• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Aplikasi Arsitektur Biologis Pada Rumah Tradisional Flores "Mbaru Niang"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Aplikasi Arsitektur Biologis Pada Rumah Tradisional Flores "Mbaru Niang""

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beberapa keistimewaan baik secara geografis maupun kebudayaan. Banyaknya suku di Indonesia melahirkan banyak pula kebudayaan yang berpengaruh pada arsitektur rumah tradisional-nya. Selain pengaruh dari budaya, pengaruh lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari aspek lingkungan dimana ia berada. Letak geografis dengan keistimewaan lingkungan-nya masing – masing menjadi tantangan yang dijawab dengan arif oleh nenek moyang kita dalam merancang rumah tradisional-nya serta mengelolah lingkungan-nya.

Bangunan tradisional memiliki karakteristik yang spesifik, bergantung pada ketersediaan bahan bangunan, penguasaan teknologi dan struktur, dan dikerjakan secara gotong royong (Prijotomo, 2010). Dengan demikian bangunan tradisional bukanlah produk barang jadi, namun sangat dipengaruhi peran pemakai, masyarakat, dan perencana (Silas, 1986).

Kearifan lokal para leluhur kita sampai sekarang masih dapat ditemukan pada rumah – rumah tradisional di Indonesia, khususnya pada rumah tradisional Mbaru Niang di Flores. Sikap leluhur kita yang sangat menghargai alam melahirkan kesadaran bahwa setiap kegiatan manusia demi kelangsungan hidupnya dapat berpengaruh terhadap lingkungannya. Tanpa disadari para pendahulu kita telah menerapkan arsitektur biologis pada rumah tradisionalnya. Kesadaran untuk menjaga lingkungan tersebut menjadi sangat penting di masa sekarang ini mengingat daya dukung lingkungan yang semakin lama semakin menurun akibat aktivitas pembangunan.

Arsitektur Biologis pada dasarnya adalah arsitektur yang sesuai dengan penghuni dan iklim setempat. Khususnya pada rumah tradisional Mbaru Niang , didapati terdapat aspek - aspek yang merupakan penerapan arsitektur biologis yang akan didentifikasi dalam penelitian ini.

(2)

Dengan demikian diharapkan penerapan arsitektur biologis yang sederhana ini dapat diterapkan walaupun tidak dapat seluruhnya pada bangunan terutama rumah tinggal di masa sekarang ini.

I.2. RUMUSAN PERMASALAHAN

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

 Kurang diketahuinya lebih detil parameter - parameter konsep Arsitektur Biologis.

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut:

 Mengetahui parameter - parameter konsep Arsitektur Biologis.

 Mengetahui penerapan konsep Arsitektur Biologis pada rumah tradisional di Indonesia , dengan studi kasus rumah tradisional Flores "Mbaru Niang".

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam bidang Arsitektur, yaitu:

 Memberi masukan kepada ilmu arsitektur, terkait dengan pengetahuan Arsitektur Biologis.

 Memberi refrensi kepada perancang ( arsitek ) dalam mendisain bangunan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kebutuhan penghuni.

1.5. BATASAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki beberapa batasan penelitian sebagai berikut:

 Penelitian ini dibatasi pada aspek Arsitektur Biologis yang ada pada bangunan Rumah Tradisional Flores ” Mbaru Niang” yang terdapat di kampung Wae Rebo.

(3)

Bahan Bangunan Konstruksi Bentuk

II.

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 TINJAUAN TENTANG ARSITEKTUR BIOLOGIS II.1.1. Pengertian Arsitektur Biologis

Salah satu upaya agar rancang bangun sebuah karya arsitektur senantiasa memperhatikan aspek lingkungan dan dapat meningkatkan kualitas kehidupan adalah dengan penerapan konsep arsitektur biologis. Istilah arsitektur biologis diperkenalkan oleh beberapa ahli bangunan, antara lain: Prof. Mag. Arch, Peter Schmid, Rudolf Doernach dan Ir. Heinz Frick.

Arsitektur biologis berarti ilmu penghubung antara manusia dan lingkungannya secara keseluruhan. Arsitektur biologis mempelajari pengetahuan tentang hubungan integral antara manusia dan lingkungan hidup.

Menurut Heinz Frick, arsitektur biologis juga merupakan arsitektur yang sesuai dengan penghuni dan iklim setempat. Pada arsitektur biologis, perencanaan tidak lagi bertolak dari rencana ke konstruksi dan akhirnya ke bahan bangunan, melainkan bahan bangunan menentukan konstruksi yang optimal dan konstruksi mempengaruhi bentuk (Heinz Frick, 1994).

Gambar 1. Skema Sistem Perencanaan Arsitektur Biologis (Sumber: Frick, Heinz, 1994)

Pada gambar 1. dijelaskan bahwa perencana memulai kegiatan pembangunan dengan meng-identifikasi-kan bahan bangunan lokal setempat yang tersedia serta dapat dimanfaatkan. Selain diidentifikasikan perlu juga dipertimbangkan faktor pengadaan bahan - bahan bangunan tersebut, seperti: transportasi material, penyimpanan material, dan lain -lain. Selanjutnya ditentukan metode konstruksi yang sesuai dengan bahan

(4)

bangunan lokal tersebut. Sebagai langkah akhir adalah merancang bentuk serta disain dari bangunan.

II.1.2. Karakteristik Arsitektur Biologis

Pada arsitektur biologis terdapat beberapa karakteristik, antara lain sebagai berikut (Fanny, 2015):

 Umumnya diaplikasikan pada bangunan tradisional, seperti: rumah maupun bangunan tradisional

 Umumnya merupakan bangunan sederhana

 Memanfaatkan bahan bangunan lokal setempat

Umumnya merupakan genius local masyarakat setempat terutama dalam hal teknologi dan disain

 Memiliki tiga indikator utama yang sangat mempengaruhi, yaitu: lingkungan, manusia / penghuni dan bangunan itu sendiri

Dari karakteristik – karakteristik diatas terdapat sebuah karakteristik yang menarik, yaitu bahwa arsitektur biologis umumnya merupakan hasil genius local masyarakat setempat dimana dengan menggunakan bahan – bahan bangunan yang diperoleh dari wilayah sekitarnya masyarakat tersebut mampu menciptakan konstruksi yang sesuai dalam rangka membuat disain rumah ataupun bangunan tradsional. Penerapan disain tersebut disikapi dengan bijak melalui pertimbangan – pertimbangan akan lingkungan dan penghuninya sendiri yang teraplikasi dalam disain maupun bentuk bangunannya.

II.1.3. Indikator - Indikator dan Variabel - Variabel dalam Arsitektur Biologis

Dalam memahami arsitektur biologis, maka terlebih dahulu memahaminya dari beberapa indikator yang terkandung pada arsitektur biologis. Indikator - indikator tersebut adalah:

1. Lingkungan, yang memiliki variabel – variabel sebagai berikut: a. Iklim dan suhu

b. Site / tapak c. Vegetasi d. Tanah e. Air

2. Bangunan dengan variabel – variabel sebagai berikut: a. Denah

(5)

b. Bahan / material bangunan c. Konstruksi bangunan

3. Manusia / penghuni dengan variabel – variabel sebagai berikut: a. Kebutuhan dasar manusia / penghuni

b. Kebiasaan penghuni / kebudayaan / adat istiadat c. Mata pencaharian

Dengan memahami indikator - indikator maupun variabel - variabel diatas maka akan memudahkan dalam melakukan Identifikasi arsitektur biologis secara sistematik. Pada gambar 2. dijelaskan bahwa baik indikator - indikator maupun variabel - variabel tersebut merupakan unsur - unsur pembentuk arsitektur biologis.

Setiap indikator lingkungan, indikator bangunan dan indikator manusia saling memiliki hubungan timbal balik dalam arsitektur biologis, seperti skema yang terlihat pada gambar 3. Hal ini dapat dijelaskan secara sederhana bahwa bangunan dimana ia berada otomatis dipengaruhi oleh lingkungannya, sebaliknya lingkungan akan terpengaruh oleh bangunan - bangunan yang terdapat didalamnya. Selain pengaruh lingkungan terdapat juga pengaruh dari kebudayaan / adat istiadat serta mata pencaharian penghuninya.

INDIKATOR VARIABEL

ARSITEKTUR BIOLOGIS

(6)

BANGUNAN LINGKUNGAN

PENGHUNI

Gambar 2. Skema Indikator - Indikator dan Variabel - Variabel Arsitektur Biologis

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2014)

Gambar 3. Skematik hubungan(Pengaruh) Indikator - Indikator pada Arsitektur Biologis

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2014)

Aplikasi arsitektur biologis ternyata telah dimulai sejak dahulu, dimana dapat ditemukan pada rumah – rumah tradisional di berbagai negara seperti yang terdapat di Indonesia khususnya rumah tradisional Flores “Mbaru Niang” yang akan menjadi obyek penelitian ini.

II.2. TINJAUAN TENTANG MBARU NIANG DI FLORES

Berdasarkan penelitian arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur, diketahui bahwa dalam membangun bangunan tradisional didasari atas pengetahuan tidak tertulis dan bersifat local genius. Oleh karena itu

LINGKUNG AN Iklim dan Site / Tapak Vegetasi Tanah Air Denah BANGUNAN ARSITEKTUR BIOKOGIS Material/bah an Bangunan Konstruksi Bangunan Kebutuhan Dasar Manusia PENGHUNI Adat Istiadat / KebudayaanMata Pencaharian

(7)

pelestarian bangunan tradisional menjadi sangat spesifik (BPTPT Denpasar, 2008). Pada kabupaten Manggarai, terdapat beberapa kampung yang masih mempertahankan rumah tradisional Manggarai; bangunan panggung berlantai lima, yaitu: Kampung Wae Rebo, Todo, dan Ruteng Pu'u. Ketiga kampung ini memiliki beberapa perbedaan pada rumah tradisionalnya dan diantara ketiganya kampung Wae rebo merupakan kampung yang paling ter-isolasi dari pengaruh luar. Letaknya yang masih di pedalaman dan belum dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor membuat kampung ini masih terjaga keasliannya baik dari segi arsitektur-nya maupun adat - istiadatnya.

II.2.1. Lingkungan

Lingkungan Wae Rebo dapat dilihat dari beberapa unsur, yaitu sebagai berikut:

1. Iklim dan Suhu di Wae Rebo

Kampung Wae Rebo memiliki suhu udara rata - rata luar berada pada angka 24C. Angka ini dapat mencapai titik terendah 18C. Memiliki iklim tropis dengan dua musim yang berbeda, yaitu musim kering (April -Oktober) dan musim basah (November - Maret). Wilayah ini memiliki kelembaban 58 - 95%, dan kecepatan angin 20 km/jam.

2. Site / Tapak Kampung Wae Rebo

Kampung Wae Rebo merupakan sebuah kampung adat yang terletak di kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lihat gambar 4.). Berada diketinggian 1.200 m diatas permukaan laut.

Kampung Wae Rebo diapit oleh pegunungan Poncoroko yang merupakan pegunungan vulkanik dengan ketinggian 2400 m diatas laut dan hutan lebat serta berada jauh dari kampung - kampung tetangga. Kampung Wae Rebo dikukuhkan oleh enklave sejak masa penjajahan Belanda.

(8)

Gambar 4. Peta Flores

(Sumber: National Geographic, 2006)

Lokasinya sangat terlindung karena dikelilingi oleh beberapa puncak bukit. Antara desa yang satu dengan yang lainnya terpisah lembah yang menganga diantara bukit yang berkerudung kabut di ujung pohonnya. Kampung ini begitu terpencil sehingga warga desa di satu kecamatan masih banyak yang tidak mengetahui keberadaan kampung ini. Akses untuk menuju kampung ini tidak dapat dilalui kendaraan bermotor melainkan jalan setapak (Lihat gambar 5 dan 6.) yang menembus sungai, hutan dan pegunungan.

Tapak hanya seluas 6500 m2 dan hanya terdapat tujuh Mbaru Niang (sesuai dengan ketentuan adat) yang membentuk formasi setengah lingkaran dan mengelilingi batu Compang (Lihat gambar 7.).

Desa Wae Rebo bisa ditempuh 4 jam perjalanan darat dari Ruteng dengan medan berkelok menuju Desa Dintor. Selanjutnya dari desa Dintor harus ditempuh melalui jalan yang menanjak, melewati pematang sawah dan jalan setapak dari Sebu sampai Denge. Perjalanan masih berlanjut menuju sungai Wae Lomba. Barulah setelah sungai itu akan tiba di Desa Wae Rebo dimana kampung ini sendiri berada pada permukaan yang datar.

(9)

Gambar 5. Jalan setapak menuju kampung Wae Rebo

(Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/merintis-wisata-berkelanjutan-di-flores)

3. Vegetasi

Berada pada daerah pegunungan vulkanik dan dialiri oleh sungai menjadikan kampung ini menjadi wilayah yang subur. Khususnya pada sekitar kampung Wae rebo, banyak ditumbuhi oleh tanaman ladang, seperti: kopi, cengkeh, jagung, sirih, temulawak, vanilli serta tanaman buah - buahan, seperti jeruk dan markisa. Kopi dan cengkeh merupakan komoditas perdagangan utama bagi masyarakat Wae Rebo. Disekitar kampung juga terdapat hutan dimana banyak terdapat berbagai jenis vegetasi yang bervariasi dan unik (Lihat gambar 6.).

4. Tanah

Berada pada daerah pegunungan vulkanik menjadikan tanah di willayah kampung ini cenderung subur dan mudah ditanami beragam tanaman pangan (Lihat gambar 17). Hal ini menyebabkan berkebun merupakan mata pencaharian utama masyarakatnya, dimana masyarakat berkebun pada lahan disekitar kampung Wae Rebo. Tanah disekitarnya cenderung sangat berkontur, namun untuk tapak dimana kampung Wae Rebo berada terletak pada hamparan berumput yang cenderung datar. Tanah Wae Rebo cenderung merupakan tanah basah.

(10)

Kampung Wae Rebo Hutan Lindung Kebun Kopi Mbaru Niang Gambar 6. Potongan site Wae Rebo

(Sumber: http://waerebopower.com/about.php)

(11)

Gambar 7. Asumsi Lay Out Tapak (Sumber: Siahaan, Fanny, 2015) 5. Air

Air sebagai kebutuhan primer masyarakat diperoleh dari sungai -sungai yang mengalir disekitar kampung Wae Rebo (Lihat gambar 8.). Sungai yang terdekat dengan kampung ini adalah sungai Wae Lomba yang merupakan bagian dari perjalanan memasuki kampung ini. Setiap hari masyarakat harus berjalan beberapa kilo meter ke sungai untuk memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari - hari.

: Mbaru Niang

(12)

Gambar 8. Posisi sungai yang mengaliri kampung Wae Rebo (Sumber: http://waerebopower.com/about.php)

II.2.2. Penghuni (Masyarakat Wae Rebo)

Masyarakat Wae Rebo menuturkan bahwa leluhur mereka adalah seorang yang bernama Maro yang merupakan keturunan Minangkabau. Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di Wae Rebo, yang datang bersama saudaranya bernama Bimbang. Maro memilih untuk menempati lembah yang dikelilingi gunung – gunung yang sekarang ini diberi nama Wae Rebo setelah mengalami hidup berpindah – pindah, sedangkan Bimbang menetap di kampung lain. Sayangnya, tidak diceritakan istri dan anak – anak Maro.

Dalam mengenali masyarakat Wae Rebo, maka dapat ditinjau atas tiga unsur masyarakat, yaitu sebagai berikut:

(13)

Kebutuhan / kegiatan dasar penghuni hampir sama dengan kebutuhan manusia pada umumnya, seperti: makan, tidur, istirahat, memasak, mandi dan bersosialisasi (bertamu dan melakukan pertemuan adat). Setiap kebutuhan kebutuhan tersebut yang merupakan aktifitas -aktifitas penghuni tentunya membutuhkan wadah yang akan menghasilkan ruang - ruang, seperti yang terlihat pada tabel 1.

No. Kegiatan / Kebutuhan Dasar Penghuni Kebutuhan Ruang

Indoor

1. Memasak Hapo (Dapur)

2. Tidur dan istirahat Nolang (Kamar) 3 Bersosialisasi :  Bertamu  Pertemuan adat Lutur Outdoor

4. Mandi dan mencuci

Sungai (masyarakat Wae rebo belum mengenal sistem sanitasi)

5. Bersosialisasi (bercengkrama dengan para tetangga)

Batu Compang, halaman rumah

Tabel 1. Kegiatan dasar penghuni serta kebutuhan ruang-nya (Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

Tabel 1. memperlihatkan daftar aktivitas dasar masyarakat Wae Rebo dengan ruang -ruang atau wadah baik yang berada di dalam maupun luar rumah.

2. Adat istiadat / kebudayaan

Sebagai masyarakat adat, masyarakat Wae Rebo memiliki karakteristik, sebagai berikut:

 Memiliki agama Katolik namun masih menganut kepercayaan animisme

 Masyarakat Wae Rebo hanya memiliki satu klan atau marga

 Merupakan masyarakat adat yang memegang teguh adat istiadat serta filosofi setempat dan dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut Dalu sebagai sesepuh adat

(14)

 Kehidupan masyarakat setempat mencerminkan kerukunan dan keharmonisan. Sifat rendah hati dan kekeluargaan menjadi bagian dari masyarkat Wae Rebo yang juga memegang teguh prinsip persatuan. Hal ini salah satunya tercermin dari formasi rumah – rumah yang membentuk setengah lingkaran dan semua pintu utama menghadap batu compang yang ada ditengah pelataran rumah – rumah (Lihat gambar 7. dan gambar 13.)

 Masyarakat adat Wae Rebo sangat menghargai lingkungannya termaksud vegetasi yang ada di dalamnya. Mereka yakin bahwa tanah dan hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum bercocok tanam dan mengcangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin pada penunggunya. Menurut kepercayaan setempat jika tidak memiliki izin maka tanah akan menjerit dan merintih serta bercocok tanam harus dilakukan secara rutin supaya tanah tidak menangis sedih. Masyarakat Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti manusia yang harus dihormati

 Penduduk kampung ini sangat menghargai leluhurnya termasuk menjalan ritual - ritual terhadap leluhur, seperti: ritual pemujaan leluhur yang dilakukan di masing - masing rumah. Rendah hati, persatuan, keharmonisan, kekeluargaan, memegang teguh filosofi dan adat istiadat setempat, menjadi karakter masyarakat Wae Rebo

 Walaupun mereka hidup terpencil, tetapi tetap terbuka dengan pendatang.

 Perjalanan panjang menuju kampung ini serta lokasinya yang cukup terpencil membuat masyarakat Wae Rebo sedikit terasing dari peradaban, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan

 Sumber Listrik untuk masyarakat setempat hanya berasal dari genset (Sumbangan kader partai pemenang pemilu dari Jakarta) yang hanya beroperasi dari pukul 18.00 WIT s.d. 22.00 WIT.

Sebagian besar karakteristik tersebut berpengharui terhadap disain dan bentuk rumah tradisional masyarakat Wae Rebo.

(15)

Gambar 9. Upacara " Caci", salah satu upacara adat masyarakat Wae Rebo

(Sumber: Indonesia Travel, 2012)

Terdapat beberapa upacara adat yang rutin diadakan oleh masyarakat setempat, antara lain:

 Upacara Caci, sering disebut tarian atau permainan kekeluargaan, persahabatan dan seni yang merupakan bagian penting dalam perayaan tahun baru (Lihat gambar 9.). Merupakan permainan cambuk dimana para lelaki bertarung dengan cambuk sering sampai mengeluarkan darah. Hal ini dianggap sebagai perlambang sifat sportif, keperkasaan, keberanian dan sebagai daya tarik bagi perempuan

 Upacara adat Kasawiang, yang digelar saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari Timur ke Barat

 Upacara Penti atau tahun baru, yang jamak digelar pada bulan November

Sebuah ungkapan mendarah daging dalam diri warga Wae Rebo, " neka hemong kumagu kab", yang berarti mengarah kepada Wae Rebo sebagai tanah pusaka. Tanah tempat kelahiran ini tidak boleh dilupakan kemanapun warga Wae Rebo pergi.

Masyarakat Wae Rebo hanya memiliki satu klan atau marga dan setiap klan memiliki gendang pusaka pada tiang utama rumah. Satu -satunya hiburan bagi masyarakat adalah alunan musik sederhana yang terdiri dari gendang dan gong yang disebut "Mbata" , mengiringi nyanyian bersahut - sahutan para pria Wae Rebo. Masyarakat setempat juga memiliki pantangan memakan hewan musang karena leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang, sehingga musang dipercaya sebagai bagian dari leluhur mereka.

(16)

Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati tercermin dalam penggunaan ikat kepala yang disebut sappu. Ikatan yang rata, tanpa lengkungan ke atas, menunjukkan sikap rendah hati. Sikap ini juga dicerminkan dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung ke kampung ini.

Kampung Kombo sebagai kampung binaan Wae Rebo

Keadaan geografis dan keunikan budaya Wae Rebo membuat masyarakatnya berbeda dengan masyarakat lain, bahkan dengan masyarakat sekitar. Daur hidup masyarakat kampung ini terbilang unik karena keteguhan masyarakat untuk selalu melestarikan lingkunganya serta menjaga adat istidat setempat dari perkembangan sekitarnya.

Perkembangan zaman membuat warga Wae Rebo merasa harus membina sebuah desa. Oleh karena itu sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya dengan kampung baru yang disebut kampung Kombo (Lihat gambar 10.). Dengan demikian keasliaan lingkungan kampung Wae Rebo tetap dapat dipertahankan. Wae Rebo dan Kombo sering disebut sebagai kampung kembar. Kampung Kombo kebanyakan dipenuhi oleh kaum muda. Aktifitas sekolah dan sebagian besar kegiatan kaum muda berada di kampung Kombo dan sekitarnya.

Hubungan masyarakat di kedua kampung ini sangat baik karena hampir setiap keluarga mempunyai dua rumah, masing - masing satu di kampung Wae Rebo dan satunya di kampung Kombo. Kampung Wae Rebo, yang terletak lebih tinggi, didominasi kebun, sedangkan kampung Kombo untuk persawahan. Waktu tempuh keduanya mencapai dua sampai dengan tiga jam untuk orang lokal. Kedua kampung ini mengandalkan genset untuk kebutuhan penerangan yang hanya beroperasi dari pukul 18.00 WIT s.d. 22.00 WIT, karena belum ada listrik di kedua desa ini.

Kampung Kombo bisa dikatakan lebih modern dibandingkan kampung Wae Rebo dimana sudah dilewati jalan aspal serta sinyal telepon sudah ada dibeberapa titik tertentu. Disamping itu, kampung Kombo merupakan tempat berlangsungnya aktivitas perdagangan kedua

(17)

masyarakat ini. Karenanya untuk aktivitas berjualan, membeli kebutuhan sehari – hari dan sekolah, dilakukan diluar kampung Wae Rebo. Hal tersebut menyebabkan keutuhan kampung ini sebagai kampung adat masih terjaga. Walaupun begitu masyarakat Wae Rebo dikenal sebagai masyarakat yang ramah terhadap pendatang.

Pada hari Sabtu sampai dengan hari Senin masyarakat Wae Rebo umumnya berada di kampung Kombo untuk beristirahat sambil menunggu hari Senin, yang merupakan satu – satunya hari dimana pasar buka. Untuk warga yang bersekolah berlaku siklus yang berbeda dimana mereka harus ada di kampung Kombo dari hari Senin samapai dengan Sabtu. Siklus ini tidak bersifat mutlak karena ada sebagian warga Wae Rebo yang juga mempunyai kebun di kampung Kombo, tergantung dari musim tanam dan musim panen tanaman kebun.

Gambar 10. Peta lokasi kampung Wae Rebo dan kampung Kombo

(Sumber : http://waerebopower.com/about.php) 3. Mata pencaharian

Sebagian besar masyarakat Wae Rebo hidup dari berkebun (Lihat gambar 11.). Hasil ladang mereka antara lain: kopi, cengkeh, temulawak, jahe, sirih, tanaman sayur - sayuran dan tanaman buah - buahan, seperti: jeruk dan markisa. Komoditi perdagangan yang menjadi andalan masyarakat Wae Rebo adalah kopi dan cengkeh.

Pekerjaan lain yang juga digeluti masyarakat Wae Rebo, seperti: tukang dan guru. Sejalan dengan kunjungan wisatawan ke kampung ini

Kampung Wae Rebo

Kampung Kombo

(18)

maka beberapa warga juga ber-profesi sebagai pemandu wisata. Kaum ibu yang sebagian besar memiliki kemampuan bertenun juga menjadikan keterampilan mereka sebagai mata pencaharian tambahan untuk keluarganya (Lihat gambar 12.). Kolong rumah dijadikan sebagai wadah

untuk aktifitas bertenun.

Gambar 11 . Berkebun merupakan mata pencaharian utama masyarakat Wae Rebo

( Sumber:

http://www.femina.co.id/waktu.senggang/jalanjalan/waerebo.kam pung.arsitektur.nusantara/006/003/51)

Gambar 12 . Bertenun

merupakan mata pencaharian

tambahan bagi perempuan Wae

Rebo (Sumber:

http://www.femina.co.id/waktu.senggang/jalanjalan/waerebo.kam pung.arsitektur.nusantara/006/003/51)

Biasanya, perempuan Wae Rebo menenun saat tidak bekerja di kebun. Sehingga, untuk menyelesaikan satu buah sarung, bisa memakan

waktu sebulan, atau lebih.

Terdapat dua jenis kain tradisional Wae Rebo, yaitu: songke dan Curak. Songke mempunyai ciri khas, yaitu berwarna dasar hitam dengan motif

(19)

hias berwarna biru, kuning, hijau, putih, jingga, dan magenta. Ini sarung khas Manggarai. Motif hiasnya bisa bermacam-macam, yaitu: bunga, daun, atau kotak-kotak geometris. Songke digunakan saat acara resmi, juga dikenakan sehari - hari. Sedangkan, Curak adalah sarung bermotif gari-garis dengan aneka warna cerah. Sarung-sarung ini lumayan tebal, sehingga dipakai sebagai bawahan dan pada malam hari, untuk menghangatkan tubuh.

II.2.3. Arsitektur Rumah Tradisional Mbaru Niang

Desa Wae Rebo merupakan salah satu kampung adat yang berada di Flores Barat yang masih mempertahankan bentuk asli rumah tradisional berbentuk kerucut. Dalam kompleks perkampungan adat tersebut, terdapat tujuh rumah Mbaru Niang yang membentuk formasi setengah lingkaran, terletak dibagian datar dataran tinggi dengan view yang dikelilingi oleh pegunungan (Lihat gambar 13.).

Gambar 13. Kompleks kampung adat Wae Rebo

(Sumber:http://travel.kompas.com/read/2013/09/30/1624108/Mele starikan.Kearifan.Wae.Rebo)

Rumah panggung ini memiliki ketinggian sampai dengan 15 m dengan lima jumlah lantai yang mana, tiap lantai dapat didiskripsikan sebagai berikut:

1 Lantai satu disebut Tenda merupakan tempat tinggal dimana pada lantai ini dapat dibagi atas dua zoning, yaitu: Lutur merupakan zoning public yang digunakan sebagai tempat untuk bertamu, mengadakan pertemuan adat dan Nolang yang merupakan zoning privat, berfungsi sebagai ruang tidur. Lantai ini memiliki diameter ± 11 m.

(20)

2 Lantai dua berupa Loteng atau disebut Lobo sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Lantai ini memiliki diameter ± 9 m.

3 Lantai tiga disebut Lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Lantai ini memiliki diameter ± 6 m.

4 Lantai empat disebut Lempa Rae untuk tempat menyimpan stok pangan apabila terjadi kekeringan. Lantai ini memiliki diameter ± 3 m.

5 Lantai lima disebut Hekang Kode khusus untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur. Lantai ini memiliki diameter ± 1,8 m.

Terdapat beberapa karakter - karakter yang menonjol dari fisik bangunan rumah tradisional ini , yaitu sebagai berikut ( Lihat pada gambar 14.):

 Bentuk massa bangunan kerucut dengan denah yang berbentuk lingkaran

 Dalam satu tapak terdapat tujuh rumah dengan semua pintu rumah menghadap ke batu Compang yang ada dihalaman rumah

 Merupakan rumah panggung bertingkat lima lantai dengan ketinggian sampai dengan 15 m

 Pada satu rumah dihuni oleh enam sampai dengan delapan keluarga, yang ditandai dengan jumlah kamar yang ada

 Setiap lantai mempunyai fungsi yang berbeda - beda sesuai kebutuhan penghuni-nya

 Semua material bangunan merupakan material lokal setempat yang juga merupakan material alami / biologis, seperti: kayu, bambu, rotan, ijuk, dan sebagainya

 Konstruksi bangunan merupakan konstruksi rangka kayu dengan sambungannya merupakan sambungan ikat dan jepit.

(21)

Gambar 14. Karakter fisik rumah tradisional Mbaru Niang (Sumber: Lad, Jateen, 2013)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode analisis konten kualitatif (qualitative contente analyse) yang merupakan metode analisis dengan integrasi yang lebih mendalam secara koseptual (Bungin, 2004).

III.1. METODE PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data diperoleh dari :

 Data Sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain:  Buku – buku yang terkait dengan penelitian

 Jurnal – jurnal yang terkait dengan penelitian  Internet: e-book, website, on-line journal III.2. METODE ANALISA DATA

Analisa data dilakukan dengan tahap diskripsi data, mencari kecenderungan berdasarkan data - data untuk mencari signifikasi, serta relevansinya. Selanjutnya terhadap semua data yang diperoleh, dilakukan identifikasi terhadap indikator - indikator arsitektur biologis yang kemudian dianalisa aplikasi arsitektur biologis pada rumah tradisional

Disain dan bentuknya merupakan adaptasi dari lingkungan, kepercayaan,

kebudayaan serta mata pencaharian penghuninya

Denah berbentuk lingkaran Terdiri dari lima lantai

dengan fungsi yang berbeda Massa bangunan berbentuk kerucut Penerapan material -material alami/lokal Merupakan Rumah Panggung Hekang Kode Lobo Lempa Rae Lentar Tenda Kolong

(22)

Mbaru Niang melalui variabel - variabel pada masing - masing indikator tersebut.

Pada gambar 15. digambarkan kerangka konseptual pada penelitian ini dimana arsitektur biologis dapat di identifikasikan melalui indikator -indikatornya yaitu: lingkungan, penghuni dan bangunan. Lingkungan dan penghuni / manusia merupakan penyebab yang menghasilkan dampak pada bangunan dalam hal ini adalah rumah tradisional Mbaru Niang. Masing - masing penyebab ini (lingkungan dan penghuni / manusia) dapat diuraikan atas variabel - variabel, seperti yang terlihat pada gambar 15. Identifikasi dilakukan terhadap penyebab - penyebab tersebut yang kemudian diikuti analisa, sehingga diperoleh dampak yang merupakan aplikasi pada bangunan yang dalam hal ini rumah tradisional Mbaru Niang.

Gambar 15. Kerangka konseptual Arsitektur Biologis (Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

(23)

IV.

ANALISA

IV.1. IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB

Seperti yang telah dijelaskan pada bab - bab sebelumnya bahwa arsitektur biologis merupakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan serta penghuninya. Berdasarkan penjelasan ini maka bangunan sebagai produk akhir arsitektur haruslah mempertimbangkan unsur lingkungan dan manusia (penghuni) dalam perancangannya.

Lingkungan dan manusia (penghuni) merupakan indikator - indikator penting yang akan diidentifikasikan dan merupakan faktor - faktor penyebab. Faktor - faktor penyebab ini

selanjutnya dianalisa untuk dapat mengetahui dampak - dampaknya pada bangunan yang berupa aplikasi arsitektur biologis pada bangunan rumah tradisional Mbaru Niang.

IV.1.1. Identifikasi Lingkungan

Sebagai langkah awal dilakukan identifikasi terhadap lingkungan yang bertujuan untuk dapat mengetahui kondisi lingkungan kampung Wae Rebo yang nantinya akan berdampak pada bangunan rumah tradisional Mbaru Niang. Identifikasi terhadap lingkungan dapat dibagi atas beberapa variabel, yaitu sebagai berikut:

(24)

2. Site / tapak 3. Vegetasi 4. Tanah 5. Air

Identifikasi terhadap variable – variable diatas disajikan secara sistematik seperti yang terlihat pada tabel 2.

IV.1.2. Identifikasi Penghuni

Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap penghuni yang bertujuan untuk dapat mengetahui karakter dan kondisi penghuni / masyarakat kampung Wae Rebo yang nantinya akan berdampak pada bangunan rumah tradisional Mbaru Niang. Identifikasi terhadap penghuni dapat dibagi atas beberapa variable, yaitu sebagai berikut:

1. Kebutuhan dasar

2. Adat istiadat / kebudayaan 3. Mata pencaharian

Identifikasi terhadap variable – variable diatas disajikan secara sistematik seperti yang terlihat pada tabel 2.

IV.2. IDENTIFIKASI RUMAH TRADISIONAL MBARU NIANG

Bangunan dalam hal ini rumah tradisional Mbaru Niang merupakan dampak dari pengaruh lingkungan dan penghuni-nya. Identifikasi terhadap bangunan ini ditujukan untuk dapat mendiskripsikan fisik rumah tradisional tersebut sehingga nantinya dapat diketahui dampak dari lingkungan dan penghuni pada rumah tradisional ini sesuai dengan penerapan arsitektur biologis. Identifikasi dapat dilihat pada tabel 2.

NO . INDIKATOR / VARIABEL IDENTIFIKASI Lingkungan 1. Suhu dan Iklim

 Suhu udara rata - rata luar berada pada angka 18C - 24C.

 Memiliki iklim tropis dengan dua musim yang berbeda, yaitu:

 musim kering (April - Oktober)  musim basah (November - Maret)

 Wilayah ini memiliki kelembaban 58 - 95%,

(25)

2. Tapak / Site  Berlokasi di Kabupaten Manggarai, tepatnya Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai, Flores Barat

 Berada pada dasar lembah pada dataran tinggi pegunungan, dimana sebagian site-nya dikelilingi oleh hutan tropis yang lebat dan pegunungan -pegunungan vulkanik yang ketinggiannya mencapai 2400 m diatas permukaan laut serta hutan (Lihat gambar 6. dan 13.)

 Posisi tapak berada pada hamparan rumput dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1200 m2 diatas level laut Tapaknya berada pada kontur yang rata, sehingga kampung ini terlihat seperti jurang ditengah pegunungan yang menganga (Lihat gambar Lihat gambar 5, 6, dan 13.)

Tapak disekitarnya cenderung sangat berkontur, namun untuk tapak dimana kampung Wae Rebo berada terletak pada hamparan berumput yang cenderung datar (Lihat gambar 5, 6, dan 13)

3. Vegetasi  Khususnya pada sekitar kampung Wae Rebo, banyak ditumbuhi oleh tanaman ladang, seperti: kopi, cengkeh, jagung, sirih, temulawak, vanilli

 Tanaman buah - buahan dan sayur - sayuran seperti: jeruk dan markisa.

 Tapaknya diselimuti oleh hamparan rumput (Lihat gambar 5.)

 Dikelilingi oleh hutan yang lebat dengan banyak variasi tanaman unik serta pepohonan (Lihat gambar 6.)

4. Tanah  Berada pada daerah pegunungan vulkanik menjadikan tanah di willayah kampung ini cenderung subur dan mudah ditanami beragam tanaman

Kondisi tanah yang cenderung lembab

5. Air  Terdapat sumber - sumber air dari sungai - sungai yang mengalir disekitar kampung Wae Rebo (Lihat gambar 8.)

(26)

 Sungai yang terdekat dengan kampung ini adalah sungai Wae Lomba yang merupakan bagian dari perjalanan memasuki kampung ini.

Penghuni

1. Kebutuhan dasar

 Kebutuhan / kegiatan dasar penghuni seperti: makan, tidur, istirahat, memasak, mandi dan bersosialisasi (bertamu dan melakukan pertemuan adat). Lihat tabel 1. dan tabel 2.

2. Adat istiadat / kebudayaan

 Memeluk agama Katolik namun memiliki keyakinan animisme

 Memegang teguh dan melestarikan kebudayaan/ adat istiadat-nya

 Sangat menghormati para leluhurnya dengan ritual - ritualnya

 Berpandangan bahwa tanah, hutan termaksud vegetasinya memiliki emosi dan perasaan sehingga harus dihargai dan diberi ritual khusus dalam mengelolahnya

 Banyak prinsip - prinsip atau sikap hidup yang dituangkan dalam penataan lingkungan maupun disain rumah tradisionalnya

 Karakter masyarakatnya: rendah hati, kekeluargaan, hidup harmonis dan bersatu

 Beberapa upacara adat yang rutin diadakan oleh masyarakat setempat, antara lain:

 Upacara Caci, sering disebut tarian atau permainan kekeluargaan, persahabatan dan seni yang merupakan bagian penting dalam perayaan tahun baru. Merupakan permainan cambuk dimana para lelaki bertarung dengan cambuk sering sampai mengeluarkan darah. Hal ini dianggap sebagai perlambang sifat sportif, keperkasaan, keberanian dan sebagai daya tarik bagi perempuan.

 Upacara adat Kasawiang, yang digelar saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari Timur ke Barat

 Upacara Penti atau tahun baru, yang jamak digelar pada bulan November

(27)

3. Mata

pencaharian

 Pekerjaan dominan, yaitu: Berkebun. Kopi, cengkeh, temulawak, jahe, sirih dan tanaman buah – buahan serta sayur – sayuran merupakan tanaman yang dihasilkan dari perkebunan masyarakat setempat (Lihat gambar 11.)

 Pekerjaan lainnya, yaitu: bertenun, tukang, guru dan pemandu wisata (Lihat gambar 12.)

BANGUNAN ( MBARU NIANG ) 1. Disain

bangunan / Organisasi ruang

 Disain bangunan berbentuk kerucut dengan jumlah lantai 5 lantai dan ketinggian bangunan mencapai 15 m (Lihat gambar 31.)

 Rumah panggung dengan atap hampir menyentuh tanah

 Terdapat satu buah pintu masuk dengan beberapa jendela – jendela kecil

 Dalam satu rumah, dapat dihuni 6 s.d. 8 keluarga

 Organisasi ruang sebagai berikut:

 Lantai satu disebut Tenda merupakan tempat tinggal dimana pada lantai ini dapat dibagi atas dua zoning, yaitu: Lutur merupakan zoning public yang digunakan sebagai tempat untuk bertamu, mengadakan pertemuan adat dan Nolang yang merupakan zoning privat, berfungsi sebagai ruang tidur. Lantai ini memiliki diameter ± 11 m.

 Lantai dua berupa Loteng atau disebut Lobo sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Lantai ini memiliki diameter ± 9 m.

 Lantai tiga disebut Lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Lantai ini memiliki diameter ± 6 m.

 Lantai empat disebut Lempa Rae untuk tempat menyimpan stok pangan apabila terjadi kekeringan. Lantai ini memiliki diameter ± 3 .  Lantai lima disebut Hekang Kode khusus untuk

tempat sesajian persembahan kepada leluhur. Lantai ini memiliki diameter ± 1,8 m.

(28)

2. Material / bahan bangunan (Lihat tabel 3.)

Material bangunan merupakan material biologis, yang terdiri dari:

 Pondasi

Kolom menerus samapi ke dalam tanah sedalam 2 m yang juga berfungsi sebagai pondasi yang

terbuat dari bilah kayu worok.

 Kolom dan balok

Kolok dan balok terbuat dari kayu worok.

 Lantai

Plat lantai terbuat dari kayu kenti.

 Rangka atap

Rangka atap terbuat dari batang – batang bambu

 Penutup atap

Penutup atap terbuat dari anyaman daun lontar yang ditutup ijuk.

 Sambungan

Sambungan masih menggunakan metode

sambungan ikat dengan material rotan dan ijuk. 3. Konstruksi

bangunan

Konstruksi bangunan merupakan struktur rangka kayu bertingkat lima lantai, dengan komponen sebagai berikut:

 Pondasi

Kolom kayu menerus sampai ke dalam tanah sedalam 2 m yang juga berfungsi sebagai pondasi.

 Kolom dan balok

Kolom utama disebut kolom bongkok dibuat dengan sistem jepit dan sambungan ikat. Kolom dibuat dari lantai pertama menerus samapai ke lantai terakhir. Disamping kolom bongkok terdapat beberapakolom struktur lainnya. Balok dibuat dua arah sebagai penopang plat lantai.

 Lantai

Merupakan plat lantai kayu yang didudukung oleh balok – balok. Pada pinggiran plat lantai yang, diberi pinggiran berupa kumpulan rotan dalam satu ikatan, ukurannya sangat besar dan panjangnya disesuaikan dengan keliling denah yang berbentuk lingkaran.

 Rangka atap

Rangka atap merupakan batang – batang bambu yang disanggah oleh plat lantai yang ber-denah

(29)

lingkaran dan direkatkan dengan sambuangan ikat dari rotan.

 Penutup atap

Penutup atap disanggah oleh rangka atap (batang – batang bambu), merupakan anyaman – anyaman daun lontar yang ditutup ijuk, yang mengelilingi rangka atap dengan sambungan ikat dari rotan.

 Sambungan

Sambungan masih menggunakan metode

sambungan ikat dengan material rotan dan ijuk.

Tabel 2. Tabel identifikasi terhadap indikator - indikator beserta masing- masing variabelnya

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

IV.3. ANALISA DAMPAK PADA RUMAH TRADISIONAL MBARU NIANG Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa arsitektur biologis merupakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan serta penghuninya. Berdasarkan penjelasan ini maka bangunan sebagai produk akhir arsitektur haruslah mempertimbangkan unsur lingkungan dan manusia (penghuni) dalam perancangannya. Pengaruh dari lingkungan dan manusia (penghuni) otomatis akan berdampak pada bangunan. Dampak tersebutlah yang nantinya akan dianalisa pada bangunan, dalam hal ini rumah tradisional Mbaru Niang yang menjadi objek penelitian kali ini.

IV.3.1. Dampak Pada Bangunan

Kondisi lingkungan serta penghuni dimana sebuah bangunan berada, akan sangat berpengaruh terhadap bangunan tersebut. Hal ini juga yang terjadi pada rumah tradisional Mbaru Niang. Pengaruh -pengaruh tersebut akan berdampak pada bangunan itu sendiri, seperti apa yang dipahami pada arsitektur biologis bahwa, arsitektur (bangunan) harus memiliki kesesuaian dengan lingkungan dan penghuninya.

Dalam menganalisa dampak pada bangunan (Mbaru Niang), maka dapat ditinjau dari beberapa unsur, yaitu sebagai berikut:

(30)

Organisasi ruang pada rumah tradisional ini terbilang unik jika dibandingkan dengan rumah tradisional lainnya. Seperti yang sempat dipaparkan sebelumnya bahwa disain arsitektur rumah tradisional ini yang dilatarbelakangi dari kebutuhan penghuni akan berbagai aktivitas, seperti yang terlihat pada tabel 3. dan gambar 16. Pada tabel 3. dijelaskan bahwa masyarakat Wae Rebo memiliki kebutuhan ruang yang dapat dikelompokkan atas beberapa kelompok aktivitas, yaitu: mata pencaharian, agama dan kepercayaan, kebudayaan disamping aktivitas -aktivitas dasar manusia. Dijelaskan pula bahwa setiap fungsi - fungsi yang tersusun secara vertikal serta saling memiliki hubungan dengan kualitas yang berbeda - beda namun terintegrasi secara fisik maupun fungsional.

Pada gambar 16. terlihat skema kelompok kegiatan beserta dengan kebutuhan ruang - ruangnya dimana kelompok - kelompok ruang tersebut menunjukkan faktor - faktor yang mempengaruhi lahirnya kebutuhan ruang - ruang.

Kegiatan Ruang Lantai Zoning Bertenun Kolong KolonLt.

g S.Publ ik Bertamu Lutur 1 Publi k Melakukan upacara /

pertemuan adat 1 Publik

Tidur Nolan

g

1 Privat

Masak 1 Servis

Menyimpan bahan makanan & barang

sehari-hari Labo 2

Servi s Menyimpan benih

tanaman pangan Lentur 3 Servis Menyimpan persediaan

makanan jika terjadi kekeringan

Lemp

a Rae 4 Servis Mempersembahkan

sesajian kepada leluhur

Heka ng

Kode 5 Privat Keterangan:

1 = Hubungan Sangat Rendah 2 = Hubungan Rendah 3 = Hubungan Sedang 1 4 4 3 1 3 1 4 1 1 3 2 1 4 2 2 3 4 4 2 1

(31)

4 = Hubungan Erat

Tabel 3. Tabel Kegiatan Penghuni, Kebutuhan Ruang dan Matriks Hubungan Antar Ruang

( Sumber: Siahaan, Fanny, 2014)

Penerapan Vertical Multi-Used Secara Sederhana Pada Rumah Tradisional Mbaru Niang

Pengaturan fungsi - fungsi ruang dimulai dengan lantai kolong yang merupakan bagian dari rumah dan bersifat semi publik yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas bertenun. Lantai satu yang disebut Tenda, dimana terdiri dari ruang yang bersifat publik, yaitu Lutur yang berfungsi sebagai ruang serba guna baik untuk kegiatan bertamu maupun acara / pertemuan adat. Kemudian terdapat ruang - ruang privat, yaitu Nolang yang berfungsi sebagai kamar tidur dilengkapi dapur untuk masing - masing keluarga. Dapat dikatakan bahwa pada lantai satu ini ditempatkan ruang - ruang utama sedangkan ruang - ruang penunjangnya ditempatkan di lantai - lantai atasnya.

Lantai dua, tiga dan empat merupakan lantai yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan atau servis. Sedangkan lantai teratas, yaitu lantai lima berfungsi sebagai tempat beribadah, yaitu menaruh sesajen kepada leluhur. Kesemua lantai dihubungkan dengan tangga (Lihat gambar 16.).

Rumah panggung ini memiliki ketinggian sampai dengan 15 m dengan lima jumlah lantai yang mana, tiap lantai dapat didiskripsikan sebagai berikut:

1. Lantai satu disebut Tenda merupakan tempat tinggal dimana pada lantai ini dapat dibagi atas dua zoning, yaitu: Lutur merupakan zoning public yang digunakan sebagai tempat untuk bertamu, mengadakan pertemuan adat dan Nolang yang merupakan zoning privat, berfungsi sebagai ruang tidur. Lantai ini memiliki diameter ± 11 m.

(32)

Kelompok Kegiatan Wadah / Ruang Penyusunan Vertikal Rumah

Lt. 1 Lt. 2 Lt. 4 Lempa Rae

KEBUTUHAN DASAR ( Tidur, makan, dsb.)Nolang

Labo

Lt. Kolong Lt. 3 MATA PENCAHARIAN Lentar

Kolong

Lt. 5 KEPERCAYAAN

Hekang Kode

Rumah Tradisional MBARU NIANG 2. Lantai dua berupa Loteng atau disebut Lobo sebagai tempat

menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Lantai ini memiliki diameter ± 9 m.

3. Lantai tiga disebut Lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Lantai ini memiliki diameter ± 6 m.

4. Lantai empat disebut Lempa Rae untuk tempat menyimpan stok pangan apabila terjadi kekeringan. Lantai ini memiliki diameter ± 3 m.

5. Lantai lima disebut Hekang Kode khusus untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur. Lantai ini memiliki diameter ± 1,8 m.

(33)

Gambar 16. Skema Kelompok Kegiatan Beserta Ruang - Ruangnya Pada Rumah Tradisional Mbaru Niang

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2014)

Gambar 17 . Denah rumah tradisional “Mbaru Niang” di Flores (Sumber: Rumah Asuh, 2012)

Tingkat hubungan ruang serba guna (Lutur) dan kamar - kamar (Nolang) yang sangat erat menyebabkan ruang - ruang ini ditempatkan pada satu lantai yang sama dan berdekatan (Lihat gambar 17 dan 18.). Ruang - ruang ini dapat dikatakan sebagai ruang - ruang aktif dimana sebagai pusat penghuni melakukan aktivitas - aktivitasnya. Ruang - ruang yang berfungsi penyimpanan ditempatkan pada lantai - lantai atas dikarenakan ruang ini cenderung bersifat pasif dan servis. Sedangkan ruang untuk menaruh sesajen ditempatkan pada lantai teratas karena ruang ini bersifat privat dan sebagai perlambang rasa hormat mereka kepada leluhurnya.

Kesemua fungsi - fungsi ruang ditempatkan pada satu bangunan rumah tinggal, sehingga mobilitas gerak penghuni lebih efisien, selain itu

R. Serba Guna NOLANG Pintu Masuk R. Tidur Tiang Bokong LUTUR Keterangan

: Lutur (Area Publik) : Nolang (Area Privat)

(34)

dari segi operasional, perawatan dan pengawasan juga lebih efisien dan terintegrasi.

Gambar 18. Skema Vertical Mixed-Used Pada Rumah Tradisional Mbaru Niang

(Sumber: http://www.hdesignideas.com/2013/10/mbaru-niang-rumah-adat-di-pulau-flores.html dan Fanny Siahaan, 2014)

Gambar 19. Penerangan alami melalui jendela kecil pada rumah tradisional Mbaru Niang

( Sumber: Hartono, Pra, Yudi, 2012 )

Lutur Nolang (Privat Labo (Servis) Hekang Kode Kolong (Semi Publik)

Setiap fungsi yang tersusun secara vertikal terintegrasi baik secara fisik maupun fungsional. Lempa

Rae Lentur

(35)

Masyarakat Wae Rebo sangat mengandalkan penerangan alami sehingga walaupun terbatas disain rumah tradisional ini juga memiliki opening berupa jendela - jendela kecil yang cukup bermanfaat sebagai sumber pencahayaan alami di siang hari (Lihat gambar 19.).

Gambar 20. Interior kamar tidur (Nolang) pada rumah tradisional Mbaru Niang

( Sumber: Nyoman, Leonardus, 2012 )

Dari segi interior, disain rumah tradisional ini terbilang sangat sederhana. Tidak terdapat perabot seperti: kursi, meja, tempat tidur dan sebagainya yang umum dijumpai pada rumah tinggal. Perabot yang dimiliki hanya terbatas pada peralatan makan dan masak sederhana, bantal dan alas tidur serta alat musik sederhana semacam gong. Hampir semua aktivitas dilakukan diatas lantai kayu (Lihat gambar 19. dan 20.).

(36)

Gambar 21. Entrance utama rumah tradisional Mbaru Niang ( Sumber: Nyoman, Leonardus, 2012)

2. Material Bangunan

Material bangunan merupakan material lokal yang diperoleh dari wilayah sekitar. Lokasi Wae Rebo yang dikelilingi hutan tropis yang lebat menghasilkan kayu, rotan maupun bambu yang digunakan sebagai material material utama bangunan. selain itu juga terdapat material -material lain yang diperoleh dari sekitarnya seperti daun lontar dan ijuk.

Potensi akan sumber material / bahan bangunan alami, seperti: kayu menyebabkan rumah tradisional ini menerapkan konstruksi rangka kayu pada bangunannya. Pada tabel 4. dipaparkan komponen - komponen bangunan rumah tradisional Mbaru Niang beserta material - materialnya. Pada tabel tersebut dijelaskan bahwa semua material - material yang diaplikasikan pada bangunan ini menggunakan material lokal setempat dan merupakan material alami termaksud penerapan pada sambungan -sambungannya. Pemilihan material - material yang diaplikasikan beserta metodenya menunjukkan kemampuan penguasan teknologi di masanya dan merupakan genius local masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan penerapan arsitektur biologis pada bangunan ini.

(37)

No. Komponen Material Keterangan

Struktur Bawah

1. Pondasi Merupakan bilah batang kayu Worok yang ditanam ke tanah sedalam 200 cm

Gambar 22. Sistem pondasi tiang (Sumber: Antar, 2011)

Material lokal setempat

Struktur Atas

1. Kolom Kayu Worok ( lihat gambar 22.) Material lokal setempat 2. Balok Kayu Kenti ( Lihat gamabar 22. ) Material lokal setempat 3. Plat lantai / lantai Kayu Kenti ( Lihat gamabar 22. ) Material lokal

setempat

4. Sistem sambungan

Sistem ikatan: tali rotan dan tali ijuk

Gambar 23. Sistem ikatan ijuk (Sumber: BPTPT DPS, 2009)

Gambar 24. Sistem ikatan rotan (Sumber: Antar, 2011)

Material lokal setempat

5. Rangka atap Bambu (Lihat gambar 25.) Material lokal setempat Plat lantai Balo k Ponda si

(38)

6. Penutup atap Anyaman daun lontar yang ditutup dengan ijuk

Gambar 25. Material penutup atap yang berupa anyaman daun lontar

dan ijuk

(Sumber: Antar, 2011)

Material lokal setempat

Tabel 4. Tabel material komponen - komponen struktur pada rumah tradisional Mbaru Niang

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

3. Konstruksi Bangunan

Rumah tradisional Mbaru Niang masih mempertahankan keasliaan bentuknya. Teknologi yang masih sangat sederhana sebagai cerminan local genius masyarakat setempat yang diperoleh dari nenek moyang-nya dan diwariskan ke generasi - generasi berikutnya. Sambungan

menggunakan sistem ikatan (Lihat tabel 5.) yang merupakan sambungan hidup tidak sambungan paku yang merupakan sambungan mati. Hal ini diindikasikan akan berpengaruh terhadap elastisitas lentur bangunan jika terjadi gempa (Domenig, 1980). Kekayaan alam setempat akan vegetasi, seperti: kayu dan bambu menghasilkan bangunan dengan struktur rangka kayu (Lihat tabel 5.).

Tiang kolom menggunakan sistem jepit dengan perkuatannya antara tiang dan balok menggunakan sistem sendi (diikat atau pen dan lubang). Detail kolom dan sambungan seperti yang terlihat pada gambar 26.

(39)

Gambar 26. Detail kolom dengan sistem jepit dan sambungan simpul ikatan

( Sumber: Hartanto, Robin, 2011 )

No .

Aspek Karakter Bangunan

1. Jenis teknologi struktur dan konstruksi

 Rangka batang ( lihat gambar 27.)

 Konstruksi kolom dan balok ( lihat gambar 27.)

Gambar 27. Struktur rangka kayu Mbaru Niang

(Sumber: Tan, Ferry, 2011)

2. Karakter sambungan Sambungan ikat dengan banyak modifikasi ikatan ( lihat gambar 28.)

(40)

Gambar 28. Detail salah satu sambungan ikat

(Sumber: Tan, Ferry, 2011)

3. Bahan bangunan yang digunakan

 Kolom: kayu worok ( lihat gambar 22.)

Balok : kayu kenti, yang bersifat lentur dan tidak getas ( lihat gambar 22.)

Gambar 29. Pemasangan anyaman daun lontar sebagai penutup atap

(Sumber: Tan, Ferry, 2011)

 Penutup atap: anyaman daun lontar yang ditutup ijuk ( lihat gambar 29.)

4. Upper structure dan

lower structure

Upper structure: struktur rangka ( Lihat

gambar 27.)

Lower structure: Tanpa pondasi , kolom

tertanam ± 200 cm didalam tanah ( lihat gambar 22 dan 30.)

Gambar 30. Kolom yang tertancap ke tanah sampai dengan 200 cm

(Sumber: Lad, Jaten, 2013)

(41)

Gambar 31. Dinding hanya terdapat pada pintu masuk

(Sumber:

http://langlangnegeri.wordpress.com/201 2/06/29/wae-rebo-tetap-bertahan/)

Tabel 5. Tabel Karakter Asli Rumah Tradisional Mbaru Niang (Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

Dari analisa bangunan, yang terdiri dari denah dan organisasi ruang; konstruksi bangunan; material bangunan maka dapat dianalisa aplikasi arsitektur biologis yang terjadi pada bangunan rumah tradisional Mbaru Niang, seperti yang tertera pada tabel 6.

(42)

1. Suhu dan Iklim

 Suhu udara rata - rata luar berada pada angka 18C -24C.

 Memiliki iklim tropis dengan dua musim yang berbeda, yaitu:

 musim kering (April -Oktober)

 musim basah (November - Maret)  Wilayah ini memiliki

kelembaban 58% - 95%,  Kecepatan angin 20

km/jam.

Gambar 32. Analisa dampak lingkungan pada bangunan ( Sumber: Nyoman, Leonardus, 2012 )

42

Bentuk massa bangunan kerucut mampu menahan gerakan angin yang kencang dan membuat bangunan menjadi lebih aerodinamis

Bentuk rumah panggung untuk menghindari lantai menjadi lembab akibat karakter tanah yang Material penutup atap sekaligus berfungsi sebagai dinding bangunan dan kulit

bangunan memberi

kemampuan pada bangunan untuk bertahan pada suhu

Bahan

penutup atap berupa

(43)

Gambar 32. Bahan penutup atap rumah tradisional Mbaru Niang

menyerap panas yang besar

( absortance ) dan

kemampuan transmisi panas ( transmittance ) yang rendah. Panas dari luar tidak langsung memanaskan

(44)

2. Tapak / Site  Berada pada dasar lembah pada dataran tinggi pegunungan, dimana sebagian site-nya dikelilingi oleh hutan tropis yang lebat dan pegunungan -pegunungan vulkanik yang ketinggiannya mencapai 2400 m diatas permukaan laut serta hutan

 Disain rumah tradisional ini berbentuk rumah panggung untuk menghindari dari serangan binatang buas yang ada didalam hutan maupun pegunungan (Lihat gambar 22, 32 dan 33.)

 Bentuk rumah yang kerucut berespon baik dengan angin pegunungan yang cenderung kencang

3. Vegetasi Berlokasi ditapak yang dikelilingi hutan tropis yang lebat yang kaya kan berbagai variasi vegetasi, seperti:pohon - pohon besar yang menghasilkan kayu, rotan, bambu dan sebagainya

 Rumah tradisional Mbaru Niang menerapkan konstruksi rangka kayu yang dibangun sepenuhnya dengan menggunakan material - material lokal yang diperoleh dari sekitarnya, yaitu hutan tropis lebat yang mengelilinginya, yang membuat wilayah ini kaya akan kayu, rotan dan bambu.

 Material - material bangunan bersifat biologis serta diperoleh dari hutan dan pegunungan setempat, seperti: kayu, bambu, rotan, daun lontar, dan lain - lain

(45)

Gambar 33. Struktur rangka kayu pada rumah tradisional Mbaru Niang

( Sumber: Lad, Jateen, 2011 )

Gambar 34. Anyaman daun lontar yang merupakan material lokal setempat

( Sumber: Tan, Ferry, 2011)

kayu yang dibangun

sepenuhnya dengan

menggunakan material

-material lokal yang bersifat biologis serta diperoleh dari

(46)

Gambar 34. Material kayu dan rotan merupakan material lokal setempat

(Sumber: Antar, 2011)

4. Tanah Tanah disekitarnya cenderung Sejalan dengan kondisi suhu dan iklim-nya maka tanah di lokasi ini cenderung lembab

 Disain berbentuk rumah panggung untuk menghindari tanah yang lembab (Lihat gambar 34.)

5. Air  Disekitar kampung Wae Rebo terdapat beberapa sungai dan sungai yang terdekat dengan kampung ini adalah sungai Wae Lomba yang merupakan bagian dari perjalanan memasuki kampung ini.

 Masyarakat lokal Wae Rebo belum mengenal sistem sanitasi sehingga pada disain rumah Mbaru Niang belum terdapat kamar mandi atau bak cuci piring.Untuk kebutuhan air bersih diperoleh dari sungai.

Kayu Worok

(47)

dan sekaligus bagian dari perjalanan memasuki Wae Rebo ( Sumber: Nyoman, Leonardus; Anggo, Martinus, 2010 )

PENGHUNI 1. Kebutuhan dasar  Kebutuhan / kegiatan dasar, seperti:  Makan, memasak  Tidur, istirahat,  Bersosialisasi (bertamu dan melakukan pertemuan adat)  Kebutuhan lainnya, seperti:  Mencari nafkah ( berkebun, bertenun)

Setiap kegiatan - kegiatan tersebut melahirkan ruang -ruang baik yang bersifat

indoor yang merupakan ruang - ruang utama dan ruang - ruang outdoor (Lihat

tabel 1, tabel 3. gambar 18 dan 36.)

utama tempat tinggal, terbagi dua zoning, yaitu:

Nolang (area privat), berupa kamar - kamar sebagai wadah beristirahat / tidur, dimana setiap kamar dilengkapi dengan hapo (tungku) untuk memasak

Lutur (area publik) sebagai wadah untuk bersosialisasi

(48)

Gambar 36. Denah lantai dasar

( Sumber: Rumah Asuh, 2012 ) 4 5 1 2 Keterangan: 1 Pintu masuk 2 Lutur (Publik) 3 Nolang (Privat) 4 Tiang Bokong

(49)

( Sumber: Agung, Yuniadhi, 2013 )

Gambar 38. Upacara adat dilaksanakan pada pelataran rumah ( Sumber: Antar, Yori, 2011 )

2. Adat istiadat /

kebudayaan

 Memeluk agama Katolik namun memiliki keyakinan animisme

 Sangat menghormati para leluhurnya dengan ritual -ritualnya

 Lantai teratas yang bernama Hekang Kode, merupakan ruang pemujaan kepada leluhur. Penempatannya pada lantai teratas / tertinggi sebagai simbol penghormatan kepada leluhur (Lihat gambar 18.)

(50)

dituangkan dalam penataan lingkungan maupun disain rumah tradisionalnya

 Karakter masyarakatnya: rendah hati, kekeluargaan, hidup harmonis dan bersatu  Memegang teguh dan

melestarikan kebudayaan/ adat istiadat-nya

 Beberapa upacara adat yang rutin diadakan oleh masyarakat setempat, antara lain:

 Upacara Caci, sering disebut tarian atau permainan

kekeluargaan,

persahabatan dan seni yang merupakan bagian penting dalam perayaan tahun baru. Merupakan permainan cambuk dimana para lelaki bertarung dengan cambuk sering sampai mengeluarkan darah.

rumah sebagai pelambang persatuan, kekeluargaan, keharmonisan dan persamaan hak (Lihat gambar 36.)

 Sesuai dengan keyakinan setempat bahwa jumlah rumah dalam kampung ini harus berjumlah tujuh rumah. Ketujuh bangunan tersebut membentuk formasi setengah lingkaran dan semua rumah harus menghadap batu Compang sebagai perlambang persatuan (Lihat gambar 39)

Upacara - upacara keagamaan / adat yang bersifat outdoor dilaksanakan pada lapangan / halaman di depan rumah (lihat gambar 38.)

 Batu compang selain sebagai tempat untuk bercengkrama antar masyarakat juga sebagai alatar dalam pelaksanaan upacara adat

Upacara - upacara keagamaan / adat yang bersifat indoor dilaksanakan didalam rumah pada area publik, yang disebut Lutur (Lihat gamabar 36.)

(51)

sifat sportif, keperkasaan,

keberanian dan sebagai daya tarik bagi perempuan.  Upacara adat Kasawiang, yang digelar saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari Timur ke Barat

 Upacara Penti atau tahun baru, yang jamak digelar pada bulan November

Gambar 39. Setiap Mbaru Niang harus menghadap batu Compang, yang terletak ditengah - tengah halaman rumah

Batu Compang yang terletak di halaman rumah sebagai tempat masyarakat bercengkrama dan juga digunakan sebagai altar untuk upacara adat / keagamaan

(52)

3. Mata pencaharian

 Pekerjaan dominan, yaitu: Berkebun. Kopi, cengkeh, temulawak, jahe, sirih dan tanaman buah – buahan serta sayur – sayuran merupakan tanaman yang dihasilkan dari perkebunan masyarakat setempat.

Sumber: Jaten, Led, 2012

Lantai 3 disebut Lentar, sebagai tempat penyimpanan bibit - bibit tanaman Kegiatan bertenun yang umumnya

dilakukan para ibu di kolong (Rumah panggung) Mengeringka n dan menumbuk kopi dilakukan di halaman rumah

(53)

 Pekerjaan lainnya, yaitu: bertenun, tukang, guru dan pemandu wisata

pung.arsitektur

.nusantara/006/003/51

Gambar 40. Ruang - ruang yang berhubungan dengan mata pencaharian

(Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

Untuk berkebun dilakukan pada lahan disekitar rumah seperti yang terlihat pada gambar 11.

 Bertenun dilakukan pada kolong rumah yang umumnya dilakukan oleh para ibu (Lihat gambar 40), sedangkan pekerjaan profesi guru berlokasi di luar kampung karena pada kampung ini tidak ada fasilitas sekolah dan cukup jarang

 Pemandu wisata adalah profesi yang terbilang baru karena dilakoni setelah wisatawan berdatangan ke kampung ini

Tabel 6. Tabel Analisa Aplikasi Arsitektur Biologis pada rumah tradisional Mbaru Niang (Sumber: Siahaan, Fanny, 2015)

(54)

rumah tradisional Mbaru Niang dimana aplikasi tersebut dianalisa dari beberapa indikator, yaitu lingkungan beserta variabel - variabelnya dan penghuni beserta variabel - variabelnya.

Dari analisa tersebut terlihat bagaimana lingkungan dan penghuni memberi dampak / pengaruh pada bangunan, yang dalam hal ini adalah rumah tradisional Mbaru Niang. Dapat dikatakan bahwa bangunan disesuaikan dengan lingkungan dan penghuni-nya, dimana hal ini menunjukkan penerapan arsitektur biologis didalamnya.

V.

KESIMPULAN

Berdasarkan identifikasi dan analisa yang telah dilakukan pada bab -bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

1. Parameter - parameter konsep Arsitektur Biologis adalah sebagai berikut:

 Arsitektur biologis merupakan Arsitektur (bangunan) yang sesuai dengan lingkungan dan penghuni-nya

(55)

berikut:

o Lingkungan, yang memiliki variabel – variabel sebagai berikut:  Iklim dan suhu

 Site / tapak  Vegetasi  Tanah  Air

o Bangunan dengan variabel – variabel sebagai berikut:  Denah

 Bahan / material bangunan  Konstruksi bangunan

o Manusia / penghuni dengan variabel – variabel sebagai berikut:  Kebutuhan dasar manusia / penghuni

 Kebiasaan penghuni / kebudayaan / adat istiadat  Mata pencaharian

2. Penerapan arsitektur biologis dapat terlihat jelas pada rumah tradisional Mbaru Niang, yaitu pada denah / organisasi ruang, material - material bangunan dan konstruksi bangunan.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada ilmu arsitektur terkait dengan pengetahuan arsitektur biologis dan sekaligus kepada perancang ( arsitek ) dalam mendisain bangunan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kebutuhan penghuni.

DAFTAR PUSTAKA

1. Antar, Yori. (2011). Pengalaman Membangun Waerebo, Denpasar. 2. Asdhiana, Made. ( 2013).

"http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kear ifan.yang.Mempesona "

3. Balai Pengembangan Teknologi Pembangunan Tradisional. (2008). Laporan Akhir Penelitian Desa - Desa di NTT, Balilitbang Kementerian pekerjaan Umum

4. Balai Pengembangan Teknologi Pembangunan Tradisional. (2009). Laporan Akhir Penelitian Desa - Desa Tradisional di Provinsi Bali, NTB dan NTT, Balilitbang Kementerian pekerjaan Umum

5. Bungin, Burhan. (2004). Metodelogi Penelitian Kualitatif - Aktualisasi Metodelogis ke Arah Ragam varian kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

(56)

Konstruksi Bangunan Tradisional Manggarai sebagai Kunci Keberhasilan dan Upaya Pelestariannya, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Vol.1, No.1 Juli 2012, p. 75 -85

7. Domenig, Gaudenz. (1980). Arsitektur Primitif yang Tahan Gempa 8. Frick, H.(1994). Arsitektur dan Lingkungan. Kanisius. Jogjakarta

9. Frick, H. Suskiyatno, B.(2011). Dasar - Dasar Arsitektur Ekologis, Kanisisus. Penerbit ITB

10. Koran Arsitektur.

(2012)."http://archiholic99danoes.blogspot.com/2012/03/rumah-kerucut-kampung-adat-wae-rebo.html"

11. Lad, Jateen. (2013). Preservation of The Mbaru Niang, On Site Review Report

12. Nyoman, Leonardus ; Anggo, Martinus (2010).

http://baltyra.com/2010/05/20/a-journey-to-wae-rebo-traditional-village/

13. Leonardus, Nyoman.

(2012 ).http://www.indonesia.travel/en/photoessay/details/post/51 14. National Geographic Indonesia. (Desember 2008). Ekologi dan

Budaya Flores Barat

15. Prijotomo, Joseph. (1997). Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, Pasca Sarjana FTSP, ITS Surabaya

16. Prijotomo. (2010). Konservasi Lingkungan Bina Nusantara, Denpasar

17.

Setianingsih,D.

(2013)." http://travel.kompas.com/read/2013/09/30/1624108/Melesta rikan.Kearifan.Wae.Rebo ".

18. Silas, Johan. (1986). Pengertian Pembangunan, Jurnal Pemukiman, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan PU, Departemen PU

19. Sulistiana,N.

(2013)." http://perjalanannyoman.blogspot.com/2013/12/mbaru-niang-dan-hangatnya kehidupan.html"

(57)

Bangunan Tradisional Terhadap kenyamanan Termal Hunian, Studi Lapangan Pada Musim Hujan. PPIS Prosiding, Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standarisasi 2011, Yogyakarta

Gambar

Gambar 2.  Skema Indikator - Indikator dan Variabel - Variabel Arsitektur Biologis
Gambar  4.  Peta Flores
Gambar 5.  Jalan setapak menuju kampung Wae Rebo
Gambar 8.  Posisi sungai yang mengaliri kampung Wae Rebo  (Sumber: http://waerebopower.com/about.php)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem terdistribusi terjadi pada HoBSy dimana dua prosesor, Total Hari dan Total Harga Tempat Tidur, berjalan dan menempati satu memori yang terletak didalam Total