• Tidak ada hasil yang ditemukan

우리가싸우는건세상을바꾸기위해서가아니라, 세상이우리를바꾸지못하게하기위해서예요.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "우리가싸우는건세상을바꾸기위해서가아니라, 세상이우리를바꾸지못하게하기위해서예요."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang

“우리가 싸우는 건 세상을 바꾸기 위해서가 아니라, 세상이 우리를 바

꾸지 못하게 하기 위해서예요.”

“Pertarungan kita ini bukanlah untuk mengubah dunia, tetapi agar dunia tidak bisa mengubah kita”

(Seo Yu Jin, dalam Dogani)

Cuplikan di atas adalah perkataan Seo Yu Jin, seorang tokoh wanita utama dalam novel Dogani karya penulis kawakan Korea, Gong Ji Young. Novel ini diangkat dari kisah nyata mengenai pelecehan dan kekerasan seksual terhadap siswa-siswi sekolah luar biasa Inhwa di kota Gwangju yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan staf sekolah tersebut. Peristiwa ini telah terjadi pada tahun 2000-2005 atau bahkan diduga jauh sebelum itu. Namun peristiwa mengejutkan ini baru terungkap pada tahun 2005 melalui sebuah acara investigasi di salah satu stasiun televisi setempat (MBC PD수첩: “은폐된 진실, 특수학교 성푹력 사 건 고발” 2005-11-1). Berita tersebut sangat menggemparkan dan memicu banyak reaksi masyarakat. Hal ini terutama dikarenakan pemberian hukuman yang terbilang ringan kepada para pelaku tindak asusila tersebut.

Novel Dogani berkisah tentang terungkapnya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Jae Hakwon, sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan

(2)

khusus yang berlokasi di kota Mujin, sebuah kota fiktif di Korea dengan ciri khas kabutnya yang tebal dan selalu menyelimuti kota tersebut. Kasus pelecehan di sana terungkap oleh seorang guru pengganti sementara yang bernama Kang In Ho, seorang lelaki muda usia 30an awal yang berasal dari kota Seoul. Sejak awal kedatangannya ke sekolah khusus Jae Hakwon, Kang In Ho sudah merasakan sesuatu yang ganjal. Murid-murid di sekolah tersebut terlihat tertutup dan bahkan menghindarinya. Selain itu, In Ho juga menemukan bahwa salah satu muridnya sering datang ke kelas dalam keadaan babak belur. Setelah beberapa kali mencoba mengorek apa yang terjadi pada murid-muridnya, pada akhirnya murid-muridnya mulai membuka hati dan menceritakan apa yang terjadi di sekolah tersebut.

Singkat cerita, diketahui dari para siswa-siswi bahwa ternyata di Jae

Hakwon tersebut telah terjadi pelecehan seksual dan juga kekerasan fisik oleh

kepala sekolah, para guru dan staf sekolah tersebut. Pelecehan tersebut telah berlangsung sejak lama dan bahkan menyebabkan beberapa siswa melakukan tindakan bunuh diri. In Ho akhirnya memutuskan untuk membantu murid-muridnya yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual agar mendapat keadilan. Bersama dengan seniornya di perguruan tinggi yang sekaligus pegawai pusat pembelaan hak asasi manusia di kota Mujin, Seo Yu Jin dan pendeta Choi, mereka mencoba memberitahukan kepada dunia tentang apa yang terjadi pada siswa-siswi di Jae Hakwon.

In Ho dan Yu Jin menghubungi kantor berita dan stasiun televisi setempat untuk meliput kasus pelecehan seksual di Jae Hakwon. Namun tindakan mereka

(3)

ini menuai kecaman dan bahkan ancaman dari berbagai pihak yang berkepentingan di kota Mujin. In Ho dan Yu Jin juga menemui berbagai kesulitan dalam rangka membela hak para siswa-siswi Jae Hakwon tersebut. Sebagai contohnya, dokter spesialis kandungan yang diminta untuk memeriksa korban, di persidangan justru memanipulasi hasil diagnosa korban. Pada awal pemeriksaan dikatakan bahwa korban (pasien) bisa dikatakan telah mengalami pelecehan seksual dengan melihat kondisi kemaluan yang terluka dan selaput dara yang sudah terkoyak. Namun pada saat dokter tersebut diminta memberi kesaksian di persidangan, ia justru membeberkan hasil diagnosa yang telah dibuat ulang. Setelah ditelusuri, ternyata dokter kandungan tersebut memiliki hubungan dengan terdakwa, yaitu kepala sekolah dan kepala staf administrasi sekolah Jae Hakwon.

Kesulitan demi kesulitan terus ditemui oleh In Ho dan Yu Jin karena mencoba melawan para terdakwa, yang juga merupakan orang terpandang di kota Mujin. Dengan kekuasaannya, para terdakwa bekerja sama dengan polisi, dinas pendidikan, dinas kesejahteraan masyarakat, pengacara bahkan para jemaah gereja kota setempat agar bebas dari tuduhan yang diajukan oleh In Ho, Yu Jin, serta murid-muridnya. Mereka juga kerap meneror In Ho dan Yu Jin seperti dengan menyewa preman untuk “melenyapkan” In Ho, mencoba menyuap Yu Jin yang anaknya sakit-sakitan, dan mengorek masa lalu In Ho yang sempat memiliki skandal dengan salah satu muridnya ketika ia mengajar di sebuah sekolah menengah1. Para terdakwa melalui pegawai bawahannya juga melakukan

1 Masa lalu In Ho dikorek oleh pihak terdakwa den akhirnya diketahui bahwa dulu In Ho sempat mempunyai hubungan dengan salah seorang murid wanitanya ketika masih bertugas sebagai guru magang di sebuah sekolah menengah. Murid itu terobsesi dengan In Ho dan terus mengejarnya

(4)

negosiasi2 dengan para wali murid agar bisa dimaafkan dan dicabut tuntutannya. Keterbatasan ekonomi para wali murid korban pelecehan dan juga keterbatasan hukum yang menyatakan bahwa anak di bawah 13 tahun tidak bisa memutuskan segalanya sendiri membuat para wali murid akhirnya bersedia “bernegosiasi” dengan para terdakwa, sehingga tuntutan terhadap mereka dicabut dan para terdakwa dinyatakan tidak berdosa.

Novel Dogani ditutup dengan akhir yang mengambang. Digambarkan bahwa In Ho akhirnya memilih untuk berhenti membela murid-muridnya di Jae Hakwon dan memilih kembali kepada keluarganya di Seoul karena merasa itu pilihan terbaik yang bisa ia lakukan. Sementara itu, Yu Jin dan pendeta Choi terus berjuang menuntut keadilan untuk murid-murid Jae Hakwon dengan terus melakukan demo di depan kantor dinas pendidikan kota Mujin. Setelah masa persidangan berakhir, Yu Jin mengirim surat kepada In Ho dan menceritakan bahwa ia masih terus berjuang membela anak-anak korban pelecehan seksual di Jae Hakwon. Yu Jin juga menceritakan bahwa kini murid-murid dibantu banyak orang. Setelah memberitakan kejadian di Jae Hakwon kepada khalayak, banyak orang yang memberikan dukungan baik secara moral maupun material kepada mereka. Setelah masa persidangan, anak-anak korban pelecehan di Jae Hakwon menerima pelatihan dan terapi untuk membantu mereka menghadapi kenyataan.

Meskipun demikian, mereka tidak bersedia untuk kembali belajar di

untuk menikahinya. In Ho menolak permintaan sang murid karena ia menganggap hubungannya waktu itu tidak serius, namun sang murid begitu kecewa sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Poin inilah yang dijadikan titik serang oleh pihak terdakwa. Mereka menganggap In Ho juga bukannya manusia yang bersih, sehingga ia tidak layak menuntut para terdakwa dan membela para muridnya yang menjadi korban pelecehan seksual.

(5)

sekolahnya. Oleh karena itu mereka dikirim ke sekolah-sekolah umum untuk melanjutkan pendidikan. Mereka mungkin tidak akan pernah lupa akan apa yang menimpanya, tapi setidaknya setelah perjuangan panjang itu, anak-anak jadi lebih menghargai dirinya sendiri. Yu Jin juga menyampaikan dalam suratnya bahwa Ia, murid-murid Jae Hakwon dan yang lainnya tidak menyalahkan atau membenci tindakan In Ho yang tidak berjuang bersama mereka sampai akhir. Yu Jin mengatakan bahwa pertarungan mereka bukanlah untuk mengubah dunia, tapi agar dunia tidak mampu mengubah mereka.

Novel Dogani memang berakhir mengambang, meskipun demikian, novel ini berhasil merebut perhatian khalayak Korea. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, novel ini awalnya dipublikasikan di portal internet Daum, khususnya pada kolom “Sastra dalam dunia” sejak tanggal 26 November 2008 sampai 7 Mei 2009 dan mendapatkan respon yang hangat dari para netizen. Daum mencatat bahwa selama kurang lebih enam bulan, novel internet tersebut telah dibaca sebanyak 11 juta kali oleh para netizen. Setelah diterbitkan dalam bentuk buku, novel Dogani berhasil terjual sebanyak 840.000 eksemplar dan sekaligus mengantarkannya ke jajaran novel terlaris di Korea (http://news.mk.co.kr).

Gong Ji Young menyatakan bahwa sebelum menerbitkan Dogani, ia sebenarnya tengah mengerjakan novel lainnya. Namun setelah mendengar berita mengenai pelecehan seksual di sekolah luar biasa di kota Gwangju, ia seketika berubah pikiran dan berniat menulis kisah tentang kejadian menggemparkan tersebut. Gong mengaku bahwa ia terinspirasi menulis novel Dogani karena sebaris headline surat kabar yang ia baca. Berita tersebut ditulis oleh seorang

(6)

wartawan magang muda yang menggambarkan suasana sidang putusan akhir terkait kasus pelecehan seksual terhadap siswa-siswi sekolah luar biasa Inhwa di kota Gwangju. Bunyi headline tersebut kurang lebih “ketika putusan pemberian hukuman ringan berupa masa percobaan kepada para tersangka dialih bahasakan ke dalam bahasa isyarat, ruang sidang dipenuhi dengan tangisan dan teriakan para tuna rungu yang tidak bisa diartikan”. Pada saat membaca headline itu pula, Gong seolah merasakan jeritan dan tangisan kaum tuna rungu yang belum pernah dia alami sebelumnya dan hatinya terasa sakit seperti ditusuk duri. Semenjak saat itu pula Gong tidak bisa lagi melanjutkan karya yang sedang dia persiapkan. Satu baris headline itu menurut pengakuannya telah mengubah hidupnya. Gong akhirnya memutuskan untuk terjun ke lapangan dan melakukan investigasi mengenai kasus tersebut, dan setelah dua tahun, terciptalah novel Dogani.

Kunci larisnya novel Dogani di pasaran diyakini tidak hanya terletak pada tema novel yang diangkat dari kisah nyata, tetapi juga berkat keahlian penulisnya. Gong Ji Young termasuk penulis kawakan di Korea. Ia telah berkecimpung di dunia sastra sejak tahun 1988 melalui cerpennya yang berjudul 동트는 새벽 (dongteuneun saebyok) yang berarti “fajar menyingsing” yang diterbitkan dalam jurnal 창작과 비평 (changjak-gwa bipyeong) atau “tulisan kreatif dan kritik” edisi musim gugur. Gong juga dikenal sebagai penulis yang aktif dan produktif dalam menulis karya. Dia telah menghasilkan 9 novel, 3 antologi novelet, 5 antologi prosa dan beberapa buah cerpen. Ia juga dikenal dengan gaya penulisannya yang dinamis dan tajam sehingga mampu menggerakkan hati pembacanya. Selain itu, tema-tema yang diusung oleh Gong biasanya adalah

(7)

mengenai permasalahan sosial di sekitarya. Sebagai penulis, Gong telah diakui di bidangnya dengan mendapatkan beberapa penghargaan seperti penghargaan sastra abad 21, penghargaan novel Korea, penghargaan sastra Oh Yeong Soo, penghargaan khusus dari Amnesty Journalism, penghargaan sastra katolik ke 10, dan juga penghargaan tertinggi dari anugerah sastra Lee Sang ke 35.

Meskipun novel Dogani dinilai kurang memiliki nilai estetik yang tinggi karena berfokus pada penceritaan sebuah kasus pelecehan seksual, namun novel ini tetap diminati banyak orang yang salah satunya adalah actor Gong Yoo. Gong Yoo yang waktu itu sedang berada dalam masa wajib militer mendapat hadiah berupa novel Dogani, dan setelah membacanya ia tergerak untuk memfilmkan kisah tersebut. Ia lalu menghubungi penulis Gong Ji Young untuk membicarakan idenya tersebut dan akhirnya 2 tahun kemudian (2011) Dogani diangkat ke layar lebar. Film Dogani mencatat rekor sebagai film box office dengan 4,7 juta penonton3 yang di antaranya termasuk presiden Lee Myung Bak. Ini berarti

bahwa hampir 1/10 warga Korea Selatan menonton film ini.

Sama seperti novelnya, film Dogani juga berhasil menuai reaksi masyarakat Korea, bahkan lebih hebat. Setelah penayangan film Dogani di layar lebar, penjualan novel Dogani kembali meroket dan masyarakat Korea kembali membahas isu pelecehan seksual yang sempat menggemparkan Korea di tahun 2005 itu. Salah satu reaksi masyarakat setelah penayangan film Dogani adalah

3 KOFIC (Korea Film Council)

http://www.kobis.or.kr/kobis/business/stat/boxs/findYearlyBoxOfficeList.do?loadEnd=0& searchType=search&sSearchYearFrom=2011&sMultiMovieYn=&sRepNationCd=&sWide AreaCd=

(8)

dengan munculnya penandatanaganan petisi yang diusung oleh para netizen untuk menuntut pengusutan ulang kasus pelecehan seksual tersebut. Sebanyak 236.521 orang bergabung dalam petisi tersebut, dan keajaiban terjadi setelah itu. Dalam waktu dua bulan setelah film Dogani ditayangkan, sekolah luar biasa Inhwa yang merupakan tempat kejadian pelecehan seksual secara resmi ditutup oleh pemerintah Korea. Selain itu, pemeriksaan ulang terhadap para pelaku kejahatan juga dilakukan sehingga akhirnya mereka disidangkan kembali dan dijatuhi hukuman yang lebih berat dari sebelumnya. Tak hanya itu, pemerintah melalui dewan perwakilan rakyat mengadakan rapat khusus untuk mengamandemen undang-undang mengenai pelecehan seksual di Korea. Undang-undang tersebut kemudian dinamai undang-undang “Dogani”. Dalam amandemen undang-undang ini disebutkan bahwa batas masa kasus pelecehan seksual ditiadakan dan korban pelecehan seksual yang berusia di bawah 13 tahun pun bisa membela diri dan menyatakan pendapatnya di pengadilan, tanpa harus diwakili oleh walinya. Selain itu, dalam undang-undang ini juga diatur kembali mengenai pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan seksual dengan hukuman yang lebih berat dari sebelumnya.

Semenjak terbitnya novel Dogani, kesadaran masyarakat mengenai kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah luar biasa Inhwa meningkat. Selain itu, banyak penelitian dilakukan terkait kasus tersebut. Penelitian tersebut dilakukan oleh para ahli maupun kaum akademisi dari berbagai bidang seperti hukum, kesejahteraan masyarakat, kebijakan sosial, pendidikan, psikologi, maupun sastra. Hal ini menunjukkan bahwa kasus Dogani benar-benar diperhatikan oleh

(9)

masyarakat Korea, dan novel Dogani lah yang membuat warga Korea menyadari betapa pentingnya kasus tersebut.

Latar belakang penulisan novel Dogani yang berawal dari peristiwa nyata serta pengaruhnya bagi masyarakat tampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan Giddens bahwa terjadi hubungan timbal balik antara struktur sosial dan pelaku sosial (agen). hubungan antara struktur sosial dan agen adalah dualitas, bukannya dualism. Giddens menyatakan bahwa dalam kehidupan sosial, agen ataupun aktor tidak serta merta mendapat pengaruh dari masyarakatnya saat melakukan tindakan, tetapi ia merupakan agen kompeten yang memiliki kesadaran dan kekuasaan untuk melakukan tindakan sosial. Lebih jauh lagi, agen juga mampu memberi pengaruh kepada masyarakatnya ataupun menjaga dirinya dari pengaruh dunia melalui tindakannya. Para agen juga mampu menjelaskan tindakannya, atau jika perlu berbohong tentangnya.

Gong Ji Young memang mengakui bahwa ia terinspirasi menulis novelnya karena tragedi nyata di sebuah sekolah luar biasa, namun tidak berhenti di situ saja. Gong sebagai agen atau aktor, melakukan tindakan sosial berupa menulis novel dalam rangka mempengaruhi masyarakatnya, yaitu di antaranya agar mereka mengetahui, memahami, dan mengingat peristiwa ini sebagai peristiwa yang penting sekaligus perlu ditindak lanjuti. Selain itu, penulis juga berharap agar melalui tulisannya, ia bisa menyadarkan banyak orang dan menggerakkan mereka untuk turut serta mengubah struktur yang ada. Usaha Gong ini akhirnya berhasil dengan ditutupnya sekolah luar biasa Inhwa, diralatnya undang-undang mengenai pelecehan seksual terhadap kaum tak berdaya, dan penyelidikan serta

(10)

persidangan ulang terhadap para tersangka kasus pelecehan tersebut.

Giddens menyebutkan bahwa dalam teori strukturasi, struktur merupakan media sekaligus hasil dari praktik sosial. Struktur juga merupakan perangkat aturan-aturan yang mengikat, namun juga sumber daya yang memungkinkan agen dalam bertindak. Dalam kasus penulisan novel Dogani, misalnya, penulis mungkin membuat novel seperti itu karena stuktur sosial yang memungkinkan hal itu terjadi. Di saat yang sama, reaksi masyarakat yang sedemikian rupa dan perubahan sosial yang terjadi merupakan akibat dari praktik-praktik sosial yang dilakukan oleh agen seperti Gong Ji Young secara berulang melalui ruang dan waktu. Gong sebagai agen yang memiliki kesadaran dan pengetahuan, berhasil menggerakkan orang lain untuk menjadi agen-agen dengan misi yang sama dengannya, yaitu mengubah struktur masyarakat yang dirasa kurang benar.

Setelah Gong menyelesaikan novelnya terjadi serangkaian tindakan social oleh agen-agen yang ingin mereproduksi struktur. Berawal dari novel karya Gong, terciptalah film Dogani. Kemudian film tersebut memicu masyarakat untuk menggalang dukungan dalam bentuk petisi yang menuntut pengusutan ulang kasus “Dogani” dan sekaligus permintaan untuk menutup sekolah luar biasa Inhwa.

Menurut Giddens, proses strukturasi bisa menghasilkan perubahan ke arah yang baik maupun yang buruk. Hal ini terjadi karena suatu tindakan yang bertujuan terkadang bisa menghasilkan akibat-akibat yang tidak diperkirakan. Meskipun demikian, perubahan sosial sebagai dampak dari penulisan novel

(11)

masyarakat Korea. Keberhasilan ini menunjukkan adanya interaksi yang baik antara agensi yang dilancarkan agen (atau agen-agen) dan struktur sosial Korea. Oleh karena itu, nampaknya penelitian untuk mengetahui lebih lanjut mengenai interaksi ini perlu dilakukan dengan pendekatan teori strukturasi Anthony Giddens.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat diasumsikan bahwa pengarang Gong Ji Young menciptakan novel Dogani karena terpengaruh oleh kondisi sosial masyarakatnya, dan di sisi lain, novel Dogani juga memberi pengaruh kepada masyarakatnya yaitu dengan diralatnya undang-undang mengenai tindak kekerasan fisik dan seksual kepada kaum disabilitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi interaksi antara stuktur (masyarakat) dan agen (penulis Gong Ji Young dan novelnya). Proses timbal balik atau saling mempengaruhi antara struktur dan agen ini menjadi menarik untuk diteliti karena tidak semua usaha agensi menemui keberhasilan seperti yang dilakukan oleh Gong Ji Young kepada struktur sosialnya. Oleh karena itu, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah penyebab keberhasilan strukturasi atau proses produksi dan reproduksi struktur oleh agen dalam lintas ruang dan waktu. Untuk memecahkan rumusan masalah ini, diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah struktur sosial Korea dan dualitas Gong Ji Young sebagai agen strukturasi?

(2) Bagaimanakah agensi yang dilakukan oleh Gong Ji Young (agen) melalui novel Dogani untuk mereproduksi struktur sosialnya?

(12)

(3) Bagaimanakah perubahan sosial (strukturasi) yang terjadi sebagai hasil dari agensi Gong Ji Young?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap tindakan-tindakan agen dalam proses strukturasi masyarakat Korea melalui munculnya novel Dogani oleh penulis Gong Ji Young. Dalam penelitian ini, motif-motif dibalik tindakan social yang dilakukan oleh para agen dalam usaha menstrukturasi sistem juga akan digali. Dengan mengungkap hal-hal seperti itu, kita akan bisa memahami proses timbal balik antara keberpengaruhan kondisi sosial korea dalam penciptaan novel

Dogani dan juga keberperpengaruhan novel dalam usaha strukturasi system social

Korea. Dengan kata lain, kita bisa menemukan bahwa dalam dunia sosial, posisi agen (subjek) dan struktur sosial (objek) tidak ada yang saling mengungguli, melainkan saling bergantung. Tidak ada agen tanpa struktur, demikian juga sebaliknya. Struktur membatasi agen dengan segenap aturan dan hukumya, tetapi di saat yang sama juga memungkinkan agen untuk melakukan tindakan sosial dalam rangka memproduksi ataupun mereproduksi struktur.

1.4 Tinjauan Pustaka

Setidaknya ditemukan dua buah penelitian di kalangan Universitas Gadjah Mada yang menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens untuk menganalisis karya sastra. Penelitian tersebut dilakukan oleh Rizki Nufiarni(2015) yang berjudul “Rasisme dalam All God’s Chillun Got Wings Karya Eugene

(13)

O’Neill dalam Perspektif Strukturasi Giddens”. Tesis ini mengungkap peran dualitas struktur O’Neill sebagai pengarang terhadap rasisme di masyarakat Amerika dan juga peran tokoh-tokoh dalam karya O’Neill dalam menggambarkan rasisme yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengarang melakukan tindakan komunikatif dengan membawa perbedaan ras sebagai latar dalam dramanya, sehingga dengan ini, pengarang menyadarkan masyarakat bahwa struktur rasis yang berkembang di Amerika tidak terjadi begitu saja. O’Neill menyatakan bahwa seiring berjalannya waktu, anak-anak dari masing-masing ras melakukan tindakan social yang menegaskan posisi mereka melalui struktur masyarakat yang ada. Anak-anak dari kelompok kulit putih tumbuh dengan supremasi kulit putih, sementara anak-anak dari kelompok kulit hitam tumbuh dengan inferioritas kulit hitam. Hal ini mempengaruhi tindakan anak-anak dan membuat mereka bertindak secara rekursif sehingga struktur rasis terus bertahan sekaligus berkembang di kalangan masyarakat Amerika.

Penelitian kedua dengan sudut pandang teori strukturasi Giddens dilakukan oleh Galuh Febri Putra(2015) Dalam penelitiannya yang berjudul “KeAustraliaan dalam Miles Franklin Awards pada Tahun 1957-1995: Kajian Strukturasi Giddens”, Galuh membahas pergeseran keAustraliaan dalam karya sastra Australia melalui ajang Miles Franklin Awards. Ia mengungkap proses pergeseran keaustraliaan dari masa ke masa dan agen-agen yang berperan penting dalam penetapan sekaligus perubahan nilai keaustraliaan tersebut. Galuh menyebutkan bahwa pergeseran terjadi seiring dengan berkembangnya masyarakat dan kesadaran para agen baik di dalam panel penjurian Miles Franklin

(14)

Awards maupun di luarnya.

Meskipun Gong Ji Young melalui novel Dogani dianggap memainkan peran penting dalam perubahan sosial di Korea terkait kasus pelecehan seksual “dogani”, tidak ditemukan penelitian di Korea yang khusus membahas novel ini. Kebanyakan penelitian justru berfokus pada film Dogani. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Arum Mayang Sari(2014) yang membahas representasi kekerasan terhadap anak dalam film Dogani dengan sudut pandang sosiologi sastra. Arum menemukan setidaknya ada tiga jenis kekerasan dalam film

Dogani, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan emosional.

Perbedaan penelitian Sari dan penelitian ini adalah pada objek formalnya. Jika penelitian Sari membahas mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam film Dogani, penelitian ini membahas mengenai proses interaksi antara agen (penulis) dan struktur sosialnya yang menghasilkan perubahan sosial.

Penelitian lain mengenai flm Dogani dilakukan oleh Gye Un Gyeong yang menganalisis strategi representasi yang digunakan dalam film Dogani sehingga membuat film itu meraih popularitas di kalangan masyarakat Korea. Gye menyebutkan bahwa film Dogani menggunakan narasi klasik, memori kolektif, dan self reflexifity yang memicu kemarahan masyarakat. Masyarakat yang marah kemudian berkumpul di ranah cyber (dunia maya) untuk menunjukkan partisipasinya seperti menggalang petisi untuk kasus dogani. Dengan strategi seperti ini, film Dogani tidak hanya memicu reaksi di kalangan masyarakat, namun juga berhasil menciptakan masyarakat yang partisipatif.

(15)

objek film Dogani. dalam tulisannya ia sedikit mengubah konsep original Habermas mengenai ruang public sastra menjadi konsep yang lebih luas yaitu ruang public cultural dalam rangka mengakomodasi budaya popular dan hiburan. Jo menjelaskan bahwa di dunia modern seperti sekarang ini ruang cultural public tidak terbatas pada karya-karya sastra tapi juga mencakup drama televisi dan film-film. Menurutnya, berbeda dengan karya sastra yang bersifat kognitif, film lebih bersifat emosional. Film Dogani misalnya mampu menjadi ruang public cultural yang memungkinkan penonton ikut merasakan rasa sakit melalui komunikasi yang emosional. Film ini juga membantu para penonton untuk merenungkan kembali mengenai kehidupannya dan bagaimana mereka harus bersikap atas system yang mungkin diluar kendali mereka.

Dengan melihat beberapa penelitian di atas, dapat diamati bahwa penelitian mengenai Dogani lebih sering membahas film dibandingkan novelnya. Selain itu, ketiga penelitian tersebut menghubungkan film dogani dengan realita sosial yang dipicu olehnya. Hal ini menunjukkan bahwa Dogani memang menarik untuk diteliti dari sudut pandang ilmu sosial. Dan kenyataan bahwa belum ada penelitian yang memfokuskan pada novel Dogani membuat penulis semakin tertarik untuk mengkajinya dengan sudut pandang ilmu sosial, khususnya dengan teori strukturasi Anthony Giddens.

1.5 Landasan Teori

Teori strukturasi Anthony Giddens dibangun berlandaskan pada kritik terhadap teori-teori besar seperti fungsionalisme dan strukturalisme, serta

(16)

sosiologi interpretative yang terutama terkait dengan pemahaman atas struktur dan tindakan (action) manusia. Giddens secara khusus mengkritik masalah dualisme yang menggejala dalam teori-teori ilmu sosial. Dualisme ini berupa pertentangan antara objektivisme dan subjektivisme, vouluntarisme dan determinisme (Priyono,2016:6). Subjektivisme dan voluntarisme merupakan pandangan yang memprioritaskan pengalaman atau tindakan individu di atas gejala keseluruhan (struktur), sementara objektivisme dan determinisme memandang bahwa gejala keseluruhan (struktur) menentukan tindakan individu. Pandangan semacam ini menurut Giddens disebabkan oleh kerancuan dalam melihat objek kajian ilmu sosial.

Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ (social role) seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode tersembunyi (hidden code) seperti dalam strukturalisme Levi Strauss, bukan juga ‘keunikan situasional’ seperti dalam interaksionisme simbolis Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian; bukan struktur dan bukan juga pelaku perorangan, melainkan titik temu antara keduanya. Itulah “praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang” (Priyono, 2000:6, Giddens, 2010:3). Sebagai titik temu, praktik sosial menghubungkan antara struktur dan pelaku (agen). Dan menurut Giddens, keterkaitan antara struktur dan pelaku (agen) bukanlah dualisme (tegangan atau pertentangan), melainkan dualitas (timbal balik). Inilah yang kemudian menjadi kunci dari teori strukturasi Giddens.

Bagi Giddens, mengatakan bahwa struktur berbeda dari agen adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengatakan bahwa struktur terkait dengan agen

(17)

tidak akan menjelaskan apapun. Oleh karena itu Giddens (1979:53) beranggapan bahwa struktur dan agen saling mengandaikan. Tidak ada struktur tanpa agen, dan demikian pula sebaliknya. Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa strukturasi menekankan integrasi struktur dan agen.

Dalam teori strukturasi, struktur memiliki makna berbeda dari penggunaannya yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Giddens dalam bukunya (2010) menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan merupakan suatu skemata yang hanya tampil dalam dan melalui praktik sosial. Selain itu, Giddens dalam Kaspersen (2000: 381) menyatakan bahwa “structure does not exist, it is

continuously produced via agents who draw on this very structure when they act”.

Struktur juga dikonsepsikan sebagai aturan dan sumberdaya yang memungkinkan praktik sosial hadir di sepanjang ruang dan waktu (Giddens, 2010: 17).

Struktur bersifat mengatasi ruang dan waktu serta maya (virtual sehingga bisa diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi (Priyono, 2000:27). Berbeda dengan Durkheim dan ilmuwan-ilmuwan sosiologi lain yang menganggap bahwa struktur bersifat mengekang (constraint), Giddens justru menganggap bahwa struktur bersifat mengekang di satu sisi tapi juga memberdayakan di sisi lain. Itulah mengapa Giddens memandang struktur sebagai sarana (medium) sekaligus hasil (outcome) dari praktik-praktik sosial.

Sebagai contohnya, tindakan kita menyalakan lampu tanda berbelok kiri sebelum berbelok ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil tidak akan bisa dipahami oleh orang di belakang atau di depan kita kecuali sudah ada semacam schemata aturan lalu-lintas yang berlaku dalam masyarakat tempat

(18)

praktik itu berlangsung. Adanya schemata semacam itu (aturan lalu-lintas) memungkinkan kita melakukan tindakan belok kiri dengan aman. Itulah struktur.

Dalam pandangan teori strukturasi, agen-struktur tidak bisa ditiadakan salah satu dari keduanya, karena keduanya saling melengkapi. Eksistensi agen-struktur melebur dalam praktik sosial melalui proses produksi dan reproduksi sistem sosial. Agen menjadi bagian dari struktur, tetapi struktur juga menjadi bagian dari agen. Hal itu dimungkinkan karena struktur mempunyai dua perwujudan yaitu sebagai media interaksi dan sebagai hasil interaksi (structure as

medium and result). Sebagai media interaksi, struktur mewujud dalam bentuk

aturan (rules) dan sumber daya (resources). Aturan menjadi sumber pengetahuan bagi agen untuk bisa melakukan tindakan social dengan benar, dan sumber daya menjadi sumber kekuasaan agen untuk melakukan tindakan sosial sesuai kepentinganya. Sebagai hasil interaksi, struktur mewujud dalam bentuk sistem sosial yaitu praktik-praktik social yang dilakukan berulangkali melalui ruang waktu tertentu. Perhatikanlah diagram di bawah ini.

Struktur Sistem Strukturasi

Aturan dan sumber daya, atau seperangkat relasi transformasi,

tergorganisasi sebagai

kelengkapan-kelengkapan dari system-sistem sosial

Relasi-relasi yang direproduksi di antara para actor atau

kolektivitas, terorganisasi sebagai praktik-praktik sosial regular.

Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi stuktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri.

Bagan 1: Struktur, sistem dan strukturasi (Giddens, 2010:40)

Bagan di atas menunjukkan bahwa stuktur merupakan kelengkapan dari sistem sosial, sementara itu, sistem sosial merupakan relasi-relasi yang direproduksi oleh

(19)

agen melalui praktik-praktik sosial. Strukturasi sendiri merupakan kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur yang menyebabkan reproduksi sistem sosial itu sendiri.

Dalam melakukan tindakan sosial, agen dengan kapasitas pengetahuannya dapat menjadikan struktur sebagai acuan dalam bertindak mengubah dan atau mereproduksi struktur melalui praktik sosial yang rutin. Struktur secara aktif diproduksi, direproduksi dan diubah oleh agen yang dilihat sebagai actor kompeten yang memiliki kemampuan. Konsep agen dalam teori strukturasi dipahami sebagai orang-orang yang terlibat dalam arus kontinyu tindakan (Priyono, 2000: 19). Giddens melihat agen sebagai “pelaku dalam praktik sosial”, dan agen dapat dilihat sebagai individu perorangan maupun kelompok.

Adapun agensi merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh agen secara terus-menerus dan berkesinambungan (Kaspersen, 2000:381). Giddens tidak melihat agensi sebagai fenomena tersendiri. Giddens menganggap bahwa agensi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang pelakunya adalah agen dalam suatu rangkaian perilaku tertentu. Apapun yang terjadi, tidak akan terjadi jika agen tidak terlibat di dalamnya.

Sering kali orang menganggap bahwa agensi hanya bisa ditetapkan berdasarkan maksud-maksud, sehingga seorang pelaku harus memiliki maksud saat bertindak agar tindakannya bisa diakui. Jika tidak, tindakan actor tersebut hanya akan dianggap sebagai respons reaktif belaka. Meskipun demikian, Giddens (2010:14) beranggapan bahwa agensi tidak mengacu pada maksud-maksud yang dimiliki orang ketika melakukan sesuatu melainkan terutama pada

(20)

kemampuannya dalam melakukan sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Giddens, konsep agensi juga mengandung kuasa. Mampu bertindak di sini diartikan sebagai kemampuan mengintervensi dunia atau menjaga dini dari intervensi semacam itu dengan dampak memengaruhi suatu proses atau keadaan khusus. Hal ini mengandaikan bahwa seorang agen harus mampu menggunakan kekuasaannya untuk kekuasaan yag dijalankan oleh orang lain. Seorang agen dikatakan tidak lagi berperan jika ia kehilangan kemampuannya untuk memengaruhi atau menggunakan kekuasaan.

Dalam Central Problem in Sosial Theory, Giddens (1979: 9) menjelaskan bahwa agensi tidak mengacu pada serangkaian tindakan terpisah yang digabung bersama-sama, namun lebih mengarah pada perilaku yang berlangsung secara berkesinambungan yang diwujudkan dalam bentuk praktik sosial. Dalam arus tindakan yang berkesinambungan ini, kemampuan introspeksi dan mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan oleh para agen dalam keseharian mereka.

Dalam melakukan praktik sosial, agen memerlukan dua faktor penting, yaitu rasionalisasi dan motivasi. Rasionalisasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh para aktor yang kompeten untuk ‘menjaga keutuhan/hubungan’ dengan alasan-alasan perbuatan mereka sedemikian rupa sehingga jika ditanya oleh orang-orang lain, maka mereka bisa memberikan alasan atas aktivitas mereka, sedangkan motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong praktik sosial (Giddens, 2010:8). Jadi, sementara rasionalisasi terus-menerus terlibat dalam praktik-praktik sosial, motivasi dapat dibayangkan sebagai potensi untuk

(21)

bertindak.

Bagan 2: Arus timbal balik tindakan agen (Giddens, 2010:8)

Yang dimaksud Giddens dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa para aktor juga secara rutin mempertahankan suatu pemahaman tentang landasan-landasan aktivitas mereka. Memiliki pemahaman di sini tidak boleh disamakan dengan pengungkapan alasan-alasan bagi unsur-unsur tindakan tertentu, tidak juga dengan menjelaskan alasan-alasan itu secara diskursif. Namun demikian, para aktor kompeten diharapkan mampu menjelaskan sebagian besar tindakan mereka, jika memang diminta.

Giddens membedakan monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan dari sisi motivasinya. Jika alasan-alasan mengacu pada dasar-dasar tindakan, motif mengacu pada keinginan-keingan yang mendorongnya. Identifikasi terhadap motivasi terbilang sulit karena motivasi mengacu pada potensi tindakan. Sekalipun para agen kompeten hampir selalu bisa menjelaskan secara diskursif maksud dan alasan tindakannya, mereka belum tentu bisa menjelaskan motif-motif mereka.

Lebih lanjut, Giddens (2010:5-7) membedakan tiga dimensi internal agen dalam bentuk: kesadaran praktis, kesadaran diskursif, dan motivasi tak sadar.

(22)

Agen dianggap memiliki pengetahuan tentang sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran praktis (Kaspersen, 2000: 380). Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diuraikan. Diam saat kita masuk ke tempat ibadah adalah salah satu contoh dari kesadaran praktis. Gugus pengetahuan ini merupakan rasa aman ontologis (Giddens, 2010: 50). Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terus menerus apa yang akan terjadi atau yang harus dilakukan. Demikian pula, kita hampir tidak pernah bertanya mengapa kita menghentikan mobil ketika lampu lalu-lintas berwarna merah. Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran praktis ini (Priyono, 2000: 29). Sebaliknya, kesadaran diskursif mengacu pada serangkaian kapasitas pengetahuan yang kita miliki dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit mengenai tindakan yang kita lakukan. Selain memungkinkan kita untuk memformulasikan penjelasan, kesadaran diskursif juga memberikan kesempatan pada agen untuk mengubah pola tindakannya (Kaspersen, 2000: 380).

Selain itu, Giddens menambahkan bahwa tidak semua motivasi dari tindakan agen dapat ditemukan pada tingkat kesadaran. Giddens memaknai motivasi tak sadar sebagai pemicu terhadap beberapa tindakan agen. Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. Sebagai contoh, sangat jarang ‘tindakan’ kita pergi ke tempat kerja digerakkan oleh motif mencari uang, kecuali mungkin pada hari gajian (Priyono: 2000:28). Dari tiga dimensi di atas, kesadaran

(23)

praktis dinilai lebih menentukan dalam memahami kehidupan sosial dan merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai praktik sosial yang kita lakukan lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu memungkinkan praktik sosial yang kita lakukan. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa reproduksi sosial berlangsung lewat perulangan praktik sosial yang jarang kita pertanyakan.

Satu hal lagi yang perlu disinggung dalam hubungannya dengan agen adalah melalui praktik sosial yang dilakukan berulang-ulang oleh agen, tidak hanya struktur yang diciptakan, tetapi juga refleksivitas (kesadaran). Refleksivitas ini memungkinkan agen untuk memonitor aliran yang terus-menerus dari aktivitas dan kondisi struktural yang dihadapi agen. dengan menekankan pada kesadaran ini, Giddens sebenarnya sangat menekankan arti pentingnya praktik sosial. Meminjam gagasan Erving Goffman, Giddens mengemukakan bahwa sebagai agen, kita mempunyai kemampuan untuk berintrospeksi dan mawas diri (Priyono, 2000: 30). Dengan kata lain, teori strukturasi memberikan agen kemampuan untuk mengubah situasi. Artinya, teori ini mengakui besarnya peran agen dalam menentukan suatu praktik sosial. Hal ini sangat erat kaitannya dengan refleksi Giddens (1979: 210) bahwa perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi betapapun kecilnya perubahan itu. Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor ini meluas sehingga berlangsung proses ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut gejala di mana struktur yang selama ini menjadi aturan dan sumber daya atas praktik sosial, tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang sedang berlangsung, ataupun yang

(24)

sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial baru (Priyono, 2016:30). Hal yang kemudian terjadi adalah keusangan struktur. Dengan kata lain, perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang.

Perubahan struktur tidak hanya disebabkan oleh keterulangan praktik-praktik sosial yang disengaja atau direncanakan. Terkadang, tindakan-tindakan menghasilkan konsekuensi yang tidak disengaja yang bisa menjadi umpan balik terciptanya kondisi-kondisi tindakan yang tak dikenali. Hal ini bisa dilihat pada bagan 2 yang telah disertakan sebelumnya. Siklus konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja bisa mendorong terjadinya kondisi tindakan yang tak dikenali seperti misalnya terjadinya reproduksi sosial. Hal ini terjadi karena aktivitas-aktivitas berulang telah dilakukan dalam konteks ruang dan waktu tertentu sehingga para pelaku secara sengaja atau tidak, telah merutinkan konsekuensi-konsekuensi tersebut. Yang perlu diketahui di sini adalah variable-variable yang menjelaskan kenapa individu-individu terdorong untuk melakukan praktik sosial yang rutin di sepanjang ruang dan waktu, dan konsekuensi apa yang muncul.

Dalam konteks penelitian mengenai kasus Dogani ini, penulis novel Gong Ji Young dianggap sebagai agen kompeten yang memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan dan menjelaskan maksud dari tindakannya tersebut. Gong melakukan rasionalisasi dan rekfleksi terhadap tindakannya melalui pernyataannya di sosial media maupun melalui novelnya sendiri. Tindakan ini dilakukan Gong dalam rangka memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Dari tindakan Gong, muncul serangkaian tindakan oleh

(25)

agen-agen lain yang berujung pada perubahan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tindakan Gong dalam menulis novel barangkali adalah tindakan yang disengaja, namun reaksi-reaksi masyarakat Korea dan aksi yang menyertainya barangkali adalah konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja dari tindakan sengaja tersebut. Konsekuensi-konsekuensi ini kemudian dirutinisasi oleh masyarakat sehingga terjadilah perubahan sosial yang bisa diterima dan dianggap rasional.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian dalam tesis ini secara garis besar menggunakan metode kualitatif untuk mengumpulkan, menyaring, dan menganalisis data. Metode penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Kaelan 2005:5) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai, dan pengertian. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan pengamatan terhadap wawancara, berita-berita, maupun program investigasi terkait kasus “dogani”. Studi kepustakaan terutama dilakukan dengan membaca novel Dogani sebagai objek material disertai dengan pembacaan terhadap sejumlah tulisan terkait novel

Dogani, kasus “dogani”, dan dampak novel Dogani di masyarakat Korea. Selain

itu, untuk memahami objek formal dari penelitian ini, yaitu strukturasi, dilakukan pembacaan terhadap buku karya Anthony Giddens terutama yang berjudul Teori

Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat terjemahan

(26)

struktur, agen dan interaksi yang menghubungkan keduanya sangat penting, maka dilakukan pula pengumpulan data mengenai kondisi sosial Korea terutama pada masa terjadinya kasus Dogani yaitu pada tahun ‘90an akhir sampai 2000an awal yang ada di dalam buku, surat kabar, jurnal, tesis, maupun media massa.

Selain itu, untuk memahami tindakan agen dalam rangka strukturasi, penelitian ini juga mengamati biografi agen, wawancara dan berita yang tersedia di media massa. Untuk mendapatkan informasi tersebut di atas, diperlukan usaha yang cukup keras mengingat banyaknya informasi seperti jurnal dan tesis yang hanya bisa diakses dengan keanggotaan khusus maupun yang berbayar. Beruntung peneliti mendapatkan dukungan dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada untuk melakukan pengumpulan data langsung ke Korea sehingga masalah ini bisa teratasi dengan baik.

Data-data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan mengkategorikannya sesuai dengan teori yang digunakan. Pengkategorian data tersebut disesuaikan dengan konsep-konsep dalam teori strukturasi seperti agen, agensi atau praktik social, struktur, strukturasi, dan lain sebagainya. Setelah itu, data-data tersebut dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan teori Strukturasi yang meliputi analisis mengenai agen dan praktik sosialnya, serta struktur dan dualitas struktur di dalamnya. Setelah semuanya diuraikan secara saling berhubungan, dilakukan penyimpulan.

1.7 Sistematika Penulisan

(27)

Bab I berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2) rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori; (6) metode penelitian; dan (7) sistematika penelitian.

Bab II berisi uraian mengenai struktur sosial Korea dan dualitas Gong Ji Young sebagai agen strukturasi.

Bab III berisi uraian mengenai agensi Gong Ji Young dalam novel Dogani Bab IV berisi perubahan sosial di Korea sebagai dampak dari penulisan novel Dogani.

Referensi

Dokumen terkait

membantu para guru mendidtribusikan kertas lembar kerja dan modul untuk para siswa, praktik ini diambil dari pengalaman positif di Prancis. Membentuk Gugus Kerja di Daerah

Strategi ini diciptakan dengan maksud mengatasi kelemahan berupa masih rendahnya realisasi pembangunan HTI Pulp di Kabupaten Pelalawan, banyaknya okupasi dan klaim

UNVR  berencana  menaikkan  kembali  harga  jual  rata‐rata  produk  dimana perusahaan pada 

Menurut Scott (2009) alasan apapun yang dapat digunakan manajer dalam memilih suatu kebijakan akuntansi dari sekumpulan akuntansi agar dapat meraih tujuannya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SSB Kabupaten Kudus dapat disimpulkan bahwa: Pembinaan SSB di Kabupaten Kudus belum berkriteria baik

"ibrasi molekul adalah yaitu keadaan dimana ikatan antar atom-atom dalam molekul merenggang dan merapat.Ada beberapa  enis vibrasi yang berlangsung pada atom-atom

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, adapun beberapa saran yang diberikan oleh peneliti yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak