil penelitian sebelumnya. Berikut beberapa hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya :
Budiawan (2016) menemukan penggunaan disfemia pada judul berita nasional di TV One dengan pawartos Ngayogyakarta di Jogja tv yaitu (1) penggunaan disfemia hanya berada pada tataran kata saja. (2) nilai rasa pada judul berita di TV One dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, sedangkan nilai rasa pada judul berita di Jogja TV dapat diklasifikasikan menjadi 2 saja. (3) disfemia pada TV One muncul dalam 5 topik berita, sedangkan dalam berita di Jogja TV ditemukan 3 macam topik . (4) penggunaan disfemia pada berita di TV One lebih banyak, lebih ditonjolkan, dan menyerang langsung obyek yang diberitakannya , sedangkan bentuk disfemia pada berita di Jogja TV tidak.
Listiana (2018) melakukan penelitian berjudul “Pemakaian Disfemia pada Rubrik Bola Nasional pada Tabloid Bola”. Hasil yang
ditemukan ada tiga. Pertama, bentuk kebahasaan disfemia yang ditemukan berupa kata, bentuk kebahasaan berupa kata terbagi menjadi empat yaitu ,kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Kedua, nilai rasa yang ditemukan di dalamnya ada lima yaitu, menyeramkan, menakutkan, mengerikan, menjijikan, menguatkan untuk menunjukkan kekasaran. Ketiga, tujuan penggunaan disfemia adalah untuk menunjukkan usaha, menunjukkan perilaku, menunjukkan kejengkelan, dan menguatkan makna.
Persamaan antara peneliti ini dengan Listiana yaitu sama-sama menganalisis makna disfemia dan nilai rasa disfemia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sumber dan kajian penelitian. Sumber penelitian ini adalah berita politik pada surat kabar Fajar.
Rifa‟i (2012) meneliti “ Analisis Disfemia dalam Tajuk Kencana Koran Kompas edisi Januari 2011 serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Penelitian Rifa‟i bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan makna disfemia dalam tajuk kencana Kompas edisi Januari 2011. Hasil penelitian dinilai memiliki relevansi yang baik sebagai bentuk implikasi dalam kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Data yang diperoleh dianalisis dan dideskripsikan dengan mengacu pada teori- teori perubahan disfemia. Penulisan menggunakan metode triangulasi untuk menhuji keabsahan data. Hasil
penelitian membuktikan bahwa bentuk – bentuk disfemia dalam tajuk kecana terdiri dari bentuk kata, frasa dan ungkapan. Hasil penelitian ini juga mempunyai implikasi positif terhadap pembelajaran. Hal ini didasari kriteria yang ada di dalam penelitian ini sudah sejalan dengan kompetensi dasar yang terdapat pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Penelitian ini dengan penelitian Rifa‟i memiliki persamaan, yaitu meneliti dengan fokus penelitian disfemia mengenai bentuk disfemia. Perbedaan penelitian ini dengan peneliti Rifa‟i, yaitu penelitian Rifa‟i meneliti tentang bentuk disfemia pada taiuk kencana koran Kompas dan implikasinya pada pembelajaran di SMA. Sedangkan Penelitian ini mengkaji penggunaan bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar dan nilai rasa yang adapada bentuk kebahasaan disfemia.
Persamaan antara peneliti ini dengan Istiana yaitu sama-sama menganalisis makna disfemia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sumber dan kajian penelitian. Sumber penelitian ini adalah berita politik pada surat kabar Fajar.
Hadi Saputro (2015) meneliti “Bentuk Pengasaran (disfemia) dalam Bahasa Indonesia pada Wacana Politik di Media Cetak dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Berdasalkan hasil peneliti ditemukan, Pertama, bentuk disfemia dilihat dari nilai rasa yaitu nilai rasa menguatkan, menakutkan, menyeramkan,
dan mengerikan. Kedua, jenis kalimat yang muncul ada tiga kategori kalimat, yaitu ; kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat suruh. Ketiga, bentuk pengasaran bahasa dapat menjadi pembelajaran guru bahasa indonesia dalam pembelajaran penggunaan bahasa, seperti penggunaan diksi, kalimat efektif dan etika berbahasa.
Persamaan antara peneliti ini dengan peneliti lain yaitu sama-sama menganalisis makna disfemia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sumber dan kajian penelitian. Sumber penelitian ini adalah berita politik pada surat kabar Fajar.
Erviana Dewi (2018) meneliti dengan judul Disfemia pada Komentar Akun Instagram Mimi Peri. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk disfemia pada komentar akun instagram mimi.peri. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini ungkapan disfemia pada komentar akun instagram mimi.peri. Data penelitian adalah kata, frasa, dan kalimat yang mengandung disfemia pada komentar akun instagram mimi.peri. Data yang di analisis dalam penelitian ini berjumlah 29 data. Sumber data penelitian ini adalah komentar pada akun instagram mimi.peri. Pengumpulan data penelitian dengan metode simak dan catat, yakni membaca komentar akun instagram mimi.peri selanjutnya dilakukan pencatatan kata, frasa, dan kalimat yang mengandung disfemia. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analisys). Hasil penelitian menunjukkan bentuk disfemia pada komentar
akun instagram berupa kata, frasa, dan kalimat. (1) Bentuk disfemia berupa kata: banci, anjing, iblis, pelakor, bencong, kuntilanak, najis, dajjal, bangsat, kiamat, tai, dan siluman. (2) Bentuk disfemia berupa frasa: setan manusia, pengikut dajjal, kayak babi, mirip setan, banci bertitit, kayak orang gila, iblis betina, dan buluk banget. (3) Bentuk disfemia berupa kalimat: aku menetas jadi peri, itu muka apa rosokan?, irungmu kaya kupu-kupu, putri terkutuk 2018, manusia laknat penyebar virus perusak generasi bangsa, kayak burung merak, cantiknya ngalahin ratu iblis, mukanya jaman old, dan pergi ke wc cium tai.
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa bentuk penggunaan disfemia dari nilai rasa yaitu nilai rasa menguatkan, menakutkan, menyeramkan, dan mengerikan.
Penelitian ini dengan penelitian Erviana memiliki persamaan yang terletak pada nilai rasa disfemia, tetapi Erviana hanya menggunakan tiga bentuk nilai rasa disfemia dan tidak mengklasifikasikan bentuk - bentuk disfemia. Sedangkan penelitian ini menggunakan lima nilai rasa disfemia dan mengkalisifikasikan disfemia.
2. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Karena bahasa merupakan alat komunikasi untuk berinteraksi dengan satu sama lain. Itulah mengapa bahasa menjadi beberapa faktor krusial dalam kehidupan masyarakat ada beberpa pengertian bahasa menurut para ahli. Syamsuddin (2017:5) bahasa memiliki dua pengertian.
Pertama, bahasa ialah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran serta perasaan, keinginan, dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk memengaruhi serta dipengaruhi. Kedua, bahasa ialah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik ataupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga serta bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Tarigan (2013:7) beliau memberikan dua defenisi bahasa. Pertama bahasa ialah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga sistem generatif. Kedua bahasa ialah seperangkat lambang – lambang mana suka ataupun simbil-simbol arbirter.
Santoso (2016:1) bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Kridalaksana dalam Chaer (2014:32) menyatatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem bunyi bermakna yang dipergunakan untuk berkomunikasi oleh kelompok manusia. Menurut Chaer (2014:34) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbirter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai sebuah sistem, maka bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat. Bila aturan, kaidah, atau pola ini dilanggar, maka komunikasi dapat terganggu. Lambang yang digunakan dalam sistem bahasa adalah berupa bunyi, yaitu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Karena lambang yang digunakan berupa bunyi, maka yang dianggap primer di dalam bahasa adalah
bahasa yang diucapkan, atau yang sering disebut bahasa lisan. Karena itu pula, bahasa tulisan, yang walaupun dalam dunia modern sangat penting, hanyalah bersifat sekunder. Bahasa tulisan sesungguhnya tidak lain adalah rekaman visual, dalam bentuk huruf-huruf dan tanda-tanda baca dari bahasa lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan lambang bunyi dan alat untuk berkomunikasi manusia yang diucapkan melalui alat ucap manusia yang terkontrol dalam keadaan sadar.
3. Semantik
Kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau istilah ini tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana, dibangun oleh kalimat, satuan kalimat dibangun oleh klausa, satuan klausa dibangun oleh frase, satuan frase dibangun oleh kata, satuan kata dibangun oleh morfem, satuan morfem dibangun oleh fonem, dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun membangun itu, kita bisa bertanya dimana letak semantik? Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada diseluruh atau disemua tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Chomsky dalam Chaer (2014:285) menyatakan betapa pentingnya semantik dalam linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dri studi linguistik
menjadi semarak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek nyang setaraf denagan bidang – bidang srudi linguistik lainnya
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, Sema (nomina) yang berarti tanda atau lambang, dan verba Samaino yang bisa disebut sebagai menandai atau melambangkan. Semantik merupakan cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung dalam bahasa. Menurut Kridalaksana (2014:186) menjelaskan pengertian semantik yaitu bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistikyang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain semantik adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari tentang makna atau arti. Semantik Mengandung studi tentang makna yang merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkat tertentu. Maksudnya apabila komponen bunyi menduduki pertama, tata bahasa pada tingkat kedua sedangkan komponen makna menduduki tingkat yang terakhir. Hubungan ketiga komponen tersebut karena bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak mengacu pada lambang – lambang yang memiliki tatanan bahasa memiliki
bentuk dan hubungan yang mengasosiasikan adanya makna (Aminuddin, 2013:24).
Tarigan (2015:10) Semantik adalah menelaah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.
Menurut Chaer (2014:45) Dalam semantik yang dibahas adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada diluar bahasa. Sedangkan menurut Djajasudarma (2012:20) menyatakan bahwa semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menutut sistem penggolongan.
Berdasarkan defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna kata dan makna kalimat serta sebagai alat dalam memberikan simbol pengetahuan pada kosakata dari suatu bahasa dan strukturnya untuk mengembangkan arti yang lebih terperinci sehingga dapat dikomunikasikan dalam bahasa. Semantik pada dasarnya sanagat bergantung pada dua kecenderungan. Pertama, makna bahasa dipengaruhi oleh konteks diluar bahasa, benda, objek dan peristiwa yang ada di dalam semsta. Kedua, kajian makna bahasa ditemukan oleh konteks bahasa, yakni oleh aturan kebahasaan suatu bahasa.
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. mengungkapkan makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengaran atau pembaca karena ransangan aspek. Aspek bentuk adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera yaitu melihat atau mendengar. Pada waktu seseorang berteriak “tolong” timbul reaksi dalam fifkiran kita “ada seseorang yang membutuhkan pertolongan”. Jadi bentuknya adalah “tolong” dan maknanya adalah “reaksi seseorang yang mendengar”. Hal ini senada dengan makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:703) makna diartikan (1) arti; (2) pembaca atau penulis; (3) pengertian yang diberikan kepada bentuk kebahasaan. Menurut Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2014:286) setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan “wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian).
Makna itu sendiri berada di balik kata, tetapi dari tataran Morfologi lebih merupakan studi untuk menmukan kesatuan artibukan mempelajari makna itu sendiri (Sugiono 2015:254). Pateda (2010:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2010:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian
Aminuddin (2015:55) menyatakan bahwa makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama pemakai bahasa dengan dunia luar sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui tiga pokok yang tercakup didalamnya. (1) Makna adalah hasil hubungan antara bahasa dan dunia luar. (2) Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan pemakai, serta (3) Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
Berdasarkan berbagai pernyataan diatas dapat disimpulkan makna adalah maksud pembicara atau penulis yang diberikan kepada bentuk berupa kata, gabungan kata, maupun satuan yang lebih besar lainnya berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatari, dan intonasi.
5. Perubahan Makna
Kridalaksana dalam chaer , (2014:193) mengatakan perubahan makna adalah kata dalam sejarah suatu bahasa dan dalam kontak dengan bahasa-bahasa lain. Menurut Tukiran dalam Hasibuan, (2014:49) menjelaskan perubahan makna yang menyangkut banyak hal. Perubahan makna yang dimaksud di sini meliputi: pelemahan, pembatasan, penggantian, penggeseran, perluasan dan juga kekaburan makna.
Djajasudarma, (2012:76) mengatakan perubahan makna seperti dinyatakan terdahulu bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan makna antara lain sebagai akiba,jnt perkembangan bahasa.
Chaer (2014:310) secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini tidak berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata sja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antar lain :
a. Perkembangan dalam bidang ilmu teknologi
Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermkna B atau bermakna C . Umpanya, kata sastra pada mulanya bermakna tulisan, huruf lalu bermakna bacaan, kemudian berubah lagi menjadi makna buku yang baik isinya dan baik pula bahsanya. Selanjutnya berkembang lagi menjadi karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif. Perubahan makna kata sastra seperti yang kita sebutkan itu adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra itu dalam ilmu susastra. Perkembangan dalam bidang teknologi juga menyebabkan terjadinya perubahan makna kata. Misalnya, dulu kapal – kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu muncullah istilah berlayar dengan makna melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar. Namun meskipun tenaga penggerak kapal sudah diganti
dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih tetap digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.
b. Perkembangan Sosial Budaya
Perkembangan dalam masyarakat berkenan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara misalnya pada mulaya berarti seperut atau orang yang lahir dari kandungan yang sama. Tetapi kini kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain sebagai kata sapaan, sederajat baik usia maupun kedudukan sosial.
c. Perbedaan Bidang Pemakaian
Kosakata memiliki makna yang hanya dikenal dalam bidang tertentu oleh pemakaian sehari – hari dapat digunakan atau dipakai dalam bidang lain dan menjadi kosakata umum.dengan demikian terjadilah sebuah perubahan dari bidang tertentu kebidang yang lain. Misalnya kata membajak yang berasal dari bidang pertanian, seperti pada frase membajak sawah, kini telah biasa digunakan dalam bidang lain dengan makna melakukan kekerasan atau paksaan untuk memperoleh keuntungan seperti tampak dalam frase membajak pesawat dan kaset bajakan.
d. Pertukaran Tanggapan indra
Gejala yang berhubungan dengan bunyi atau suara maka ditangkap manusia dengan indra pendengaran. Selanjutnya segala hal yang ada di dunia berupa wujud yang dapat dilihat ditangkap
menggunakan indra penglihatan yakni mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia yang diutarakan lewat bahasa. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi di tanggap oleh alat pendengar yaitu telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas.
e. Adanya Asosiasi
Makna yang baru muncul berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Misalnya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat, maka asalnya adalah‟ sampul surat‟. Kedalam amplop itu selain bisa dimasukkan surat tetapi bisa juga dimasukkan benda lain seperti uang. Oleh karena itu dalam kalimat “Beri saja amplop maka semua urusanmu itu beres”. Dalam kalimat tersebut amplop yang dimaksudkan bukanlah surat melainkan berisi uang yang berarti sogokan.
Aminuddin (2003:134) menyatakan bahwa keberadaan makna dalam suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari kualitas pengalaman, perkembangan ilmu pengetahuan, maupun tingkat sosial sosial budaya masyarakat pemakainya. Dengan kata lain, perubahan makna suatu bahasa dipengaruhi oleh perkembangan dan budaya masyarakat pemakainya. Perubahan makna dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah “makna”, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi makna lain.
2) Menyempit
Perubahan makna menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya mempunyai makna yang cukup luas kemudian berubah menjadi terbatas.
3) Perubahan Total
Makna perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna aslinya.
4) Penghalusan (Eufemia)
Perubahan makna penghalusan adalah gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk nentuk tang dianggap memiliki makna yang lebih halus.atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Misalnya kata penjara atau bui diganti dengan ungkapan yang lebih halus yaitu Lembaga.
5) Pengasaran (Disfemia)
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran atau disfemia, yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar.
6. Disfemia
Menurut Chaer (2014:144) kebalikan penghalusan adalah pengasaran atau disfemia, yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan, misalnya, kata atau ungkapan, masuk kotak dipakai untuk mengganti kata kalah seperti dalam kalimat Liem Swie King sudah masuk kotak, kata mencaplok dipakai untuk mengganti mengambil dengan begitu saja seperti dalam kalimat “Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu”.
Namun banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tetapi sengaja digunakan untuk lebih memberi tekanan tanpa terasa kekasarannya. Misal, kata mencuri yang dipakai dalam kalimat “Kontingen Suriname berhasil mencuri satu medali emas dalam kolam renang”. Padahal sebenarnya perbuatan mencuri adalah salah satu tindak kejahatan. Wijana (2011:79) mengungkapkan bahwa disfemia merupakan penggunaan bentuk-bentuk kebahasan yang dimiliki nilai rasa tidak sopan atau yang ditabukan. Kata-kata yang memilik komponen semantis yang negatif dapat digunakan oleh penutur untuk menyerang orang lain. Penggunaannya menimbulkan sebuah penekanan atau pemberi nilai tambah yang kasar terhadap suatu bahasa. Penyampaian yang bernilai kasar tersebut akan memperjelas makna atau maksud dari tuturan yang disampaikan.
Disfemia biasanya digunakan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menghujat atau menyatakan kejengkelan seseorang.
Bentuk disfemia sering digunakan oleh seseorang dengan tujuan untuk lebih menarik perhatian orang lain. Dalam kehidupan sehari – hari, bentuk disfemia sering dilakukan dalam percakapan biasa, namun lebih sering digunakan dalam berita-berita atau surat kabar. Pemakaian disfemia pada surat kabar sering digunakan oleh penulis maupun redaksi sebagian bentuk kreatif yang bertujuan untuk mengeraskan kata atau memberi kesan yang mencekam sehingga isi bacaan memiliki makna yang dapat menarik minat pembaca.
b. Bentuk Disfemia
Menurut Ramlan (2016:27) bentuk kebahsaan merupakan bentuk-bentuk baik arti leksikal maupun gramatikal. Penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan disfemia terdapat dalam bentuk-bentuk :
1) Kata
Kata adalah unit bahasa yang terdiri dari satu atau beberapa lafal yang diucapkan atau dipresentasi secara tertulis. Kata berfungsi pembawa makna utama. Kata juga terdiri dari satu atau beberapa moerfem dan merupakan unit terkecil dalam kalimat yang penggunaanya bisa independen atau penggabungan dari dua kata atau tiga unit kata. Beberpa para ahli berpendapat :
Menurut Tata Bahasawan dalam Chaer (2014:162) kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Chaer (2014:163) berpendapat bahwa kata merupakan bentuk yang kedalam
mempunyai susunan fonologi yang stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas dalam kalimat.
Menurut Ramlan (2016:33) kata sebagai satuan bahasa yang terkecil dapat diucapkan secara berdikari. Maksud berdikari bahwa satuan bahasa terkecil yang memiliki sifat bebas, merdeka, independen, lepas, dan mandiri. Kata tersebut merupakan unsur elemen dalam suatu bahasa yang berbentuk lisan maupun tulis sebagai realisasi pikiran atau perasaan dan memiliki arti yang dapat digunakan dalam berbahasa. Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kata merupakan satuan terkecil yang dapat berdiri sendiri yang mempunyai arti. Chaer (2014: 114) mencontohkan bentuk disfemia berupa kata, yaitu kata mendepak dan mencaplok.
(a) Dia berhasil mendepak Bapak A dari kedudukannya. Kata mendepak merupakan disfemia untuk mengganti kata mengeluarkan. (b) Dengan seenaknya Isra el mencaplok wilayah Mesir.Kata mencaplok merupakan disfemia untuk mengganti “mengambil dengan begitu saja”.
2) Frase
Menurut Chaer (2014:222) frase adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yangmengisi salah satu fungsi sintaksis dalam kalimat. Satu hal yang perlu diingat, karena frase itu mengisi salah satu fungsi sintaksis, maka satu unsur frase itu tidak dapat dipindahkan
“sendirian”. Jika ingin dipindahkan, maka harus dipindahkan secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.
Hockett dalam Hastuti (2014:14) frase adalah kontruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Namun defenisi ini banyak yang tidak setuju oleh kaum tranfomasi karena frase dapat saja terdiri dari satu kata, asalkan dari satu morfem. Dengan demikian menurut soeparno defenisi frase adalah suatu kontruksi gramatikal yang secara potensial terdiri atas dua kata atau lebih, yang merupakan unsur dari suatu klausa dan tidak bermakna proposisi.
Berdasarkan kelas unsur menurut Soeparno dalam Hastuti (2014:15) frase dapat dibedakan atas frase nomina, frase verba, frase adjektiva,frase numeralia, frase preposisi, dan frasa konjungsi.
(a) Frasa Nomina adalah frasa yang intinya kata benda. Contoh : Rumah ini milik bapak Hasan
(b) Frasa Verba adalah frasa yang memiliki unsur pusat berupa kata kerja dan ditandai dengan adanya afiks verba. Frasa verba dapat ditambahkan imbuhan kata „sedang‟ untuk verba aktif dan kata „sudah‟ untuk verba yang menyatakan keadaan. Frasa verba tidak dapat diberikan imbuhan kata „sangat‟ dan biasanya menduduki fungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat. Contoh : dia berjalan memutari kompleks
(c) Frasa adjektiva adalah frasa yang memiliki unsur pusat berupa kata sifat. Unsur dalam frasa adjektiva dapat diberikan imbuhan ter- (untuk
mewakili kata paling). Biasanya menduduki fungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat. Contoh : Panci itu sangat panas.
(d) Frase Numeralia merupakan frasa yang memiliki unsur pusat berupa kata numeralia atau kata kata yang menyatakan suatu bilangan atau jumlah tertentu. Contoh : Tiga Puluh tangkai Bunga
(e) Frase Preposisi adalah frasa yang ditandai dengan adanya preposisi atau kata depan sebagai penunjuk/indikator dan diikuti kata atau kelompok kata, yang bukan klausa, yang berdiri sebagai petanda. Contoh : di depan rumah
(f) Frasa konjungsi adalah frasa yang ditandai dengan adanya konjungsi atau kata penghubung. Contoh : mereka terdiam.
3) Ungkapan
Nurhayati (2016:9) Ungkapan adalah kelompok kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur). Untuk dapat mengetahui apakah kata itu termasuk ungkapan atau tidak, maka harus ada konteks kalimat selanjutnya. Menurut Pateda (2001:230) meskipun antara idiom dan ungkapan terdapat perbedaan nuansa makna , hal yang berhubungan dengan idiom telah dimasukkan kedalam pengertian ungkapan.
Jadi dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa ungkapan atau idiom adalah gabungan kata yang membentuk arti baru yang tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya . Contoh bentuk kebahasaan yang berupa frasa. Lim Swi King sudah masuk kotak, Chaer
(2007:154) ungkapan pada sudah masuk kotak itu termasuk kasar, karena biasanya yang dimasukkan kedalam kotak itu adalah barang atau benda. Ungkapan masuk kotak menggantikan kata kalah yang lazim digunakan. c. Kelas Kata Bahasa Indonesia
Menurut Chaer (2014:166-167) istilah lain untuk penggunaan klasifikasi kata yaitu penggolongan kata. Chaer mengatakan bahwa kelas kata dapat diklasifikasikan menjadi verba, nomina, dan adjektiva. Sedangkan menurut Ramlan (2016:43) mengatakan bahwa kelas kata adalah perangkat kata yang sedikit banyak berperilaku sintaksis. Subkelas kata adalah bagian dari suatu perangkat kata yang berperilaku sintaksis sama. Kridalaksana (2016:51) membagi kelas kata menjadi tiga, dilihat dari bentuknya dalam bahasa indonesia.
1) Verba
Kridalaksana (2016:51) membagi verba menjadi dua yaitu verba dasar bebas dan verba turunan. Verba dasar bebas yaitu verba yang berupa morfem atau kata dasar , yang belum mendapat imbuhan. Contohnya makan, minum, jalan, dan sebagainya. Sedangkan verba turunan adalah verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau berupa panduan leksem. Sebagai bentuk turunan dapat ditemukan :
(a) Verba berafiks : Bermain (b) Verba reduplikasi : jalan – jalan
(c) Verba proses gabung : tersenyum-senyum (d) Verba majemuk : Cuci mata
2) Adjektiva
Adjektiva adalah kata yang menerangkan kata benda. Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk :
(a) Bergabung dengan partikel tidak (b) Mendampingi nomina,
(c) Didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (d) Mempunyai ciri-ciri morfologis, atau
(e) Dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an seperti kehadiran dari kata dasar hadir , kemalaman dari kata dasar malam.
Dilihat dari bentuknya adjektiva dibedakan menjadi :
(1) Adjektiva dasar yaitu kata yang dapat diuji dengan kata sangat dan lebih. Misalnya : Mahal, jahat, jauh
(2) Adjektiva turunan terbagi menjadi adjektiva turunan berafiks misalnya, terhormat. Sedangkan adjektiva turunan bereduplikasi misalnya, elok-elok.
3) Nomina
Menurut Ramlan (2014:163) nomina adalah kelas kata yang dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa. Nomina secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Dilihat dari bentuknya nomina dibedakan menjadi :
(a) Nomina dasar contonya : buku, radio, batu , pulpen dan sebagainya. Dapat dilihat bahwa kata yang tertera pada contoh diatas merupakan kata benda
(b) Nomina turunan terbagi menjadi, nomina berafiks dan nomina bereduplikasi. Contohnya : keuangan (afiks) dan rumah-rumah (reduplikasi).
d. Bentuk Nilai Rasa Disfemia
Menurut Masri, dkk (2017:74-77) menyatakan bahwa dilihat dari nilai rasa disfemia dalam surat kabar cenderung, menuju pada nilai rasa yang dianggap menyeramkan (seram), menakutkan, menguatkan, menjijikkan, dan mengerikan. Makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata. Nilai rasa itu bersifat positif (spontan, hormat, dan baik.) dan dapat bersifat negatif (kasar, tidak sopan, dan porno). Dicontohkan oleh Pateda (2001:29-30) kata buaya yang muncul pada urutan “kata kamu seorang buaya darat”. Kata buaya menimbulkan perasaan yang tidak enak jika didengar. Hal tersebut karena kata buaya dihubungkan dengan perilaku yang buas dan dianggap sebagai suatu penghinaan. Beberapa nilai yang di ungkapkan oleh Masri,dkk (2017:17-18) yakni ;
1. Menyeramkan
Nilai rasa menggambarkan tentang sesuatu hal atau suasana atau keadaan yang menyeramkan. Contoh : Pelaku bejat Asnawi di tengah
lapangan membuat geram Afrizal. Kata geram tersebut memiliki nilai rasa menyeramkan karena merujuk pada perlakuan seseorang di tengah lapangan.
2. Mengerikan
Nilai rasa mengerikan menggambarkan tentang hal-hal lazim yang mengerikan dan tidak lazim dilakukan oleh manusia. Contohnya : Seorang Pelajar dianiaya oleh orang yang tak dikenal di trotoar jalan. Kata dianiaya memiliki nilai rasa mengerika karenamerujuk pada tindakan seseorang yang mengerikan kepada orang lain.
3. Menakutkan
Nilai rasa menakutkan menggambarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan mahluk gaib yang ditakuti manusia.
4. Menjijikkan
Nilai rasa menjijikkan menggambarkan hal-hal yang jorok, yang apabila diucapkan seseorang akan mendapatkan celaan. Contohnya : banyaknya kudis dalam persepakbolaan makassar terungkap. Kata kudis merupakan hal yang menjijikkan karena merupakan penyakit kulit yang jorok.
5. Menguatkan
Nilai rasa menguatkan merupakan nilai rasa yang lebih banyak memberikan tekanan pada hal tertentu. Pemakaian disfemia ini hanya untuk menguatkan saja. Contohnya : PSM membantai Persija dengan Skor
4-1. Kata membantai merupakan kata yang menguatkan dari kata asal mengalahkan .
Shipley (dalam Chaer, 2014: 101) menyatakan makna emotif adalah, “makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai atau terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan”. Misalnya, kata kerbau yang muncul pada urutan kata engkau kerbau. Kata kerbau menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengar atau mengandung makna emotif. Hal tersebut karena kata kerbau dihubungkan dengan perilaku malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang mendengarnya merasa tersinggung dan perasaannya tidak enak. Begitu juga dengan kata meninggal, mati, tewas, dan mampus yang memiliki makna emotif yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna kognitif yang sama yaitu „tidak lagi bernyawa‟. Orang yang membaca atau mendengar urutan kata Si Ali mampus memperlihatkan perasaan orang yang menuliskannya atau mengucapkannya. Selain itu, juga menimbulkan perasaan tertentu pada pembaca atau pendengar.
Senada dengan contoh di atas, Keraf (2014:160) mencontohkan kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, dan berpulang. Kata-kata tersebut memiliki denotasi yang sama, yaitu „peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya‟. Akan tetapi, kata meninggal, wafat, dan berpulang mempunyai makna emotif tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan. Berbeda lagi dengan kata mangkat yang memiliki makna emotif lain, yaitu mengandung
nilai kebesaran, sedangkan kata gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran.
Contoh yang sama juga diungkapkan Pateda (2010: 224) bahwa kata meninggal bernilai rasa lebih halus jika dibandingkan dengan kata mati. Begitu juga dengan kata korupsi yang bernilai rasa lebih keras daripada urutan kata menggelapkan uang. Contoh lain adalah kata hamil dengan kata bunting. Kedua kata tersebut mengandung makna yang sama. Akan tetapi, kata hamil bernilai lebih halus dibandingkan dengan kata bunting. Seseorang dapat mengatakan atau menuliskan sapi saya sudah hamil atau sapi saya sudah bunting. Akan tetapi, sangat janggal kalau seseorang mengatakan atau menuliskan istri bupati telah bunting.
Keraf (2014: 29) menyatakan makna emotif adalah, “suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional”. Selanjutnya, makna emotif dipakai karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Selain itu, juga untuk memperlihatkan perasaan yang dipendam penulis atau pembicara. Pengertian yang sama juga diungkapkan Pateda (2010: 102) makna emotif adalah, “makna yang terdapat dalam kata yang menimbulkan emosi”. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata peti es, dipetieskan, dan kotak dengan urutan katanya masuk kotak. Kata–kata tersebut dipakai dalam kalimat Usulmu akan kami petieskan; Saran rakyat hanya dipetieskan; Si Dul masuk kotak setelah beberapa tahun menjadi kepala kantor tertentu di Batam. Urutan kata
kami petieskan, dipetieskan, dan masuk kotak, menimbulkan efek emotif bagi orang yang terkena perlakuan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian makna emotif adalah nilai rasa pada makna kata atau frasa yang ditautkan atau ditentukan oleh perasaan, dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral) atau negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan porno) yang dapat menimbulkan emosi. Dengan kata lain, nilai rasa ada karena makna suatu kata atau frasa. Kaitannya dengan disfemia, juga diartikan sebagai makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan.
7. Berita Politik
Kata Politik adalah sangat tua dan ada dalam setiap kosa kata setiap orang. Ia menembusi waktu dan karna sering di pakai dia sangat jadi samar dan umum. Politik bersifat serba hadir dalam multi makna. Banyak defenisi yang sudah dirumuskan Lesswell dan wenstein dalam Ardial (2017:23) merumuskan formula bahwa politik ialah siapa yang memperoleh apa, kapan dan bagaiman cara. Selain itu politik juga dipahami sebagai nilai-nilai oleh orang yang berwenang, kekuasaan dan pemegang kekuasaan. Pengaruh dan tindakan diarahkan untuk mempertahankan dan memperluas tindakan lainnya. Lewat media kita bisa memperoleh informasi dabn pesan tentang lingkungan sosial dan politik.
Semua pesan yang mengandung muatan politik dapat membentuk atau mempetahankan citra politik dan pendapat umum. Media massa dapat
menyampaikan pesan aneka ragam dan aktual tentang lingkungan sosial politik. Surat kabar dapat menjadi medium untuk mengetahui berbagai peristiwa politik yang aktual yang terjadi seluruh penjuru dunia.
B. Kerangka Pikir
Alur penelitian ini dimulai dengan pemahaman dalam tataran ilmu bahasa yang terbagi menjadi empat yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari beberapa bagian tersebut yang paling mengacu pada penelitian ini adalah semantik. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dalam mengucapkan bentuk kata yang maknanya kasar disebut pengasaran atau disfemia.
Disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang karena alasan-alasan tertentu. Selain itu, disfemia biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan. Bentuk pemakaian disfemia dapat dipakai dalam penulisan opini sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan. Hal itu mengingat bahwa pengertian opini adalah anggapan, pendirian atau pendapat yang mengungkapkan suatu sikap, seperti sikap tidak setuju yang diikuti dengan rasa benci, jengkel, dan marah. Berita Politik pada surat kabar Fajar merupakan halaman yang khusus memuat tentang gagasan politik. Semua pesan yang mengandung muatan politik dapat membentuk atau mempetahankan citra politik dan pendapat umum. Media massa dapat menyampaikan pesan aneka
ragam dan aktual tentang lingkungan sosial politik. Dengan demikian, bentuk pemakaian disfemia dimungkinkan dapat ditemukan dalam berita politik surat kabar Fajar. Surat kabar Fajar sudah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Makassar. Banyak kaum cendekiawan, tokoh masyarakat, ahli, atau pejabat yang menantikan berita politik pada surat kabar ini.
Disfemia berarti menggunakan dengan sengaja suatu ungkapan atau kata-kata yang bermakna kasar dan tidak sopan. Selain itu, disfemia bersinonim dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati atau menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Dengan kata lain, pemakaian disfemia adalah upaya penggantian (kata atau bentuk lain) yang bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang dinilai bernilai rasa kasar atau negatif. Dengan demikian, disfemia erat kaitannya dengan nilai rasa, yaitu makna yang dibawa suatu kata.
Disfemia adalah pengganti dari kata-kata halus, sopan atau ramah, atau ungkapan secara kasar dan tidak sopan atau tidak ramah. Selain itu, pengertian disfemia adalah ungkapan yang kasar sebagai pengganti ungkapan yang halus atau yang tidak menyinggung perasaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme Dengan demikian, disfemia dapat dicari penggantinya, yaitu berupa kata atau ungkapan yang lebih halus, lebih sopan, dan lebih ramah.
Berikut penulis sajikan kerangka pikir penelitian yang berjudul “Penggunaan Bentuk Kebahasaan Disfemia pada Berita Politik dalam Surat Kabar.
Semantik
Perubahan Makna
Wacana Berita Politik
Disfemia Klasifikasi Disfemia Bentuk Nilai Rasa Disfemia
Bagan Kerangka Pikir
Temuan
37 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang terangkai dalam suatu kalimat menjadi satu kesatuan bahasa. Bahwa deskriptif kualitatif artinya yang dianalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tetntang hubungan antar variabel. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan objek yang diteliti berdasarkan faktor-faktor kebahasaan. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan, dan mendeskripsikan secara nyata fakta-fakta yang diteliti.
B. Definisi Istilah
1. Bahasa merupakan bahasa merupakan lambang bunyi dan alat untuk berkomunikasi manusia yang diucapkan melalui alat ucap.
2. Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna kata dan makna kalimat serta sebagai alat dalam memberikan simbol pengetahuan pada kosakata dari suatu bahasa dan strukturnya untuk mengembangkan arti yang lebih terperinci sehingga dapat dikomunikasikan dalam bahasa.
3. Makna adalah maksud pembicara atau penulis yang diberikan kepada bentuk berupa kata, gabungan kata, maupun satuan yang
lebih besar lainnya berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatari, dan intonasi.
4. Disfemia, yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar.
5. Surat Kabar adalah merupakan media massa yang mempunyai peran penting dalam masyarakat, karena dapatmenyajikan berita yang baru terjadi
6. Berita politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
C. Data dan Sumber Data
Menurut Sudaryanto (1993:3) data sebagai bahan penelitian, yaitu bahan jadi (lawan dari bahan mentah), yang ada karena pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah). Adapun data pada penelitian ini berupa kalimat yang memiliki bentuk-bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik surat kabar Fajar. Sumber data dalam penelitian menurut Arikontu (2007:129) adalah subjek dari mana data dapat diperoleh
Menurut Sugiyono (2009:173) menyatakan bahwa sumber data dibedakan menjadi dua, yaitu : sumber primer dan sumber sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengepul data.
Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.
1. Sumber Data Primer
Sember data primer dalam penelitian ini berbentuk dokemen yang berupa berita politik dalam surat kabar Fajar . Sedangkan
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berasal dari buku-buku penunjang dan penelitian yang relevan dengan objek penelitian
D. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber data yang telah ditentukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dengan teknik catat Menurut Mahsun (2012:90)
1. Metode Simak
Metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak disini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga dalam penggunaan bahasa secara tertulis.
2. Teknik Catat
teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak. Teknik catat merupakan penyediaan data
dengan cara mencatat data-data yang dijadikan objek penelitian. Dalam hal ini pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak pemakaian bentuk kebahasaan disfemia pada berita politik. Teknik catat merupakan teknik lanjutan dari merode simak, yaitu dilakukan dengan pencatatan hasil penyimakan penggunaan bahasa. Teknik catat digunakan untuk mencatat kalimat yang didalamnya mengandung bentuk disfemia pada berita politik dalam surat kabar Fajar.
E. Teknik Analisis Data
Setelah data diperoleh maka selanjutnya dia bdakan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari berita politik dalam surat kabar yang telah dibaca berulang- ulang di ambil hal-hal yang penting yang sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Dalam proses reduksi peneliti melakukan pemilihan data yang relevan yang mengarah pada pemecahan masalah sehingga mampu mendapatkan gambaran hasil penelitian.
2. Interpertasi Data
Setelah melakukan reduksi, kemudian interpertasi data, yakni menyajikan data melalui deskripsi yang jelas dan bermakna agar data yang akan dideskripsikan mudah unruk dianalis dan
dibaca dalam ungkapan-ungkapan yang menunjukkan penggunaan disfemia pada berita politik dalam surat kabar.
3. Verifikasi data
Tahapan akhir dari teknik analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau penarikan kesimpulan . verivfikasi dilakukan dengan kesimpulan mengenai data yang telah direduksi.
43 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Wacana Berita Politik dalam Surat Kabar Fajar
Bahasa yang digunakan dalam surat kabar mengutamakan kemenarikan bahasa agar pembaca atau pembeli surat kabar mau untuk membacanya . Menurut Rohmadi (2017:27) berita merupakan informasi atas kejadian yang disampaikan kepada orang lain, kejadian yang disampaikan berupa kejadian kejadian yang unik dan menarik. Wartawan menampilkan berita yang memiliki nilai kebahasaan yang menarik seperi menggunakan ungkapan – ungkapan yang maknanya kasar atau memberikan kesan penegasan pada kata yang bersifat biasa.
Wacana politik dalam surat kabar adalah salah satu jenis wacana yang didalamnya berisi hal yang berkaitan dengan dunia politik yakni pembicaraan tentang kekuasaan, pengaruh, dan pembicaraan otoritas. Salah satu kekhasan wacana politik dalam surat kabar adalah muncul bentuk pengasaran bahasa atau disebut disfemia. Bentuk kebahasaan disfemia dalam berita politik pada surat kabar fajar berupa bentuk kata, frase, dan ungkapan. Dalam bentuk frase seperti menjual nama, bentuk ungkapan seperti kucing dalam karung. Komponen yang negatif tersebut merupakan komponen semantis yang negatif atau dapat dikatakan sebagai istilah kasar. Mengasarkan makna dengan tujuan tertentu, bisa saja bertujuan menyerang orang lain, menyatakan rasa jengkel, dan menyatakan rasa
marah. Penggunaanya menggunakan sebuah penekanan atau pemberi nilai tambah yang kasar terhadap suatu bahasa.
Penggunaan disfemia pada penggunaan berita – berita politik dalam surat kabar Fajar ini memberikan nilai rasa yang berbeda – beda sesuai konteks kalimat yang menyertainya dengan topik atau fakta yang disajikan. Menurut Masri, dkk (2017:74-77) menyatakan bahwa dilihat dari nilai rasa disfemia dalam surat kabar cenderung, menuju pada nilai rasa yang dianggap menyeramkan (seram), menakutkan, menguatkan, menjijikkan, dan mengerikan. Makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata. Nilai rasa itu bersifat positif (spontan, hormat, dan baik.) dan dapat bersifat negatif (kasar, tidak sopan, dan porno). Contohnya “kata kamu seorang buaya darat”. Kata buaya menimbulkan perasaan yang tidak enak jika didengar. Hal tersebut karena kata buaya dihubungkan dengan perilaku yang buas dan dianggap sebagai suatu penghinaan.
2. Bentuk – bentuk Pemkaian Disfemia
Berikut ini pemakaian disfemia dalam berita politik dalam surat kabar Fajar.
a. Berupa Kata
Kelompok kata dalam bahasa Indonesia di antaranya meliputi : kata verba, kata ajektiva, dan kata nomina. Bentuk pemakaian disfemia berupa kata yang di temukan pada berita politik surat kabar Fajar yang dipaparkan dalam analisis di bawah ini.
1) Kata Verba
Menurut Kridalaksana (2010:51) kata verba adalah kata yang biasanya digunakan sebagai predikat. Verba terdiri dari Verba Dasar (VD) dan Verba Turunan (VT). Berikut ini adalah kata – kata yang ditemukan pada berita politik dalam surat kabar Fajar.
(1) Ia berasumsi, Sahiruddin Malik adalah bakal calon bupati yang bisa mengancam. Ia ada upaya seperti itu (menjegal) agar tidak maju. (01 Maret 2020)
Kata Menjegal merupakan kata yang menyatakan tindakan. Kata Menjegal menyatakan VT sebab dari morfem bebas jegal mendapat afiks yakni prefiks meN- dan prefiks tesebut sebagai pembentuk kata verba yang subjeknya berperan sebagai penanggap. Dalam KBBI kata menjegal berarti menghalangi atau menjatuhkan karier orang lain dan sebagainya. Kata menjegal yang ada pada surat kabar Fajar secara tidak langsung memiliki makna yang kasar.
(2) Seperti diketahui pilkada Soppeng 2015 lalu, Andi Dulli, sapaannya maju bepasangan dengan Supriansa. Dia mengantongi dukungan Golkar, Gerindra, PDIP, PAN, PKB dan PKS. (02 Maret 2020)
Kata mengantongi menunjukan tindakan aktiv. Mengantongi merupakan kata yang menyatakan perbuatan atau tidakan yang dilakukan oleh suatu subjek. Kata mengantongi termasuk VA karena verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku. Kata mengantongi menyatakan VT berafiks sebab dari morfem bebas kantong mendapat afiks atau imbuhan